Anda di halaman 1dari 12

MUKADIMAH

Allah menjaga autentisitas Islam. Agama yang menawarkan ajaran jelas dan sempurna,
menjadi rambu-rambu bagi orang-orang yang mencari petunjuk pada setiap zaman dan
wilayah sampai Allah mengambil alih bumi dan semua manusia yang ada di atasnya.

Allah memilih para ulama untuk menjaga agama ini. Dia memilih para imam mujtahid
yang berusaha keras memahami isi al-Qur’ān dan menjelaskan segala hukum yang
terkandung di dalamnya. Mereka mengumpulkan dan menghafalkan Sunnah Nabi Allah
serta pernyataan para sahabat dan tabiin. Mereka menyampaikan pemahaman dan
pengetahuan mereka tentang al-Qur’ān, Sunnah, dan pendapat para ulama. Mereka
berijtihad tentang berbagai masalah yang tidak dijelaskan nas-nas secara eksplisit.
Dengan ijtihad, mereka melahirkan dan mewariskan berbagai keputusan hukum dan
disiplin ilmu hingga kita mampu menjawab berbagai permasalahan, mengurai berbagai
kesulitan hidup, memberikan petunjuk kepada orang-orang yang bingung dan
menentukan keputusan hukum terhadap berbagai kasus yang terjadi. Mereka
meletakkan kaidah-kaidah syariat yang digali dari Kitab dan Sunnah berdasarkan
pemahaman mereka. Hasil ijtihad mereka menjadi pedoman dalam menyikapi berbagai
kasus dan peristiwa yang terjadi pada setiap zaman.

Para ahli fikih mengikuti jejak ditelektual mereka. Para ahli fikih terus melakukan
kegiatan intelektual sampai batas waktu yang Allah kehendaki.

Setiap peristiwa apa pun, di wilayah mana pun, dan pada zaman apa pun selalu pasti
ada penjelasan hukumnya di dalam Islam. Karena, Islam adalah agama yang abadi. Oleh
sebab itu, Islam selalu relevan pada setiap zaman dan bagi setiap masyarakat
berdasarkan penjelasan para ulama yang bersumber dari al-Qur’ān, Sunnah, pendapat
para sahabat, pendapat para tabiin, ijtihad para mujtahid, dan kaidah-kaidah hukum
yang mereka bentuk berdasarkan analisis terhadap kaidah-kaidah syariat yang mulia.

Kita sangat perlu menampilkan sosok besar dan cahaya yang agung untuk menerangi
jalan para pemuda menuju Allah di bawah rambu-rambu ilmu dan petunjuk; wawasan
fikih, sikap jaga diri, ketaatan pada agama dan penghormatan pada ilmu; sikap waspada
terhadap godaan dunia dan sikap tegas dalam menyatakan kebenaran. Walau, untuk
semua itu dibutuhkan usaha jiwa yang diiringi dengan keikhlasan.

Sosok besar yang kami hadirkan sebagai teladan bagi para pemuda adalah tokoh besar
ahli fikih, Abū Ḥanīfah Nu‘mān ibn Tsābit. Dengan mempelajari ilmu dan pengetahuan
Imām Abū Ḥanīfah, kami memohon agar Allah memberikan manfaat besar kepada kita.
Buku ini dimulai dengan menuturkan sejarah Imam Besar Abū ḤanĪfah sejak
kelahirannya, masa awal pertumbuhannya, dan kehidupan keluarga yang mendidiknya.
Buku ini kemudian menuturkan tentang kecenderungan Imām Abū Ḥanīfah terhadap
ilmu pengetahuan dan pilihan khususnya terhadap ilmu fikih.

Selanjutnya buku ini menceritakan tentang guru Imām Abū Ḥanīfah, Ḥammād ibn Abī
Sulaimān, kehidupan Imām Abū Ḥanīfah bersamanya dan proses belajar Imām Abū
Ḥanīfah dari Ḥammād. Selain itu, buku ini juga menjelaskan peran para guru agung Abū
Ḥanīfah yang merupakan Ahlul Bait serta para ulama besar yang ada pada masa itu.

Kami juga akan menjabarkan tentang keistimewaan Imam Agung ini: karakternya,
kepribadiannya yang santun, rajin beribadah, murah hati, pemberi nasihat, dan tentang
pemikiran sosialnya. Selain itu, kami akan membeberkan pemikirannya yang dalam,
liberal, dan mencerahkan. Ia juga sosok orator yang memukau dan cerdas dalam
berdiskusi.

Soal penghasilan, perdagangan, dan etika berdagang Imām Abū Ḥanīfah yang sangat
baik juga akan dijelaskan dalam buku ini. Sikap politisnya terhadap kekuasaan Bani
Umayyah dan ‘Abbasiyyah pun  tidak luput dari uraian buku ini.

Di bagian ketiga, kami akan menuturkan tentang pengetahuan Imam Besar ini, termasuk
pengetahuannya di bidang fikih. Selain itu, kami akan suguhkan pendapat-pendapatnya
tentang riwayat hadits dan komentar para ahli hadits tentangnya.

Paparan selanjutnya adalah tentang akidah Imām Abū Ḥanīfah dan pendapatnya soal
iman, qadha, qadar, dan soal kemakhlukan al-Qur’ān.

Kami juga tidak lupa menjelaskan tentang mazhab, murid-murid dan buku-buku Imām
Abū Ḥanīfah. Kami akan paparkan proses penyebaran mazhabnya serta para ulama
penting dan buku-buku inti dalam Mazhab Ḥanafiyyah.

Di bagian keempat kami menuturkan tentang kepergian Imam Besar ini dan beberapa
pernyataan menjelang wafatnya. Kami juga menyebutkan soal komentar masyarakat
tentang dirinya dan sebagian ucapannya yang disampaikan oleh masyarakat.

Kami mengakhiri buku ini dengan penutup dan memuat daftar pustaka yang kami rujuk
dalam menyusun buku ini.

Tujuan penyusunan buku ini adalah memancarkan cahaya kehidupan Abū Ḥanīfah
dengan metode baru dan tampilan yang unik. Para ulama besar telah menampilkan
cahaya melalui sejarah hidup dan karya mereka untuk menjaga keagungan agama ini.
Kita dapat berjalan sesuai dengan langkah dan metode yang mereka letakkan. Kita akan
mengembalikan kebesaran dan kewibawaan umat ini. Semua itu tidak sulit bagi Allah.

Segala puji bagi Allah.

MENGAPA ABŪ ḤANĪFAH

Untuk generasi yang selalu menoleh ke kiri dan ke kanan, mencari sosok teladan yang
mengusung kebebasan dan keberanian, aku persembahkan buku ini.

Mata kita harus memandang ke masa depan dan ke masa lalu secara bersamaan. Masa
lalu adalah gudang perbendaharaan yang menjaga keseimbangan kita. Kita tidak akan
menerima sesuatu yang tidak diketahui kecuali di tangan kita ada segenggam
pengetahuan. Kita tidak bisa hidup dengan darah orang lain. Kita hidup harus dengan
darah kita yang berasal dari sumber-sumber milik kita. Dengan demikian kita menjadi
lebih sehat dan tegar. Jika pada hari ini kita hanya mengenal sekelumit dari
perbendaharaan yang kita miliki maka kita harus melihat kembali sejarah kita. Kita harus
menyadari bahwa obat tidak perlu didatangkan dari luar jika kekebalan tubuh ada
dalam diri dengan membangkitkan kekuatan diri kita sendiri yang selalu hidup. Kita
harus melemparkan timba ke dalam sumber yang kita miliki. Alangkah dalamnya
sumber itu; alangkah dahsyatnya perbendaharaan itu.

Imām Abū Ḥanīfah adalah imam besar dan pemikir terbesar dalam hukum Islam. Dalam
setiap detak jantungnya terdapat hidayah. Ilmunya dihiasi keberanian dan perjuangan
yang tak kenal henti. Ia berhasil menjelaskan kepada masyarakat tentang perbedaan
kerja para politisi dan tentara dengan kerja kesinambungan para ilmuwan dan pemikir.
Masyakarat jadi memiliki kemampuan tertentu untuk melihat keindahan dan memilih
kebaikan dalam kehidupan duniawi, ketika mereka mampu menghiasi diri dengan
pelita-pelita ahli fikih. Jika terjadi pertentangan antara pikiran dan kekuasaan, antara
pendapat ahli fikih dan khalifah, maka posisi pikiran tetap lebih tinggi.

Kita memiliki teladan yang baik dalam diri Imām Besar Abū Ḥanīfah. Dialah simbol
berbagai pengorbanan. Dalam berbagai jalan kehidupan, kita dapat menjadikannya
sebagai teladan. Kita mengikuti berbagai petunjuknya.

Hendaknya kita mengambil dari peradaban kita faktor utama kesuksesan peradaban
tersebut, yaitu sikap menghargai nilai-nilai di atas hal-hal materialistis dalam kehidupan
ini. Kita harus mengambil pelajaran dari apa yang telah dilakukan oleh para tokoh
peradaban Barat yang hampir mendekati era kebangkrutan karena absennya nilai-nilai
dalam peradaban mereka. Kita harus meneladani para tokoh peradaban kita dan
berpegang teguh pada berbagai faktor lahirnya kebangkitan.

Islam pernah mengalami kejayaannya ketika para muslim berpegang teguh pada adab-
adab Islam. Ketika mereka menyia-nyiakan itu semua, mengagungkan diri sendiri dan
tidak mau berkorban, maka kekuatan mereka akan terberai dan kewibawaan mereka
akan jatuh.

BAGIAN SATU

MASA PERTUMBUHAN DAN MASA MENCARI ILMU

BAB 1

PERTUMBUHAN DAN KELUARGA

A. IDENTITAS IMĀM ABŪ ḤANĪFAH

Nama dan Nasab

Nama lengkap Abū Ḥanīfah adalah al-Nu‘mān ibn Tsābit ibn al-Zuthā al-Fārisī. Inilah
namanya yang paling masyhur. Atas dasar ini, berarti ia berasal dari keturunan Persia.
Kakeknya berasal dari daerah Kabul yang menjadi tawanan ketika Kabul ditaklukkan
bangsa ‘Arab, kemudian dibebaskan oleh Bani Taym ibn Tsa‘labah. Jadi hak wala’-nya
mengikuti Bani Taym. (Maula berarti budak yang dibebaskan dan memiliki aturan
hukum fikih tersendiri). Begitulah riwayat nasab Abū Ḥanīfah yang dituturkan oleh
cucunya, yaitu ‘Umar ibn Ḥammād ibn Abī Ḥanīfah.

Meski demikian, cucu Abū Ḥanīfah yang lain, yaitu Ismā‘īl (saudara ‘Umar), menyebutkan
bahwa nama lengkap Abū Ḥanīfah adalah al-Nu‘mān ibn Tsābit ibn al-Nu‘mān ibn al-
Marzubān. Ismā‘īl berkata: “Namaku Ismā‘īl ibn Hammād al-Nu‘mān ibn Tsābit ibn al-
Nu‘mān ibn al-Marzubān, dari kalangan keluarga Persia yang merdeka. Demi Allah, tak
sekali pun kami pernah mengalami perbudakan.”

Nasab Asli
Lepas dari perdebatan apakah perbudakan pernah dialami oleh kakeknya atau tidak,
Abū Ḥanīfah dan ayahnya lahir dalam status merdeka. Kapasitas keilmuan dan
kemuliaannya tidak terpengaruh oleh perdebatan tersebut karena kemuliaan Abū
Ḥanīfah bukan berdasarkan nasab atau harta, melainkan karena keunggulannya dalam
ilmu pengetahuan, intelektualitas, dan ketakwaan.

Dalam hal ini al-Makki berkata: “Ketahuilah bahwa ketakwaan adalah nasab yang paling
tinggi dan perantara paling kuat untuk mendapatkan pahala.” Allah berfirman:
“Sesungguhnya yang paling mulia di antara kalian adalah orang-orang yang
paling bertakwa di antara kalian.” (al-Ḥujurāt: 13).

Seorang penyair bertutur:

Demi umurmu! Manusia tak lain adalah anak agamanya

Jadi, jangan menggantungkan ketakwaan pada nasab keturunan

Islam telah mengangkat (derajat) Salmān al-Fārisī

Dan kemusyrikan telah menentukan nasib Abū Lahab.

Abū Ḥanīfah dan orangtuanya berstatus bebas-merdeka. (Dikatakan bahwa kakeknya


pernah berstatus budak, tapi kemudian dibebaskan). Kemuliaan hakiki Abū Ḥanīfah
terletak pada keilmuan dan akhlaknya yang adiluhung.

BAGIAN SATU

MASA PERTUMBUHAN DAN MASA MENCARI ILMU

BAB 1

PERTUMBUHAN DAN KELUARGA

B. TANAH KELAHIRAN
Abū Ḥanīfah dilahirkan di Kufah pada 80 Hijriah. Demikian pendapat yang paling kuat
(rājiḥ), seperti yang disebutkan oleh al-Khathīb dalam sebuah riwayat tentang
pernyataan Ismā‘īl, cucu Abū Ḥanīfah. Ismā‘īl berkata: “Kakekku dilahirkan pada tahun 80
Hijriah. Tsabit yang waktu itu masih kecil pernah menemui ‘Alī ibn Abī Thālib, dan ‘Alī
lalu mendoakan Tsabit serta keturunannya supaya mendapat keberkahan. Kami pun
berhadap Allah berkenan mengabulkan doa ‘Alī ibn Abī Thālib tersebut.”

Al-Nu‘mān ibn al-Marzubān, ayah Tsābit, pernah memberi falūdzaj (sejenis roti dari


gandum) kepada ‘Alī ibn Abī Thālib saat perayaan hari Nayruz. Waktu itu al-Nu‘mān
sembari berkata: “Semoga setiap hari kami adalah Nayruz.” Menurut riwayat lain hal itu
terjadi pada pesta perayaan sebuah festival (mahrajan). Ia berkata: “Semoga kita
merayakan festival setiap hari.”

Abū Ḥanīfah dilahirkan pada 80 Hijriah di Kufah, Irak. Keluarganya memiliki hubungan
dengan Amirul Mu’minin ‘Alī ibn Abī Thālib.

BAGIAN SATU

MASA PERTUMBUHAN DAN MASA MENCARI ILMU

BAB 1

PERTUMBUHAN DAN KELUARGA

C. MASA PERTUMBUHAN

Awal Belajar al-Qur’ān

Abū Ḥanīfah tumbuh besar di Kufah dan menghabiskan sebagian besar hidupnya di
sana. Ia tinggal di tengah keluarga yang harmonis, sejahtera, dan kaya. Hidupnya
diarahkan pertama kali untuk menghafal al-Qur’ān. Setelah hafal, ia mencoba sekuat
tenaga untuk tetap menjaga hafalannya. Oleh sebab itu, ia termasuk orang yang paling
sering membaca al-Qur’ān, hingga diriwayatkan bahwa ia mengkhatamkan al-Qur’ān
beberapa kali dalam bulan Ramadhan. Dalam sejumlah riwayat dari jalur yang berbeda-
beda disebutkan: “Abū Ḥanīfah belajar al-Qur’ān dari Imām ‘Āshim, salah satu imam
qira’ah tujuh.”

Kecenderungan Intelektual
Abū Ḥanīfah tumbuh di lingkungan keluarga pedagang di Kufah. Keluarganya dikenal
memiliki usaha perdagangan Khazz, yaitu jenis kain yang berbahan dasar katun atau wol
bercampur sutra. Tidak mengherankan bila keluarga mengarahkannya untuk bergelut di
bidang yang sama, yakni perdagangan. Meski demikian, ia tetap memiliki
kecenderungan rasional dan intelektualnya sendiri. Ayah dan kakeknya – mengingat
hubungan keduanya dengan ‘Alī ibn Abī Thālib – juga memiliki kecenderungan yang
sama dalam mendalami Islam, agama baru yang ketika itu cahayanya telah memenuhi
semua wilayah di barat dan di timur.

Pusat Budaya dan Peradaban

Abū Ḥanīfah tinggal di Kufah. Di sanalah ia dilahirkan dan menjalani kehidupannya.


Kufah salah satu kota besar di Irak, bahkan satu dari dua kota besar yang ada pada
waktu itu.

Irak – baik sebelum maupun sesudah Islam – menjadi pusat berbagai aliran keagamaan.
Irak menjadi pusat kebudayaan dan peradaban kuno.

Pada masa pra-Islam, bangsa Suryani telah tersebar banyak di daerah-daerah Irak.
Mereka juga sudah mendirikan sejumlah lembaga pendidikan khusus (madrasah) yang
menjadi tempat pertemuan filsafat Yunani dan ilmu hikmah Persia.

Irak dihuni oleh orang-orang dari berbagai suku dan etnis. Tak aneh bila di sana sering
kali terjadi pertentangan pendapat dalam masalah politik dan dasar-dasar keyakinan. Di
sana terdapat kelompok Syī‘ah, Khawārij, dan Mu‘tazilah.

Pada masa Abū Ḥanīfah, banyak tabiin dan mujtahid yang bermukim di Irak. Mereka
saling bertemu, berkumpul, dan berdiskusi. Di antara mereka terdapat nama ‘Abdullāh
ibn Mas‘ūd yang telah diutus oleh khalifah ‘Umar ibn Khaththāb untuk mengajarkan
ilmu agama kepada penduduk Irak. Nama lainnya adalah sahabat sekaligus menantu
Nabi, yaitu ‘Alī ibn Abī Thālib.

Masa Muda

Meski sibuk dalam dunia perdagangan, Abū Ḥanīfah muda menyaksikan dan menaruh
perhatian pada ilmu pengetahuan dan berbagai pendapat peninggalan para sahabat di
Irak. Pikirannya mulai tergugah dan terbentuk dalam satu paradigma yang kuat. Ia mulai
berani berdialog dan berdebat dengan penganut agama dan aliran yang berbeda-beda.
Semua itu dilakukan ketika dirinya baru menginjak usia remaja.
Bersamaan dengan itu, ia tetap fokus pada bidang perdagangan, bidang yang
dianjurkan oleh orangtuanya. Ia serius menjalani hidupnya sebagai pedagang sebagai
mata pencarian utama keluarganya.

Saat mendapatkan waktu luang di sela pekerjaan, Abū Ḥanīfah memilih menceburkan
diri ke dalam kawah ilmu pengetahuan. Pilihannya ini utamanya dilandasi oleh
meratanya penyebaran ilmu agama di tangan para sahabat dan tabiin, selain oleh
banyaknya perdebatan dan dialog dengan aliran-aliran yang menyimpang.

BAGIAN SATU

MASA PERTUMBUHAN DAN MASA MENCARI ILMU

BAB 1

PERTUMBUHAN DAN KELUARGA

ULAMA NON-‘ARAB
Abū al-Mu’ayyad al-Makkī mengatakan bahwa ilmu pengetahuan dan nilai-nilai
intelektual-spiritual tidak hanya dimonopoli oleh bangsa ‘Arab saja. Inilah yang
menunjukkan kedudukan Abū Ḥanīfah di bidang pemikiran dan keagamaan. Penuturan
al-Makkī bahwa sang imam hidup sezaman dengan Hisyām ibn ‘Abdul Mālik
menunjukkan bahwa disiplin ilmu fikih lebih banyak dikuasai oleh orang non-‘Arab. Al-
Makkī lalu menyebutkan satu kisah yang menguatkan keunggulan orang non-‘Arab atas
orang ‘Arab dalam hal kedalaman ilmu fikih.

Diriwayatkan oleh ‘Athā’ dari ayahnya yang berkata: “Aku menemui Hisyām ibn ‘Abdul
Mālik di Rashafah. Ia lalu bertanya padaku: “Wahai ‘Athā’, apakah engkau mengetahui
ulama di setiap kota?” Aku pun menjawab: “Ya, saya mengetahuinya, Amirul Mu’minin.”

Ia mulai bertanya: “Siapakah ahli fikih di Madinah?” Aku jawab: “Nāfi‘, bekas budak Ibnu
‘Umar”. Ia bertanya lagi: “Ia seorang maula (bekas budak) atau orang ‘Arab?” Aku jawab:
“Seorang maula.”

“Siapakah ahli fikih Makkah?” Aku jawab: “‘Athā’ ibn Rabah”. Ia maula atau orang ‘Arab?”
tanyanya lagi. Aku jawab: “Seorang maula.”
“Siapakah ahli fikih Yaman?” Aku jawab: “Thāwus ibn Kisān.” “Ia maula atau orang
‘Arab?” tanyanya lagi. Aku jawab: “Seorang maula.”

“Siapakah ahli fikih Yamāmah?” Aku jawab: “Yaḥyā ibn Katsīr.” “Ia maula atau orang
‘Arab?” tanyanya lagi. Aku jawab: “Seorang maula.”

“Siapakah ahli fikih Syam?” Aku jawab: “Makḥūl.” “Ia maula atau orang ‘Arab?” tanyanya
lagi. Aku jawab: “Seorang maula.”

“Siapakah ahli fikih Jazirah?” Aku jawab: “Maymūn ibn Mahrān.” “Ia maula atau orang
‘Arab?” tanyanya lagi. Aku jawab: “Seorang maula.”

“Siapakah ahli fikih Khurasan?” Aku jawab: “al-Dhaḥḥāk ibn Muzāhim”. “ Ia maula atau
orang ‘Arab?” tanyanya lagi. Aku jawab: “Seorang maula.”

“Siapakah ahli fikih Bashrah?” Aku jawab: “al-Ḥasan dan Ibnu Sīrīn”. Mereka maula atau
orang ‘Arab?” tanyanya lagi. Aku jawab: “Mereka maula.”

“Lalu, siapakah ahli fikih Kufah?” Aku jawab: “Ibrāhīm al Nakha‘ī”. Ia maula atau orang
‘Arab?” tanyanya lagi. Aku jawab: “Orang ‘Arab”. Hisyām kemudian berkata: “Aku hampir
saja tak bisa mengontrol diri karena tak seorang ‘Arab pun yang disebutnya.”

Riwayat Lain

Di kitab al-‘Aqd al-Farīd karangan Ibnu ‘Abdi Rabbih terdapat dialog yang mirip dengan
pertanyaan Hisyām ibn ‘Abdul Mālik kepada ‘Athā’, yaitu dialog antara Ibnu Abī Lailā
dan menteri ‘Īsā ibn Mūsā – yang memiliki sikap fanatisme sangat tinggi terhadap
bangsa ‘Arab.

‘Īsā ibn Mūsā bertanya: “Siapakah ahli fikih Irak?” Aku (Ibnu Abī Lailā) menjawab: “al-
Ḥasan ibn Abī al-Ḥasan.”

“Siapa lagi selainnya?” Aku jawab: “Muḥammad ibn Sīrīn.”

“Apa status keduanya?” Aku jawab: “Keduanya adalah maula, bukan orang ‘Arab.”

Sang menteri bertanya lagi: “Siapakah ahli fikih Makkah?” Aku jawab: ‘Athā’ ibn Abī
Rabah, Mujāhid, Sa‘īd ibn Jubayr, dan Salmān ibn Yasār.”

“Apa status mereka?” Aku jawab: “Mereka semua maula.” Mendengar ini, wajah sang
menteri mulai berubah.
Sang menteri bertanya: “Siapakah ahli fikih Quba’?” Aku jawab: “Rabī‘ah al-Ra’y dan Ibnu
Abī al-Zannād.”

“Apa status keduanya?” Aku jawab: “Keduanya maula”. Wajah sang menteri mulai
memerah.

“Siapakah ahli fikih di Yaman?” Aku jawab: “Thāwus dan Ibnu Munabbih.”

“Siapa mereka?” Aku jawab: “Keduanya maula.” Wajah sang menteri mengerut. Ia
langsung bangkit berdiri, lalu bertanya lagi: “Siapakah ahli fikih di Khurasan?” Aku jawab:
“ ‘Athā’ ibn ‘Abdul Mālik al-Khurasānī.”

“Apa status ‘Athā’ ini?” Aku jawab: “Dia seorang maula.” Wajah sang menteri kian
mengerut tanda marah dan mulai menghitam membuatku takut.

Ia bertanya lagi: “Siapa ahli fikih Syam?” Aku jawab: “Makḥūl.”

“Apa status Makḥūl ini?” Aku jawab: “Dia seorang maula.”

Mendengar jawaban demikian, sang menteri menghela nafas sangat dalam tanda
gregetan, lalu bertanya lagi: “Siapa ahli fikih Kufah?”

Demi Allah, seandainya bukan karena rasa takut, aku pasti akan menjawab: “Al-Ḥakam
ibn ‘Uthbah dan Ḥammād ibn Abī Sulaymān.” Aku melihat adanya keburukan yang
mungkin terjadi bila aku jawab demikian. Oleh sebab itu, aku mejawab “Ibrāhīm al-
Nakha‘ī dan al-Sya‘bī.”

“Apa status keduanya?” Aku jawab: “Keduanya orang ‘Arab.”

Ia lantas berkata: “Allah Maha Besar”. Dan, kegeraman sang menteri langsung reda.

Politik Adiluhung

Islam mengajarkan politik adiluhung yang bersumber dari prinsip mulia hingga bisa
diterima oleh akal manusia. Prinsip dasar politik Islam adalah ayat: Manusia hanya
memperoleh apa yang telah diusahakannya (al-Najm [53]: 30).

Prinsip ini diajarkan oleh Rasulullah dalam sabdanya: “Tidak ada keistimewaan bagi
orang ‘Arab atas orang non-‘Arab kecuali karena ketakwaan.” Inilah prinsip utama yang
disebarkan oleh agama Islam di muka bumi. Di bawah naungan politik positif ini, Islam
mulai bergerak menaklukkan berbagai wilayah. Lahirlah kaum filsuf non-‘Arab dan para
ulama besar di lingkungan Islam, selain kaum filsuf ‘Arab. Orang-orang ‘Arab menimba
ilmu di madrasah non-‘Arab dan di bawah bimbingan ulama non-‘Arab. Begitu pun
orang-orang non-‘Arab. Mereka menimba ilmu di madrasah ‘Arab dan di bawah arahan
orang ‘Arab. Tidak sekali pun kita menemukan di dalam kitab-kitab mereka sesuatu
yang mengisyaratkan kelebihan atau keunggulan orang non-‘Arab atas orang ‘Arab.
Begitu pun sebaliknya. Semuanya sama di bidang ilmu pengetahuan dan intelektualitas.

Mayoritas ulama pada masa Abū Ḥanīfah dan masa sesudahnya berasal dari kalangan
orang non-‘Arab. Ini semua menguatkan prinsip Islam tentang persamaan dan
kesetaraan di antara umat manusia di dalam bingkai sebuah peradaban yang adiluhung.

Anda mungkin juga menyukai