Anda di halaman 1dari 6

Muhammad SAW wafat pada tanggal 12 Rabiulawal tahun 11 H atau tanggal 8 Juni

632 M. Sesaat setelah beliau wafat, situasi di kalangan umat Islam sempat kacau. Hal ini
disebabkan Nabi Muhammad SAW tidak menunjuk calon penggantinya secara pasti. Dua
kelompok yang merasa paling berhak untuk dicalonkan sebagai pengganti Nabi Muhammad
SAW adalah kaum Muhajirin dan Anshar.

Terdapat perbedaan pendapat antara Kaum Muhajirin dan Anshar karena kaum
Muhajirin mengusulkan Abu Bakar as Shiddiq, sedangkan kaum Anshar mengusulkan Sa’ad
bin Ubadah sebagai pengganti nabi Muhammad SAW.

Perbedaan pendapat antara dua kelompok tersebut akhirnya dapat diselesaikan secara
damai setelah Umar bin Khatab mengemukakan pendapatnya. Selanjutnya, Umar
menegaskan bahwa yang paling berhak memegang pimpinan sepeninggal Rasulullah adalah
orang-orang Quraisy. Alasan tersebut dapat diterima oleh kedua belah pihak.

Melihat dari masalah itu kami dari penulis mencoba untuk membahas tentang
Khulafaur Rasyidin. Tidak terlepas dari hal ini semoga makalah ini bisa membantu kesulitan
teman-teman dalam memahami tentang Khulafaur Rasyidin

RUMUAN MASALAH

1. Bagaimana sistem pergantian kepemimpinan al-khulafa al-rasyidun?


2. Gaya Kepemimpinan al-Khulafa al-Rasyidun

A. Sistem Pergantian Kepemimpinan al-Khulafa ar-Rasyidun

Dengan wafatnya Nabi maka berakhirlah situasi yang sangat unik dalam sejarah, yakni
kehadiran seorang pemimpin tunggal yang punya otoritas spiritual (agama) sekaligus temporal
(duniawi) berdasarkan kenabian dan bersumber kepada wahyu Ilahi. 1 situasi tersebut tidak akan
berulang kembali, sebab Nabi Muhammad adalah Rasul Terakhir, tidak akan ada lagi rasul
sesudah beliau.

Sepeninggal Nabi kepemimpinan umat islam digantikan oleh para penggantinya yang di kenal
dengan al-Khulafa al-Rasyidun (para pengganti/khalifah yang mendapat petunjuk)/ Masa al-
Khulafah al-Rasyidun dapat di petakan menjadi empat, yaitu kepemimpinan pada masa:
1) Abu bakar ash-Shiddiq, 2) Umar bin Khattab, 3( Usman bin Affan, 4) Masa Ali bin Abi Thalib. 2

Sistem penggantian kepemimpinan dari masing-masing khalifah tersebut berbeda-beda.


Sebab dulu Nabi Muhammad SAW. Tidak meninggalkan wasiat tentang pergantian
kepemimpinan. Al-Quran juga tidak memberi petunjuk secara tegas bagaimana sistem suksesi
kepemimpinan dilakukan, kecuali hanya prinsip-prinsip umum, yaitu agar umat Islam
menentukan urusannya melalui musyawarah. Mengenal bagaimana mekanisme dan teknis
operasional musyawarah itu dilaksanakan, Al-Quran dan Hadist tidak menguraikan secara rinci.
Tampaknya hal itu sengaja diserahkan kepad umat Islam sesuai dengan tuntutan kemaslahatan
yang ada.

1. Abu Bkar ash-Shiddiq (11-13 H/632-64M)

Sesudah Rasulullah wafat kaum Anshar menghendaki agar orang yang akan menjadi khalifah
dipilih dari kalangan mereka. Ketika itu, Ali juga menginginkan agar beliau diangkat jadi khalifah,
dengan alasan beliau adalah menantu Nabi dan Karib Nabi. Tetapi rupanya kebanggan umat
Islam menghendaki Abu Bakar dipilih sebagai Khalifah. 3

Abu Bakar diangkat sebagai Khalifah dibalai pertemuan Bani Sidah melalui pemilihan
musyawarah terbuka,terutama oleh lima tokoh (Abu Bakar, Umar bin khattab, Abu Ubaidah bin
Jarrah, Basyir bin Saas, dan Aqsid bin Khudair) yang mewakili semua golongan utama umat
Islam, yaitu Muhajirin, Anshor (baik dari suku Aus maupun Khazraj). Jadi dapat disimpulkan
bahwa sistem suksesi pada masa Abu Bakar adalah melalui pemilihan terbuka berdasarkan
musyawarah. Ini adakag salah satu embrio demokrasi dalam sejarah kepemimpinan Islam.

2. Umar bin Khattan (12-23H/634-644 M)

Setelah Abu Bakar menyelesaikan tugas kepemimpinannya selama kurang lebih dua tahun
beliau lalu meninggal dunia. Seblum Abu Bakar meninggal, beliau sempat menunjuk
penggantinya sesudah bermusyawarah dengan kaum muslimin. Kebetulan yang di tunjuk pada
waktu itu adalah Ummar bin Khattab, maka akhirnya sepeninggal; Abu Bkar kepemimpinan itu di
gantikan oleh Umar bin Khattab.

Dalam hal ini, tampaknya ada perbedaan dengan masa Nabi yang sebelumnya tidak
menunjuk calon penggantinya. Lalu mengapa Abu Bakar sebelum meningal dunia menunjuk
terlebih dahulu calob penggantinya? Sebab ada kekhawatiran dari Abu Bakar akan terjadi
perselisihan yang cukup membahayakan persatuan umat Islam, jika mereka tinggal begitu saja
tanpa ada calon yang menggantikannya. Rupanya Au Bakar sangat trauma dengan kejadian
sewaktu ditinggal Nabi, yakni sempat terjadi perselisihan yang cukup tajam di kalangan kaum
muslimin, karena beliau tidak menunjuk siapa calon penggantinya. Oleh sebab itu, Abu Bakar
berijtihad agar hal itu tidak terjadi lagi, perlu ditunjuk calon penggantinya sebelum beliau wafat.

Dari uraian tersebut dapat disimpulkan bahwa sistem suksesi kepemimpinan pada masa
Umar bin Khattab adalah melalui penunjukan (baca:wasiat) oleh pendahulunya dan tidak
melalui pemilihan dalam pertemuan terbuka.

3. Usman bin Affan (23-35 H / 644-656 M)

Setelah Umar wafat karena ditikan oleh Abu Lu’luah, maka estafet kepemimpinannya
akhirnya dilanjutkan oleh Usman bin Affan. Namun kali ini sistem pengangkatan Usman berbeda
dengan masa Umar atau Abu Bakar. Usman bin Affan tidak diangkat melalio penunjukan atau
wasiat, melainkan oleh “dewam formatur” yang terdiri dari lima sampai enam orang yang
ditunjuk oleh Umar sebelum beliau meninggal dunia. Mereka adalah sahabat-sahabat seniur
yaitu: 1) Ali bin Abi Thalib, 2) Usman bin Affan, 3) Saad bin Abi Waqqas, 4) Abdurrahman bin Auf,
5) Zaubair bin Awwan, 6) Thalhah bin Ubaidillah, dan Abdullah bin Umar putra Umar bin Khattab
(tetapi tanpa hak suara).
Penunjukan tersebut tidak berdasarkan perwakilan golonga, tetapi atas dasar pertimbangan
kualitas pribadi masinh-masing, yakni karena mereka menurut Nabi adalah calon-calon
penghuni surga. Khalifah Umar ketika itu sempat berpesan bahwa mereka yang tidak setuju
dengan suara mayoritas supaya ditindak tegas.

Setelah Umar wafat, maka lima dari enam orang tersebut berunding untuk membahas siapa
yang akan menruskan tongkat estafet keepemimpinan (kekhalifaan). Ketika itu ada pemikian
dari Abdurrahman bin Auf agar mereka dengan sukareka mau mengundurkan diri, dan memberi
kesempatan kepada orang yang benar-benar paling memenuhi persyaratan untuk dipilih sebagai
khalifah. Tetapi ripanya usul tersebut tidak berhasil, dan ternyata tidak ada satupun yang mau
mengundurkan diri, kemudian Abdurrahman bin Auf mengundurkan diri.

Ketika itu juga semoat terjadi aksi dukung mendukung antara kelompok ALi dan kelompok
Usman. Namun akhirnya, Usman bin Affan terpilih menjadi khalifah menggantikan Umar bin
Khattab. Dalam pengangkatan Usman, tampak bahwa musyawarah dilaksanakan oleh tokoh-
tokoh senior (dewan formatur) tetapi terkesan tidak ada peluang untuk berbeda pendapat,
sebagaimana yang pernah diwariskan oleh Umar bin Khattab, karena khawatir terjadi keributan
lagi.

4. Ali bin Abi Thalib (35-40 H / 656-661 M)

Setelah Usman bin Affan menyelesaikan tugas kepemimpinan maka tongkat komando
kepemimpinan Islam waktu itu dipegang oleh Ali bin Abi Thalb. Ali bin Abi Thalib diangkat
menjadi khalifah pada bulan Juni tahun 565 M melalui pemilihan dan pertemuan terbuka, tetapi
dalam kondisi yangkavau, sebab misteri terbunuhnya khalifah Usman belum terungkap, dan
ketika itu hanya beberapa tokoh senior masyarakat Islam di Madinnah.

Setelah Ali terpilih sebagai Khalifah, dalam pidato pengukuhannya khalifah Ali menyatakan
bahwa Allah telah menurunkan Al-Quran yang menjelaskan hal-hal yang baik dan meninggalkan
yang buruk. Beliau juga menegaskan bahwa perlindungan yang dijamin Allah adalah
perlindungan atas umat Islam. Adalah haram hukumnya melukai, merugikan sesama umat Islam
tanpa alasan yang dibenarkan hukum.7

Sejarah mencatat bahwa pengelolaan urusan pemerintahan Ali juga selalu mengutamakan
tradisi musyawarah sebagimana para pendahulunya, meskipun sudah kurang efekif, sebab telah
terjadi friksi-friksi yang tajam dikalangan umat Islam, yaitu antara kelompok Umawiyah
(pendukung Muawiyah) dan Hasyimiyah (pendukung Ali).

Tidaklah mengherankan jika kemudian diakhir kepemimipinan Ali, sempat terjadi konflik-
konflik seperti perang Jamal (onta) antara Ali dan Aisyah, perang Shiffin antara Ali dengan
Muawiyyah yang membelot, sampai terjadi tahkim (masing-masing pihak memilih seorang
hakim) pada tahun 34 H untuk mengatasi konflik tersebut. Akhirnya karena “kelicikan” Amr bin
Ash wakil dari kubu Muawiyyah, dalam tahkim tersebut diputuskanlah bahwa Ali dihentikan dari
jabataqn Khalifah, dan diangkatlah Muawiyyah sebagai pengganti Ali 8. Sejak itu pula sistem
pergantian kepemimpinan berubah dari yang bersifat demokrasi menjadi model pergantian
khalifah yang bersifat monarki atau turun menurun.

B. Gaya Kepemimpinan al-Khulafa al-Rasyidun


Masing-masing khalifah rupanya mempunyai gaya atau model sendiri-sendiri dalam
memimpin ketika itu. Berikut ini akan penulis uraikan secara singkat mengenai gaya dan model
kepemimpinan mereka.

1. Gaya Keemimpinan Abu Bakar ash-Shiddiq

Abu Bakar Siddiq memimpin selama kurang lebih dua tahun yaitu (632-634 M). Masa yang
sangat singkat tersebut habis untuk menyelesaikan persoalan dalam negri, terutama tantangan
yang di timbulkan oleh suku-suku bangsa Arab yang tidak mau tunduk lagi kepada pemerintahan
di Madinah sepeninggal Nabi. Mereka beranggapan bahwa perjanjian yang mereka buat dengan
Nabi, dengan sendirinya habis dan Batal setelah Nabi meninggal dunia. Oleh karenanya mereka
itulah yang dikenal dengan orang-orang murtad. 9

Karena mereka tetap keras kepala, tidak mau tunduk, bahkan penentangan mereka
dipandang dapat membahayakan agamara dan pemerintahan, maka Abu Bakar menyelesaikan
masalah tersebut dengan perang yang disebut dengan perang Riddah (perang melawan
kemurtadan).

Meskipun Abu Bakar dikenal sebagai orang yang lemah lembut dan low prifile, tapi beliau
self convident dan sangat tegas dalam hal-hal yang dipandang dapat membahayakan agama dan
negara. Dalam memimpin gaya yang di pakai oleh Abu Bakar aadalah gaya yang bersifat
sentralistik, dimana kekuasaan legislatif, eksekutif, dan yudikatif berada di tangan Khalifah. 10
meskipun demikian, Abu Bakar tetap mengajak bermusyawarah dengan para sahabat yang lain,
sebagaiman yang dulu pernah di praktikan oleh Rasulullah SAW.

Dalam hal hubungan antara penguasa dan rakyat, Abu Bakar dikenal sebagai pemimpin yang
cukup akomodatif, beliau juga sangat tawadhuf (rendah hati). Hal ini tampak dalam salah satu
pidatonya setelah di kukuhkan sebagai khalifah. Beliau menyatakan bahwa meskipun mendapat
kepercayaan untuk memimpin rakyat, tetapiitu tidak berartti bahwa dia lebih baik dari
anggotamasyarakat yang lain. Oleh karenanya rakyat dimimta untuk mendukung dan
membantunya jika dia bertindak baik. Sebaliknya, jika dia bertindak tidak benar, rakyat diminya
untuk mengoreksi dan memperbaikinya.

Abu Bakar juga sempat menyatakan bahwa anggota-anggota masyarakat yang lemah itu
justru merupakan pihak yang kuat sampai ia memenuhi hak-hak mereka, dan sebaliknya
anggota-anggota masyarakat yang kuat sampai ia memenuhi kewajiban mereka kepada
masyarakat dan negara. Dia juga meminta kepada rakyat agar taat selama ia tetap taat kepada
Allah dan Rasul-Nya, dan agar tidak mendengarkan perintah jika dia melanggar ajaran Allan]h
dan rasul-Nya.

2. Gaya Kepemimpinan Umar bin Khattab

Umar bin Khattab dikenal sebagai seorang khalifah yang tegas dalam memberantas kebatilan.
Termasuk menindak putranya sendiri jika melanggar hukum. Beliau juga merupakan tiper
pemimpin yang demokratis dan iklusif. Ia mau dkritik dan mau mendengarkan saran oranglain.
Terbukti pernah ada seorang yang pernah mengatakan di depan Khalifah Umar bahwa jika Umar
bertindak sewenang-wenang maka pedangnyalah yang akan mengingatkan beliau. Umar waktu
itu konstan mengatakan : Allhamdulillah masih ada masyarakat yang tegas seperti itu.

Hubungan antara penguasa dan rakyat juga sangat demokratis, bersifat transparan, adaptis
dan dinamis. Manajemen kepemimpinan yang transparan seperti itu rupanya menjadi salah satu
faktior internal keberhasilan kepemimpinan Umar. Keberhasilan Umar antara lain tercemin dalam
hal-hal sebagai berikut: 1) bliau berhasil menyusuk dewan-dewan, 2) mendirikian Baitul Mal, 3)
membikin mata uang, membentuk tentara untuk melindungi tapal batas wilayah, 4) mengadakan
hisbah (pengawasan terhadap pasar), 5) penjagaan tata tertib dan susila, 6) pengawasan
terhadap kebersihan jalan, dan lain sebagainya. 11

3. Gaya Kepemimpinan Usman bin Affan

Usman bin Affan dikenal sebagai seorang pemimpin yang familier dan humanis. Namun
kemudian gaya kepemimpinan yang familier berdampak kurang baik, yaitu munculnya nepotisme
dalam pemerintahan Usman. Sebab Usman kemudian banyak mengangkat pejabat-pejabat
negara dari kerabatnya sendiri dan kurang mengakomodasi pejabat diluar kerabat beliau. Inilah
yang kemudian menyebabkan munculnya kerusuhan, kecemburuan, dan penrgolakan
pemerintahannya.12 Namun demikian, semasa kepemimpinan khalifah Usman berhasil
mengkodifisikan mushaf Al-Quran dan menyeragamkan bacaan Al-Quran yang sesuai dengan
mushaf Usmani tersebut. Inilah salah satu keberhaislan yang luar biasa. 13

4. Gaya Kepemimpinan Ali bin Abi Thalib

Sayyidina Ali dikienal sebagai khalifah yang pemberani (brave), cerdas (smart, pandai
bermain pedang, dan pandai menulis. Beliau juga seorang orator ulung. Beliau orang yang
pertama kali masuk Islam dari golongan anak muda. 14

Gaya kepemimpinan Ali boleh dibilang sangat tegas dan berani mengamil langkah-langkah
yang cukup berisiko. Gaya kepemimpinannya juga memang mencerminkan pribadi yang
berakhlak dan berbudi pekerti. Beliau adalah tipe orang yang suka berterus terang, tegas
bertindak, dan suka “berminyak air”. Ia tidak takut pada celaan siapapun dalam menjalankan
kebeneran, meskipun hal itu cukup beresiko bagi dirinya.

Oleh sebab itu, setlah diangkat menjadi khalifah, Ali mengambil langkah- langkah tegas : 1)
mencatat kepala-kepala daerah yang diangkat oleh Usman dan dikirimkan kepala daerah baru
untuk menggantikannya, 2) mengambil tanah yang dibagi-baikan Usman kepada famili-famili dan
kaum kerabatnya tanpa jalan yang sah. Demikian juga hibah atau pemberian Usman kepada
siapapun yang tidak beralasan diambil kembali oleh Ali untuk dikembalikan kepada negara. 15

Sebagian ahli sejarah menilai tindakan Ali seperti itu kiurang bijak, namun Ahmad Syalabi
tidak demikian halnya. Tindakan semacam itu didasari pertimbangan-pertimbangan sebagai
berikut: 1) Ali tidak mungkin membiarkan pejabat-pejabat yang telah bebuat aniaya dimasa
Usman bekerja terus. Padahal, dulu mereka menentang dan menyuruh memecat pejabat yang
berbuat demikian, 2)Ali tidak mungkin meneruskan atau menyetujui tindakan Usman
memberikan tanah milik Baitul Mal begitu saja kepada kerabat-kerabat tanpa alasan yang sah. 16
Memang apapun yang dilakukan oleh seorang pemimpin pasti membawa implikasi-implikai
tertentu, dan itu adalah bagian dari ijtihad politik para khalifah.

Simpulan
Khulafaur Rasyidin mempunyai arti pemimpin yang bijaksana sesudah Nabi Muhammad
SAW wafat. Mereka itu terdiri dari para sahabat Nabi Muhammad SAW yang berkualitas
tinggi dan baik yang memunyai sifat, Arif dan bijaksana. Berilmu yang luas dan
mendalam, Berani bertindak dll.
Pada masa pemerintahan Khulafaur Rasyidin, khalifah di pilih berdasarkan musyawarah.
Setelah Nabi Muhammad wafat, Abu Bakar diangkat menjadi khalifah melalui pertemuan
saqifah atas usulan umar. Ketika Abu Bakar sakit dia bermusyawarah dengan para sahabat untuk
menggantikan beliau menjadi khalifah pada masa Umar gelombang exspansi pertama terjadi. Umar
membentuk panitia yang beranggotakan 6 orang sahabat dan meminta salah satu diantaranya
menjadi khalifah setelah Umar wafat. Panitia berhasil mengangkat Utsman menjadi khalifah.
Utsman dibunuh oleh kaum yang tidak puas akan kebijakannya yang mengangkat pejabat dari
kaumnya sendiri (Bani Umayah). Setelah Utsman wafat umat islam membaiak Ali menjadi khalifah
pengganti utsman, kaum Bani Umayah menuntut Ali untuk menghukum pembunuh Utsman karena
merasa tuntutannya tidak dilaksanakan Bani Umayah dibawah pimpinan Mu’awiyah memberontak
terhadap pemerintahan Ali.

Anda mungkin juga menyukai