Anda di halaman 1dari 18

LAPORAN EXPERT EFEKTIFITAS PENGGUNAAN MISOPROSTOL

SUBLINGUAL 25 MCG DAN MISOPROSTOL PERVAGINAM DENGAN


OKSITOSIN PADA NY. N DENGAN INTRANATAL UNTUK INDUKSI
PERSALINAN DI RUANG PERSALINAN (VK)
RSUD KOTA SURAKARTA

DI SUSUN OLEH :
RIDHO DWI SAPUTRO
SN 152123

PROGRAM PROFESI NERS


SEKOLAH TINGGI ILMU KESEHATAN KUSUMA HUSADA
SURAKARTA
2015/2016

BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Induksi persalinan terjadi antara 10%-20% dari seluruh persalinan dengan
berbagai indikasi baik ibu maupun janin. Dikenal dua jenis induksi yaitu secara
mekanis dan medisinalis. Pemakaian balon kateter, batang laminaria, dan pemecahan
selaput ketuban termasuk cara mekanis. Induksi medisinalis dapat dengan
menggunakan infus oksitosin intravena dengan keuntungan waktu paruh yang pendek
hingga mudah diawasi dan dikendalikan bila terjadi komplikasi, namun sangat
bergantung pada skor bishop sehingga perlu pematangan serviks terlebih dahulu
(Elasari, et al., 2007).
Bahan

induksi

persalinan

yang

bersifat

nonmekanik

paling

sering

menggunakan prostaglandin E. Misoprostol adalah analog prostaglandin E1 (PGE1)


yang direkomendasikan oleh FDA untuk pengobatan dan pencegahan ulkus peptikum
dan sekarang telah banyak digunakan di bidang obstetri (Goldberg, A.B., et al., 2001,
Anonim, 2008).
Beberapa penelitian menyebutkan misoprostol sangat efektif untuk induksi
persalinan karena dapat mematangkan serviks dan memacu kontraksi miometrium
sehingga dianjurkan untuk ibu hamil dengan serviks yang belum matang. Kerugian
terutama efek samping sistemiknya dan kesulitan pengaturan pemberiannya sebagai
bahan induksi persalinan.
Walaupun demikian prostaglandin telah dikembangkan sebagai bahan
pertimbangan yang membantu dimulainya induksi persalinan pada serviks yang
belum matang. (Elasari, et al., 2007, Kedu, et al., 2006, Goldberg, A.B., et al., 2001).
Wing dan Paul pada penelitiannya menggunakan misoprostol dosis berbeda 25
g dan 50 g ternyata memperlihatkan efektifitas yang sama dalam menimbulkan
induksi persalinan. Dosis 50 g berhubungan dengan lebih pendeknya interval
persalinan yang terjadi, tetapi menunjukkan angka takisistol yang tinggi, namun tidak
dilaporkan adanya perbedaan mengenai hasil luaran pada keduanya (Elasari, et al.,
2007, Knoch, J., et al., 2007).

ACOG Committee menyatakan bahwa dosis 25 g vaginal sebaiknya


dipertimbangkan sebagai dosis inisial untuk induksi dan pematangan serviks. Hal ini
berdasarkan kenyataan tingginya insiden terjadinya takisistol pada dosis yang lebih
besar (Elasari, et al., 2007)
Penelitian oleh kelompok peneliti dari bagian Obstetri dan Ginekologi
Aberdeen Maternity Hospital Skotlandia dalam penelitiannya menemukan bahwa
pemberian misoprostol sublingual tampak lebih efektif dan lebih dapat diterima
pasien dibandingkan pemberian misoprostol oral (Shetty, et al., 2007).
B. Tujuan
1. Tujuan Umum
Untuk mengetahui perbandingan efektifitas pemberian misoprostol sublingual
25 mcg dengan misoprostol pervaginam 25 mcg dan drips oksitosin 5 iu
intravena untuk induksi persalinan.
2. Tujuan Khusus
a. Untuk mengukur lama persalinan dengan pemberian misoprostol
sublingual 25 mcg dibandingkan misoprostol pervaginam 25 mcg dan
drips oksitosin 5 IU.
b. Untuk melihat jenis persalinan dengan pemberian misoprostol sublingual
25 mcg dibandingkan misoprostol pervaginam 25 mcg dan drips oksitosin
5 IU.

BAB II
ISI

A. Resume Jurnal
Dari Jurnal yang di dapat pada kasus ibu intranatal penulis mengambil
referensi dari jurnal yang berjudul tentang efektifitas pemberian misoprostol 25 mcg
sublingual, misoprostol 25 mcg pervaginam dan drips oksitosin 5 IU intravena untuk
induksi persalinan pada kehamilan 38-42 minggu di BLU. RS. Dr. Wahidin
Sudirohusodo. Menggunakan hasil perhitungan besar sampel berdasarkan standar
Isack michael dengan tingkat kesalahan =0,05 (5%) ditargetkan jumlah sampel
minimal adalah 90.
Pada penelitian ini didapatkan 90 sampel wanita hamil aterm dengan umur
kehamilan 38-42 minggu yang mendapat dosis awal misoprostol 25 mcg sublingual,
misoprostol 25 mcg pervaginam dan drips 5 IU oksitosin intravena untuk induksi
persalinan yang masing-masing kelompok terdiri atas 30 sampel.
Hasil dari penelitian ini bahwa Bishop Skor tertinggi adalah >6 untuk
misoprostol sublingual 25 mcg sebanyak 19 (63,3%), misoprostol pervaginam 25 mcg
sebanyak 21(70,0) dan drips oksitosin sebanyak 20 (66,7%). Lama Persalinan
terbanyak 12 jam untuk kelompok sampel misoprostol sublingual dan misoprostol
pervaginam masing-masing 29 dan 19 sampel (96,7% dan 63,3%) dan untuk
kelompok drips oksitosin sebanyak 17 sampel (56,7%). Jenis persalinan terbanyak
rata-rata adalah pervaginam untuk ketiga kelompok sampel dengan persentase tidak
terlalu berbeda (96,7% dan 83,3%). Dengan Hasil Luaran berdasarkan APGAR skor
terbanyak adalah nilai 8/10 untuk ketiga kelompok sampel dengan persentase 93,3%
untuk kelompok misoprostol sublingual 25 mcg dan misoprostol pervaginam 25 mcg
serta 90% untuk kelompok drips oksitosin 5 IU intravena. Hail Luaran untuk Berat
badan bayi baru lahir terbanyak adalah 2500-3500 gram untuk ketiga kelompok
sampel dan persentase tertinggi adalah 96,7% pada kelompok sampel misoprostol
pervaginam 25 mcg.
Hasil dari penelitian ini memberi gambaran bahwa induksi persalinan pada
ketiga kelompok sampel (misoprostol sublingual 25 mcg, misoprostol pervaginam 25
mcg dan drips oksitosin 5 IU) menunjukkan keberhasilan dalam persalinan. Lama
persalinan dapat dicapai dalam 12 jam pada kelompok misoprostol sublingual dan
pervaginam, masing masing sebesar 96,7% dan 63,3% dengan rerata lama interval
waktu dari awal induksi sampai pembukaan lengkap pada kelompok misoprostol

sublingual dan pervaginam adalah 9,901,62 dan 12,633,44. Kelompok misoprostol


sublingual menunjukkan waktu yang sedikit lebih cepat dibandingkan pervaginam,
sedangkan kelompok oksitosin juga menunjukkan keberhasilan persalinan hanya
interval waktu sedikit lebih lama dibandingkan kelompok misoprostol sublingual dan
pervaginam yaitu dicapai > 12 jam dengan rerata 13,873,28 jam.
Pada penelitian ini menunjukkan efektifitas misoprostol sublingual lebih cepat
karena misoprostol sublingual mengalami penyerapan yang lebih cepat melalui
sublingual dan terhindar dari metabolisme melalui hati sehingga konsentrasi
maksimal dapat dicapai dalam waktu singkat. Sedangkan lama persalinan oleh
kelompok kerja oksitosin jauh lebih lama sekitar >12 jam (56,7%) dengan rerata lama
interval waktu induksi persalinan adalah 13,873,28, kemungkinan karena aktifitas
oksitosin dapat dihilangkan oleh enzim oksitosinase melalui pemecahan ikatan
peptida yang diduga sumber enzim oksitosinase adalah plasenta.
Kejadian asfiksia bayi baru lahir pada penelitian ini untuk ketiga kelompok
sampel misoprostol sublingual, misoprostol pervaginam dan drips oksitosin intravena,
dinilai pada menit kelima kelahiran nilai 8/10, tidak bernilai bermakna secara statistik
yaitu rerata nilai APGAR 9,9 0,25 dengan nilai p=0,892. Menurut Hariadi,dkk pada
penelitian sebelumnya, resiko terjadinya asfiksia pada menit pertama sebanyak 12%,
hal ini bisa disebabkan karena perbedaan dalam cara penilaian skor APGAR.
Berdasarkan hasil luaran berat badan bayi baru lahir terhadap pemberian
misoprostol baik sublingual maupun pervaginam dengan dosis 25 mcg dan drips
oksitosin 5 IU intravena menunjukkan nilai tidak bermakna secara statistik dengan
rerata berat badan 3000 gram, nilai p=0,974. Hal ini berarti induksi persalinan pada
ketiga kelompok sampel menunjukkan hasil luaran yang sama, bisa dipengaruhi oleh
pengambilan sampel dimana taksiran berat janin dinilai besar dimasukkan dalam
kriteria ekslusi, tidak diikutkan dalam penelitian.

BAB III
TEORI PENDUKUNG
A. Induksi Persalinan

Menurut National Center for Health Statistics, angka induksi persalinan di


Amerika pada tahun 1989 adalah 90 per 1000 kelahiran hidup, sedangkan pada tahun
1997 terdapat 184 per 1000 kelahiran hidup (Knoch, J., et al., 2007).
Induksi persalinan secara luas dilakukan di seluruh dunia pada kasus di mana
kelanjutan kehamilan berbahaya bagi ibu dan atau janin. Di Assiut University Hospital,
Assiut, Mesir, yang merupakan fasilitas rujukan, pada tahun 1998, ada satu kasus induksi
persalinan, menunjukkan tingkat induksi tahunan hampir 6%. Angka ini meningkat
menjadi 7,8% pada tahun 1999, 13% pada tahun 2003 dan 18% pada tahun 2005.( Maged
R Elshamy,dkk)
Proses melahirkan anak memiliki dua buah komponen yang esensial: pematangan
serviks (prostaglandin) dan kontraksi uterus (oksitosin+prostaglandin). Pembentukan
prostaglandin oleh amnion akan meningkat pada saat menjelang akhir kehamilan atau saat
persalinan dan peningkatan ini akan menaikkan kadar prostaglandin dalam cairan amnion,
darah tali pusat serta darah ibu. Prostaglandin memiliki peranan yang penting dalam
memulai persalinan secara normal (Graves,1996, Sulistia, 2000). Sensitivitas uterus
terhadap prostaglandin akan meningkat secara progresif sepanjang kehamilan. Dalam
bulan terakhir kehamilan, serviks secara normal akan menjadi matang dibawah
pengaruh PGE2 (prostaglandin E2) yang meningkatkan produksi enzim yang memecah
dan melonggarkan kolagen serviks (Soewarto, et al., 2008).
Rasionya bervariasi antara 9,5-33,7% dari semua kehamilan setiap tahun. Pada
keadaan serviks yang belum matang, jarang terjadi keberhasilan partus pervaginam.
Dengan demikian, pematangan serviks atau persiapan induksi harus dinilai sebelum
pemilihan terapi (Shetty, et al., 2007, Norwitz, et al., 2002)
Menurut British Columbia Reproductive Care Program, ada beberapa indikasi
induksi persalinan, antara lain kehamilan posterm, penyakit ibu (diabetes, hipertensi),
pecah ketuban sebelum waktunya (PROM), kematian janin. Induksi persalinan ini
merupakan suatu intervensi aktif dengan potensi risiko baik pada ibu maupun janin.
Risiko induksi persalinan meliputi peningkatan risiko persalinan seksio sesaria, denyut
jantung janin yang abnormal, hiperstimulasi uterus, ruptur uteri, prolaps tali pusat, dan
intoksikasi ibu. Oleh karena itu, terdapat indikasikontra induksi dan pematangan serviks.
Indikasikontra absolut meliputi insisi uterus sebelumnya secara klasik, inverted T, atau
tidak diketahui. Riwayat histerotomi atau miomektomi pada korpus uteri yang melibatkan
tindakan membuka kavum uteri atau perluasan diseksi miometrium, riwayat ruptur uteri,
plasenta previa, letak lintang atau Indikasi kontra persalinan lain, dan herpes genital yang

aktif. Sedangkan indikasikontra relatif meliputi grande multipara (>5), malpresentasi,


overdistensi uterus (misalnya polihidramnion atau kehamilan kembar), karsinoma serviks
invasif, dan apabila adanya makrosomia janin (taksiran berat janin >4000 gram) pada
bekas SC (British Columbia Reproductive Care Program, 2005).
Selama beberapa tahun yang lalu, terdapat peningkatan kekhawatiran bahwa jika
serviks belum siap, maka tidak akan terjadi persalinan yang sukses. Berbagai sistem
skoring untuk penilaian serviks telah diperkenalkan. Pada tahun 1964, Bishop secara
sistematis mengevaluasi sekelompok wanita multipara untuk dilakukan induksi elektif
dan mengembangkan sistem skoring servikal standar. Skor Bishop membantu
mendeskripsikan

pasien-pasien

yang

memiliki

kecenderungan

untuk

mencapai

keberhasilan induksi. Lama persalinan berhubungan terbalik dengan skor bishop; nilai 8
berarti kemungkinan besar persalinan terjadi secara pervaginam. Skor bishop < 6
biasanya membutuhkan metode pematangan serviks sebelum penggunaan metode lain
(American College of Obstetricians and Gynecologists, 1999, Ludmir, 2000, Edwards,
2000).
Adapun skor Bishop untuk menilai kematangan serviks pada induksi persalinan
diperlihatkan pada tabel dibawah ini (Shetty, et al., 2007). Tabel 1. Skor Bishop untuk
menilai kematangan serviks untuk induksi persalinan.

faktor

skor

Pembukaan(cm)

1-2

3-4

5-6

Pendataran (%)

0-30

40-50

60-70

80

station

-3

-2

-1 atau 0

+1 atau +2

konsistensi

kenyal

medium

anterior

posisi

posterior

medial

anterior

Table 1.

B. Misoprostol
Misoprostol

merupakan

prostaglandin

sintetik

termasuk

golongan

prostaglandin E-1 (PGE-1). Misoprostol analog dengan prostaglandin E1 (PGE1)


sintetik dan memiliki dua sediaan yaitu tablet 100 g dan 200 g. Nama kimianya
adalah Methyl 7-(1) heptanoate, dengan berat molekul 382,5 g/mol. Misoprostol
bersifat stabil dan larut dalam air. Misoprostol sangat mudah diserap, dan menjalani
de-esterifikasi cepat menjadi asam bebas, yang berperan dalam aktivitas kliniknya dan
tidak seperti senyawa asalnya, metabolit aktifnya ini dapat dideteksi di dalam plasma.
Rantai samping alfa dari asam misoprostol menjalani oksidasi beta dan rantai samping
beta menjalani oksidasi omega yang diikuti dengan reduksi keton untuk menghasilkan
analog prostaglandin F. (Goldberg, A.B., et al., 2001).
Pada awalnya misoprostol diproduksi untuk tujuan sitoprotektor pada mukosa
lambung, yang digunakan untuk mencegah ulserasi pada mukosa lambung akibat
penggunaan obat-obatan yang tergolong anti inflamasi non steroid (NSAID). Derivat
PGE-1 ini mempunyai efekimunosupresif dan menyebabkan vasodilatasi serta
diketahui mempunyai sifat uterotonika. Oleh karena itu misoprostol diteliti sebagai
obat untuk pematangan serviks dan induksi persalinan serta pemakaian lainnya dalam
bidang obstetri seperti pencegahan dan penanganan perdarahan postpartum,
pematangan serviks sebelum kuretase abortus, dan evakuasi uterus pada kasus IUFD.
Keuntungannya dibanding obat prostaglandin lain adalah harganya yang murah, efek
samping sedikit dan stabil pada suhu kamar. Sejak lebih dari satu dekade terakhir ini
misoprostol dipakai untuk pematangan serviks dan induksi persalinan (Handaya,
2003, Goldberg, A.B., et al., 2001).
1. Farmakokinetik
Misoprostol segera diabsorbsi dan berubah menjadi metabolit aktif berupa
asam misoprostol setelah penggunaan oral. Konsentrasi plasma asam misoprostol
mencapai puncak setelah 30 menit dan turun secara perlahan. Bioavailabiliti
misoprostol menurun bila digunakan bersamaan dengan makanan atau antasida.
Metabolisme utama misoprostol di hati, dan <1% metabolit aktifnya dikeluarkan

melalui urine. Pasien dengan penyakit hati sebaiknya mendapat dosis yang lebih
rendah (Ngai, et al., 2000).
Dosis toksik misoprostol belum diketahui secara pasti, dosis kumulatif sampai
dengan 2200 g dalam waktu 12 jam masih dapa ditoleransi. Konsentrasi plasma
dari asam misoprostol mencapai puncak dalam waktu 1-2 jam setelah misoprostol
tablet diletakkan di sublingual. Onset aktivitas puncak uterus terjadi lima hingga
enam jam kemudian (Goldberg, A.B., et al., 2001, Ngai, et al., 2000).
2. Farmakologik
Misoprostol adalah analog prostaglandin E1 yang digunakan untu mengobati
dan mencegah ulkus peptikum. Bila digunakan, misoprostol akan merangsang
peningkatan sekresi kelenjar untuk melindungi traktus gastrointestinal dan
meningkatkan aliran darah ke mukosa, sehingga meningkatkan integritas mukosa.
Sering digunakan untuk mencegah kejadian ulkus peptikum akibat penggunaan obatobat NSAID (Anonim, 2006, Goldberg, A.B., et al., 2001).
3. Mekanisme kerja
Misoprostol digunakan untuk mencegah sekresi asam lambung melalui kerja
langsung pada sel parietal melalui ikatan reseptor prostaglandin. Aktifitas reseptor
ini dilakukan oleh protein G dengan mengaktifkan adenylate cyclase. Rintangan
tidak langsung adenylate cyclase mungkin tergantung dari guanosine-5triphosphate (GTP).
Pemberian misoprostol dapat dilakukan dengan berbagai macam cara yaitu
oral, vagina, sublingual, buccal, dan rektal. Berbagai studi yang pernah dilakukan
dari setiap cara pemberian menunjukkan bahwa misoprostol tablet per sublingual
dapat larut dalam 20 menit setelah diletakkan di bawah lidah. Konsentrasi
maksimum dicapai dalam 30 menit, konsentrasi maksimum lebih tinggi dibanding
cara lain (oral dan vagina). Hal ini dikarenakan oleh penyerapan yang lebih cepat
melalui sublingual dan terhindar dari metabolisme melalui hati. Namun, kadar
misoprostol dalam serum sesudah 6 jam lebih rendah dibanding dengan pervaginam,
akan tetapi sama dengan oral (Norwitz, et al., 2002).
Penggunaan misoprostol tidak direkomendasikan pada pematangan serviks
atau induksi persalinan pada wanita yang pernah mengalami persalinan dengan
seksio sesaria atau operasi uterus mayor karena kemungkinan terjadinya ruptur uteri.
Wanita yang diterapi dengan misoprostol untuk pematangan serviks atau induksi
persalinan dianjurkan untuk dilakukan monitor denyut jantung janin dan aktivitas

uterusnya di rumah sakit sampai penelitian lebih lanjut mampu mengevaluasi dan
membuktikan keamanan terapi pada pasien. Uji klinis menunjukkan bahwa dosis
optimal dan pemberian interval dosis 25 mcg setiap empat sampai enam jam
(Norwitz, et al., 2002, How, H.Y., et al., 2001).
Penggunaan dosis misoprostol yang lebih tinggi (misalnya 50 setiap 6 jam)
untuk induksi persalinan mungkin dapat diberikan pada beberapa situasi, meskipun
ada laporan bahwa dosis tersebut meningkatkan risiko komplikasi, termasuk
hiperstimulasi uterus dan rupture uteri. Bentuk sediaan misoprostol berupa tablet
dengan dosis 100 dan 200 mcg. Di Indonesia terdapat kemasan misoprostol 200 mcg
(Soewarto, etal., 2008).
C. Oksitosin
Oksitosin memainkan peranan yang sangat penting dalam persalinan.
Oksitosin merupakan obat yang banyak digunakan dibagian kebidanan untuk induksi
atau augmentasi persalinan serta digunakan pula untuk mencegah perdarahan pasca
persalinan akibat atoni uteri. (Carlan, S.J., Blust, D., OBrien, W.F. 2002).
Oksitosin diproduksi di hipotalamus dan dilepaskan dari kelenjar hipofise
posterior secara pulsatik. Reseptor spesifik oksitosin berada di membran sel
ditemukan pada miometrium dan payudara. Oksitosin merangsang kontraksi otot
polos uterus dan kelenjar payudara, diduga pula oksitosin memungkinkan terjadinya
persalinan dan memegang peranan penting pada pengeluaran air susu. (Knoch, J.,
Susanto, H., Sukarya, S.W., Prawira, B.H. 2006).
Persalinan yang normal tergantung pada mekanisme umpan balik yang
positif dan dengan mekanisme ini terjadi intensifikasi perubahan inisial sehingga
proses persalinan berakhir. Penekanan kepala bayi pada serviks menyebabkan
pelepasan oksitosin yang menstimulasi kontraksi uterus dan selanjutnya kontraksi
uterus akan meningkatkan penekanan pada serviks yang mengintensifkan pelepasan
oksitosin. Lingkaran umpan balik ini terjadi secara berulang sampai bayi dilahirkan.
(Carlan, S.J., 2002).
Sensitifitas uterus terhadap oksitosin akan meningkat secara perlahan selama
kehamilan dan akan meningkat secara cepat pada saat aterm, inpartu dan beberapa
saat pasca persalinan (Knoch, J., 2006).
Absorbsi ditempat penyuntikan terjadi dengan cepat dan efeknya tidak
berlangsung lama. Oksitosin tidak aktif bila ditelan karena akan dirusak didalam
lambung dan usus. Oleh karena itu harus diberikan secara parenteral. Aktifitas

oksitosin dapat dihilangkan oleh enzim oksitosinase melalui pemecahan ikatan


peptida, diduga sumber oksitosinase ini adalah plasenta. Penemuan kadar plasma
oksitosin sebagian besar disebabkan ekskresi oleh ginjal dan hati (Knoch, J., 2006).
Oksitosin bekerja dalam waktu satu menit setelah pemberian dan
peningkatan kontraksi uterus dimulai hampir seketika. Waktu paruh oksitosin
diperkirakan berkisar 1-20 menit kendati data-data farmakologis yang lebih
mutakhir menunjukkan angka 15 menit. Oksitosin akan dieliminasi dalam waktu 3040 menit sesudah pemberiannya (Knoch, J., Susanto, H., Sukarya, S.W., Prawira,
B.H. 2006).
Adachi dan Oku melaporkan bahwa konsentrasi reseptor oksitosin pada sel
miometrium tergantung pada konsentrasi oksitosin yang ditambahkan dan waktu
setelah penambahan oksitosin. Studi ini memberikan latar belakang dengan
pengalaman klinis. Dimana sering memulai infus oksitosin selama persalinan aktif
untuk meningkatkan frekuensi dan intensitas kontraksi rahim. Hal ini mungkin
karena perubahan konsentrasi reseptor oksitosin selama persalinan. Namun, setelah
memulai induksi oksitosin kerja, durasi dan konsentrasi obat yang diberikan
mungkin memiliki efek berlawanan pada proses persalinan dengan desensitising
reseptor rahim untuk oksitosin eksogen dan endogen.

BAB IV
PEMBAHASAN EXPERT

A. Hasil
1). Bidan Senior ruang Persalinan (VK)
Menurutnya bahwa induksi persalinan adalah salah satu upaya stimulasi
mulainya proses kelahiran (dari tidak ada tanda-tanda persalinan, kemudian
distimulasi menjadi ada). Cara ini dilakukan sebagai upaya medis untuk
mempermudah keluarnya bayi dari rahim secara normal.
Menurutnya Tujuan Induksi juga dilakukan dengan alasan kesehatan ibu,
misalnya si ibu terkena infeksi serius, atau menderita diabetes. Wanita diabetik yang
hamil memiliki resiko mengalami komplikasi. Tingkat komplikasi secara langsung
berhubungan dengan kontrol glukosa wanita sebelum dan selama masa kehamilan dan
dipengaruhi oleh komplikasi diabetik sebelumnya. Meliputi: Aborsi spontan
(berhubungan dengan kontrol glikemia yang buruk pada saat konsepsi dan pada
minggu-minggu awal kehamilan).

Hipertensi akibat kehamilan, mengkibatkan

terjadinya preeklamsi dan eklamsi.Hidramnion. Infeksi, terutama infeksi vagina,


infeksi traktus urinarius; infeksi ini bersifat serius karena dapat menyebabkan
peningkatan resistensi insulin dan ketoasidosis.
Adapun Indikasi pokok untuk induksi persalinan yang di jalankan menurutnya:
1. Untuk janin yang masih dalam kandungan, pertimbangannya adalah kondisi
ekstrauterin akan lebih baik dari pada intrauterin, atau kondisi intrauterin tidak
lebih baik atau mungkin membahayakan.
2. Untuk ibu, pertimbangannya adalah menghindari / mencegah / mengatasi rasa
sakit atau masalah-masalah lain yang membahayakan nyawa ibu.
Menurutnya pemberian oksitosin dilakukan secara Tetesan. oksitosin pada
persalinan adalah pemberian Oksitosin secara tetes melalui infus dengan tujuan untuk
menimbulkan atau memperkuat His.
Indikasi : 1. Mengakhiri kehamilan
2. Memperkuat kontraksi rahim selama persalinan

Kontra indikasi : Sama dengan kontra indikasi induksi persalinan secara umum
yaitu :
1. Malposisi dan malpresentase janin
2. Insufisiensi plasenta
3. Disproporsi sefalopelvik
4. Bekas seksio sesaria atau miomektomi
5. ibu menderita penyakit jantung

6. Grandemultipara
7. Plasenta previa
8. Gamelli (kehamilan kembar)
9. Distensi rahim yang berlebihan seperti akibat hidramnion
Beliau mengatakan Cara pemberian Oksitosin tidak diberikan secara oral
karena dapat dirusak di dalam lambung oleh Enzym Trypsin. Oksitosin diberikan
secara bucal, nasal spray, intramuskular atau intravena. Pemakaian secara intravena
(drips/tetesan) adalah paling banyak digunakan oleh karena dengan cara ini uterus
dirangsang sedikit demi sedikit secara kontinyu dan bila perlu infus dapat dihentikan
dengan segera. Pemberian tetesan oksitosin harus diberikan dibawah pengawasan
yang ketat dengan pengamatan pada his dan denyut jantung janin. Pada janin hidup 5
IU oksitosin dalam 500 cc dekstrose 5 %. Ini berarti 2 tetesan mengandung 1 mIU.
Dosis awal 1-2 mIU (2-4 tetes) permenit.Dosis dinaikkan 2 mIU (4 tetes) permenit
setiap 30 menit.

Dosis maksimal 20-40 mIU permenit Untuk meningkatkan

keberhasilan dengan cara ini bisa dilakukan amniotomi, striping of the membrane
ataupun menggunakan balon kateter.

B. Pembahasan
Pasien dengan persalinan yang sudah cukup bulan (intranatal) memang banyak
dijumpai di ruang persalinan RSUD kota Surakarta. Adapun keluhan yang muncul
seperti ibu merasakan keceng- keceng, kehamilan sudah memasuki 38-40 minggu.
Namun kontraksi HIS masih belum ada hal ini biasanya dilakukan induksi persalinan
untuk merangsang kontraksi uterus. Seperti yang di lakukan di RSUD Kota Surakarta
pasien yang sudah memasuki masa aterm 38-40 minggu yang belum berkontraksi
biasanya dilakukan induksi dengan oksitosin . Dari wawancara dengan

expert

memang oksitosin digunakan karena lebih aman untuk mengkontraksikan uterus

adapun pemberiannya pun melalui intra vena. Dari hasil wawancara dengan expert
serta pengamatan pada pasien yang sudah mengalami cukup bulan untuk melahirkan
yang dilakukan injeksi oksitosin dilakukan dengan perbandingan dengan jurnal yang
berjudul Perbandingan Efektifitas dan keamanan pemberian misoprosol sublingual 25
mcg dengan misoprosol pervaginam 25 mcg dan drips Oksitosin 5 IU intravena Untuk
induksi Persalinan.
Pada jurnal dilakukan penelitian di kamar bersalin BLU. RS. Dr. Wahidin
Sudirohusodo. Merupakan studi intervensi. Cara pengambilan sampel metode clinical
eksperimen dengan randomized single blind. Subjek penelitian adalah ibu hamil aterm
(38-42 minggu) dan telah memenuhi kriteria inklusi yang merupakan suatu studi
intervensi.
Pemberian misoprostol dapat dilakukan dengan berbagai macam cara yaitu
oral, vagina, sublingual, buccal, dan rektal. Berbagai studi yang pernah dilakukan dari
setiap cara pemberian menunjukkan bahwa misoprostol tablet per sublingual dapat
larut dalam 20 menit setelah diletakkan di bawah lidah.
Bahan dan Peralatan
1. Handschoen steril.
2. Laenec/Dapton (pengukur denyut jantung janin) atau KTG (Kardiotokografi)
3.Misoprostol 25 mcg dikemas dalam bentuk kapsul (misoprostol 200 mcg
dihancurkan dan dibagi menjadi 8 bagian oleh apotek).
4. Oksitosin 5 IU (1/2 ampul) sediaannya 10 IU dalam 1 ampul
5. Infus set, abocath no.18, spoit 3 cc, botol cairan RL 500 cc
6. Jam (pengukur waktu).
Pemberian misoprostol 25 mcg sublingual yaitu meletakkan kapsul
misoprostol pada sublingual, pemberian misoprostol 25 mcg pervaginam yaitu
meletakkan kapsul misoprostol pada forniks posterior intravagina, dan pemberian
drips oksitosin 5 IU melalui pemasangan infus dalam botol cairan 500 cc.
Dari sumber jurnal di dapat bahwa bahwa induksi persalinan pada ketiga
kelompok sampel (misoprostol sublingual 25 mcg, misoprostol pervaginam 25 mcg
dan drips oksitosin 5 IU) menunjukkan keberhasilan dalam persalinan. Lama
persalinan dapat dicapai dalam 12 jam pada kelompok misoprostol sublingual dan
pervaginam, masingmasing sebesar 96,7% dan 63,3% dengan rerata lama interval
waktu dari awal induksi sampai pembukaan lengkap pada kelompok misoprostol

sublingual dan pervaginam adalah 9,901,62 dan 12,633,44. Kelompok misoprostol


sublingual menunjukkan waktu yang sedikit lebih cepat dibandingkan pervaginam,
sedangkan kelompok oksitosin juga menunjukkan keberhasilan persalinan hanya
interval waktu sedikit lebih lama dibandingkan kelompok misoprostol sublingual dan
pervaginam yaitu dicapai > 12 jam dengan rerata 13,873,28 jam.
Efektifitas misoprostol sublinguallebih cepat karena misoprostol sublingual
mengalami penyerapan yang lebih cepat melalui sublingual dan terhindar dari
metabolisme melalui hati sehingga konsentrasi maksimal dapat dicapai dalam waktu
singkat. Sedangkan lama persalinan oleh kelompok kerja oksitosin jauh lebih lama
sekitar >12 jam (56,7%) dengan rerata lama interval waktu induksi persalinan adalah
13,873,28, kemungkinan karena aktifitas oksitosin dapat dihilangkan oleh enzim
oksitosinase melalui pemecahan ikatan peptida yang diduga sumber enzim
oksitosinase adalah plasenta.
Keamanan

penggunaan

misoprostol

telah

banyak

dilaporkan,diantara

parameter yang digunakan adalah efek samping terhadap ibu dan efek samping pada
bayi baru lahir yang dinilai melalui skor APGAR. Kejadian seksio sesaria pada
penelitian ini pada ketiga kelompok sampel lebih sedikit, masing-masing 1 kasus
(3,3%) pada misoprostol sublingual, 1 kasus (3,3%) pada misoprostol pervaginam dan
5 kasus (16,7%) pada drips oksitosin intravena. Kasus gawat janin merupakan salah
satu efek samping pemberian misoprostol, oleh karena itu gawat janin merupakan
indikasi medik dilakukan seksio sesaria. Terlebih dahulu diberikan resusitasi
intrauterin berupa pemasangan infus, pemberian oksigenasi dan miring kiri.
Melalui pembahasan ini diharapkan misoprostol sublingual dapat sebagai
metode alternatif yang cukup efektif, murah, mudah, dan mampu laksana dipakai pada
fasilitas yang lengkap dan memadai. Juga diharapkan sebagai suatu metode alternatif
untuk menurunkan angka kejadian seksio sesaria.

BAB V
PENUTUP

A. Kesimpulan
Berdasarkan jurnal penelitian dan juga diskusi dengan beberapa expert

yang

dilakukan dengan pemberian misoprostol sublingual 25 mcg, misoprostol pervaginam 25


mcg dan drips oksitosin 5 IU intravena dapat disimpulkan sebagai berikut:

1. Keefektifan misoprostol sublingual 25 mcg dalam hal kenyamanan lebih baik


dibandingkan misoprostol pervaginam 25 mcg dan drips oksitosin 5 IU intravena.
2. Lama waktu induksi sampai pembukaan lengkap pada kelompok misoprostol
sublingual 25 mcg lebih cepat dibandingkan misoprostol pervaginam 25 mcg dan
drips oksitosin 5 IU intravena
B. Saran
Adapun saran yang dapat diberikan sehubungan dengan penelitian ini adalah:
1. Pemberian obat misoprostol baik sublingual maupun pervaginam untuk induksi
persalinan dapat menurunkan angka kejadian seksio sesaria.
2. Sebaiknya penggunaan obat ini harus pada fasilitas yang lengkap dan memadai di
Rumah Sakit.
3. Masih perlu penelitian selanjutnya mengenai efek samping yang terjadi pada
pemberian obat misoprostol sublingual dan pervaginam 25 mcg untuk kenyamanan
induksi persalinan.

DAFTAR PUSTAKA

American College of Obstetricians and Gynecologists. 1999. Induction of Labour.


Practice bulletin no. 10. Washington, D.C, ACOG.
Anonim. 2006. Kedu dan Diy. Suara Merdeka. Jakarta.

British Columbia Reproductive Care Program. 2005. Obstetric Guideline 1. Cervical


Ripening & Induction of Labour. Vancouver. March.
Goldberg, A.B., Greenberg, M.B., Darney, P.D. 2001. Misoprostol and Pregnancy.
Review Article. The New England Journal of Medicine. Number 1. Volume 344.
p. 38-47.
Knoch, J., Susanto, H., Sukarya, S.W., Prawira, B.H. 2006. Perbandingan efektifitas
Prostaglandin E2 dan Oksitosin untuk induksi persalinan pada kehamilan aterm
dengan ketuban pecah sebelum waktunya. Meternal-Fetal Medicine Devision
Departement of Obstetrics and Ginekology. UNPAD.
Norwitz, E., Robinson, J., Repke, J. 2002. Labor and delivery. Gabbe SG, Niebyl JR,
Simpson JL, eds. Obstetrics: normal and problem pregnancies. 4th ed. New
York. Churchill Livingstone. p. 353-94.
Shetty, A., Daniellian, P., Templeton, A. 2002. Misoprostol sublingual untuk induksi
persalinan aterm. Am J Obstet gynecol. 186(1). p. 72-6.
Sulistia, G. 2000. Absorbsi dan biovailabilitas. Pengantar Farmakologi. farmakologi
dan Terapi. Bagian Farmakologi Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia.
Hal 2-3.

Anda mungkin juga menyukai