Anda di halaman 1dari 3

Pergaulan yang buruk merusak kebiasaan yang baik ? setuju...

1 korintus 15 : 33
Jangan bergaul sama si Anu ya, dia tuh bandel, suka nyolong mangga tetangga,
nanti kamu ikut-ikutan bandel kayak dia lagi! pesan Mamaknya si Anu pada si
Anu suatu hari.
Diatas hanya merupakan contoh sederhana mengenai bagaimana paradigma
masyarakat secara universal telah begitu melekat bahwa, kalau kita bergaul
dengan seseorang yang memiliki sifat buruk, maka kita akan tertular kebiasaan
buruk mereka, dan seluruh kebiasaan baik yang kita miliki dapat lenyap seiring
berkembangnya akar sifat-sifat buruk yang kemudian mencabangkan kebiasaankebiasaan yang buruk juga. Sudah banyak pula contoh nyata dari orang-orang
yang pada awalnya menyandang titel anak baik-baik, kemudian langsung
menyabet gelar berandalan, begajulan dan masih banyak lagi begitu bergaul
cukup lama dengan si buruk.
Begitu seriusnya para orang tua dalam menanggapi persoalan ini, sampaisampai demi mempertahankan seorang anak pada status baik-baiknya, orang
tua pun membangun pagar yang sangat tinggi dan kokoh untuk sebisa mungkin
membatasi anak mereka agar jangan sampai terjangkit virus keburukan.
Pengalaman pribadi sih, dari saya kecil, saya dibekali wejangan ini-itu mengenai
pertemanan. Jangan berteman sama si ini supaya jangan begini, jangan
berteman dengan si itu supaya jangan begitu. Dan tak jarang, ketika saya
mencoba memanjat atau melompati pagar pembatas itu, saya memperoleh
pukulan keras agar kapok dan kemudian menjauhi pagar batas tersebut.
Jika ungkapan ini ternyata juga tersurat dalam Alkitab, tentu ungkapan ini
tidaklah salah. Tentu 100% benar. Hanya saja, banyak yang, termasuk saya,
masih menemui ambiguisitas antara yang baik dan yang buruk. Sebetulnya
seperti apa sih pergaulan yang buruk itu? Terus yang bisa dikategorikan baik
apa saja sih? Seringkali orang tua membatasi ruang gerak anak agar tidak
tertular segala yang buruk tanpa memberi garis yang tegas mengenai mana
yang baik dan mana yang buruk. Dan, tanpa memberi penjelasan terlebih dahulu
secara gamblang mengenai akibat dari pergaulan yang buruk tersebut. Hal inilah
yang ternyata, banyak menjebak anak pada pergaulan yang buruk.
Jangan bergaul sama si itu yah! Dia itu bapaknya penadah loh!
Jika hanya dibekali informasi sesempit itu, dalam benak saya sebagai seorang
anak hanya terbersit: So what? Terus kenapa kalo bapaknya penadah?
Masbugue(masalah buat gueh)gitu? Kan gue bertemen sama anaknya bukan
bapaknya. Kita asumsikan si anak sudah mengerti apa arti penadah.
Masalahnya, jika hanya memberi nasehat yang dangkal tanpa detail yang rinci,
boro-boro mendengarkan, yang timbul dalam hati anak hanya penyangkalan
demi penyangkalan yang kemudian mementalkan nasehat tersebut menjadi
kata-kata tanpa arti. Jika Anda orang tua yang bijak, sebaiknya Anda
menyampaikan dengan jelas apa, mengapa, bagaimana, dan sebab-akibatnya

dari pesan tersebut. Mungkin jika anak Anda si jugul seperti saya, ia akan tetap
menyangkal pada awalnya, namun ketika di pertengahan atau akhir ia
merasakan dampak dan kebenaran dari pesan Anda, ia pada akhirnya akan
menerima dan percaya. Nah, masalahnya, kalau sudah terlambat bagaimana?
Hmmm bukankah lebih baik terlambat daripada tidak sama sekali?

Lantas, bagaimana jika dibalik? Pergaulan yang baik memperbaiki kebiasaan


yang buruk? Jadi, kita perlu bergaul dengan si buruk agar tertular oleh bibit baik
dari kita. Well, bukan tidak mungkin sih Tapi kayaknya yang kedua ini hanya
mudah diucap di lidah, tidak diiringi dengan kenyataan yang seimbang.
Logikanya gini deh, siapa sih yang mau mencontoh kebiasaan yang baik? Yang
namanya baik itu, pasti gak enak. Gak gampang. Gak asyik. Mau contoh? Mandi
2x dalam sehari, sikat gigi 3x dalam sehari, belajar setiap malam, makan
makanan yang bergizi dan seimbang, membersihkan kamar(sapu, pel)setiap
hari, dan masih banyak lagi. Sejatinya, kalau bukan karena takut sama orang tua
atau takut menghadapi resiko kalau tidak melakukan hal-hal tersebut, siapa mau
jadi orang baik? Capek! Contoh sederhana, ada dua orang anak, namanya Budi
dan Anto. Budi adalah anak baik. Hidupnya teratur, nurut sama orang tua, rajin
dan berprestasi di sekolah. Pokoknya kebanggaan orang tua deh. Sedangkan si
Anto adalah begajulan yang superrr pemalesss. Males mandi, males beresin
kamar, males bikin PR, males bangun pagi, males sekolah, males belajar,
pokoknya serba males deh. Singkat cerita akhirnya Budi dan Anto bersahabat.
Pada akhirnya, Budi pun ikutan jadi males seperti Anto.
Contoh diatas adalah sinopsis penyederhanaan dari peristiwa di kehidupan
sehari-hari yang kerap kali terjadi di sekitar kita. Mengapa berakhir dengan Budi
yang mengikuti kebiasaan Anto, bukan sebaliknya? Kita telaah melalui logika
sederhana. Pada awalnya mungkin Budi merasa asing dan terganggu dengan
sifat dan kebiasaan Anto yang bertolak belakang dengan dirinya. Namun, setelah
sekian lama berteman dengan Anto, Budi melihat bahwa dengan pola hidup
seperti itu Anto ternyata tetap hidup juga, sama seperti dia. Anto berada dalam
level yang sama dengan Budi, meski tidak harus melalui proses kehidupan yang
melelahkan sekaligus merepotkan seperti yang Budi jalani. Akhirnya Budi merasa
rugi, ngapain capek-capek jadi anak rajin? Toh si Anto yang males hidupnya
seneng-seneng aja tuh, dia main PS seharian, sementara gue les 4 jam dalem
sehari, belajar 2 jam dalem sehari. Kalo dapet nilai jelek, doi masih bisa remed,
dan nilainya akhirnya ga beda jauh dari gue, misalkan gue 96 doi 70(soalnya
KKMnya 70). Bego amat gue capek-capek selama ini. Paradigma berpikir seperti
ini yang umumnya muncul ketika seseorang dengan sifat, sikap serta kebiasaan
yang baik bertubrukkan dengan yang buruk. Karena pada umumnya, segala
yang baik tidak ada yang enak di mata dunia. Meski sebetulnya efek-efek dari
perilaku baik pasti akan dituai di kemudian hari dalam jangka waktu panjang,
begitupun sebaliknya. Sedangkan pribadi-pribadi dengan perilaku yang buruk
cenderung terlanjur merasa nyaman dengan perilaku buruk mereka, sehingga
akan sulit untuk berbalik pada kebiasaan yang baik. Apalagi biasanya orang-

orang dengan kebiasaan buruk punya sejuta alasan yang masuk akal untuk
membenarkan dirinya.
Jadi, setujukah Anda bahwa pergaulan yang buruk merusak kebiasaan yang baik?
Saya setuju. Karena pergaulan yang buruk seperti bisa, ketika telah masuk ke
dalam, akan meracuni dan sulit untuk dikeluarkan. Bukan berarti kita harus
memusuhi orang-orang dengan perilaku yang buruk. Karena Tuhan Yesus
berfirman, bahwa bukan orang sehat yang butuh tabib, melainkan orang sakit.
Oleh karena itu, berteman sah-sah saja, asal kita memahami betul-betul batasan
yang jelas antara yang baik dan yang buruk serta akibat yang ditimbulkan dari
kebiasaan yang buruk tersebut. Kalau menurut saya sih, berteman beda dengan
bergaul, karena ketika bergaul, kita menyelami perilaku dan kebiasaan masingmasing yang berujung pada pendar pengaruh antar satu sama lain. Ingat,
pergaulan yang buruk merusak kebiasaan yang baik, namun segala yang baik
tidak egois dan individualis ;)

Selamat merusak kebiasaan yang buruk!

Anda mungkin juga menyukai