PERPAJAKAN
1|P a g e
@ Hak cipta pada penulis. Hak terbit pada STAN Press-Tangerang Selatan
Isi di luar tanggung jawab penerbit. Tidak boleh direproduksi sebagian
atau seluruhnya dalam bentuk apapun tanpa izin tertulis dari penulis.
Dicetak & diterbitkan untuk kalangan sendiri
STAN Press
Kampus STAN gedung C108, Jalan Bintaro Utama V, Bintaro Jaya,
Tangerang Selatan, Telp/Faks: 021-7361652, email: stanpress@stan.ac.id
2|P a g e
Jakarta,
Desember 2014
(Penyusun)
i|P a g e
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR ................................................................................................... i
DAFTAR ISI............................................................................................................... ii
DAFTAR TABEL ........................................................................................................ v
PENDAHULUAN ...................................................................................................... vi
BAB 1 SEJARAH PEMUNGUTAN PAJAK ................................................................ 1
A. Terbentuknya Negara ................................................................................... 1
B. Fungsi Pemerintah ....................................................................................... 2
C. Hubungan Negara dan Warga Negara ......................................................... 4
D. Sejarah Pemungutan Pajak .......................................................................... 5
BAB 2 SUMBER SUMBER PENERIMAAN NEGARA ........................................... 11
A. Bumi, Air, dan Kekayaan Alam ................................................................... 11
B. Pajak-Pajak, Bea dan Cukai ....................................................................... 12
C. Penerimaan Negara Bukan Pajak (Non-Tax) .............................................. 13
D. Hasil Perusahaan Negara........................................................................... 14
E. Sumber-Sumber Lain ................................................................................. 14
BAB 3 PENGERTIAN PAJAK DAN HUKUM PAJAK ............................................... 19
A. Hukum Pajak .............................................................................................. 19
B. Pajak .......................................................................................................... 22
C. Fungsi Pajak............................................................................................... 23
D. Retribusi ..................................................................................................... 24
E. Sumbangan ................................................................................................ 25
F. Zakat/Sumbangan Keagamaan .................................................................. 25
G. Kedudukan Hukum Pajak dalam Tatanan Hukum Nasional ........................ 25
BAB 4 ASAS DAN YURIDIKSI PEMUNGUTAN PAJAK .......................................... 29
A. Pancasila dan Pajak ................................................................................... 29
B. Asas-asas Pemungutan Pajak .................................................................... 30
C. Yurisdiksi Pemungutan Pajak ..................................................................... 32
BAB 5 PENGGOLONGAN JENIS PAJAK DAN SISTEM PEMUNGUTAN
PAJAK ......................................................................................................... 35
A. Penggolongan Jenis Pajak ......................................................................... 35
B. Sistem Pemungutan Pajak ......................................................................... 38
ii | P a g e
iii | P a g e
iv | P a g e
DAFTAR TABEL
Tabel 7.1 Tarif Pajak Orang Pribadi berdasarkan Pasal 17 ayat (1) huruf a ........... 61
Tabel 7.2 Contoh Tarif Pajak Degresif .................................................................... 62
Tabel 7.3 Contoh Tarif Pajak Proporsional ............................................................. 62
v|P a g e
PENDAHULUAN
A. Pengantar
Pajak
ibarat
oase
di
padang
pasir
yang
tandus.
Krisis
ekonomi
berkepanjangan yang dihadapi oleh Indonesia tak pelak membutuhkan dana yang
besar. Dana tersebut bisa berasal dari berbagai sektor seperti sektor migas dan
sektor nonmigas serta dari sektor pajak. Berbeda dengan beberapa periode yang
lalu dimana sumber penerimaan APBN terbesar berasal dari sektor migas, beberapa
tahun belakangan sumber utama penerimaan APBN mulai bergeser ke sektor
penerimaan perpajakan. Tak bisa dipungkiri, penerimaan dari sektor pajak beberapa
tahun terakhir mencapai sekitar 80% dari seluruh penerimaan negara.
Hal ini menunjukkan peranan pajak yang sangat dibutuhkan untuk menunjang
pelaksanaan pembangunan di Indonesia. Oleh karena itu pemerintah melalui
Direktorat Jenderal Pajak terus berusaha meningkatkan jumlah penerimaan pajak
setiap tahunnya dengan melakukan penyempurnaan peraturan perundang-undangan
perpajakan serta melakukan modernisasi sistem administrasi perpajakan agar dapat
melaksanakan sistem perpajakan yang efektif dan efisien.
Seperti yang telah diketahui bersama, pemerintah secara serius dan
berketetapan hati melaksanakan pemungutan pajak melalui sistem Self Assesment
dengan melakukan Reformasi Perpajakan. Perjalanan Reformasi Perpajakan sampai
saat ini selalu mengalami penyempurnaan dan penyesuaian dalam rangka
kemandirian bangsa Indonesia memenuhi tuntutan APBN dari tahun ke tahun yang
semakin meningkat, dimana penerimaan pajak memegang peranan yang besar.
Salah satu cara untuk meningkatkan penerimaan pajak itu sendiri adalah
meningkatkan terlebih dahulu kualitas sumber daya manusia (SDM) yang nantinya
akan bekerja di Direktorat Jenderal Pajak. Proses tersebut bisa dimulai dari kegiatan
belajar mengajar yang ada di Sekolah Tinggi Akuntansi Negara.
vi | P a g e
kehidupan bernegara;
d. Mengetahui peran dan fungsi pajak dalam pembangunan; dan tentunya
e. Mengetahui sejarah pengenaan pajak di Indonesia.
C. Tujuan Intruksional Khusus
Setelah mempelajari mata kuliah Pengantar Perpajakan, para mahasiswa
diharapkan mampu:
a. Berperan aktif maupun pasif dalam pengembangan ilmu perpajakan;
b. Menganalisis secara benar dan rasional permasalahan di bidang perpajakan;
dan
vii | P a g e
BAB
1
Tujuan Instruksional Khusus :
1. Mahasiswa memahami Terbentuknya Negara
2. Mahasiswa memahami Fungsi Pemerintahan
3. Mahasiswa memahami Siklus hubungan Negara dan Warga Negara
4. Mahasiswa memahami Sejarah singkat tentang Pemungutan Pajak
A. Terbentuknya Negara
Menurut pendapat Aristoteles, manusia merupakan makhluk bermasyarakat
atau Zoon Politikon. Setiap manusia sebagai makhluk sosial tidak dapat hidup sendiri
dalam masyarakat tanpa berhubung dengan orang lain dan
1|P a g e
agar dapat berjalan secara tertib dan lancar. Organisasi yang memiliki kekusaan
seperti itulah yang kemudian dinamakan Negara.
Konsep dan pengertian Negara sebagai organisasi kekuasaan dipelopori oleh
J.H.A. Logemaan dalam bukunya yaitu Over De theorie Van Een Stelling Staadrecht,
yaitu bahwa keberadaan negara bertujuan untuk mengatur dan menyelenggarakan
masyarakat yang dilengkapi dengan kekuasaan tertinggi.
Negara dalam konteksnya sebagai organisasi kekuasan didalamnya terdapat
suatu mekanisme atau tata hubungan kerja yang mengatur suatu kelompok manusia
(rakyat) agar berbuat, atau bersikap sesuai dengan kehendak negara, agar mematuhi
aturan yang telah dibuat negara. Agar negara dapat mengatur rakyatnya, maka negara
diberi kekuasaan (authority) yang dapat memaksa seluruh anggotanya untuk
mematuhi segala peraturan/ketentuan yang telah ditetapkan oleh negara. Kekuasaan
tersebut berhak dimiliki oleh negara, karena secara historis timbulnya negara adalah
untuk mengatur kehidupan yang lebih baik. Untuk menghindari adanya kekuasaan
yang sewenang-wenang, disisi lain Negara juga menetapkan cara-cara dan batasbatas sampai dimana kekuasaan itu dapat digunakan dalam kehidupan bersama, baik
oleh individu, golongan, organisasi, maupun oleh negara itu sendiri.
B. Fungsi Pemerintah
Fungsi pemerintah di dalam suatu negara sangat penting. Jika pemerintah
tidak berfungsi dengan baik alias mandul, maka akan berpengaruh besar terhadap
kestabilan suatu negara. Pemerintah memiliki wewenang dalam mengatur kehidupan
bernegara,
sesuai
ketentuan
peraturan
perundang-undangan
yang
berlaku.
menjadi:
1. Melaksanakan penertiban (law and order) untuk emncapai tujuan bersama dan
mencegah
bentrokan-bentrokan
dalam
masyarakat,
maka
negara
harus
2|P a g e
tercermin dalam
Repelita.
3. Fungsi pertahanan, hal ini diperlukan untuk menjaga kemungkinan serangan dari
luar. Untuk itu negara dilengkapi dengan alat-alat pertahanan.
4. Fungsi menegakkan keadilan, hal ini dilaksanakan melalui badan-badan
pengadilan.
Terdapat tiga fungsi pokok ekonomi yang diemban oleh pemerintah yaitu:
1. Tindakan pemerintah yang menyangkut efisiensi berupa segala upaya untuk
memperbaiki kesalahan pasar. Misalnya monopoli.
2. Program
pemerintah untuk
meningkatkan keadilan.
Misalnya
pemerataan
3|P a g e
suatu
negara
secara
konstitutif
adalah
wilayah,
rakyat,
dan
pemerintahan. Sesuai dengan UUD 1945 pasal 26 ayat 1, warga negara Indonesia
adalah orang-orang
tinggal di Indonesia, dan mengakui Indonesia sebagai tanah airnya dan bersikap setia
kepada NKRI yang disahkan dengan UU. Indonesia menganut sistem pemerintahan
demokrasi sesuai dengan Pancasila. Dimana warga negaranya diberi kebebasan
untuk menyalurkan aspirasinya tetapi tentunya dalam konteks yang positif. Sistem
demokrasi ini menandakan bahwa Indonesia sangat menghargai warga negaranya
sebagai mahluk ciptaan Tuhan dan mengakui persamaan derajat manusia.
Sesuai dengan Pembukaan UUD 1945, Tujuan Negara Republik Indonesia:
1) Melindungi segenap bangsa dan seluruh tumpah darah Indonesia;
2) Memajukan kesejahteraan umum;
3) Mencerdaskan kehidupan bangsa;
4) Ikut melaksanakan ketertiban dunia.
Tidak akan ada negara tanpa warga negara. Warga negara merupakan unsur
terpenting dalam hal terbentuknya negara. Warga negara dan negara merupakan satu
kesatuan yang tidak bisa dipisahkan. Keduanya saling berkaitan dan memiliki hak dan
kewajiban masing-masing yang berupa hubungan timbal balik. Warga negara
mempunyai kewajiban untuk menjaga nama baik negara dan membelanya.
4|P a g e
bahwa pajak adalah kontribusi wajib kepada negara yang terutang oleh orang pribadi
atau badan yang bersifat memaksa berdasarkan Undang-Undang, dengan tidak
mendapatkan imbalan secara langsung dan digunakan untuk keperluan negara bagi
sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. Definisi mengenai pajak ini
baru diatur
dalam UU KUP No. 28 Tahun 2007. Dalam UU KUP sebelumnya, tidak pernah
diterangkan secara lugas mengenai pengertian pajak sebagai kontribusi wajib
kepada Negara.
D. Sejarah Pemungutan Pajak
Pada mulanya pajak merupakan suatu upeti (pemberian secara cuma-cuma)
namun sifatnya merupakan suatu kewajiban yang dapat dipaksakan yang harus
dilaksanakan oleh rakyat (masyarakat) kepada seorang raja atau penguasa. Saat itu,
rakyat memberikan upetinya kepada raja atau penguasa berbentuk natura berupa
5|P a g e
padi, ternak, atau hasil tanaman lainnya seperti pisang, kelapa, dan lain-lain.
Pemberian yang dilakukan rakyat saat itu, digunakan untuk keperluan atau
kepentingan raja atau penguasa setempat dan tidak ada imbalan atau prestasi yang
dikembalikan kepada rakyat, karena memang sifatnya hanya untuk kepentingan
sepihak dan seolah-olah ada tekanan secara psikologis karena kedudukan raja yang
lebih tinggi status sosialnya dibandingkan rakyat.
Dalam perkembangannya, sifat upeti yang diberikan oleh rakyat tidak lagi
hanya untuk kepentingan raja saja, tetapi sudah mengarah kepada kepentingan rakyat
itu sendiri. Artinya pemberian kepada rakyat atau penguasa digunakan untuk
kepentingan umum seperti untuk menjaga keamanan rakyat, memelihara jalan,
membangun saluran air, membangun sarana sosial lainnya, serta kepentingan umum
lainnya.
Perkembangan dalam masyarakat mengubah sifat upeti (pemberian) yang
semula dilakukan cuma-cuma dan sifatnya memaksa tersebut, yang kemudian dibuat
suatu aturan-aturan yang lebih baik agar sifatnya yang memaksa tetap ada, namun
unsur keadilan lebih diperhatikan. Untuk memenuhi unsur keadilan inilah maka rakyat
diikutsertakan dalam membuat aturan-aturan dalam pemungutan pajak, yang nantinya
akan dikembalikan juga hasilnya untuk kepentingan rakyat sendiri.
Di Indonesia, sejak zaman kolonial Belanda ternyata telah diberlakukan cukup
banyak undang-undang yang mengatur mengenai pembayaran pajak, yaitu sebagai
berikut:
a. Ordonansi Pajak Rumah Tangga;
b. Aturan Bea Meterai;
c. Ordonansi Bea Balik Nama;
d. Ordonansi Pajak Kekayaan;
e. Ordonansi Pajak Kendaraan Bermotor;
f. Ordonansi Pajak Upah;
g. Ordonansi Pajak Potong;
h. Ordonansi Pajak Pendapatan;
i. Undang-undang Pajak Radio;
j. Undang-undang Pajak Pembangunan I;
k. Undang-undang Pajak Peredaran.
6|P a g e
banyaknya
undang-undang
yang
dikeluarkan
mengakibatkan
7|P a g e
8|P a g e
RANGKUMAN
Naluri alamiah dan fitrahnya manusia sebagai makhluk sosial sejak dahulu
selalu hidup berkelompok, bekerja sama untuk dapat bertahan hidup dan melanjukan
kehidupannya. Semakin luas dan kompleksnya masing-masing kelompok, maka makin
besar dan banyak pula kesulitan yang timbul baik masalah internal antar individu
dalam kelompok, maupun masalah dengan pihak eksternal. Interaksi antar kelompok
juga memerlukan suatu aturan yang lebih terstruktur
tersebut yang menjadi alasan mendasar perlunya dibentuk suatu organisasi yang lebih
teratur dan memiliki kekuasaan yang memadai. Organisasi atau lembaga tersebut
sangat diperlukan
hidup agar dapat berjalan secara tertib dan lancar. Organisasi yang memiliki kekusaan
seperti itulah yang kemudian dinamakan Negara.
Fungsi pemerintah di dalam suatu negara sangat penting. Pemerintah memiliki
wewenang dalam mengatur kehidupan bernegara, sehingga fungsi eksekutif, legislatif,
dan yudikatif dalam penyelenggaraan negara sesuai ketentuan peraturan perundangundangan yang berlaku.
Dalam menjalankan fungsinya pemerintah tentu memerlukan dana. Sumber
dana dapat berasal dari laba perusahaan negara, royalti pemerintah, restribusi,
konstribusi, bea dan cukai, sanksi dan denda serta berasal dari pajak yang merupakan
peran serta warga negara dalam melaksanakan fungsi pemerintah.
Saat ini sumber penerimaan negara yang terbesar berasal dari Pajak.
peraturan pajak terus disempurnakan. Adanya perkembangan ekonomi dan
masyarakat yang terus menerus dan untuk memberikan rasa keadilan dan pelayanan
kepada Wajib Pajak, peraturan pajak terus disempurnakan.
Perubahan terakhir undang-undang perpajakan baru-baru ini dilakukan pada
tahun 2007 dan 2008 yang menghasilkan UU KUP No. 28 Tahun 2007 yang
diperbaharui lagi dengan adanya UU No. 16 Tahun 2009 dan UU PPh No. 36 Tahun
2008 yang berlaku mulai tahun 2009, serta UU PPN No 42 Tahun 2009 yang berlaku
mulai tahun 2010.
9|P a g e
LATIHAN
1. Jelaskanlah fungsi Negara dalam konteksnya sebagai organisasi kekuasaan!
2. Menurut Miriam Budiarjo fungsi pemerintah diantaranya adalah melaksanakan
penertiban (law and order) untuk mencapai tujuan bersama. Jelaskan seberapa
perlu fungsi ini bila dikaitkan dengan hak negara dalam memungut pajak
3. Jelaskan seberapa perlu memahami sejarah pemungutan pajak bagi para
pelaksana hukum pajak!
4. Mengapa pengertian pajak baru disebutkan pada UU KUP No. 28 Tahun 2007
dan tidak pernah disebutkan pada UU KUP sebelum-sebelumnya. Berikan alasan
dan pendapat Anda mengenai hal ini!
10 | P a g e
BAB
SUMBER SUMBER PENERIMAAN NEGARA
2
Tujuan Instruksional Khusus :
Mahasiswa memahami sumber-sumber penerimaan negara yang berasal dari:
1. Bumi, air dan kekayaan alam.
2. Pajak-pajak, Bea dan cukai.
3. Penerimaan Negara Bukan Pajak (non-tax).
4. Hasil Perusahaan Negara.
5. Sumber-sumber lain, seperti pencetakan uang dan pinjaman.
Pembiayaan pembangunan memerlukan dana yang tidak sedikit sebagai
syarat mutlak agar pembangunan dapat berhasil. Uang yang digunakan untuk itu
didapat dari berbagai sumber penerimaan negara. Pada umumnya negara mempunyai
sumber-sumber penghasilan yang terdiri dari:
1. Bumi, air dan kekayaan alam
2. Pajak-pajak, Bea dan cukai
3. Penerimaan Negara Bukan Pajak (non-tax)
4. Hasil Perusahaan Negara
5. Sumber-sumber lain, seperti pencetakan uang dan pinjaman
A. Bumi, Air, dan Kekayaan Alam
Pasal 33 UUD 1945 mengatur bahwa bumi, air dan kekayaan alam yang
terkandung didalamnya dikuasi oleh negara dan dipergunakan untuk kemakmuran
rakyat sebesar-besarnya. Selanjutnya Pasal 1 ayat 2 Undang-undang Pokok Agraria
menegaskan bahwa bumi, air dan ruang angkasa termasuk kekayaan alam yang
terkandung didalamnya dalam wilayah Republik Indonesia sebagai karunia Tuhan
Yang Maha Esa. Bumi, air, dan ruang angkasa milik Bangsa Indonesia merupakan
kekayaan nasional. Yang termasuk pengertian menguasai adalah mengatur dan
menyelenggarakan peruntukan, penggunaan, persediaan, dan pemeliharaannya,
11 | P a g e
menentukan dan mengatur yang dapat dimiliki atas bagian dari bumi, air dan ruang
angkasa dan mengatur hubungan hukum antara person (subjek hukum) dan
pembuatan-pembuatan hukum yang mengenai bumi, air, dan ruang angkasa .
Negara hanya menguasai bumi, air dan ruang angkasa. Dengan demikian
dapat dipahani bahwa negara tidak dapat menjual tanah kepada pihak swasta,
sebagaimana yang terjadi pada zaman pemerintahan Hindia Belanda di mana tanah
dijual oleh Pemerintah kepada pihak partikelir (swasta), sehingga banyak diketemukan
tanah partikelir. Baru sesudah berlakunya UU Pokok Agraria 1960 tanah-tanah
partikelir ini dihapuskan.
B. Pajak-Pajak, Bea dan Cukai
Pajak-pajak, bea dan cukai merupakan peralihan kekayaan dari sektor swasta
ke pemerintah, yang diharuskan oleh UU dan dapat dipaksakan, dengan tidak
mendapat jasa timbal (tegenprestatie) yang langsung dapat ditunjuk, untuk membiayai
pengeluaran-pengeluaran negara. Pajak adalah sumber terpenting dari segi
penerimaan negara. Hal ini dapat kita lihat di dalam Anggaran Pendapatan dan
Belanja Negara. Struktur APBN memperlihatkan bahwa sumber penerimaan terdiri dari
berbagai jenis pajak, bea masuk, bea keluar dan cukai. Penerimaan pajak dari tahun
ke tahun makin meningkat.
Bea dibagi atas dua yaitu:
1. Bea masuk ialah bea yang dipungut dari jumlah harga barang yang dimasukkan
ke daerah pabean dengan maksud untuk dipakai dan dikenakan bea menurut tarif
tertentu yang ditetapkan dengan UU dan keputusan Menteri keuangan.
2. Bea keluar ialah bea yang dipungut dari jumlah harga barang tertentu yang dikirim
keluar daerah Indonesia dihitung berdasarkan tarif tertentu berdasarkan UU.
Daerah Pabean ialah daerah yang ditentukan batas-batasnya oleh pemerintah
yang digunakan sebagai garis untuk memungut bea-bea. Cukai ialah pungutan yang
dikenakan atas barang-barang tertentu berdasarkan tarif yang sudah ditentukan
misalnya tembakau, gula, dan bensin.
12 | P a g e
Pelayanan kesehatan,
13 | P a g e
merupakan
kekayaan
negara
dengan
tidak
melihat
bentuknya.
Selain itu ada perusahaan negara yang berada dalam lapangan hukum perdata yang
berbentuk PT yang sahamnya seluruhnya berada ditangan pemerintah atau
kementerian yang bersangkutan.
E. Sumber-Sumber Lain
Yang termasuk dalam sumber-sumber lain ialah pencetakan uang (deficit
spending). Sumber terakhir ini oleh beberapa negara sering dilakukan. Pemerintah
Indonesia pernah melaksanakannya dalam rangka memenuhi kebutuhan akan
investasi negara untuk membiayai pembangunan yang tercermin dalam Anggaran
Belanja dan Pembangunan. Secara teoritis sebenarnya dapat saja dilakukan oleh
Pemerintah kapan saja. Tetapi cara ini tidalah populer karena membawa akibat yang
sangat mendalam di bidang ekonomi. Oleh karena itu defisit tersebut ditutup dengan
melalui pinjaman atau kredit luar negeri yang berasal dari kelompok negara donor,
yang dalam Anggaran Belanja Negara penerimaan dari pinjaman tersebut merupakan
penerimaan pembangunan yang sebenarnya juga merupakan uang muka pajak yang
kelak dikemudian hari menjadi beban bagi generasi mendatang.
Sumber-sumber lainnya dari penerimaan negara adalah Pinjaman Negara, baik
yang berasal dari dalam negeri maupun yang berasal dari luar negeri. Pinjaman dari
dalam negeri dapat dibedakan dalam dua bagian, yakni jangka pendek dan jangka
panjang. Pinjaman jangka pendek dengan cara pemberian pembukaan uang muka
oleh Bank Indonesia kepada Pemerintah sebelum penerimaan negara masuk ke kas
negara. Pemberian uang muka ini untuk mencegah kevakuman dalam rangka
Pemerintah melakukan pengeluaran-pengeluaran. Pinjaman atau pemberian uang
muka ini dijamin dengan Kertas Perbendaharaan negara, dan pinjaman ini akan
dilunasi setelah ada penerimaan negara, seperti pajak dan penerimaan negara bukan
pajak sudah masuk dalam kas negara. Pinjaman dalam negeri yang berjangka
Panjang dilaksanakan dengan cara menerbitkan uang kertas berharga (obligasi)
berjangka waktu. Penjualan obligasi berjangka ini ditujukan kepada seluruh
masyarakat dan hasil penjualannya digunakan untuk membiayai pembangunan.
14 | P a g e
pembiayaan pembangunan.
- Bantuan Proyek yaitu bantuan kredit yang diterima Pemerintah dari negara donor
berupa peralatan dan mesin-mesin untuk membangun proyek tertentu, seperti:
proyek tenaga listrik, jembatan, jalanan, pelabuhan, telekomunikasi dan irigasi.
Sebagian dari bantuan proyek ini diberikan dalam bentuk jasa konsultan dan
tenaga teknisi yang membantu merencanakan pembangunan proyek.
Berdasarkan Undang-Undang Nomor 17 tahun 2003 tentang Keuangan
Negara dan Undang-Undang Nomor 1 tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara
bahwa pendapatan negara dapat dikelompokan ke dalam:
1. Penerimaan Perpajakan
2. Penerimaan Negara Bukan Pajak
3. Hibah
Penjelasan:
1. Penerimaan Perpajakan
(i) Pajak dalam negeri terdiri dari :
- Pajak Penghasilan dari Minyak Gas
- Pajak Penghasilan Non Minyak Gas
- PPn dan PPn BM
- Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan
- Cukai
- Pajak lainnya
(ii) Pajak Perdagangan Internasional
15 | P a g e
3. Hibah
Penerimaan negara dalam bentuk sumbangan yang berasal dari negara lain,
swasta dan Pemerintah Daerah yang tidak perlu dibayar kembali, bersifat tidak
wajib dan tidak mengikat, tidak berlangsung terus menerus dan digunakan untuk
kegiatan tertentu. Adanya kesepakatan atau MoU mengenai pemberian hibah
yang dilakukan pemerintah dengan Pemerintah Negara Lain, Pihak Swasta atau
Pemerintah Daerah.
16 | P a g e
RANGKUMAN
Dalam melaksanakan
dalam Negeri
Luar Negeri
jangka panjang
obligasi
jangka pendek
uang muka
jangka panjang
Bantuan proyek
Bantuan program
17 | P a g e
LATIHAN
1. Mengapa pajak dikatakan sebagai penerimaan negara yang sangat penting?
2. Seandainya pajak tidak ada, penerimaan negara dari sumber apakah yang akan
Anda ciptakan?
3. Menurut saudara, apakah bea dan cukai termasuk pajak? Jelaskan alasannya
dan dasar hukum yang mendukungnya!
4. Mengapa pencetakan mata uang bisa menjadi sumber penerimaan negara?
Jelaskan!
18 | P a g e
BAB
PENGERTIAN PAJAK DAN HUKUM PAJAK
A. Hukum Pajak
1. Pengertian Hukum Pajak
Hukum pajak, dalam bahasa Inggris, disebut tax law. Dalam bahasa Belanda,
hukum pajak disebut belasting recht. Di Indonesia, selain digunakan istilah hukum
pajak, juga digunakan istilah hukum fiskal. Sebenarnya hukum pajak dengan hukum
fiskal memiliki substansi yang berbeda. Hukum pajak hanya sekadar membicarakan
tentang pajak sebagai objek kajiannya, sedangkan hukum fiskal meliputi pajak dan
sebagian keuangan Negara sebagai objek kajiannya.
Hukum pajak dalam arti luas adalah hukum yang berkaitan dengan pajak.
Hukum pajak dalam arti sempit adalah seperangkat kaidah hukum tertulis yang
memuat sanksi hukum. Hukum pajak sebagai bagian ilmu hukum tidak lepas dari
sanksi hukum sebagai substansi di dalamnya agar Pejabat Pajak maupun Wajib Pajak
menaati kaidah hukum. Sanksi hukum yang dapat diterapkan berupa sanksi
administrasi dan sanksi pidana.
Hukum pajak ialah suatu kumpulan peraturan yang mengatur hubungan antara
pemerintah sebagai pemungut pajak dan rakyat sebagai pembayar pajak (Rochmat
Soemitro, 1979). Dengan kata lain, hukum pajak menerangkan:
19 | P a g e
20 | P a g e
21 | P a g e
pembangunan) dari pemungutan pajak dapat terlaksana dengan baik dan adil. Dalam
pembentukan hukum pajak harus nampak pula fungsi regulerent (mengatur) sehingga
pemerintah dapat mengatur pertumbuhan ekonomi melalui kebijaksanaan pajak
seperti menggiring penanaman modal baik dalam negeri maupun luar negeri dengan
pemberian berbagai keringanan pajak.
B. Pajak
1. Definisi Pajak
Negara dalam menyelenggarakan pemerintahan mempunyai kewajiban untuk
menjaga kepentingan rakyatnya, baik dalam bidang kesejahteraan, keamanan,
pertahanan, maupun kecerdasan kehidupannya. Hal ini sesuai dengan tujuan Negara
yang dicantumkan di dalam Pembukaan UUD 1945 pada alinea keempat yang
berbunyi melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia
serta untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa dan
ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan keadilan sosial. Negara
memerlukan dana untuk mewujudkan tujuan tersebut, sehingga diperlukan dana yang
tentunya didapat dari rakyat itu sendiri melalui pemungutan pajak.
Kemudian dalam Pasal 23A UUD 1945 hasil amandemen disebutkan bahwa
pajak dan pungutan lain yang bersifat memaksa untuk keperluan Negara diatur
dengan undang-undang. Dengan kata lain, pajak harus berlandaskan undang-undang,
berarti pemungutan pajak tersebut telah mendapat persetujuan dari rakyat melalui
perwakilannya di DPR yang biasa disebut berdasarkan yuridis. Asas ini telah
memberikan jaminan hukum yang tegas akan hak Negara dalam memungut pajak.
Dalam UU KUP No. 28 Tahun 2007 Pasal 1 angka 1, disebutkan bahwa pajak
adalah kontribusi wajib kepada negara yang terutang oleh orang pribadi atau badan
yang bersifat memaksa berdasarkan Undang-Undang, dengan tidak mendapatkan
imbalan secara langsung dan digunakan untuk keperluan negara bagi sebesarbesarnya kemakmuran rakyat. Definisi mengenai pajak ini baru diatur dalam UU
KUP No. 28 Tahun 2007. Dalam UU KUP sebelumnya, tidak pernah diterangkan
secara lugas mengenai pengertian pajak sebagai kontribusi wajib kepada Negara.
2. Ciri Pajak
Ada lima unsur yang melekat dalam pengertian pajak tersebut, yaitu:
a. Pembayaran pajak harus berdasarkan undang-undang;
b. Sifatnya dapat dipaksakan;
22 | P a g e
proses
pengumpulannya
dan
berjalannya
pembangunan
secara
berkesinambungan, maka sifat pemaksaannya harus ada dan rakyat itu sendiri telah
menyetujuinya dalam bentuk undang-undang. Unsur pemaksaan disini berarti apabila
Wajib Pajak tidak mau membayar pajak, pemerintah dapat melakukan upaya paksa
dengan mengeluarkan suatu surat paksa agar Wajib Pajak mau melunasi utang
pajaknya.
C. Fungsi Pajak
Dalam dunia perpajakan, sering disebutkan bahwa fungsi pajak ada dua yaitu
fungsi budgeter dan regulerend. Namun dalam perkembangannya fungsi pajak
tersebut dapat dikembangkan dan ditambah dua fungsi lagi yaitu fungsi demokrasi dan
fungsi redistribusi.
Fungsi budgeter adalah fungsi yang letaknya di sektor publik, yaitu fungsi untuk
mengumpulkan uang pajak sebanyak-banyaknya sesuai dengan peraturan-peraturan
yang berlaku, yang pada waktunya akan digunakan untuk membiayai pengeluaranpengeluaran Negara. Dalam APBNP 2011, target penerimaan perpajakan mencapai
Rp878,7 triliun. Jumlah ini 75,4% (persen) dari total penerimaan negara, yaitu sebesar
Rp1.165,3 triliun
Fungsi regulerend adalah suatu fungsi bahwa pajak-pajak tersebut akan
digunakan sebagai suatu alat untuk mencapai tujuan-tujuan tertentu yang letaknya di
luar bidang keuangan. Dalam hal ini, pajak berfungsi sebagai alat pengatur keadaan
sosial dan ekonomi. Salah satu contohnya yaitu adanya pengenaan pajak dengan tarif
yang tinggi untuk PPnBM (Pajak Penjualan atas Barang Mewah).
23 | P a g e
Fungsi demokrasi dari pajak adalah suatu fungsi yang merupakan salah satu
penjelmaan atau wujud sistem gotong royong dalam kegiatan pemerintahan dan
pembangunan demi kemaslahatan manusia. Fungsi demokrasi pada masa sekarang
ini sering dikaitkan dengan hak seseorang dalam memperoleh pelayanan dari
pemerintah. Apabila seseorang telah melakukan kewajiban membayar pajak kepada
Negara sesuai ketentuan yang berlaku, maka ia mempunyai hak untuk mendapatkan
pelayanan yang baik dari pemerintah. Bila pemerintah tidak memberikan pelayanan
yang baik, pembayar pajak bisa melakukan protes (complaint) terhadap pemerintah.
Fungsi redistribusi yaitu fungsi yang lebih menekankan pada unsur pemerataan
dan keadilan dalam masyrakat. Hal ini dapat terlihat misalnya dengan adanya tarif
progresif pada undang-undang pajak yang mengenakan pajak lebih besar kepada
masyarakat yang mempunyai penghasilan besar dan pajak yang lebih kecil kepada
masyarakat yang mempunyai penghasilan lebih sedikit (kecil).
D. Retribusi
Pungutan lain yang bersifat memaksa seperti retribusi pada dasarnya memiliki
ciri yang sama dengan pajak, kecuali dalam hal imbalannya yang langsung dapat
dirasakan oleh pembayar retribusi. Unsur yang melekat pada pengertian retribusi
adalah:
a. Pungutan retribusi harus berdasarkan undang-undang;
b. Sifat pungutannya dapat dipaksakan;
c. Pemungutannya dilakukan oleh Negara;
d. Digunakan untuk pengeluaran bagi masyarakat umum; dan
e. Kontra-prestasi (imbalan) langsung dapat dirasakan oleh pembayar retribusi.
Umumnya pungutan atas retribusi diberikan atas pembayaran berupa jasa atau
pemberian izin tertentu yang disediakan oleh pemerintah kepada setiap orang atau
badan. Karena kontra-prestasinya langsung dapat dirasakan, maka dari sudut sifat
paksaanya lebih mengarah pada hal yang bersifat ekonomis. Apabila manfaat
ekonomisnya telah dirasakan tetapi retribusinya tidak dibayar, maka secara yuridis
pelunasannya dapat dipaksakan seperti halnya pajak.
24 | P a g e
E. Sumbangan
Istilah sumbangan ini berlandasan pemikiran bahwa biaya-biaya yang
dikeluarkan untuk prestasi pemerintah tertentu tidak boleh dikeluarkan dari kas umum,
karena prestasi itu tidak ditujukan kepada penduduk seluruhnya, tetapi hanya untuk
sebagian tertentu saja. Hanya golongan tertentu dari penduduk ini sajalah yang
diwajibkan membayar sumbangan itu. Sebagai contoh pemungutan sumbangan yang
hasilnya ditujukan untuk pembuatan dan pemeliharaan jalan yang khususnya
bermanfaat bagi para pemakai jalan tersebut.
Walaupun kelihatan hampir sama, namun sumbangan ini tidak boleh
disamakan denga Retribusi. Pada retribusi dapatlah ditunjuk seseorang yang
mengenyam kenikmatan kontra-prestasi dari pemerintah, sedangkan pada sumbangan
yang mendapat prestasi kembali ini adalah suatu kelompok/golongan
F. Zakat/Sumbangan Keagamaan
Zakat merupakan Rukun Islam yang ketiga. Secara bahasa, zakat berarti
tumbuh dan bertambah. Secara istilah, berarti hak wajib pada harta tertentu yang wajib
diberikan kepada kalangan tertentu dan pada waktu tertentu. Zakat diwajibkan pada
harta orang dewasa dan anak-anak, laki-laki dan wanita, jika harta dimilikinya secara
sempurna mencapai nisab, melewati haul (sampai satu tahun kepemilikannya) dan
pemiliknya adalah seorang muslim yang merdeka.
Berdasarkan UU Pajak Penghasilan, zakat yang disalurkan melalui Amil Zakat
(badan yang sudah disahkan oleh Pemerintah untuk mengumpulkan zakat), maka
dapat diperhitungkan sebagai pengurang dari penghasilan wajib pajak.
G. Kedudukan Hukum Pajak dalam Tatanan Hukum Nasional
Pembagian hukum sesuai civil law system (sistem hukum Romawi/Eropa
Kontinental) memberikan pemisahan yang tegas antara hukum privat dan hukum
publik. Hukum privat mengatur sekalian perkara yang berisi hubungan antara sesama
warga negara dalam kedudukasn yang sederajat, seperti masalah perkawinan, waris,
keluarga, dan perjanjian. Sedangkan hukum publik mengatur kepentingan umum,
seperti hubungan antara warga negara dengan negara. Hukum publik berkaitan
dengan hal-hal yang berhubungan dengan masalah kenegaraan serta bagaimana
negara itu melaksanakan tugasnya.
25 | P a g e
Hukum yang masuk ke dalam bagian hukum privat, misalnya hukum perdata,
hukum dagang, hukum perkawinan, dan sebagainya. Hukum yang masuk ke dalam
hukum publik, misalnya hukum tata negara, hukum administrasi (hukum tata usaha
negara), hukum pidana, dan hukum internasional. Berdasarkan pembagian hukum
tersebut, ternyata hukum pajak tidak berdiri sendiri, melainkan berada dalam
kandungan hukum administrasi sebagai bagian dari hukum publik.
Hukum pajak adalah bagian dari hukum administrasi, yang merupakan
segenap peraturan hukum yang mengatur segala cara kerja dan pelaksanaan serta
wewenang dari lembaga-lembaga negara serta aparaturnya dalam melaksanakan
tugas administrasi. Jika hukum publik mengatur hubungan antara pemerintah (selaku
penguasa) dengan rakyatnya, hukum pajak mengatur hubungan antara pemerintah
selaku pemungut pajak dengan rakyatnya sebagai Wajib Pajak.
Dalam
kenyataannya,
tidak
dapat
dipungkiri
bahwa
berdasarkan
26 | P a g e
RANGKUMAN
Hukum pajak ialah suatu kumpulan peraturan yang mengatur hubungan antara
pemerintah sebagai pemungut pajak dan rakyat sebagai pembayar pajak (Rochmat
Soemitro, 1979).
Penegakan hukum pajak di dalam lembaga peradilan dilakukan melalui
lembaga peradilan pajak maupun lembaga peradilan umum. Penegakkan hukum pajak
melalui lembaga peradilan pajak tertuju pada penyelesaian sengketa pajak dan
dilakukan dalam Lembaga Keberatan, Pengadilan Pajak, dan Mahkamah Agung.
Penegakan hukum pajak melalui lembaga peradilan umum tertuju pada penyelesaian
tindak pidana pajak dan dilakukan oleh Pengadilan Negeri, Pengadilan Tinggi, dan
Mahkamah Agung. Sedangkan penegakan hukum pajak di luar lembaga peradilan
dilakukan oleh Pejabat Pajak dengan menggunakan wewenang berupa menerbitkan
surat ketetapan pajak dan surat keputusan yang terkait dengan penagihan pajak.
Substansi yang terkandung dalam hukum pajak juga menampakkan ciri
khasnya sebagai bagian ilmu hukum yang merupakan hukum fungsional, dengan
fungsi mengatur pendapatan dan perekonomian negara/daerah, dan mempunyai
instrumen berupa sanksi administrasi dan sanksi pidana dalam penegakannya.
Pasal 23A UUD 1945 hasil amandemen menyebutkan bahwa pajak dan
pungutan lain yang bersifat memaksa untuk keperluan Negara diatur dengan undangundang. Sedangkan UU KUP No. 28 Tahun 2007 Pasal 1 angka 1, menyebutkan
bahwa pengertiaan pajak adalah kontribusi wajib kepada negara yang terutang oleh
orang pribadi atau badan yang bersifat memaksa berdasarkan Undang-Undang,
dengan tidak mendapatkan imbalan secara langsung dan digunakan untuk keperluan
negara bagi sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.
Fungsi pajak :
a.
Fungsi budgeter
b.
Fungsi regulerent
c.
Fungsi demokrasi
d.
Fungsi redistribusi
27 | P a g e
LATIHAN
1. Apa yang dibahas dalam hukum pajak dan apa bedanya dengan hukum fiskal?
Jelaskan!
2. Jelaskan mengapa memahami landasan filosofis dari peraturan perundangundangan perpajakan merupakan hal yang sangat penting bagi para pelaksana
hukum pajak?
3. Jelaskan sumber hukum pajak dan apa saja yang dijadikan sumber hukum pajak
di Indonesia?
4. Apa saja tugas dari hukum pajak?
5. Sebutkan fungsi dan tujuan hukum pajak?
6. Bagaimana kedudukan hukum pajak dalam tatanan hukum di Indonesia?
7. Apa yang menjadi ruang lingkup dari hukum pajak?
28 | P a g e
BAB
29 | P a g e
30 | P a g e
31 | P a g e
Menurut para penganutnya, termasuk juga Prof. Adriani, teori ini berlaku
sepanjang masa, baik dalam masa ekonomi bebas, maupun dalam masa ekonomi
terpimpin, bahkan juga dalam masyarakat yang sosialistis, walaupun tidak luput dari
adanya variasi dalam coraknya. Tidak demikian halnya dengan
teori-teori yang
individu)
untuk
membentuk
negara
dan
menyerahkan
sebagian
32 | P a g e
33 | P a g e
untuk mengenakan pajak kepada setiap orang yang memperoleh penghasilan dari
sumber penghasiln tersebut berada.
RANGKUMAN
Yuridiksi pemungutan
pajak:
Asas
Teori Asuransi
Teori gaya beli
Teori gaya
pikul
Teori
kepentingan
Teori Bakti
Asas Sumber
Asas Tempat
tinggal
Asas
Kebangsaan
ASAS DAN YURIDIKSI
PEMUNGUTAN PAJAK
LATIHAN
1. Apa yang dijadikan dasar hukum pemungutan pajak di Indonesia?
2. Jelaskan beberapa teori yang mengesahkan hak Negara memungut pajak!
3. Jelaskan dengan lengkap apa itu teori gaya pikul dan bagaimana aplikasinya dalam
perundang-undangan perpajakan Indonesia!
4. Teori gaya pikul bersifat kualitatif, artinya kemampuan seseorang antara satu dan
lainnya adalah tidak sama, dan banyak faktor yang mempengaruhinya. Jelaskan
faktor-faktor apa saja yang mempengaruhi teori gaya pikul tersebut!
5. Asas pemungutan pajak antara lain adalah asas tempat tinggal dan asas sumber.
Jelaskan kedua asas tersebut dan apa akibatnya dan bagaimana pemecahannya?
34 | P a g e
BAB
PENGGOLONGAN JENIS PAJAK DAN SISTEM
PEMUNGUTAN PAJAK
35 | P a g e
b. Pajak
Obyektif,
yaitu
pengenaan
pajak
dengan
pertama-tama
dengan
penghasilan
adalah
setiap
tambahan
kemampuan
ekonomis yang berasal baik dari Indonesia maupun dari luar Indonesia yang
dapat digunakan untuk konsumsi atau untuk menambah kekayaan dengan
nama dan dalam bentuk apapun. Dengan demikian, maka penghasilan itu
dapat berupa keuntungan usaha, gaji, honorarium, hadiah, dan lain
sebagainya.
Pelaksanaan Pajak penghasilan di Indonesia dimulai Tahun 1984 melalui
Undang-undang No. 7 Tahun 1983 yang telah mengalami perubahan dan
tambahn terakhir dengan UU No. 36 Tahun 2008. UU No. 7 Tahun 1983
merupakan pengganti dari dua ketentuan undang-undang yakni Ordonansi
Pajak Pendapatan dan Ordonansi Pajak Perseroan.
2) Pajak Pertambahan Nilai (PPN)
PPN adalah pajak yang dikenakan atas konsumsi Barang Kena Pajak atau
Jasa Kena Pajak di dalam Daerah Pabean. Orang Pribadi, perusahaan,
maupun pemerintah yang mengkonsumsi Barang Kena Pajak atau Jasa Kena
Pajak dikenakan PPN. Pada dasarnya, setiap barang dan jasa adalah Barang
Kena Pajak atau Jasa Kena Pajak, kecuali ditentukan lain oleh Undangundang PPN.
36 | P a g e
umumnya
barang
tersebut
dikonsumsi
oleh
masyarakat
37 | P a g e
b. Pajak Daerah adalah pajak-pajak yang dikelola oleh Pemerintah Daerah baik di
tingkat Provinsi maupun Kabupaten/Kota. Sesuai UU No. 28 Tahun 2009 tentan
PDRD yang dikelola oleh Dinas Pendapatan Daerah (Dipenda), antara lain :
1) Pajak Provinsi
- Pajak Kendaraan Bermotor dan Kendaraan di Atas Air;
- Bea Balik Nama Kendaraan Bermotor dan Kendaraan di Atas Air;
- Pajak Bahan Bakar Kendaraan Bemotor;
- Pajak Pengambilan dan Pemanfaatan Air Bawah Tanah dan Air
Permukaan.
2) Pajak Kabupaten/Kota
- Pajak Hotel,
- Pajak Restoran,
- Pajak Hiburan,
- Pajak Reklame,
- Pajak Penerangan Jalan,
- Pajak Pengambilan Bahan Galian Golongan C,
- Pajak Parkir,
- Retribusi Daerah,
- Retribusi Jasa Umum,
- Retribusi Jasa Usaha,
- Retribusi Perizinan Tertentu.
B. Sistem Pemungutan Pajak
Negara menentukan sistem pemungutan pajak yang akan
digunakan atau
diterapkan dalam melakukan pemungutan pajak. Hal ini disesuaikan dengan situasi
dan kondisi Negara dengan tidak mengabaikan kewajiban dan hak wajib pajak dalam
berperan serta di bidang pembiayaan pengelolaan Negara.
Tata cara pemungutan pajak dapat beraneka ragam, tergantung dari sistem
pemungutan pajak yang digunakan. Sistem pemungutan pajak hanya bergantung
pada kehendak Negara untuk menerapkannya dalam setiap Undang-undang Pajak,
sepanjang masih dimungkinkan berdasarkan substansi hukumyang responsif.
38 | P a g e
39 | P a g e
40 | P a g e
RANGKUMAN
41 | P a g e
LATIHAN
1. Apa perbedaan sistem Official Assessment dan sistem Self Assessment baik
ditinjau dari Wajib Pajak maupun Fiskus?
2. Jelaskan apa yang dimaksud pajak subjektif dan pajak objektif!
3. Apakah suatu pajak yang menurut sifatnya termasuk salah satu bentuk (apakah
pajak objektif ataupun pajak subjektif) dapat berubah menjadi sebaliknya?
Terlepas dari jawaban Saudara, ya atau tidak, berikan penjelasannya!
4. Jelaskan apa yang dimaksud pajak langsung dan pajak tidak langsung!
42 | P a g e
BAB
PENAFSIRAN DALAM HUKUM PAJAK
A. Metode Penafsiran
Inti dari upaya penafsiran ketentuan undang-undang adalah agar diperoleh
keadilan, sedangkan ketentuan pada pasal undang-undang ada kemungkinan tidak
sesuai lagi dengan keadaan pada waktu dilaksanakan. Pembuat undang-undang
sendiri tidak menetapkan suatu sistem tertentu yang harus dijadikan pedoman bagi
pelaksanaan hukum dalam penafsiran undang-undang. Oleh karena itu, hakim bebas
melaksanakan penafsiran pasal undang-undang menurut keyakinannya.
Ada beberapa metode penafsiran menurut ilmu hukum yang digunakan dalam
menafsirkan hukum pajak, yaitu sebagai berikut:
1. Penafsiran Tata Bahasa atau Gramatika (Taalkundig)
Penafsiran tata bahasa adalah cara penafsiran berdasarkan bunyi kata-kata
secara keseluruhan, dengan berpedoman pada arti kata-kata yang berhubungan satu
sama lain, dalam kalimat-kalimat yang disusun oleh pembuat undang-undang. Arti
perkataan itu semata-mata menurut tata bahasa atau kebiasaan, seperti arti dalam
pemakaian sehari-hari.
Pandangan para ahli hukum atas tafsiran gramatikal ini bervariasi. Sebagian
ahli hukum mengatakan bahwa tafsiran gramatikal ini merupakan tafsiran yang paling
utama, artinya jika kata-kata undang-undang sudah cukup jelas, maka hakim tidak
boleh lagi menggunakan cara-cara penafsiran lainnya sehingga menyimpang dari
kata-kata undang-undang, meskipun maksud dari pembuat undang-undang tidak
43 | P a g e
sama dengan arti kata-kata tersebut. Sebagian ahli hukum lain menyatakan bahwa
penafsiran gramatikal memiliki kedudukan yang lemah karena arti kata-kata dalam
undang-undang bisa berbeda antara orang yang satu dengan lainnya.
Oleh karena itu, penafsiran peraturan perpajakan sebaiknya dicari cara
penafsiran mana yang paling tepat. Penafsiran secara tata bahasa (gramatika)
merupakan penafsiran dasar atau awal untuk mengetahui maksud pembuat undangundang kemudian dilanjutkan dengan penafsiran otentik yakni menurut pembuat
undang-undang sebagaimana tercantum dalam memori penjelasan, dan kemudian
diteruskan ke penafsiran-penafsiran yang lain.
Inilah pentingnya pembuat undang-undang untuk memilih kata-kata dalam
menyusun suatu kalimat menjadi suatu aturan agar tidak menimbulkan salah
pengertian bagi pembacanya.
Contoh penafsiran gramatika di dalam pelaksanaan hukum pajak, antara lain,
ada pada ketentuan Pasal 13 ayat (1) UU KUP yang menyatakan: Dalam jangka
waktu 5 (lima) tahun setelah saat terutangnya pajak atau berakhirnya Masa Pajak,
bagian Tahun Pajak, atau Tahun Pajak, Direktur Jenderal Pajak dapat menerbitkan
Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar dalam hal-hal sebagai berikut. . .
Redaksi kata dapat disini mengandung arti tidak harus atau tidak wajib, sehingga
penerbitan Surat Keterangan Pajak Kurang Bayar (SKPKB) tersebut bukan merupakan
keharusan atau undang-undang mengamanahkan adanya alternatif selain bentuk
SKPKB, dan itu harus dicari di dalam pasal-pasal yang ada.
2. Penafsiran Otentik
Penafsiran otentik adalah penafsiran atas suatu ketentuan dalam undangundang dengan melihat pada apa yang telah dijelaskan dalam undang-undang
tersebut. Biasanya dalam suatu undang-undang terdapat suatu pasal mengenai
ketentuan umum, biasanya ada pada Pasal 1, yang isinya menjelaskan arti atau
maksud dari ketentuan yang telah diatur. Ketentuan umum demikian sering disebut
dengan terminologi untuk menjelaskan hal-hal yang dianggap perlu. Terminologi inilah
yang dimaksudkan dengan penafsiran otentik. Sedangkan penjelasan dari suatu pasal
yang dimuat dalam Tambahan Lembaran Negara (TLN) bukan merupakan penafsiran
otentik, tetapi hanya suatu penjelasan semata atas isi suatu pasal.
44 | P a g e
3. Penafsiran Historis
Penafsiran historis adalah penafsiran atas undang-undang dengan melihat
pada sejarah dibuatnya suatu undang-undang. Untuk dapat memahami penafsiran
historis yang demikian, tentu hanya dapat diketahui dari dokumen-dokumen rapat
pada waktu dibuatnya undang-undang, seperti draft RUU, risalah rapat para pembuat
undang-undang, memori penjelasan umum dan pasal per pasal, jawaban pemerintah
kepada DPR, notulen sidang komisi, dan sebagainya. Dengan memahami dokumendokumen tersebut, maka akan diketahui asbabun nuzul dari suatu aturan perpajakan.
Penafsiran menurut sejarah hukum juga dapat dilakukan dengan cara
menyelidiki apakah suatu peraturan itu datangnya dari sistem hukum yang terdahulu.
Sebagai contohnya adalah perkembangan pengertian pembayaran dalam Masa Pajak
dari Pajak Penghasilan, dari mulai sebelum reformasi perpajakan dijalankan yaitu
dengan official assessment dimana pembayaran masa berarti angsuran terhadap
Surat Ketetapan Pajak Sementara (SKP/s) yang diterbitkan oleh fiskus, yang
kemudian akan diperhitungkan didalam penetapan rampungnya (akhir tahun).
Kemudian dalam perkembangan selanjutnya model SKP/s tersebut dihapuskan dan
diganti dengan cara Menghitung Pajak Sendiri (MPS) dan Menghitung Pajak Orang
Lain (MPO), di sini pembayaran masa ditentukan sekian persen (misalnya 2%) dari
jumlah peredaran selama satu bulan. Dan sekarang, setelah reformasi perpajakan
1983 sistem yang dianut adalah self assessment, dengan cara penentuan besarnya
pembayaran masa yang berbeda.
4. Penafsiran Sistematik
Penafsiran sistematik adalah penafsiran dengan menghubungkan suatu pasal
dengan pasal yang lain dalam satu undang-undang yang sama atau mengaitkannya
dengan pasal-pasal undang-undang yang lain. Penafsiran ini memperhatikan
peraturan-peraturan lain yang terkait yang masih berhubungan. Hukum perpajakan
yang terdiri dari undang-undang sampai dengan Keputusan Dirjen Pajak sebenarnya
merupakan satu kesatuan yang saling berhubungan secara logis sehingga
penafsirannya harus dikaitkan antara peraturan yang satu dengan lainnya.
Salah satu contoh penafsiran ini adalah penafsiran dari pengertian memenuhi
persyaratan dalam pengajuan surat keberatan sebagaimana dimaksud dalam pasal
25 ayat (4) UU KUP, haruslah dikaitkan pula dengan pengertian keterangan tertulis
yang wajib diberikan oleh Direktur Jenderal Pajak sebagaimana dimaksud dalam pasal
45 | P a g e
26 ayat (6). Artinya apabila atas permohonan Wajib Pajak, Direktur Jenderal Pajak
tidak memberikan keterangan secara tertulis hal-hal yang menjadi dasar pengenaan
pajak, penghitungan rugi, atau pemotongan atau pemungutan pajak, maka
sebenarnya tidak ada hak bagi Direktur Jenderal Pajak untuk menanyakan
kelengkapan persyaratan di dalam pengajuan keberatan.
5. Penafsiran Sosilogis (Teleologis)
Penafsiran sosiologis adalah penafsiran atas suatu ketentuan dalam undangundang
yang
disesuaikan
dengan
perkembangan
dan
dinamika
kehidupan
46 | P a g e
Pemberitahuan Wajib Pajak menyatakan Lebih Bayar, sering disebut juga dengan
istilah uang pembasuh batin. Ketentuan ini tidak dikenal dalam sistem self
assessment sekarang ini.
7. Penafsiran Doktriner
Penafsiran doktriner adalah penafsiran dengan cara mengambil pendapat dari
para ahli, khususnya ahli-ahli perpajakan dalam buku-buku karyanya. Penafsiran ini
biasanya berupa pendapat para saksi ahli di dalam sidang peradilan pajak.
8. Penafsiran Analogis
Dalam pelaksanaan hukum, ada kalanya terjadi suatu kekosongan atau
kevakuman hukum. Kekosongan hukum ini dapat diisi oleh Hakim dengan penafsiran
analogis atau penafsiran atas suatu ketentuan dalam undang-undang dengan cara
memberi kiasan pada kata-kata yang tercantum dalam undang-undang. Penafsiran ini
sama dengan penafsiran ekstensif (meluas) yang maksudnya memperluas suatu
aturan
ketentuan menjadi termasuk dalam ketentuan yang ada berdasarkan analog yang
dibuat.
Penafsiran analogis ini tidak dipakai dalam undang-undang pajak karena dapat
merugikan Wajib Pajak dan tidak adanya kepastian hukum terhadap peristiwa yang
terjadi. Aturan umum yang tidak ditulis dalam undang-undang pajak yang merupakan
aturan yang bersifat khusus
menegaskan bahwa pajak dan pungutan lain yang bersifat memaksa untuk keperluan
negara harus diatur undang-undang.
9. Penafsiran A Contrario
Penafsiran A Contrario adalah penafsiran atas suatu ketentuan dalam undangundang yang didasarkan pada perlawanan pengertian antara soal yang dihadapi dan
soal yang diatur dalam undang-undang. Berdasarkan perlawanan pengertian itu ditarik
suatu kesimpulan bahwa soal yang dihadapi itu tidak diatur dalam pasal undangundangnya, atau dengan kata lain soal yang dihadapi berada di luar ketentuan pasal
suatu undang-undang.
Contoh:
Pada Pasal 4 Ayat (3) huruf g UU PPh menyatakan yang dikecualikan dari Objek
PPh adalah iuran pensiun kepada dana pensiun yang pendiriannya telah disetujui
47 | P a g e
48 | P a g e
peraturan
perundang-undangan
senantiasa
tertinggal
atau terbelakang
yang
atau
lebih
ketidakpastian
jauh
lagi
akan
peraturan
berakibat
perundang-undangan
pada
kekacauan
di
hukum
(rechtsverwarring), dalam arti bahwa selama tidak diatur berarti boleh, selama belum
49 | P a g e
ada tata cara yang jelas dan diatur berarti bukan tidak boleh. Hal inilah yang
menyebabkan kebingungan (kekacauan) dalam masyarakat mengenai aturan apa
yang harus dipakai atau diterapkan. Dalam masyarakat menjadi tidak ada kepastian
aturan yang diterapkan untuk mengatur hal-hal atau keadaan yang terjadi.
RANGKUMAN
Penafsiran perbandingan
g. Penafsiran doktriner
h. Penafsiran analogis
i.
Penafsiran a contrario
50 | P a g e
LATIHAN
1. Apa yang dimaksud dengan penafsiran hukum dalam pelaksanaan hukum pajak?
2. Mengapa perlu dilaksanakan penafsiran hukum sebelum dilaksanakan?
3. Sebut dan jelaskan beberapa cara penafsiran hukum yang Saudara ketahui?
4. Ada beberapa metode penafsiran hukum pajak. Jelaskan dan berikanlah masingmasing satu contoh dari metode penafsiran dimaksud yang berbeda dengan yang
telah diterangkan di atas?
5. Pejabat Pajak dalam melaksanakan tugas sehari-hari kadang-kadang menemukan
suatu kekosongan hukum. Jelaskan langkah apa yang dapat dilakukan?
6. Berikan contoh kekosongan hukum yang ada dalam sistem perundang-undangan
perpajakan?
51 | P a g e
BAB
TARIF PAJAK DAN DASAR PENGENAAN PAJAK
52 | P a g e
1. Tarif Progresif
Tarif progresif adalah tarif pemungutan pajak yang persentasenya semakin
besar bila jumlah yang dijadikan dasar pengenaan pajak juga semakin besar. Menurut
kenaikan persentase tarifnya, tarif progresif dapat dibagi menjadi 3, yaitu:
a. Tarif pajak Progresif Progresif
Tarif pajak Progresif Progresif adalah tarif pemungutan pajak dengan persentase
yang naik dengan semakin besarnya jumlah yang digunakan sebagai dasar
pengenaan pajak, dan kenaikan presentase untuk setiap jumlah tertentu setiap kali
naik.
b. Tarif pajak Progresif Proporsional
Tarif pajak Progresif Proporsional adalah tarif pemungutan pajak dengan
persentase yang naik dengan semakin besarnya jumlah yang digunakan sebagai
dasar pengenaan pajak, namun kenaikan presentase untuk setiap jumlah tertentu
tetap.
c. Tarif pajak Progresif Degresif
Tarif pajak Progresif Degresif adalah tarif pemungutan pajak dengan persentase
yang naik dengan semakin besarnya jumlah yang digunakan sebagai dasar
pengenaan pajak, namun kenaikan presentase untuk setiap jumlah tertentu setiap
kali menurun.
Contoh tarif pajak progresif adalah tarif untuk Pajak Penghasilan Orang Pribadi
berdasarkan Pasal 17 ayat (1) huruf a Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2008.
Tabel 7.1 Tarif Pajak Orang Pribadi berdasarkan Pasal 17 ayat (1) huruf a
Lapisan Penghasilan Kena Pajak
Tarif Pajak
5%
15 %
25 %
Di atas Rp500.000.000,00
30 %
53 | P a g e
2. Tarif Degresif
Tarif degresif merupakan kebalikan dari tarif progresif. Tarif degresif adalah
tarif pemungutan pajak yang persentasenya semakin kecil bila jumlah yang dijadikan
dasar pengenaan pajak semakin besar. Namun, tidak berarti jika persentasenya
semakin kecil kemudian jumlah pajak yang terutang juga menjadi kecil. Akan tetapi
malah bisa menjadi lebih besar karena jumlah yang dijadikan dasar pengenaan
pajaknya juga semakin besar.
Tabel 7.2 Contoh Tarif Pajak Degresif
Dasar Pengenaan Pajak
Tarif Pajak
Rp10.000.000,-
15%
Rp1.500.000
Rp25.000.000,-
13%
Rp3.250.000
Rp50.000.000,-
11%
Rp5.500.000
Rp60.000.000,-
10%
Rp6.000.000
Rp16.250.000
3. Tarif Proporsional
Tarif proporsional tidak lagi dipengaruhi oleh naik turunnya dasar objek yang
dikenakan pajak, karena tarifnya telah berlaku secara sebanding. Tarif proporsional
adalah tarif pemungutan pajak yang menggunakan persentase tetap tanpa
memerhatikan jumlah yang dijadikan dasar pengenaan pajak. Semakin besar jumlah
yang dijadikan dasar pengenaan pajak, akan semakin besar pula jumlah pajak
terutang (yang harus dibayar). Tarif ini diterapkan dalam UU No. 18 Tahun 2000 (UU
PPN dan PPnBM) yang menggunakan tarif proporsional sebesar 10%.
Tabel 7.3 Contoh Tarif Pajak Proporsional
Dasar Pengenaan Pajak
Tarif Pajak
a. Rp15.000.000,-
10%
Rp1.500.000,-
b. Rp25.000.000,-
10%
Rp2.500.000,-
c. Rp40.000.000,-
10%
Rp4.000.000,-
d. Rp60.000.000,-
10%
Rp6.000.000,-
54 | P a g e
4. Tarif Tetap
Tarif tetap adalah tarif pemungutan pajak yang besar nominalnya tetap tanpa
memerhatikan jumlah yang dijadikan dasar pengenaan pajak. Tarif ini diterapkan
dalam UU No. 13 Tahun 1985 tentang Bea Meterai (BM). Dengan adanya PP No. 24
Tahun 2000, tarif yang digunakan adalah Bea Meterai dengan nilai nominal sebesar
Rp3.000,00 dan Rp6.000,00.
5. Tarif Advalorem
Tarif advalorem adalah suatu tarif dengan persentase tertentu yang dikenakan/
ditetapkan pada harga atau nilai suatu barang.
Misalnya PT XZY mengimpor barang jenis A sebanyak 1500 unit dengan harga per
unit Rp100.000,00. Jika tarif Bea Masuk atas Impor Barang tersebut 20%, maka
besarnya Bea Masuk yang harus dibayar adalah:
Nilai Barang Impor = 1500 x Rp100.000
= Rp150.000.000
= 20% x Rp150.000.000
= Rp30.000.000
6. Tarif Spesifik
Tarif spesifik adalah tarif dengan suatu jumlah tertentu atas suatu jenis barang
tertentu atau suatu satuan jenis barang tertentu.
Misalnya PT ABC mengimpor barang jenis Z sebanyak 1500 unit dengan harga per
unit Rp100.000. Jika tarif Bea Masuk atas impor barang Rp10.000 per unit, maka
besarnya Bea Masuk yang harus dibayar adalah:
Jumlah Barang Impor
= 1500 unit
= Rp10.000 x 1500
= Rp15.000.000
7. Tarif Efektif
Tarif efektif adalah tarif dimana jumlah pajak yang dibayarkan dibandingkan
dengan jumlah penghasilan yang diterima oleh Wajib Pajak.
Contoh: Tuan Andi mempunyai penghasilan kena pajak selama tahun 2008 sebesar
Rp750.000.000. Hitung besarnya pajak yang harus dibayar!
55 | P a g e
= Rp
1.250.000
10% x Rp25.000.000
= Rp
2.500.000
15% x Rp50.000.000
= Rp
7.500.000
25% x Rp100.000.000
= Rp
25.000.000
35% x Rp550.000.000
= Rp 192.500.000
Rp 228.750.000
jumlah
pajak
yang
sama
jika
digunakan
tarif
progresif
dalam
perhitungannya.
56 | P a g e
RANGKUMAN
1. Tarif Pajak adalah dasar pengenaan pajak terhadap objek pajak yang menjadi
tanggungannya.
2. Jenis-Jenis Tarif Pajak
Dalam pemungutan pajak, dikenal adanya beberapa jenis tarif pajak sebagai
berikut:
a. Tarif Progresif
1) Tarif Pajak Progresif-Progresif
Yaitu tarif pajak yang persentasenya semakin meningkat sebanding dengan
meningkatnya pula dasar pengenaan pajak dengan selisih peningkatan yang
semanikin meningkat pula.
2) Tarif Pajak Progresif Proporsional
Yaitu Tarif Pajak yang persentasenya meningkat sebanding dengan
meningkatnya dasar pengenaan pajak dengan selisih peningkatan yang sama.
3) Tarif Pajak Progresif Degresif
Yaitu Tarif Pajak yang persentasenya meningkat sebanding dengan
meningkatnya dasar pengenaan pajak dengan selisih peningkatan yang
semakin menurun.
b. Tarif Degresif
Yaitu tarif pajak yang persentasenya semakin menurun dengan naiknya jumlah
yang dijadikan dasar pengenaan pajak semakin besar.
c. Tarif Proporsional
Tarif Proporsional adalah tarif pemungutan pajak yang persentase tarifnya
adalah tetap.
d. Tarif Tetap
Tarif tetap adalah tarif pajak yang ditetapkan nominalnya tanpa dipengaruhi
dengan naiknya jumlah dasar pengenaan pajak.
e. Tarif Advalorem
Tarif advalorem adalah suatu tarif dengan persentase tertentu yang dikenakan/
ditetapkan pada harga atau nilai suatu barang.
57 | P a g e
f. Tarif Spesifik
Tarif spesifik adalah tarif dengan suatu jumlah tertentu atas suatu jenis barang
tertentu atau suatu satuan jenis barang tertentu.
g. Tarif Efektif
Tarif efektif adalah tarif dimana jumlah pajak yang dibayarkan dibandingkan
dengan jumlah penghasilan yang diterima oleh Wajib Pajak.
LATIHAN
58 | P a g e
BAB
UTANG PAJAK
8
Tujuan Instruksional Khusus:
Setelah membaca bab ini, mahasiswa diharapkan mampu menjelaskan:
1. Pengertian Umum
2. Pengertian Pajak Terutang
3. Pengertian Utang Pajak
4. Imbulnya Utangpajak
5. Penetapan Pajak
A. Pengertian
Salah satu kewajiban Wajib Pajak adalah melunasi utang pajak. Apabila kita
mempelajari undang-undang perpajakan, akan dibedakan antara pengertian Utang
Pajak dan Pajak yang Terutang. Pada hakikatnya, istilah utang pajak tidak berbeda
dengan pajak yang terutang sebagai suatu kewajiban yang wajib dibayar lunas oleh
Wajib Pajak dalam jangka waktu yang ditentukan.
Istilah utang pajak digunakan dalam UU Penagihan Pajak Dengan Surat Paksa
(UU No 19 tahun 2000), Pasal 1 angka 8 dengan pengertian bahwa utang pajak
adalah pajak yang masih harus dibayar termasuk sanksi administrasi berupa bunga,
denda, atau kenaikan yang tercantum dalam surat ketetapan pajak atau surat
sejenisnya berdasarkan peraturan perundang-undangan perpajakan. Utang pajak ini
timbul berkaitan dengan pelunasan surat ketetapan pajak dan atau pelaksanaan
penagihan pajak.
Istilah pajak yang terutang digunakan dalam UU KUP (Pasal 1 angka 10)
dengan pengertian bahwa pajak yang terutang adalah pajak yang harus dibayar pada
suatu saat, dalam Masa Pajak, dalam Tahun Pajak, atau dalam Bagian Tahun Pajak
sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan. Pengertian
pajak yang terutang:
Pada suatu saat, misalnya pengenaan pajak atas penghasilan dari undian (kuis
berhadiah), di sini tidak mengenal masa pajak maupun tahun pajak.
59 | P a g e
Dalam Masa Pajak, misalnya pajak yang terutang atas PPh Masa yang dibayar
sendiri (PPh Pasal 25)
Dalam Tahun Pajak, misalnya pajak penghasilan dari hasil perhitungan tahunan.
Dalam Bagian Tahun Pajak, ada dua pengertian bagian tahun pajak, yakni mereka
yang datang ke Indonesia Dalam Tahun Berjalan, atau mereka
yang akan
Pajak terutang
Rp
Kredit pajak
(Rp. )
Rp
Sanksi Administrasi
Bunga/Denda/Kenaikan
Rp
Rp
60 | P a g e
1. Teori Materiil
Menurut teori materiil utang pajak timbul karena telah memenuhi syarat
tatbestand yang terdiri dari keadaan-keadaan, peristiwa-peristiwa, atau perbuatanperbuatan tertentu, sehingga tidak memerlukan campur tangan pejabat pajak untuk
menerbitkan surat ketetapan pajak. Keberadaan surat ketetapan pajak tidak
menimbulkan utang pajak. Berdasarkan teori ini, surat ketetapan pajak memiliki fungsi,
di antaranya:
a. dasar penagihan pajak, dan
b. menentukan jumlah utang pajak.
Jadi, utang pajak timbul karena undang-undang pajak sendiri. Hal ini terkait
dengan Pasal 12 Ayat (1) UU KUP yang menyatakan bahwa setiap Wajib Pajak wajib
membayar pajak yang terutang sesuai dengan ketentuan peraturan perundangundangan perpajakan dengan tidak menggantungkan pada adanya surat ketetapan
pajak. Dalam penjelasannya juga dikatakan bahwa Pajak pada prinsipnya terutang
pada saat timbulnya objek pajak yang dapat dikenai pajak, tetapi untuk kepentingan
administrasi perpajakan saat terutangnya pajak tersebut adalah:
a. pada suatu saat, untuk Pajak Penghasilan yang dipotong oleh pihak ketiga;
b. pada akhir masa, untuk Pajak Penghasilan yang dipotong oleh pemberi
kerja, atau yang dipungut oleh pihak lain atas kegiatan usaha, atau oleh
Pengusaha Kena Pajak atas pemungutan Pajak Pertambahan Nilai Barang
dan Jasa dan Pajak Penjualan Atas Barang Mewah; atau
c. pada akhir Tahun Pajak, untuk Pajak Penghasilan.
Pejabat Pajak tidak berkewajiban untuk menerbitkan surat ketetapan pajak
atas semua Surat Pemberitahuan yang disampaikan Wajib Pajak. Penerbitan suatu
surat ketetapan pajak hanya terbatas pada Wajib Pajak tertentu yang disebabkan oleh
ketidakbenaran dalam pengisian Surat Pemberitahuan atau karena ditemukannya data
fiskal yang tidak dilaporkan oleh Wajib Pajak.
Teori materiil sebenarnya malah memberi keringanan tugas Pejabat Pajak
dalam melakukan pengawasan terhadap Wajib Pajak untuk memenuhi kewajiban dan
menjalankan hak-haknya sebagaimana ditur dalam perundang-undangan perpajakan.
Pejabat Pajak hanya bertugas melakukan pemeriksaan untuk menguji kepatuhan
Wajib Pajak. Apabila saat pemeriksaan ternyata ditemukan ketidakpatuhan Wajib
61 | P a g e
62 | P a g e
Rp1.000.000.000,00
PPh terutang
Rp 282.500.000,00
Kredit Pajak
Rp 202.500.000,00
Rp
80.000.000,00
Dari contoh perhitungan di atas dapat diketahui bahwa jumlah pajak yang terutang
telah sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan. Dalam hal
ini, pembayaran oleh WP tanpa didahului dengan surat ketetapan pajak, yaitu melalui
pemotongan/pemungutan pihak ketiga dan dibayar sendiri.
2. Ketetapan
Apabila Direktur Jenderal Pajak mendapatkan bukti jumlah pajak yang terutang
menurut Surat Pemberitahuan tidak benar, Direktur Jenderal Pajak menetapkan
jumlah pajak yang terutang. (Pasal 12 ayat 3 UU KUP). Direktur Jenderal Pajak
menetapkan jumlah pajak yang terutang dengan mengeluarkan ketetapan berupa
Surat Ketetapan Pajak.
Contoh:
PT Rancakbana adalah WP badan yang melakukan kegiatan usaha perdagangan
komputer. PT Rancakbana melaporkan seluruh penghasilan yang diperoleh selama
tahun 2008 dan kredit pajaknya dalam SPT PPh badan Tahun 2008, dengan perincian
sebagai berikut:
63 | P a g e
Penghasilan Neto:
Rp1.000.000.000,00
PPh terutang
Rp 282.500.000,00
Kredit Pajak
Rp 202.500.000,00
Rp
80.000.000,00
Apabila berdasarkan hasil pemeriksaan bahwa pajak yang dihitung dan dilaporkan PT
Rancakbana dalam SPT PPh Tahun 2008 tidak benar, misalnya pembebanan biaya
ternyata melebihi yang sebenarnya sehingga PPh terutang kurang dilaporkan, maka
Direktur Jenderal Pajak menetapkan besarnya pajak yang terutang sebagaimana
mestinya menurut ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan dengan
menerbitkan Surat Ketetapan Pajak.
Menurut Pasal 1 angka 15 UU KUP No. 28 Tahun 2007, Surat Ketetapan
Pajak adalah surat ketetapan yang meliputi:
a. Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar.
b. Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar Tambahan.
c. Surat Ketetapan Pajak Nihil.
d. Surat Ketetapan Pajak Lebih Bayar.
64 | P a g e
RANGKUMAN
1. Utang pajak adalah pajak yang masih harus dibayar termasuk sanksi administrasi
berupa bunga, denda, atau kenaikan yang tercantum dalam surat ketetapan pajak
atau surat sejenisnya berdasarkan peraturan perundang-undangan perpajakan.
2. Sebab Timbulnya Utang Pajak
Dalam hal menentukan kapan timbulnya utang pajak, terdapat dua macam teori
yaitu:
a. Teori Materil
Berdasarkan teori materil, utang pajak timbul bukan karena campur tangan
pejabat pajak melainkan karena adanya pemenuhan syarat subyek atau obyek
menjadi kena pajak yang terdiri dari keadaan-keadaan, peristiwa-peristiwa atau
perbuatan-perbuatan tertentu.
b. Teori Formil
Menurut teori ini utang pajak akan timbul apabila pejabat pajak telah diterbitkan
surat ketetapan.
LATIHAN
1. Apa yang Saudara ketahui mengenai utang pajak? Jelaskan saat terjadinya dan
saat pembayarannya?
2. Apa perbedaan pengertian Pajak Terutang dengan Utang Pajak?
3. Jelaskan dua ajaran tentang penyebab timbulnya utang pajak?
4. Jelaskan sifat-sifat dari utang pajak?
5. Apa perbedaan Penetapan Pajak dengan Ketetapan Pajak?
65 | P a g e
BAB
PENAGIHAN PAJAK
A. Pengertian
Dengan adanya sistem self assessment , telah diberikan kepercayaan penuh
kepada masyarakat Wajib Pajak untuk menghitung, memperhitungkan, menyetor, dan
melaporkan pajaknya sendiri. Tetapi dalam kenyataannya, terdapat cukup banyak
masyarakat yang dengan sengaja atau dengan berbagai alasan tidak melaksanakan
kewajiban membayar pajaknya sesuai ketetapan pajak yang diterbitkan sehingga
terjadi tunggakan pajak. Oleh karena itu, dilakukanlah tindakan penagihan pajak
berdasarkan UU No. 19 Tahun 1997 tentang Penagihan Pajak dengan Surat Paksa
sebagaimana telah diubah dengan UU No. 19 Tahun 2000.
Penagihan Pajak adalah serangkaian tindakan agar penanggung pajak
melunasi utang pajaknya dan biaya penagihan pajak dengan cara menegur atau
memperingatkan, melaksanakan penagihan seketika dan sekaligus, memberitahukan
surat paksa, mengusulkan pencegahan, melaksanakan penyitaan, melaksanakan
penyanderaan, dan menjual barang-barang yang telah disita.
1. Landasan Hukum:
- Pasal 18 sampai dengan Pasal 24 UU KUP .
- UU No. 19 Tahun 2000 tentang Penagihan Pajak dengan Surat Paksa.
66 | P a g e
67 | P a g e
c. badan dalam pembubaran oleh orang atau badan yang ditugasi untuk
melakukan pemberesan;
d. badan dalam likuidasi oleh likuidator;
e. suatu warisan yang belum terbagi oleh salah seorang ahli warisnya, pelaksana
wasiatnya atau yang mengurus harta peninggalannya; atau
f. anak yang belum dewasa atau orang yang berada dalam pengampuan oleh
wali atau pengampunya;
g. orang yang menerima kuasa khusus dari Wajib Pajak untuk menjalankan hak
dan memenuhi kewajiban perpajakan tertentu dari Wajib Pajak sesuai dengan
ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan.
Wajib Pajak dan pihak lain yang berhubungan dengan Wajib Pajak sebagaimana
dimaksud di atas lazim disebut Penanggung Pajak.
3. Dapat ditagih seketika
Pajak yang terutang dapat dilakukan penagihan secara seketika dan sekaligus.
Pengertian
pembayaran utang pajak yang telah ditentukan. Pengertian sekaligus adalah bahwa
penagihan dapat dilakukan terhadap semua jenis utang pajak.
4. Mempunyai hak mendahului terhadap utang yang lain atau lebih utama
pelunasannya daripada utang yang lain
Negara mempunyai hak mendahulu untuk utang pajak atas barang-barang milik
Penanggung Pajak. Kedudukan Negara sebagai kreditur preferen mempunyai hak
mendahulu atas barang-barang milik Penanggung Pajak yang akan dilelang di
muka umum. Pelunasan utang pajak diprioritaskan daripada utang Penanggung
Pajak kepada pihak-pihak lain. Hak mendahulu atas utang pajak meliputi pokok
pajak, sanksi administrasi berupa bunga, denda, kenaikan, dan biaya penagihan
pajak.
5. Dapat dilakukan pencegahan atau penyanderaan terhadap Penanggung Pajak
Salah satu upaya penagihan utang pajak adalah dengan pencegahan atau
penyanderaan terhadap penanggung pajak. Pencegahan adalah larangan yang
bersifat sementara (selama-lamanya 6 (enam) bulan dan dapat diperpanjang
selama 6 (enam) bulan lagi) terhadap penanggung pajak tertentu untuk keluar dari
wilayah NKRI berdasarkan alasan tertentu sesuai undang-undang yang berlaku.
68 | P a g e
Penyanderaan
adalah
pengekangan
untuk
sementara
waktu
kebebasan
Teguran
adalah
surat
yang
diterbitkan
untuk
menegur
atau
69 | P a g e
2. Surat Paksa
Apabila jumlah utang pajak yang masih harus dibayar tidak dilunasi oleh
Penanggung Pajak setelah lewat waktu 21 (dua puluh satu) hari sejak saat
diterbitkannya Surat Teguran, Pejabat segera menerbitkan Surat Paksa. Surat Paksa
diterbitkan apabila:
a. Penanggung Pajak tidak melunasi utang pajak dan kepadanya telah
diterbitkan Surat Teguran atau Surat Peringatan atau surat lain yang sejenis.
b. Terhadap Penanggung Pajak telah dilaksanakan penagihan seketika dan
sekaligus.
c. Penanggung Pajak tidak memenuhi ketentuan sebagaimana tercantum
dalam keputusan persetujuan angsuran atau penundaan pembayaran pajak.
Surat Paksa sekurang-kurangnya harus memuat:
a. Nama Wajib Pajak, atau nama Wajib Pajak dan Penanggung Pajak.
b. Dasar Penagihan.
c. Besarnya Utang Pajak.
d. Perintah untuk membayar.
Surat Paksa yang diterbitkan oleh Pejabat (Kepala Kantor Pelayanan Pajak/
Kepala KPPBB) mempunyai kekuatan eksekutorial dan kedudukan hukum yang sama
dengan grosse akte, yaitu putusan pengadilan perdata yang telah mempunyai
kekuatan hukum tetap. Oleh karena itu, pemberitahuan Surat Paksa kepada
Penanggung Pajak oleh Jurusita Pajak harus dilaksanakan dengan cara membacakan
isi Surat Paksa dan kedua belah pihak menandatangani Berita Acara Pelaksanaan
Surat Paksa (yang sekurang-kurangnya memuat hari dan tanggal pemberitahuan
Surat Paksa, nama Jurusita Pajak, nama yang menerima, dan tempat pemberitahuan
Surat Paksa) sebagai pernyataan bahwa Surat Paksa telah diberitahukan. Selanjutnya
salinan Surat Paksa diserahkan kepada Penanggung Pajak, sedangkan Surat Paksa
yang asli disimpan di kantor Pejabat.
Apabila terjadi keadaan di luar kekuasaan Pejabat, misalnya kecurian,
kebanjiran, kebakaran, atau gempa bumi yang menyebabkan Surat Paksa yang asli
rusak,tidak terbaca, atau oleh sebab lain, misalnya Surat Paksa hilang atau tidak
dapat ditemukan lagi, Pejabat karena jabatan dapat menerbitkan Surat Paksa
pengganti yang mempunyai kekuatan dan kedudukan hukum yang sama dengan Surat
70 | P a g e
71 | P a g e
72 | P a g e
milik
kepala cabang,
73 | P a g e
atau di tempat-tempat umum. Barang yang disita tersebut diberi segel sita sebagai
pengumuman bahwa penyitaan telah dilaksanakan, baik dihadiri maupun tidak oleh
Penanggung Pajak. Segel sita memuat sekurang-kurangnya:
a. kata DISITA;
b. Nomor dan tanggal Berita Acara Pelaksanaan Sita;
c. Larangan untuk memindahtangankan, memindahkan hak, meminjamkan, dan
merusak barang yang disita.
Salinan Berita Acara Pelaksanaan Sita disampaikan kepada:
a. Penanggung Pajak.
b. Polisi, untuk barang bergerak yang kepemilikannya terdaftar.
c. Badan Pertanahan Nasional, untuk tanah yang kepemilikannya sudah terdaftar.
d. Pemerintah Daerah dan Pengadilan Negeri setempat, untuk tanah yang
kepemilikannya belum terdaftar.
e. Direktorat Jenderal Perhubungan Laut, untuk kapal.
Namun, dalam pelaksanaannya, ada barang milik penanggung pajak yang
dikecualikan dari penyitaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 15 UU No. 19 Tahun
2000, yaitu:
a. Pakaian dan tempat tidur serta perlengkapannya yang digunakan oleh
penanggung pajak dan keluarga yang menjadi tanggungannya;
b. Persediaan mekanan dan minuman untuk keperluan satu bulan besrta
peralatan masak yang berada di rumah;
c. Perlengkapan penanggung pajak yang bersifat dinas yang diperoleh dari
Negara;
d. Buku-buku yang bertalian dengan jabatan atau pekerjaan penanggung pajak
dan alat-alat yang digunakan untuk pendidikan, kebudayaan, dan keilmuan;
e. Peralatan dalam keadaan jalan yang masih digunakan untuk melaksanakan
pekerjaan atau usaha sehari-hari dengan jumlah seluruhnya tidak lebih dari 20
juta rupiah;
f.
74 | P a g e
Apabila pihak lain (seperti, Pengadilan Negeri atau Panitia Urusan Piutang
Negara) telah melakukan penyitaan, maka Jurusita Pajak hanya menyampaikan Surat
Paksa kepada instansi yang melakukan penyitaan tersebut dan tidak melakukan
penyitaan lagi.
Jurusita Pajak dapat melakukan penyitaan tambahan apabila terjadi hal-hal
sebagai berikut:
a. Nilai barang yang disita nilainya tidak cukup untuk melunasi utang pajak dan
biaya penagihan pajak;
b. Hasil dari lelang barang yang telah disita tidak cukup untuk melunasi utang
pajak dan biaya penagihan pajak.
Terhadap barang yang sudah disita, dapat dicabut apabila terjadi salah satu
dari tiga hal berikut ini:
a. Penanggung pajak telah melunasi utang pajak dan biaya penagihan pajak;
b. Ada putusan pengadilan atau ada putusan badan peradilan pajak;
c. Ada ketentuan lain yang diatur dalam Keputusan Menteri Keuangan atau
Keputusan Kepala Daerah. Misalnya ada objek sita yang terbakar, hilang, atau
musnah
Yang dimaksudkan di atas dengan putusan pengadilan adalah putusan hakim
dari peradilan umum, misalnya putusan atas sanggahan pihak ketiga terhadap
kepemilikan barang yang disita, sedangkan putusan badan peradilan pajak, misalnya
putusan atas gugatan Penanggung Pajak terhadap pelaksanaan sita.
4. Pelelangan
Lelang adalah setiap penjualan barang di muka umum yang dipimpin oleh
Pejabat Lelang dengan cara penawaran harga secara terbuka/ lisan dan atau
tertutup/tertulis yang didahului dengan pengumuman lelang.
Pengumuman lelang dilaksanakan paling singkat 14 hari setelah penyitaan.
Pengumuman lelang untuk barang bergerak dilakukan satu kali dan untuk barang tidak
bergerak dilakukan dua kali. Pelaksanaan lelangnya dilakukan sekurang-kurangnya 14
hari setelah pemgumuman lelang. Pejabat dan jurusita pajak beserta keluarganya
tidak diperbolehkan membeli barang sitaan yang dilelang.
Pelaksanaan lelang dilakukan oleh Kantor Lelang Negara. Lelang tidak
dilaksanakan apabila penanggung pajak telah melunasi utang pajak dan biaya
75 | P a g e
penagihan pajak atau berdasarkan putusan pengadilan atau putusan badan peradilan
pajak atau objek lelang musnah.
Hasil lelang dipergunakan terlebih dahulu untuk membayar biaya penagihan
pajak yang belum dibayar dan sisanya untuk membayar utang pajak. Apabila hasil
lelang sudah mencapai jumlah yang cukup untuk melunasi biaya penagihan pajak dan
utang pajak, maka pelaksanaan lelang dihentikan dan sisa barang kelebihan uang
hasil lelang dikembalikan oleh pejabat kepada penangung pajak paling lambat tiga hari
setelah pelaksanaan lelang.
Tidak semua objek yang telah disita dapat dilakukan lelang. Pasal 2 PP No.
136 Tahun 2000 menyebutkan adanya objek sita yang dikecualikan dari lelang, yaitu:
a. Uang tunai;
b. Surat-surat berharga berupa deposito berjangka, tabungan, saldo rekening
koran, obligasi, saham, atau suratberharga lainnya, piutang an penyertaan
modal pada perusahaan lain;
c. Barang mudah rusak atau cepat busuk.
Barang yang disita yang dikecualikan dari penjualan secara lelang digunakan
untuk membayar biaya penagihan pajak dan utang pajak dengan cara:
a. Uang tunai disetor ke kas Negara atau kas daerah
b. Deposito berjangka, tabungan, saldo rekening Koran, giro, atau bentuk lainnya
yang disamakan dengan itu dipindakkan ke kas Negara atau kas daerah atas
permintaan pejabat kepada bank yang bersangkutan
c. Obligasi, saham, atau surat berharga lainnya yang diperdagangkan di bursa
efek dijual di bursa efek atas permintaan pejabat
d. Obligasi, saham, atau surat berharga lainnya yang tidak diperdagangkan di
bursa efek segera dijual oleh pejabat
e. piutang yang hak menagihnya beralih kepada Pejabat berdasarkan berita
acara persetujuan pengalihan hak, dijual oleh Pejabat kepada pembeli;
f.
kepada pembeli;
g. hasil penjualan barang sitaan sebagaimana dimaksud pada huruf c, huruf d,
dan huruf e disetor ke kas negara atau kas daerah;
76 | P a g e
Negara mempunyai hak mendahulu untuk utang pajak atas barangbarang milik Penanggung Pajak.
Ayat (2):
Ayat (3):
Ayat (3a):
Dalam hal Wajib Pajak dinyatakan pailit, bubar, atau dilikuidasi maka
kurator, likuidator, atau orang atau badan yang ditugasi untuk
melakukan pemberesan dilarang membagikan harta Wajib Pajak
dalam pailit, pembubaran atau likuidasi kepada pemegang saham
atau kreditur lainnya sebelum menggunakan harta tersebut untuk
membayar utang pajak Wajib Pajak tersebut.
77 | P a g e
Ayat (4):
Putusan
78 | P a g e
atau
adalah
larangan
yang
bersifat
sementara
terhadap
penanggung pajak tertentu untuk keluar dari wilayah Negara Republik Indonesia
berdasarkan alasan tertentu sesuai dengan ketentuan peraturan perundangundangan.
Pencegahan diperlukan sebagai salah satu upaya penaihan pajak. Namun
agar pelaksanaan pencegahan tidak sewenang-wenang, maka pelaksanaan
pecegahan sebagai upaya penagihan pajak harus memenuhi:
1. Syarat kuantitatif, yakni harus memenuhi utang pajak dalam jumlah tertentu,
sekurang-kurangnya sebesar Rp 100.000.000, 00 (seratus juta rupiah);
2. Syarat kualitatif, yakni diragukan iktikad baiknya dalam melunasi utang
pajak, sehingga pencegahan hanya dilaksanakan secara selektif dan hatihati.
79 | P a g e
pencegahan
hanya
dapat
dilaksanakan
berdasarkan
Keputusan Menteri Keuangan sesuai dengan ketentuan yang diatur dalam UU No.
9 Tahun 1992 tentang Keimigrasian yang antara lain menentukan bahwa yang
berwenang dan bertanggung jawab atas pencegahan adalah Menteri Keuangan
kepada Menteri Kehakiman, sepanjang menyangkut urusan piutang Negara.
b. Penyanderaan
Penyanderaan
Penanggung
Pajak
adalah
pengekangan
sementara
dengan
menempatkannya
di
waktu
tempat
kebebasan
tertentu.
Masa
penyanderaan paling lama 6 (enam) bulan dan dapat diperpanjang selamalamanya 6 (enam) bulan.
Syarat-syarat terjadinya penyanderaan adalah:
1. Mempunyai
Utang
Pajak
sekurang-sekurangnya
sebesar
Rp
100.000.000,00
2. Diragukan itikad baiknya dalam melunasi Utang Pajak
3. Telah lewat jangka waktu 14 (empat belas) hari sejak tanggal Surat
Paksa diberitahukan kepada Penanggung Pajak, dan
4. Telah mendapat surat izin tertulis dari Menteri Keuangan Republik
Indonesia.
Sandera (paksa badan) termasuk lingkup hukum eksekusi yang hanya dapat
dijalankan setelah ada putusan pengadilan dalam pokok perkara perdata. Sandera
dimaksudkan untuk mengugah rasa malu seseorang atau keluarganya.
Penyanderaan tidak boleh dilaksanakan dalam hal Penanggung Pajak
sedang beribadah, atau sedang mengikuti sidang resmi, atau sedang mengikuti
pemilihan umum.
Penyanderaan hanya dapat dilaksanakan berdasarkan Surat Perintah
Penyanderaan yang diterbitkan oleh Pejabat (Kepala KPP/KPPBB) setelah
memperoleh izin dari Menteri Keuangan untuk penagihan pajak pusat atau dari
Gubernur untuk penagihan pajak daerah.
Segala biaya yang terjadi seperti biaya hidup selama dalam penyanderaan
di rumah tahanan Negara dan biaya penangkapan menjadi bebang Penanggung
Pajak dan akan diperhitungkan sebagai biaya penagihan pajak.
80 | P a g e
pertimbangan
tertentu
dari
Menteri
Keuangan
atau
Gubernur.
Penanggung pajak yang disandera dapat mengajukan gugatan terhadap
pelaksanaan penyanderaan hanya ke Pengadilan Negeri. Dalam hal gugatan
Penanggung pajak dikabulkan dan putusan pengadilan telah mempunyai kekuatan
hukum tetap, Penanggung Pajak dapat memohon rehabilitasi nama baik dan anti
rugi atas masa penyanderaan yang telah dijalaninya sebesar Rp 100.000,00
(seratus ribu rupiah) setiap hari. Penanggung pajak tidak dapat mengajukan
gugatan terhadap pelaksanaan penyanderaan setelah masa penyanderaan
berakhir.
8. Gugatan
Gugatan adalah suatu upaya hukum terhadap pelaksanaan penagihan pajak
dan kepemilikan barang sebagaimana diatur dalam peraturan perundang-undangan.
Gugatan terhadap pelaksanaan penagihan pajak ini hanya meliputi gugatan atas
pelaksanaan Surat Paksa, Surat Perintah Melaksanakan Penyitaan, lelang, maupun
penyanderaan. Penanggung Pajak dapat mengajukan gugatan atas pelaksanaan
penagihan pajaknya kepada Pengadilan Pajak. Sedangkan gugatan atas kepemilikan
barang yang disita diajukan ke Pengadilan Negeri.
Gugatan diajukan dalam jangka waktu 14 (empat belas) hari sejak Surat
Paksa,
Surat
Perintah
Melaksanakan
Penyitaan,
atau
pengumuman
lelang
81 | P a g e
82 | P a g e
83 | P a g e
RANGKUMAN
melaksanakan
penagihan
seketika
dan
sekaligus,
Teguran
adalah
surat
yang
diterbitkan
untuk
menegur
atau
84 | P a g e
85 | P a g e
LATIHAN
1. Apa yang menjadi dasar hukum penagihan pajak dan mengapa penagihan pajak
disebut benteng terakhir (kaitkan dengan sistem pemungutan pajak)?
2. Jelaskan apa yang dimaksud dengan Surat Paksa dalam penagihan pajak! Apa
fungsi penagihan pajak dengan surat paksa?
3. Di dalam penagihan pajak, maka subjek yang ditagih adalah Penanggung Pajak.
Coba jelaskan apa yang dimaksud dengan Penanggung Pajak dan mengapa
demikian ketentuan mengaturnya?
4. Jelaskan apakah setiap penagihan pajak harus selalu diakhiri dengan pelelangan
harta penanggung pajak apabila utang pajak tidak dilunasi?
5. Jelaskan tentang tindakan pencegahan dan tindakan penyanderaan dalam
pelaksanaan penagihan pajak!
6. Jelaskan pengertian serangkaian dalam pelaksanaan tindakan penagihan pajak!
86 | P a g e
BAB
PERADILAN ADMINISTRASI PAJAK
10
A. Pengertian
Peradilan administrasi pajak adalah upaya hukum yang dilakukan oleh Wajib
Pajak dalam rangka mencari keadilan terhadap surat ketetapan pajak yang diterbitkan
oleh:
1. Direktur Jenderal Pajak, untuk pajak-pajak pusat, antara lain
a. SKPKB;
b. SKPKBT;
c. SKPLB;
d. SKPN;
e. Pemotongan atau pemungutan oleh pihak ketiga.
2. Kepala Daerah, untuk pajak-pajak daerah
a. Surat Ketetapan Pajak Daerah (SKPD);
b. SKPDKB;
c. SKPDKBT;
d. SKPDLB;
e. SKPN;
f.
87 | P a g e
ketiga yang independen. Fiskus sebagai pihak yang bersengketa sekaligus menjadi
pihak yang mengambil keputusan dalam persilisihan pajak yang bersangkutan.
Contoh peradilan administrasi tidak murni dapat dilihat dalam pengajuan
keberatan yang diatur dalam Pasal 25 dan 26 UU No. 6 Tahun 1983 sebagaimana
telah diubah terakhir kali dengan UU No. 28 Tahun 2007 tentang Ketentuan Umum
dan Tata Cara Perpajakan.
Wajib Pajak mengajukan keberatan (doleansi) karena adanya perselisihan
mengenai besarnya jumlah utang pajak, oleh karena itu, ada dua hal yang harus
diperhatikan:
a. Terhadap surat keberatan yang masuk harus diambil keputusan
b. Pihak yang mengambil keputusan adalah aparatur pajak (Dirjen Pajak,
Kakanwil Pajak) yang disebut sebagai hakim doleansi
2. Peradilan Administrasi Murni
Peradilan administrasi murni adalah peradilan yang melibatkan tiga pihak, yaitu
Wajib Pajak, Fiskus, dan Hakim yang mengadili. Wajib pajak dan Fiskus adalah pihak
yang bersengketa, sedangkan Hakim atau Majelis Hakim adalah pihak yang akan
memutuskan sengketa tersebut.
Dalam
sistem
88 | P a g e
badan peradilan yang melaksanakan kekuasaan kehakiman bagi wajib pajak atau
penanggung pajak yang mencari keadilan terhadap sengketa pajak.
Hal-hal tersebut diatas mencerminkan adanya pengaruh kuat dari Kementerian
Keuangan
terhadap
pembentukan
UU
Pengadilan
Pajak,
akibatnya
terjadi
89 | P a g e
C. Sengketa Pajak
Upaya mencari keadilan dengan peradilan administrasi pajak timbul karena
adanya sengketa pajak antara Wajib Pajak dengan Direktur Jenderal Pajak. Sengketa
pajak ini dijadikan sebagai dasar-dasar umum di dalam pengajuan ke Peradilan
Administrasi Pajak.
Sengketa pajak adalah sengketa yang timbul dalam bidang perpajakan antara
Wajib Pajak atau penanggung Pajak dengan pejabat yang berwenang sebagai akibat
dikeluarkannya keputusan yang dapat diajukan Banding atau Gugatan kepada
Pengadilan Pajak berdasarkan peraturan perundang-undangan perpajakan, termasuk
Gugatan atas pelaksanaan penagihan berdasarkan Undang-undang Penagihan Pajak
dengan Surat Paksa. (Pasal 1 angka 5 UU No. 14 Tahun 2002 tentang Pengadilan
Pajak).
Sengketa Pajak timbul dengan diterbitkannya surat ketetapan pajak atau
diterbitkannya surat tindakan penagihan pajak. Penerbitan SKPKB seringkali
menimbulkan sengketa, Namun penerbitan SKPLB dan SKPN pun juga dapat
menimbulkan sengketa jika fiskus menerbitkan SKPLB dengan nilai lebih kecil dari
nilai SKPLB yang diharapkan Wajib Pajak. Penerbitan SKPN juga demikian apabila
menurut perhitungan Wajib Pajak seharusnya diterbitkan SKPLB. Selain itu sengketa
pajak juga bisa timbul karena adanya pemotongan atau pemungutan yang dilakukan
oleh pihak ketiga.
Upaya hukum untuk menyelesaikan sengketa pajak yang dapat dilakukan oleh
Wajib Pajak adalah:
1. Keberatan
Dalam pelaksanaan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan
kemungkinan terjadi bahwa wajib pajak (WP) merasa kurang puas atas suatu
ketetapan pajak yang dikenakan kepadanya atau atas pemotongan/pemungutan pihak
ketiga. Dalam hal ini WP dapat mengajukan keberatan kepada Dirjen Pajak melalui
KPP dimana Wajib Pajak tersebut terdaftar.
Upaya hukum keberatan dilakukan masih berada dalam lingkungan lembaga
yang sama yaitu Direktorat Jenderal Pajak. Peradilan administrasi seperti ini lazim
disebut
dimana:
90 | P a g e
Ayat (2):
Ayat (3):
Ayat (3a): Dalam hal Wajib Pajak mengajukan keberatan atas surat ketetapan
pajak, Wajib Pajak wajib melunasi pajak yang masih harus dibayar
paling sedikit sejumlah yang telah disetujui Wajib Pajak dalam
pembahasan akhir hasil pemeriksaan, sebelum surat keberatan
disampaikan.
91 | P a g e
Ayat (4):
Ayat (5):
Ayat (6):
Ayat (7):
Ayat (8):
Ayat (9):
Ayat (10): Dalam hal Wajib Pajak mengajukan permohonan banding, sanksi
administrasi
berupa
denda
sebesar
50%
(lima
puluh
persen)
92 | P a g e
surat keberatan ditandatangani oleh Wajib Pajak, dan dalam hal surat
keberatan ditandatangani oleh bukan Wajib Pajak, surat keberatan tersebut
harus dilampiri dengan surat kuasa khusus.
Dalam hal surat keberatan yang disampaikan oleh Wajib Pajak belum
93 | P a g e
94 | P a g e
sebesar yang tercantum dalam keputusan keberatan atau Wajib Pajak dapat
mengajukan banding ke Pengadilan Pajak.
2. Banding
Banding adalah upaya hukum yang dapat dilakukan oleh wajib pajak atau
penanggung pajak terhadap suatu keputusan yang dapat diajukan banding,
berdasarkan peraturan perundang-undangan perpajakan yang berlaku. Wajib Pajak
dapat mengajukan permohonan banding hanya kepada badan peradilan pajak
atas Surat Keputusan Keberatan.
Landasan hukum upaya banding adalah berdasarkan UU No. 14 Tahun 2002
tentang Pengadilan Pajak dan Pasal 27 UU KUP No. 28 Tahun 2007. Pengadilan
Pajak adalah badan peradilan yang melaksanakan kekuasaan kehakiman bagi WP
atau penanggung pajak yang mencari keadilan terhadap Sengketa Pajak. Tugas
Pengadilan adalah memutuskan Sengketa pajak.
Menurut Pasal 27 ayat (2) UU KUP No. 28 Tahun 2007, putusan Pengadilan
Pajak merupakan putusan pengadilan khusus di lingkungan peradilan tata usaha
negara. Artinya, tidak dimungkinkan lagi Wajb Pajak mengajukan gugatan atas
keputusan keberatan maupun Pengadilan Pajak ke PTUN. Meskipun demikian, Wajib
Pajak dapat mengajukan upaya hukum Peninjauan Kembali ke Mahkamah Agung.
Pasal 27 UU KUP No. 28 Tahun 2007 secara lengkap
berbunyi sebagai
berikut:
Ayat (1):
Ayat (2):
Ayat (3):
Ayat (4):
Dihapus.
95 | P a g e
Badan peradilan pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan dalam
Pasal 23 ayat (2) diatur dengan undang-undang.
3. Gugatan
Gugatan adalah upaya hukum Wajib Pajak atau Penanggung Pajak terhadap
pelaksanaan penagihan pajak terhadap keputusan yang dapat diajukan gugatan
berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Pasal 23 ayat (2) UU KUP menyatakan bahwa Gugatan Wajib Pajak atau
Penanggung Pajak terhadap:
a. pelaksanaan Surat Paksa, Surat Perintah Melaksanakan Penyitaan, atau
Pengumuman Lelang;
b. keputusan pencegahan dalam rangka penagihan pajak;
c. keputusan yang berkaitan dengan pelaksanaan keputusan perpajakan, selain
yang ditetapkan dalam Pasal 25 ayat (1) dan Pasal 26; atau
96 | P a g e
d. penerbitan surat ketetapan pajak atau Surat Keputusan Keberatan yang dalam
penerbitannya tidak sesuai dengan prosedur atau tata cara yang telah diatur
dalam ketentuan peraturan perundangundangan perpajakan, hanya dapat
diajukan kepada badan peradilan pajak.
Syarat pengajuan Gugatan:
a. Gugatan diajukan secara tertulis dalam bahasa Indonesia kapada Pengadilan
Pajak. Jangka waktu untuk mengajukan gugatan terhadap pelaksana
penagihan pajak adalah 14 hari sejak tanggal pelaksanaan penagihan.
b. Jangka waktu untuk mengajukan gugatan terhadap keputusan selain gugatan
adalah 30 hari sejak tanggal diterimanya keputusan yang digugat.
c. Jangka waktu sebagaimana dimaksud diatas tidak mengikat. Apabila jangka
waktu tersebut tidak dapat dipenuhi karena keadaan di luar kekuasaan
penggugat, maka dapat dimohonkan perpanjangan jangka waktu.
d. Perpanjangan jangka waktu sebagaimana dimaksud di atas adalah 14 hari
terhitung sejak berakhirnya keadaan di luar kekuasaan penggugat.
e. Terhadap saatu pelaksanaan penagihan atau satu keputusan diajukan satu
surat gugatan.
Gugatan dapat diajukan oleh penggugat, ahli warisnya, seorang pengurus,
atau kuasa hukumnya dengan disertai alasan-alasan yang jelas, mencantumkan
tanggal diterima, pelaksanaan penagihan, atau keputusan yang digugat dan
dilampirkan salinan dokumen yang digugat. Apabila selama proses gugatan,
penggugat meninggal dunia, gugatan dapat diajukan oleh ahli warisnya, pengampunya
dalam hal pemohon banding pailit. Apabila selama proses gugatan, pemohon banding
melakukan penggabungan, peleburan, pemecahan/ pemekaran usaha, atau likuidasi,
pemohon dimaksud dapat dilanjutkan oleh pihak yang menerima pertangungjawaban
karena penggabungan, peleburan, pemecahan/pemekaran usaha, atau likuidasi yang
dimaksud.
Gugatan tidak menunda atau menghalangi dilaksanakannya penagihan pajak
atau kewajiban perpajakan.
97 | P a g e
banding/gugatan
tidak
lengkap/tidak
jelas
sepanjang
bukan
b. Pembuktian
Alat bukti yang diperlukan dalam persidangan, terdiri dari:
surat/tulisan
keterangan ahli
pengetahuan hakim
98 | P a g e
99 | P a g e
peninjauan
kembali
tidak
menangguhkan
atau
menghentikan
100 | P a g e
RANGKUMAN
101 | P a g e
d. Wajib pajak melunasi pajak yang harus dibayar paling sedikit sejumlah yang
telah disetujui wajib pajak dalam pembahasan akhir hasil pemeriksaan.
e. Diajukan dalam jangka waktu tiga bulan sejak tanggal diterima surat ketetapan
pajak/pemotongan/pemungutan pajak kecuali force majeur,
f. Surat Keberatan ditandatangani oleh wajib pajak dan hal surat keberatan tidak
ditandatangani oleh bukan wajib pajak, Surat Keberatan tersebut harus dilampiri
surat Kuasa Hukum.
6. Keputusan Keberatan dapat berupa:
a. Mengabulkan seluruhnya;
b. Mengabulkan sebagian;
c. Menolak; atau
d. Menambah besarnya pajak yang harus dibayar.
7. Banding merupakan langkah selanjutnya setelah keputusan keberatan dianggap
tidak memuaskan oleh wajib pajak.
8. Syarat pengajuan banding adalah sebagai berikut:
a. Banding diajukan dengan surat banding dalam Bahasa Indonesia;
b. Banding diajukan dalam jangka waktu tiga bulan sejak tanggal diterima
keputusan banding;
c. Jangka waktu diatas tidak mengikat, apabila jangka waktu tersebut terlampaui
karena force majeur;
d. Terhadap satu surat keputusan diajukan satu keputusan banding; dan
e. Banding diajukan dengan alasan-alasan yang jelas, dan dicantumkan tanggal
terima dan dilampirkan salinan surat keputusan banding.
9. Gugatan adalah upaya hukum Wajib Pajak atau Penanggung Pajak terhadap
pelaksanaan penagihan pajak terhadap keputusan yang dapat diajukan gugatan
berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
10. Syarat pengajuan gugatan adalah sebagai berikut:
a. Gugatan diajukan secara tertulis dalam bahasa Indonesia kepada Pengadilan
Pajak selambat-lambanya empat belas hari sejak pelaksanaan penagihan,
b. Jangka waktu untuk mengajukan gugatan terhadap keputusan selain gugatan
adalah 30 hari sejak tanggal diterimanya keputusan yang digugat.
102 | P a g e
LATIHAN
1. Jelaskan beberapa upaya hukum yang dapat dilakukan oleh Wajib Pajak dan
kemana tuntutan tersebut harus diajukan?
2. Jelaskan apa yang dimaksud dengan sengketa pajak dan meliputi apa saja
sengketa pajak itu!
3. Jelaskan syarat-syarat pengajuan keberatan dan banding!
4. Apa saja yang dapat diajukan keberatan? Bagaimana tatacara mengajukan
keberatan? Kapan batas waktu penyelesaian keberatan?
5. Mengapa proses peradilan administrasi atas keberatan Wajib Pajak adalah suatu
bentuk quasi peradilan?
6. Apa syarat-syarat yang harus dipenuhi untuk mengajukan Peninjauan Kembali?
103 | P a g e
BAB
TINDAK PIDANA DI BIDANG PERPAJAKAN
11
Tujuan Instruksional Khusus :
Setelah membaca bab ini, mahasiswa diharapkan mampu menjelaskan:
1. Pengertian Tindak Pidana Secara Umum
2. Jenis Tindak Pidana
3. Pengertian Tindak Pidana Pajak
4. Penyidikan
5. Penuntutan
Kitab
Undang-undang Hukum Pidana pada Buku II tentang Kejahatan dan buku III tentang
Pelanggaran. Ada dua pendapat:
104 | P a g e
dengan
kejahatan.
Pembagian
delik
dalam
kejahatan
dan
pelanggaran terdapat pendapat yang menentang. Dalam RUU KUHP pembagian ini
tidak dikenal lagi. Istilah yang dipakai adalah Tindak Pidana.
2. Delik Formil dan Delik Materiil
a. Delik formil
Delik yang perumusannnya dititikberatkan kepada perbuatan yang dilarang oleh
UU. Perwujudan delik ini dipandang selesai dengan dilakukannya perbuatan
seperti yang tercantum dalam rumusan delik. Misalnya, Pasal 156, 209, 263
KUHP.
b. Delik Materiil
Delik yang perumusannnya dititikbertkan kepada akibat yang tidak dikehendaki
(dilarang). Delik ini dikatakan selesai bila akibat yang tidak dikendaki itu telah
terjadi. Bila belum, maka paling banyak hanya ada percobaan, misalnya : Pasalpasal 187, 388, atau 378 KUHP.
3. Delik aduan dan bukan delik aduan
Delik aduan adalah delik yang penuntutannya hanya dilakukan bila ada
pengaduan dari pihak yang terkena, misalnya Penghinaan (Pasal 310 jo. Pasal 319
KUHP), perzinahan (Pasal 284 KUHP), pemerasan (Pasal 335 ayat (1) sub 2 jo. Ayat
(2) KUHP). Jo = juncto.
105 | P a g e
106 | P a g e
j.
k. melakukan tindakan lain yang perlu untuk kelancaran penyidikan tindak pidana
di bidang perpajakan menurut ketentuan peraturan perundang-undangan.
Namun, dalam pelaksanaan penyidikan, penyidik pajak dapat menghentikan
penyidikannya apabila salah satu dari empat hal berikut dipenuhi, yaitu:
a. Tidak terdapat cukup bukti ; atau
b. Peristiwanya bukan merupakan tindak pidana di bidang perpajakan; atau
c. Peristiwanya telah daluwarsa; atau
d. Tersangka meninggal dunia.
107 | P a g e
Selain penyidik pajak, dalam Pasal 44B UU KUP disebutkan bahwa Menteri
Keuangan dan Jaksa Agung dapat menghentikan penyidikan tindak pidana di bidang
perpajakan atas dasar untuk kepentingan penerimaan Negara paling lama dalam
jangka waktu 6 (enam) bulan sejak tanggal surat permintaan. Penghentian dimaksud
hanya dilakukan setelah Wajib Pajak melunasi utang pajak yang tidak atau kurang
dibayar atau yang tidak seharusnya dikembalikan dan ditambah dengan sanksi
administrasi berupa denda sebesar 4 (empat) kali jumlah pajak yang tidak atau kurang
dibayar, atau yang tidak seharusnya dikembalikan. Ketentuan ini sebenarnya
menunjukkan bahwa skala prioritas perpajakan lebih ditekankan pada optimalisasi
penerimaan Negara, bukan pada aspek sanksi pidana.
Menurut Pasal 40 UU KUP, tindak pidana di bidang perpajakn itu sendiiri
daluwarsa (tidak dapat dituntut) setelah lampau waktu 10 (sepuluh) tahun sejak saat
terutangnya pajak, berakhirnya Masa Pajak, berakhirnya Bagian Tahun Pajak, atau
berakhirnya Tahun Pajak yang bersangkutan.
E. Penuntutan
Penuntutan adalah tindakan penuntut umum untuk melimpahakan perkara ke
Pengadilan Negeri yang berwenang dalam hal dan menurut cara yang diatur dalam
undang-undang dengan permintaan supaya diperiksa dan diputus oleh Hakim di
sidang Pengadilan.
Penuntut umum adalah Jaksa yang diberi wewenang oleh undang-undang
untuk melakukan penuntutan dan melaksanakan penetapan hakim.
Sebelum berkas perkara dilimpahkan ke Pengadilan, penuntut umum
mempelajari berkas perkara dan dalam waktu 7 (tujuh) hari memberitahukan kepada
penyidik apakah hasil penyidikan telah siap dilimpahkan ke pengadilan atau masih
harus dilengkapi lagi. Apabila belum lengkap, maka berkas perkara dikembalikan ke
penyidik untuk diengkapi dengan dijelaskan hal-hal yang dianggap kurang. Jika
kemudian telah lengkap dan memenuhi syarat untuk dilimpahkan ke pengadilan, maka
penuntut umum segera melimpahkan berkas perkara ke pengadilan dan memohon
kepada pengadilan agar segera diadili dengan disertai Surat Dakwaan. Turunan surat
pelimpahan perkara beserta Surat Dakwaan disampaikan kepada tersangka atau
kuasa hukumnya atau penasehat hukumnya dan kepada penyidik.
108 | P a g e
RANGKUMAN
1. Tindak pidana adalah suatu peristiwa atau tindakan melanggar hukum atau undangundang pajak yang dilakukan oleh seseorang yang tindakannya tersebut dapat
dipertanggungjawabkan dan oleh undang-undang pajak telah dinyatakan sebagai
suatu perbuatan pidana yang dapat dihukum.
2. Ada berbagai jenis tindak pidana, antara lain:
a. Kejahatan dan pelanggaran
Ada dua pendapat pembagian dalam kejahatan dan pelanggaran yaitu:
1) Perbedaan kualitatif
Kejahatan adalah tindakan yang bertentangan dengan rasa keadilan tanpa
memandang sudah diatur dalam undang-undang atau belum, sedangkan
pelanggaran adalah perbuatan yang disadari oleh masyarakat sebagai
tindakan pidana karena undang-undang menyebutkannya.
2) Perbedaan kuatitatif
Pendapat ini membedakan kejahatan sebagai tindakan pindana berat dan
pelanggaran sebagai tindak pidana ringan.
b. Delik Formil dan Delik Materiil
Delik formil menitikberatkan kepada perbuatan yang dilarang oleh undangundang dan delik formil menitikberatkan kepada akibat yang tidak dikehendaki.
c. Delik aduan dan bukan delik aduan
3. Tindak pidana di bidang pajak adalah suatu perbuatan yang melanggar peraturan
perundang-undangan pajak yang menimbulkan kerugian keuangan negara dimana
pelakunya diancam dengan hukuman pidana.
4. Penyidikan tindak pidana pajak dilakukan oleh Pegawai Negeri Sipil tertentu di
lingkungan Direktorat Jenderal Pajak yang diberi wewenang khusus sebagai
penyidik untuk melakukan penyidikan tindak pidana di bidang perpajakan sesuai
dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
5. Penuntutan adalah tindakan penuntut umum untuk melimpahkan perkara ke
pengadilan negeri yang berwenang dalam hal dan menurut cara yang diatur dalam
undang-undang agar diperiksa dan diputuskan oleh hakim di pengadilan.
109 | P a g e
LATIHAN
1. Siapa saja yang menjadi subjek dari tindak pidana di bidang perpajakan?
2. Jelaskan jenis-jenis tindak pidana di bidang perpajakan?
3. Siapa penyidik di dalam pelaksanaan penyidikan pajak?
4. Apakah di dalam peradilan pidana pajak seorang penyidik pajak sekaligus juga
bertindak sebagai penuntut perkara?
110 | P a g e
BAB
KESADARAN DAN
12
KEPATUHAN KEWAJIBAN
Wajib pajak cenderung selalu mencari celah agar bisa terhindar dari kewajiban
membayar pajak, bahkan Wajib Pajak yang terancam terkena sanksi sandera badan
(gidzeling) karena tidak kooperatif, masih berupaya agar kewajiban dalam membayar
111 | P a g e
pajak itu dibuat ringan sehingga pemerintah setempat dalam hal ini kantor pajak dalam
rangka mengejar target penerimaan pajak ini adalah langkah terobosan yang
mengkondisikan Wajib Pajak benar-benar patuh melunasi kewajibannya.
Batasan sebagai Wajib Pajak patuh diatur dalam Keputusan Menteri Keuangan
No.544/KMK.04/2000 dimana persyaratan sebagai Wajib Pajak patuh ada 2 (dua)
kriteria yaitu Wajib Pajak patuh terhadap kepatuhan formal dan Wajib Pajak patuh
terhadap kepatuhan material, diantaranya:
1) Tepat waktu dalam menyampaikan Surat Pemberitahuan Tahunan dalam 2 (dua)
tahun terakhir,
2) Dalam tahun terakhir penyampaian SPT Masa yang terlambat tidak lebih dari 3
(tiga) masa pajak untuk setiap jenis pajak dan tidak berturut-turut,
3) Surat Pemberitahuan Masa yang terlambat disampaikan tidak lewat dari batas
waktu penyampaian SPT Masa pajak berikutnya,
4) Tidak mempunyai tunggakan pajak untuk semua jenis pajak, kecuali telah
memperoleh izin untuk mengangsur atau menunda pembayaran pajak dan tidak
termasuk tunggakan pajak sehubungan dengan STP yang diterbitkan untuk 2
(dua) masa pajak terakhir,
5) Tidak pernah dijatuhi hukuman karena melakukan tindak pidana di bidang
perpajakan dalam jangka waktu 10 (sepuluh) tahun terakhir,
6) Wajib Pajak yang laporan keuangannya telah diaudit oleh akuntan publik dengan
yang laporan keuangannya tidak diaudit. Bagi Wajib Pajak yang laporan
keuangannya tidak diaudit, dalam jangka waktu dua tahun terakhir memenuhi
persyaratan yaitu menyelenggarakan pembukuan sebagaimana dimaksudkan
dalam Pasal 28 UU No. 6 Tahun1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara
Perpajakan sebagaimana telah diubah terakhir dengan UU No. 16 Tahun 2009.
B. Pentingnya Kepatuhan Kewajiban Perpajakan
Masalah kepatuhan Wajib Pajak merupakan masalah penting di Negara
Indonesia. Karena jika Wajib Pajak tidak patuh maka akan menimbulkan keinginan
untuk melakukan tindakan penghindaran, pengelakan, penyelundupan, dan pelalaian
pajak. Wajib Pajak akan patuh (karena tekanan), mereka berfikir adanya sanksi berat
akibat tindakan ilegal dalam usahanya untuk menyelundupkan pajak. Tindakan
pemberian sanksi tersebut terjadi jika Wajib Pajak terdeteksi dengan administrasi yang
112 | P a g e
baik dan terintegrasi serta melalui aktivitas pemeriksaan oleh aparat pajak yang
berkompeten dan memiliki integritas tinggi. Jadi, Wajib Pajak yang patuh merupakan
Wajib Pajak yang taat dan patuh dalam memenuhi serta melaksanakan kewajiban
perpajakan sesuai dengan ketentuan yang berlaku dalam perundang-undangan
perpajakan.
Kepatuhan Wajib Pajak dipengaruhi oleh beberapa faktor, yaitu kondisi sistem
administrasi perpajakan, pelayanan pada Wajib Pajak, penegakan hukum perpajakan,
pemeriksaan pajak, dan tarif pajak. Ketidakpatuhan terhadap pajak melibatkan Wajib
Pajak dan aparat pajak, sehingga dengan demikian dapat terjadi kong kalikong antara
Wajib Pajak dan aparat pajak.Kurangnya kesadaran akan kepatuhan pajak baik bagi
Wajib Pajak maupun aparat pajak,akan berimbas pada penurunan pendapatan sektor
pajak dan berkurang nya pendapatan bagi Negara.
Harian Republika tanggal 3 Oktober 2011 memuat berita bahwa tingkat
kesadaran wajib pajak (WP) maupun pengusaha di Indonesia dalam membayar pajak
masih sangat rendah. Kondisi tersebut membuat potensi penerimaan negara dari
pajak semakin berkurang. Padahal, target penerimaan perpajakan setiap tahun terus
meningkat.
Rendahnya kesadaran
perseorangan hanya berjumlah 8,5 juta. Sedangkan data Pusat Statistik (BPS)
menyebutkan, jumlah orang yang aktif bekerja di Indonesia berjumlah 110 juta orang.
Rasio SPT terhadap kelompok pekerja aktif hanya mencapai 7,73%.
Hal yang sama juga tampak pada WP badan usaha. Pembayaran pajak yang
dilaporkan melalui penyerahan SPT hanya berjumlah 466 ribu, sedangkan jumlah
badan usaha yang berdomisili tetap dan aktif berjumlah sekitar 12,9 juta. Rasio SPT
Badan terhadap jumlah badan usaha aktif hanya mencapai 3,6%.
Rendahnya tingkat kepatuhan tersebut menjadi penyebab rendahnya tax ratio
yang saat ini berkisar 11-12%. Padahal, negara-negara tetangga sudah memiliki tax
ratio di atas 14 persen. Tax ratio di Jepang mencapai 50% atau setengah
penduduknya menjadi pembayar pajak aktif, sedangkan di Indonesia hanya 7,73%.
Penerimaan pajak terhadap total Produk Domestik Bruto (PDB) Indonesia relatif lebih
rendah rendah apabila dibandingkan negara maju dan negara tetangga.
113 | P a g e
usaha
masyarakat
untuk
menghindari,
menyelundupkan,
114 | P a g e
pembayaran pajak karena pembetulan SPT hanya melengkapi daftar harta, tidak
menambah..penghasilan.
Tax Amnesty (Pengampunan pajak) merupakan usaha pemerintah untuk
menghasilkan penerimaan pajak yang selama ini belum atau kurang dibayar,
disamping meningkatkan kepatuhan membayar pajak karena makin efektifnya
pengawasan karena semakin akuratnya informasi mengenai daftar kekayaan wajib
pajak.
Terdapat_empat_jenis_amnesti_pajak, yaitu:
1. Amnesti yang tetap mewajibkan pembayaran pokok pajak, termasuk bunga dan
dendanya,_dan_hanya_mengampuni_sanksi_pidana_perpajakan.
adalah
untuk
memungut
pajak
tahun-tahun
sebelumnya,
Tujuannya
sekaligus
menambah_jumlah_wajib_pajak_terdaftar.
2. Amnesti yang mewajibkan pembayaran pokok pajak masa lalu yang terutang
berikut bunganya, namun mengampuni sanksi denda dan sanksi pidana pajaknya.
3. Amnesti yang tetap mewajibkan pembayaran pokok pajak yang lama, namun
mengampuni sanksi bunga, sanksi denda, dan sanksi pidana pajaknya.
4. Bentuk amnesti yang paling longgar karena mengampuni pokok pajak di masa lalu,
termasuk sanksi bunga, sanksi denda, dan sanksi pidananya. Tujuannya adalah
untuk menambah jumlah wajib pajak terdaftar, agar ke depan dan seterusnya
mulai membayar pajak.
115 | P a g e
RANGKUMAN
116 | P a g e
LATIHAN
117 | P a g e
BAB
PENGHINDARAN PAJAK BERGANDA
13
118 | P a g e
119 | P a g e
suatu
BUT.
Selanjutnya
BUT
tersebut
memberikan
know-how
120 | P a g e
Pajak yang dibayar atau terutang di luar negeri atas penghasilan dari
luar negeri yang diterima atau diperoleh Wajib Pajak dalam negeri
boleh
dikreditkan
terhadap
pajak
yang
terutang
berdasarkan
Ayat (3):
121 | P a g e
dari
pengalihan
sebagian
atau
seluruh
hak
Ayat (5):
Ayat (6):
Ketentuan
mengenai
pelaksanaan
pengkreditan
pajak
atas
122 | P a g e
RANGKUMAN
1. Secara Luas, Pajak berganda adalah bentuk pembebanan pajak dan pungutan
lainnya lebih dari satu kali, yang dapat berganda atau lebih atas suatu fakta fiskal.
2. Secara Sempit, Pajak berganda dianggap terjadi pada semua kasus pemajakan
beberapa kali terhadap suatu subjek dan/atau objek pajak dalam satu administrasi
pajak yang sama, yang mengesampingkan pembebanan pajak oleh pemerintah
daerah.
3. Selanjutnya, pajak berganda sesuai dengan yurisdiksi pemungut pajaknya, dapat
dikelompokkan menjadi pajak berganda:
a. Internal (domestic)
b. Internasional
Dalam kedua kelompok tersebut terdapat pajak berganda vertikal, horizontal dan
diagonal (terutama dalam Negara yang berbentuk federal).
4. Unsur-unsur Internasional Pajak Ganda:
a. Pemungutan dilakukan oleh beberapa negara
b. Indentitas subyek pajak yang sama
c. Identitas obyek pajak yang sama
d. Masa atau tahun pajak yang sama
e. Jenis pajaknya sama atau serupa.
5. Sebab-sebab Terjadinya Pajak Berganda Internasional:
a. Subyek pajak yang sama dikenakan pajak yang sama dibeberapa negara. Hal
ini dikarenakan:
1) Subyek pajak yang bersangkutan memiliki domisili rangkap.
2) Seseorang memiliki kewarganegaraan rangkap.
b. Satu obyek pajak dikenakan pajak yang sama oleh dua negara atau lebih
akibat pertautan antara asas sumber dengan asas domisili atau asas
kebangsaan.
c. Adannya titik pertautan antara asas territorial dengan asas sumber atau conflict
of source rule.
123 | P a g e
LATIHAN
1. Apa yang dimaksud dengan pajak internasional? Apa yang dimaksud dengan tax
treaty (P3B)?
2. Jelaskan beberapa metode yang biasa digunakan untuk mengurangi resiko
kemungkinan pengenaan pajak berganda?
3. Sebutkan sumber-sumber hukum pajak internasional?
4. Sebutkan subjek dan objek tax treaty?
5. Jelaskan sebab-sebab terjadinya pajak berganda internasional?
6. Jelaskanlah cara-cara yang bisa ditempuh untuk menghindari pajak berganda
internasional?
7. Bagaimana kedudukan tax treaty dalam tatanan hukum pajak di Indonesia?
124 | P a g e
DAFTAR PUSTAKA
Abdul Asri Harahap, 2004, Paradigma Baru Perpajakan Indonesia Perspektif EkonomiPolitik, Jakarta: Integrita Dinamika Press
Darussalam, Danny Septriadi, 2006, Membatasi Kekuasaan untuk Mengenakan Pajak,
Jakarta: Grasindo
Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, 1989, Kamus Besar Bahasa Indonesia,
cetakan kedua, Jakarta: Balai Pustaka
Djamaluddin Gade, Muhammad Gade, 2004, Hukum Pajak, edisi Keempat, Jakarta:
Fakultas ekonomi Universitas Indonesia
Djoko Muljono,2008, Ketentuan Umum Perpajakan, Yogyakarta: Andi
Erly Suandy, 2002, Hukum Pajak, Jakarta: Salemba Empat
Kompas, Republika, Majalah Tempo dan Koran Tempo
Paul A. Samuelson dan William D Nordhaus, 1986,Ekonomi, Jakarta: Erlangga
R. Santoso Brotodihardjo, 2003, Pengantar Ilmu Hukum Pajak, Bandung: PT.Refika
Aditama
Republik Indonesia, Undang-Undang No. 19 Tahun 2000 tentang Penagihan Pajak
dengan Surat Paksa
Republik Indonesia, Undang-Undang No. 21 Tahun 2000 tentang Bea Perolehan Hak
Atas Tanah Dan Bangunan
Republik Indonesia, Undang-Undang No.28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan
Retribusi Daerah
Republik Indonesia, Undang-Undang No. UU No. 14 Tahun 2002 tentang Pengadilan
Pajak
Republik Indonesia, Undang-Undang No. 28 Tahun 2007
dan Tata Cara Perpajakan
tentang Pajak
tentang Pajak
125 | P a g e
126 | P a g e
BIODATA PENULIS
Nama
Alamat korespondensi
Unit Instansi
Telp./Faks
: Susi_Sadeq@yahoo.com
Riwayat Pendidikan
Jenjang
Perguruan Tinggi
Jendidikan
Bidang Spesialisasi
S-1 / 1990
Universitas Andalas
Hukum
S-2 / 2008
Universitas Muhamadiyah
Jakarta
Hukum Bisnis
S-3
Perpajakan I
Perpajakan II
Pengantar Perpajakan
Jakarta,
Okober 2011
(Susi Zulvina)
127 | P a g e
DAFTAR ISI
BAB I
Pendahuluan .................................................................................................................................. 4
A.
B.
C.
BAB II
A.
B.
C.
D.
E.
F.
G.
H.
I.
J.
K.
L.
M.
N.
BAB III
A.
B.
C.
D.
E.
F.
Pembukuan dalam Bahasa Asing dan Mata Uang Selain Rupiah ..................................................... 27
BAB IV
A.
B.
C.
D.
E.
F.
Pemindahbukuan.............................................................................................................................. 35
BAB V
A.
B.
C.
D.
E.
F.
G.
H.
I.
J.
K.
Pembetulan SPT................................................................................................................................ 44
L.
BAB VI
A.
B.
C.
D.
E.
F.
BAB VII
A.
Pendahuluan..................................................................................................................................... 52
B.
C.
D.
E.
F.
G.
H.
I.
J.
BAB VIII
A.
Penagihan Pajak....................................................................................................................... 63
Utang Pajak....................................................................................................................................... 63
2
B.
C.
D.
E.
F.
Hak dan Kewajiban Wajib Pajak atau Penanggung Pajak selama Penagihan .................................. 66
G.
H.
I.
BAB IX
Sengketa Pajak.............................................................................................................................. 70
A.
Pendahuluan..................................................................................................................................... 70
B.
C.
D.
BAB X
A.
Restitusi ............................................................................................................................................ 80
B.
BAB XI
A.
B.
Sengaja ............................................................................................................................................. 87
C.
Pengulangan ..................................................................................................................................... 87
D.
Percobaan ......................................................................................................................................... 87
BAB XII
Penyidikan ................................................................................................................................... 88
A.
B.
Penyidik ............................................................................................................................................ 88
C.
BAB XIII
Lampiran ................................................................................................................................... 90
A.
B.
BAB I
Pendahuluan
tahun penerimaan tersebut semakin dituntut untuk semakin meningkat seiring dengan
berjalannya pembangunan untuk mewujudkan masyarakat yang adil dan sejahtera
B. Definisi-definisi dan Jenis Pajak
DEFINISI
1. Pajak
Sejak diluncurkannya reformasi peraturan perpajakan pada tahun 1983, definisi pajak
tidak pernah secara eksplisit dicantumkan dalam undang-undang. Tidak ada satu pasal
pun atau penjelasan dalam 5 (lima) undang-undang perpajakan yang diberlakukan mulai
saat itu, yakni UU KUP, UU PPh, UU PPN, UU PBB dan UU Bea Meterai, yang
mencantumkan definisi dari istilah pajak. Hal ini terus berlangsung sampai dengan
diterbitkannya UU KUP tahun 2007, yakni UU nomor 28 tahun 2007 sebagai UU
perubahan ketiga dari UU KUP tahun 1983.
Dalam Pasal 1 angka 1 UU KUP 2007, pajak didefinisikan sebagai berikut:
Pajak adalah kontribusi wajib kepada negara yang terutang oleh orang pribadi atau
badan yang bersifat memaksa berdasarkan Undang-Undang, dengan tidak
mendapatkan imbalan secara langsung dan digunakan untuk keperluan negara bagi
sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.
Dari definisi pajak tersebut dapat ditarik 4 (empat) kriteria yang membedakan pajak
dengan pungutan ataupun kontribusi lainnya, sebagai berikut:
a. Merupakan kontribusi wajib kepada negara;
Bagi setiap orang atau badan yang telah memenuhi persyaratan dan kondisi tertentu,
pembayaran pajak menjadi wajib untuk dilaksanakan. Karena merupakan kewajiban,
maka pembayaran pajak pun diatur sedemikian rupa tata cara dan prosedurnya
sehingga orang atau badan yang berkewajiban membayar pajak dapat mengikutinya
dengan benar. Penggunaan kata kontribusi dimaksudkan untuk menunjukkan
besarnya peran serta para pembayar pajak bagi negara.
b. Dapat dipaksakan berdasarkan undang-undang;
Terkait dengan kriteria pertama, maka pajak dapat dipaksakan kepada siapa saja yang
memang secara ketentuan perundangan perpajakan telah memenuhi kriteria untuk
membayar pajak. Meskipun demikian, perlu ditekankan bahwa pemaksaan dalam hal
ini senantiasa didasarkan kepada ketentuan perundangan perpajakan yang berlaku.
c.
Wajib Pajak yang telah membayar pajak, berapa pun besarnya, tidak akan
mendapatkan imbalan atau kompensasi dari negara yang secara spesifik dapat ditunjuk
langsung. Berbeda dengan retribusi parkir misalnya, pembayar uang parkir akan
mendapatkan space parkir untuk uang parkir yang telah dibayarnya. Akan tetapi,
pembayar pajak tidak akan mendapatkan kompensasi langsung seperti hal itu;
d. Digunakan untuk keperluan negara bagi kemakmuran rakyat.
Penerimaan negara yang berasal dari pembayaran pajak akan masuk ke dalam APBN dan
digunakan bagi keperluan operasional pemerintahan dalam rangka mewujudkan visi
dan misi negara, yang secara umum adalah untuk meningkatkan kemakmuran
masyarakat.
2. Wajib Pajak
Orang pribadi atau badan yang menurut ketentuan peraturan perundang-undangan
perpajakan ditentukan untuk melakukan kewajiban perpajakan, termasuk pemungut
pajak atau pemotong pajak tertentu.
3. Badan
sekumpulan orang dan/atau modal yang merupakan kesatuan baik yang melakukan
usaha maupun yang tidak melakukan usaha yang meliputi perseroan terbatas, perseroan
komanditer, perseroan lainnya, badan usaha milik negara atau badan usaha milik daerah
dengan nama dan dalam bentuk apa pun, firma, kongsi, koperasi, dana pensiun,
persekutuan, perkumpulan, yayasan, organisasi massa, organisasi sosial politik atau
organisasi lainnya, lembaga dan bentuk badan lainnya termasuk kontrak investasi kolektif
dan bentuk usaha tetap.
4. Pengusaha
orang pribadi atau badan dalam bentuk apa pun yang dalam kegiatan usaha atau
pekerjaannya menghasilkan barang, mengimpor barang, mengekspor barang, melakukan
usaha perdagangan, memanfaatkan barang tidak berwujud dari luar daerah pabean,
melakukan usaha jasa, atau memanfaatkan jasa dari luar daerah pabean.
5. Pengusaha Kena Pajak
Pengusaha yang melakukan penyerahan Barang Kena Pajak dan/atau penyerahan Jasa
Kena Pajak yang dikenakan pajak berdasarkan Undang-Undang Pajak Pertambahan Nilai
1984 dan perubahannya, tidak termasuk Pengusaha Kecil yang batasannya ditetapkan
dengan Keputusan Menteri Keuangan, kecuali Pengusaha Kecil yang memilih untuk
dikukuhkan sebagai Pengusaha Kena Pajak.
6
6. NPWP
Nomor yang diberikan kepada Wajib Pajak sebagai sarana dalam administrasi perpajakan
yang dipergunakan sebagai tanda pengenal diri atau identitas Wajib Pajak dalam
melaksanakan hak dan kewajiban perpajakannya.
7. Tempat Pendaftaran
Setiap Wajib Pajak yang telah memenuhi persyaratan subjektif dan objektif sesuai
dengan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan wajib mendaftarkan diri
pada kantor Direktorat Jenderal Pajak yang wilayah kerjanya meliputi tempat tinggal atau
tempat kedudukan Wajib Pajak dan kepadanya diberikan Nomor Pokok Wajib Pajak.
JENIS PAJAK
Secara umum jenis pajak dibedakan menjadi pajak pusat dan pajak daerah.
Pajak Pusat
Pajak pusat adalah Pajak yang dipungut oleh pemerintah pusat (dalam hal ini dilakukan
oleh Direktorat Jenderal Pajak) guna membiayai rumah tangga pemerintahan pusat dan
tercantum dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN). Besaran pajak pusat
ditetapkan melalui undang-undang dan PP/Perpu, meliputi :
a. Pajak Penghasilan (PPh)
b. Pajak Pertambahan Nilai (PPN)
c. Pajak Penjualan Barang Mewah (PPnBM)
d. Pajak Bumi dan Bangunan (PBB)
e. Bea Materai
Khusus jenis pajak Pajak Bumi dan Bangunan Pedesaan Perkotaan (PBB P2) mulai tahun
2012 pengelolaannya disebagian dialihkan kepada Pemerintah Daerah (Pemda)
Pajak Daerah
Pajak daerah adalah pajak yang dipungut oleh pemerintah daerah (dalam hal ini
dilakukan oleh Dinas Pendapatan Daerah / Dispenda) yang digunakan untuk membiayai
rumah tangga pemerintah daerah dan tercantum dalam Anggaran Pendapatan dan
Belanja Daerah (APBD). Besaran dan bentuk pajak daerah ditetapkan melalui Peraturan
Daerah (Perda).
Pajak daerah dan retribusi daerah dibedakan untuk propinsi, kabupaten kota sebagai
berikut:
(1) Jenis Pajak Provinsi terdiri atas :
a. Pajak Kendaraan Bermotor;
b. Bea Balik Nama Kendaraan Bermotor;
c. Pajak Bahan Bakar Kendaraan Bermotor;
d. Pajak Air Permukaan; dan
e. Pajak Rokok.
(2) Jenis Pajak Kabupaten/Kota terdiri atas:
a. Pajak Hotel;
7
b.
c.
d.
e.
f.
g.
h.
i.
j.
k.
Pajak Restoran;
Pajak Hiburan;
Pajak Reklame;
Pajak Penerangan Jalan;
Pajak Mineral Bukan Logam dan Batuan;
Pajak Parkir;
Pajak Air Tanah;
Pajak Sarang Burung Walet;
Pajak Bumi dan Bangunan Perdesaan dan Perkotaan; dan
Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan.
BAB II
Tn. Subur harus dikukuhkan sebagai Pengusaha Kena Pajak pada tanggal 31 Oktober
2008.
C. Tempat Pendaftaran dan Pelaporan NPWP/Pengukuhan PKP
Berdasarkan sistem self assessment setiap WP wajib mendaftarkan diri untuk
memperoleh NPWP dan melaporkan diri untuk dikukuhkan sebagai PKP ke Kantor
Pelayanan Pajak (KPP) atau melalui Kantor Penyuluhan dan Pengamatan Potensi
Perpajakan (KP4) yang :
a. Wilayah kerjanya meliputi tempat tinggal (Orang Pribadi) atau tempat kedudukan
Wajib pajak (badan)
b. Wilayah kerjanya meliputi tempat tempat kegiatan usaha wajib pajak
c. Yang ditetapkan oleh Direktur Jenderal Pajak apabila dalam hal tempat tinggal atau
tempat kedudukan wajib pajak berada dalam dua atau lebih wilayah kerja KPP
Pengertian tempat tinggal adalah domisili dari Wajib Pajak Orang Pribadi dan atau
tempat usahanya sedangkan tempat kedudukan adalah tempat usaha dari Wajib Pajak
Badan yang meliputi kantor pusat dan cabang-cabang usahanya.
Contoh :
1. Tn. Azizan mempunyai tempat tinggal di Serpong Tangerang, sedangkan tempat
kerjanya sebagai pegawai di Kosambi Jakarta barat. Maka Tn. Azizan harus mendaftar
di Kantor Pelayanan Pajak sesuai dengan tempat tinggalnya yaitu di Serpong
2. Tn. Ibadurrahman mempunyai tempat tinggal di Bekasi Jawa Barat, selain itu
mempunyai usaha Mangga Dua Mall di Penjaringan Jakarta Utara. Maka Tn.
Ibadurrahman harus mendaftar di Kantor Pelayanan Pajak di Bekasi sebagai pusat juga
mendaftar di Kantor Pelayanan Pajak di Penjaringan sebagai cabang.
3. PT. Jujur Makmur berkantor di Jl Setia Budi Jakarta, selain itu mempunyai pabrik di
Cikarang, Bekasi. Maka selain Di Kantor Pelayanan Pajak di Setia Budi sebagai pusat
juga mendaftar sebagai
D. Tempat Pendaftaran dan Pelaporan WP/PKP Tertentu
(KEP-225/PJ./2001 jo Per-32/PJ/2010 jo Per-28/PJ/2012)
Wajib Pajak Orang Pribadi tertentu adalah wajib pajak orang pribadi yang memiliki
tempat usaha di beberapa tempat. Direktorat Jenderal Pajak dapat menetapkan dan
menentukan tempat pendaftaran dan pelaporan usaha di kantor direktorat jenderak
pajak selain yang ditetapkan pada kriteria tempat tinggal (orang pribadi) dan tempat
kedudukan (badan).
Wajib Pajak Badan dan Pengusaha Kena Pajak tertentu adalah :
1. Badan Usaha Milik Negara (BUMN)
2. Badan Usaha Milik Daerah (BUMD)
3. Penanam Modal Asing
4. Bentuk Usaha Tetap dan Orang Asing
11
5.
Perusahaan masuk bursa, termasuk badan khusus (Self regulatory organization) yang
didirikan dan beroprasi di bursa berdasarkan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1995
tentang pasar modal
6. serta perusahaan tertentu lainnya yang melakukan kegiatan usaha di pasar modal
7. Perusahaan besar yang memiliki kriteria tertentu.
WP tertentu dan PKP tertentu itu harus mendaftarkan diri di :
a. Kantor Pelayanan Pajak Perusahaan Negara dan Daerah, untuk BUMD di wilayah DKI
Jakarta dan seluruh BUMN termasuk anak perusahaan BUMN yang penyertaan
modal induk lebih dari 50%, kecuali yang selama ini telah terdaftar pada KPP tempat
wajib pajak berkedudukan.
b. Kantor Pelayanan Pajak Penanaman Modal Asing I untuk Wajib Pajak penanaman
modal asing yang tidak masuk bursa dan melakukan usaha di sektor Industri kimia
dan bahan galian non logam, kecuali yang selama ini telah terdaftar pada KPP tempat
wajib pajak berkedudukan.
c. Kantor Pelayanan Pajak Penanaman Modal Asing II untuk Wajib Pajak penanaman
modal asing yang tidak masuk bursa dan melakukan usaha di sektor industri logam
dan mesin, kecuali yang selama ini telah terdaftar pada KPP tempat wajib pajak
berkedudukan.
d. Kantor Pelayanan Pajak Penanaman Modal Asing III untuk untuk Wajib Pajak
penanaman modal asing yang tidak masuk bursa dan melakukan usaha di sektor
pertambangan dan perdagangan, kecuali yang selama ini telah terdaftar pada KPP
tempat wajib pajak berkedudukan.
e. Kantor Pelayanan Pajak Penanaman Modal Asing IV untuk Wajib Pajak penanaman
modal asing yang tidak masuk bursa dan melakukan usaha di sektor industri tekstil,
makanan, dan kayu, kecuali yang selama ini telah terdaftar pada KPP tempat wajib
pajak berkedudukan.
f. Kantor Pelayanan Pajak Penanaman Modal Asing V untuk Wajib Pajak penanaman
modal asing yang tidak masuk bursa dan melakukan usaha di sektor agribisnis dan
jasa, kecuali yang selama ini telah terdaftar pada KPP tempat wajib pajak
berkedudukan.
g. Kantor Pelayanan Pajak Badan dan Orang Asing untuk wajib pajak bentuk usaha
tetap (BUT) dan orang asing yang berkedudukan/bertempat tinggal di wilayah DKI
Jakarta.
h. Kantor Pelayanan Pajak Perusahaan Masuk Bursa untuk Wajib Pajak yang pernyataan
pendaftaran emisi saham telah dinyatakan efektif oleh BAPEPAM, termasuk badanbadan khusus yang didirikan dan beroperasi berdasarkan UU Pasar Modal, kecuali
WP emiten yang selama ini telah terdaftar pada Kantor Pelayanan Pajak tempat
Wajib Pajak berkedudukan dan Wajib Pajak emiten BUMN/D.
i. Kantor Pelayanan Pajak yang wilayah kerjanya meliputi tempat kedudukan Wajib
Pajak BUMD dan BUT, untuk Wajib Pajak BUMD dan BUT, atau tempat tinggal Wajib
Pajak Orang Asing untuk Wajib Pajak Orang Asing, yang berkedudukan atau
bertempat tinggal di luar DKI Jakarta;
12
j.
k.
Kantor Pelayanan Pajak yang wilayah kerjanya meliputi tempat cabang, perwakilan,
atau kegiatan usaha dilakukan, untuk Wajib Pajak BUMN, BUMD, penanaman modal
asing, badan dan orang asing, dan perusahaan masuk bursa, terbatas pada PPh Pasal
21/22/23/26, PPN dan PPN BM, kecuali tempat cabang, perwakilan atau kegiatan
usaha tersebut lokasinya di DKI Jakarta maka kewajiban perpajakannya tetap di KPP
Khusus.
Kantor Pelayanan Pajak Wajib Pajak Besar (LargeTax Office) untuk seluruh wajib
Pajak Besar menurut KEP. Dirjen No. 263/PJ./2002
Wajib Pajak Orang Pribadi (WPOP) Pengusaha Tertentu adalah Wajib pajak yang
melakukan kegiatan usaha di bidang grosir dan atau eceran barang-barang konsumsi
melalui tempat usaha/gerai (outlet) yang tersebar di beberapa lokasi, tidak termasuk
perdagangan kendaran bermotor dan restoran.
Wajib Pajak orang pribadi pengusaha tertentu selain terdaftar di kantor DJP yang wilayah
kerjanya meliputi tempat tinggalnya juga harus terdaftar di kantor DJP yang wilayah
kerjanya meliputi tempat kegiatan usahanya.
WPOP Pengusaha Tertentu wajib mendaftarkan diri untuk memperoleh NPWP bagi setiap
tempat usaha/gerai ke KPP yang wilayah kerjanya meliputi tempat usaha/gerai tersebut
(KPP Lokasi) dan ke KPP yang wilayah kerjanya meliputi tempat tinggal WP (KPP Domisili),
begitu pula jika tempat usaha/gerai dan tempat tinggal WP yang bersangkutan berada
dalam wilayah kerja KPP yang sama.
E. Pendaftaran NPWP
a. Wajib Pajak atau orang yang diberi kuasa khusus yang mendaftarkan diri untuk
memperoleh NPWP dan atau Pengusaha yang melaporkan kegiatan usaha untuk
dikukuhkan sebagai PKP wajib mengisi, menandatangani dan menyampaikan formulir
pendaftaran ke KPP;
b. Berdasarkan formulir pendaftaran, KPP menerbitkan kartu NPWP dan Surat
Keterangan Terdaftar dan atau Surat Pengukuhan PKP;
c. KPP menerbitkan kartu NPWP dan Surat Keterangan Terdaftar paling lama pada hari
kerja berikutnya setelah permohonan pendaftaran beserta persyaratannya diterima
secara lengkap;
d. KPP menerbitkan Surat Pengukuhan PKP paling lambat 1 (satu) hari kerja berikutnya
setelah pelaporan beserta persyaratannya diterima secara lengkap;
e. Dalam hal wajib pajak melakukan pendaftaran sekaligus melaporkan usahanya untuk
dikukuhkan sebagai PKP, maka kartu NPWP, Surat Keterangan Terdaftar dan Surat
Pengukuhan PKP diterbitkan secara bersamaan paling lama 1 (satu) hari kerja
berikutnya setelah permohonan pendaftaran dan pelaporan beserta persyaratannya
diterima secara lengkap. Tata Cara ini diatur dalam Peraturan Dirjen Pajak Nomor
44/PJ/2008 jo PER-38/PJ/2013 tanggal 8 November 2013 tentang TATA CARA
13
orang asing dan fotokopi dokumen izin kegiatan usaha yang diterbitkan oleh
instansi yang berwenang atau surat keterangan tempat kegiatan usaha atau
pekerjaan bebas dari Pejabat Pemerintah Daerah sekurang-kurangnya
Lurah atau Kepala Desa atau lembar tagihan listrik dari Perusahaan Listrik/bukti
pembayaran listrik; atau fotokopi e-KTP bagi Warga Negara Indonesia dan surat
pernyataan di atas meterai dari Wajib Pajak orang pribadi yang menyatakan
bahwa yang bersangkutan benar-benar menjalankan usaha atau pekerjaan
bebas.
c.
Untuk WP badan :
1. untuk Wajib Pajak badan yang berorientasi pada profit (profit oriented) berupa:
a)
b)
c)
2.
fotokopi akta pendirian atau dokumen pendirian dan perubahan bagi Wajib
Pajak badan dalam negeri, atau surat keterangan penunjukan dari kantor pusat
bagi bentuk usaha tetap;
fotokopi Kartu Nomor Pokok Wajib Pajak salah satu pengurus, atau fotokopi
paspor dan surat keterangan tempat tinggal dari Pejabat Pemerintah Daerah
sekurang-kurangnya Lurah atau Kepala Desa dalam hal penanggung jawab
adalah Warga Negara Asing;dan
fotokopi dokumen izin usaha dan/atau kegiatan yang diterbitkan oleh instansi
yang berwenang atau surat keterangan tempat kegiatan usaha dari Pejabat
Pemerintah Daerah sekurang-kurangnya Lurah atau Kepala Desa atau lembar
tagihan listrik dari Perusahaan Listrik/bukti pembayaran listrik.
Untuk Wajib Pajak badan yang tidak berorientasi pada Profit (Non Profit) berupa:
a) fotokopi e-KTP salah satu pengurus badan atau organisasi; dan
b) surat keterangan domisili dari pengurus Rukun Tetangga (RT)/Rukun Warga
(RW).
16
f.
g.
untuk Wajib Pajak dengan status cabang dan Wajib Pajak Orang Pribadi
Pengusaha Tertentu berupa:
a)
b)
c)
fotokopi dokumen izin kegiatan usaha yang diterbitkan oleh instansi yang
berwenang atau surat keterangan tempat kegiatan usaha atau pekerjaan
bebas dari Pejabat Pemerintah Daerah sekurang-kurangnya Lurah atau Kepala
Desa.
Dalam hal Wajib Pajak orang pribadi adalah wanita kawin yang dikenai pajak secara
terpisah karena menghendaki secara tertulis berdasarkan perjanjian pemisahan
penghasilan dan harta, dan wanita kawin yang memilih melaksanakan hak dan
kewajiban perpajakannya secara terpisah, permohonan juga harus dilampiri dengan:
a) fotokopi Kartu Nomor Pokok Wajib Pajak suami;
b) fotokopi Kartu Keluarga; dan
c) fotokopi surat perjanjian pemisahan penghasilan dan harta, atau surat pernyataan
menghendaki melaksanakan hak dan memenuhi kewajiban perpajakan terpisah
dari hak dan kewajiban perpajakan suami.
17
i) Wanita kawin yang memiliki Nomor Pokok Wajib Pajak berbeda dengan Nomor Pokok
Wajib Pajak suami dan pelaksanaan hak dan pemenuhan kewajiban perpajakannya
digabungkan dengan pelaksanaan hak dan pemenuhan kewajiban perpajakan suami;
j) Anak belum dewasa yang telah memiliki Nomor Pokok Wajib Pajak;
k) Wajib Pajak bentuk usaha tetap yang telah menghentikan kegiatan usahanya di
Indonesia;atau
l) Wajib Pajak badan tertentu selain perseroan terbatas dengan status tidak aktif (non
efektif) yang tidak mempunyai kewajiban Pajak Penghasilan dan secara nyata tidak
menunjukkan adanya kegiatan usaha.
Pencabutan pengukuhan Pengusaha Kena Pajak dilakukan oleh Direktur Jenderal Pajak
terhadap:
a. Pengusaha Kena Pajak dengan status Wajib Pajak Non Efektif;
b. Pengusaha Kena Pajak yang tidak diketahui keberadaan dan/atau kegiatan
usahanya;
c. Pengusaha Kena Pajak menyalahgunakan pengukuhan Pengusaha Kena Pajak;
d. Pengusaha Kena Pajak pindah alamat ke wilayah kerja KPP lain;
e. Pengusaha Kena Pajak yang sudah tidak memenuhi persyaratan sebagai
Pengusaha Kena Pajak;
f. Pengusaha Kena Pajak telah dipusatkan tempat terutangnya Pajak Pertambahan
Nilai di tempat lain; atau
g. Pengusaha Kena Pajak yang sudah tidak memenuhi persyaratan subjektif
dan/atau objektif sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan
perpajakan.
Selain persyaratan administratif diatas, dalam penghapusan NPWP dan atau pencabutan
pengukuhan PKP harus memenuhi syarat :
a. Utang pajak yang ada telah dilunasi.
b. Telah dilaksanakan pemeriksaan sederhana lapangan yang hasilnya ditemukan
adanya utang pajak yang tidak dapat ditagih lagi.
Penghapusan NPWP dan atau pencabutan pengukuhan PKP harus diselesaikan dalam
jangka waktu 6 (enam) bulan sejak tanggal diterimanya permohonan secara lengkap oleh
KPP berdasarkan hasil verifikasi atau hasil pemeriksaan. Pasal 25 ayat (3) PER-20/PJ/2013
Penghapusan Nomor Pokok Wajib Pajak dilakukan oleh Direktur Jenderal Pajak apabila:
a. diajukan permohonan penghapusan Nomor Pokok Wajib Pajak oleh Wajib Pajak
dan/atau ahli warisnya apabila Wajib Pajak sudah tidak memenuhi persyaratan
subjektif dan/atau objektif sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan
perpajakan;
b. Wajib Pajak badan dilikuidasi karena penghentian atau penggabungan usaha;
c. Wajib Pajak bentuk usaha tetap menghentikan kegiatan usahanya di Indonesia; atau
18
d. dianggap perlu oleh Direktur Jenderal Pajak untuk menghapuskan Nomor Pokok
Wajib Pajak dari Wajib Pajak yang sudah tidak memenuhi persyaratan subjektif
dan/atau objektif sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan
perpajakan.
Direktur Jenderal Pajak setelah melakukan pemeriksaan harus memberikan
keputusan atas permohonan penghapusan Nomor Pokok Wajib Pajak dalam jangka
waktu 6 (enam) bulan untuk Wajib Pajak orang pribadi atau 12 (dua belas) bulan untuk
Wajib Pajak badan, sejak tanggal permohonan diterima secara lengkap.
Direktur Jenderal Pajak karena jabatan atau atas permohonan Wajib Pajak dapat
melakukan pencabutan pengukuhan Pengusaha Kena Pajak.
Direktur Jenderal Pajak setelah melakukan pemeriksaan harus memberikan
keputusan atas permohonan pencabutan pengukuhan Pengusaha Kena Pajak dalam
jangka waktu 6 (enam) bulan sejak tanggal permohonan diterima secara lengkap.
K. Wakil dan Kuasa Wajib Pajak
Ketentuan mengenai wakil dan kuasa wajib pajak diatur dalam Pasal 32 UU tentang KUP,
yang dapat dijabarkan sebagai berikut:
Dalam menjalankan hak dan memenuhi kewajiban menurut ketentuan peraturan
perundang-undangan perpajakan, Wajib Pajak diwakili, dalam hal:
1. Badan oleh pengurus;
Termasuk dalam pengertian pengurus adalah orang yang nyata-nyata mempunyai
wewenang ikut menentukan kebijaksanaan dan atau mengambil keputusan dalam
menjalankan perusahaan, misalnya berwenang menandatangani kontrak dengan
pihak ketiga, menandatangani cheque, dan sebagainya, walaupun orang tersebut
tidak tercantum namanya dalam susunan pengurus yang tertera dalam akte
pendirian maupun akte perubahan. Termasuk juga Komisaris dan pemegang saham
mayoritas atau pengendali.
2. Badan dalam pembubaran atau pailit oleh orang atau badan yang dibebani dengan
pemberesan;
3. Suatu warisan yang belum terbagi oleh salah seorang ahli warisnya, pelaksana
wasiatnya atau yang mengurus harta peninggalannya;
4. Anak yang belum dewasa atau orang yang berada dalam pengampunan oleh wali
atau pengampunya.
Wakil Wajib Pajak tersebut bertanggungjawab secara pribadi dan atau secara renteng
atas pembayaran pajak yang terutang, kecuali apabila dapat membuktikan dan
meyakinkan Direktur Jenderal Pajak, bahwa mereka dalam kedudukannya benar-benar
tidak mungkin untuk dibebani tanggung jawab atas pajak yang terutang tersebut.
Orang pribadi atau badan dapat menunjuk seorang kuasa dengan surat kuasa khusus
untuk menjalankan hak dan memenuhi kewajiban menurut ketentuan peraturan
perundang-undangan perpajakan, dengan persyaratan sebagai berikut:
19
(empat) kali jumlah pajak terutang yang tidak atau kurang dibayar. (Pasal 39 ayat (1) UU
tentang KUP).
Setiap orang yang melakukan percobaan untuk melakukan tindak pidana
menyalahgunakan atau menggunakan tanpa hak NPWP atau Pengukuhan PKP, atau
menyampaikan SPT dan atau keterangan yang isinya tidak benar atau tidak lengkap
dalam rangka mengajukan permohonan restitusi atau melakukan kompensasi pajak,
dipidana dengan pidana penjara paling singkat 6 (enam) bulan dan paling lama 2 (dua)
tahun dan denda paling sedikit 2 (dua) kali jumlah restitusi yang dimohonkan dan/atau
kompensasi atau pengkreditan yang dilakukan dan paling banyak 4 (empat) kali jumlah
restitusi yang dimohonkan dan/atau kompensasi atau pengkreditan yang dilakukan.
(Pasal 39 ayat 3 UU tentang KUP).
21
E-Registration
22
N. Contoh Soal
1) Dessy bersama kelompok belajar sewaktu kuliah di STAN bermaksud mendirikan
sebuah Yayasan di bidang Pendidikan. Akte pendirian dibuat dihadapan Notaris pada
tanggal 17 Maret 2012 dengan nama Yayasan Anonymous. Kegiatan usaha baru
benar-benar dilaksankan secara aktif pada 28 Desember 2012. Kapan Yayasan
Anonymous harus mendaftarkan diri?
Yayasan Anonymous wajib mendaftarkan diri paling lama 1 bulan setelah saat usaha
mulai dijalankan.
Saat usaha mulai dijalankan adalah saat yang terjadi lebih dulu antara saat pendirian
dan saat usaha nyata-nyata mulai dilakukan.
Saat mulai dijalankan Yayasan Anonymous adalah tanggal 17 Maret 2012.
Jadi Yayasan Anonymous wajib mendaftarkan diri paling lama tanggal 17 April 2012.
2) Arfin seorang bujangan (TK/-) mulai bekerja pada tanggal 1 April 2012 sebagai
karyawan pada sebuah perusahaan swasta dengan penghasilan neto sebulan
Rp2.000.000,-. Kapan Arfin harus mendaftarkan diri?
Karena Arfin belum menikah dan tidak mempunyai tanggungan maka PTKP setahun
adalah Rp15.840.000,Maka pada bulan ke 8 jumlah penghasilan neto Arfin adalah Rp16.000.000,- (telah
melebihi PTKP)
Arfin wajib mendaftarkan diri paling lambat pada akhir bulan berikutnya setelah
bulan memperoleh penghasilan yang jumlahnya telah melebihi PTKP setahun, yaitu
paling lambat akhir bulan Desember 2012.
3) PT Sangkuriang perusahaan yang mengelola rumah makan berdasarkan perjanjian
franchise dengan pemilik merk Mc Donald di Amerika. Akte pendirian dibuat di
hadapan Notaris pada tanggal 1 Januari 2012. Usaha mulai aktif dijalankan pada
tanggal 29 Februari 2012 dan rumah makan dibuka tanggal 1 Maret 2012. Kapan PT
Sangkuriang harus dikukuhkan sebagai PKP?
PT Sangkuriang adalah WP Badan dan wajib mendaftarkan diri untuk memeroleh
NPWP paling lambat 1 bulan setelah tanggal 1 Januari 2012.
PT Sangkuriang adalah Pengusaha, karena dalam kegiatan usaha atau pekerjaannya
melakukan uasaha perdagangan dan memanfaatkan BKP tidak berwujud (franchise)
dari luar daerah pabean.
Namun PT sangkuriang bukan PKP karena yang diserakhan adalah makanan dan
minuman di rumah makan.
Jadi PT sangkuriang tidak wajib melaporkan usahanya untuk dikukuhkan sebagai PKP.
23
BAB III
c.
Pembukuan diselenggarakan dengan prinsip taat asas dan dengan stelsel akrual atau
stelsel kas.
d. Perubahan terhadap metode pembukuan dan/atau tahun buku harus mendapat
persetujuan dari Direktur Jenderal Pajak.
e. Pembukuan sekurang-kurangnya terdiri atas catatan mengenai harta, kewajiban,
modal, penghasilan dan biaya, serta penjualan dan pembelian sehingga dapat
dihitung besarnya pajak yang terutang. Tujuan pembukuan adalah agar dapat
dihitung besarnya pajak yang terutang. Selain dapat dihitung besarnya PPh, pajakpajak lainnya juga harus dapat dihitung dari pembukuan tersebut. Agar PPN dan PPn
BM dapat dihitung dengan benar maka pembukuan harus mencatat juga jumlah
harga perolehan atau nilai impor, jumlah harga jual atau nilai ekspor, jumlah harga
jual dari barang yang dikenakan PPnBM, jumlah pembayaran atas pemanfaatan BKP
tidak berwujud dan atau JKP dari luar daerah Pabean di dalam Daerah Pabean,
jumlah Pajak Masukan yang dapat dikreditkan dan yang tidak dapat dikreditkan.
Dengan demikian pembukuan harus diselenggarakan dengan cara atau sistem yang
lazim dipakai di Indonesia misalnya berdasarkan Standar Akuntansi Keuangan,
kecuali peraturan perundang-undangan perpajakan menentukan lain.
f. Pembukuan dengan menggunakan bahasa asing dan mata uang selain Rupiah dapat
diselenggarakan oleh Wajib Pajak setelah mendapat izin Menteri Keuangan.
g. Pencatatan sebagaimana dimaksud diatas terdiri atas data yang dikumpulkan secara
teratur tentang peredaran atau penerimaan bruto dan/atau penghasilan bruto
sebagai dasar untuk menghitung jumlah pajak yang terutang, termasuk penghasilan
yang bukan objek pajak dan/atau yang dikenai pajak yang bersifat final.
h. Buku, catatan, dan dokumen yang menjadi dasar pembukuan atau pencatatan dan
dokumen lain termasuk hasil pengolahan data dari pembukuan yang dikelola secara
elektronik atau secara program aplikasi on-line wajib disimpan selama 10 (sepuluh)
tahun di Indonesia, yaitu di tempat kegiatan atau tempat tinggal Wajib Pajak orang
pribadi, atau di tempat kedudukan Wajib Pajak badan.
Ketentuan Pencatatan
a. Diselenggarakan dengan memperhatikan itikad baik dan mencerminkan keadan atau
kegiatan usaha yang sebenarnya
b. Diselenggarakan di Indonesia dengan menggunakan huruf Latin, angka Arab, satuan
mata uang Rupiah, dan disusun dalam bahasa Indonesia atau dalam bahasa asing
yang diizinkan oleh Menteri Keuangan.
c. Pencatatan terdiri data yang dikumpulkan secara teratur tentang ; peredaran atau
penerimaan bruto, dan/atau penghasilan bruto sebagai dasar untuk menghitung
jumlah pajak yang terutang, termasuk penghasilan yang bukan obyek pajak dan
penghasilan yang dikenakan pajak yang bersifat final, sehingga dapat dihitung
besarnya pajak yang terutang.
25
Uraian
Jumlah Bruto
Keterangan
Penghasilan Lainnya
Tahun
:
Tanggal
Uraian
Jumlah Bruto
Keterangan
Bentuk (Format) Pencatatan bagi Wajib Pajak Orang Pribadi yang tidak melakukan kegiatan
usaha atau pekerjaan bebas adalah sbb :
Penghasilan Bruto
Tahun
:
Tanggal Uraian
Jumlah Bruto
Keterangan
26
Uraian
Kurs Konversi ke US $
Sisa Kerugian
dalam rupiah
fiskal
Penghitungan
PPh
Terutang sesuai Tarif
Pasal 17 UU Nomor 17
Tahun 2000
- Dalam
berjalan
tahun
Angka-angka mata uang rupiah disajikan dalam ribuan rupiah sedangkan angka-angka
mata uang US$ dalam satuan penuh.
Angsuran PPh Pasal 25 dalam Mata Uang US Dollar :
28
Angsuran PPh yang masih dihitung berdasarkan SPT atau ketetapan pajak tahun
sebelumnya yang masih dalam rupiah dikonversikan ke US Dollar sesuai kurs KMK yang
berlaku pada awal masa pajak ditetapkannya jumlah angsuran PPh Pasal 25 tersebut.
29
BAB IV
Pembayaran Pajak
1.
2.
Pada saat transaksi pembayaran atau penyetoran pajak sebanyak 2 (dua) lembar,
yang berfungsi sama dengan lembar ke-1 dan lembar ke-3 SSP standar;
Terpisah sebanyak 1 (satu) lembar, yang berfungsi sama dengan lembar ke-2 SSP
standar untuk diteruskan ke KPPN sebagai lampiran Daftar Nominatif Penerimaan
(DNP).
SSP khusus hanya dapat digunakan untuk pembayaran pajak oleh wajib pajak
yang telah memiliki NPWP. Pembayaran setoran pajak yang SSP-nya dapat berfungsi
sebagai pengganti bukti potong/ bukti pungut antara lain pembayaran PPN impor, PPN
bendaharawan, PPh pasal 22 impor, PPh pasal 22 bendaharawan, PPh Final atas transaksi
Pengalihan Hak Atas Tanah dan Bangunan, dan PPh final atas Persewaan Tanah dan
Bangunan tidak dapat menggunakan SSP khusus.
Satu SSP standar maupun SSP khusus hanya dapat digunakan untuk pembayaran
satu jenis pajak dan untuk satu masa pajak atau satu tahun pajak/ ketetapan pajak,
dengan menggunakan satu kode MAP dan satu Kode Jenis Setoran.
C. Tempat dan Sistem Pembayaran
Tempat Pembayaran
Wajib pajak wajib membayar atau menyetor pajak yang terutang di kas negara melalui :
1. Kantor Pos;
2. Bank Badan Usaha Milik Negara/Daerah (misal Bank Mandiri, Bank BNI46, Bank BRI,
Bank DKI);
3. Bank-bank yang ditunjuk Direktorat Jenderal Anggaran (misal Bank Lippo, Bank BCA,
Bank BII, Bank Danamon, dsb);
4. Untuk pembayaran fiskal Luar Negeri selain di tempat-tempat tersebut di atas dapat
dilakukan pada loket-loket pembayaran yang telah disediakan di Pelabuhan
keberangkatan.
Direktorat Jenderal Pajak tidak dibenarkan menerima setoran pajak dari Wajib Pajak.
Dengan usaha memperluas tempat pembayaran pajak yang mudah dijangkau oleh wajib
pajak dimaksudkan untuk mempermudah wajib pajak dalam memenuhi kewajibannya
sekaligus menghindarkan adanya rasa keengganan dalam melaksanakan pembayaran
pajak.
Pembayaran Pajak Melalui Sistem Pembayaran On-Line
Wajib pajak dapat melakukan pembayaran sistem On-Line terhitung mulai 1 Januari 2003.
Pembayaran sistem On-Line dapat dilaksanakan melalui:
1. Teller PT Pos Indonesia (Persero)
2. Teller Bank Persepsi/Devisa Persepsi On-Line
3. Fasilitas alat transaksi yang disediakan oleh Bank Persepsi/Devisa Persepsi On-Line
(ATM, Internet Banking, dsb)
4. Fasilitas Cash Management Service (CMS) antara Bank dan Nasabah (Wajib Pajak).
31
5
6
10
11
12
13
14
15
bergerak
dalam
bidang
produksi bahan bakar minyak,
gas, dan pelumas
PPh
Pasal
22
yang
pemungutannya dilakukan oleh
Wajib Pajak badan tertentu
sebagai Pemungut Pajak
PPN atau PPN dan PPnBM yang
terutang dalam satu Masa
Pajak
PPN atau PPN dan PPnBM yang
pemungutannya dilakukan oleh
Bendahara Pemerintah atau
instansi
Pemerintah
yang
ditunjuk
PPN atau PPN dan PPnBM yang
pemungutannya dilakukan oleh
Pemungut
PPN
selain
Bendahara Pemeritah yang
ditunjuk
PPh Pasal 25 bagi Wajib Pajak
dengan kriteria tertentu (Pasal
3 ayat (3b) Undang-undang
KUP)
yang
melaporkan
beberapa Masa Pajak dalam
satu SPT Masa
Pembayaran masa selain PPh
Pasal 25 bagi Wajib Pajak
dengan kriteria tertentu (sesuai
Ps 3 ayat (3b) UU KUP yang
melaporkan beberapa masa
pajak dalam satu SPT Masa
3.
4.
5.
6.
7.
8.
9.
Bagi Wajib Pajak usaha kecil dan Wajib Pajak di daerah tertentu, jangka waktu
pelunasan sebagaimana dimaksud diatas dapat diperpanjang paling lama menjadi 2 (dua)
bulan yang ketentuannya diatur dengan atau berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan.
Apabila wajib pajak tidak mampu membayar atau melunasi pajak yang terutang,
maka Direktur Jenderal Pajak atas permohonan Wajib Pajak dapat memberikan
persetujuan untuk mengangsur atau menunda pembayaran pajak termasuk kekurangan
pembayaran paling lama 12 (dua belas) bulan.
Dalam hal Wajib Pajak diperbolehkan mengangsur atau menunda pembayaran
pajak juga dikenai sanksi administrasi berupa bunga sebesar 2% (dua persen) per bulan
dari jumlah pajak yang masih harus dibayar dan bagian dari bulan dihitung penuh 1 (satu)
bulan.
F. Pemindahbukuan
Dasar Hukum
1. Kep Menkeu Nomor 88/KMK.04/1991 tanggal 24 Januari 1991
2. Kep Dirjen Pajak Nomor KEP-965/PJ.9/1991 tanggal 17 Oktober 1991
3. Surat Edaran Dirjen Pajak Nomor SE-26/PJ.9/1991 tanggal 25 Oktober 1991
Dasar dilakukan Pemindahbukuan
- Adanya Kelebihan Pembayaran pajak yang besarnya dinyatakan dalam SKPLB;
- Telah dilakukan pembayaran pajak yang seharusnya tidak terutang yang besarnya
dinyatakan dalam SKPLB atas pajak yang seharusnya tidak terhutang.
- Adanya surat keputusan lainnya yang menyebabkan timbulnya kelebihan
pembayaran pajak yaitu antara lain ; Surat Keputusan atas permohonan
keberatan/banding yang mengakibatkan kelebihan pembayaran pajak.
- Adanya pembayaran yang lebih besar dari pajak terhutang dalam surat ketetapan
pajak yang mengakibatkan kelebihan pembayaran pajak.
- Adanya pemberian bunga terhadap Wajib Pajak akibat keterlambatan pengembalian
kelebihan pembayaran pajak.
- Adanya kesalahan dalam mengisi SSP baik yang menyangkut Wajib Pajak Sendiri
maupun Wajib Pajak lain.
- Adanya pemecahan setoran pajak yang berasal dari SSP menjadi beberapa jenis pajak
atau setoran dari beberapa Wajib Pajak.
Syarat Formal :
1. Diajukan kepada Kepala KPP yang berwenang melaksanakan pemindahbukuan
2. Diajukan secara tertulis dengan melampirkan :
a. Asli SSP yang akan dipindahbukukan
b. Asli PIUD dalam hal Pbk dilakukan untuk pembayaran PPh Pasal 22 atau PPN
Impor.
c. Daftar Nominatif Wajib Pajak yang menerima Pbk untuk pemecahan SSP oleh
Bendaharawan/Pemotong/ Pemungut
35
3.
36
Pembayaran atau pelunasan pajak yang telah dilaksanakan sendiri oleh Pengusaha
Kena Pajak dan atau melalui pihak lain dalam satu masa pajak, yang ditentukan oleh
ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan yang berlaku.
Bagi Pemotong / Pemungut Pajak
Sebagai sarana untuk melaporkan dan mempertanggungjawabkan pajak yang dipotong
atau dipungut dan disetorkannya.
C. Fungsi SPT
Terdapat dua macam surat pemberitahuan (SPT), yaitu :
a. Surat Pemberitahuan Masa (SPT Masa) yaitu Surat Pemberitahuan untuk suatu Masa
Pajak, terdiri dari:
1. PPh Pasal 21 dan Pasal 26
2. PPh Pasal 22
3. PPh Pasal 23 dan Pasal 26
4. PPh Pasal 25
5. PPh Pasal 4 ayat 2
6. PPh Pasal 15
7. PPN dan PPnBM bagi Pengusaha Kena Pajak
8. PPN bagi Pemungut
b. Surat Pemberitahuan Tahunan (SPT Tahunan) yaitu Surat Pemberitahuan untuk suatu
Tahun Pajak atau bagian Tahun Pajak meliputi:
1. SPT Tahunan PPh WP Badan (SPT 1771 dan SPT 1771$);
2. SPT Tahunan PPh WP Orang Pribadi (SPT 1770, 1770S dan 1770SS);
Bentuk SPT ada 2 macam yaitu :
a. formulir kertas (hardcopy) yaitu SPT dalam bentuk kertas untuk induk dan lampiran
b. e-SPT yaitu SPT dalam bentuk kertas untuk induk SPT dan soft copy untuk lampiran
Induk dan lampiran SPT merupakan bagian yang tidak terpisahkan.
Hot News :
Selama ini terdapat perdebatan mengenai ada tidaknya SPT Tahunan PPh Pasal 21,
karena pada UU KUP yang baru tidak ada ketentuan yang mengatur mengenai SPT
Tahunan PPh Pasal 21. Menurut Pasal 3 ayat (3) UU KUP Nomor 28 tahun 2007 bahwa:
Batas waktu penyampaian Surat Pemberitahuan adalah:
untuk Surat Pemberitahuan Masa, paling lama 20 (dua puluh) hari setelah akhir Masa
Pajak;
untuk Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan Wajib Pajak orang pribadi,
paling lama 3 (tiga) bulan setelah akhir Tahun Pajak; atau
38
untuk Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan Wajib Pajak badan, paling
lama 4 (empat) bulan setelah akhir Tahun Pajak.
D. Tempat Pengambilan SPT Masa/Tahunan
Setiap Wajib Pajak harus mengambil sendiri Surat Pemberitahuan di :
Kantor Pelayanan Pajak (KPP)
Kantor Penyuluhan dan Pengamatan Potensi Perpajakan (KP4)
Kantor Pelayanan Pajak Bumi dan Bangunan
Kantor Wilayah Direktorat Jenderal Pajak;
Kantor Pusat Direktorat Jenderal Pajak; atau
Melalui sistem komputer dengan alamat situs internet atau Homepage Direktorat
Jenderal Pajak, yaitu: http://www.pajak.go.id
mencetak / menggandakan / fotokopi sendiri dengan bentuk dan isi yang sama
dengan aslinya.
SPT yang didapat melalui sistem komputer dan menggandakan sendiri mempunyai
kekuatan hukum yang sama dengan SPT yang diambit dari KPP,KP4, KPPBB, Kanwil DJP,
dan Kantor Pusat DJP
E. Isi SPT
SPT paling sedikit memuat:
1. nama Wajib Pajak, Nomor Pokok Wajib Pajak, dan alamat Wajib Pajak;
2. Masa Pajak, Bagian Tahun Pajak, atau Tahun Pajak yang bersangkutan; dan
3. tanda tangan Wajib Pajak atau kuasa Wajib Pajak.
SPT Tahunan Pajak Penghasilan, selain berisi data sesuai pada huruf a diatas, juga
memuat data mengenai:
1. jumlah peredaran usaha;
2. jumlah penghasilan, termasuk penghasilan yang bukan merupakan objek pajak;
3. jumlah Penghasilan Kena Pajak;
4. jumlah pajak yang terutang;
5. jumlah kredit pajak;
6. jumlah kekurangan atau kelebihan pajak;
7. jumlah harta dan kewajiban;
8. tanggal pembayaran Pajak Penghasilan Pasal 29; dan
9. data lainnya yang terkait dengan kegiatan usaha Wajib Pajak.
SPT Masa Pajak Penghasilan, selain berisi data sesuai huruf a di atas, juga memuat data
mengenai:
1. jumlah objek pajak, jumlah pajak yang terutang, dan/atau jumlah pajak dibayar;
2. tanggal pembayaran atau penyetoran; dan
3. data lainnya yang terkait dengan kegiatan usaha Wajib Pajak.
39
SPT Masa Pajak Pertambahan Nilai selain berisi data sesuai huruf a diatas, juga memuat
data mengenai:
1. jumlah penyerahan;
2. jumlah Dasar Pengenaan Pajak;
3. jumlah Pajak Keluaran;
4. jumlah Pajak Masukan yang dapat dikreditkan;
5. jumlah kekurangan atau kelebihan pajak;
6. tanggal penyetoran; dan
7. data lainnya yang terkait dengan kegiatan usaha Wajib Pajak.
SPT Masa Pajak Pertambahan Nilai bagi Pemungut Pajak Pertambahan Nilai selain berisi
data sesuai dengan huruf a di atas, juga memuat data mengenai:
1. jumlah Dasar Pengenaan Pajak;
2. jumlah pajak yang dipungut;
3. jumlah pajak yang disetor;
4. tanggal pemungutan;
5. tanggal penyetoran; dan
6. data lainnya yang terkait dengan kegiatan usaha Wajib Pajak
F. Penyampaian SPT
Diatur dalam Per-48/PJ./2011 yang mulai berlaku 30 Desember 2011
Wajib Pajak dapat menyampaikan SPT Tahunan dengan cara:
a. langsung;
b. melalui pos dengan bukti pengiriman surat ke Kantor Pelayanan Pajak (KPP) Tempat
Wajib Pajak terdaftar;
c. melalui perusahaan jasa ekspedisi atau jasa kurir dengan bukti pengiriman surat ke
Kantor Pelayanan Pajak (KPP) Tempat Wajib Pajak terdaftar;
d. e-Filing melalui website Direktorat Jenderal Pajak (www.pajak.go.id) atau Penyedia
Jasa Aplikasi/Application Service Provider (ASP).
Penyampaian SPT Tahunan secara langsung dapat dilakukan di TPT atau Pojok
Pajak/Mobil Pajak/ Drop Box di mana saja
Penyampaian SPT Tahunan secara langsung Penyampaian SPT Tahunan secara langsung
harus disampaikan di TPT Kantor Pelayanan Pajak tempat Wajib Pajak terdaftar, dalam
hal:
a. SPT Tahunan lebih bayar;
b. SPT Tahunan pembetulan; dan/atau
c. SPT Tahunan yang disampaikan setelah batas waktu penyampaian SPT;
Penyampaian SPT Tahunan/e-SPT Tahunan secara langsung disampaikan dalam amplop
tertutup yang telah dilekati lembar informasi amplop SPT Tahunan yang berisi data
sebagai berikut:
40
a.
b.
c.
d.
e.
f.
g.
h.
i.
Dalam hal Wajib Pajak mengalami perubahan data, Wajib Pajak harus menempelkan
lembar perubahan data Wajib Pajak pada amplop SPT Tahunan.
G. Tempat Pelaporan di KPP
Penyampaian SPT Masa :
a. PPh Pasal 21, yang menyampaikan Pemotong PPh Pasal 21, disampaikan paling
lambat tanggal 20 setelah akhir masa pajak.
b. PPh Pasal 22, yang menyampaikan Bea Cukai, disampaikan paling lambat 7 hari
setelah penyetoran.
c. PPh Pasal 22 Bendaharawan, yang menyampaikan bendaharawan, disampaikan
paling lambat tanggal 14 setelah akhir masa pajak.
d. PPh Pasal 23/26, yang menyampaikan Pemotong PPh Pasal 23/26, disampaikan
paling lambat tanggal 20 setelah akhir masa pajak.
e. PPN dan PPnBM, yang menyampaikan Pengusaha Kena Pajak, disampaikan paling
lambat tanggal 20 setelah akhir masa pajak.
f. PPN dan PPnBM Bea Cukai, yang menyampaikan Bea Cukai, disampaikan paling
lambat 7 hari setelah penyetoran.
Dalam hal batas akhir pelaporan bertepatan dengan hari libur termasuk hari sabtu atau
hari libur nasional, pelaporan dapat dilakuakan pada hari kerja berikutnya. Hari libur
nasional termasuk hari yang diliburkan untuk penyelenggaraan Pemilihan Umum yang
ditetapkan oleh Pemerintah dan cuti bersama secara nasional yang ditetapkan oleh
Pemerintah
Wajib Pajak dengan kriteria tertentu dapat melaporkan beberapa Masa Pajak dalam 1
(satu) Surat Pemberitahuan Masa (diatur di Pasal 3 ayat 3a UU KUP).
Wajib Pajak dengan kriteria tertentu, antara lain Wajib Pajak usaha kecil, dapat:
a. menyampaikan Surat Pemberitahuan Masa Pajak Penghasilan Pasal 25 untuk beberapa
Masa Pajak sekaligus dengan syarat pembayaranseluruh pajak yang wajib dilunasi
menurut Surat Pemberitahuan Masa tersebut dilakukan sekaligus paling lama dalam
Masa Pajak yang terakhir; dan/atau
41
b. menyampaikan Surat Pemberitahuan Masa selain yang disebut pada huruf a untuk
beberapa Masa Pajak sekaligus dengan syarat pembayaran untuk masing-masing Masa
Pajak dilakukan sesuai batas waktu untuk masa Pajak yang bersangkutan
H. Jangka Waktu Penyampaian SPT Tahunan
a. untuk Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan Wajib Pajak orang pribadi,
paling lama 3 (tiga) bulan setelah akhir Tahun Pajak; atau
c. untuk Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan Wajib Pajak badan, paling
lama 4 (empat) bulan setelah akhir Tahun Pajak.
I. Perpanjangan Jangka Waktu Penyampaian SPT Tahunan
Pemberitahuan Perpanjangan SPT Tahunan disampaikan:
a. secara langsung;
b. melalui pos dengan bukti pengiriman surat; atau
c. dengan cara lain.
1. melalui perusahaan jasa ekspedisi atau jasa kurir dengan bukti pengiriman surat;
atau
2. e-Filling.
Penyampaian Pemberitahuan Perpanjangan SPT Tahuna secara langsung diberikan tanda
penerimaan surat dan penyampaian Pemberitahuan Perpanjangan SPT Tahunan
sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf b diberikan Bukti Penerimaan Elektronik.
Bukti pengiriman surat atau tanda penerimaan surat serta Bukti Penerimaan Elektronik
menjadi bukti penerimaan Pemberitahuan Perpanjangan SPT Tahunan.
Batas waktu penyampaian SPT Tahunan adalah:
a. untuk SPT Tahunan Pajak Penghasilan Wajib Pajak orang pribadi, paling lama 3 (tiga)
bulan setelah akhir Tahun Pajak; atau
b. untuk SPT Tahunan Pajak Penghasilan Wajib Pajak badan, paling lama 4 (empat) bulan
setelah akhir Tahun Pajak.
Wajib Pajak dapat memperpanjang jangka waktu penyampaian SPT Tahunan untuk paling
lama 2 (dua) bulan sejak batas waktu penyampaian SPT Tahunan dengan cara
menyampaikan Pemberitahuan Perpanjangan SPT Tahunan.
Syarat perpanjangan penyampaian SPT Tahunan
Syarat Pemberitahuan Perpanjangan SPT Tahunan dibuat secara tertulis dan disampaikan
Dikantor Pelayanan Pajak, sebelum batas waktu penyampaian SPT Tahunan terakhir,
dengan dilampiri:
a. Penghitungan sementara pajak terutang dalam 1(satu) Tahun Pajak yang batas waktu
penyampaiannya diperpanjang;
42
43
b. Wajib Pajak orang pribadi tidak menjalankan kegiatan usaha atau melakukan
pekerjaan bebas dikecualikan dari kewajiban menyampaikan SPT Masa Pajak
Penghasilan Pasal 25.
K. Pembetulan SPT
Wajib Pajak dengan kemauan sendiri dapat membetulkan Surat Pemberitahuan
yang telah disampaikan dengan menyampaikan pernyataan tertulis, dengan syarat
Direktur Jenderal Pajak belum melakukan tindakan pemeriksaan.
Dalam hal pembetulan Surat Pemberitahuan menyatakan rugi atau lebih bayar,
pembetulan Surat Pemberitahuan harus disampaikan paling lama 2 (dua) tahun sebelum
daluwarsa penetapan.
Akibat Administratif Pembetulan SPT Tahunan
Dalam hal Wajib Pajak membetulkan sendiri Surat Pemberitahuan Tahunan yang
mengakibatkan utang pajak menjadi lebih besar, kepadanya dikenai sanksi administrasi
beruba bunga sebesar 2% per bulan atas jumlah pajak yang kurang dibayar, dihitung sejak
saat penyampaian Surat Pemberitahuan Berakhir sampai dengan tanggal pembayaran,
dan bagian dari bulan dihitung penuh 1 bulan. (Pasal 8 ayat (2) UU KUP)
Dalam hal Wajib Pajak membetulkan Surat Pemberitahuna Masa yang mengakibatkan
utang pajak menjadi lebih besar, kepadanya dikenai sanksi administrasi berupa bunga
sebesar 2% per bulan atas jumlah yang kurang dibayar, dihitung sejak jatuh tempo
pembayaran, dan bagian bulan dihitung penuh 1 bulan. (Pasal 8 ayat (2a) UU KUP)
Sanksi yang Berkaitan dengan Mengungkapkan Ketidakbenaran
Walaupun telah dilakukan tindakan pemeriksaan, tetapi belum dilakukan tindakan
penyidikan mengenai adanya ketidakbenaran yang dilakukan Wajib Pajak sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 38, terhadap ketidakbenaran perbuatan Wajib Pajak tersebut
tidak akan dilakukan penyidikan, apabila Wajib Pajak dengan kemauan sendiri
mengungkapkan ketidakbenaran perbuatannya tersebut dengan disertai pelunasan
kekurangan pembayaran jumlah pajak yang sebenarnya terutang beserta sanksi
administrasi berupa denda sebesar 150% (seratus lima puluh persen) dari jumlah pajak
yang kurang dibayar. (Pasal 8 ayat (3) UU KUP)
Walaupun Direktur Jenderal Pajak telah melakukan pemeriksaan, dengan syarat
Direktur Jenderal Pajak belum menerbitkan surat ketetapan pajak, Wajib Pajak dengan
kesadaran sendiri dapat mengungkapkan dalam laporan tersendiri tentang
ketidakbenaran pengisian Surat Pemberitahuan yang telah disampaikan sesuai keadaan
yang sebenarnya, yang dapat mengakibatkan:
a.
pajak-pajak yang masin harus dibayar menjadi lebih besar atau lebih kecil;
b.
rugi berdasarkan ketentuan perpajakan menjadi lebih kecil atau lebih besar;
c.
Jumlah harta menjadi lebih besar atau lebih kecil; atau
44
d.
jumlah modal menjadi lebih besar atau lebih kecil dan proses pemeriksaan tetap
dilanjutkan.
Pajak yang kurang dibayar yang timbul sebagai akibat dari pengungkapan ketidakbenaran
pengisian Surat Pemberitahuan di atas beserta sanksi administrasi berupa kenaikan
sebesar 50% (lima puluh persen) dari pajak yang kurang dibayar, harus dilunasi oleh
Wajib Pajak sebelum laporan tersendiri dimaksud disampaikan.
Wajib Pajak dapat membetulkan Surat Pemberitahuan Tahunan yang telah disampaikan,
dalam hal Wajib Pajak menerima surat ketetapan pajak, Surat Keputusan Keberatan,
Surat Keputusan Pembetulan, Putusan Banding, atau Putusan Peninjauan Kembali Tahun
Pajak sebelumnya atau beberapa Tahun Pajak sebelumnya, yang menyatakan rugi fiskal
yang berbeda dengan rugi fiskal yang telah dikompensasikan dalam Surat Pemberitahuan
Tahunan yang akan dibetulkan tersebut, dalam jangka waktu 3 (tiga) bulan setelah
menerima surat ketetapan pajak, Surat Keputusan Keberatan, Surat Keputusan
Pembetulan, Putusan Banding, atau Putusan Peninjauan Kembali, dengan syarat Direktur
Jenderal Pajak belum melakukan tindakan pemeriksaan.
L. Sanksi yang Berhubungan dengan Penyampaian SPT
Sanksi Terlambat Atau Tidak Menyampaikan Surat Pemberitahuan:
SPT yang tidak disampaikan dalam jangka waktu yang ditentukan (terlambat), dikenakan
sanksi administrasi berupa denda (Denda pasal 7 KUP):
1. Rp 100.000,00 untuk SPT Masa PPh
2. Rp 500.000,00 untuk SPT Masa PPN
3. Rp 100.000,00 untuk SPT Tahunan PPh Orang Pribadi
4. Rp1.000.000,00 untuk SPT Tahunan PPh Badan
Pengenaan sanksi administrasi berupa denda tidak dilakukan terhadap:
a. Wajib Pajak orang pribadi yang telah meninggal dunia;
b. Wajib Pajak orang pribadi yang sudah tidak melakukan kegiatan usaha atau
pekerjaan bebas;
c. Wajib Pajak orang pribadi yang berstatus sebagai warga negara asing yang tidak
tinggal lagi di Indonesia;
d. Bentuk Usaha Tetap yang tidak melakukan kegiatan lagi di Indonesia;
e. Wajib Pajak badan yang tidak melakukan kegiatan usaha lagi tetapi belum
dibubarkan sesuai dengan ketentuan yang berlaku;
f. Bendahara yang tidak melakukan pembayaran lagi;
g. Wajib Pajak yang terkena bencana, yang ketentuannya diatur dengan Peraturan
Menteri Keuangan; atau
h. Wajib Pajak lain yang diatur dengan atau berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan.
45
46
BAB VI
pelaksanaan
perpajakan
b.
c.
d.
1)
2)
3)
e.
f.
Pemeriksaan
dengan jenis
untuk
menguji
Pemeriksaan
kepatuhan
Lapangan,
pemenuhan
Wajib
Pajak
kewajiban
wajib:a.
51
BAB VII
Penetapan Pajak
A. Pendahuluan
Sesuai dengan jiwa self assessment, Wajib Pajak mempunyai kewajiban untuk
menghitung, memperhitungkan, membayar dan melaporkan sendiri kewajiban
perpajakannya. Produk akhir dari sistem ini adalah penyampian Surat Pemberitahuan (SPT)
oleh Wajib Pajak. Dengan demikian SPT merupakan sarana pertanggungjawaban sekaligus
pelaporan kewajiban self assessment tersebut. Ketika misalnya seseorang (subjek pajak)
memperoleh penghasilan yang berdasarkan hukum pajak materiil (UU PPh) terutang pajak
(sehingga ia disebut Wajib Pajak) berdasarkan sistem tersebut selanjutnya ia menghitung
sendiri berapa pajak yang menjadi kewajibannya, membayarnya ke Kas Negara,
memperhitungkannya sekaligus melaporkannya pada akhir masa pajak melalui SPt. Aktivitas
tersebut dilaksanakan dengan tidak menggantungkan kepada adanya surat ketetapan pajak.
Dengan demikian Direktur Jenderal Pajak tidak berkewajiban untuk menerbitkan Surat
Ketetapan Pajak atas semua SPt yang disampaikan Wajib Pajak. Penerbitan suatu surat
ketetapan pajak hanya terbatas kepada wajib pajak tertentu yang disebabkan oleh
ketidakbenaran dalam pengisian SPT atau karena ditemukannya data fiskal yang tidak
dilaporkan oleh wajib pajak.
Konsekuensi dari sistem ini adalah bahwa ketika SPt disampaikan oleh Wajib Pajak
maka SPt tersebut dianggap benar (artinya jumlah pajak yang terutang telah sesuai
dengan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan), kecuali DJP mempunyai
bukti lain, maka DJP berwenang menetapkan jumlah pajak terutang yang semestinya. Bukti
tersebut bisa diperoleh DJP berdasarkan hasil pemeriksaan atau berdasarkan keterangan
lain. (Pasal 12 UU KUP)
Apabila dalam jangka waktu 5 tahun DJP tidak mempunyai bukti dimaksud yaitu
tidak dilakukan pemeriksaan atau tidak ada keterangan lain, maka SPT yang telah
disampaikan oleh WP tersebut dinyatakan benar dan mempunyai ketetapan hukum yang
pasti.
B. Fungsi Surat Ketetapan Pajak
a. Sarana untuk melakukan koreksi fiskal terhadap WP tertentu yang nyata-nyata atau
berdasarkan hasil pemeriksaan tidak memenuhi kewajiban formal dan atau kewajiban
material dalam memenuhi ketentuan perpajakan.
b. Sarana untuk mengenakan sanksi administrasi perpajakan.
c. Sarana administrasi untuk melakukan penagihan pajak.
d. Sarana untuk mengembalikan kelebihan pajak dalam hal lebih bayar.
e. Sarana untuk memberitahukan jumlah pajak yang terutang.
C. Fungsi Surat Tagihan Pajak
a. Sebagai koreksi atas jumlah pajak yang terutang menurut SPT Wajib Pajak.
b. Sarana untuk mengenakan sanksi berupa bunga atau denda.
c. Sarana untuk menagih pajak.
52
SKPKB dapat diterbitkan meskipun jangka waktu 5 tahun setelah saat terutangnya pajak
atau berakhirnya Masa Pajak, bagian Tahun Pajak, atau Tahun Pajak, tidak diterbitkan surat
ketetapan pajak, dalam hal wajib pajak dipidana karena melakukan tindak pidana di bidang
perpajakan oleh pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap. Atas jumlah
pajak yang terutang dikenakan sanksi bunga 48% dari jumlah pajak yang tidak atau kurang
dibayar.
SKPKB dapat juga diterbitkan apabila Wajib Pajak yang karena kealpaanya tidak
menyampaikan Surat Pemberitahuan atau menyampaikan Surat Pemberitahuan, tetapi
isinya tidak benar atau tidak lengkap, atau melampirkan keterangan yang isinya tidak
benar sehingga dapat menimbulkan kerugian pada pendapatan negara, tidak dikenai sanksi
pidana apabila kealpaan tersebut pertama kali dilakukan oleh Wajib Pajak dan Wajib Pajak
tersebut wajib melunasi kekurangan pembayaran jumlah pajak yang terutang beserta
sanksi administrasi berupa kenaikan sebesar 200% (dua ratus persen) dari jumlah pajak
yang kurang dibayar.
F. Surat Tagihan Pajak (STP)
STP adalah surat untuk melakukan tagihan pajak dan atau sanksi administrasi berupa
bunga dan/atau denda.
Surat Tagihan Pajak mempunyai kekuatan hukum yang sama dengan surat ketetapan
pajak, sehingga dalam hal penagihannya dapat juga dilakukan dengan Surat Paksa.
Berdasarkan Pasal 14 UU KUP, Direktorat Jenderal Pajak dapat menerbitkan STP apabila:
a. Pajak Penghasilan dalam tahun berjalan tidak atau kurang dibayar;
b. dari hasil penelitian terdapat kekurangan pembayaran pajak sebagai akibat salah tulis
dan/atau salah hitung;
c. Wajib Pajak dikenai sanksi administrasi berupa denda dan/atau bunga;
d. pengusaha yang telah dikukuhkan sebagai Pengusaha Kena Pajak, tetapi tidak membuat
faktur pajak atau membuat faktur pajak, tetapi tidak tepat waktu;
e. pengusaha yang telah dikukuhkan sebagai Pengusaha Kena Pajak yang tidak mengisi
faktur pajak secara lengkap sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 ayat (5) UndangUndang Pajak Pertambahan Nilai 1984 dan perubahannya, selain:
1. identitas pembeli sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 ayat (5) huruf b UndangUndang Pajak Pertambahan Nilai 1984 dan perubahannya; atau
2. identitas pembeli serta nama dan tandatangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal
13 ayat (5) huruf b dan huruf g Undang-Undang Pajak Pertambahan Nilai 1984 dan
perubahannya, dalam hal penyerahan dilakukan oleh Pengusaha Kena Pajak
pedagang eceran;
f. Pengusaha Kena Pajak melaporkan faktur pajak tidak sesuai dengan masa penerbitan
faktur pajak; atau
55
g. Pengusaha Kena Pajak yang gagal berproduksi dan telah diberikan pengembalian Pajak
Masukan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (6a) Undang-Undang Pajak
Pertambahan Nilai 1984 dan perubahannya
Untuk huruf a dan b selain membayar Pajak terutang yang kurang dibayar juga dikenakan
sanksi administrasi berupa bunga sebesar 2% (dua persen) per bulan untuk paling lama 24
(dua puluh empat) bulan, dihitung sejak saat terutangnya pajak atau berakhirnya Masa
Pajak, bagian Tahun Pajak, atau Tahun Pajak sampai dengan diterbitkannya Surat Tagihan
Pajak
Untuk huruf d, e dan f atas Pajak yang terutang, Pengusaha Kena Pajak (PKP) dikenakan
sanksi administrasi berupa denda sebesar 2% (dua persen) dari Dasar Pengenaan Pajak
Untuk huruf g, terhadap Pengusaha Kena Pajak dikenai sanksi administrasi berupa bunga
sebesar 2% (dua persen) per bulan dari jumlah pajak yang ditagih kembali, dihitung dari
tanggal penerbitan Surat Keputusan Pengembalian Kelebihan Pembayaran Pajak sampai
dengan tanggal penerbitan Surat Tagihan Pajak, dan bagian dari bulan dihitung penuh 1
(satu) bulan
Contoh Penerbitan Surat Tagihan Pajak :
1. Tn. Billy menyampaikan SPT Masa Pajak Penghasilan Pasal 21 Masa Februari 2009
dengan kondisi kurang bayar sebesar Rp120.000 pada tanggal 20 Maret 2009. Dari hasil
penelitian ternyata seharusnya kurang bayar adalah sebesar Rp210.000. STP diterbitkan
pada tanggal 10 Mei 2009.
Penghitungan atas STP :
Pokok Pajak yang kurang dibayar :
Rp90.000
Sanksi administrasi berupa bunga : 90.000 x 2% x 3
Rp 5.400
Pajak yang masih harus dibayar
Rp95.400
Penghitungan 3 bulan adalah sejak berakhirnya masa pajak sampai dengan
diterbitkannya Surat Tagihan Pajak
2. PT. Minahasa Makmur adalah Pengusaha Kena Pajak (PKP) yang melakukan penjualan
BKP dengan harga jual Rp350.000 pada masa Maret 2009. Atas penjualan tersebut tidak
diterbitkan faktur pajak. Atas hal tersebut dapat diterbitkan STP dengan sanksi sebesar
Rp350.000 x 2% = Rp7.000. Selain itu apabila dilakukan penelitian atau pemeriksaan,
Wajib Pajak dapat dikenakan sanksi administrasi berupa bunga karena kekurangan
bayar atas PPNnya.
G. Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar Tambahan (SKPKBT)
SKPKBT adalah surat ketetapan pajak yang menentukan tambahan atas jumlah pajak yang
telah ditetapkan (dalam surat ketetapan pajak yang telah diterbitkan sebelumnya).
Ketentuan mengenai SKPKBT diatur dalam Pasal 15 UU KUP, yaitu:
56
(1) Direktur Jenderal Pajak dapat menerbitkan SKPKBT dalam jangka waktu 5 tahun
sesudah saat pajak terutang, berakhirnya masa pajak, bagian tahun pajak atau tahun
pajak, apabila ditemukan data baru (novum) dan atau data yang semula belum
terungkap yang mengakibatkan penambahan jumlah pajak yang terutang.
Data baru dan data yang semula belum terungkap;
SKPKBT merupakan koreksi atas Ketetapan Pajak sebelumnya. SKPKBT baru
diterbitkan apabila telah pernah diterbitkan Ketetapan Pajak. Penerbitan SKPKBT dilakukan
dengan syarat adanya data baru dan atau data yang semula belum terungkap yang
menyebabkan penambahan pajak yang terutang dalam surat ketetapan pajak sebelumnya.
Sejalan dengan itu maka setelah SKPLB diterbitkan sebagai akibat telah lewat waktu 12
bulan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17B UU KUP, SKPKBT diterbitkan hanya dalam
hal ditemukan data baru dan atau data yang semula belum terungkap. Dalam hal masih
ditemukan lagi data yang semula belum terungkap pada saat diterbitkannya SKPKBT, dan
atau data baru yang diketahui kemudian oleh fiskus, SKPKBT masih dapat diterbitkan lagi.
Data baru adalah data atau keterangan tentang segala sesuatu yang diperlukan
untuk menghitung besarnya jumlah pajak yang terutang yang oleh WP belum
diberitahukan pada waktu penetapan semula, baik dalam SPT dan lampiran-lampirannya
maupun dalam pembukuan perusahaan yang diserahkan dalam pemeriksaan.
Sedangkan data yang semula belum terungkap adalah data atau keterangan lain
mengenai segala sesuatu yang diperlukan untuk menghitung besarnya jumlah pajak yang
terutang, yang;
a. tidak diungkapkan oleh WP dalam SPT beserta lampiran-lampirannya (termasuk laporan
keuangan); dan atau
b. pada waktu pemeriksaan untuk penetapan semula WP tidak mengungkapkan data dan
atau memberikan keterangan lain secara benar, lengkap dan terinci sehingga tidak
memungkinkan fiskus dapat menerapkan ketentuan peraturan perundang-undangan
perpajakan dengan benar dalam menghitung jumlah pajak yang terutang.
Walaupun Wajib Pajak telah memberitahukan dalam Surat Pemberitahuan atau
mengungkapkan pada waktu pemeriksaan, akan tetapi apabila memberitahukannya atau
mengungkapkannya dengan cara sedemikian rupa sehingga membuat fiskus tidak mungkin
menghitung besarnya jumlah pajak yang terutang secara benar sehingga jumlah pajak yang
terutang ditetapkan kurang dari yang seharusnya, maka hal tersebut termasuk dalam
pengertian data yang semula belum terungkap, misalnya:
1. Dalam SPT dan atau laporan keuangan tertulis adanya biaya iklan Rp10.000.000,00
sedangkan sesungguhnya biaya tersebut terdiri dari Rp5.000.000,00 biaya iklan di
media masa dan Rp5.000.000,00 sisanya adalah sumbangan atau hadiah. Apabila pada
saat penetapan semula Wajib Pajak tidak mengungkapkan perincian tersebut sehingga
fiskus tidak melakukan koreksi atas pengeluaran berupa sumbangan atau hadiah,
sehingga pajak yang terutang tidak dapat dihitung secara benar, maka data mengenai
57
2.
3.
pengeluaran berupa sumbangan atau hadiah tersebut adalah tergolong data yang
semula belum terungkap.
Dalam SPT dan atau laporan keuangan disebutkan pengelompokan harta tetap yang
disusutkan tanpa disertai dengan perincian harta pada setiap kelompok yang
dimaksud, demikian pula pada saat pemeriksaan untuk penetapan semula Wajib Pajak
tidak mengungkapkan perincian tersebut, sehingga fiskus tidak dapat meneliti
kebenaran pengelompokan dimaksud. Dalam pengelompokan tersebut sesungguhnya
terdapat kesalahan, misalnya harta yang seharusnya termasuk dalam kelompok harta
berwujud bukan bangunan kelompok 3 dikelompokkan ke dalam kelompok 2. Oleh
karena pada saat penetapan semula Wajib Pajak tidak mengungkapkan perincian yang
dimaksud maka tidak dilakukan koreksi atas kesalahan pengelompokan harta tersebut,
dan sebagai akibatnya pajak yang terutang tidak dapat dihitung secara benar. Apabila
kemudian diketahui adanya kesalahan, maka data pengelompokan harta tersebut
adalah data yang semula belum terungkap.
Pengusaha Kena Pajak (PKP) melakukan pembelian sejumlah barang dari PKP lain dan
atas pembelian tersebut oleh PKP penjual diterbitkan Faktur Pajak. Barang-barang
tersebut sebagian digunakan untuk kegiatan yang mempunyai hubungan langsung
dengan kegiatan usahanya dan sebagian lain tidak mempunyai hubungan langsung.
Seluruh Faktur Pajak tersebut dikreditkan sebagai Pajak Masukan oleh PKP pembeli.
Apabila pada saat penetapan semula PKP tidak mengungkapkan perincian penggunaan
barang tersebut dengan benar sehingga tidak dilakukan koreksi atas pengkreditan
Pajak Masukan tersebut, dan sebagai akibatnya PPN yang terutang tidak dapat
dihitung secara benar, maka apabila kemudian diketahui adanya data atau keterangan
tentang kesalahan mengkreditkan Pajak Masukan yang tidak mempunyai hubungan
langsung dengan kegiatan usaha dimaksud, data atau keterangan tersebut merupakan
data yang semula belum terungkap.
(2) Jumlah pajak yang terutang dalam Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar Tambahan,
ditambah dengan sanksi administrasi berupa kenaikan 100% dari jumlah kekurangan
pajak tersebut.
(3) Kenaikan sebesar 100% tersebut tidak dikenakan apabila SKPKBT tersebut diterbitkan
berdasarkan keterangan tertulis dari wajib pajak atas kehendak sendiri, dengan syarat
Dirjen Pajak belum mulai malakukan tindakan pemeriksaan.
(4) Apabila jangka waktu 5 tahun tersebut telah lewat, SKPKBT tetap dapat diterbitkan
ditambah sanksi bunga sebesar 48% dari jumlah yang tidak atau kurang dibayar, dalam
hal Wajib Pajak setelah lewat 10 tahun tersebut dipidana karena melakukan tindak
pidana di bidang perpajakan berdasarkan putusan pengadilan yang telah memperoleh
kekuatan hukum tetap.
58
1> kecuali telah mendapat izin untuk mengangsur atau menunda pembayaran pajak;
2> tidak termasuk tunggakan pajak sehubungan dengan STP yang diterbitkan untuk 2
(dua) masa pajak terakhir;
e. tidak pernah dijatuhi hukuman karena melakukan tindak pidana di bidang perpajakan
dalam jangka waktu 10 (sepuluh) tahun terakhir; dan
f. dalam hal laporan keuangan diaudit oleh akuntan publik atau Badan Pengawas
Keuangan dan Pembangunan harus dengan pendapat wajar tanpa pengecualian atau
dengan pendapat wajar dengan pengecualian sepanjang pengecualian tersebut tidak
mempengaruhi laba rugi fiskal.
Wajib Pajak dengan kriteria tersebut selanjutnya akan ditetapkan oleh DJP sebagai Wajib
Pajak Patuh. Untuk syarat huruf f dalam hal Laporan Keuangan tidak diaudit oleh akuntan
publik, maka Wajib Pajak dapat ditetapkan sebagai Wajib Pajak Kriteria Tertentu sepanjang
memenuhi syarat huruf a, b, c, d dan e, serta syarat lainnya yang ditetapkan oleh Direktur
Jenderal Pajak, yaitu sebagai berikut :
a. dalam dua tahun terakhir menyelenggarakan pembukuan sebagaimana dimaksud
dalam pasal 28 UU KUP;
b. apabila dalam dua tahun terakhir Wajib Pajak pernah dilakukan pemeriksaan, maka
koreksi fiskal untuk setiap jenis pajak yang terutang tidak lebih dari 10% (lima persen).
I. Surat Ketetapan Pajak Lebih Bayar (SKPLB)
SKPN adalah surat ketetapan pajak yang menentukan jumlah pokok pajak sama besarnya
dengan jumlah kredit pajak atau pajak tidak terutang dan tidak ada kredit pajak.
Direktur Jenderal Pajak setelah melakukan pemeriksaan, menerbitkan Surat Ketetapan
Pajak Nihil apabila jumlah kredit pajak atau jumlah pajak yang dibayar sama dengan jumlah
pajak yang terutang, atau pajak tidak terutang dan tidak ada kredit pajak atau tidak ada
pembayaran pajak. (Pasal 17A UU KUP)
J. Contoh Soal
1. PT Meong adalah Wajib Pajak Badan yang melakukan kegiatan perdagangan hewan
peliharaan, menyampaikan SPT PPh Badan tahun 2010 pada tanggal 30 April 2011,
dengan rincian sebagai berikut :
Penghasilan Neto
: Rp 125.000.000.000,PPh Terutang
: Rp 31.250.000.000,Kredit Pajak
: Rp 25.400.000.000,PPh yang kurang dibayar
: Rp 5.850.000.000,Kekurangan (PPh Pasal 29) tersebut dibayar tanggal 28 April 2011
Apabila berdasarkan hasil pemeriksaan ternyata penghasilan neto seharusnya
Rp150.000.000.000,- sehingga PPh terutang seharusnya adalah Rp37.500.000.000,60
61
62
BAB VIII
Penagihan Pajak
Tindakan penagihan pajak dapat dilakukan terhadap Penanggung Pajak karena yang
bersangkutan mempunyai utang pajak yang tidak dibayar atas suatu atau beberapa surat
ketetapan pajak yang telah jatuh tempo (1 bulan sejak tanggal penerbitan). Utang pajak
adalah pajak yang masih harus dibayar termasuk sanksi administrasi berupa bunga,
denda atau kenaikan yang tercantum dalam surat ketetapan pajak atau surat sejenisnya
berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan.
A. Utang Pajak
Dalam Pasal 4 Peraturan Menteri Keuangan Republik Indonesia Nomor 24/PMK.03/2008
jo PMK-85/PMK.03/2010 tentang Tata Cara Pelaksanaan Penagihan dengan Surat Paksa
dan Pelaksanaan Penagihan Seketika dan Sekaligus dijelaskan bahwa utang pajak adalah
pajak yang masih harus dibayar termasuk sanksi administrasi sebagaimana ditetapkan
dalam Surat Tagihan Pajak (STP), Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar (SKPKB), Surat
Ketetapan Pajak Kurang Bayar Tambahan (SKPKBT), Surat Tagihan Pajak Pajak Bumi
dan Bangunan (STPPBB), Surat Tagihan Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan
(STB), Surat Ketetapan Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan (SKBKB), Surat
Ketetapan Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan Tambahan (SKBKBT), Surat
Keputusan Pembetulan, Surat Keputusan Keberatan, Putusan Banding, atau Putusan
Peninjauan Kembali yang menyebabkan jumlah pajak yang harus dibayar bertambah.
B. Penanggung Pajak
Penanggung pajak adalah orang pribadi atau badan yang bertanggung jawab atas
pembayaran pajak, termasuk wakil yang menjalankan hak dan memenuhi kewajiban
Wajib Pajak atau orang yang nyata-nyata ikut dalam menjalankan jalannya perusahaan
walaupun tidak ada dalam susunan pengurus perusahaan, menurut peraturan
perundang-undangan perpajakan.
Tindakan penagihan pajak berupa sita dapat dilakukan terhadap harta pribadi milik
penanggung pajak apabila petugas pajak (jurusita pajak) tidak dapat menemukan harta
yang dapat disita ditempat kedudukan dan atau tempat usaha Wajib Pajak
1.
2.
Pajak yang masih harus dibayar dalam Surat Tagihan Pajak, Surat Ketetapan Pajak
Kurang Bayar, Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar Tambahan, dan Surat Keputusan
Pembetulan, Surat Keputusan Keberatan, Putusan Banding yang menyebabkan
jumlah pajak yang harus dibayar bertambah;
Kekurangan pembayaran Pajak Penghasilan yang masih harus dibayar dalam Surat
Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 29
Undang-undang Pajak Penghasilan
E. Proses penagihan
64
No.
JENIS TINDAKAN
ALASAN
WAKTU
PELAKSANAAN
Setelah 7 (tujuh)
hari sejak saat
jatuh tempo
1.
Penerbitan Surat
Teguran atau Surat
Peringatan atau surat
lain yang sejenis
(Pasal 8 sampai dengan
Pasal 11 Peraturan
Menteri Keuangan
Nomor:
24/PMK.03/20
08)
Penanggung Pajak
tidak melunasi utang
pajaknya sampai
dengan jatuh tempo
2.
Penanggung Pajak
tidak melunasi utang
pajaknya dan
kepadanya telah
diterbitkan Surat
Teguran atau Surat
Peringatan atau surat
lain yang sejenis
Setelah lewat 21
hari sejak di
terbitkannya
Surat Teguran
atau Surat
Peringatan atau
surat lain yang
sejenis
3.
Penerbitan Surat
Perintah Melaksanakan
Penyitaan
(Pasal 12 UU
No.19/2000)
Penanggung Pajak
tidak melunasi utang
pajaknya
dan kepadanya telah
diberitahukan Surat
Paksa
Setelah lewat
2x24 jam Surat
Paksa
diberitahukan
kepada
Penanggung Pajak
4.
Pengumuman Lelang
(Pasal 26 Peraturan
Menteri Keuangan
Nomor:
24/PMK.03/2008)
Setelah pelaksanaan
penyitaan ternyata
Penanggung Pajak
tidak melunasi utang
pajaknya
Setelah lewat
waktu
14 (empat belas)
hari seja tanggal
pelaksanaan
penyitaan
5.
Penjualan/Pelelangan
Barang Sitaan
(UU No.19/2000 Pasal
26) Pasal 28 Peraturan
Menteri
KeuanganNomor:
24/PMK.03/2008)
Setelah pengumuman
lelang ternyata
Penangung Pajak
tidak melunasi utang
pajaknya
Setelah lewat
waktu 14 (empat
belas) hari sejak
Pengumuman
Lelang
65
2.
3.
4.
5.
6.
Dalam hal WP tidak menyetujui sebagian atau seluruh jumlah pajak yang
masih harus dibayar dalam pembahasan akhir hasil pemeriksaan, dan WP
mengajukan permohonan banding atas keputusan keberatan sehubungan
dengan SKPKB atau SKPKBT, kepada WP disampaikan Surat Teguran setelah 7
(tujuh) hari sejak saat jatuh tempo pengajuan banding;
Dalam hal WP tidak menyetujui sebagian atau seluruh jumlah pajak yang
masih dibayar dalam pembahasan akhir hasil pemeriksaan, dan mengajukan
permohonan banding atas keputusan keberatan sehubungan dengan SKPKB
atau SKPKBT, kepada WP disampaikan Surat Teguran setelah 7 (tujuh) hari
sejak saat jatuh tempo pelunasan pajak yang masih harus dibayar
berdasarkan Putusan Banding;
Dalam hal WP menyetujui seluruh jumlah pajak yang masih harus
dibayar dalam pembahasan akhir hasil pemeriksaan, kepada WP disampaikan
Surat tegoran setelah 7 (tujuh) hari sejak saat jatuh tempo pelunasan;
Dalam hal WP mencabut pengajuan keberatan atas SKPKB atau SKPKBT
setelah tanggal jatuh tempo pelunasan tetapi sebelum tanggal diterima Surat
Pemberitahuan Untuk Hadir oleh WP, kepada WP disampaikan Surat Teguran
setelah 7 (tujuh) hari sejak tanggal pencabutan pengajuan keberatan
tersebut;dan
Dalam rangka Penagihan Pajak atas utang Bumi dan Bangunan dan/atau
Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan yang tercantum dalam
STPPBB, SKBKB, SKBKBT, STB, atau Surat Keputusan Pembetulan, surat
Keputusan Keberatan, atau Putusan Banding, yang menyebabkan jumlah
pajak yang harus dibayar bertambah, kepada WP disampaikan Surat teguran
setelah 7 (tujuh) hari sejak tanggal jatuh tempo pelunasan.
Penyampaian Surat tegoran dapat dilakukan secara langsung, melalui pos atau
melalui jasa ekspedisi atau jasa kurir dengan bukti pengiriman surat.
F. Hak dan Kewajiban Wajib Pajak atau Penanggung Pajak selama Penagihan
Wajib Pajak/Penanggung Pajak berhak:
a. Meminta Jurusita Pajak memperlihatkan Kartu Tanda Pengenal Jurusita Pajak.
b. Menerima Salinan Surat Paksa dan Salinan Berita Acara Penyitaan.
c. Menentukan urutan barang yang akan dilelang
d. Sebelum pelaksanaan lelang, Wajib Pajak/Penanggung Pajak diberi kesempatan
terakhir untuk melunasi
utang pajak termasuk
biaya penyitaan, iklan
dan biaya pembatalan lelang dan melaporkan pelunasan tersebut kepada Kepala KPP
yang bersangkutan.
e. Lelang tidak dilaksanakan apabila Penanggung Pajak melunasi utang pajak dan
biaya penagihan pajak sebelum pelaksanaan lelang.
66
67
b.
H. Daluwarsa Penagihan
Saat daluwarsa penagihan pajak perlu ditetapkan untuk memberi kepastian hukum kapan
utang pajak tersebut tidak dapat ditagih lagi.
Hak untuk melakukan penagihan pajak, termasuk bunga, denda, kenaikan, dan biaya
penagihan pajak, daluwarsa setelah melampaui waktu 5 (lima) tahun terhitung sejak
penerbitan Surat Tagihan Pajak, Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar, serta Surat
Ketetapan
Pajak Kurang Bayar Tambahan, dan Surat Keputusan Pembetulan, Surat
Keputusan Keberatan, Putusan Banding, serta Putusan Peninjauan Kembali.
1. Direktur Jenderal Pajak menerbitkan Surat Teguran dan menyampaikan Surat Paksa
kepada Penanggung Pajak yang tidak melakukan pembayaran utang pajak sampai
dengan tanggal jatuh tempo pembayaran. Dalam hal seperti itu daluwarsa penagihan
dihitung sejak tanggal penyampaian Surat Paksa tersebut.
2. Wajib Pajak menyatakan pengakuan utang pajak dengan cara:
Wajib Pajak mengajukan permohonan angsuran dan penundaan pembayaran
utang pajak sebelum tanggal jatuh tempo pembayaran. Dalam hal seperti itu
daluwarsa penagihan dihitung sejak tanggal surat permohonan angsuran atau
penundaan pembayaran utang pajak diterima oleh Direktur Jenderal Pajak.
Wajib Pajak mengajukan permohonan pengajuan keberatan. Dalam hal seperti itu
daluwarsa penagihan dihitung sejak tanggal surat keberatan Wajib Pajak diterima
Direktur Jenderal Pajak.
Wajib Pajak melaksanakan pembayaran sebagian utang pajaknya. Dalam hal
seperti itu daluwarsa penagihan dihitung sejak tanggal pembayaran sebagian
utang pajak tersebut.
3. Terdapat Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar atau Surat Ketetapan Pajak Kurang
Bayar Tambahan yang diterbitkan terhadap Wajib Pajak karena melakukan tindak
pidana di bidang perpajakan berdasarkan putusan Pengadilan yang telah memperoleh
kekuatan hukum tetap. Dalam hal seperti itu daluwarsa penagihan dihitung sejak
tanggal penerbitan ketetapan pajak tersebut
I. Bunga Penagihan
Apabila atas yang terutang SKPKB, atau SKPKBT, dan tambahan yang harus dibayar
berdasarkan SK Pembetulan, SK Keberaratan, atau Putusan Banding, pada saat jatuh
tempo pembayaran tidak atau kurang dibayar, maka atas jumlah pajak yang tidak atau
kurang dibayar itu, dikenakan sanksi administrasi berupa buga sebesar 2 % sebulan untuk
seluruh masa, yang dihitung dari tanggal jatuh tempo sampai dengan pembayaran atau
tanggal diterbitkannya STP dan bagian dari bulan dihitung penuh 1 bulan.
68
Contoh :
Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar PPh Badan
Pada tanggal 18 Oktober 2009 diterbitkan SKPKB atas nama PT. Jujur Setia dengan Jumlah
Pajak yang masih harus dibayar sebesar Rp100.000. Wajib Pajak membayar utang pajak
tersebut pada tanggal 20 November 2009 (sudah melewati jatuh tempo). Pada tanggal 21
November 2009 diterbitkan Surat Tagihan Pajak Bunga Penagihan (STP Bunga Penagihan)
:
Dikenakan sanksi administrasi berupa bunga yang dihitung satu bulan = 1 x 2% x Rp
100.000 = Rp 2.000,00
Bunga tersebut ditagih dengan STP Bunga Penagihan sebesar Rp2.000,00
Dalam hal Wajib Pajak diperbolehkan mengangsur atau menunda pembayaran pajak,
juga dikenakan bunga sebesar 2 % sebulan, dan bagian bulan dihitung 1 bulan
Dalam hal Wajib Pajak diperbolehkan menunda penyampaian SPT dan ternyata
perhitungan sementara pajak yang terutang kurang dari jumlah pajak sebenarnya
terutang, maka atas kekurangan pembayaran pajak tersebut dikenakan bunga 2 %
sebulan yang dihitung dari saat berakhirnya kewajiban menyampaikan SPT sampai
dengan tanggal dibayarnya kekurangan pembayaran tersebut dan bagian dari bulan
dihitung penuh 1 bulan.
69
BAB IX
Sengketa Pajak
A. Pendahuluan
Sengketa pajak dapat terjadi antara Wajib Pajak dengan petugas pajak yang biasanya
timbul karena perbedaan persepsi dalam interprestasi atas peraturan perundangundangan perpajakan. Persepsi petugas pajak secara yuridis biasanya diwujudkan dalam
STP, SKPKB, SKPKBT, SKPLB maupun SKPN. Dalam menyelesaikan persengketaan antara
Wajib Pajak dan petugas pajak, sebenarnya peraturan perundang-undangan perpajakan
indonesia telah memberikan beberapa solusi penyelesaiannya , yaitu :
a.
Penyelesaian di Direktorat Jenderal Pajak
Pembetulan ketetapan pajak
Pengurangan atau penghapusan sanksi administrasi
Pengurangan atau pembatalan ketetapan pajak
Pengurangan atau pembatalan STP
Pembatalan hasil pemeriksaan dan SKP-nya
Keberatan
b.
c.
c. Kekeliruan dalam penerapan ketentuan tertentu dalam peraturan perundangundangan perpajakan, yaitu kekeliruan dalam penerapan tarif, kekeliruan
penerapan persentase Norma Penghitungan Penghasilan Neto, kekeliruan
penerapan sanksi administrasi, kekeliruan Penghasilan Tidak Kena Pajak (PTKP),
kekeliruan penghitungan PPh dalam tahun berjalan kekeliruan pengkreditan
pajak.
Sebenarnya kesalahan tulis, kesalahan hitung dan kesalahan penerapan Undangundang tidak menimbulkan persengketaan pajak karena sudah bersifat pasti.
Misalnya apabila petugas pajak menulis nama Wajib Pajak tidak perlu
dipersengketakan karena kesalahannya tidak perlu diperdebatkan atau
disengketakan.
Yang dapat dilakukan pembetulan adalah ketetapan pajak berupa:
1. surat ketetapan pajak,
2. Surat Tagihan Pajak,
3. Surat Keputusan Pembetulan,
4. Surat Keputusan Keberatan,
5. Surat Keputusan Pengurangan Sanksi Administrasi,
6. Surat Keputusan Penghapusan Sanksi Administrasi,
7. Surat Keputusan Pengurangan Ketetapan Pajak,
8. Surat Keputusan Pembatalan Ketetapan Pajak,
9. Surat Keputusan Pengembalian Pendahuluan Kelebihan Pajak,
10. Surat Keputusan Pemberian Imbalan Bunga.
Akibat adanya pembetulan ketetapan ini, mengakibatkan jumlah utang pajak dari
ketetapan-ketetapan pajak diatas jadi berubah baik itu mengurangkan atau
menambahkan dari utang pajak yang lama. Adanya penambahan ini mengakibatkan
adanya dasar penagihan pajak yang baru.
Jangka waktu penyelesaian permohonan adalah paling lama 6 (enam) bulan sejak
tanggal surat permohonan pembetulan diterima. Direktorat Jenderal Pajak harus
memberi keputusan atas permohonan pembetulan yang diajukan Wajib Pajak
tersebut. Apabila jangka waktu tersebut telah lewat, tetapi Direktur Jenderal Pajak
tidak memberi suatu keputusan, permohonan pembetulan yang diajukan tersebut
dianggap dikabulkan.
Apabila permohonan diatas ditolak atau dikabulkan sebagian, maka Wajib Pajak
berhak meminta keterangan dan Direktur Jenderal Pajak wajib memberikan
keterangan secara tertulis mengenai hal-hal yang menjadi dasar untuk menolak
atau mengabulkan sebagian permohonan Wajib Pajak tersebut.
71
3.
4.
Membatalkan hasil pemeriksaan pajak atau surat ketetapan pajak dari hasil
pemeriksaan yang dilaksanakan tanpa:
a. penyampaian surat pemberitahuan hasil pemeriksaan; atau
b. pembahasan akhir hasil pemeriksaan dengan Wajib Pajak
72
Dalam rangka memberikan keadilan dan melindungi hak Wajib Pajak, Direktur
Jenderal Pajak atas kewenangannya atau atas permohonan Wajib Pajak dapat
membatalkan hasil pemeriksaan pajak yang dilaksanakan tanpa penyampaian surat
pemberitahuan hasil pemeriksaan atau tanpa dilakukan pembahasan akhir hasil
pemeriksaan dengan Wajib Pajak. Namun, dalam hal Wajib Pajak tidak hadir dalam
pembahasan akhir hasil pemeriksaan sesuai dengan batas waktu yang ditentukan,
permohonan Wajib Pajak tidak dapat dipertimbangkan.
Permohonan diajukan kepada Kantor Pelayanan Pajak dimana Wajib Pajak
terdaftar, untuk angka 1, 2 dan 3 diatas dapat diajukan oleh Wajib Pajak paling
banyak dua kali sedangkan untuk angka 4, hanya dapat diajukan Wajib Pajak hanya
satu kali saja.
Jangka waktu penyelesaian permohonan adalah paling lama 6 (enam) bulan sejak
tanggal surat permohonan diterima. Direktorat Jenderal Pajak harus memberi
keputusan atas permohonan yang diajukan Wajib Pajak tersebut. Apabila jangka
waktu tersebut telah lewat, tetapi Direktur Jenderal Pajak tidak memberi suatu
keputusan, permohonan yang diajukan tersebut dianggap dikabulkan.
Apabila permohonan diatas ditolak atau dikabulkan sebagian, maka Wajib Pajak
berhak meminta keterangan dan Direktur Jenderal Pajak wajib memberikan
keterangan secara tertulis mengenai hal-hal yang menjadi dasar untuk menolak
atau mengabulkan sebagian permohonan Wajib Pajak tersebut.
Keberatan
Dalam pemeriksaan pajak yang produk hukumnya berupa surat ketetapan pajak,
kemungkinan terjadi perbedaan pendapat atas hasil pemeriksaan antara Wajib
Pajak dan Pemeriksa pajak. Disini dapat timbul sengketa paja antara pihak-pihak
tersebut. Wajib Pajak diberi hak untuk menyampaikan permohonan keberatan
kepada Direktur Jendral Pajak atas hal tersebut. Permohonan keberatan Wajib
Pajak harus memenuhi persyaratan formal agar dapat diproses. Melalui
serangkaian kegiatan pemeriksaan Direktur Jenderal Pajak dapat menerbitkan Surat
Keputusan Keberatan baik menerima, menerima sebagian, menolak dan
menambah jumlah pajak terutang. Selain hal tersebut diatas yang dapat diajukan
permohonan keberatan apabila ada pemotongan dan/atau pemungutan oleh pihak
lain.
Hal Hal Yang Dapat Diajukan Keberatan
Wajib pajak dapat mengajukan keberatan atas :
1. Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar (SKPKB)
2. Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar Tambahan (SKPKBT)
3. Surat Ketetapan Pajak Lebih Bayar (SKPLB)
73
4.
5.
Wajib Pajak untuk keperluan pengajuan keberatan, Direktur Jenderal Pajak wajib
memberikan keterangan secara tertulis hal-hal yang menjadi dasar pengenaan
pajak, penghitungan rugi, atau pemotongan atau pemungutan pajak.
Sesuai dengan pasal 9 ayat (3) atau ayat (3a) yang mengatur tentang jatuh tempo
pembayaran atas ketatapan pajak yaitu satu bulan sejak tanggal diterbitkan dan
dua bulan untuk Wajib Pajak usaha kecil dan didaerah tertentu, apabila Wajib Pajak
mengajukan permohonan surat keberatan, jangka waktu pelunasan pajak
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (3) atau ayat (3a) atas jumlah pajak yang
belum dibayar pada saat pengajuan keberatan, tertangguh sampai dengan 1 (satu)
bulan sejak tanggal penerbitan Surat Keputusan Keberatan. Hal ini berarti Jumlah
pajak yang belum dibayar pada saat pengajuan permohonan keberatan tidak
termasuk sebagai utang pajak. Jadi apabila Wajib Pajak tidak membayar atau
melunasinya, maka tidak ada penagihan pajak.
Setelah proses pemeriksaan dilakukan dan Surat Keputusan Keberatan telah
diterbitkan yang menyatakan keberatan Wajib Pajak ditolak atau dikabulkan
sebagian, Wajib Pajak dikenai sanksi administrasi berupa denda sebesar 50% (lima
puluh persen) dari jumlah pajak berdasarkan keputusan keberatan dikurangi
dengan pajak yang telah dibayar sebelum mengajukan keberatan. Contoh
penghitunganya : Untuk tahun pajak 2008, Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar
(SKPKB) dengan jumlah pajak yang masih harus dibayar sebesar
Rp1.000.000.000,00 diterbitkan terhadap PT A. Dalam pembahasan akhir hasil
pemeriksaan, Wajib Pajak hanya menyetujui pajak yang masih harus dibayar
sebesar Rp200.000.000,00. Wajib Pajak telah melunasi sebagian SKPKB tersebut
sebesar Rp200.000.000,00 dan kemudian mengajukan keberatan atas koreksi
lainnya. Direktur Jenderal Pajak mengabulkan sebagian keberatan Wajib Pajak
dengan jumlah pajak yang masih harus dibayar menjadi sebesar Rp750.000.000,00.
Dalam hal ini, Wajib Pajak tidak dikenai sanksi administrasi sebagaimana diatur
dalam Pasal 19 yaitu bunga penagihan atas keterlambatan pembayaran setelah
jatuh tempo, tetapi dikenai sanksi sesuai penjelasan diatas, yaitu sebesar 50% x
(Rp750.000.000,00 Rp200.000.000,00) = Rp275.000.000,00
Apabila Wajib Pajak mengajukan permohonan banding, sanksi administrasi berupa
denda sebesar 50% (lima puluh persen) sebagaimana dimaksud penjelasan diatas
tidak dikenakan.
Khusus bagi Wajib Pajak yang mengajukan keberatan atas ketetapan pajak yang
ditetapkan secara jabatan (ex officio),yaitu SKPKB yang diterbitkan karena :
1. Wajib pajak tidak menyampaikan SPT Tahunan meskipun telah ditegur secara
tertulis
2. Tidak memenuhi kewajiban menyelenggarakan pembukuan
75
3.
2.
3.
4.
77
Banding diajukan hanya kepada badan peradilan pajak atas surat keputusan
keberatan, dengan syarat :
a. Tertulis dalam bahasa Indonesia
b. Dalam jangka waktu 3 bulan sejak keputusan atas keberatan diterima Wajib
Pajak
c. Alasan yang jelas
d. Dilampiri salinan Surat Keputusan Keberatan
e. Satu Banding adalah untuk satu Surat Keputusan Keberatan
Dimungkinkan Wajib Pajak belum mendapat penjelasan yang memadai atas surat
ketapan pajak atau pemotongan dan/atau pemungutan pihak lain. Jika diminta oleh
Wajib Pajak untuk keperluan pengajuan keberatan, Direktur Jenderal Pajak wajib
memberikan keterangan secara tertulis hal-hal yang menjadi dasar surat keputusan
keberatan diterbitkan.
Dalam hal Wajib Pajak mengajukan banding, jangka waktu pelunasan pajak
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (3), ayat (3a), atau Pasal 25 ayat (7), atas
jumlah pajak yang belum dibayar pada saat pengajuan keberatan, tertangguh
sampai dengan 1 (satu) bulan sejak tanggal penerbitan Putusan Banding.
Jumlah pajak yang belum dibayar pada saat pengajuan permohonan keberatan
sebagaimana dimaksud penjelasan diatas tidak termasuk sebagai utang pajak
sampai dengan putusan banding diterbitkan.
Dalam hal permohonan banding ditolak atau dikabulkan sebagian, Wajib Pajak
dikenai sanksi administrasi berupa denda sebesar 100% (seratus persen) dari
jumlah pajak berdasarkan Putusan Banding dikurangi dengan pembayaran pajak
yang telah dibayar sebelum mengajukan keberatan. Contoh penghitungan lanjutan
dari penghitungan keberatan diatas : Selanjutnya Wajib Pajak mengajukan
permohonan banding dan oleh Pengadilan Pajak diputuskan besarnya pajak yang
masih harus dibayar menjadi sebesar Rp450.000.000,00. Dalam hal ini baik sanksi
administrasi berupa bunga sebesar 2% (dua persen) per bulan sebagaimana diatur
dalam Pasal 19 maupun sanksi administrasi berupa denda sebagaimana diatur
dalam Pasal 25 ayat (9) tidak dikenakan. Namun, Wajib Pajak dikenai sanksi
administrasi berupa denda sesuai dengan ayat ini, yaitu sebesar 100% x
(Rp450.000.000,00 Rp200.000.000,00) = Rp250.000.000,00
Putusan Pengadilan Pajak merupakan putusan pengadilan khusus di lingkungan
peradilan tata usaha negara. Apabila persyaratan formal telah dipenuhi, maka
pengadilan pajak akan memproses pengajuan banding WP melalui berita cara biasa
dan harus memberi putusan atas permohonan banding WP paling lama 12 bulan
sejak surat banding diterima.
78
D. Proses Penyelesaian di MA
Peninjauan Kembali
Apabila pihak yang bersangkutan tidak/ belum puas dengan putusan Pengadilan
Pajak, maka pihak yang bersengketa dapat mengajukan Peninjauan Kembali kepada
Mahkamah Agung melalui Pengadilan Pajak dan hanya dapat diajukan satu kali dan
bila dicabut sebelum diputus maka tidak dapat diajukan kembali.
Alasan-Alasan Peninjauan Kembali
1. Putusan Pengadilan Pajak didasarkan pada kebohongan atau tipu muslihat
pihak lawan yang diketahui setelah perkaranya diputus atau didasarkan pada
bukti-bukti yang kemudian oleh hakim pidana dinyatakan palsu
2. Terdapat bukti tertulis baru yang penting dan bersifat menentukan
3. Dikabulkan suatu hal yang tidak dituntut atau lebih dari yang dituntut
4. Ada suatu bagian dari tuntutan belum diputus tanpa dipertimbangkan sebabsebabnya
5. Putusan nyata-nyata tidak sesuai dengan ketentuan perundang-undangan yang
berlaku
Jangka Waktu Peninjauan Kembali
1. Permohonan Peninjauan Kembali dengan alasan sebagaimana dimaksud dalam
huruf 1 dan 2 diajukan paling lambat 3 bulan sejak diketahuinya kebohongan
atau tipu muslihat atau diketemukan bukti tertulis baru
2. Permohonan Peninjauan Kembali dengan alasan sebagaimana dimaksud
dengan alasan huruf 3, 4 dan 5 diajukan paling lambat 3 bulan sejak putusan
dikirim oleh Pengadilan Pajak
Jangka Waktu Penyelesaian Permohonan Wajib Pajak
Mahkamah Agung mengambil putusan atas permohonan Peninjauan Kembali yang
diajukan wajib pajak paling lambat :
1. Enam bulan sejak permohonan Peninjauan Kembali diterima oleh Mahkamah
Agung dalam hal putusan Pengadilan Pajak diambil diambil melalui
pemeriksaan acara biasa
2. Satu bulan sejak permohonan Peninjauan Kembali diterima oleh Mahkamah
Agung dalam hal putusan Pengadilan Pajak diambil diambil melalui
pemeriksaan acara biasa
79
1.
Tepat waktu dalam menyampaikan Surat Pemberitahuan untuk semua jenis pajak
dalam 2 tahun terakhir.
2. Tidak mempunyai tunggakan pajak untuk semua jenis pajak kecuali telah
memperoleh ijin untuk mengangsur atau menunda pembayaran pajak.
3. Tidak pernah dijatuhi hukuman karena melakukan tindak pidana di bidang
perpajakan dalam jangka waktu 10 tahun terakhir.
4. Dalam hal laporan keuangan diaudit oleh akuntan publik atau Badan Pengawas
Keuangan dan Pembangunan harus dengan pendapat wajar tanpa pengecualian atau
dengan pendapat wajar dengan pengecualian sepanjang pengecualian tersebut tidak
mempengaruhi laba rugi fiskal. Syarat laporan yang diaudit :
* Disusun dalam bentuk panjang (long form report)
* Menyajikan rekonsiliasi laba rugi komersial dan fiskal.
Wajib Pajak yang memiliki kriteria-kriteria tersebut diatas disebut sebagai Wajib Pajak
Patuh dan ditetapkan oleh Kepala Kantor Wilayah DJP atas nama Direktur Jenderal Pajak
pada setiap bulan Januari.
Pengembalian kelebihan pembayaran pajak sesuai dengan pasal 17D
1. Direktorat Jenderal Pajak cukup melakukan penelitian dan produk hukum yang
dikeluarkan bukan SKPLB tetapi Surat Keputusan Pengembalian Pendahuluan
Kelebihan Pajak (karena hasil dari penelitian tetapi fungsinya sama dengan SKPLB).
2. Direktur Jenderal Pajak setelah melakukan penelitian atas SPT Lebih Bayar dengan
permohonan pengembalian kelebihan pembayaran pajak dari Wajib Pajak dengan
kriteria tertentu (Wajib Pajak Patuh), menerbitkan Surat Keputusan Pengembalian
Pendahuluan Kelebihan Pajak (SKPPKP) paling lambat :
a. 3 (tiga) bulan sejak permohonan diterima untuk Pajak Penghasilan
b. 1 (satu) bulan sejak permohonan diterima untuk Pajak Pertambahan Nilai.
3. Direktur Jenderal Pajak dapat melakukan pemeriksaan terhadap Wajib Pajak Kriteria
Tertentu dan menerbitkan surat ketetapan pajak (dapat berupa SKPKB, SKPLB
maupun SKPN), setelah melakukan pengembalian pendahuluan kelebihan pajak.
4. Apabila berdasarkan hasil pemeriksaan tersebut Direktur Jenderal Pajak menerbitkan
Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar, jumlah kekurangan pajak ditambah dengan
sanksi administrasi berupa kenaikan sebesar 100% (seratus persen) dari jumlah
kekurangan pembayaran pajak.
Kriteria Wajib Pajak yang Diberikan Pengembalian Pendahuluan
Wajib Pajak yang dapat diberikan pengembalian pendahuluan kelebihan pembayaran
pajak adalah:
a. Wajib Pajak orang pribadi yang tidak menjalankan usaha atau pekerjaan bebas;
b. Wajib Pajak orang pribadi yang menjalankan usaha atau pekerjaan bebas dengan
jumlah peredaran usaha dan jumlah lebih bayar sampai dengan jumlah tertentu;
82
c.
Wajib Pajak badan dengan jumlah peredaran usaha dan jumlah lebih bayar sampai
dengan jumlah tertentu; atau
d. Pengusaha Kena Pajak yang menyampaikan Surat Pemberitahuan Masa Pajak
Pertambahan Nilai dengan jumlah penyerahan dan jumlah lebih bayar sampai
dengan jumlah tertentu.
Batasan jumlah peredaran usaha, jumlah penyerahan, dan jumlah lebih bayar
sebagimana dimaksud pada ayat (2) diatur dengan atau berdasarkan peraturan menteri
keuangan. (PMK No.193/PMK.03/2007 jo PMK No.54/PMK.03/2009)
Pengembalian kelebihan pembayaran pajak sesuai dengan pasal 17E
Orang pribadi yang bukan subjek pajak dalam negeri yang melakukan pembelian Barang
Kena Pajak di dalam daerah pabean yang tidak dikonsumsi di daerah pabean dapat
diberikan pengembalian Pajak Pertambahan Nilai yang telah dibayar. Ketentuan
mengenai ini berdasarkan Undang-undang Pajak Pertambahan Nilai beserta peraturan
pelaksanaannya.
B. Imbalan Bunga
Atas kelebihan pembayaran pajak selain yang dimaksud sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 17, Pasal 17B, Pasal 17C, atau Pasal 17D juga atas Kelebihan pembayaran pajak
sebagai akibat adanya Surat Keputusan Keberatan, Surat Keputusan Pembetulan, Surat
Keputusan Pengurangan Sanksi Administrasi, Surat Keputusan Penghapusan Sanksi
Administrasi, Surat Keputusan Pengurangan Ketetapan Pajak, Surat Keputusan
Pembatalan Ketetapan Pajak, dan Putusan Banding atau Putusan Peninjauan Kembali,
serta Surat Keputusan Pemberian Imbalan Bunga dikembalikan kepada Wajib Pajak
dengan ketentuan jika ternyata Wajib Pajak mempunyai utang pajak, langsung
diperhitungkan untuk melunasi terlebih dahulu utang pajak tersebut.
Pengembalian kelebihan pembayaran pajak dilakukan paling lama 1 (satu) bulan sejak
permohonan pengembalian kelebihan pembayaran pajak diterima sehubungan dengan
diterbitkannya Surat Ketetapan Pajak Lebih Bayar sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17
ayat (1), atau sejak diterbitkannya Surat Ketetapan Pajak Lebih Bayar sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 17 ayat (2) dan Pasal 17B, atau sejak diterbitkannya Surat
Keputusan Pengembalian Pendahuluan Kelebihan Pajak sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 17C atau Pasal 17D, atau sejak diterbitkannya Surat Keputusan Keberatan, Surat
Keputusan Pembetulan, Surat Keputusan Pengurangan Sanksi Administrasi, Surat
Keputusan Penghapusan Sanksi Administrasi, Surat Keputusan Pengurangan Ketetapan
Pajak, Surat Keputusan Pembatalan Ketetapan Pajak atau Surat Keputusan Pemberian
Imbalan Bunga, atau sejak diterimanya Putusan Banding atau Putusan Peninjauan
Kembali, yang menyebabkan kelebihan pembayaran pajak.
83
atau Surat Keputusan Penghapusan Sanksi Administrasi sebagai akibat diterbitkan Surat
Keputusan Keberatan, Putusan Banding, atau Putusan Peninjauan Kembali yang
mengabulkan sebagian atau seluruh permohonan Wajib Pajak
Tata cara penghitungan dan pengembalian kelebihan pembayaran pajak diatur dengan
atau berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan. (PMK No.195/PMK.03/2007)
85
BAB XI
Ketentuan Pidana
86
B. Sengaja
Pasal 39 ayat (1) UU KUP
Setiap orang yang dengan sengaja:
a. tidak mendaftarkan diri untuk diberikan Nomor Pokok Wajib Pajak atau tidak
melaporkan usahanya untuk dikukuhkan sebagai Pengusaha Kena Pajak;
b. menyalahgunakan atau menggunakan tanpa hak Nomor Pokok Wajib Pajak atau
Pengukuhan Kena Pajak;
c. tidak menyampaikan Surat Pemberitahuan;
d. menyampaikan Surat Pemberitahuan dan/atau keterangan yang isinya tidak benar
atau tidak lengkap;
e. menolak untuk dilakukan pemeriksaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 29;
f. memperlihatkan pembukuan, pencatatan, atau dokumen lain yang palsu atau
dipalsukan seolah-olah benar, atau tidak menggambarkan keadaan yang sebenarnya;
g. tidak menyelenggarakan pembukuan atau pencatatan di Indonesia, tidak
memperhatikan atau tidak meminjamkan buku, catatan, atau dokumen lain;
h. tidak menyimpan buku, catatan, atau dokumen yang menjadi dasar pembukuan atau
pencatatan dan dokumen lain termasuk hasil pengolahan data dari pembukuan yang
dikelola secara elektronik atau diselenggarakan secara program aplikasi on-line di
Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Pasal 28 ayat (11); atau
i. tidak menyetorkan pajak yang telah dipotong atau dipungut sehingga dapat
menimbulkan kerugian pada pendapatan negara
dipidana dengan pidana penjara paling singkat 6 (enam) bulan dan paling lama 6 (enam)
tahun dan denda paling sedikit 2 (dua) kali jumlah pajak terutang yang tidak atau kurang
dibayar dan paling banyak 4 (empat) kali jumlah pajak terutang yang tidak atau kurang
dibayar.
C. Pengulangan
Apabila seseorang melakukan lagi tindak pidana dibidang perpajakan sebelum lewat 1
(satu) tahun, terhitung sejak selesainya menjalani pidana penjara yang dijatuhkan, maka
saknsi pidana ditambahkan 1 (satu) kali menjadi 2 (dua) kali.
D. Percobaan
Setiap orang yang melakukan percobaan untuk melakukan tindak pidana
menyalahgunakan atau menggunakan tanpa hak Nomor Pokok Wajib Pajak atau
Pengukuhan Pengusaha Kena Pajak, atau menyampaikan Surat Pemberitahuan dan/atau
keterangan yang isinya tidak benar atau tidak lengkap, dalam rangka mengajukan
permohonan restitusi atau melakukan kompensasi pajak atau pengkreditan pajak,
dipidana dengan pidana penjar paling singkat 6 (enam) bulan dan paling lama 2 (dua)
tahun dan denda paling sedikit 2 (dua) kali jumlah restitusi yang dimohonkan dan/atau
kompensasi atau pengkreditan yang dilakukan dan paling banyak 4 (empat) kali jumlah
restitusi yang dimohonkan dan/atau kompensasi atau pengkreditan yang dilakukan.
87
BAB XII
Penyidikan
A. Penghentian Penyidikan
88
89
BAB XIII
Lampiran
NPWP
LEMBAR
(SSP)
NAMA WP
......
ALAMAT WP
......
......
NOP
ALAMAT OP
......
......
Jan
Feb
Mar
Apr
Mei
Masa Pajak
Jun
Jul
Ags
Sep
Okt
Nov
Tahun Pajak
Des
Beri tanda silang (x) pada kolom bulan, sesuai dengan pembayaran untuk masa yang berkenaan
Nomor Ketetapan
Jumlah Pembayaran
: ..
Diisi dengan rupiah penuh
Terbilang : .......
.......
.......
Wajib Pajak/Penyetor
Tanggal
.. , Tanggal ....
Nama Jelas :
Nama Jelas :
..
" Terima kasih Telah Membayar Pajak - Pajak Untuk Pembangunan Bangsa "
Ruang Validasi Kantor Penerima Pembayaran
F.2.0.32.01
90
199
200
JENIS SETORAN
Masa PPh Pasal 21
KETERANGAN
pembayaran pajak
untuk
yang masih
harus
disetor yang tercantum dalam SPT Masa PPh
Pasal 21 termasuk SPT pembetulan sebelum
dilakukan pemeriksaan.
300
310
311
320
321
91
390
401
PPh
Final
Pasal
21 untuk pembayaran PPh Final Pasal 21
Pembayaran Sekaligus Atas pembayaran sekaligus atas Jaminan Hari
Jaminan Hari Tua, Uang Tua, Uang Tebusan Pensiun, dan Uang
Tebusan Pensiun, dan Uang Pesangon.
Pesangon
402
500
PPh
Pasal
pengungkapan
ketidakbenaran
501
PPh
Pasal
penghentian
tindak pidana
21
21
atas untuk kekurangan pembayaran pajak yang
penyidikan masih harus disetor yang tercantum dalam
SPT
PPh Pasal 21 atas penghentian
penyidikan tindak pidana sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 44B ayat (2) UndangUndang KUP.
199
JENIS SETORAN
Masa PPh Pasal 22
KETERANGAN
untuk pembayaran pajak yang harus
disetor yang tercantum dalam SPT Masa PPh
Pasal 22 termasuk SPT pembetulan sebelum
dilakukan pemeriksaan.
300
310
311
320
321
390
401
403
500
501
93
510
511
900
3. Kode Akun Pajak 411123 Untuk Jenis Pajak PPh Pasal 22 Impor
KODE
JENIS
SETORAN
100
JENIS SETORAN
Masa PPh Pasal 22 Impor
KETERANGAN
untuk pembayaran pajak yang harus
disetor yang tercantum dalam SPT Masa PPh
Pasal 22 atas transaksi impor termasuk SPT
pembetulan
sebelum
dilakukan
pemeriksaan.
199
300
310
320
94
390
500
501
510
511
JENIS SETORAN
KETERANGAN
95
100
101
102
103
104
199
300
301
96
310
311
312
320
321
322
390
401
PPh Final Pasal 23 atas Bunga untuk pembayaran PPh Final Pasal 23
Simpanan Anggota Koperasi
atas bunga simpanan anggota koperasi.
500
PPh
Pasal
pengungkapan
ketidakbenaran
23
97
501
510
511
5. Kode Akun Pajak 411125 Untuk Jenis Pajak PPh Pasal 25/29 Orang Pribadi
KODE
JENIS
SETORAN
100
JENIS SETORAN
KETERANGAN
101
199
200
300
310
320
390
500
atas
501
510
511
6. Kode Akun Pajak 411126 Untuk Jenis Pajak PPh Pasal 25/29 Badan
510
99
511
JENIS SETORAN
Masa PPh Pasal 26
KETERANGAN
untuk pembayaran PPh Pasal 26 yang
harus disetor (selain PPh Pasal 26 atas
dividen, bunga,
royalti, jasa dan laba setelah pajak BUT)
yang tercantum dalam SPT Masa PPh Pasal
26
101
102
103
100
104
105
PPh Pasal 26 atas Laba setelah untuk pembayaranPPh Pasal 26 yang harus
Pajak BUT
dibayar atas laba setelah pajak BUT
yang tercantum dalam SPT Tahunan PPh
BUT.
199
300
301
STP PPh Pasal 26 atas Dividen, untuk pembayaran jumlah yang masih
Bunga, Royalti, Jasa, dan Laba harus dibayar yang tercantum dalam STP
Setelah Pajak BUT
PPh Pasal 26 atas dividen, bunga, royalti,
jasa, dan laba setelah pajak BUT.
310
311
320
101
321
390
500
PPh
Pasal
26
atas untuk kekurangan pembayaran pajak yang
pengungkapan ketidakbenaran masih harus disetor yang tercantum dalam
SPT PPh Pasal 26 atas pengungkapan
ketidakbenaran sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 8 ayat (3) atau Pasal 8 ayat (5)
Undang-Undang KUP.
501
510
511
102
JENIS SETORAN
KETERANGAN
Pembayaran Pendahuluan skp untuk
pembayaran
pajak
sebelum
PPh Final
diterbitkan surat ketetapan pajak PPh Final.
STP PPh Final
300
310
SKPKB PPh Final Pasal 4 ayat untuk pembayaran jumlah yang masih
(2)
harus dibayar yang tercantum dalam SKPKB
PPh Final Pasal 4 ayat (2).
SKPKB PPh Final Pasal 15
320
SKPKBT PPh Final Pasal 4 ayat untuk pembayaran jumlah yang masih harus
(2)
dibayar yang tercantum dalam SKPKBT PPh
Final Pasal 4 ayat (2).
311
Pembayaran
atas
Surat
Keputusan Pembetulan, Surat
Keputusan Keberatan, Putusan
Banding,
atau
Putusan
Peninjauan Kembali
321
322
390
401
PPh Final Pasal 4 ayat (2) untuk pembayaran PPh Final Pasal 4 ayat (2)
atas Diskonto/Bunga Obligasi atas diskonto/bunga obligasi dan Surat Utang
dan Surat Utang Negara
Negara
103
402
PPh Final Pasal 4 ayat (2) untuk pembayaran PPh Final Pasal 4 ayat (2)
atas Pengalihan
Hak atas atas Pengalihan Hak atas Tanah dan/atau
Tanah dan/atau Bangunan
Bangunan
403
PPh Final Pasal 4 ayat (2) untuk pembayaran PPh Final Pasal 4 ayat (2)
atau
Persewaan
Tanah atas Persewaan Tanah dan/atau Bangunan.
dan/atau Bangunan
404
PPh Final Pasal 4 ayat (2) atas untuk pembayaran PPh Final Pasal 4 ayat (2)
Bunga Deposito / Tabungan, atas bunga deposito/tabungan, jasa giro dan
Jasa Giro dan Diskonto SBI
diskonto SBI.
405
406
PPh Final Pasal 4 ayat (2) atas untuk pembayaran PPh Final Pasal 4 ayat (2)
Transaksi Saham,
Obligasi atas transaksi saham, obligasi dan sekuritas
dan sekuritas lainnya di Bursa. lainnya, dan di Bursa.
407
409
410
411
PPh Final Pasal 15 atas Jasa untuk pembayaran PPh Final Pasal 15 atas
Pelayaran
dan
/
atau jasa pelayaran dan/atau penerbangan luar
Penerbangan Luar Negeri
negeri.
413
PPh Final Pasal 15 atas untuk pembayaran PPh Final Pasal 15 atas
Penghasilan
Perwakilan penghasilan perwakilan dagang luar negeri.
Dagang Luar Negeri
414
PPh Final Pasal 15 atas Pola untuk pembayaran PPh Final Pasal 15 atas
Bagi Hasil
pola bagi hasil.
415
416
408
104
417
418
PPh Final Pasal 4 ayat (2) atas untuk Pembayaran PPh Final Pasal 4 ayat
Bunga Simpanan
Anggota (2) atas Bunga Simpanan Anggota Koperasi
Koperasi
yang Dibayarkan yang Dibayarkan kepada Orang Pribadi
kepada Orang Pribadi
PPh Final Pasal 4 ayat (2) atas untuk pembayaran PPh Final Pasal 4 ayat (2)
penghasilan dari transaksi atas penghasilan yang diterima dan/atau yang
derivatif yang diperdagangkan diterima dan/atau diperoleh orang pribadi
di bursa
atau badan dari transaksi derivatif yang
diperdagangkan di bursa
419
PPh Final Pasal 17 ayat (2c) atas untuk pembayaran PPh Final Pasal 17 ayat
penghasilan berupa dividen
(2c) atas dividen yang diterima atau diperoleh
Wajib Pajak Orang Pribadi dalam negeri
499
500
501
510
511
105
9. Kode Akun Pajak 411129 Untuk Jenis Pajak PPh Non Migas Lainnya
KODE
JENIS SETORAN
KETERANGAN
JENIS
SETORAN
100
PPh Non Migas Lainnya
untuk pembayaran masa
Migas lainnya.
PPh
Non
300
310
SKPKB PPh Non Migas Lainnya untuk pembayaran jumlah yang masih
harus dibayar yang tercantum dalam SKPKB
PPh Non Migas lainnya.
320
390
500
501
untuk kekurangan
pembayaran
pajak
yang masih harus disetor yang tercantum
dalam surat pemberitahuan PPh Non Migas
Lainnya atas penghentian penyidikan tindak
pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal
44B ayat (2) Undang-Undang KUP.
510
Sanksi
administrasi
berupa denda atau
kenaikan atas
pengungkapan
ketidakbenaran pengisian
surat pemberitahuan PPh
Non Migas Lainnya
106
511
atau
untuk
pembayaran
sanksi
administrasi
berupa
denda,
atas
penghentian penyidikan tindak
pidana
di
bidang perpajakan
sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 44B ayat (2)
Undang-Undang KUP.
10. Kode Akun Pajak 411131 Untuk Jenis Pajak Fiskal Luar Negeri
KODE
JENIS
JENIS SETORAN
KETERANGAN
SETORAN
100
Fiskal Luar Negeri
untuk pembayaran Fiskal Luar Negeri.
300
11. Kode Akun Pajak 411111 Untuk Jenis Pajak PPh Minyak Bumi
KODE
JENIS
JENIS SETORAN
KETERANGAN
SETORAN
100
PPh Minyak Bumi
untuk pembayaran masa PPh Minyak Bumi.
300
320
390
310
12. Kode Akun Pajak 411112 Untuk Jenis Pajak PPh Gas Alam
KODE
JENIS
KETERANGAN
JENIS SETORAN
SETORAN
100
PPh Gas Alam
untuk pembayaran masa PPh Gas Alam.
107
300
310
320
390
13. Kode Akun Pajak 411119 Untuk Jenis Pajak PPh Migas Lainnya
KODE
JENIS
JENIS SETORAN
KETERANGAN
SETORAN
100
PPh Migas Lainnya
untuk pembayaran masa PPh Migas Lainnya.
300
310
320
390
108
14. Kode Akun Pajak 411211 Untuk Jenis Pajak PPN Dalam Negeri
KODE
JENIS
JENIS SETORAN
KETERANGAN
SETORAN
100
Setoran Masa PPN Dalam
untuk pembayaran pajak yang masih harus
Negeri
dibayar yang tercantum dalam SPT Masa
PPN Dalam Negeri.
101
102
103
atas
terutang
rangka
199
300
310
311
312
109
313
314
320
321
322
323
324
390
500
masih
dalam
110
501
PPN Dalam
penghentian
tindak
Pidana
Negeri atas
penyidikan
untuk kekurangan
pembayaran
pajak
yang masih harus disetor yang tercantum
dalam SPT PPh Pasal 21 atas penghentian
penyidikan tindak pidana sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 44B ayat (2) UndangUndang KUP.
510
511
atau
untuk
pembayaran
sanksi
administrasi
berupa
denda,
atas
penghentian penyidikan tindak
pidana
di
bidang perpajakan
sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 44B ayat (2)
Undang-Undang KUP.
900
negeri
15. Kode Akun Pajak 411212 untuk jenis pajak PPN Impor
KODE
JENIS
SETORAN
100
JENIS SETORAN
Setoran Masa PPN Impor
KETERANGAN
untuk pembayaran PPN terutang pada
saat impor BKP.
199
300
310
320
390
500
501
untuk kekurangan
pembayaran
pajak
yang masih harus disetor yang tercantum
dalam SPT Masa PPN atas penghentian
penyidikan tindak pidana sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 44B ayat (2) UndangUndang KUP.
510
511
900
16. Kode Akun Pajak 411219 Untuk Jenis Pajak PPN Lainnya
KODE
JENIS SETORAN
KETERANGAN
JENIS
SETORAN
100
Setoran Masa PPN Lainnya
untuk pembayaran PPN Lainnya
terutang.
300
yang
310
320
390
500
PPN
Lainnya
pengungkapan
ketidakbenaran
untuk kekurangan
pembayaran
pajak
yang masih harus disetor yang tercantum
dalam SPT Masa PPN atas pengungkapan
ketidakbenaran sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 8 ayat (3) atau Pasal 8 ayat (5)
Undang-Undang KUP.
501
510
511
atas
atau
untuk
pembayaran
sanksi
administrasi
berupa
denda,
atas
penghentian penyidikan tindak
pidana
di
bidang perpajakan
sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 44B ayat (2)
Undang-Undang KUP.
113
17. Kode Akun Pajak 411221 Untuk Jenis Pajak PPnBM Dalam Negeri
KODE
JENIS
JENIS SETORAN
KETERANGAN
SETORAN
100
Setoran Masa PPnBM Dalam
untuk pembayaran pajak yang masih
Negeri
harus dibayar yang tercantum dalam SPT
Masa PPN Dalam Negeri.
199
Pembayaran Pendahuluan skp untuk
pembayaran
pajak
sebelum
PPnBM Dalam Negeri
diterbitkan surat ketetapan pajak PPnBM
Dalam Negeri.
300
STP PPnBM Dalam Negeri
untuk pembayaran jumlah yang masih
harus dibayar yang tercantum dalam STP
PPnBM Dalam Negeri.
310
311
SKPKB Pemungut
PPnBM Dalam Negeri
320
321
SKPKBT
Pemungut
PPnBM Dalam Negeri
390
500
114
501
untuk kekurangan
pembayaran
pajak
yang masih harus disetor yang tercantum
dalam SPT Masa PPN Dalam Negeri atas
penghentian penyidikan tindak pidana
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 44B
ayat (2) Undang- Undang KUP.
510
511
atau
untuk
pembayaran
sanksi
administrasi
berupa
denda,
atas
penghentian penyidikan tindak
pidana
di
bidang perpajakan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 44B
ayat (2) Undang-Undang KUP.
900
Pemungut
Negeri
PPnBM
18. Kode Akun Pajak 411222 Untuk Jenis Pajak PPnBM Impor
KODE
JENIS
JENIS SETORAN
KETERANGAN
SETORAN
100
Setoran Masa PPnBM Impor
untuk pembayaran PPnBM terutang pada
saat impor BKP.
199
300
310
320
390
500
501
510
PPnBM
Impor
atas untuk kekurangan pembayaran PPnBM
penghentian
pada saat impor BKP atas penghentian
penyidikan tindak pidana
penyidikan
tindak pidana sebagaimana dimaksud
dalamPasal 44B ayat (2) Undang-Undang
KUP.
Sanksi administrasi berupa
untuk pembayaran sanksi administrasi
denda atau kenaikan atas berupa denda
atau kenaikan, atas
pengungkapan ketidakbenaran
pengungkapan
ketidakbenaran
pembayaran PPnBM pada saat pembayaran PPnBM pada saat impor BKP
impor BKP
sebagaimana dimaksud dalam Pasal
8 ayat (3) atau Pasal 8 ayat (5) UndangUndang KUP.
511
atau
untuk
pembayaran
sanksi
administrasi berupa denda, atas penghentian
penyidikan tindak pidana di
bidang
perpajakan sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 44B ayat (2) Undang-Undang KUP.
900
Impor
yang
19. Kode Akun Pajak 411229 Untuk Jenis Pajak PPnBM Lainnya
KODE
JENIS
JENIS SETORAN
KETERANGAN
SETORAN
100
Setoran Masa PPnBM Lainnya untuk pembayaran PPnBM Lainnya yang
terutang.
300
310
320
390
500
501
510
511
atau
untuk
pembayaran
sanksi
administrasi
berupa
denda,
atas
penghentian penyidikan tindak
pidana
di
bidang perpajakan
sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 44B ayat (2)
Undang-Undang KUP.
300
310
320
390
500
Bea
Meterai
pengungkapan
ketidakbenaran
501
510
Sanksi
administrasi
berupa denda atau
kenaikan atas
pengungkapan
ketidakbenaran
pembayaran Bea Meterai
511
118
300
310
320
390
500
Bea
Meterai
pengungkapan
ketidakbenaran
501
510
119
511
atau
untuk
pembayaran
sanksi
administrasi
berupa
denda,
atas
penghentian penyidikan tindak
pidana
di
bidang perpajakan
sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 44B ayat (2)
Undang-Undang KUP.
310
320
390
23. Kode Akun Pajak 411619 Untuk Pajak Tidak Langsung Lainnya
KODE
JENIS
JENIS SETORAN
KETERANGAN
SETORAN
100
Setoran Masa Pajak Tidak
untuk pembayaran Pajak Tidak Langsung
Langsung Lainnya
Lainnya yang terutang.
300
310
120
320
390
900
121
122
SOAL LATIHAN
TUTORIAL PENGANTAR PAJAK
1|P a g e
: PENGANTAR PERPAJAKAN
: SELASA, 1 JULI 2014
: 2 KALI PERTEMUAN
100 MENIT (2 SKS)
: YOSEP POERNOMO
Soal 1
Atas SPT Tahunan PPh Orang Pribadi dari Tn. Bambang (K/3) tahun pajak 2013 dengan pengahsilan neto
sebesar Rp410.000.000 akan dilakukan pembetulan pada tanggal 5 Juli 2014 dengan pembetulan atas
penghasilan neto yang seharusnya Rp475.000.000 dan status K/1. Tn. Bambang sudah melunasi atas
kekurangannya tersebut. Berapa sanksi yang dikenakan atas peristiwa tersebut ?
Soal 2
PT. Insan Taqwa menyampaikan SPT Masa sebagai berikut :
Jumlah
Pembayaran
Masa
Pajak
Pajak
Terhutang (Rp)
PPh ps 21
Apr2014
8.445.000
8.445.000
20-05-14
20-05-14
PPh ps 23
Mei 2014
4.123.000
3.423.000
20-06-14
25-06-14
PPN
Mei 2014
9.970.000
9.120.000
20-06-14
20-07-14
Jenis Pajak
Tgl bayar
Tgl Lapor
(Rp)
STP untuk masing-masing pajak diterbitkan pada tanggal 24 Juli 2014. Berapa pokok pajak dan sanksi
administrasi yang tercantum dalam STP ?
Soal 3
Tn. Aminullah pada tahun pajak 2013 melaporkan SPT tahunan 1770 yang menyatakan kurang bayar
sebesar Rp. 120.000.000 pada tanggal 2 April 2014. Atas SPT tersebut Wajib Pajak membayar
kekurangan bayar pada tanggal 1 April 2014.
a. Apakah atas penyampaian dan pembayaran tersebut Wajib Pajak dikenakan sanksi ?
Mengapa ?
b. Apabila jawaban a ada sanksi, hitung sanksi yang dikenakan!
c.
Wajib Pajak membetulkan SPTnya dengan kondisi kurang bayar sebesar Rp145.000.000.
Pembayaran kekurangan atas pembetulan dilakukan pada tanggal 12 Mei 2012. Berapa
sanksi yang dikenakan?
d. Pada tanggal 17 Juni 2013, atas SPT tersebut dilakukan pemeriksaan dan hasil atas
pemeriksaan menyatakan kurang bayar sebesar Rp. 200.000.000. SKPKB diterbitkan pada
tanggal 27 November 2013. Hitung Pajak yang masih harus dibayar !
Soal 4
Atas pemeriksaan yang dilakukan terhadap SPT Tahunan PPh Orang Pribadi tahun pajak 2012 Tn. Mulia
diterbitkan SKPKB pada tanggal 5 Juli 2014. SKPKB menyatakan pajak yang masih harus dibayar adalah
sebesar Rp3.450.000. Wajib Pajak tidak setuju atas hasil pemeriksaan tersebut dan mengajukan
keberatan.
1. Kapan Pajak yang masih harus dibayar yang tercantum dalam SKPKB dianggap sebagai utang
pajak ? dan kapan dilakukan penagihan aktifnya ?
2. Hitung berapa pajak yang masih harus dibayar apabila dalam SK Keberatan yang diterbitkan pada
tanggal 10 Januari 2015 menyatakan pajak yang masih harus dibayar adalah sebesar
Rp1.640.000. Apakah Wajib Pajak harus melunasi pajak tersebut ? Kapan ? Jelaskan !
3. Apabila atas SK Keberatan terebut Wajib Pajak mengajukan banding dan putusan banding
diterbitkan pada tanggal 21 September 2010 yang menyatakan pajak yang masih harus dibayar
adalah sebesar Rp.690.000.
Jelaskan !
Soal 5
Atas SKPKB dari PT. Budi Baik yang diterbitkan tanggal 10 Agustus 2013 yang menyatakan pajak yang
masih harus dibayar adalah sebesar Rp72.000.000. Berapa sanksi yang dikenakan apabila atas SKPKB
tersebut Wajib Pajak mengangsur sebanyak 5 kali dengan jumlah yang sama dimulai pada tanggal 1
Oktober 2013? Berapa sanksi yang dikenakan apabila Wajib Pajak mengajukan permohonan penundaan
pembayaran utang pajak sampai dengan tanggal 1 Februari 2014? Apa dari peristiwa tersebut harta wajib
pajak dapat dapat disita dan dilelang?
-FIN
: PENGANTAR PERPAJAKAN
: JUMAT, 25 APRIL 2014
: 100 MENIT (2 SKS)
: YOSEP POERNOMO
Soal 1
Tn. Endar memperoleh objek pajak berupa tanah dan bangunan pada tanggal 10 Oktober 2011
dengan rincian sebagai berikut :
1. Tanah seluas 720 m2 dengan harga jual Rp300.000/m2
2. Bangunan seluas 520m2 dengan nilai jual Rp350.000/m2
3. NJOPTKP Rp12.000.000
4. Tarif PBB
a. Tarif 0,1% untuk Nilai Jual Objek Pajak Tanah dan/atau Bangunan sampai dengan
Rp1.000.000.000,-;
b. Tarif 0,2%
untuk Nilai Jual Objek Pajak Tanah dan/atau Bangunan lebih dari
Rp1.000.000.000,-
Pertanyaan :
1. Kapan Tn. Endar harus mendaftarkan objek pajak tersebut?
2. Sebutkan Tatacara pendaftarannya!
3. Apa yang dilakukan oleh Petugas Pajak sehubungan dengan pendaftaran tersebut?
4. Kapan SPPT dapat diterbitkan?
5. Apabila data yang diberikan tentang objek pajak ada kesalahan, apa yang dilakukan oleh
petugas pajak?
6. Apabila SPPT yang telah diterbitkan ternyata terdapat kesalahan atas luas bangunan, apa
yang menjadi hak dari Tn. Endar?
7. Bilamana Tn. Endar bisa minta pengurangan atas PBBnya? Sebutkan bagaimana tatacara
pemberian pengurangan
Soal 2
1. Tuan Setia Negara, seorang pengusaha, memiliki dua obyek PBB di Bintaro dan di serpong
yang merupakan wilayah kota Tangerang Selatan.
Sesuai penilaian yang dilakukan petugas fungsional penilai didapat data sebagai berikut :
a. Bintaro
Tanah
Bangunan
= Rp.
Rp.
2.250.000,1.900.000,-.
b. Serpong
Tanah
Bangunan
= 20 x 21 m , Nilai Jual/ m
Rp.
1.410.000,-
= Rp.
1.123.000,-.
Hitung PBB masing-masing obyek pajak tersebut! Tarif PBB NJOP <= 1 miliar=0,1%
NJOP > 1 miliar = 0,2%. NJOPTKP = Rp12.000.000
Soal 3
Pada tanggal 3 Maret 2013 Tuan Azizan menerima SPPT PBB atas rumah yang terletak di Graha
Bintaro, pajak yang terutang dalam SPPT adalah sesuai dengan data yang ada SPOP Tuan Hanafi,
yaitu sebesar dengan luas tanah dan bangunan masing-masing 15m x 9m dan 8m x 11m. Nilai Jual
masing-masing sebesar Rp1.925.000 untuk tanah dan Rp1.348.000 untuk bangunan.
Ternyata
berdasarkan hasil Pemeriksaan Lapangan, luas tanah adalah seluas 20m dan 12m dan luas
bangunan 12m x 12m. Hasil pemeriksaan dikeluarkan Surat Ketetapan Pajak Daerah Kurang Bayar
(SKPDKB) oleh Pemda setempat dan diterima Tuan Azizan pada tanggal 12 Maret 2014 (tgl
penerbitan).
Diminta :
1. Hitung PBB yang tercantum dalam SPPT !
2. Apabila atas SPPT tersebut dibayar pada tanggal 12 Desember 2013. Berapa sanksi yang
dikenakan! Asumsi jatuh tempo adalah 6 bulan sejak SPPT diterima
3. Hitunglah pajak beserta sanksinya yang harus dibayar dalam SKPDKB!
4. Apabila SKPDKB dibayar lunas pada tanggal 15 April 2014. Apakah ada sanksi atas hal
tersebut? Apabila ada hitung berapa sanksinya!
5. Data data :
a. NJOP gunakan sesuai tabel.
b. Tarif dan NJOPTKP sesuai dengan nomor 1 diatas
: PENGANTAR PERPAJAKAN
: JUMAT, 25 APRIL 2014
: 100 MENIT (2 SKS)
: YOSEP POERNOMO
1. Ibu Farida pada tanggal 15 April 2006 membeli sebidang tanah dan bangunan dari Ibu Ratnawati yang
terletak di Jalan Anyelir No. 9 Kebayoran Baru, Jakarta Selatan dengan luas tanah 400 M2 dan luas
bangunan 180 M2 melalui transaksi jual beli dan harga yang dilaporkan kepada KPPBB Jakarta Selatan
Dua sebesar Rp500.000.000,- dan dibuktikan dengan SSB yang telah dibayar lunas di Bank TP. Pada
tanggal 10 Mei 2006 setelah laporan dari PPAT masuk ke Seksi Pedanil dan dilakukan pengecekan data
klarifikasi NJOP, ternyata NJOP tanah di Jalan Anyelir No.9 Kebayoran Baru ditetapkan kelas
A.12(Rp1.416.000,-/M2) sedangkan NJOP bangunan kelas A.1(Rp1.200.000,0/M2). Atas perbedaan ini
KPPBB Jakarta Selatan Dua kemudian menerbitkan SKBKB pada tanggal 11 Mei 2006. Pada tanggal 10
September 2006 KPPBB Jakarta Selatan Dua mengadakan uji silang (cross-check) ke KPP Kebayoran
Baru ternyata Ibu Ratnawati telah membayar PPh Final sebesar Rp50.000.000 ,-atas penjualan tanah
dan bangunan kepada Ibu Farida. Atas temuan ini KPPBB Jakarta Selatan Dua menerbitkan SKBKBT
pada tanggal 11 September 2006. Hitung besarnya BPHTB yang harus dibayar oleh Ibu Farida
berdasarkan SKBKB dan SKBKBT tersebut apabila NPOPTKP ditentukan sebesar Rp60.000.000,2. Pak Sonto seorang pensiunan PNS mendapat rumah dinas dari instansinya. Rumah tersebut seluas 150
M2 yang berdiri diatas sebidang tanah seluas 300 M2. NJOP tanah berada pada kelas A-4 sedangkan
NJOP bangunan berada pada kelas A-1. Harga pasar objek tersebut sebesar Rp1 milyar. Karena merasa
asing dengan BPHTB, beliau menemui Saudara dan menanyakan segala sesuatu tentang BPHTB.
Saudara diminta membantu Pak Sonto untuk menghitung besarnya BPHTB yang harus dibayar dengan
asumsi besarnya NPOPTKP adalah Rp50.000.000,00 dan permohonan pengurangannya dikabulkan
oleh Kakanwil DJP.
3. Pak Syukri seorang veteran menerima warisan dari kakak kandungnya (seorang pensiunan PNS)
sebuah rumah dinas PNS seluas 140 M2 yang berdiri di atas tanah seluas 400 M2. Properti tersebut
telah dikenakan PBB dengan NJOP Tanah kelas A-1 dan NJOP Bangunan kelas A-1. Karena sama sekali
tidak mengetahui masalah BPHTB maka beliau datang menemui Saudara dan menanyakan segala
sesuatu tentang BPHTB karena warisan. Saudara diminta untuk menjelaskan kepada Pak Syukri
tentang BPHTB karena warisan dan sekaligus membantu Pak Syukri untuk menghitung besarnya
BPHTB yang harus dibayar Pak Syukri sehubungan dengan warisan yang diterimanya dengan asumsi
bahwa pada waktu pendaftaran hak NJOP tanah dan bangunan telah mengalami kenaikan masingmasing 2 kelas dan NPOPTKP yang berlaku di daerah tersebut adalah sebesar Rp50 juta dan Rp250
juta. Bagaimana solusi kasus diatas jika transaksi terjadi tahun 2012 (setelah BPHTB dikelola
Pemda)?