Anda di halaman 1dari 6

MUKADIMAH

Segala puji bagi Allah, Tuhan semesta alam. Shalawat dan salam untuk Nabi
Muḥammad, penutup para nabi dan rasul, nabi yang janjinya dapat dipercaya Shalawat
dan salam juga untuk keluarga, sahabat, para istri dan anak-anak, serta kepada para
pengikutnya.

Sejarah umat Islam sarat dengan sirah para ulama yang mengorbankan jiwa dan raga
mereka untuk agama ini. Mereka belajar, mengajar, berjihad, dan memperjuangkan
kebenaran. Mereka adalah para imam pembawa petunjuk dan pemimpin umat yang
namanya tergores dalam lembaran-lembaran emas sejarah Islam. Karena itu, keilmuan
dan perilaku mereka layak menjadi teladan seluruh muslim di sepanjang zaman.

Kita tak cukup mengkaji riwayat satu ulama saja. Sebab, para ulama memiliki manhaj
ilmu, jalan hidup, dan situasi dan kondisi yang berbeda-beda. Akhlak mereka sesuai
dengan agama. Kita dapat mengenali karakter dan kepribadian mereka untuk dijadikan
teladan.

Dalam buku ini kita akan membicarakan sosok seorang imam besar, Imām Mālik ibn
Anas, imam “kota Hijrah”, Madinah. Namanya selalu dikenang dan mazhab fikih yang
dia bangun selalu menjadi rujukan di banyak negara Islam, terutama negara-negara
teluk ‘Arabia dan sekitarnya. Bahkan mazhab ini masih bertahan di negara-negara yang
warna keislamannya sudah pudar, seperti di Andalusia dan Sisilia, dua negara yang
pernah dihuni kaum muslim mayoritas penganut mazhab Mālikī.

Sejarah memperlihatkan betapa besar perjuangan dan jerih payah Imām Mālik dalam
membela dan melayani agama Allah, khususnya yang berkaitan dengan syariat dan fikih,
sehingga tak heran jika kegigihan dan perjuangannya menjadi acuan bagi para ulama
maupun orang awam.

Saat berbicara tentang fenomena mazhab, ada satu hal perlu ditekankan, yakni kita
harus sadar bahwa kebenaran sejatinya harus selalu diikuti. Mengikuti satu mazhab
merupakan langkah yang baik dan benar, asalkan seseorang tetap bersikap seimbang
dan objektif. Jika ada dalil shahih yang bertentangan dengan mazhab maka dalil shahih
itu yang harus diikuti tanpa ragu. Sebab, pendapat atau ucapan seseorang bisa diterima
ataupun ditolak, kecuali pendapat atau ucapan Nabi Muḥammad. Langkah inilah yang
ditempuh para imam.
Karena itu, bermazhab mesti proporsional, tidak perlu fanatik, tidak meninggalkan kitab
maupun sunnah demi mengikuti ucapan dan pendapat seseorang.

Keseimbangan inilah yang saya usung dalam buku ini. Selain itu saya juga tidak ingin
terlalu banyak memaparkan masalah-masalah fikih. Ini bukan buku fikih. Di sini saya
hanya memberikan gambaran seperlunya supaya pembaca bisa mengetahui sendiri
kepribadian, akhlak, jasa-jasa, dan kedudukan tokoh besar ini.

Tujuan buku ini adalah menggambarkan sosok-sosok teladan kepada muda-mudi


zaman sekarang. Pemaparan-pemaparan dalam buku ini, saya berharap, dapat
menjauhkan umat Islam dan generasi mudanya dari figur yang salah, seperti para artis
dan penyanyi, atau orang-orang yang tak bernilai sama sekali.

Saya membagi buku ini menjadi lima bab. Setiap bab terbagi menjadi beberapa subbab.
Saya memulai permbahasan buku ini dengan ulasan singkat tentang kehidupan politik,
sosial, pemikiran, dan keagamaan pada masa Imām Mālik.

Di bab pertama, saya berbicara tentang kelahiran Imām Mālik, keluarga, peranan
orangtuanya dalam keilmuan Imām Mālik, dan kisahnya dalam menuntut ilmu dari para
guru dan fuqaha’ besar pada zamannya.

Di bab kedua, saya berbicara tentang kepribadian dan keistimewaan Imām Mālik, bakat
dan kemampuannya yang telah membuatnya layak menjadi imam pada masanya,
perjalanan hidupnya, manhajnya dalam mempelajari fikih dan hadits, fatwanya, dan
status keimamannya.

Di bab ketiga, saya berbicara tentang hubungan Imām Mālik dengan pemerintah dan
para penguasa, serta prinsipnya dalam berhubungan dengan mereka.

Di bab keempat, saya memaparkan keilmuan sang imam, pendapat-pendapatnya di


bidang politik dan akidah, serta keilmuan orang-orang yang belajar kepadanya.

Di bab kelima, saya membahas tentang mazhab Mālikī, membicarakan tentang kitab
terbesar mazhab tersebut dan dasar-dasar yang menjadi fondasi fikir mazhab ini.

Terakhir, saya menggambarkan detik-detik kepergian sang imam dan kesaksian para
ulama tentangnya.

Saya memohon kepada Allah, semoga amal ini menjadi persembahan yang tulus demi
mengharap ridha-Nya dan semoga manfaatnya bisa dirasakan oleh seluruh kaum
muslim. Segala puji bagi Allah Tuhan semesta alam.
KONTEKS KEHIDUPAN MASA IMĀM MĀLIK

Bab ini memaparkan kehidupan politik, sosial, pemikiran, dan keagamaan pada masa
Imām Mālik.

1. Kehidupan Politik

Imām Mālik lahir pada masa kekhilafahan al-Walīd ibn ‘Abdul Mālik, seorang penguasa
dinasti Bani Umayyah. Pada masa al-Walīd, situasi politik cenderung stabil setelah
peristiwa perebutan kekuasaannya yang berlangsung cukup panjang terhadap lawan-
lawan politiknya. Di tangan al-Walīd, banyak daerah terpencil yang ditaklukkan sehingga
Islam menyebar ke seluruh penjuru; di belahan timur sempai ke perbatasan Cina,
bahkan Islam dipeluk oleh banyak penduduk Cina; di Barat, Islam sampai ke selatan
Eropa.

Kemudian, saat ‘Umar ibn ‘Abdul ‘Azīz menjabat khalifah, Imām Mālik semakin
menemukan ketenteraman dan kedamaian yang kelak akan berbuah manis. ‘Umar ibn
‘Abdul ‘Azīz dikenal sebagai sosok penguasa yang adil. Ia dijuluki khalifah rasyidin
kelima setelah Abū Bakar, ‘Umar, ‘Utsmān, dan ‘Alī r.a.

Fitnah dan Perpecahan

Imām Mālik sempat menjadi saksi sejarah perpecahan kaum muslim, fitnah yang terjadi
antara ‘Alī dan Mu‘āwiyah, fitnah yang terjadi pada masa Yazīd, dan kerusakan yang
melanda kaum muslim akibat ambisi mereka terhadap dunia dan kekuasaan. Api fitnah
melanda kaum muslim hingga melahap segala yang hijau dan basah. Petaka pada masa
konflik itu sangat berat sehingga menghambat laju dakwah dan penaklukan-
penaklukan.

Imām Mālik juga mendengar dan menyaksikan pemberontakan kaum Khawarij yang
mengusik ketenteraman. Mereka sering menculik kaum muslim di daerah-daerah
terpencil, padahal tindakan mereka tidak didasari alasan kuat. Mereka memahami
agama secara lahiriah saja, bahkan sering memutarbalikkan fakta tentang Islam. Imām
Mālik menyaksikan serbuan pasukan Khawarij ke kota Madinah di bawah pimpinan
Ḥamzah, membunuh para penduduk secara keji, lalu menduduki kota itu. Di sana,
mereka enggan menegakkan kebenaran dan tidak mengentaskan kebatilan.
Pemikirkan Politik Imām Mālik

Demikianlah kondisi kehancuran yang disaksikan Imām Mālik. Kondisi itu adalah akibat
pemberontakan beberapa kalangan terhadap para penguasa; pemberontakan tanpa
perencanaan matang, bertendensi duniawi, serta didasari hawa nafsu dan pemikiran
menyimpang. Oleh sebab itu, Imām Mālik sangat membenci segala bentuk
pemberontakan. Di matanya, pemberontakan lebih berdampak pada kehancuran,
mengganggu ketenangan dan menyuburkan kezaliman.

Situasi seperti inilah yang membentuk pemikiran politik Imām Mālik. Sang Imam
cenderung menyukai ketenangan dan kedamaian. Menurutnya, stabilitas kondisi umat
pasti berbuah kebaikan para penguasanya. Jadi, yang pertama harus dilakukan oleh para
reformis adalah memperbaiki kondisi rakyat, karena rakyat adalah pangkal sekaligus
pohon, sementara penguasa adalah buahnya. Sudah barang tentu buah selalu berasal
dari pohonnya. Jika sebuah pohon memiliki kualitas baik maka buahnya pun akan baik.
Buah hanya ada jika ada pohon.

Dalam situasi seperti ini, Imām Mālik memilih diam. Walaupun sikap diamnya ini tidak
berarti mengakui satu hal yang bukan berasal dari agama – kendati untuk maslahat
umum – tetapi Imām Mālik tidak mau berfatwa dengan satu hal yang bertentangan
dengan syariat Allah. Karena, di mata Imām Mālik fatwa adalah agama, dan agama
merupakan perhatian terbesar seorang manusia.

Dinasti ‘Abbāsiyyah

Sebelum dinasti ‘Abbāsiyyah berkuasa, kekacauan merajalela, kota Madinah diserang,


dan banyak anak-anak kaum Muhajirin dan Anshar yang dibunuh. Barulah pada masa
Abū Ja‘far Abū Manshūr, keadaan mulai berhasil dikendalikan. Para penguasa Bani
‘Abbās cenderung mau mendengarkan nasihat dan pertimbangan Imām Mālik. Hal itu
mendorong Imām Mālik untuk terus berkomunikasi dengan mereka dan menerima
hadiah-hadiahnya.

Imām Mālik hidup pada masa dua dinasti, yaitu Umayyah dan ‘Abbāsiyyah. Ia juga turut
menjadi saksi sejarah berbagai peristiwa dan konflik yang terjadi di antara kedua dinasti
itu. Sebab itulah Imām Mālik begitu membenci pemberontakan. Ia mendorong
refromasi di berbagai bidang, terutama setelah keadaan menjadi damai. Inilah pemikiran
politik Imām Mālik.

https://hatisenang.com/kategori/kumpulan-buku2-ttg-islam-am/tentang-isra-miraj/

Anda mungkin juga menyukai