Anda di halaman 1dari 98

meninggalkanm

1
MENGAPA SYAIKH YAHYA BIN ALI
AL-HAJURY -WAFFAQAHULLAH-
DITAHDZIR?

Mengungkap poin-poin penyimpangan


Syaikh Yahya bin Ali Al-Hajury
-waffaqahullah-

Karya : Syaikh Dr. Arafat bin Hasan Al-


Muhammadi -hafizhahullah

2
Mengapa Asy-Syaikh Yahya bin Ali Al-Hajury di Tahdzir?
Diterjemahkan dari kitab: Al-Bayan Al-Faury Bi Al-Kasyfi 'an
Fasaad Ushul Wa Qawa'id Yahya Al-Hajury, dipublikasikan,
tahun 2008.
Karya Syekh Arafat bin Hasan Al-Muhammadi
Ditulis dan diterjemahkan pada Muharram 1442 H yang
bertepatan dengan 25 Agustus 2020 M

Penerjemah: Abu Hamzah Rizki

Penyunting: Nico Fernando

Cover dan Layout: Abu Ibrahim Syobrian

Publikasi: Salafy Kotamobagu


https://telegram.me/salafykotamobagu

Mengapa Asy-Syaikh Yahya bin Ali Al-Hajury di Tahdzir?.


Hak cipta ©Syekh Arafat bin Hasan Al-Muhammadi, 2008 M.
https://telegram.me/arafatbinhassan

3
Mukaddimah
Syaikh Ubaid bin Abdillah Al-Jabiry hafizhahullah

Sungguh aku telah memeriksa risalah yang berjudul ‫البيان‬


,‫ الفوري بالكشف عن فساد أصول و قواعد يحيى الحجوري‬terkandung di
dalamnya 14 pokok yang telah dikumpulkan oleh saudara
kami, kawan, dan murid kami, yaitu Syaikh Arafat bin
Hasan bin Ja’far Al-Muhammadi, maka aku mendapati
risalah tersebut adalah risalah yang bagus dan cukup.
Penulis -semoga Allah membalasnya dengan kebaikan-
menempuh 2 metode dalam hal ini.

1. Beliau mengumpulkan pokok-pokok dan kaidah-


kaidah yang rusak tersebut serta
mendokumentasikannya melalui sumber-sumber yang
tak terbantahkan, karena seluruhnya bersumber dari
kitab-kitab Al-Hajury sendiri, rekaman suara,
dibacakan di hadapannya, atau karya tulis yang diberi
kata pengantar olehnya.
2. Beliau mengikutkan pada setiap pokok dengan
keterangan yang menunjukkan -secara pasti-
penyelisihan terhadap jalan kaum mukminin, para dai
yang membawa perbaikan, ulama, dan para imam
pemberi nasihat. Siapa yang melihat pokok-pokok
tersebut maka akan tampak baginya -secara jelas-
banyak hal, di antaranya:
a. Kelancangannya terhadap kedudukan Nabi
shallallahu ‘alaihi wa sallam dengan sesuatu
yang belum pernah dilakukan oleh seorang
alim sunnah sebelumnya, yaitu dia menyifati

44
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam telah keliru
dalam wasilah dakwah. Lihat pokok pertama.
b. Tidak bisa membedakan dalam penukilan yang
sifatnya adalah hikayat (menceritakan) atau
dalam rangka ta’shil (menanamkan ilmu), di
antaranya adalah ucapannya bahwa
ahlussunnah adalah kelompok yang paling
dekat dengan kebenaran. Dia menyandarkan
hal itu kepada Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah
dan selainnya, Syaikh Shalih Al-Fauzan, dan
gurunya yaitu Syaikh Muqbil Al-Wadi’i, dan dia
telah berdusta atas nama mereka. Lihat pokok
nomor 7.

Masih tersisa perkara-perkara yang lain, namun aku


meninggalkannya dalam rangka meringkas untuk para
pembaca.

Aku akhiri kalimat ini dengan men-tahdzir-nya, yang


mana telah tampak kerusakan pokok-pokok dan kaidahnya
dengan bukti yang kuat dan hujah yang nyata.

Demikian pula aku memperingatkan (para penuntut


ilmu) untuk tidak pergi ke Dammaj hingga tempat itu
kembali seperti semula sebagaimana didirikan oleh syaikh
Muqbil rahimahullah, yaitu menetapkan hukum-hukum syari
dan dakwah kepada Allah yang bersumber dari Alquran dan
sunah sesuai dengan jejak para pendahulu yang saleh. Hal
ini tidak akan terwujud kecuali dengan saling bahu-
membahu dari 4 kelompok; mereka yang mampu untuk
mewujudkannya dengan izin Allah.

1. Para penuntut ilmu yang mulia dan orang-orang yang


cemburu (terhadap agamanya) yang berasal dari
kabilah Wadi’ah -terlebih lagi- sebagai ‘ashobah dari

55
pendiri markiz ini -semoga Allah merahmatinya-, agar
mengupayakan dengan segera dan penuh
kesungguhan kepada pihak yang berwenang dalam
negara untuk menjauhkan Al-Hajury dari markiz.
2. Para pengawal yang telah ditunjuk oleh Al-Hajury
agar meninggalkan penjagaan terhadapnya, karena
berlanjutnya mereka dalam mengawal Al-Hajury
adalah bentuk pertolongan di atas dosa dan
permusuhan.
3. Para penuntut ilmu yang berada di markiz agar segera
meninggalkan markiz dan agar mereka bisa
menyelamatkan diri mereka dari penanaman prinsip-
prinsip dan kaidah-kaidah yang rusak dari orang ini,
yang mana kaidah-kaidah dan prinsip tersebut tidak
menyebar kecuali kepada orang-orang yang berakal
lemah dan memiliki hati yang sakit. Silahkan bagi
mereka untuk bergabung dengan markiz-markiz
ahlussunnah yang tersebar di Yaman, misalnya Darul
Hadits di Hudaidah yang dibina oleh saudara kami
Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab Al-Wushaby
hafizhahullah1.
4. Kepada orang-orang yang berazam kuat untuk datang
ke Dammaj untuk belajar kepada Al-Hajury,
nasihatku adalah agar mereka berpaling dari
keinginan ini dan hendaknya mereka menimba ilmu
dari orang yang dikenal mengajari sunah yang murni
berbarengan dengan hikmah dan peringatan yang
baik. Jumlah mereka sangat banyak -alhamdulillah-
baik yang ada di Yaman, Saudi Arabia, maupun negeri
Islam yang lainnya.

1. Beliau telah meninggal -rahimahullah-.

66
Allah mengetahui bahwa aku tidak menginginkan
kecuali nasihat kepada kaum muslimin secara umum dan
kepada para penuntut ilmu yang sangat rindu dengan sunah
-secara khusus- agar mereka tidak terjatuh dalam sarang
bidah dan kesesatan, sehingga akan keluar melalui Al-Hajury
dan para pengikutnya dai-dai yang merusak dari arah yang
ingin mereka (penuntut ilmu) dirikan dan dai-dai perusak
dari arah yang ingin mereka perbaiki.

Aku memohon kepada Allah yang Maha Mulia pemilik


Arsy yang agung agar memperlihatkan kebenaran itu adalah
kebenaran dan mengaruniakan kepada kita untuk
mengikutinya. Demikian pula memperlihatkan kepada kita
yang batil adalah batil dan mengaruniakan kepada kita
untuk menjauhinya serta tidak menjadikan hal itu
tersamarkan bagi kita yang menyebabkan kita akan tersesat.

.‫و صلى هللا و سلم على نبينا محمد و على آله و صحبه أجمعين‬

Ditulis oleh Ubaid bin Abdillah bin Sulaiman Al-Jabiry


Mantan dosen Universitas Islam Madinah
Ahad sore, 8 Rajab 1431 H.

77
Mukaddimah penulis

‫الحمد هلل رب العالمين و العاقبة للمتقين و ال حول و ال قوة إال باهلل العلي العظيم و‬
‫أشهد أن ال إله إال هللا وحده ال شريك له و أشهد أن محمدا عبده و رسوله صلى هللا‬
.‫عليه و على آله و صحبه أجمعين أما بعد‬

Sesungguhnya Allah telah memberikan keutamaan yang


sangat banyak kepada penduduk Yaman. Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wa sallam menyifati mereka dengan iman,
hikmah, dan fikih. Dan merekalah yang menerima berita
gembira dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam.

Negeri Yaman : Sunah dan manhaj salaf dikenal


bertingkat-tingkat dari sisi tampak maupun kuatnya.
Bersamaan dengan itu aku tidak mengetahui ada yang sama
dengan masa Syaikh Muqbil rahimahullah, yang mana Allah
telah memberi karunia kepada Yaman dan penduduknya
melalui beliau. Orang yang saleh, ahli hadis, zuhud, dan
penuh waro’ yang telah menginjak-injak dunia dengan
berbagai hiasannya dengan kedua kakinya. Melalui sebab-
sebab ini dan yang selainnya -yang hanya Allah yang
Mahatahu- Allah menyebarkan dakwah yang diberkahi ini di
negeri Yaman maupun selainnya. (Dari ucapan Syaikh kami,
Rabi’ Al-Madkhali hafizhahullah)

Orang-orang buruk dan yang memiliki kepentingan


berusaha untuk mencela dakwah yang diberkahi ini, namun
usaha tersebut sia-sia bagai debu yang beterbangan.

Fitnah yang terakhir ini adalah fitnah Abul Hasan Al-


Ma’riby yang tidak terbatas di negeri Yaman saja, bahkan

88
Abul Hasan mampu -dengan kelicikannya dan dibantu oleh
yang lainnya- memperluas peerselisihan dengan ahlusunah
di seluruh dunia. Namun para ulama kita -dengan karunia
Allah- mampu untuk menyelesaikan fitnah ini dengan
kritikan ilmiah yang dibangun di atas hujah dan bukti dalam
rangka mengumpulkan antara sikap adil dan ilmu. Maka
orang-orang yang menyelisihi itu pun tercekik dengan
berbagai hujah dan bukti ini, dan kebanyakan dari saudara
kita kembali setelah sebelumnya mereka membela Abul
Hasan pada awal fitnahnya.

Pada fitnah ini (fitnah Abul Hasan), ahlul haq merasa


gelisah dengan metode Yahya Al-Hajury dalam
menyelesaikan permasalahan yang tanpa akal dan lemah
lembut. Metode yang ditempuh oleh Al-Hajury sangat kacau
dan menyelisihi para ulama salafiyyun kita. Bisa jadi yang
menyebabkan hal itu adalah ini merupakan percobaan
pertama kali yang dia masuki dalam keadaan memegang
kendali di Darul Hadits yang didirikan oleh pembaharu
dakwah salafiyyah di Yaman, yaitu Syaikh Al-‘Allamah
Muqbil bin Hadi Al-Wadi’i rahimahullah.

Pada fitnah ini terbit 2 rekaman dari Darul Hadits


(Dammaj) yang dipenuhi dengan berbagai celaan, makian,
ejekan, olok-olok, yang ditolak oleh orang yang berakal
apalagi orang-orang yang memiliki keutamaan dan para
ulama. Allah menyukai perbuatan adil. Yang memiliki
keutamaan -setelah Allah- dalam menjelaskan prinsip Abul
Hasan adalah syaikh kami Al-‘Allamah Rabi’ bin Hadi al-
Madkhali hafizhahullah dan usaha para masyaikh kami di
Madinah dalam bayan (penjelasan-penjelasan) mereka yang

99
masyhur, dan yang paling terdepan adalah Syaikh kami Al-
‘Allamah Ubaid Al-Jabiry hafizhahullah.

Dalam rangka menekankan hakikat ini (tidak akan


mengetahui suatu keutamaan kecuali orang yang memiliki
keutamaan), masyaikh Yaman bangkit meminta kepada
Syaikh Rabi’ untuk menjelaskan pokok-pokok Abul Hasan
yang lainnya yang dibawa olehnya untuk menyerang ahlul
haq. Masyaikh tidak meminta kepada Al-Hajury karena
orang yang tidak memiliki sesuatu tidak akan mampu untuk
memberi. Syaikh Al-‘Allamah Ahmad Al-Najmy menulis
sebuah tulisan yang sangat bagus, demikian pula Syaikh
kami Abdullah Al-Bukhari di dalam kitab beliau yang
berjudul Fath Al-Rabbani.

Ketika orang-orang yang memilki keutamaan diam dari


metode Al-Hajury yang mencemaskan dan penuh dengan
sikap kaku yang tercela dan ekstrem terhadap orang yang
menyelisihinya, maka tampaklah hasil dan buahnya yang
buruk terhadap ahlusunah, dia pun mengukur lautan (para
ulama) dengan lafaz-lafaz yang tidak pantas dan tidak
dibolehkan secara syari. Demikian pula murid-murid dan
para pecintanya yang ghuluw terhadapnya. Pikirannya tidak
tenang hingga dia menghancurkan ahlusunah, menghinakan,
dan menganggap mereka dungu. Terlebih lagi sikap mereka
terhadap ijtima’ ahlusunah dan bayan mereka yang mana
hasil terpenting dari itu semua adalah memperbaiki keadaan
dan membuang perpecahan dan perselisihan.

Pada hari ini kita melihat Al-Hajury ikut andil bersama


ahlul bidah dalam mencela para ulama. Mereka berupaya
untuk menjatuhkan dan mencela para ulama yang mulia.

Adapun para pengikutnya (Al-Hajury) yang telah


dikuasakan untuk menyerang para ulama, mereka telah

10
membuat sebuah situs khusus untuk fitnah. Mereka
menyebarkan celaan dan makian ini di dalam situs tersebut
dalam keadaan mereka adalah orang-orang yang majhul
(tidak dikenal) di sisi para ulama walaupun mereka menulis
nama-nama mereka dengan jelas.

Tatkala para ulama telah jatuh di sisi Al-Hajury -terlebih


lagi di Yaman- yang paling terdepan adalah Syaikh
Muhammad Al-Wushaby hafizhahullah2, maka Al-Hajury
terpaksa mengangkat sekelompok orang yang dianggap
seperti ulama agar orang-orang itu bisa membantunya di atas
kebatilan. Orang-orang tersebut dijuluki dengan sebutan
Masyaikh Daar! Dalam keadaan Masyaikh Daar -buatan-
tersebut berada pada tingkatan murid dari muridnya Syaikh
Muhammad Al-Wushaby hafizhahullah!.

Siapa yang akan menerima ini? Orang yang berakal mana


-terlebih lagi ulama- yang akan mendukung kritikan yang
dipenuhi dengan sikap ekstrem dan sindiran yang pedas ini?
Bukankah ini adalah metode yang digunakan Abul Hasan
untuk menjatuhkan para ulama? Dan sebaliknya, kita
mendapatinya mengangkat tinggi para penuntut ilmu yang
kecil karena mereka mengetahui apa yang tidak diketahui
oleh para ulama -menurut sangkaannya-!.

Ini adalah pandangan sekilas tentang metode Al-Hajury


dalam menyelesaikan permasalahan. Ini bukanlah tujuan
utama ditulisnya risalah ini, akan tetapi tujuan utamanya
adalah menjelaskan sejumlah prinsip rusak yang disetujui
oleh Al-Hajury, baik di dalam kitab-kitab maupun dalam
rekaman suaranya dan bagaimana Al-Hajury membangun

2. Lihat catatan kaki nomor 1.

11
11
wala’ dan bara’ di atasnya dengan nafas jiwa yang ghuluw
dalam menolak hujah dan berbagai bukti.

Betapa seringnya aku berharap Al-Hajury jujur dalam


ucapannya ketika dia berkata, “Semoga Allah membalas
kebaikan kepada siapa saja yang telah mengingatkan
kesalahanku. Sungguh aku telah katakan kepada saudara-
saudaraku karena Allah, ‘Aku tidak maksum dan aku tidak
siap untuk meninggalkan ahlusunah karena membela
kesalahanku. Aku berlindung kepada Allah. Ya, jika aku
salah lalu sang pengkritik membawakan buktinya, maka aku
akan rujuk insyaallah dengan sangat mudah’.”

Siapa yang melihat pada sebagian situs internet maka dia


akan dapati keanehan dalam kesalahan orang itu dan para
pengikutnya. Namun bersama dengan itu kita tidak pernah
melihat ada pernyataan rujuk atau tobat dari kesalahan-
kesalahan yang telah dijelaskan kepadanya. Ternyata dia
siap untuk mencerai-beraikan persatuan (karena hal ini).

Berapa banyak ulama yang menahan derita akibat celaan


Al-Hajury kepada mereka, bahkan celaan pada agama dan
keistikamahan mereka dan mengeluarkan para ulama
tersebut dari lingkup ahlusunah -dalam keadaan dia tidak
mampu menunjukkan bukti atas sangkaan dan tuduhannya
tersebut-. Kebanyakan para penuntut ilmu yang mulia
memikul berbagai lafaz yang buruk lagi jahat akibat
penyelisihan mereka terhadap pribadi Al-Hajury.

Dari sini aku menyeru para ulama, sesungguhnya Al-


Hajury telah menanamkan berbagai prinsip yang rusak
dalam tulisan-tulisan dan rekaman-rekamannya, serta ber-
wala’ dan bara’ di atasnya. Sebaliknya, dia melemparkan

12
tuduhan hizbiyyah kepada sekelompok orang yang terzalimi
dan terlepas dari itu semua seperti terlepasnya serigala dari

darah anak Ya’qub. Bahkan dia menjatuhkan para ulama, di


antaranya adalah guru-gurunya yang telah berbuat baik
kepadanya atau kepada orang-orang yang berada pada
tingkatan mereka. Oleh karena inilah aku meminta
pertolongan kepada Allah, lalu aku mengumpulkan sejumlah
prinsip-prinsipnya yang rusak terlebih lagi prinsip-prinsip
tersebut disebarkan melalui situs internet dengan suara dan
tulisannya. Maka kami tidak bersaksi kecuali apa yang kami
ketahui, kami tidak membawa sesuatu yang baru dan tidak
mengadakan satu ucapan pun atasnya.

Ketahuilah, setelah bersyukur kepada Allah, aku


bersyukur kepada guruku, Syaikh yang mulia Ubaid bin
Abdillah Al-Jabiry hafizhahullah atas kebaikan beliau
kepadaku, di mana beliau telah memberiku waktu yang
cukup untuk membaca bantahan ini, kemudian pada
kesempatan yang lain beliau berkenan untuk memberi kata
pengantar yang indah untuk risalah ini. Maka semoga Allah
membalas kebaikan kepada beliau dan memberkahi usia,
waktu, dan keluarga beliau.

Demikian pula aku mengisyaratkan bahwa sebagian


ulama dan masyaikh yang mulia telah memberikan
tambahan pada bantahan ini, mereka menambah dalam
bentuk perbaikan-perbaikan dan catatan-catatan yang
berharga, di antara mereka ada yang menganggapnya

13
sebagai risalah yang baik dan meminta untuk disebarkan.
Kita meminta keikhlasan dalam ucapan dan perbuatan
kepada Allah Ta’ala. Dialah sebaik-baik penolong.

14
14
Prinsip pertama

Aku tidak akan berlama-lama dalam menjelaskan


prinsipnya yang rusak tersebut, cukup bagiku untuk
menyebutkan prinsipnya lalu membuktikannya, kemudian
aku mencukupkan dengan satu atau dua penukilan dari
ucapan para ulama yang menjelaskan kebatilannya:

Dia menghukumi bahwa sebagian perbuatan


Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam salah dan
Nabi telah keliru dalam wasilah (cara
menyampaikan) dakwah.

Al-Hajury berkata dalam sebuah rekaman yang berjudul


As’ilah Hadhramaut,
“Benar, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam berijtihad dalam
sebagian permasalahan, akan tetapi ijtihad beliau adalah
taufik (dari Allah). Maka sunah adalah tauqifiyyah, dan
taufiqiyyah. Baik itu tauqif, yaitu berhenti di atas satu dalil
yang Allah perintahkan dengan hal itu atau dengan taufiq,
yaitu wahyu menyetujui hal tersebut. Perbuatan mana saja
yang beliau keliru padanya maka wahyu akan turun dengan
segera untuk menjelaskan kesalahan tersebut. Di antaranya
adalah surat ‘Abasa. Ini termasuk permasalahan dakwah.
Nabi datang menemui sebagian pembesar Quraisy,
memberikan nasihat kepada mereka dan sangat ingin agar
mereka masuk Islam. Bersamaan dengan itu Ibnu Ummi

15
15
Maktum datang kepada beliau untuk bertanya tentang
sebagian perkara agama, maka beliau shallallahu ‘alaihi wa
sallam membenci hal itu darinya. Beliau tidak suka karena
beliau sedang berbicara dengan orang-orang buruk itu untuk
mengajak mereka kepada Allah namun di saat yang
bersamaan Ibnu Ummi Maktum radhiyallahu ‘anhu
bertanya. Setelah itu, turunlah (wahyu sebagai) perbaikan
atas sikap beliau sebagaimana dalam surat ‘Abasa.
Sesungguhnya itu adalah peringatan atasmu. Ini termasuk
wasilah dakwah yang beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam
telah keliru padanya dan ditegur oleh Allah dengan wahyu.
Allah menegur beliau dan menurunkan Alquran -yang terus
dibaca- untuk meluruskan kesalahan tersebut.

(Contoh yang lain) beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam


berkeinginan kuat untuk mengusir sejumlah sahabatnya
dengan tujuan agar sebagian pembesar Quraisy datang.
Mereka (pembesar Quraisy) mengatakan, “Usirlah mereka,
mereka tidak boleh lancang atas kami”, maka hal itu
(mengusir para sahabatnya) telah terbetik dalam jiwa Nabi
shallallahu ‘alaihi wa sallam, maka Allah menurunkan
wahyu untuk meluruskan kesalahan ini, sebagaimana dalam
surat Al-An’am ayat 52. Ini termasuk wasilah dakwah.
Dahulu Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam mendoakan
kejelekan kepada sekelompok orang, maka turunlah ayat 128
dari surat Ali ‘Imran. Orang-orang yang dilaknat oleh
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pada sebagian
waktu, mereka masuk Islam; ini disebutkan oleh Al-Hafizh
Ibnu Hajar dalam Al-Ishabah, dan telah kami nukilkan juga
dari Al-Hafizh dalam Al-Shubh Al-Syariq dengan nama-nama
mereka. Yang menjadi inti dalam hal ini adalah kebanyakan
manusia datang melalui pintu ini, yaitu

16
16
permasalahan berdakwah bagi seseorang, yaitu dengan cara
masuk ke dalamnya lebih dalam, berjalan dan berkeliling di
mana-mana dengan mengandalkan pandangannya sendiri,
sikap hikmah -menurut pandangannya-, kecerdasan,
program-program yang dia miliki, dst… .”

Al-Hajury ditanya sebagaimana dalam Al-Kanz Al-Tsamin


(4/516), “Apakah wasilah dakwah itu sifatnya tauqifiyyah
atau ijtihadiyyah?” Dia menjawab, “Wasilah dakwah adalah
tauqifiyyah, karena dakwah adalah ibadah dan ibadah
adalah tauqifiyyah.

Aku katakan, perhatikanlah wahai pembaca bagaimana


fondasi yang ditanamkan oleh Al-Hajury. Menurut Al-Hajury,
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam keliru dalam wasilah
dakwah lalu ditegur oleh Allah dan diluruskan kesalahannya
dalam wasilah dakwah. Maka -menurutnya- Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wa sallam keliru dalam hal-hal yang
merupakan semata-mata taufik dan wahyu dari Allah!!!

Al-Hafizh di dalam Fathul Bari (13/292) berkata, “Ibnu


Abdul Barr berdalil tentang tidak bolehnya bersandar dengan
al-ra’yu (pendapat) dengan riwayat melalui jalan Thariq bin
Syihab, bahwasanya Ibnu Umar radhiyallahu ‘anhu
berkhutbah dan mengatakan, “Wahai manusia!
Sesungguhnya pandangan atau pendapat dari Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wa sallam itu adalah kebenaran, karena
Allah ‘Azza wa Jalla memperlihatkan itu kepada beliau.
Adapun dari kita, maka itu hanya dugaan dan memberatkan
diri sendiri.’ Dengan ini maka boleh untuk berpegang dengan
atsar ini bagi siapa yang menganggap bahwa beliau
shallallahu ‘alaihi wa sallam juga berijtihad namun hasil dari

17
17
ijtihad beliau tidak salah -pada asalnya- ‘alaihish-sholatu
was-salaam.”
Al-Imam Abdul Aziz bin Baz berkata di dalam Majmu’
Fatawa beliau (6/291), “Ucapan seseorang, ‘Sesungguhnya
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam telah melakukan
kesalahan’, ini adalah ucapan yang batil… .”

Aku katakan, ucapan Al-Hajury mengandung tuduhan


kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bahwa bisa saja
beliau mengada-adakan suatu ucapan dalam hal-hal yang
sifatnya tauqifiyyah dan ibadah. Ini adalah makna dari
ucapan Al-Hajury, “Ini termasuk wasilah dakwah yang beliau
shallallahu ‘alaihi wa sallam telah keliru padanya dan
ditegur oleh Allah dengan wahyu. Allah menegur beliau dan
menurunkan Alquran -yang terus dibaca- untuk meluruskan
kesalahan tersebut.”

Aku katakana, kami bukan pada pembahasan apakah Nabi


shallallahu ‘alaihi wa sallam berijtihad atau tidak, akan
tetapi diskusi kami dengan Al-Hajury adalah tuduhannya
bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam telah keliru dalam
wasilah dakwah dalam keadaan wasilah dakwah sifatnya
adalah tauqifiyyah sebagaimana yang telah difatwakan oleh
Al-Hajury. Pendapat bahwa beliau telah keliru dalam sesuatu
yang sifatnya adalah wahyu dan sesuatu yang sifatnya tauqif
adalah kejahatan yang besar, kedustaan yang nyata, dan
menyelisihi kesepakatan umat yang dinukil melalui imam-
imam umat Islam, mayoritas ulama salaf, maupun khalaf
yang mana para nabi itu maksum dalam menyampaikan
wahyu dari Allah Ta’ala. Sementara Al-Hajury menetapkan
bahwa wasilah dakwah adalah tauqifiyyah, kemudian dia
menghukumi bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam

18
telah keliru dalam wasilah dakwah! Kita berlindung kepada
Allah dari kehinaan ini.

(Semakin menambah) musibah yang besar ini adalah Al-


Hajury membela ucapan yang keji ini, dia berkata dalam
bantahannya terhadap Al-Za’aby -sebagaimana bantahan ini
terdapat di dalam situsnya-, “Ucapan ini bukanlah bentuk
perendahan terhadap Rasulullah -ibu dan ayahku yang
menjadi tebusannya-, justru ini adalah pujian terhadap Rasul
dan syariatnya yang agung. Sebab, pembatasan teguran
dengan wahyu bersamaan dengan konteks kalimat yang
terdapat di dalamnya adalah penjelasan dari jenis-jenis
sunahnya. Itu semua menunjukkan pengagunganku terhadap
Nabi ini dan syariatnya yang suci. Tidak ada unsur
perendahan -di sisi orang-orang yang berakal lagi adil-.”
Kemudian Al-Hajury berkata, “Bersamaan dengan itu,
manakala sebagian manusia menggiring ucapanku kepada
makna yang buruk dan tidak sesuai dengan konteks kalimat
ini dan yang semisalnya, maka aku katakan saat itu, aku
rujuk dari metode ini dan aku memohon ampun kepada Allah
darinya dalam rangka memutus sumber fitnah yang sedang
diinginkan oleh sebagian manusia.”
Al-Hajury masih terus bertahan (dengan pendapatnya) dan
menganggap bahwa dia tidak keliru dalam menyalahkan Nabi.
Sementara kalimat ruju’ ini tujuannya adalah untuk memutus
sumber fitnah yang sedang diinginkan oleh sebagian manusia!
Demi Allah, sesungguhnya ucapan Al-Hajury adalah fitnah. Aku
nasihatkan agar dia segera bertobat kepada Allah. Bertobatlah dari
ucapan yang buruk ini yang berkaitan dengan Nabi shallallahu
‘alaihi wa sallam wahai Yahya! Akan datang ucapan Syaikh Al-
Fauzan yang berkaitan dengan ucapan Al-Hajury ini, yaitu ucapan
beliau bahwa ini adalah ucapan yang buruk.

19
Prinsip kedua

Ucapan Al-Hajury dalam bantahannya kepada


Al-Za’aby (sebagaimana dalam situsnya),
“Wahyu dari Rabbul ‘alamin di antaranya
adalah Alquran dan seluruhnya adalah wahyu,
demikian pula sunah dan kebanyakannya
adalah wahyu!”

Aku katakan, Allah Ta’ala berfirman


( ‫ى مِن َّربِى‬َّ َ‫“ ) قُلْ إِنَّ َمآ أَتَّبِ ُع َما يُو َح ٓى إِل‬Katakanlah aku hanya mengikuti
apa yang diwahyukan kepadaku (Al-A’raf: 203).
Allah Ta’ala juga berfirman,
( ‫ى يُو َحى‬ ٌ ‫ى إِ ْن ه َُو إِ َّال َو ْح‬ ٓ ‫ع ِن ٱلْ َه َو‬
َ ‫“ ) َو َما يَنطِ ُق‬Tidaklah dia berucap
sesuatu hawa nafsunya, tidak lain itu hanyalah wahyu yang
diwahyukan” (An-Najm: 3-4).

Dalam riwayat Bukhari dan Muslim, Rasulullah


shallallahu ‘alaihi wa salam bersabda,
َّ َ‫“ ) َو إِنَّ َما كَانَ الَّذِي أُوتِيتُ َو ْحيًا أَ ْو َحاهُ هللاُ إِل‬Hanya saja yang Allah
(... ‫ي‬
berikan kepadaku adalah wahyu yang Allah wahyukan”.
Al-Khazraji berkata dalam Al-I’tibar pada halaman 98,
“Setiap sunah yang telah tetap dari Rasulullah shallallahu
‘alaihi wa sallam maka tidak boleh bagi seseorang untuk
mengatakan, ‘Sesungguhnya sunah ini bertentangan dengan

20
20
Tanzil (Alquran), sebab sunahlah yang menjelaskan Tanzil.
Sunah ini yang dibawa oleh Jibril lalu diajarkan kepada
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, maka beliau tidak
pernah mengucapkan sesuatu yang menyelisihi Tanzil,
kecuali ucapan beliau yang telah dihapus dengan turunnya
Tanzil, maka makna dari Tanzil adalah: apa yang diucapkan
oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam -jika hal itu
telah tetap dengan sanad sampai kepada beliau-.

Syaikhul Islam rahimahullah berkata dalam Al-


Ashbahaniyyah halaman 727, “Termasuk perkara yang
diketahui adalah apa yang diperintahkan untuk terus diingat
dalam rumah istri-istri Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam,
baik itu dengan Alquran atau apa yang beliau ucapkan selain
Alquran, dan itu adalah hikmah dan sunah. Maka tetaplah
bahwa itu termasuk yang diturunkan oleh Allah sehingga
dipetintahkan untuk mengingatnya.”

Beliau rahimahullah juga berkata dalam Majmu’ Fatawa


(7/40), “Adapun Rasul shallallahu ‘alaihi wa sallam maka
diturunkan kepada beliau wahyu Alquran dan wahyu yang
lainnya, yaitu hikmah, sebagaimana sabda beliau,
‘Ketahuilah, sesungguhnya aku diberi kitab dan yang
semisalnya bersamanya’. Hasan bin Athiyyah berkata,
‘Dahulu Jibril ‘alaihissalam turun kepada Nabi dan
mengajarkannya sunah sebagaimana mengajarkan Alquran’.”

Dalam fatwa Lajnah Daimah nomor 10842, “Apakah


Sunah adalah wahyu?” Jawab: “Sunah adalah wahyu dari
Allah ‘Azza wa Jalla kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa
sallam, dan lafaznya dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa
sallam. Telah sahih bahwasanya beliau shallallahu ‘alaihi wa

21
sallam bersabda, ‘Ketahuilah, sesungguhnya aku diberi kitab
dan yang semisalnya bersamanya’.”
Syaikh kami, Abdul Muhsin Al-Abbad berkata dalam
syarah Sunan Abu Dawud pada hadis yang ke 2791, “Sunah
adalah wahyu dari Allah yang diwahyukan kepada Nabi
shallallahu ‘alaihi wa sallam. Sunah seperti Alquran,
seluruhnya adalah wahyu dari Allah.” Beliau juga berkata,
“Semua yang dibawa oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam
baik itu Alquran atau sunah berasal dari sisi Allah.”

Aku katakan, sangat disesalkan dan menyedihkan bahwa


sunah Nabi kita shallallahu ‘alaihi wa sallam -menurut Al-
Hajury- bukan wahyu seluruhnya. Adapun yang sifatnya
wahyu maka terkadang Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa
sallam keliru padanya lalu ditegur oleh Allah!

22
22
Prinsip ketiga

Pembacaan dan izinnya untuk


menyebarkan sebuah risalah sebagaimana
dalam lembaran judul, penulisnya berkata,
“Sesungguhnya Rasulullah shallallahu ‘alaihi
wa sallam ucapannya tidak diterima kecuali
dengan dalil atau hujah yang jelas.”

Salah seorang murid dari Al-Hajury berkata dalam


risalahnya yang berjudul Mulhaq Al-Mindzar li maa
Badzarahu Asy-Syaikh Abdurrahman Al-Adni fi
Dammaj min Adhraar halaman 3, “Dalam riwayat
Muslim, dari Rafi’ bin Khadij radhiyallahu ‘anhu, Nabi
shallallahu ‘alaihi wa sallam tiba di Madinah dalam
keadaan para sahabat sedang mencangkok kurma,
maka Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata, ‘Apa
yang sedang kalian lakukan?’ Para sahabat
mengatakan, ‘Dahulu kami biasa melakukannya
(mencangkok).’ Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam
berkata, ‘Seandainya kalian tidak melakukannya maka
itu lebih baik.’ Maka para sahabat meninggalkannya,
lalu kurma itu menjadi rusak. Kemudian hal itu
dikatakan kepada beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam,
maka beliau berkata, ‘Sesungguhnya aku hanya
manusia biasa, jika aku memerintahkan kalian dengan
sesuatu dari agama kalian, maka ambilah. Namun jika

22
23
aku memerintahkan kalian dengan sesuatu karena
pendapatku, maka aku hanya manusia biasa. Maka
inilah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dan yang
selainnya dari manusia ucapannya tidak bisa diterima
kecuali dengan dalil atau hujah yang jelas, di samping
pemuliaan kita kepadanya. Inilah apa yang kita telah
terdidik di atasnya melalui orang tua dan guru kami
Imam Muqbil Al-Wadi’i rahimahullah dan yang
dinukilkan dari salaf kita yang saleh…’.”
Aku katakan, lihatlah kebodohan dari penulis ini!
Apakah si penulis dan pemberi kata pengantar tidak
tahu bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak
berucap kecuali kebenaran dan kejujuran -ayah dan
ibuku yang menjadi tebusannya-. Rasulullah shallallahu
‘alaihi wa sallam tidak berucap atau berbuat sesuatu
yang berhubungan dengan agama melainkan dengan
wahyu dari Allah. Perhatikan kekejian ucapannya,
“Tidak bisa diterima kecuali dengan dalil atau hujah
yang jelas.” Tersamarkan baginya bahwa yang dia
jadikan sebagai sandaran ini (hadis ini) adalah yang
berkaitan dengan perkara-perkara dunia. Manusia lebih
mengetahui urusan dunia mereka; mencangkok pohon
kurma, bagaimana menanam, dan memanennya. Ini
semua tidak ada hubungannya dengan pensyariatan.
Adapun hal-hal yang disampaikan oleh para nabi dari

24
23
Allah, maka mereka ma’shum (terjaga dari kesalahan)
dari hal itu.
Imam Nawawi memuat sebuah bab dalam syarah
Shahih Muslim, Bab Wajibnya Melaksanakan Apa yang
Beliau Ucapkan (Secara Syari) Selain Perkara Dunia
yang Beliau Sebutkan karena Pendapatnya.
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah berkata dalam
Majmu’ Fatawa (18/12), “Artinya seluruh ucapan beliau
dapat diambil faedah syariat darinya, beliau shallallahu
‘alaihi wa sallam tatkala melihat mereka sedang
mencangkok pohon kurma maka beliau berkata, ‘Aku
tidak memandang hal ini’. Selanjutnya beliau berkata,
‘Aku hanya menduga-duga, maka janganlah kalian
menyalahkanku karena dugaan, namun jika aku
memberikan kabar kepada kalian tentang Allah maka
aku tidak akan berdusta atas nama Allah.’ Beliau
berkata, ‘Kalian lebih mengetahui urusan dunia kalian,
adapun urusan agama kalian maka itu (kembali)
kepadaku.’ Beliau tidak melarang para sahabat untuk
mencangkok, namun mereka keliru dalam dugaan
mereka bahwa Nabi melarangnya, sebagaimana orang
yang keliru dalam dugaannya bahwa yang dimaksud
dengan benang putih dan benang hitam adalah tali
putih dan hitam.”
Ibnul Qayyim rahimahullah berkata dalam Miftah
Daar Sa’adah (2/267), “Apa yang dikabarkan oleh Nabi
shallallahu ‘alaihi wa sallam terbagi dua; (1) apa yang

24
25
beliau sampaikan karena wahyu; ini adalah berita yang
sesuai dengan pemberi beritanya dari segala sisi, baik
dalam maupun luarnya, dan ini adalah berita yang
maksum; (2) apa yang beliau sampaikan karena
dugaannya; berita tersebut dalam urusan-urusan dunia
yang mana mereka lebih mengetahui hal itu dibanding
beliau, maka ini tidak berada pada jenis yang pertama
dan hukum-hukum tidak ditetapkan karenanya. Beliau
shallallahu ‘alaihi wa sallam telah mengabarkan
tentang diri beliau yang mulia dengan hal itu (jenis
kedua) dalam rangka membedakan 2 macam
(pembagian di atas). Tatkala beliau mendengar suara
mereka (para sahabat) sedang mencangkok kurma… .
Hadis ini sahih dan masyhur, dan merupakan bukti dan
tanda kenabian, sebab siapa yang tersamarkan atasnya
urusan-urusan dunia dan ketetapan Allah tentangnya
kemudian di saat yang lain dia membawa suatu ilmu
yang tidak mungkin seseorang bisa melihatnya kecuali
dengan wahyu dari Allah, lalu dia mengabarkan tentang
apa yang telah terjadi, yang akan terjadi, dan apa yang
akan terjadi sejak terjadi diciptakannya alam semesta
ini hingga penduduk surga dan neraka tinggal di tempat
masing-masing, perkara gaib yang ada di langit dan di
bumi, seluruh sebab -baik yang kecil maupun besar-
yang akan mengantarkan kepada kebahagiaan dunia
dan akhirat, seluruh sebab -baik yang kecil maupun
besar- yang akan mengantarkan kepada kesengsaraan
dunia dan akhirat, kemaslahatan dunia dan akhirat

25
26
beserta sebab-sebabnya dalam keadaan mereka yang
lebih mengetahui dunia dan urusan-urusannya, sebab-
sebab memperoleh dan sisi-sisi kesempurnaannya
(urusan dunia) melebihi beliau, demikian pula mereka
lebih mengetahui tentang ilmu perhitungan,
perancangan, teknik pembuatan, pertanian,
mengembangkan dunia, dan tulisan. Seandainya yang
dibawa oleh beliau bisa diperoleh melalui proses belajar,
berfikir, melakukan pengembangan, dan berbagai
metode yang ditempuh oleh manusia maka, mereka
lebih utama dan lebih dahulu dari beliau, karena sebab-
sebab yang bisa diperoleh dengan cara berpikir,
menulis, menghitung, meneliti, dan mengembangkan
ada di tangan mereka. Maka ini merupakan bukti
kenabian yang paling kuat dan tanda kejujurannya.
Sesungguhnya yang beliau bawa ini tidak ada sedikit
pun campur tangan manusia di dalamnya, demikian
pula tidak bisa diperoleh melalui kerja keras, berpikir,
dan meneliti. Hal itu tidak lain adalah wahyu yang
diwahyukan, diajarkan oleh Zat yang sangat kuat yang
mengetahui rahasia di langit dan bumi, diturunkan oleh
Zat yang Maha Mengetahui urusan gaib. Dia tidak
memperlihatkannya kepada seorang pun kecuali yang
diridai-Nya dari kalangan rasul… .”
Syaikh Al-‘Allamah Muhammad bin Shalih Al-
Utsaimin rahimahullah berkata dalam liqa’ bab Al-
maftuh, “Rasul shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
‘Kalian lebih mengetahui urusan dunia kalian .’ Ini

26
27
dalam urusan pembuatan dan penemuan. Apabila
seorang tukang kayu datang lalu ada yang berkata,
‘Bagaimana dia bisa membuat pintu?’ Apakah tukang
kayu yang mahir dalam membuat pintu tersebut lebih
berilmu ataukah Rasul shallallahu ‘alaihi wa sallam?
Jawabannya adalah tukang kayu, karena Rasul
berbicara tentang ini dalam hal pembuatan. Hal itu
ketika Nabi tiba di Madinah beliau mendapati manusia
menaiki pohon kurma lalu mengambil mayangnya,
setelah itu naik di atas kurma dan mencangkoknya,
berapa banyak manusia mengalami kelelahan? Empat
kali. Naik ke pohon yang rusak lalu turun, naik ke
pohon kurma dan turun darinya, empat kali,
membutuhkan kesungguhan dan waktu. Maka beliau
berkata kepada mereka, ‘Seandainya kalian tidak
melakukannya maka ia akan baik’, karena Rasul
shallallahu ‘alaihi wa sallam ingin agar seseorang itu
penuh pertimbangan dan waktunya tidak terbuang sia-
sia kecuali untuk faedah. Maka beliau menyangka
bahwa hal itu tidak berfaedah karena beliau memang
tidak hidup di negeri pertanian dan kurma. Di mana
beliau hidup? Makkah, negeri yang tidak ditemui
tumbuh-tumbuhan dan beliau sama sekali tidak tahu-
menahu tentang urusan ini (mencangkok). Maka
akhirnya mereka meninggalkan kurma itu tanpa
dicangkok dan kurma tersebut menjadi rusak dan
keluar menjadi mentah dan busuk. Setelah itu mereka
datang kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam

27
28
dan berkata, ‘Wahai Rasulullah, kurma telah rusak.’
Maka Nabi berkata kepada mereka, ‘Kalian lebih
mengetahui urusan dunia kalian’, yakni kalian lebih
berilmu tentang urusan pekerjaan dan pembuatan,
bukan dalam hal halal dam haram.
Aku katakan, sungguh para salafush-Shalih
berpegang dengan sunah Rasulullah shallallahu ‘alaihi
wa sallam seperti berpegangnya mereka dengan
Alquran karena seluruhnya adalah wahyu yang wajib
untuk diikuti. Salah seorang dari mereka tidak pernah
mengatakan bahwa sunah itu mayoritasnya adalah
wahyu atau dengan kalimat ucapan Rasul tidak boleh
diterima kecuali dengan dalil atau bukti yang jelas! Tiga
prinsip ini adalah:
1. dia menyalahkan Rasul, bahwa beliau telah keliru
dalam wasilah dakwah tauqifiyyah;
2. menetapkan bahwa sunah itu mayoritasnya
adalah wahyu;
3. (menyetujui) pendapat bahwa ucapan Rasul tidak
boleh diterima kecuali dengan dalil atau hujah
yang jelas.
Syaikh Shalih Al-Fauzan telah membantah hal ini
sebagaimana dalam rekaman suara beliau dalam
situsnya.
Penanya: “Apa hukum orang yang mengatakan bahwa
Sunah itu mayoritasnya adalah wahyu? Demikian pula

28
29
dia mengatakan bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa
sallam telah keliru dalam wasilah dakwah lalu ditegur
oleh Allah? demikian pula dia mengatakan bahwa Nabi
shallallahu ‘alaihi wa sallam dan yang selainnya ucapan
mereka tidak boleh diterima kecuali dengan hujah? Apa
hukum ucapan seperti ini? Dan apa hukum belajar
kepada orang yang mengucapkan seperti ini?”
Jawab: “Ini adalah ucapan yang buruk dan keji, tidak
boleh mendengar lalu diam atas ucapan ini. Ini adalah
perendahan terhadap Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa
sallam. Allah Jalla wa ‘Ala berfirman tentang beliau,
‘Tidaklah dia berucap sesuai hawa nafsunya, itu tidak
lain adalah wahyu yang diberikan kepadanya.’
Sementara orang ini menyalahkan Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam urusan agama,
padahal urusan agama adalah wahyu dari Allah.
Adapun urusan dunia, maka beliau bermusyawarah
dengan para sahabatnya, bukankah demikian? Adapun
urusan syariat, maka ini adalah tauqifiyyah, wahyu dari
Allah. “Tidaklah dia berucap sesuatu hawa nafsunya, itu
tidak lain adalah wahyu yang diberikan kepadanya.”

29
30
Prinsip keempat

Tuduhannya bahwa sahabat berpemahaman


Murji’ah dan sahabat tersebut belum
diketahui tobatnya.

Al-Hajury berkata dalam sebuah rekaman yang berjudul


Tabyiinul Kadzib wal Min…, penanya berkata, ucapan beliau
-Al-Hajury- tentang para sahabat Nabi shallallahu ‘alaihi wa
sallam, awal mula pemahaman murji’ah telah ada pada
zaman sahabat Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, dan orang
yang pertama kali mencentuskan pemahaman Murji’ah
adalah Utsman bin Madz’un ketika dia meminum khamar,
dan beliau menyandarkan ucapan ini kepada Ibnu
Taimiyyah?

Al-Hajury berkata, “Aku telah membawa sumber rujukan


yang dahulu kami ucapkan pendapat ini ketika ber-
mudzakarah bersama para ikhwan dengan menyandarkan
kepada Syaikhul Islam dan Ibnu Abil Izz. Seandainya orang
ini memiliki nasihat, maka dia akan membantah apa yang
telah berlalu… .”

Aku katakan, dia menyandarkan ucapan ini kepada dua


alim yang mulia dan mengacu pada Fatawa Syaikhul Islam
Ibnu Taimiyyah (11/303-304), ini adalah kebohongan atas
nama Syaikhul Islam rahimahullah. Sungguh kami telah

30
31
merujuk kepada juz dan halaman yang dia isyaratkan,
namun kami tidak mendapati apa yang dia (Al-Hajury)
sebutkan. Seandainya Syaikhul Islam mengucapkannya,
maka sudah pasti beliau akan dibantah. Beliau rahimahullah
tidak mungkin mengucapkannya, tidak mungkin beliau
mengotori dirinya dengan tuduhan batil ini terhadap
sahabat-sahabat Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam.

Syaikhul Islam rahimahullah berkata -sebagaimana-


dalam Majmu’ Fatawa (27/389-390), “Tidak didapati pada
mereka -sahabat- seorang pun yang berasal dari ahlul bidah
yang masyhur, seperti Khawarij, Rafidhah, Qadariyyah,
Murji’ah, dan Jahmiyyah, bahkan kelompok-kelompok ini
muncul setelah mereka (sahabat).”

Beliau berkata dalam Al-Nubuwwat (2/577), “Dalam


permasalahan iman, muncul kelompok Murji’ah. Keterangan
dari para sahabat telah tsabit (tetap) tentang penyelisihan
terhadap mereka (Murji’ah); mereka mengatakan bahwa
iman itu bertambah dan berkurang -sebagaimana hal itu
telah tetap dari para sahabat-.”

Beliau berkata dalam Majmu’ Fatawa (8/458),


“Kemudian pada akhir zaman para sahabat muncul bidah
Murji’ah dan Qadariyyah.”

Beliau berkata ketika menceritakan peristiwa yang


dialami oleh Qudamah bin Madz’un sebagaimana dalam
bantahan beliau kepada Al-Bakry (253-254), “Oleh karena
itu, manakala sebagian sahabat dan tabiin seperti Qudamah
bin Madz’un dan para sahabatnya menghalalkan untuk
meminum khamar dan mereka menyangka bahwa itu
dibolehkan bagi siapa yang beramal saleh -sesuai dengan

31
32
yang mereka pahami dalam ayat Al-Ma’idah-, maka para
ulama dari kalangan sahabat seperti Umar, Ali, dan
selainnya sepakat bahwa mereka diminta untuk bertobat.
Jika mereka tetap bersikeras untuk menghalalkannya maka
mereka telah kafir. Jika mereka mengakuinya maka
dicambuk. Mereka tidak mengkafirkan Qudamah dan para
sahabatnya -dari awal- karena syubhat yang menimpa
mereka hingga kebenaran dijelaskan. Jika mereka bersikeras
untuk terus menyangkal, maka mereka telah kafir.”

Ibnul Qayyim berkata dalam I’lam Al-Muwaqqi’in


(1/394-395), “Qudamah bin Madz’un memahami firman Allah,
۟ ُ‫وا َّوءَا َمن‬
( ‫وا‬ ۟ َ‫ط ِع ُم ٓو ۟ا إِذَا َما ٱتَّق‬
َ ‫ح فِي َما‬
ٌ ‫ت ُجنَا‬ َّ َّٰ ‫وا ٱل‬
ِ ‫ص ِل َّٰ َح‬ ۟ ُ‫ع ِمل‬ ۟ ُ‫علَى ٱلَّذِي َن ءَا َمن‬
َ ‫وا َو‬ َ ‫) لَي‬
َ ‫ْس‬
‘Tidak ada dosa bagi orang-orang yang beriman dan
mengerjakan amalan yang saleh karena memakan makanan
yang mereka makan, apabila mereka bertakwa serta
beriman…’, bahwa meminum khamar tidak berdosa (selama
dia beriman dan bertakwa, pen-) hingga Umar menjelaskan
kepada beliau bahwa tidak boleh baginya untuk meminum
khamar. Seandainya beliau mencermati konteks ayat ini
maka beliau akan memahami maksudnya. Maksud dari ayat
ini adalah mereka tidak berdosa terhadap apa yang telah
mereka makan dalam keadaan bertakwa kepada-Nya pada
makanan itu. Hal itu akan terwujud dengan cara menjauhi
makanan-makanan yang diharamkan oleh Allah, sehingga
ayat ini tidak mencakup makanan yang diharamkan Allah
sama sekali.”

32
33
Prinsip kelima

Al-Hajury terjatuh dalam salah satu pendapat


Qadariyyah dan Mu’tazilah, yang mana di
antara prinsip mereka adalah orang yang
mencari kebenaran -dengan mencurahkan
segala kemampuannya- pasti dia akan
menemukannya.

Hal ini disetujui oleh Al-Hajury. Dia berkata dalam


Syarah Akidah Al-Wasithiyyah (142), “Apa yang terjadi pada
ahlul ahwa’ berupa keserampangan, maka itu karena
kekurangan mereka dalam mencari kebenaran dan
mencapainya. Sebaliknya, siapa yang mencari kebenaran
pasti dia akan mendapatkannya.”

Aku katakan, orang yang mencari kebenaran terkadang


dia temukan dan terkadang pula tidak, sebab taufik semata-
mata hanya dari Allah. Dialah yang menunjuki siapa yang
dikehendaki-Nya dan Dia pula yang menyesatkan siapa yang
dikehendaki-Nya. Syaikhul Islam rahimahullah berkata
dalam Minhajus-Sunnah (5/84), “Ucapan seseorang,
‘Sesungguhnya Allah telah meletakkan suatu petunjuk pada
kebenaran dalam setiap permasalahan, yang mana hal itu
akan memungkinkan bagi setiap orang yang bersungguh-
sungguh serta mencurahkan kemampuannya untuk bisa
mengetahui kebenaran itu. Setiap orang yang tidak
mengetahui kebenaran dalam permasalahan ushul (pokok)
ataupun far’i (cabang), maka itu karena kelalaiannya untuk

33
34
mengetahui hal-hal yang diwajibkan atasnya, bukan karena
kelemahannya.’ Ucapan ini adalah ucapan yang masyhur dari
Qadariyyah dan Mu’tazilah, serta ini merupakan salah satu
pendapat dari sekelompok ahlul kalam selain mereka
(Mu’tazilah, dll).” Beliau juga berkata dalam Minhajus-
Sunnah (5/111), “Seorang mujtahid yang mencari kebenaran,
baik itu seorang imam, hakim, alim, dua orang yang sedang
berdialog, mufti, dan yang selainnya, apabila dia berijtihad
dan bertakwa kepada Allah semampunya. Maka inilah yang
Allah bebankan atasnya, dia adalah orang yang bertakwa
kepada Allah dan berhak mendapatkan pahala jika bertakwa
kepada Allah semampunya, serta Allah tidak akan
menghukumnya. Berbeda halnya dengan Jahmiyyah
Jabriyyah, orang ini (dianggap sebagai) orang yang benar,
yaitu orang yang taat kepada Allah, akan tetapi terkadang
dia mengetahui kebenaran di saat itu dan terkadang pula
tidak. Berbeda pula halnya dengan Qadariyyah dan
Mu’tazilah, menurut pandangan mereka bahwa siapa yang
mencurahkan kesungguhannya maka dia akan mengetahui
kebenaran. Ini adalah ucapan yang batil (sebagaimana telah
berlalu penjelasannya), bahkan siapa yang mencurahkan
kesungguhannya maka dia berhak mendapat pahala.

34
35
Prinsip keenam

Al-Hajury menganggap baik sebuah bait syair


dari akidah Safariniyyah yang mana bait syair
tersebut berjalan di atas mazhab Asy’ariyyah, di
mana penyair menganggap bisa saja Allah
mengazab hamba-hamba tanpa dosa.

Al-Hajury berkata dalam Syarah akidah Safariniyyah


(152), “Ucapan penyair, ( ‫ من غير ما ذنب و‬.......‫و جاز للمولى يعذب الورى‬
‫‘ ) ال جرم جرى‬Bisa saja Allah mengazab makhluk… tanpa dosa
dan kejahatan yang dilakukan’, lebih bagus dari bait syair ini
adalah ucapan Ath-Thahawy rahimahullah dalam Aqidah
Ath-Thahawiyah:
( ‫ و كلهم‬،‫ و يضل من يشاء و يخذل و يبتلي عدال‬،‫يهدي من يشاء و يعصم و يعافي فضال‬
- ‫سأَلُوْ َن‬ َ ‫سأ َ ُل‬
ْ ُ‫ع َّما يَفْعَ ُل َوهُ ْم ي‬ ْ ُ‫ الَ ي‬: ‫ قال هللا تعالى‬،‫يتقلبون في مشيئته بين فضله و عدله‬
‫علَيْكُ ْم‬
َ ‫ٱَّلل‬
ِ َّ ‫ض ُل‬ َ
ْ ‫ َولَوْ َال ف‬: ‫ و هللا سبحانه و تعالى عفو كريم قال هللا تعالى‬،- ٢٣ ‫األنبياء‬
َّٰ
‫ فالفضل هلل تعالى‬-٢١ ‫النور‬- ،‫شآ ُء‬ َ َّ ‫َو َر ْح َمتُهُۥ َما زَ ك ََّٰى مِنكُم ِمنْ أَ َح ٍد أَ َبدًا َولَ ِك َّن‬
َ ‫ٱَّلل ُيزَ كِى َمن َي‬
‫من قبل و من بعد فلو أن هللا عذب العباد جميعا ما كان ظالما لهم و إن رحمهم فبفضل‬-
.‫) منته و كرمته‬

“Allah menunjuki siapa yang Dia kehendaki, menjaga dan


menyelamatkan karena karunia-Nya. Allah menyesatkan
siapa yang Dia kehendaki, menghinakan dan menguji karena
keadilan. Seluruhnya berada dalam kehendak-Nya, antara
keutamaan dan keadilan-Nya. Allah berfirman, ‘Dia tidak
ditanya tentang apa yang Dia lakukan, mereka yang akan
ditanya.’ (Al-Anbiya’: 23). Allah Maha Pemaaf lagi Mulia,
Allah berfirman, ‘Sekiranya bukan karena kurnia Allah dan

35
36
rahmat-Nya kepada kalian, niscaya tidak seorang pun dari
kamu bersih (dari perbuatan-perbuatan keji dan mungkar
itu) selama-lamanya, tetapi Allah membersihkan siapa yang
dikehendaki-Nya.’ (An-Nur: 21). Keutamaan semata-mata
hanya milik Allah -sebelum dan sesudahnya-, kalau
seandainya Allah mengazab hamba seluruhnya, maka Allah
tidak zalim kepada mereka. Dan jika Dia merahmati, maka
itu karena murni pemberian dan kemuliaan-Nya.”

Aku katakan, bait syair ini adalah batil, (bait ini) berjalan
di atas mazhab Asy’ariyyah dan Jahmiyyah. Para imam
dakwah dalam ta’liq (catatan) mereka terhadap Syarah
Safariniyyah telah mengritik bait ini, lalu bagaimana hal ini
bisa tersamarkan atas Al-Hajury? Lihat ta’liq mereka dalam
Al-Anwar Al-Bahiyyah (1/322), lihat pula ta’liq Abdurrahman
bin Qasim terhadap As-Safariniyyah pada halaman 53, dan
silahkan lihat pula syarah Al-Utsaimin dan Al-Fauzan atas
Safariniyyah…
Maka ucapan Al-Hajury, “Yang lebih bagus dari bait ini...”
Kalimat lebih bagus, ini pada babnya tersendiri, yang
bermakna ini bagus meskipun ada yang lebih bagus.

Al-‘Allamah Ibnul Qayyim rahimahullah berkata dalam


Miftah Daaris-Sa’adah (2/107), “Berdasarkan hal ini, mereka
menganggap bisa saja Allah mengazab setiap hamba-Nya
meskipun hamba itu seorang yang taat. Mereka tidak
memandang hal itu sebagai kezaliman karena ‘ Dia tidak
ditanya tentang apa yang Dia lakukan, dan merekalah yang
akan ditanya’ (Al-Anbiya’: 23). Nabi shallallahu ‘alaihi wa
sallam bersabda,‘Seandainya Allah mengazab penduduk

37
36
langit dan bumi, maka Allah akan mengazab mereka dalam
keadaan tidak zalim…’.” Aku katakan, dalil-dalil inilah yang
digunakan oleh Al-Hajury dan para pengikutnya, sementara
ahlusunah mengatakan, “Sesungguhnya Allah tidak akan
mengazab seseorang yang tidak berdosa, itu bukan karena
kelemahan Allah, akan tetapi keadilan, hikmah, dan rahmat
Allah, sebagaimana hal ini dibuktikan oleh dalil dari Alquran
dan sunah yang menunjukkan atas mulianya orang yang
taat. Ini adalah janji dari Zat yang menepati janji, Mulia,
mampu, dan Maha Kaya. (Dari ucapan Aba Bathin dalam
catatannya terhadap Lawami’ Al-Anwar).

Yang mengherankan adalah para pengikut Al-Hajury


dalam situs mereka -Al-Ulum- mempertahankan dan
membela syaikh mereka dengan penuh kejahilan yang
memalukan. Duhai kiranya mereka menerima hujah-hujah
yang jelas ini, justru mereka menambah (kebodohan) atas
syaikh mereka dengan menyebutkan hadis ‘Seandainya Allah
mengazab penduduk langit dan bumi…’ tanpa memahami
maknanya. Syaikh Shalih Al-Fauzan hafizhahullah berkata
dalam syarah Safariniyyah pada halaman 122, “Adapun yang
disebutkan dalam hadis ‘Seandainya Allah mengazab
penduduk langit…’, maka maknanya adalah seandainya
Allah menghitung atas setiap nikmat yang telah dia berikan
kepadamu, kebaikan-kebaikan yang telah engkau lakukan,
maka kebaikan-kebaikan tersebut tidak akan sebanding
dengan nikmat yang telah Dia berikan kepadamu, tidak
sebanding sedikit pun... .’ Kami katakan, ini adalah batil
pada hak Allah Subhanahu waTa’ala karena tidak sesuai
dengan (sifat)-Nya, yaitu Dia memberi nikmat kepada orang
kafir dan mengazab seorang mukmin, ini tidak sesuai dengan
hikmah dan rahmat-Nya Subhanahu waTa’ala. Telah datang

37
38
dalil-dalil dari Alquran dan sunah di mana Allah
menyediakan surga-surga bagi orang-orang yang bertakwa
dan neraka bagi orang-orang yang kafir. Inilah yang
disebutkan dalam Alquran dan sunah. Lalu bagaimana
mungkin kalian mengatakan bisa saja Allah mengazab
manusia yang tidak berdosa dan tidak melakukan
kejahatan?” (Selesai ucapan Syaikh Al-Fauzan dalam syarah
Safariniyyah halaman 121).

Syaikhul Islam rahimahullah berkata dalam Fatawa


Al-Kubra (1/75), “Hadis yang terdapat dalam Sunan,
‘Seandainya Allah mengazab penduduk langit dan bumi,
maka Allah akan mengazab dalam keadaan tidak zalim
kepada mereka; seandainya Dia merahmati mereka, maka
rahmat-Nya untuk mereka lebih baik dari amalan mereka’,
ini menjelaskan bahwa seandainya azab itu terjadi maka itu
karena mereka berhak mendapatkannya, bukan karena tidak
berdosa. Ini menjelaskan bahwa termasuk kezaliman yang
dinafikan adalah menghukum makhluk yang tidak berdosa.”

Kesimpulannya adalah Al-Hajury menganggap baik


bait syair ini dan berdalil dengan dalil dari Asya’irah dan
menguatkan bait tersebut dengan bait yang setelahnya:
‫ألنه عن فعله ال يُسأل‬.....‫فكل ما منه تعالى يج ُمل‬

Semua yang berasal dari-Nya baik


Karena tentang perbuatan-Nya tidak ditanyakan
19
Al-Hajury menguatkan pemahaman yang batil ini dengan
ucapannya dalam syarah Safariniyyah pada halaman 154,
“Maknanya adalah semua yang berasal dari Allah Ta’ala

38
39
adalah baik karena Allah tidak ditanya tentang perbuatan-
Nya.”

Al-‘Allamah Al-Utsaimin rahimahullah berkata dalam


syarah Safariniyyah pada halaman 340-341, “Sesungguhnya
menghukum orang yang taat tidaklah baik, sehingga alasan
ini tidak tepat.” Beliau rahimahullah juga berkata pada
halaman 342, “Karena jika dia mengatakan, ‘Seluruh
perbuatan Allah itu baik’, maka kita katakan, ‘Tidak ada
yang baik dalam menghukum seorang yang taat.’ Jika dia
mengatakan, ‘Allah tidak ditanya tentang perbuatan-Nya’,
maka kita katakan, ‘Ini dalam rangka mencegah sebab yang
mengharuskan mendapat pahala atau hukuman’.” Pada
halaman ke-340, beliau berkata, “Beliau memberikan 2
alasan: (1) segala sesuatu yang berasal dari Allah adalah
baik; (2) Allah tidak ditanya tentang perbuatan-Nya,
sebagaimana firman-Nya, ‘Dia tidak ditanya tentang
perbuatan-Nya, merekalah yang akan ditanya’ (Al-Anbiya’:
23). Namun ucapan dan alasan ini adalah batil, kami tidak
mengatakan lemah, bahkan ini adalah batil karena
menyelisihi dalil yang jelas di dalam Kitabullah.”

Ucapan Al-Hajury dalam syarah Safariniyyah pada


halaman 153, “Allah Subhanahu wa Ta’ala menyucikan
jiwanya dari mengazab siapa saja yang tidak berhak untuk
diazab. Dalil dalam permasalahan ini sangat banyak… .”
kemudian dia menyebutkan sejumlah dalil. Aku katakan,
siapa yang menyangka bahwa ucapan ini bisa memberi
syafaat untuk Al-Hajury maka dia adalah orang yang bodoh,
tidak mengetahui inti perselisihan antara kita dengan
Asya’irah; ucapan ini diucapkan oleh Asya’irah.
Sesungguhnya, inti perselisihan antara kita dengan Asya’irah

39
40
adalah boleh atau tidaknya, dan bukan terjadinya. Oleh
karena itu, Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah rahimahullah
berkata dalam Minhajus-Sunnah (3/90), “Sesungguhnya
perselisihan mereka adalah dalam hal boleh atau tidaknya,
dan bukan terjadinya.” Lalu apa maksud ucapan Al-Hajury,
“Lebih baik darinya”? Seandainya Al-Hajury memahami titik
perselisihan antara kita dengan Asya’irah, maka dia akan
mengatakan, “Ini batil, berjalan di atas mazhab Asya’irah.”
Dia menegaskan hal itu dengan cara berdalil dengan ayat
yang tidak dijadikan sebagai dalil kecuali oleh Asya’irah,
setelah itu dia menambah tanah semakin basah ketika dia
menyetujui penyair tersebut pada ucapannya:
‫ ألنه عن فعله ال يُسأل‬.....‫فكل ما منه تعالى يجمل‬

Al-Hajury mengatakan, “Maksudnya adalah semua yang


berasal dari Allah adalah baik karena Dia tidak ditanya
tentang apa yang Dia lakukan…”

Berbeda dengan Syaikh Ibnu Utsaimin yang mana beliau


mengetahui titik perselisihan, beliau mengingkari ini
seluruhnya, dan sebelum itu adalah para imam dakwah -
sebagaimana hal itu tertulis dalam catatan-catatan mereka
atas Safariniyyah- semoga Allah merahmati semuanya.

40
41
Prinsip ketujuh

Dia mengklaim bahwa ahlusunah adalah


kelompok yang paling dekat dengan kebenaran.

Al-Hajury berkata dalam rekamannya yang berjudul


Tabyiin Al-Kadzib wal Min, “Orang ini berkata bahwasanya
kami mengatakan ahlusunah adalah kelompok yang paling
dekat dengan kebenaran, ini bukan ucapan kami saja,
bahkan ini adalah ucapan syaikh kami dan ini masyhur dan
disebutkan dari beliau yang diketahui oleh murid-muridnya
yang mulia yang tidak seperti dirimu wahai orang yang
hina!” Al-Hajury menulis sebuah risalah yang menurutnya
itu adalah bantahan atas Syaikh Ubaid Al-Jabiry
hafizhahullah -yang sebenarnya dia membantah ahlusunah
dan manhaj mereka yang benar-. Risalah itu berjudul
Luthfullah bi Al-Khalq min Mujazafaat Asy-Syaikh Ubaid wa
Ramyihi bi Al-‘Adza’im ‘Ala Man Qoola Ahlussunnah Aqrobu
Ath-Thawa’if ila Al-Haq.
Syaikhul Islam berkata dalam Minhajus-Sunnah (4/313),
“Barang siapa yang menempuh jalan ahlusunah, maka
ucapannya akan lurus dan dia termasuk ahlul haq, istiqamah
dan adil. Jika tidak, maka dia akan terjatuh dalam
kebodohan, kedustaan, dan kontradiksi seperti keadaan
orang-orang yang sesat itu.” Beliau juga berkata dalam
Majmu’ Fatawa (6/598), “Abu Muhammad Qutaibah pada
awal kitab Mukhtalaful Hadits ketika beliau menyebutkan
ahli hadis dan para imamnya serta para ahli kalam dan
ulama-ulamanya, maka beliau mengikutkan penyebutan

41
42
imam ahli hadis dan sifat ucapan dan amalan-amalan
mereka serta sifat ahli kalam, ucapan-ucapan dan perbuatan
mereka, hal itu menjelaskan kepada setiap orang bahwa
ahlul hadis adalah ahlul haq dan ahlul huda, serta selain
mereka lebih condong kepada kesesatan, kebodohan, dan
kebatilan.”

Aku katakan, tidak perlu berlama-lama dalam


permasalahan ini, demikian pula tidak perlu untuk
menetapkan batilnya ucapan Al-Hajury tentang hal ini. Aku
cukupkan dengan apa yang telah dikatakan oleh syaikh kami
Ubaid Al-Jabiry dan itu telah tersebar. Aku akan
menambahkan fatwa dari Syaikh Shalih Al-Fauzan
hafizhahullah, beliau ditanya, “Wahai Syaikh yang mulia -
semoga Allah memberi taufik kepada anda-, bolehkah
berkata tentang ahlusunah bahwa mereka adalah kelompok
yang paling dekat dengan kebenaran?” Beliau menjawab,
“Mereka adalah ahlul haq, merekalah ahlul haq. Merekalah
yang berada di atas al-haq. Disebut ‘paling dekat’ jika
padanya ada sedikit kesesatan atau tidak ada, ini disebut
‘paling dekat’, adapun ahlusunah -alhamdulillah-, mereka
tidak memiliki kesesatan, mereka adalah ahlul haq.” (Dari
pelajaran Akhshar Al-Mukhtasharat).

Dari sini tampaklah bahwa Al-Hajury telah berdusta atas


nama Syaikhul Islam dan Syaikh Al-Fauzan, serta telah
mengada-ada sesuatu yang tidak diyakini oleh keduanya.
Akan datang pada poin yang terakhir berbagai kedustaan
dan bagaimana dia memotong ucapan para ulama.

Al-‘Allamah Zaid Al-Madkhali hafizhahullah ditanya,


“Semoga Allah memberi balasan terbaik kepada Anda.
Bagaimana pendapat anda dengan pernyataan berikut,

42
43
‘Ahlusunah adalah kelompok yang paling dekat dengan
kebenaran’, apakah ungkapan ini benar atau salah?” Beliau
menjawab, “Tidak, tidak benar. Ahlusunah adalah ahlul haq,
namun mereka tidak maksum dari terjatuh pada kesalahan
dan penyelisihan yang tidak mengeluarkan mereka dari jalan
kaum mukminin. Orang yang berjalan di atas sunah jika dia
berbuat kesalahan maka dia akan rujuk, meninggalkan
kesalahan dan beristigfar untuk dosanya. Adapun
kemaksuman, maka ini hanya milik para rasul dan para nabi
yang mulia, bukan milik siapa pun setelah mereka. Maka
ungkapan ini tidak benar. Ahlusunah tidak boleh dikatakan
kelompok yang paling dekat, bahkan merekalah ahlul haq
dan ahlusunah. Tidak mesti dari hal ini mereka tidak salah
dan terjatuh dalam penyelisihan -baik itu karena kebodohan
atau kesengajaan- yang hal itu tidak mengeluarkan mereka
dari ahlusunah.”

Syaikh kami Abdullah bin Abdurrahim Al-Bukhari


hafizhahullah berkata, “Ungkapan yang sampai kepada kami
dari saudara Yahya, aku telah mendengarnya, yaitu
ucapannya ‘ahlusunah adalah kelompok yang paling dekat
dengan kebenaran’, ungkapan ini adalah batil dan sangat
jelas kebatilannya. Aku telah bertanya kepada syaikh kami
Al-‘Allamah Rabi’ Al-Madkhali dan syaikh kami Muhammad
Al-Madkhali3, maka seluruhnya mendukung Syaikh Ubaid
dalam membantah ucapan ini.”

Syaikh Al-Muhaddits Muqbil bin Hadi Al-Wadi’i


rahimahullah berkata dalam Riyadh Al-Jannah pada

3. Beliau telah di-tahdzir oleh Syaikh Rabi’ dan Syaikh


Ubaid hafizhahumallah.

43
44
halaman 23, “Manusia yang paling dekat untuk diterapkan
kepada mereka sifat-sifat ini adalah ahlul hadits. Para ulama
-tidak hanya satu- telah berkata, ‘Sesungguhnya yang
dimaksud dengan hadis yang diriwayatkan oleh Bukhari dan
Muslim dari Sahabat Muawiyah dan Mughirah bin Syu’bah
dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, ‘Akan senantiasa ada
sekelompok dari umat ini yang tegak di atas perintah Allah;
tidak membahayakan mereka orang-orang yang menyelisihi
mereka hingga datang perintah Allah’, yang dimaksud
dengan hadis ini adalah ahlul hadits karena mereka tidak
fanatik terhadap satu mazhab, mereka hanya fanatik untuk
kebenaran. Dan tidak sepantasnya hanya membatasi pada
ahli hadis saja, orang yang saleh yang mengikuti kebenaran,
dia pun termasuk bagian dari firqah najiyah (golongan yang
selamat) meskipun dia bukan ahli hadis, hanya saja ahli
hadis adalah golongan yang pertama kali masuk dalam hadis
ini.”

Aku katakan, inilah ucapan yang jelas dari Syaikh Muqbil


rahimahullah, yaitu orang yang saleh yang mengikuti
kebenaran termasuk bagian dari firqah najiyah (golongan
yang selamat), bukan yang paling dekat!

Al-Hajury telah memotong ucapan ini hingga mencocoki


keinginannya, di mana dia menukil ucapan yang sama dalam
bantahannya (Luthfullah bi Al-Khalq…) dan memotong
ucapan berikut, “Para ulama -tidak hanya satu- telah
berkata, ‘Sesungguhnya yang dimaksud dengan hadis yang
diriwayatkan oleh Bukhari dan Muslim dari Sahabat
Muawiyah dan Mughirah bin Syu’bah dari Nabi shallallahu
‘alaihi wa sallam, ‘Akan senantiasa ada sekelompok dari

44
45
umat ini yang tegak di atas perintah Allah; tidak
membahayakan mereka orang-orang yang menyelisihi
mereka hingga datang perintah Allah’, yang dimaksud
dengan hadis ini adalah ahlul hadis karena mereka tidak
fanatik terhadap satu mazhab, mereka hanya fanatik untuk
kebenaran, dan tidak sepantasnya hanya membatasi pada
ahli hadis saja, orang yang saleh yang mengikuti kebenaran,
dia pun termasuk bagian dari firqah najiyah (golongan yang
selamat) meskipun dia bukan ahli hadis, hanya saja ahli
hadis adalah golongan yang pertama kali masuk dalam hadis
ini’.” Apakah seorang muslim diperkenankan untuk
memotong ucapan yang jelas yang di dalamnya disebutkan
bahwa seorang yang saleh yang mengikuti kebenaran maka
dia termasuk bagian dari firqah najiyah walaupun bukan ahli
hadis, lalu bagaimana lagi dengan ahli hadis yang tidak
fanatik pada mazhab mana pun!?

Pada musim haji tahun ini kami berjumpa dengan


sebagian masyaikh yang mulia, maka salah seorang
masyaikh Yaman4 mengatakan, “Seandainya yang
mengucapkan ungkapan ini (ahlusunah adalah kelompok
yang paling dekat dengan kebenaran) adalah Syaikh
Abdurrahman, maka Syaikh Al-Hajury dan para pengikutnya
akan mengatakan, ‘Segala puji bagi Allah yang telah
menampakkan hizbiyahnya melalui lisannya sendiri, maka
inilah, dia telah mengakui dengan lisannya sendiri bahwa dia
tidak di atas kebenaran. Akan tetapi manakala yang
mengucapkannya adalah Syaikh Al-Hajury, maka
perkaranya menjadi terbalik, akhirnya mereka membela

4. Sebelum terjadinya fitnah pada sebagian masyaikh


Yaman.

45
46
ucapan yang keliru ini!” Dalam kitab Al-Kanz Ats-Tsamin
milik Al-Hajury (5/41), dia berkata, “Kita tidak bisa
menerima (anggapan) bahwa Al-Ikhwanul Muslimun
termasuk ahlusunah, demikian pula Jama’ah Tabligh,
mereka lebih dekat (dengan ahlusunah) dibanding kelompok
yang lain.”

Aku katakan, Al-Hajury menganggap bahwa Al-Ikhwanul


Muslimun dan Jama’ah Tabligh lebih dekat (dengan
kebenaran) dibandingkan sebagian kelompok dalam keadaan
dia mengetahui kesesatan mereka!

Al-Hajury berkata dalam bantahannya yang berjudul


Luthfullah bi Al-Khalq…, “Namun kalimat (lebih dekat)
adalah fi’il (kata kerja wazan af’alu) tafdhil yang
mengandung makna musyarokah (saling bergabung) dan
ziyadah (penambahan) sebagaimana hal itu telah diketahui.
Maka pada kalimat ini (menunjukkan) bahwa ahlusunah
lebih utama dari kelompok-kelompok yang sesat tersebut
manakala Allah memberi mereka taufik kepada sunah yang
hal itu tidak diberi kepada mereka (kelompok sesat). Cukup
bagimu untuk mengatakan apa yang dikatakan oleh Ibnu
Katsir ketika menafsirkan firman Allah, ‘Berbuat adilah, itu
lebih dekat kepada takwa’ (Al-Maidah: 8), beliau
rahimahullah berkata, ‘Firman Allah ‘... itu lebih dekat
kepada takwa’, ini dalam rangka menggunakan fi’il (wazan
af’alu) tafdhil pada tempat yang tidak ada sedikit pun pada
sisi yang lainnya yang merupakan bagian darinya,
sebagaimana pula pada firman Allah, ‘Penghuni-penghuni
surga pada hari itu paling baik tempat tinggalnya dan paling
indah tempat istirahatnya’ (Al-Furqan: 24). Demikian pula

46
47
seperti ucapan sebagian wanita dari kalangan sahabat
kepada Umar, ‘Engkau orang yang lebih keras dan kaku dari
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam (Muttafaqun
‘alaihi).”
Aku katakan, Al-Hajury menggunakan kalimat )‫)أقرب‬
‘lebih dekat’ sesuai dengan keinginannya, tidak ada ukuran
yang tepat dalam menentukannya. Kita tidak memiliki apa-
apa menghadapi orang ini melainkan mengangkat pengaduan
kita kepada Allah Ta’ala, kembali kepada-Nya dalam
keadaan bersabar dan mengaharap pahala sambil
mengatakan, “Kesejahteraan atas dirimu, kami tidak ingin
bergaul dengan orang-orang yang bodoh.”

47
48
Prinsip kedelapan

Dia mengkalim bahwa Iblis, Fir’aun, dan kaum


musyrik mendakwahkan Tauhid Rububiyyah.

Al-Hajury berkata dalam bantahannya yang


berjudul Tabyiinu Al-Kadzib wa Al-Min, “Ya, Tauhid
Rububiyyah telah didakwahkan oleh Firaun… dan
kaum musyrik… ini telah dikatakan oleh penulis kitab
Fathul Majid dan seluruh ahlusunah, yaitu Tauhid
Rububiyyah telah didakwahkan oleh kaum musyrik.
Dahulu mereka tidak bodoh tentangnya. Dalil dalam
permasalahan ini sangat banyak, yang mana dahulunya
mereka mengajak kepada Tauhid Rububiyyah.”

Aku katakan, aku tidak memiliki komentar apa pun


atas hal ini, semata-mata menukil ucapan ini sudah
cukup untuk (menggambarkan) rendahnya ucapan ini.
Al-Hajury dan para pengikutnya menganggap para
ulama berjalan di atas jalan setan, Fir’aun, Haman,
Ubay bin Khalaf, Abdullah bin Salul, dan kebanyakan
dukun! Sebagaimana dalam kitab yang berjudul Al-
Khiyanah Al-Dakwiyyah halaman 81. Bahkan Al-Hajury
membela mati-matian ucapan yang buruk ini
sebagaimana dalam rekaman suaranya, dan penulis
kitab itu menyalin suara tersebut dalam bentuk tulisan

48
49
lalu dimasukkan -berdalil dengannya- ke dalam kata
pengantar yang baru untuk kitab tersebut ( Al-
Khiyanah).
Sungguh orang yang serampangan ini sangat
mengherankan, yang mana dia menganggap Fir’aun
termasuk dai yang mengajak kepada tauhid, namun
sebaliknya dia menghukumi salafiyyun berjalan di atas
metode Fir’aun, kaum munafik, dan kebanyakan dukun!

49
50
Prinsip kesembilan

Dia berpendapat, membawa ucapan yang


mujmal (global) kepada ucapan yang
mufashshal (terperinci).

Al-Hajury berkata dalam kitabnya yang berjudul Al-


Kanz Al-Tsamin! Fi Al-Ajwibah ‘ala As’ilah Thalabati Al-
‘Ilmi wa Al-Za’iriin (4/461). Pertanyaan: “Apakah ucapan
yang global dari seorang alim diarahkan kepada
ucapannya yang terperinci?” Jawab: “Apabila alim ini
pada asalnya (dikenal dengan) sunah dan membela
sunah, lalu pada sebagian tempat didapati suatu ucapan
yang menyelisihi apa yang diyakininya, maka ucapan
yang menyelisihi keyakinan yang jelas ini diarahkan
kepada keyakinannya yang benar, karena kita berbaik
sangka kepadanya dan kita mengenalnya dengan
kebaikan. Jika dia masih hidup, maka diajak berdiskusi
dan dijelaskan kebenaran kepadanya. Jika dia telah
meninggal, maka dia kembali pada -apa yang telah
diketahui dari- akidah asalnya, alhamdulillah.”
Cukup untuk membantah ucapan ini adalah apa yang
telah ditulis oleh syaikh kami Al-‘Allamah Rabi’ bin
Hadi Al-Madkhali hafizhahullah dan apa yang telah
beliau tulis dalam makalah yang berjudul Tanbih Abi

50
51
Al-Hasan… sebagaimana dalam Al-Majmu’ halaman 43,
“Siapa yang keliru, baik itu dengan ucapan atau
perbuatan maka dikatakan, ‘Anda telah keliru’, dan
tidak dikatakan, ‘Ucapan yang global itu dibawa pada
ucapan yang terperinci.’ Terkadang dia bisa dihukum
sesuai dengan kadar bahaya ucapannya tersebut. Bisa
jadi dicambuk, dibunuh, ta’zir, dikafirkan, atau di-tabdi’
(divonis ahli bidah). Seandainya kita mengamalkan
manhaj ini -membawa ucapan yang mujmal kepada
yang mufashshal….- maka akan hilang Agama Allah
dan hak-hak hamba, sementara Agama Allah tegak di
atas menjaga kemaslahatan dan menolak kerusakan.”

51
52
Prinsip kesepuluh

Tidak membedakan antara ahli bidah yang


mengajak kepada bidahnya dan ahli bidah yang
tidak mengajak kepada bidahnya, -itu semua
dalam rangka mengikuti Al-Haddad-.

Al-Hajury berkata dalam sebuah rekaman,


“Pembagian ahli bidah menjadi dai dan bukan dai
adalah pembagian yang batil, walaupun itu ditemukan
dalam kitab-kitab dan dilanjutkan oleh orang-orang
yang membagi hal itu. Karena, jika engkau tidak
melihatnya mengajak dalam bentuk ucapan, maka dia
mengajak kepada bidah dalam bentuk perbuatan dalam
keadaan manusia melihat (sehingga) orang-orang awam
tertipu dengan perbuatannya tersebut. Dakwah bisa
dengan ucapan dan perbuatan, tidak terbatas pada
perbuatan saja. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam salat
di atas mimbar dan bersabda, ‘Hendaknya kalian
menjadi makmum di belakangku dan agar kalian
mengetahui tata cara salatku.’ Beliau mengajari
manusia dengan ucapan dan perbuatan. Jarang engkau
dapati seorang dai ahli bidah yang tidak mengajak
kepada bidahnya dengan lisannya, maka dia mengajak

52
53
dengan perbuatannya, sehingga pembagian ini adalah
batil, tidak di atas dalil, tidak di atas dalil dan tidak
diketahui.”
Al-Hajury mengkalim bahwa dia mampu
membantah pembagian ini dalam bantahan yang
mencapai jilid kecil.
Syaikhul Islam rahimahullah berkata dalam Majmu’
Fatawa (28/205), “Ini adalah hakikat dari ucapan para
salaf dan para imam, yaitu sesungguhnya para dai yang
mengajak kepada bidah, persaksian mereka tidak
diterima, tidak salat di belakang mereka, dan wanita
mereka tidak dinikahi. Ini adalah hukuman untuk
mereka agar berhenti. Oleh sebab itu, mereka
membedakan antara dai dan bukan dai, karena kalau
dia seorang dai, maka dia memperlihatkan
kemungkaran sehingga berhak untuk dihukum, berbeda
dengan yang menyembunyikan.”
Syaikh kami Al-‘Allamah Rabi’ berkata dalam
Majmu’ Al-Wadhih fi Radd Manhaj wa Ushul Falih
halaman 53, “Mengikutkan dengan ahli bidah, ini tidak
secara mutlak menurut salaf dan imam-imam mereka.
Bahkan mereka membedakan antara dai dan bukan dai.
Mereka men-tahdzir dari dai tersebut, tidak duduk
bersamanya, dan tidak mengambil ilmu darinya.
Bahkan jika dia bersikeras dalam penentangan dan
terus mengajak kepada bidahnya, maka terkadang
dihukumi untuk dibunuh, sebab dai tersebut -menurut

53
54
mereka (para salaf)- lebih berbahaya dari para
perampok yang memerangi Allah dan Rasul-Nya.
Adapun bukan dai yang tergolong orang yang jujur dan
terpercaya, maka terkadang mereka mengambil ilmu
darinya dalam rangka menjaga syariat serta berhati-
hati agar tidak ada satu pun syariat yang hilang.”
Aku katakan, tidak ada perselisihan di kalangan
salaf dalam hal ini; siapa yang mengingkarinya maka
dia wajib mendatangkan (adanya) perselisihan (yang
terjadi di kalangan salaf), sementara Al-Hajury
menganggap batil ucapan salaf. Kita berlindung kepada
Allah dari kehinaan.
Aku mengajak para pembaca kepada satu
permasalahan, yaitu Al-Hajury benar-benar
serampangan dalam menentukan dhabit bidah. Dia
menetapkan bahwa lafaz Al-Ihdats (mengada-ada)
tidaklah menunjukkan kecuali pada bidah yang tercela
yang tidak boleh untuk dilakukan, dan hal itu tanpa ada
perincian (darinya) sebagaimana yang disebutkan dalam
kitabnya Al-Jum’ah halaman 422. Setelah itu Al-Hajury
menganggap perkara-perkara dunia yang tidak ada
hubungannya dengan ibadah sebagai muhdats (perkara
baru yang diada-adakan) dalam agama. Ini di antara
keajaiban-keajaibannya. Dalam tahqiq Al-Hajuri untuk
kitab Wushul Al-Amaani fii Ushul Al-Tahaani karya Al-
Suyuthi halaman 64, “Yang benar dalam hal ini adalah

54
55
bahwa melakukan nitsar5 dengan tata cara yang
dimaklumi pada kebanyakan orang saat ini adalah
perkara yang muhdats. Nabi shallallahu ‘alaihi wa
sallam menikahi sejumlah wanita namun tidak
dinukilkan bahwa beliau pernah melakukan nitsar
ketika melakukan prosesi akad nikah! Demikian pula
para sahabatnya dan orang-orang yang mengikuti
mereka dengan baik hingga hari ini. Aku telah melihat
bahwa tidak ada satu dalil pun yang tsabit tentang
permasalahan nitsar, sebagaimana hal itu telah
ditetapkan oleh para penghafal hadis -rahimahumullah-.
Ini sudah cukup bagiku untuk menjelaskan
permasalahan ini.”
Aku katakan, Al-Hafizh Ibnu Abi Syaibah memuat
suatu bab dalam kitab beliau Al-Mushannaf (6/305)
pada pembahasan al-buyu’ wa al-aqdhiyah dengan bab
Fii Natsri al-Juuz wa al-Sukkar fi al-‘Urs, setelah itu
beliau menyebutkan sejumlah atsar, di antara mereka
ada yang membolehkannya secara mutlak dan
memandang hal itu tidak mengapa, seperti Hasan dan
Sya’by, di antara mereka ada yang membencinya,
seperti Ikrimah. Ini menunjukan bahwa permasalahan
ini -yaitu nitsar- adalah permasalahan yang masyhur
dan ma’ruf di sisi mereka.

5. Menghidangkan makanan-makanan ringan pada


acara pernikahan.

55
56
Al-Hajury berkata dalam kitabnya yang berjudul Al-
Mafhum Al-Shahih li al-Taisir fi Hadyi Al-Basyir Al-
Nadzir halaman 25, “Pernikahan ini yang orang-orang
barat menyebutnya dengan pernikahan friend’s wedding
-dengan bahasa asing- allahul musta’an. Di sisi kaum
muslimin membuat nama baru untuk pernikahan ini,
mereka menyebutnya dengan zawaj al-taisir -menurut
mereka-, yaitu seseorang boleh untuk melangsungkan
akad nikah dengan seorang wanita meskipun tanpa
(kewajiban memberi) tempat tinggal, mengumumkan
pernikahan, menjaganya (wanita itu), tanggung jawab,
mendidik anak-anaknya, dan hal-hal lain yang
berkaitan dengan pernikahan, yang ada hanya sebatas
akad. Pernikahan ini adalah perkara yang muhdats
(diada-adakan) dalam Agama Allah.”

56
57
Prinsip kesebelas

Al-Hajury menyebutkan aib para sahabat -


mengikuti kaum Rafidhah musuh para sahabat-
, disertai klaimnya bahwa sebagian sahabat
telah ikut andil dalam membunuh Utsman
radhiyallahu ‘anhu dan klaimnya bahwa azan
Utsman yang kedua adalah bidah yang sesat,
sebagaimana dalam kitabnya Al-Jum’ah
halaman 303.

Al-Hajury berkata dalam kitabnya Ahkam Al-


Jum’ah halaman 305, “Aku katakan hal itu karena
mereka tidak maksum dari kesalahan, (misalnya)
perang Jamal, Shiffin; saling melempar batu antara
jamaah masjid Quba; tuntutan Zubair kepada sebagian
orang Anshar dalam pengairan tanah; kisah Syarik bin
Samha dengan istri Hilal bin Umayyah; kisah Al-
Juhaniyah; kisah Himar yang meminum khamar lalu
diperintahkan untuk dihukum kemudian Nabi bersabda,
‘Sesungguhnya dia mencintai Allah dan Rasul-Nya’;
perselisihan antara Abu Bakar dan Umar di hadapan
Rasulullah tentang utusan Bani Tamim; ada yang
mengatakan, ‘Wahai Rasulullah, angkatlah fulan
sebagai pemimpin untuk seseorang dari mereka’,
sementara yang lain mengatakan, ‘Angkatlah fulan

57
58
sebagai pemimpin’; demikian pula peristiwa al-ifk
(tuduhan dusta kaum munafik terhadap Ummul
Mu’minin Aisyah radhiyallahu ‘anha) dengan berbagai
perselisihan dan saling caci sesama mereka hingga
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam diam dan
menenangkan mereka; seseorang yang menjual sebagian
makanan dalam keadaan di bawah atau di tengahnya
basah; perselisihan sebagian Muhajirin dengan Anshar
hingga dua kelompok tersebut saling menyeru, ‘Wahai
kaum Muhajirin tolonglah’, orang-orang Anshar
berkata, ‘Wahai kaum Anshar tolonglah’, maka Nabi
shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, ‘Apakah kalian
menyeru dengan seruan jahiliah padahal aku berada di
tengah-tengah kalian! Tinggalkanlah, sesungguhnya itu
sangat busuk!’; ikut sertanya sebagian sahabat dalam
membunuh amirul mu’minin Utsman radhiyallahu
‘anhu; Usamah bin Zaid membunuh seseorang yang
dahulunya adalah musyrik, kemudian dia mengucapkan
‘laa ilaaha illallaah’ lalu beliau membunuh orang
tersebut setelah dia mengucapkannya, maka Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wa sallam marah kepadanya dan
mengatakan, ‘Apakah engkau membunuhnya setelah dia
mengatakan laa ilaaha illallaah?’ Maka beliau berkata,
‘Wahai Rasulullah, dia mengatakan karena ingin
berlindung diri’, Nabi berkata, ‘Apakah engkau telah
memeriksa hatinya?’; sahabat membunuh Hisl -karena
keliru-, ayah dari Hudzaifah bin Yaman pada
peperangan; fatwa Abu Musa -yang keliru- tentang

58
59
warisan saudari perempuan, anak perempuan, dan anak
perempuan dari anak laki-laki… .”
Aku katakan, ini adalah metode ahli bidah dan
bukan metode ahlusunah, karena manhaj ahlusunah
wal jamaah tentang sahabat adalah kita membenci
siapa yang dibenci oleh mereka dan mereka (orang yang
dibenci para sahabat) tidak disebutkan dengan kebaikan
serta tidak menyebutkan para sahabat kecuali dengan
kebaikan. Apabila para ulama salaf baik yang terdahulu
dan yang setelah mereka dari kalangan tabiin -ahlul
khair dan atsar, ahli fikih dan memiliki pandangan yang
tajam- mereka tidak disebut-sebut kecuali dengan
kebaikan dan siapa yang menyebut mereka dengan
keburukan maka dia tidak berada di atas jalan -yang
lurus-. Lalu bagaimana lagi dengan para sahabat
radhiyallahu ‘anhum yang mana mencintai mereka
adalah iman dan ihsan, sementara membenci mereka
adalah kekufuran, kemunafikan, dan perbuatan
melampaui batas.
Al-Hajury menghapus ungkapan ini pada cetakan
yang kedua tanpa ada isyarat sedikit pun! Apakah dia
telah bertobat dari kesalahan yang keji ini? Kami
memohon kepada Allah semoga hal itu benar. Akan
tetapi di mana penjelasannya? Dalam keadaan cetakan
pertama dari kitab itu telah tersebar di berbagai pasar
dan perpustakaan.

59
60
Termasuk bentuk kelancangan Al-Hajury adalah
bentuk kejahatannya terhadap azan Utsman, di mana
dia menyebut azan Utsman tersebut dengan sebutan
bidah induk. Maka berdasarkan hal ini, Utsman telah
membuat sunah yang buruk menurut Al-Hajury. Dia
berkata dalam kitabnya, Ahkam Al-Jum’ah pada
halaman 415, “Aku katakan, bidah ini lahir dari bidah
induk tersebut. Bidah azan pertama dan ini memiliki
cabang-cabang kecil selain hal ini dan akan datang
penyebutannya… .”
Dia menyebut azan Utsman dengan sebutan sesat
dan mungkar. Dia berkata dalam kitabnya Ahkam Al-
Jum’ah, “(Terkadang dikatakan, ‘Sesungguhnya bidah
ini -bidah azan pertama pada hari Jumat- termasuk
perbuatan kebaikan karena mengingatkan manusia
agar bersiap-siap untuk melaksanakan salat Jumat.’
Aku katakan, sejak kapan kebaikan itu bersumber dari
bidah? Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
‘Setiap bidah adalah sesat dan setiap kesesatan di
neraka’, yakni pelaku tersebut -dengan amalan
bidahnya- berhak mendapat hukuman neraka sesuai
dengan tingkatan perbuatan bidahnya. Dalil ini
menunjukkan bahwa azan ini bukan termasuk
perbuatan kebaikan. Demikian pula apa yang disebut
dengan al-ula dan al-tsaniyah, yaitu bertasbih -sebelum
kedatangan imam- dengan suara yang tinggi dan
berirama, ‘Subhaanallaah walhamdulillaah wa laa
ilaaha illallaah wallaahu akbar’, atau dengan ucapan,

60
61
‘Washshalaatu wassalaamu ‘alaa rasuulillaah’ atau
lafaz-lafaz buatan yang lainnya sesuai dengan
kebiasaan suatu tempat. Maka ini semua adalah
mungkar dan sesat, bukan kebaikan -baik sedikit atau
pun banyak-, seandainya itu adalah kebaikan maka
sudah pasti Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam
menunjukkannya kepada kita).”
Siapa yang pada dirinya ada sesuatu terhadap para
sahabat atau tidak berbaik sangka dan berkata baik
kepada mereka secara lahir batin, maka dikhawatirkan
ada kemunafikan dalam dirinya -sesuai dengan kadar
keburukan padanya-. Sungguh Syaikh Al-Baihani -
semoga Allah mengampuninya- telah melakukan
kesalahan atas Al-Aqra’ bin Haabis di dalam kitab
beliau Ishlah Al-Mujtama’ dalam keadaan Al-Hajury
tidak mengingkarinya dalam tahkiknya yang berjudul
Al-Lam’u halaman 544. Al-Baihani berkata, “Al-Aqra’
bin Haabis adalah seorang yang berperangai kasar dan
keras hati.” Penulis kitab Al-Lam’u (Al-Hajury) tidak
menggerakkan mulutnya sama sekali, seakan-akan dia
memiliki manhaj khusus terhadap para sahabat.
Qudamah bin Madz’un -menurut Al-Hajury- memiliki
keyakinan Murji’ah, Utsman melakukan bidah azan, Al-
Aqra’ seorang yang berperangai kasar dan keras hati,
mereka (para sahabat) tidak maksum dengan dalil
mereka telah ikut andil dalam membunuh Utsman!

61
62
Prinsip kedua belas

Ghuluw terhadap pribadi Al-Hajury dan dia


ridai sebagai manhaj untuknya

Permasalahan ghuluw termasuk permasalahan


besar yang menjadi penyebab terpecahnya persatuan
dan bahkan menambah luka menjadi parah. Ghuluw
tidaklah membawa kecuali keburukan dan kerusakan
besar yang membakar seluruhnya. Sesungguhnya orang
yang berakal sehat akan mengetahui dengan sebenar-
benarnya bahwa metode yang ditempuh oleh Yahya Al-
Hajury adalah metode yang ghuluw, cara yang hina, dan
menyelisihi manhaj ahlusunah. Dia membantah para
ulama dengan menggunakan metode yang membabi
buta, dan sebaliknya dia menyangka termasuk bagian
dari mereka (ulama) -padahal dia bukan bagian dari
mereka-. Al-Hajury berkata dalam rekaman yang
berjudul As’ilah Ashab Lahj, “Mereka adalah gembel,
aku menganggap mereka sebagai gembel, tentunya.
Para ulama tidak berucap, para ulama tidak berucap,
apa (posisi) saya di sini? Sopir? Atau apa? Para ulama
tidak berucap dan berbicara, aku di sini sebagai sopir di
hadapanmu atau bagaimana.”
Aku katakan, berapa banyak metode seperti ini
begitu menyedihkan, yang mana para pengikut dan
orang-orang yang cinta kepadanya mengatakan:

62
63
‫رأيت هللا صيركم إماما‬
‫بال وهللا ليس بذا خفاء‬
‫فسر فإن هللا هيأكم ألمر‬
‫عظيم ليس يعدله إزاء‬
‫ستصبح شامة بجبين عز‬
‫فإن هللا يفعل ما يشاء‬

“Aku memandang bahwa Allah telah


menjadikan anda sebagai imam
Tentu, demi Allah itu tidaklah samar
Berjalanlah, sungguh Allah telah
menyiapkan anda untuk suatu
Perkara agung yang tidak ada yang
sama di hadapan-Nya
Anda akan menjadi tanda pada dahi kemuliaan
Karena Allah berbuat apa yang Dia kehendaki.”

63
64
Seorang penyair berkata -dalam keadaan Al-Hajury
sedang mendengarkannya-:
‫تعصبكم و تألبكم أعلى إخواني أم حسني‬
‫أم يا قوم على عالمنا و إمام الثقلين اليمني‬
“Fanatisme dan perlawanan kalian, apakah atas
Ikhwani atau Hasani
Ataukah Wahai kaum, atas alim kami imam jin dan
manusia al-Yamani.”
Al-Hajury berkata, “Bagus, kritikan yang bagus, hati-
hati, hati-hati.”
Setelah itu, sikap ghuluw ini dicetak pada kitab Al-
Khiyanah Al-Da’wiyyah pada halaman 118-119 dengan
kata pengantar dari Al-Hajury, namun dengan lafaz
yang lain:
‫طعنك هذا في عالمنا‬
‫و إمام الثقلين اليمني‬
“Celaanmu ini kepada alim kami
Imam bangsa jin dan manusia Al-Yamani.”

64
65
Seorang penyair berkata pada kitab yang sama pada
halaman 109:
‫لو ذوبوه لذاب لحمه سنة‬
‫و لصار آيات الكتاب الباقي‬
“Seandainya mereka melelehkannya maka dagingnya
akan meleleh menjadi sunah
Dan menjadi tanda (kebesaran) Alquran yang kekal.”

Yang paling mengherankan adalah penyair ini berkata


pada akhir (syair) ghuluw ini pada halaman 112:
‫فلربما عذل العذول قصيدتي‬
‫و يقول هذا القطع لألعناق‬
‫يا عاذلي دعني حبي شيخنا‬
‫كدمي و مخي حل في أعماقي‬

“Mungkin saja orang-orang mencela syairku ini


Dan mengatakan (syair ini) akan menyembelih leher-
leher
Wahai orang yang mencelaku, biarkanlah aku karena
kecintaanku kepada syaikh kami
Bagai darah dan otakku telah menyatu dalam hatiku.”

65
66
Aku katakan, ini tidak akan menyembelih leher-leher,
karena leher Yahya Al-Hajury telah disembelih dengan
sikap ghuluw oleh para pengikutnya sejak dahulu. Akan
tetapi, perbuatan kalian ini akan menyembelih agama!
Alhamdulillah, telah sampai kepada kami berita bahwa
sebagian penyair telah bertobat dari ucapan buruk yang
mungkar yang diucapkan di hadapan Al-Hajury, akan
tetapi kami tidak mendengar ada tobat dari Al-Hajury!
Oleh karena itu, aku membawakan (bukti) yang buruk
ini karena (adanya) persetujuan -Iqraar- Al-Hajury serta
tidak ada pengingkaran atas penyair tersebut, bahkan
justru dia rida dengan hal itu, apakah ada tobat?
Seorang penyair berkata -dalam keadaan Al-Hajury
mendengarkan tanpa ada pengingkaran-:

“Beliau (Al-Hajury) memiliki sifat


dari Rasul, yaitu kemurahan hati ‫و له من الماحي الرسول سماحة‬
Dari Ali sifat pemberani yang tangguh
‫و من العلي شجاعة و توثب‬
Dari khalifah sepeninggal Muhammad
(Abu Bakar) ‫و من الخليفة بعد موت محمد‬
Tekad kuat yang lebih kokoh dari besi
Dari (Umar) Al-Faruq kewibawaan ‫عزم أشد من الحديد و أصلب‬
suaranya
Di sisi musuh dan orang yang ‫و له من الفاروق هيبة صوته‬
memperlihatkan rasa cintanya
Dari Ibnu Affan kedermawanan ‫عند العدو و عند من يتحبب‬
hatinya
Pada punggungnya pakaian ‫و من ابن عفان سخاوة نفسه‬
kedermawanan yang terus diseret
Jika dia membaca Alquran ketika ‫و إذا تال القرآن عند صالته‬
salatnya

67
67
Maka kami katakan, ‘(Inilah) Abu
‫قلنا أبو موسى الزبيدي األعذب‬
Musa Az-Zabidy yang sangat
menyenangkan’
‫هو خالد عند الحروب مجالد‬
Dia adalah Khalid ketika berperang
Akan tetapi dia ketika mendekat ‫لكنه عند الدنية جندب‬
adalah Jundub
Dari Ad-Dausy (Abu Hurairah) ‫و له من الدوسي حفظ حديثه‬
hafalan hadisnya
Waktunya untuk (melakukan) ‫و زمانه في الصالحات مركب‬
kebaikan adalah kendaraannya
Dari Ibnu Abbas ilmunya yang ‫و من ابن عباس غزارة علمه‬
banyak
Engkau akan mendapatinya ‫تلفيه يفتي و األنامل تكتب‬
berfatwa dan jari-jari yang akan
menulisnya ‫و من المعاوية ابن صخر حلمه‬
Dari Muawiyah bin Shakhr
kelembutannya ‫صدر رحيب كالفالة و أرحب‬
Hati yang lapang bagai padang
pasir yang luas dan hatinya lebih ‫إال إذا انتهكت لديه محارم‬
luas (dari itu)
Kecuali jika keharaman dilakukan ‫ضاق الفضاء و للمهيمن يغضب‬
di sisinya
Maka tanah lapang itu menjadi ‫و له من ابن العاص جل دهاءه‬
sempit dan dia marah karena Al-
Muhaimin (Allah Ta’ala) ‫في الحادثات محنك و مجرب‬
Dari Ibnu Al-‘Ash ketajaman
pandangannya ‫و من ابن حنبل صبره و بالؤه‬
Dalam berbagai peristiwa dia
berpengalaman dan telah teruji ‫و ثباته كالطود ال يتذبذب‬
Dari Ibnu Hanbal kesabaran dan
ujiannya (yang dialaminya) ‫و من اإلمام الشافعي ذكاؤه‬
Dan keteguhannya bagai gunung
yang tak bergetar ‫طول المدى بعد العلوم ينقب‬
Dari imam Syafi’i kecerdasannya
Batasan yang sangat panjang ‫و من ابن تيمية العظيم جهاده‬
setelah ilmu-ilmu itu digali
Dari Ibnu Taimiyyah jihadnya yang ‫ضد البواطل ال يكل و ال يتعب‬
besar
Melawan kebatilan tidak lemah dan ‫و من االمام الوادعي صالبة‬
tidak pernah letih
Dari Imam Al-Wadi’i kekokohannya

68
68
Dari Ibnu Baz pemikiran dan
adabnya ‫و من المحدث ناصر تصنيفه‬
Dari Al-Muhaddits Nasir karyanya
Untuk kitab-kitab dan menyebarkan ‫للكتب في نشر الشريعة يدأب‬
syariat adalah kebiasaannya
Dari Al-Utsaimin at-Tamimi ‫و من العثيمين التميمي فقهه‬
kefakihannya
Dia tinggal dan mengajar, tidak ‫يبقى يدرس ال يمل و ينصب‬
bosan dan dia tetap tegak
Dan berbagai keutamaan yang aku ‫و فضائل لم أستطع إحصائها‬
tidak mampu untuk menghitungnya
Tidak, atas semisalku bisa ‫كال على مثلي تغيب و تصعب‬
tersembunyi dan sulit (untuk
menyebutkan keutamaannya).”

Aku katakan, tidak ada yang rida dengan perbuatan


ghuluw seperti ini kecuali orang yang sakit dan senang
pujian, atau orang yang memiliki penyakit jiwa
sehingga perlu untuk diseret menuju rumah sakit jiwa.
Kemudian, bagaimana cara untuk bertobat bagi orang-
orang yang memandang amalan buruk mereka sebagai
kebaikan, ini adalah jihad -menurut mereka-, karena
padanya terdapat pembelaan terhadap imam tsaqalaini
(jin dan manusia) Al-Yamani yang layak mendapat
berbagai keutamaan ini -di sisi mereka-. Setelah itu
lihatlah bagaimana ketidakmampuan penyair ini untuk
menghitung berbagai keutamaan imam Al-Yamani ini
karena sangat banyaknya, maka berbagai keutamaan
itu hilang dan sulit untuk diungkapkan oleh penyair ini.
Seorang penyair berkata:

69
69
“Seandainya Asy-Syafi’i memiliki ‫فلو للشافعي لقاء ود بكم‬
kesempatan untuk berjumpa dengan
penuh cinta dengan kalian ‫لبدى به بكم احتفاء‬
Maka akan tampak bagi beliau -melalui
anda- hal-hal yang tersembunyi baginya ‫و لو يحيي بن قطان رآكم‬
Seandainya Yahya bin Qaththan melihat
kalian ‫لقدمكم و النقطع المراء‬
Maka beliau akan mengutamakan anda
dan akan selesailah perselisihan ‫و لو أن الخطيب له لقاء‬
Seandainya Al-Khatib berjumpa dengan
kalian ‫بكم ما شك أنكم الوعاء‬
Maka dia tidak akan ragu bahwa anda
adalah wadah (ilmu) ‫و لو بشر رآك دنى بزهد‬
Seandainya Bisyr (Al-Marisiy) melihat
anda, maka dia akan mendekat dengan ‫و هان بأحمد حق بالء‬
penuh kezuhudan
Dan akan ringan bagi Ahmad (bin ‫و لو أحيا االله رجال علم‬
Hanbal) cobaannya
Seandainya Allah menghidupkan para
‫لقالوا أنت يحيى الضياء‬
pembawa ilmu
Maka mereka akan mengatakan, anda
wahai Yahya (pemberi) cahaya.”

Salah seorang penyair berkata:

Syaikh Yahya bagai pedang yang


sangat tajam ‫فالشيخ يحيى كالحسام مهند‬
Tebasannya sangat hebat kepada
ahlul batil ‫ضرباته للمبطلين الفاقرة‬
Makhluk-makhluk percaya ‫وثق األنام بعلمه و فهمه‬
dengan ilmu dan pemahamannya
Beliau dicintai oleh hati-hati ‫و تحبه كل القلوب الطاهرة‬
yang suci.”

70
70
Aku katakan, sangat jauh wahai Yahya! Jenggotmu
belum memutih dalam ilmu, sejak kapan makhluk-
makhluk percaya dengan ilmu dan pemahamanmu!
Adapun tebasan-tebasannya yang hebat, maka itu
telah tersebar dan terdengar. Berikut -wahai pembaca-
sebagian contoh dari tebasan-tebasan tersebut yang
bersumber dari ucapan Al-Hajury:
“Kencingilah! Anjing pasar, keledai pasar, … , …, banci-
banci, kaum homo, jamban, tahi, dai Islam (yang
bertujuan) menjilat, keluar di antara para penari,
seperti keledai qat (sejenis ganja), budak dirham,
wajahnya seperti nenek sihir, pendusta suka berkata
kotor, kloset wc, gonggongan anjing, buang ke wc, hizby
yang hina dan bukan sebatas hizby saja, wahai anak
sapi! Wahai yang berakal lemah! Kelelawar, bodoh,
wahai bighal, orang yang hina, anjing murahan, dajjal,
fajir, pengkhianat, kaidah-kaidahnya seperti kotoran
kambing, otaknya lebih hina dari kotoran ayam, fulan
adalah pendusta, pengkhianat, berbahaya, suka
menganggap enteng, dajjal, penipu, fulan adalah sapu
tangan dari si fulan yang dia gunakan untuk
membersihkan hidungnya… .” Demikian seterusnya,
kumpulan kamus tebasan-tebasan hebat yang mana kita
belum pernah mendengarnya kecuali dari Yahya Al-
Hajury. Seorang penyair berkata tentang Yahya Al-
Hajury:

71
71
‫مهما جموع المبطلين تعاظمت‬
‫تبقى أمام الشيخ يحيى صاغرة‬

“Betapa pun jumlah ahlul batil berkumpul


Ia akan hina di hadapan Syaikh Yahya.”

Seorang yang menganut paham Rafidhah berkata


tentang Ali -dalam keadaan dia ghuluw kepada beliau-:

‫و رأت قسورا لو اعترضته ال‬


‫إنس و الجن في وغا أفناها‬

“Dia melihat seorang anak muda pemberani seandainya


Dia dihalangi oleh bangsa jin dan manusia maka dia
akan membinasakannya.”

Apa perbedaan antara 2 sikap ghuluw ini? Kelompok


besar akan hina di hadapan Yahya, terlebih lagi dia
adalah imam tsaqalain (jin dan manusia).
Wahai para pengikut Al-Hajury! Sungguh kalian
telah mengenyangkan Al-Hajury dengan sanjungan dan
pujian yang penuh dengan sikap ghuluw. Aku bertanya-
tanya, dari mana sikap ghuluw iblis ini datang, yang
mana apinya padam pada zaman Syaikh al-Muhaddits
Muqbil Al-Wadi’i -rahimahullah-. Siapa yang
membangkitkan keburukan ini yang semakin

72
72
bertambah bahayanya? Sesungguhnya ini termasuk
pencapaian Al-Hajury pada zaman keemasannya!
Sungguh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam telah
menarbiah para sahabatnya di atas perbaikan akidah,
membela tauhid, mengajak kepada pemurnian ibadah
hanya untuk Allah Ta’ala, tidak menyekutukan-Nya,
dan memutus segala sarana yang bisa jadi mengantar
kepada mengangkat kedudukan makhluk melebihi
kedudukan-Nya.
Perhatikanlah -wahai para pembaca- bagaimana
bentuk istighatsah kepada Al-Hajury dari seorang
penyair, dia berkata:

‫و لما رأيت ركب يحيى مسافرا‬


‫إلى الحج إال استغثت مناديا‬
‫أيا شيخ أدركني فإني من الجوى‬
‫أكفكف دمعي من فراقك باكيا‬
“Tatkala aku melihat kendaraan Yahya berjalan
Menuju (ibadah) haji, (maka) tidak ada melainkan aku
beristighatsah sambil menyeru
Wahai Syaikh tunggulah aku karena aku sangat sedih
Aku menghapus air mata dan menangis karena
berpisah denganmu.”

73
73
Aku katakan, apakah ini syair ahlusunah? Tidak akan
bermanfaat ucapan penyair, maksudku seperti ini…
yang aku inginkan…
Mungkin ada yang mengatakan, tidakkah Al-Hajury
diberi uzur karena kebodohannya (penyair), bisa jadi
orang ini tidak tahu kesalahan, ketergelinciran, dan
ghuluw yang diucapkan di hadapan Al-Hajury ini?
Terlebih lagi Al-Baihani menyebutkan sebuah bait milik
Al-Bushiry yang di dalamnya terdapat kesalahan akidah
yang berbahaya, yaitu seluruh Nabi berusaha meraih
dan memohon kepada Nabi kita shallallahu ‘alaihi wa
sallam!! Dan Al-Hajury tidak mampu memberi catatan
kaki atas bait ini dalam ta’liq-nya (Al-Lam’u). Bait ini
adalah ucapan Al-Bushiry (yang dinukil) dalam kitab
Ishlah Al-Mujtama’ dan ta’liq-nya yaitu Al-Lam’u pada
halaman 29:

“Seluruhnya memohon kepada Rasul ‫وكلهم من رسول هللا ملتمس‬


Satu cidukan dari air lautan dan
satu hisapan dari air hujan.” ‫الديم‬ ‫غرفا من البحر أو رشفا من‬

Aku katakan, ini bukan sesuatu yang mustahil (artinya


bisa saja terjadi), namun apa yang wajib dilakukan oleh
orang yang bodoh jika dia telah diajari? Bukankah yang
wajib baginya adalah bertobat dibarengi dengan terima
kasih kepada orang yang telah menasihatinya.

74
74
Prinsip ketiga belas

Ghuluw dalam menetapkan hukum terhadap


lawan meskipun lawan tersebut
adalah seorang alim.

Sungguh, Al-Hajury dan para pengikutnya telah


bersekutu dengan ahli bidah untuk mencela para ulama
dan para penuntut ilmu yang mulia. Akhirnya sebagian
situs-situs gelap menukil celaan atas ahlusunah ini
dengan penuh riang gembira atas celaan dan makian
terhadap para ulama guru-guru kita.
Al-Hajury berkata -sebagaimana dalam rekaman
suaranya tentang syaikh kami Ubaid -hafizhahullah-,
“Demi Allah! Dikhawatirkan ada kezindikan padanya,
dikhawatirkan dia keluar dari agama jika dia melawan
agama ini dan tetap berada di atas kedustaan ini.
Tidaklah jauh dari firman Allah, ( ‫ٱَّلل‬ ُ َّ َ‫فَلَ َّما َزاغُ ٓو ۟ا أَ َزاغ‬
ُ َّ ‫ٱَّلل قُلُوبَ ُه ْم ۚ َو‬
َّٰ َ ‘Maka tatkala mereka berpaling (dari
ِ َ‫)ال يَ ْهدِى ٱ ْلقَ ْو َم ٱ ْلف‬
َ‫س ِقين‬
kebenaran), Allah memalingkan hati mereka; dan Allah
tidak memberi petunjuk kepada kaum yang fasik’ (Ash-
Shaff: 5).” Mungkin ada yang mengatakan, “Apakah
sampai seperti ini keadaan Al-Hajury (dalam) menuduh
lawannya?”
Aku katakan, sebabnya adalah Al-Hajury meyakini
bahwa siapa saja yang berbicara dan melawannya maka
konsekuensinya adalah kehinaan di dunia dan akhirat.

75
75
Al-Hajury berkata dalam sebuah rekaman yang berjudul
Taujihat wa Nasha’ih, “Aku katakan -dengan terus
terang-, alangkah mengerikannya musibah (yang akan
dialami) oleh siapa saja yang melawan markiz ini,
alangkah mengerikannya! Benar, Allah akan hinakan di
dunia dan akhirat.” Tidak ada perbedaan antara markiz
(Dammaj) dan Al-Hajury, karena Al-Hajury adalah
markiz dan markiz adalah Al-Hajury. Ini, demi Allah,
adalah kebohongan besar atas Allah Ta’ala.
Al-Hajury berkata dalam rekaman As’ilah Ahli Al-
Khaishah, “Tahdzir terhadap kami adalah tahdzir
terhadap Dammaj.”
Seorang penyair berkata dalam Al-Malhamah Asy-
Syi’riyyah:

‫و إن قلتما في الشيخ يحيى مرامنا‬


‫فدماج يحيى و األمين هيا هيا‬

“Jika kalian katakan bahwa Syaikh Yahya adalah


tujuan kami Maka Dammaj adalah Yahya dan Al-Amin
adalah dia (Dammaj).”

Bahkan termasuk di antara bentuk ghuluw Al-Hajury


adalah dia mengklaim bahwa belajar di sisinya di
Dammaj selama 1 tahun sama dengan 10 tahun jika

76
76
belajar kepada selainnya. Al-Hajury berkata dalam Al-
Kanzu Al-Tsamin (5/245), “Oleh karena itu, engkau
akan dapati orang yang tinggal di sini -yakni di sisinya
di Dammaj- dengan bersungguh-sungguh selama 1
tahun, itu sama dengan 10 tahun di tempat yang
lainnya.”
Oleh karena itu, mungkin saja Al-Hajury pura-pura
menangis atas umat ini (akan keberadaan) para
masyaikh dan para penuntut ilmu di berbagai negeri
Islam, bahkan para penuntut ilmu yang berada pada
dua kota suci (Makkah dan Madinah), bagaimana
mungkin mereka membuang dengan percuma usia dan
masa muda mereka serta menghabiskan waktu yang
banyak dan tidak melakukan rihlah kepada Al-Hajury
sehingga mereka bisa belajar darinya selama 1 tahun
dibandingkan 10 tahun di tempat yang lain! Apalagi
Dammaj adalah Yahya dan Al-Amin adalah dia
(Dammaj). Di antara bentuk ghuluw-nya adalah apa
yang dia ucapkan tentang Syaikh Ubaid sebagaimana
dalam rekaman yang berjudul As’ilah Ashab Al-Dais Al-
Syarqiyyah, “Semoga Allah menghinakan Ubaid
sebagaimana Allah telah menghinakan setan.”
Mengapa? Karena -menurut mereka- Ubaid
melaksanakan dan menerapkan perintah-perintah
setan. Seorang penyair berkata dalam Al-Tankil li maa
‘inda ‘Ubaid min Al-Mujazafaat wa al-Abaathil, ini
terdapat dalam situs Al-Hajury:

77
77
‫هذا يدل على ما أنت تحمله‬
‫من الفجور و للشيطان تمتثل‬
“Ini menunjukkan atas apa yang engkau bawa
Berupa kefajiran dan karena setan engkau
melakukannya.”

Apalagi Syaikh Ubaid -di sisi mereka- telah mengambil


peran iblis. Seorang penyair berkata dalam Bada’tahaa
Anta fa Tahammal ‘Awaaqibahaa:

‫إبليس من جنة الرحمن أخرجنا‬


‫الدور‬
ُ ‫بنصحه و عبيد جاءه‬
“Iblis dari Surga Ar-Rahman kami keluarkan
Dengan nasihatnya, dan Ubaid yang menggantinya.”

Aku tidak tahu, mengapa mereka banyak menyebutkan


kalimat setan dan iblis. Al-Hajury berkata tentang
syaikh kami Ubaid, “Fatwa apa ini?! Ini fatwa
iblisiyyah, benar. Ini adalah fatwa iblisiyyah
syaithaniyyah yang ditiupkan oleh iblis. Celakalah
Ubaid Al-Jabiry, celakalah Ubaid, benar demi Allah!
Demi Allah aku tidak memandang dia memiliki nilai
sedikit pun di mataku, demi Allah!.”

78
78
Di antara kebohongan atas Syaikh Ubaid adalah
ucapannya, “Hizby, tidak dikenal, dungu, ucapannya
seperti kentut nenek tua, bodoh, hina, buta mata dan
hati, pemecah belah dakwah salafiyyah, tak bernilai,
usahanya sia-sia.”
Kedua, Syaikh Al-Wushaby. Al-Hajury berkata tentang
orang yang telah mengajarinya ilmu dan sunah, yaitu
Syaikh al-Wushaby sebagaimana dalam As’ilah Ashab
al-Dais Al-Syarqiyyah, “Dan demikian pula tahrisy
(usaha untuk memecah belah) yang telah dia (Syaikh Al-
Wushaby) dapatkan dari setan, seakan-akan dia
termasuk murid Abdullah bin Salul dan bukan
termasuk murid Syaikh Muqbil.” Di antara ucapannya
tentang gurunya sendiri, yaitu Syaikh Al-Wushaby -dan
ini seluruhnya dengan rekaman suaranya-, “Pembuat
makar, terfitnah, hizby, sakit, lembek, orang yang sakit,
pimpinan gerombolan, fajir, semoga Allah
menghinakannya, tertipu, telah banyak
keserampangannya pada akhir-akhir ini, Syaikh
Muhammad dialah yang kadzdzab.” Dia juga berkata,
“Hati-hatilah dari dia, peringatkanlah dari dia,
ikutkanlah dia termasuk bagian dari hizbiyyin yang
membuat fitnah dan telah terfitnah, dan seluruh orang-
orang fajir yang bersamanya.” Dia berkata tentang
syaikh kami Abdullah Al-Bukhary hafizhahullah,
“Syaikh Al-Bukhary adalah seorang penuntut ilmu,
termasuk murid Syaikh Muhammad bin Hadi Al-
Madkhali, tidak selayaknya (permasalahan) tentangku

79
79
diangkat kepadanya. Ya, jika permasalahan-
permasalahan yang ringan maka boleh, namun jika
yang dimaksud adalah hal ini maka tidak boleh.”
Aku katakan, Syaikh Abdullah Al-Bukhary bukan
murid dari syaikh kami Muhammad bin Hadi Al-
Madkhaly6, akan tetapi ini adalah kedustaan yang
dibuat-buat oleh Al-Hajury hadahullah.
Aku katakan, wahai yang disifati telah mengambil
dari Rasul sifat pemurah hatinya, ini adalah metode
orang-orang yang ghuluw dan bukan metode ahlusunah.
Apakah ahlusunah mengetahui ada celaan seperti
celaan yang dipenuhi dengan kezaliman dan kedustaan
seperti ini atas masyaikh kita yang mulia?
Termasuk di antara perkara yang perlu untuk kita
perhatikan adalah Al-Hajury menuduh sejumlah
masyaikh dengan tuduhan pencuri, dia berkata dalam
rekaman suaranya yang berjudul Al-Hizbiyyah Al-
Syinqitiyyah, “Abdullah Mar’i7, aku menganggapnya
sebagai pencuri, baarakallaahu fiikum. Termasuk
pencuri dakwah adalah Abdullah Mar’i. Ini yang
pertama, yang selainnya aku masih menyimpannya
hingga waktunya. Insyaallah akan aku sebutkan sesuai
kebutuhan.”

6 Lihat catatan kaki nomor 3.


7 Syaikh Ubaid berkata : Syaikh Abdullah telah meninggalkan kami dan kami
telah meninggalkannya.

80
80
Aku katakan, cermatilah ucapannya “...yang
selainnya aku masih menyimpannya hingga
waktunya…”. Al-Hajury memandang bahwa para
ulama seluruhnya memiliki kelalaian/kekurangan
dalam menyelesaikan permasalahan ahli bidah. Dia
berkata -secara terang-terangan- dalam rekaman yang
berjudul Tabyiin Al-Kadzib wa Al-Mayn, “Aku meyakini
bahwa para ulama di zaman ini tidak memberikan hak
yang semestinya terhadap para ahli bidah sebagaimana
para ulama terdahulu.” Aku katakan, ini sama dengan
apa yang biasa didengungkan oleh Mahmud Al-Haddad!
Adapun para pengikutnya, maka sebagaimana yang
dikatakan oleh penyair:

‫إذا كان رب البيت بالدف ضاربا‬


‫فشيمة أهل البيت كلهم الرقص‬
“Apabila pemilik rumah memukul gendang
Maka para penghuni rumah seluruhnya menari.”

Penulis kitab Al-Khiyanah Al-Da’wiyyah -dengan kata


pengantar Al-Hajury- berkata pada halaman 80, “Anda
akan melihat bahwa para pengkhianat itu berjalan di
atas jalannya setan, Firaun, Haman, Abu Jahal,
kebanyakan dukun, Ibnu Ubay, munafik!” Kalau ada
yang mengatakan, “Sesungguhnya Abdul Hamid Al-
Hajury telah menghapus ucapan ini dari kitabnya”,
maka aku katakan, “Ya, dia telah menghapusnya,

81
81
namun bukan karena pada kalimat tersebut terdapat
takfir dan ghuluw, dia menghapusnya karena kalimat
tersebut adalah kalimat yang mujmal (umum) dan pada
hakikatnya kalimat tersebut adalah benar menurutnya,
dan Al-Hajury membela habis habisan kalimat yang
fajir ini.”
Ketika Abdul Hamid ingin untuk mendefinisikan
kalimat khiyanat, maka dia tidak mendapati seorang
pun yang mendefinisikannya kecuali Al-Jahidz!
Salah seorang dari mereka berkata dalam
bantahannya yang berjudul Kasyf Al-Ghitha’ paragraf
yang ke-16 -dalam keadaan dia mengajak bicara Syaikh
Abdurrahman Mar’i, “Assaamu ‘alaika wa ‘ala atbaa’ika
-kebinasaan atasmu dan para pengikutmu-.”
Di antara mereka ada yang mengatakan dalam
bantahannya yang berjudul Nashbu Al-Manjaniq -
dengan kata pengantar dari Al-Hajury- pada halaman
32, “Adapun para perampok, maka sungguh mereka
telah berubah dan terjungkir balik dengan seburuk-
۟ ُّ‫ٱَّلل كُ ْف ًرا َوأَ َحل‬
َ ‫وا قَ ْو َم ُه ْم د‬
buruknya. ( ‫َار ٱ ْلب ََو ِار‬ ۟ ُ‫) أَلَ ْم ت ََر إِلَى ٱلَّذِينَ بَ َّدل‬
ِ َّ َ‫وا نِ ْع َمت‬
‘Tidakkah kamu perhatikan orang-orang yang telah
menukar nikmat Allah dengan kekafiran dan
menjatuhkan kaumnya ke lembah kebinasaan?’.”
Penulis ini bernama Yusuf Al-Jaza’iry. Al-Hajury
berkata dalam rangka menyemangati pelajar ini untuk
menjatuhkan ahlusunah ke dalam lembah kebinasaan
sebagaimana dalam rekamannya yang berjudul

82
82
Nashihatul Ahbab, “Di mana saudara kita Yusuf Al-Jaza’iry?
Katakan kepadanya agar menyebarkan risalahnya yang baik
(itu), di dalamnya terdapat ucapan-ucapan yang baik.
Hendaknya dia sebarkan di situs internet sebelum dicetak,
dia ingin mencetaknya. Siapa yang mengatakan ‘hentikan
penyebarannya’, maka dia teranggap sebagai fasik, aku
menganggapnya fasik dan lancang… .”

Al-Hajury berkata sebagaimana dalam Nashihatul


Ahbab, “Demi Allah! Seandainya aku tahu ada yang
menghentikan rekamanku, maka akan aku hinakan
kehormatannya, siapa pun itu! Akan aku hinakan
kehormatannya dan akan aku bongkar! Atau dia
menghentikan malzamah-ku! Ini kesimpulannya, karena
pada dasarnya tidak ada menteri komunikasi yang
dikuasakan atasku!”

Aku katakan, ucapan Al-Hajury ini datang dalam


rangka melawan bayan masyaikh sunah dari Hudaidah pada
tanggal 5/1/1429. Ini adalah bentuk keganasan dan sikap
kaku Al-Hajury terhadap masyaikh ahlusunah di Yaman,
yaitu berupa tafsik (menganggap fasik), penghinaan, dan
membongkar aib. Itu semua karena mereka menolak
kebatilan dan kezalimannya. Apakah orang yang angkuh ini
sadar dengan apa yang diucapkan oleh mulutnya berupa
hukum-hukum yang jahat lagi zalim? Semoga Allah
memburukkan kebodohan dan hawa nafsu. Sesungguhnya
sebagian ahli bidah merasa malu untuk menggunakan
metode yang digunakan oleh Al-Hajury ini untuk melawan
ahlusunah. Alangkah banyaknya celaan-celaannya terhadap
ahlusunah.

8383
Prinsip keempat belas

Al-Hajury mengeluarkan seseorang dari sunah


dengan kemaksiatan-kemaksiatan, di antaranya
ikhtilath (bercampur baur antara
pria dan wanita)

Al-Hajury ditanya sebagaimana dalam Al-Kanz Al-


Tsamin (5/43-44), “Telah dinukil dari anda bahwa anda
mengatakan, ‘Yang belajar di sekolah-sekolah yang
(ada) ikhtilath di dalamnya -walaupun itu anak-anak
kecil- bukan sunni’, apakah ini benar?” Jawab,
“Ikhtilath antara pria dan wanita ajnabiyah adalah
bentuk makar dari orang-orang Barat dan karena hal
itu menyelisihi manhaj salaf, serta termasuk di antara
sebab kerusakan… .” kemudian dia menyebutkan dua
hadis dan satu ayat.
Aku katakan, akan tampak dengan jelas bagi para
pembaca bahwa Al-Hajury berusaha untuk melenceng
dari pokok pertanyaan! Aku tidak tahu mengapa Al-
Hajury lari dari menjawab dengan jelas atas apa yang
diinginkan oleh penanya, dia mengatakan, “…dan
karena hal itu menyelisihi manhaj salaf… .”
Dia menguatkan ini dengan ucapannya pada As’ilah
Wilayatu Al-Aghwath Al-Jaza’ir (12/12/1431), “Pemilu
bukan bagian dari salafiyyah, demikian pula ikhtilath,

84
84
yayasan-yayasan, menonton televisi! Ini adalah
kemaksiatan, sehingga tidak masuk dalam salafiyyah,
dan dikatakan (kepada yang melakukannya), ‘Muslim
yang bermaksiat inilah keadaannya, yaitu muslim yang
bermaksiat.’ Namun jika dikatakan (dia) adalah seorang
salafy? (Salafy apa?) Salafy intikhaby (yang ikut
pemilu)! Salafy yang ikut dalam yayasan? Yayasan-
yayasan adalah hizbiyyah yang telah ma’ruf, dan
padanya terdapat berbagai penyelisihan yang hanya
Allah yang mengetahuinya. (Adapun) ikhtilath, maka
demi Allah, ini adalah salafiyyah yang hina. Jika tetap
dikatakan sebagai salafiyyah -dengan keadaan seperti
ini-, maka ini hina sekali. Salafy yang hina, padanya
banyak kemaksiatan. Sesuai dengan ungkapan kalian,
namun pada hakikatnya menurut kami adalah siapa
yang keadaannya seperti ini maka dia bukan salafy,
kami menganggapnya bukan salafy! Karena ini bukan
bagian dari salafiyyah! Kami menganggapnya termasuk
ahli maksiat.”
Aku katakan, perhatikanlah ucapannya, “...namun pada
hakikatnya menurut kami adalah siapa yang
keadaannya seperti ini maka dia bukan salafy, kami
menganggapnya bukan salafy!” Aku katakan, Al-Hajury
benar-benar goncang, terkadang dia menetapkan dan
terkadang dia menafikan. Laa haula wa laa quwwata
illaa billaah.

85
85
- Al-Hajury berdusta dan seorang pendusta,
tidak boleh diambil ilmunya sebagaimana
yang diucapkan oleh para salaf

Syaikh yang mulia Muhammad bin Abdul Wahhab Al-


Wushaby hafizhahullah berkata, “…kedustaannya
tersebar di seluruh dunia. Dia memiliki banyak
kedustaan. Aku akan memilih 3 saja dalam rangka
mempersingkat waktu dan karena buktinya sangat
jelas. Kedustaan yang pertama adalah yang berkaitan
dengan (Abdullah) Al-Duwaisy, para masyaikh sebagai
saksi dan mereka masih hidup, alhamdulillah;
kedustaannya atas Syaikh Rabi’ dan masyaikh sebagai
saksi, dan Syaikh Rabi’ sendiri sebagai saksi dan masih
hidup; kedustaannya tentang Al-Jami’ah Al-Islamiyyah
tersebar di seluruh dunia melalui internet dan
malzamah. Oleh karena itu, manakala kedustaannya
tersebar di berbagai penjuru dunia, maka kami pun
menasihatinya dengan nasihat yang akan sampai ke
seluruh dunia -insyaallah- agar bertobat dan rujuk
(kembali) kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala. Demi
Allah, aku sangat heran dengan kedustaan yang
pertama, yaitu tentang Al-Duwaisy yang terjadi setelah
ijtima’ pada bulan Rajab tahun lalu. Ketika aku
mendengar kedustaan tersebut, aku berdoa kepada
Allah agar memperlihatkan kebenaran; aku berdoa agar
Allah memperlihatkan kebenaran dan aku bersabar
sebagai saksi akan kebenaran sabda Nabi shallallahu

86
86
‘alaihi wa sallam, ‘Sesungguhnya Allah benar-benar
memberi tangguh kepada orang yang zalim hingga
ketika Allah menghukumnya, maka Allah tidak
melepaskannya’, lalu Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam
membaca firman-Nya, ( َّ‫ظ ِل َمةٌ ۚ إِن‬ َ ‫َو َكذَلِكَ أَ ْخذُ َربِكَ إِذَآ أَ َخذَ ْٱلقُ َرى َوه‬
َ ‫ِى‬
‫‘ )أَ ْخذَهُۥٓ أَلِي ٌم َشدِي ٌد‬Dan demikianlah azab Tuhanmu, apabila
Dia mengazab penduduk negeri-negeri yang berbuat
zalim. Sesungguhnya azab-Nya itu adalah sangat pedih
lagi keras.’ Tiba-tiba kedustaan kedua datang,
‘Sesungguhnya Allah benar-benar memberi tangguh
kepada orang yang zalim hingga ketika Allah
menghukumnya, maka Allah tidak melepaskannya’;
kedustaan pada musim haji, di negeri yang mulia, bulan
yang mulia, dan hari yang mulia, dan itu terjadi di
rumah Syaikh Rabi’, (yaitu) bahwasanya Syaikh Rabi’
berkata kepada orang-orang yang keluar dari Dammaj
dengan sebutan ‘orang-orang yang fajir dan fasik’. Sejak
aku mendengar kalimat ini, telah terbetik dalam hatiku
bahwa ini adalah kedustaan, bersamaan dengan ini aku
berkata, ‘Kebenaran pasti akan tampak’. Dan tentu saja,
setelah itu datang berita-berita dari Syaikh Rabi’ bahwa
itu adalah dusta dan beliau tidak mengucapkan ini.
Seakan-akan Syaikh Rabi’ waffaqahullah bersabar atas
kedustaan yang dibuat atas nama beliau sebagaimana
aku bersabar atas kedustaan atas namaku dalam
permasalahan (menyambut) Al-Duwaisy dan kedustaan
yang lainnya. Tiba-tiba datang kedustaan yang lainnya,
yaitu atas Syaikh Ubaid Al-Jabiry ketika dia (Al-Hajury)

87
87
berkata bahwa dirinya tidak mengucapkan hal itu
tentang Al-Jami’ah Al-Islamiyyah. Maka kami katakan,
‘Ya Subhanallah! Allah tidak mengehendaki melainkan
membongkar orang ini dan memperlihatkan hakikatnya,
bahwa dia adalah kadzdzab dan suka berdusta. Satu
kedustaan disusul kedustaan yang berikutnya dan
berbagai kedustaan yang lainnya. Akan tetapi,
sebagaimana yang telah aku katakan bahwa masyaikh
ini sebagai saksi dan Allah Subhanahu wa Ta’ala sebaik-
baik saksi.”
Aku katakan, aku telah bertanya kepada Syaikh
Rabi’ tentang (kebenaran) ucapan beliau, “Orang-orang
yang diusir dari Dammaj adalah orang-orang fajir!”
Maka beliau mendustakannya -jazahullah khoiron- dan
menafikan kedustaan yang dilekatkan oleh Al-Hajury
kepada beliau. Adapun kedustaannya tentang Al-
Jami’ah Al-Islamiyyah, maka tidak perlu dikomentari
karena Al-Hajury telah menghukumi dirinya sendiri.
Suaranya telah tersebar di seluruh dunia dan telah
tampak siapa pendusta yang sebenarnya. Dia memiliki
banyak kedustaan (lainnya), di antaranya adalah bahwa
Syaikh Rabi’ tidak memaksanya untuk melakukan apa
pun ketika (berjumpa) di rumah beliau, dan ini adalah
dusta. Sebab, Syaikh Rabi’ telah memaksanya untuk
menghentikan bantahan-bantahannya dan aku telah
bertanya kepada beliau tentang hal ini.

88
88
Dia mengklaim bahwa yang mengasuh markas
Fuyus adalah Syaikh Al-Wushaby. Aku pun bertanya
kepada Syaikh Rabi’ tentang hal itu, maka beliau
mendustakannya. Dia telah berdusta atas saudara kami
Syaikh Hani’8, bahwa beliau telah menerima sejumlah
uang dari Jam’iyyah Ihya At-Turats! Dan Syaikh Rabi’
telah menasihatinya, namun dia enggan. Maka ini
adalah kedustaan atas syaikh kami Rabi’ dan saudara
kami Hani’, demikian pula kedustaannya atas Syaikh
Musthafa Mubram dan saudaranya, yaitu Hasan Ash-
Shaumali.

- Al-Hajury dan tindakan memotong ucapan

Termasuk di antara bencana yang ada pada orang


ini yang menyelisihi manhaj ahlusunah wal jamaah
adalah ucapannya bahwa Utsman radhiyallahu ‘anhu
telah membuat bidah yang sesat ketika beliau
(memerintahkan) untuk mengumandangkan azan kedua
pada hari Jumat. Al-Hajury berkata dalam kitabnya
yang berjudul Ahkam Al-Jum’ah cetakan Daar Imam
Ahmad pada halaman 249-250, “Kami katakan kepada
siapa saja yang memiliki sedikit ilmu dari sunah Nabi
shallallahu ‘alaihi wa sallam yang berpendapat adanya

6. Hani’ bin Buraik telah menyimpang wallaahul


musta’an

89
89
azan yang pertama, apakah azan ini termasuk bagian
dari petunjuk Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam
yang mana itu merupakan petunjuk terbaik
sebagaimana yang disebutkan dalam Shahih Muslim
dari hadis Jabir, ataukah itu adalah perkara baru yang
diada-adakan oleh Utsman bin Affan sebagaimana
dalam hadis As-Sa’ib dalam Shahih Bukhari dan
sebagaimana pula (adanya) ijma’ para ulama -
sebagaimana telah berlalu- bahwa itu adalah perkara
baru? Jika dikatakan bahwa itu termasuk bagian dari
petunjuk Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam maka dia
adalah pendusta yang jahat dan dia tidak akan
menjumpai para ulama kaum muslimin yang sepakat
dengan kedustaan yang hina ini. Jika dia mengucapkan
sebagaimana yang ucapkan oleh seluruh ulama bahwa
itu bukan termasuk perbuatan Rasulullah shallallahu
‘alaihi wa sallam dan itu adalah perkara baru
sebagaimana yang disepakati oleh para ulama umat
Islam, maka kami katakan, ‘Tidakkah engkau melihat
dalam hadis bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa
sallam memperingatkanmu dari perkara baru dan
mengatakan bahwa itu adalah kesesatan!?’
Aku katakan, perhatikanlah bagaimana dia bertahap
dalam menggiring para pembacanya, dan perhatikanlah
bagaimana dia menetapkan permasalahan hingga
membawa para pembaca bahwa Utsman membuat azan
yang baru dan setiap yang baru adalah sesat! Ya Allah,
kami berlepas diri dari penetapan dan penanaman ilmu

90
90
yang menyelisihi kesepakatan umat ini. Ini demi Allah,
termasuk kelancangan atas Utsman radhiyallahu ‘anhu.
Beliau adalah khalifah yang lurus lagi terbimbing sesuai
dengan nash hadis Rasul shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Lalu bagaimana mungkin bidah dan perbuatan
mengada-ada dalam agama disandarkan kepada beliau!?
Syaikhul Islam rahimahullah berkata dalam Al-Minhaj
(6/293), “Kemudian, termasuk hal yang aneh adalah
kaum Rafidhah mengingkari sesuatu yang dilakukan
oleh Utsman di hadapan kaum Muhajirin dan Anshar,
dan mereka tidak mengingkari beliau dan (beliau)
diikuti oleh seluruh kaum muslimin dalam azan Jumat.
Para ulama sepakat akan disunahkannya azan Utsman
radhiyallahu ‘anhu. Ibnul Mundzir berkata sebagaimana
dalam Al-Ausath (4/63), ‘Utsman bin Affan
memerintahkan -tatkala manusia semakin banyak-
untuk menyeru dengan seruan yang ketiga -dalam
jumlah bilangan- dan itu adalah seruan pertama untuk
permulaan setelah matahari bergeser di antara kaum
Muhajirin dan Anshar, dan beliau tidak diingkari oleh
seorang pun di antara mereka sebatas pengetahuan
kami, dan umat ini berjalan di atas hal itu hingga
zaman kita ini.”

91
91
Ibnu Al-Qathan Al-Fasi dalam kitabnya Al-Ijma’
(2/451), “Ketika (zaman) Utsman -dan manusia semakin
banyak-, maka beliau menambah panggilan dari atas
zaura, dan ini adalah dalil (tentang) azan di hadapan
imam. Dan atas dasar ini pengamalannya menurut
seluruh ulama di berbagai negara Islam, baik itu Hijaz,
Irak, dan tempat yang lainnya.”
Syaikhul Islam rahimahullah berkata sebagaimana
dalam Majmu’ Fatawa (24/193-194), “Diarahkan dan
dikatakan bahwa azan ini termasuk azan yang
disunahkan oleh Utsman. Kaum muslimin sepakat di
atasnya dan menjadi azan yang syari.”
Yang menjadi inti di sini adalah Al-Hajury terpaksa
memotong ucapan para ulama dengan tujuan untuk
menetapkan bahwa Utsman membawa bidah yang sesat.
Perhatikanlah contoh berikut ini.
Al-Hajury berkata dalam cetakan terbaru untuk
kitab Ahkam Al-Jum’ah pada halaman 413, “Ishaq bin
Rahawaih berkata, ‘Sesungguhnya azan yang pertama
adalah muhdats (perkara baru) yang diadakan oleh
Utsman’.” Atsar ini disebutkan oleh Ibnu Rajab dalam
Al-Fath (8/220-221).
Aku katakan, dengan kembali kepada sumber
rujukan tersebut, maka kita akan dapati ucapan Ibnu
Rajab seperti ini, “Dan Harb menukilkan dari Ishak bin
Rahawaih bahwa beliau berkata, ‘Azan pertama untuk

92
92
Jumat adalah muhdats yang diadakan oleh Utsman.’
Beliau memandang bahwa beliau tidak akan
mendengarnya kecuali dengan menambah 2 muazin
agar orang-orang yang jauh bisa mengetahui hal itu.
Maka (azan tersebut) menjadi sunah karena wajib bagi
para khalifah untuk melihat pada keadaan seperti ini
untuk (kemaslahatan) manusia.”
Kita berlindung diri kepada Allah dari metode yang hina
seperti ini dalam memotong ucapan para ulama. Aku
cukupkan dengan satu contoh, sementara contoh yang
lainnya aku isyaratkan kepada para pembaca.
- Dia telah memotong ucapan Syaikhul Islam
Ibnu Taimiyyah dalam kitabnya Al-Jum’ah
pada halaman 441, dan lihat ucapan asli Ibnu
Taimiyyah dalam Majmu’ Fatawa (1/282).
- Dia telah memotong ucapan Atha’ bin Abi
Rabah sebagaimana pada halaman 441, dan
lihat ucapan asli Atha’ dalam kitab Al-
Mushannaf karya Abdurrazaq (3/205).
- Dia telah memotong ucapan Al-Baji
sebagaimana dalam kitabnya Ahkam Al-
Jum’ah pada halaman 421, dan lihat ucapan
asli Al-Baji dalam Al-Muntaqa (1/134).
Dan telah berlalu bagaimana dia memotong ucapan
Syaikh Muqbil dalam permasalahan ‘ahlusunah adalah
kelompok yang paling dekat dengan kebenaran’.

93
93
- Al-Hajury dan at-tadkhim (membesar-
besarkan permasalahan)
Al-Hajury berkata dalam rekamannya yang berjudul
Tanbih Al-Ahbab, “Kami telah katakan di dalam banyak
tempat, wahai ikhwah, bagaimana upaya untuk
membesar-besarkan ini. Aku heran, permasalahan
seorang santri, lalu mereka berusaha untuk membesar-
besarkannya, syaikh.. syaikh.. Ini adalah bentuk
membesar-besarkan yang sangat buruk! Apa ini? Apa di
balik ini?”
Aku katakan, engkaulah yang membesar-besarkan
permasalahan. Engkaulah yang membuat fitnah ini atas
ahlusunah. Engkaulah yang memberi kekuasaan kepada
orang-orang bodoh dan dungu untuk menyerang para
ulama. Kalian membuat satu situs untuk fitnah dan
mengeluarkan puluhan rekaman dan makalah yang
penuh dengan kebohongan dan kedustaan. Adapun
ucapannya tentang Syaikh Abdurrahman9,
“...permasalahan seorang santri lalu mereka berusaha
untuk membesar-besarkannya, syaikh.. syaikh..”
Aku katakan, Al-Hajury berkata dalam kitab Ath-
Thabaqat pada halaman 33, “Para pimpinan thabaqat
yang pertama”, -kemudian dia berkata-, “Kibar
masyaikh dakwah salafiyyah di Yaman dan para
ulamanya yang berputar pada mereka berbagai fatwa di

7. Beliau telah meninggal rahimahullah

94
94
negeri ini, kami akan sebutkan secara berurutan sesuai
dengan huruf mu’jam (kamus)… 3. Syaikh yang mulia
Abu Abdillah Abdurrahman bin Umar bin Mar’i bin
Buraik Al-Adeni yang memiliki akal yang kuat, Allah
telah memberi beliau kebaikan yang banyak berupa
ilmu disertai dengan tawadhu’ dan adab yang tinggi
serta kekokohan di atas sunah.” Santri ini adalah ulama
di sisi Al-Hajury, dan termasuk orang yang fatwa
berputar pada mereka, yang telah diberi kebaikan yang
banyak, berupa ilmu disertai dengan tawadhu’ dan adab
yang tinggi serta kekokohan di atas sunah.
Perhatikanlah bagaimana Al-Hajury berusaha
untuk membesar-besarkan seorang murid dari Syaikh
Abdurrahman, yaitu seorang santri yang bernama
Muhammad bin Hizam, “Syarah Bulughul Maram dari
saudara kita Muhammad lebih kuat dari syarah Ibnu
Jibrin, lebih kuat dalam fikih dan hadisnya. Secara fikih
dan hadis, ya, jika engkau ingin memastikan hal itu,
maka bandingkanlah antara syarah ini dan syarah Ibnu
Jibrin untuk kitab Az-Zarkasy.”
Aku katakan, “Ibnu Jibrin tidak mensyarah Az-
Zarkasy, ini adalah bentuk keserampangan Al-Hajury.
Kitab tersebut adalah matan dan syarah; matan milik
Al-Kharqy dan syarah dari Az-Zarkasyi dan Ibnu Jibrin
hanya melayani kitab tersebut dan mentahkik atas
beberapa naskah dengan tulisan tangan. Khidmah ini
dilakukan untuk memperoleh gelar Doktor.

95
95
Al-Hajury -karena kebodohannya- tidak bisa
membedakan antara tahkik dan syarah.”
Al-Hajury -yang suka membesar-besarkan ini-
membandingakan antara syarah atas kitab karya Al-
Hafizh Ibnu Hajar milik seorang santri yang bernama
Muhammad Hizam dengan tahkik kitab Az-Zarkasyi
yang itu merupakan syarah untuk Al-Kharqy,
demikianlah perbandingannya! Dengan tujuan ingin
membesar-besarkan.
Berlawanan dengan ini adalah ucapannya terhadap
guru dan yang telah mengajari adab kepadanya, yaitu
syaikh yang mulia Muhammad bin Abdul Wahhab Al-
Wushaby hafizhahullah, “Pada hakikatnya, kami
mengetahui kadar keilmuanmu yang hina dalam
tulisan-tulisanmu, ceramahmu, dan dakwahmu.”
Aku katakan, pemilik kadar keilmuan yang hina adalah:
- yang menghukumi Rasulullah shallallahu
‘alaihi wa sallam telah keliru dalam wahyu;
- yang menuduh para sahabat memiliki
pemikiran bidah Murji’ah;
- yang menuduh ucapan salaf sebagai ucapan
yang batil dan omong kosong;
- yang membela salah satu pendapat ahli bidah
dari kalangan Qadariyah dan Al-Asy’ariyyah;

96
96
- yang menghukumi ahlusunah sebagai
kelompok yang paling dekat dengan
kebenaran;
- yang rela untuk disifati oleh para pengikutnya
dengan berbagai sifat dan berbagai jenis
ghuluw yang diharamkan lagi tercela, dan
sebaliknya dia sambil mendengar ucapan
mereka disertai persetujuannya untuk ghuluw
ini;
- yang menjatuhkan kedudukan para ulama
dan menghukumi mereka dengan hukum-
hukum yang jahat;
- yang menguasakan orang-orang bodoh untuk
menyerang para ulama dengan berbagai
celaan dan makian;
- yang tidak mengetahui dhabit bidah dan
mengeluarkan manusia dari sunah dengan
sebab ikhtilath;
- pemilik kehinaan adalah Yahya yang tidak
bisa mentakhrij secara ilmiyah, jika dia ingin
men-takhrij sebuah hadis, maka dia katakan,
“Dikeluarkan oleh syaikh kami Muqbil! Atau
telah dikeluarkan oleh Abdurrahman bin
Hasan dalam Fathul Majid! Atau dikeluarkan
oleh Ibnu Katsir! Alangkah hinanya
keilmiahan ini! Silahkan lihat takhrij-nya
untuk kitab Ishlah Al-Mujtama halaman 132;
- pemilik kehinaan dan aib yang buruk adalah
Al-Hajury yang kedustaannya telah tersebar

97
97
- di seluruh penjuru dunia dan mengharamkan
untuk belajar di Universitas Islam Madinah -
sebagaimana dengan suaranya-, dan
menamakan pengharaman ini dengan
keburukan dan mungkar -sebagaimana
dengan suaranya-;
- pemilik kehinaan dan aib yang buruk adalah
yang dia bagai burung unta di hadapan para
ulama, yaitu Al-Hajury setuju di hadapan
mereka dengan hal-hal yang membawa
kemaslahatan untuk dakwah di negeri Yaman
-ketika- di rumah Syaikh Rabi’, namun ketika
kesempatan telah tiba di hadapannya maka
dia bertelur kemudian menguning dan
akhirnya mengetuk-ngetuk semaunya
(ungkapan bahasa Arab).

Ditulis oleh Arafat bin Hasan bin Ja’far Al-Muhammady


25/12/1430 Hijriyah
Kemudian aku menambah beberapa tambahan dan
selesai pada hari senin 9/7/1431 Hijriyah

98
98

Anda mungkin juga menyukai