Anda di halaman 1dari 4

HAKIKAT TASAWUF

Nubuwah yang menjanjikan bahwa umat Islam akan menaklukkan Persia dan Romawi, terwujud
pada masa Khulafa’ur Rasyidin radhiyallahu ‘anhum. Tepatnya ketika Umar bin Khattab dan
Utsman bin Affan menjadi khalifah. Kemenangan demi kemenangan diraih. Pembebasan demi
pembebasan wilayah berhasil diwujudkan. Dakwah tersebar luas. Maka tentu saja hal hebat
seperti ini, merupakan satu bukti kejayaan yang sangat membanggakan.

Tapi, bagi para perindu surga, ada satu efek negatif yang membuat mereka merasa khawatir dari
kejayaan itu. Ketika pintu-pintu dunia terbuka lebar. Kesejahteraan berada di level tertinggi.
Harta berlimpah. Semua itu, memang terlihat menyenangkan. Hanya saja, jiwa-jiwa yang selalu
tertuju kepada akhirat, mempunyai standard kebahagiaan tersendiri. Mereka mempunyai prinsip
bahwa sukses tidak diukur dengan materi.

Lihatlah bagaimana sikap Umar ketika pasukannya memamerkan hasil ghanimah. “Celakalah
kalian!” Teriak Umar ketakutan. “Persia runtuh gara-gara semua harta benda ini, kenapa kalian
malah membawanya ke mari?! Lekas bagikan dengan adil kepada seluruh kaum muslimin!”

Alih-alih menimbun hasil rampasan perang dan memperkaya diri sendiri, Umar justru takut
melihat tumpukan harta. Padahal, jika ditinjau dari sudut pandang kehalalan dzatnya, harta
ghanimah termasuk yang paling halal. Tapi Umar malah menghindar, karena sikap wara’ dan
zuhud sudah terpatri dalam jiwanya.

Tidak lama setelah era Khulafaur Rasyidin berakhir, umat Islam semakin kaya raya. Budaya
glamour dan hedonisme menjadi gaya hidup pada masa Umawiyah dan Abbasiyah. Penyakit
wahn: cinta dunia dan takut mati, kian menjangkit. Dalam kondisi seperti itu, muncullah tokoh-
tokoh besar yang menyadarkan umat bahwa dunia ini hanya sementara. Mereka berusaha
menghidupkan kembali budaya zuhud. Di antaranya: Hasan Al-Bashri (w 110 H), Rabi’ah
Al-‘Adawiyah (w 100 H), Fudhail bin Iyadh (w 187 H), Ma’ruf Al-Kurkhi (w 200 H), Al-Junaid
Al-Baghdadi (w 297), Sahl bin Abdullah At-Tustari (w 283 H), dan masih banyak lagi.

Mereka adalah lentera-lentera hidayah. Menerangi umat dengan kata-kata penuh hikmah.
Menyucikan dan menentramkan jiwa. Mengajarkan dan menjalankan syariat. Menghidupkan
sunnah. Semua itu dilakukan karena mereka merindukan suasana khusyu’ ketika Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wa sallama masih hidup. Mereka mendambakan sebuah masyarakat yang
harmonis, giat dalam beribadah, tidak gila dunia, dan memandangnya hanya sebagai wasilah
bukan ghayah (tujuan) dalam hidup. Inilah hakikat tasawuf yang sesungguhnya. Mengajak setiap
manusia untuk menginsyafi siapa dirinya, dari mana ia berasal, dan untuk apa ia diciptakan?

Dalam kitab ‘Awariful Ma’arif karya As-Suhrawardi, disebutkan perkataan Ma’ruf Al-Kurkhi,
“Ath-Tashawwufu Al-Akdzhu bil Haqa’iq wal Ya’su Mimma fii Aydil Khala’iq.” Artinya;
“Tasawuf adalah mengambil hakikat dan berputus asa dari apa-apa yang dimiliki mansuia.”

Maksud dari perkataan di atas ialah; tasawuf membimbing kita untuk memahami hakikat dari
segala sesuatu, terutama hakikat kehidupan dunia yang fana. Jadi, tidak perlu terobsesi untuk
mengejarnya. Dan tasawuf mengajarkan agar kita tidak membanding-bandingkan nasib kita
dengan nasib orang lain. Di sinilah ilmu tentang sabar, syukur, dan ridha kepada setiap ketetapan
Allah, dipelajari. Sejalan dengan tiga hal tersebut, diterangkan pula bagaimana mengobati
penyakit hati yang muncul disebabkan cinta dunia: seperti ujub, riya, hasad, dan semacamnya.

Ya, tasawuf itu sejatinya pelajaran akhlak, adab dan seni mengelola hati agar senantiasa terpaut
kepada Allah. Imam Al-Junaid menerangkan hakikat tasawuf, “An takuuna Ma’allahi bilaa
‘Alaaqah.” Tasawuf ialah satu kondisi ketika Engkau selalu bersama Allah tanpa ada kecintaan
dan keterhubungan dengan selain-Nya. Dan di dalam sebuah ungkapan yang panjang, Al-Junaid
menerangkan lebih detail esensi tasawuf:

Tashfiyatul qalbi ‘an muwafaqatil bariyyah, wa mufaraqatul akhlaq ath-thab’iyyah, wa


ikhmaadush shifaat al-basyariyyah, wa mujanaabatud dawa’i an-nafsaniyyah, wa munazalatu
ash-shifat ar-rabbaniyyah, wat ta’aluq bi’ulmil haqiqah wa ittiba’ur rasul fisy syari’ah.

Artinya: “Memurnikan hati dari kebergantungan kepada makhluk, melepaskan watak bawaan
yang buruk, mengendalikan sifat-sifat manusiawi, menjauhi bisikan-bisikan hawa nafsu,
membangun sifat-sifat rabbani, bertaut pada ilmu-ilmu hakikat, dan mengikuti rasul dalam
bersyari’at.” Definisi ini diambil dari kitab At-Ta’aruf ila Madzhab At-Tashawwuf.

Selaras dengan pengertian di atas, dalam kitab Al-Maqashid fi Tauhid wal Ibadah wa Ushul At-
Tashawuf, Imam Nawawi menyebutkan bahwa pondasi tasawuf itu ada lima. Pertama; bertakwa
kepada Allah di tengah keramaian atau saat sedang sendirian. Kedua; mengikuti sunnah Nabi
baik dalam perkataan atau perbuatan. Ketiga; berpaling dari makhluk (tidak menyandarkan diri
kepada mereka) saat sedang semangat atau sedang futur. Keempat; meridhai ketetapan Allah
banyak atau sedikit. Kelima; kembali pada Allah dalam keadaan lapang atau sempit.

Terlihat jelas bahwa ajaran tasawuf berangkat dari spirit keimanan dan ketakwaan. Diambil dari
Al-Qur’an dan As-Sunnah. Diilhami dari kearifan salaful ummah. Ditujukan untuk membimbing
para salik (penempuh jalan menuju Allah). Nama lain dari ilmu ini ialah Tazkiyatun Nufus, atau
Az-Zuhd wa Ar-Raqa’iq.

Namun dalam perkembangannya, terdapat penyimpangan yang harus diluruskan, baik dari segi
pemikiran atau perbuatan. Orang-orang yang mendaku diri sebagai wali, menisbatkan diri pada
ajaran tasawuf, malah mempertontonkan tingkah laku yang aneh, memproduksi istilah tertentu,
serta mencampur adukkan antara karamah dan permainan syetan. Bahkan mereka mengklaim
mempunyai akses ke alam ghaib dan mendapat bocoran berita dari sana. Alih-alih menghidupkan
syariat, mereka malah meremehkan dan mendiskreditkan orang-orang yang menjalankannya.
Bagi mereka, syariat bukan sesuatu yang paling tinggi, hanya sub ordinat dalam agama Islam.

Akhirnya, banyak kritik bermunculan terhadap tasawuf atau sufisme agar tidak kebablasan.
Sebab jika dibiarkan, umat akan terkecoh hingga semakin jauh dari kemurnian ajaran Islam. Dan
agama tauhid ini malah berubah jadi agama takhayul, bid’ah dan khurafat. Dahulu ada Ibnu Aqil,
Imam Ibnul Jauzi, Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah, Ibnu Qayyim. Mereka bersikap adil terhadap
sufisme: mengapresiasi ajaran yang benar dan meluruskan yang keliru. Tentu dalam menilai
baik-buruk, atau benar-salah, dilihat dari kaca mata syariat. Sedangkan di era kontemporer ada
Syaikh Ramdhan Al Buthi yang mengkritik beberapa kesalahan tasawuf, dan Syaikh Ihsan Ilahi
Dzhahir, yang harus tewas di tangan Syiah karena tegar membela Sunnah.

Jika di abad kelima hijriyah sufisme sudah mulai menyimpang, apalagi di abad keempat belas
sekarang ini? Mungkin bisa lebih parah tingkat kesesatannya. Belakangan diketahui, beberapa
oknum memanfaatkan terma “sufi” dan “wali” untuk mencari popularitas. Ada juga yang me-
money-tisasi ajaran-ajaran baru yang dibuat-buat atas nama tasawuf. Bahkan pendakwah yang
membranding diri sebagai seorang sufi, malah bersikap ujub di media sosial: merasa paling tahu
tentang ilmu kewalian, meremehkan ustadz dan ulama lain yang berbeda madzhab, serta tak
jarang pula beliau menebarkan kebencian di tengah umat. Ya salaam…
Fenomena ini sangat menyedihkan. Sehingga patut dikatakan bahwa: dahulu, tasawuf itu
“Haqiqatan laa Isman” (ada hakikat dan substansinya, tapi tidak begitu populer namanya).
Namun sekarang, “Isman la haqiiqatan” (namanya kian menggema tapi hakikatnya sudah tidak
ada). Tentu saja kalimat tersebut hanya eksperesi kekecewaan yang sangat mendalam, bukan
menafikan sama sekali eksistensi waliyullah sejati di zaman ini. Justru dari para auliya’, umat
masih mengharapkan pencerahan dan bimbingan. Butuh pengajaran ilmu tasawuf yang benar dan
original. Bukan dongeng penuh fantasi dan penuh khayal. Agar tumbuh jiwa nan ikhlas dalam
beramal. Tulus mengabdi, pada rabbil ‘izzati. Wallahul muwaffiq ilaa aqwamith thariiq.

M. Faishal Fadhli. Bekasi, 23 Sya’ban 1443 H.

Anda mungkin juga menyukai