Anda di halaman 1dari 9

ISLAM SESUDAH MUHAMMAD WAFAT: PENGGANTIAN DAN

KONFLIK KEPEMIMPINAN

Mata Kuliah : Agama Islam


Dosen Pengampu : Pdt. Dr. Marhaeni L. Mawuntu M.Si

Dibuat Oleh:
Octry Eliza Mamoto (202141251)

UNIVERSITAS KRISTEN INDONESIA TOMOHON


FAKULTAS TEOLOGI
TEOLOGI KRISTEN PROTESTAN
2022
Dalam catatan sejarah persoalan pertama yang muncul kepermukaan setelah Nabi
Muhammad wafat adalah persoalan pemimpin. Siapa yang akan menggantikan kedudukan beliau
sebagai kepala pemerintahan. Karena sejak Rasulullah Saw menjadi pemimpin politik dan
pemerintahan di Madinah, tidak pernah sedikit pun beliau membicarakan siapa yang berhak
menjadi penggantinya, apalagi menunjuk penggantinya kelak. Untuk menyelesaikan
kebingungan umat Islam digunakanlah prinsip musyawarah yang diajarkan oleh Rasulullah Saw.
yang pada akhirnya terpilihlah Abu Bakar As-sidiq sebagai khalifah pertama pengganti
Rasulullulah. Tata cara pemilihan pemimpin tersebut terus dipakai oleh umat islam untuk
memilih khalifah berikutnya, seperti memilih Umar bin Khattab, Usman bin Affan dan Ali bin
Abi Thalib. Kepemimpinan empat sahabat inilah yang dikenal dengan Khulfaur Rasyidin.
Selama 30 tahun memimpin, Khulafaur Rasyidin menjalankan pemerintahan dengan
bijaksana. Mereka dapat menyelesaikan persoalan dengan baik, tidak hanya masalah sosial
politik tetapi juga masalah keagamaan. Hal itu terjadi karena mereka adalah para sahabat
Raasulullah yang paling dekat, sehingga mereka memiliki otoritas keagamaan yang cukup
memumpuni.

Muhammad Saw, selain sebagai Rasulullah, juga sebagai pemimpin pemerintahan dan
pemimpin masyarakat. Setelah beliau wafat, perannya sebagai rasul tidak dapat digantikan atau
dialihkan kepada orang lain. Karena fungsi rasul merupakan hak prerogratif Allah, bukan
wilayah kekuasaan manusia. Akan tetapi, sebagai kepala pemerintahan dan pemimpin
masyarakat, posisi tersebut harus ada yang menggantikan. Oleh karena itu, pasca wafatnya
rasulullah Saw, terjadi kebingungan di kalangan masyarakat muslim ketika itu. Bahkan ada di
antara mereka yang tidak percaya kalau Muhammad sebagai seorang Nabi utusan Allah, juga
bisa wafat. Melihat gejala seperti ini, Abu Bakar As-Shidiq, salah satu sahabat Nabi Muhammad
Saw yang mempunyai nama lengkap Abdullah Abi Quhafah At-Tamimi, mendatangi kelompok
tersebut dan langsung berpidato. Dalam pidatonya ia mengatakan “Wahai manusia, siapa yang
memuja Muhammad, sesungguhnya Muhammad telah wafat, tetapi siapa yang memuja Allah,
Allah hidup selama-lamanya, tidak akan pernah mati”. Untuk memperkuat pidatonya itu, Abu
Bakar mengutip ayat al-Qur’an surat Âli Imrân ayat 144, yang Artinya: “Muhammad itu tidak
lain hanyalah seorang rasul, sungguh telah berlalu sebelumnya beberapa orang rasul. Apakah
jika Dia wafat atau dibunuh kamu berbalik ke belakang (murtad)? Barangsiapa yang berbalik
ke belakang, Maka ia tidak dapat mendatangkan mudharat kepada Allah sedikitpun, dan Allah
akan memberi Balasan kepada orang-orang yang bersyukur.”
Selain itu, dalam situasi seperti ini, muncul beberapa kelompok masyarakat muslim
Madinah yang tengah bermusyawarah guna menentukan siapa pengganti Muhammad Saw
sebagai pemimpin pemerintahan dan pemimpin masyarakat. Mereka, kaum Anshar tengah
mendiskusikan siapa yang akan menggantikan posisi politik dan kepemimpinan Muhammad
Saw. Mereka mencalonkan kandidatnya, bernama Sa’ad bin Ubadah. Sementara dari Muhajirin
Umar mencalonkan Abu Bakar. Hasil dari perdebatan tersebut, muncullah Abu Bakar as-Shiddiq
sebagai pemimpin umat Islam. Kemudian dilanjutkan oleh sahabat Umar bin Khattab, Usman bin
Affan dan Ali bin Abi Thalib. Kepemimpinan para sahabat yang empat ini dikenal dalam sejarah
Islam dengan sebutan Khulafaur Rasyidin, yakni para pemimpin pengganti yang mendapat
petunjuk dari Allah Swt.
Selama memimpin, mereka menjalankan pemerintahan dengan bijaksana. Mereka dapat
menyelesaikan persoalan dengan baik, tidak hanya masalah sosial politik, juga masalah-masalah
keagamaan. Hal itu terjadi karena mereka adalah para sahabat Rasulullah yang paling dekat,
sehingga mereka memiliki otoritas keagamaan yang cukup mumpuni. Meskipun hanya
berlangsung selama lebih kurang 30 tahun, masa pemerintahan Khulafaur Rasyidin, merupakan
masa yang sangat penting dalam perjalanan sejarah umat Islam. Karena pada masa ini, terjadi
kemajuan yang cukup signifikan dalam banyak hal, terutama dalam bidang sosial politik dan
pemerintahan. Pada paruh pertama pemerintahan khalifah Abu Bakar, misalnya, pergolakan
sosial terjadi karena munculnya kelompok pembangkang yang terdiri dari para nabi palsu,
mereka yang menolak membayar zakat, dan gerakan kaum murtad. Semua itu dapat diselesaikan
dengan baik oleh khalifah Abu Bakar.
Keberhasilan khalifah Abu Bakar dalam mengatasi berbagai gejolak sosial politik yang
terjadi pasca wafatnya Rasululah Saw, membuat suasana politik menjadi terkendali, sehingga ia
mampu menjalankan program pengembangan wilayah kekuasaan Islam.

Ada perbedaan visi politik dari Umar bin Khattab, Ustman bin Affan, Ali bin Abi Thalib,
dan Muawiyah bin Abu Sofyan.

a. Umar bin Khattab


Umar bin Khattab adalah salah satu sahabat Nabi dan khalifah kedua setelah wafatnya
Abu Bakar As-Shidiq. Jasa dan pengaruhnya terhadap penyebaran Islam sangat besar. Beliau
lahir di Mekah dari Bani Adi, salah satu rumpun Quraisy dengan nama lengkap Umar bin
Khattab bin Nafiel bin Abdul Uzza. Keluarga Umar tergolong keluarga kelas menengah, Umar
juga dikenal karena fisiknya yang kuat dimana ia juara gulat di Mekah.
Setelah dibai’at dan dilantik menjadi Khalifah menyampaikan pidato penerimaan
jabatannya dihadapan kaum muslimin. Bagian dari pidatonya adalah : “aku telah dipilih jadi
Khalifah. Kerendahan hati Abu Bakar selaras dengan jiwanya yang terbaik diantara kamu dan
lebih kuat terhadap kamu dan juga lebih mampu untuk memikul urusan kamu yang penting-
penting. Aku diangkat dalam jabatan ini tidaklah sama dengan beliau. Andaikata aku tahu ada
orang yang lebih kuat dari padaku untuk memikul jabatan ini, maka memberikan leherku untuk
dipotong lebih aku sukai daripada memikul jabatan ini. Sesungguhnya Allah menguji kamu
dengan saya. Dan menguji saya dengan kamu dan membiarkan saya memimpin kamu sesudah
sahabat saya maka janganlah sesuatu urusan dari urusan kamu dihadapkan kepada seseorang
selain saya; dan janganlah seseorang menjauhkan diri dari saya, sehingga saya tidak dapat
memilih orang-orang yang benar dan memegang amanah. Jika mereka berbuat baik tentu saya
akan berbuat baik kepada mereka dan jika mereka berbuat jahat, maka tentu saya akan
menghukum mereka”
Pidato tersebut menggambarkan pandangan Umar bahwa jabatan Khalifah tugas yang
berat sebagai amanah dan ujian, antara pemimpin dan terpinpin harus ada hubungan timbal balik
yang seimbang, setiap urusan harus diselesaikan oleh khalifah dengan baik, khalifah harus
memilih orang-orang yang benar dan bisa memegang amanah untuk membantunya. Hukum
harus ditegakkan terhadap pelaku tindak kejahatan.
Periode kekhalifahan Umar Tidak dapat diragukan lagi merupakan abad emas Islam
dalam segala zaman. Periodenya terkenal dengan pembangunan Islam dan perubahan-
perubahannya. Khalifah Umar bin Khattab mengikuti langkah-langkah Rasulullah dengan
segenap kemampuannya terutama pengembangan Islam. Ia bukan sekedar seorang pemimpin
biasa, tetapi seorang pemimpin pemerintahan yang professional. Ia adalah pendiri sesungguhnya
dari sistem politik Islam. Ia melaksanakan hukum-hukum Illahiyah (syari’at) sebagai kode (kitab
undang-undang) suatu masyarakat Islam yang baru dibentuk. Maka tidak heran jika ada yang
mengatakan bahwa Umarlah pendiri bani Islamiyah (tanpa mengabaikan jasa-jasa khalifah
sebelumnya).
Banyak metode yang digunakan Umar dalam melakukan perluasan wilayah, sehingga
musuh mau menerima Islam karena perlakuan adil kaum muslim. Disitulah letak kekuatan
politik terjadi. Dari usahanya pasukan kaum muslim mendapatkan gaji dari hasil rampasan sesuai
dengan hukum Islam. Untuk mengurusi masalah ini, telah dibentuk diwannul jund. Sedangkan
untuk pegawai biasa, disamping menerima gaji tetap (rawatib), juga menerima tunjangan (Al-
Itha’). Khusus untuk Amr bin Ash, Umar menggajinya sekitar 200 dinar mengingat jasanya yang
besar dalam ekspansi. Dan untuk Amr bin Yasr, diberi 60 dinar disamping tunjangan (Al-Jizyat)
karena hanya sebagai kepala daerah (Al-Amil). Dalam rangka desentralisasi kekuasaan,
pemimpin pemerintahan pusat tetap dipegang oleh khalifah Umar bin Khattab. Sedangkan di
provinsi, ditunjuk Gubernur (orang Islam) sebagai pembantu khalifah untuk menjalankan roda
pemerintahan. dalam pemerintahannya terdapat majlis syura’, bagi Umar tanpa musyawarah,
maka pemerintahannya tidak dapat berjalan.
Selain itu membentuk departemen dan membagi daerah kekuasaan Islam menjadi delapan
provinsi, membentuk kepala distrik yang disebut ‘amil, pada masanya juga terdapat kebijakan
yang fenomenal dalam kebijakan ekonomi di Sawad (daerah subur), ia mengeluarkan dekrit
bahwa orang arab termasuk tentara dilarang transaksi jual beli tanah diluar arab dengan alasan;
mutu tentara arab menurun, produksi menurun negri rugi 80% dari pendapatan, dan rakyat akan
kehilangan mata pencaharian yang menyebabkan mereka mudah memberontak terhadap negara.
Kebijakan yang lain adalah menerapkan pajak perdagangan (bea cukai), dan lain-lain.

b. Ustman bin Affan

Ketika Utsman bin Affan telah dilantik menjadi khalifah ketiga negara Madinah, ia
menyampaikan pidatonya yang menggambarkan dirinya sebagai sufi dan citra pemerintahannya
lebih bercorak agama ketimbang politik belaka sebagai dominan. Dalam pidatonya Utsman
mengingatkan beberapa hal yang penting:
1. Agar umat Islam berbuat baik sebagai bekal untuk hari kematian.
2. Agar umat Islam tidak terperdaya kemewahan hidup didunia yang penuh kepalsuan.
3. Agar umat Islam mau mengambil pelajaran dari masa lalu.
4. Sebagai khalifah ia akan melaksanakan perintah Al-Qur’an dan sunnah rasul.
5. Disamping ia akan meneruskan apa yang telah dilakukan pendahulunya juga akan
membuat hal baru yang akan membawa kepada kebajikan.
6. Umat islam boleh mengkritiknya apabila ia menyimpang dari ketentuan hukum.
Untuk pelaksanaan administrasi pemerintahan didaerah, khalifah Utsman
mempercayakan kepada seorang gubernur untuk setiap wilayah atau provinsi pada masanya
kekuasaan wilayah membagi menjadi sepuluh provinsi :
1. Nafi’ bin Al-Haris Al-Khuza’I, amir wilayah Mekkah.
2. Sufyan bin Abdullah Al-Tsaqfi, Amir wilayah bani Naufi.
3. Ya’la bin Munabbih Halif bani Nauful bin Abdul Manaf diwilayah Shan’a.
4. Abdullah bin Abi Rabi’ah, Amir wilayah Janad.
5. Utsman bin Abi Al-Ashal-Tsaqafi, Amir wilayah Bahrain.
6. Al-Mughirah bin Syu’bah Al-Tsaqi, Amir wilayah Kuffah.
7. Abu Musa Abdullah bin Qais Al-Asy’ari, Amir wilayah Basrah.
8. Mu’awiyah bin Abi Sufyan, Amir wilayah Damaskus.
9. Umar bin Sa’ad, Amir wilayah Hims.
10. Amr bin Al-Ash Al-Sahami, Amir wilayah Mesir.
Sedangkan kekuasaan legislative dipegang oleh dewan penasehat syura, tempat khalifah
mengadakan musyawarah dengan para sahabat terkemuka. Prestasi tertinggi masa pemerintahan
Utsman sebagai hasil majlis syura’ adalah menyusun Al-Qur’an standar, yaitu penyeragaman
bacaan dan tulisan Al-Qur’an, seperti yang dikenal sekarang. Naskah salinan Al-Qur’an tersebut
disimpan dirumah istri Rasulullah.
Tahun-tahun berikutnya, pemerintahannya Utsman mulai goyah. Rakyat dibeberapa
daerah terutama Kuffah, Bashrah, dan mesir mulai memprotes kepemimpinannya yang dinilai
tidak adil. Salah satu faktor yang menyebabkan banyak rakyat berburuk sangka terhadap
kepemimpinan Utsman bin Affan adalah kebijakannya mengangkat keluarganya dalam
kedudukan tinggi. Yang terpenting adalah Marwan ibnu Hakam. Dialah pada dasarnya yang
dianggap oleh orang-orang tersebut yang menjalankan pemerintahan, sedangkan Utsman hanya
menyandang khalifah. Setelah banyak anggota keluarganya yang duduk dalam jabatan-jabatan
penting ia juga tidak tegas terhadap kesalahan bawahan. Harta kekayaan negara oleh kerabatnya
dibagi-bagikan tanpa terkontrol oleh Utsman sendiri. itu semua akibat fitnah yang disebarkan
oleh Abdullah bin Saba’. Padahal utsman paling berjasa membangun bendungan untuk menjaga
arus banjir yang besar dan mengatur pembagian air ke kota-kota. Dia juga membangun jalan-
jalan, jembatan-jembatan, masjid-masjid dan memperluas masjid Nabi di Madinah. 1
c. Ali bin Abi Thalib
Umat yang tidak mempunyai pemimpin pada saat wafatnya Utsman, membai’at Ali bin
Abi thalib sebagai khalifah baru. Pengukuhan Ali menjadi khalifah tidak semulus pengukuhan
tiga orang khalifah pendahulunya. Ia di baiat ditengah kematian Utsman, pertentangan dan
kekacauan kebingungan umat Islam Madinah. Sebab kaum pemberontak yang membunuh
Utsman mendaulat Ali supaya bersedia dibai’at menjadi khalifah. Setelah Ali bin Abi Thalib di
bai’at menjadi Khalifah dimasjid Nabawi dan ia menyampaikan pidatonya. Dalam pidatonya
khalifah Ali menggambarkan dan memerintahkan agar umat Islam:
1. Tetap berpegang teguh kepada Al-Qur’an dan sunah Rasul.
2. Taat dan taqwa kepada Allah serta mengabdi kepada Negara dan sesame manusia.
3. Saling memelihara kehormatan diantara sesame muslim dan umat lain.
4. Terpanggil untuk berbuat kebajikan bagi kepentingan umum.
5. Taat dan patuh kepada pemerintah.
Tak lama sesudah itu, Ali bin Abi Thalib menghadapi pemberontakan Thalhah, Zubair,
dan Aisyah. Alasan mereka Ali tidak mau menghukum para pembunuh Utsman, dan mereka
menuntut bela terhadap darah yang telah ditumpahkan secara dzalim. Ali sebenarnya ingin sekali
menghindari perang. Dia mengirim surat kepada Thalhah dan Zubair agar keduanya mau
berunding untuk menyelesaikan perkara itu secara damai. Namun ajakan tersebut ditolak,
akhirnya pertempuranpun berkobar. Perang ini dinamakan perang Jamal (unta), karena Aisyah
dalam pertempuran itu menunggang unta, dan berhasil mengalahkan lawannya. Zubair dan
Thalhah terbunuh, sedangkan Aisyah ditawan dan dikirim kembali ke Madinah.
Dengan demikian masa pemerintahan Ali melalui masa-masa paling kritis karena
pertentangan antar kelompok yang berpangkal dari pembunuhan Utsman. Namun khalifah Ali
menyatakan “ia berhasil memecat gubernur yang korupsi dan mengembalikan kebijaksanaan
Umar pada setiap kesempatan yang memungkinkan. Ia membenahi dan menyusun arsip Negara
untuk mengamankan dan menyelamatkan dokumen-dokumen khalifah dan kantor Shahib
Ushurthah, serta mengkoordinir polisi dan menetapkan tugas-tugas mereka.

1
Abdul Syukur Al-Azizi, Kitab sejarah Peradaban Islam, (Jogjakarta : Saufa, 2014) Hal.102.
Kebijaksanaan-kebijaksanaaan Ali juga mengakibatkan timbulnya perlawanan dari para
gubernur di Damaskus, Mu’awiyah, yang didukung oleh sejumlah bekas pejabat tinggi yang
merasa kehilangan kedudukan kedudukan dan kejayaan. Setelah berhasil memadamkan
pemberontakan Zubair, Thalhah dan Aisyah, Ali bergerak dari Kuffah menuju Damaskus dengan
sejumlah besar tentara. Pasukannya bertemu dengan pasukan Mu’awiyah di Shiffin.
Pertempuran terjadi disini yang dikenal dengan nama perang Shiffin. Perang ini diakhiri dengan
tahkim (arbitrase), tapi tahkim ternyata tidak menyelesaikan masalah, bahkan menimbulkan
golongan ketiga Al-Khawarij, orang-orang yang keluar dari barisan Ali. Akibatnya, diujung
masa pemerinthan Ali umat Islam terpecah menjadi tiga kekuatan politik yaitu Mu’awiyah,
Syi’ah, (pengikut Abdullah bin Saba’ Al-Yahudi) yang menyusup pada barisan tentara Ali, dan
Al-Khawarij (orang-orang yang keluar dari barisan Ali). Keadaan ini tidak menguntungkan Ali.
Munculnya kelompok Al-Khawarij menyebabkan tenteranya semakin lemah, sementara posisi
mu’awiyah semakin kuat. Pada tanggal 20 ramadhan 40 H (660 M), Ali terbunuh oleh salah
seorang khawarij yaitu Abdullah bin Muljam.

d. Muawiyah bin Abu Sofyan

Muawiyah bin Abu Sufyan adalah khalifah pertama dari Bani Umayyah. Setelah
perjanjian damai dengan Imam Hasan as, Muawiyah berkuasa hingga tahun 61 H/680 di
Damaskus, kurang lebih selama 20 tahun. Muawiyah termasuk golongan Thulaqa’, dia masuk
Islam pada masa Penaklukan Mekah. Muawiyah turut andil dalam penaklukan wilayah Syam di
zaman Abu Bakar. Pada zaman Umar bin Khattab, Muawiyah diangkat sebagai Gubernur
Yordania kemudian kembali diangkat sebagai Gubernur Penuh Syam. Pada zaman kekhalifahan
Imam Ali as, Muawiyah mengobarkan perang Shiffin dengan dalih menuntut balas terbunuhnya
Usman bin Affan. Setelah syahidnya Imam Ali as, Muawiyah mengadakan perjanjian damai
dengan Imam Hasan as dan mengambil alih kekhalifahan kemudian menjadikan Damaskus
sebagai pusat pemerintahannya. Di masa kekuasaannya, Muawiyah banyak menaklukkan
wilayah Barat dan Afrika Utara, adapun untuk wilayah timur dia hanya mengukuhkannya karena
sebelumnya telah berhasil ditaklukkan. Muawiyah mengubah kekhalifahan menjadi kesultanan.
Dia berupaya keras supaya sepeninggalnya nanti umat Islam bersedia membaiat putranya, Yazid.
Muawiyah banyak mendirikan kantor baru guna menunjang operasionalisasi pemerintahannya.
Dimasanya, Muawiyah banyak menghadapi pemberontakan yang dilakukan golongan Khawarij
dan Syiah, namun dia berhasil memadamkannya.
Terjadinya perjanjian damai antara Muawiyah dan Imam Hasan as adalah akhir
kekhalifaan pertama sekaligus dimulainya masa kekuasaan Bani Umayyah. Muawiyah
menjadikan Damaskus sebagai pusat pemerintahannya. Muawiyah sadar bahwa untuk menggapai
tujuan-tujuannya dia harus memperkokoh pondasi pemerintahannya. Hal-hal penting yang
dilakukan Muawiyah untuk mempertahankan kekuasaannya adalah sebagai berikut: mengubah
sistem politik dan menjadikan militer sebagai poros kekuatan, menyamaratakan suku-suku,
membentuk sistem putra mahkota, memberantas para penentang, bersikap baik dan bermurah
hati terhadap para pemuka umat Islam, menjaga keamanan dengan kediktatoran, mengawasi
langsung aktifitas pemerintahan dan lain sebagainya.

Anda mungkin juga menyukai