1. Otoskopi : pemeriksaan visual telinga untuk memeriksa kanal telinga dan membran
timpani yang menggunakan alat bernama otoskop. Pemeriksaan untuk melihat warna,
kontur, refleks cahaya dari membran timpani dan melihat adanya sekret telinga.
2. Sekret mukopurulen : sekret yang keluar bersamaan mukus dan purulren ( pus )
3. Pulsating point :denyutan pembuluh darah yang seirama dengan denyutan jantung
4. Rhinosopi : Terdapat dua jenis pemeriksaan, yaitu rhinoskopi anterior (menggunakan
speculum untuk mengamati meatus, concha, dan sinus) dan rhinoskopi posterior
(menggunakan cermin untuk melihat dinding nasopharynx dan bagian posterior
lidah).
5. Membran timpani sentral: perforasi/lubang yang lokasinya terjadi di membran
timpani bagian tengah, lokasinya pada pars tensa, bisa kuadran antero-inferior,
postero-inferior, dan postero-superior, kadang-kadang subtotal.
6. Tonsil T3-T3 : pembesaran tonsil ( tonsila palatina ) kanan dan kiri yang sudah
mencapai jarak arcus anterior dan uvula
7. Palatal phenomena: positif jika tidak ada massa di nasofaring yang cukup signifikan
besarnya yang dapat menghambat pergerakan palatum mole.
8. Kripta : lipatan epitel skuamosa yang dalam pada tonsil
9. Detritus : merupakan kumpulan leukosit, bakteri, dan juga epitel yang mengalami
pelepasan, menimbulkan bentukan bercak berwarna putih pada tonsil.
10. Chonca inferior edema : inflamasi pada daerah tonjolan terendah di lateral dinding
hidung
11. A/N ratio: rasio adenoid nasofaring
12. Fossa adenoid :terletak di inferosuperior nasofaring dan berdekatan dengan tuba
auditiva Eustachii
13. Limfadenopati :pembengkakan/abnormalitas pada suatu limfonodi atau kelenjar limfe
secara umum baik dari segi ukuran, bentuk, konsistensi, maupun jumlahnya. Dapat
terjadi akibat adanya infeksi, keganasan, atau penyebab lain. Radang pada kelenjar
limfe dinamakan limfadenitis.
14. Septum nasi deviasi: pembatas hidunga antara kanan dan kiri. Apakah terdapat
belokan atau tidak. Biasanya terjadi deviasi akibat obstruksi dan infeksi.
15. Hiperemis : warna kemerahan pada mukosa akibat aliran darah yang berlebih pada
pembuluh darah disekitarnya. Merupakan tanda adanya inflamasi.
1. Hubungan antara usia pasien dengan keluhan yang dirasakan pasien
Usia pasien pada skenario 1 adalah 8 tahun, hal ini menunjukkan bahwa pasien termasuk
golongan anak-anak. Pada anak-anak, adenoid mengalami hipertrofi. Secara fisiologis,
adenoid akan mengalami hipertrofi pada masa puncaknya yaitu 3-7 tahun dan kemudian
mengecil dan menghilang sama sekali pada usia 14 tahun. Hipertrofi adenoid biasanya
asimptomatik, namun jika cukup besar akan menyebabkan gejala. Hipertrofi adenoid juga
didapatkan pada anak yang mengalami infeksi kronik atau rekuren pada ISPA. Pada balita
jaringan limfoid dalam cincin waldeyer sangat kecil. Pada anak berumur 4 tahun bertambah
besar karena aktivitas imun, karena tonsil dan adenoid (pharyngeal tonsil) merupakan organ
limfoid pertama di dalam tubuh yang memfagosit kuman-kuman patogen. Jaringan tonsil dan
adenoid memiliki peranan penting sebagai organ yang khusus dalam respon imun humoral
maupun selular. Oleh karena itu, hipertrofi dari jaringan merupakan respons terhadap
kolonisasi dari flora normal itu sendiri dan mikroorganisme patogen.
Selain itu, pada anak anak tuba lebih pendek, lebih lebar, dan kedudukannya lebih
horisontal dari tuba orang dewasa. Panjang tuba orang dewasa 37,5 mm dan pada anak
dibawah 9 bulan adalah 17,5 mm. Hal ini mengakibatkan penyebaran patogen dari saluran
napas ke telingan dalam melalui tuba auditiva pada anak lebih mudah dan memiliki intensitas
kejadian yang cukup sering.
2. Mengapa keluhan keluarnya cairan telinga didahului demam dan telinga yang
sakit?
Pada penyakit telinga tengah, seringkali dimulai oleh gangguan pada tuba eustachius.
Gangguan ini dapat disebabkan karena hiper trofi adenoid yang mendesak jaringan tuba
sehingga sistem imun mukosa dan silia tuba rusak dan kekurangan kemampuan untuk
melindungi tuba dari pathogen. Saat sudah terjadi proses peradangan yang kemudian
berlanjut ke infeksi, akan terbentuk sekret mukopurulen di tuba eustachius, sekret ini akan
menuju ke telinga tengah. Karena sekret tidak bisa keluar disebabkan karena terhalang
membran timpani, sekret akan terus bertumpuk di belakang membran timpani.
Penumpukan sekret ini akan menyebabkan menekan suplai darah membran timpani, hal
ini akan menyebabkan jaringan membran timpani mengalami iskemia. Secara berproses
jaringan tersebut akan nekrosis sedikit demi sedikit. Pada tahap ini pasien akan mengalami
nyeri telinga. Saat nekrosis sudah cukup luas, membran timpani akan mengalami perforasi.
Kemudian karena perforasi, sekret akan mengalir keluar dari telinga. Rasa nyeri akan
menurun saat sekret sudah keluar dari telinga.
3. Fisiologi pendengaran
Beberapa organ yang berperan penting dalam proses pendengaran adalah membran
tektoria, sterosilia dan membran basilaris. Interaksi ketiga struktur penting tersebut sangat
berperan dalam proses mendengar. Pada bagian apikal sel rambut sangat kaku dan terdapat
penahan yang kuat antara satu bundel dengan bundel lainnya, sehingga bila mendapat
stimulus akustik akan terjadi gerakan yang kaku bersamaan. Pada bagian puncak stereosillia
terdapat rantai pengikat yang menghubungkan stereosilia yang tinggi dengan stereosilia yang
lebih rendah, sehingga pada saat terjadi defleksi gabungan stereosilia akan mendorong
gabungan-gabungan yang lain, sehingga akan menimbulkan regangan pada rantai yang
menghubungkan stereosilia tersebut. Keadaan tersebut akan mengakibatkan
terbukanya kanal ion pada membran sel, maka terjadilah depolarisasi.
Gerakan yang berlawanan arah akan mengakibatkan regangan pada rantai tersebut
berkurang dan kanal ion akan menutup. Terdapat perbedaan potensial antara intra sel,
perilimfa dan endolimfa yang menunjang terjadinya proses tersebut. Potensial listrik koklea
disebut koklea mikrofonik, berupa perubahan potensial listrik endolimfa yang berfungsi
sebagai pembangkit pembesaran gelombang energi akustik dan sepenuhnya diproduksi oleh
selrambut luar (May, Budelis, & Niparko, 2004). Pola pergeseran membran basilaris
membentuk gelombang berjalan dengan amplitudo maksimum yang berbeda sesuai dengan
besar frekuensi stimulus yang diterima. Gerak gelombang membran basilaris yang timbul
oleh bunyi berfrekuensi tinggi (10 kHz) mempunyai pergeseran maksimum pada bagian basal
koklea, sedangkan stimulus berfrekuensi rendah (125 kHz) mempunyai pergeseran
maksimum lebih kearah apeks.
Gelombang yang timbul oleh bunyi berfrekuensi sangat tinggi tidak dapat mencapai
bagian apeks, sedangkan bunyi berfrekuensi sangat rendah dapat melalui bagian basal
maupun bagian apeks membran basilaris. Sel rambut luar dapat meningkatkan atau
mempertajam puncak gelombang berjalan dengan meningkatkan gerakan membran basilaris
pada frekuensi tertentu. Keadaan ini disebut sebagai cochlear amplifier.
Skema proses mendengar diawali dengan ditangkapnya energi bunyi oleh telinga luar,
lalu menggetarkan membran timpani dan diteruskan ketelinga tengah melalui rangkaian
tulang pendengaran yang akan mengamplifikasi getaran tersebut melalui daya ungkit tulang
pendengaran dan perkalian perbandingan luas membran timpani dan tingkap lonjong. Energi
getar yang telah diamplifikasikan akan diteruskan ke telinga dalam dan di proyeksikan pada
membran basilaris, sehingga akan menimbulkan gerak relatif antara membran basilaris dan
membran tektoria. Proses ini merupakan rangsang mekanik yang menyebabkan terjadinya
defleksi stereosilia sel-sel rambut, sehingga kanal ion terbuka dan terjadi pelepasan ion
bermuatan listrik dari badan sel. Keadaan ini menimbulkan proses depolarisasi sel rambut,
sehingga melepaskan neurotransmiter ke dalam sinapsis yang akan menimbulkan potensial
aksi pada saraf auditorius, lalu dilanjutkan ke nukleus auditorius sampai ke korteks
pendengaran. (Keith, 1989 )
4. Anatomi dan histologi telinga pada anak dan dewasa
a. Telinga Externa
Auricula externa tersusun atas auricula ( cuping telinga ) dan meatus acusticus
externus ( kanal telinga). Pada bagian sepertiga luar auricula tersusun oleh
cartilago elastin, dilapisi oleh epitel squamous komplex kornifikasi dan terdapat
banyak kelenjar seruminosa ( serumen ) dan kelenjar sebasea ( keringat ). Pada
dua pertiga dalam tersusun atas tulang dan dilapisi epitel squamous komplex
nonkornifikasi. Bagian ini hanya terdapat sedikit kelenjar serumen.
b. Telinga Media
Telinga media membatasi antara telinga luar dengan telinga dalam. Pada bagian
ini terdapar membran tympani ( gendang telinga ), ossicula auditiva ( tulang
pendengaran ), cavum tympani, dan tuba auditiva Eustachii.
Membran tympani terusun atas 2 pars, yaitu pars flaksida ( membran Shrapnell )
pada bagian atas dan bagian bawah pars tensa. Pars flaksida hanya berlapis 2
sedagkan pars tensa tersusun atas 3 lapis. Dilapisi epitel kulit, dan bagian dalam
dilapisi epitel kubus bersilia seperti epitel pernafasan khusus pada pars tensa
terdapat serabut kolagen dan sedikit serat elastin.
Bayangan penonjolan maleus bagian bawah pada memban tympani disebut umbo.
Dari umbo bermula suatu reflek cahaya (cone of light ). Membran tympani dibagi
menjadi 4 kuadran.
Tulang pendengaran dari luar ke dalam berturut-turut adalah maleu, incus, dan
stapes. Antar tulang ini terdapat perendian dan stapes terletak pada tingkap
lonjong yang menghubungkan dengan cochlea.
c. Telinga Interna
Berupa setengah lingkaran cochlea dan 3 buah canalis semisirkularis. Ujung
atau puncak dari cochlea disebut helikotrema, menghubungkan perilimfe skala
vestibuli dan skala tympani. Diantara skala vestibuli dan skala tympani terdapat skala
media ( ductus cochlearis) tempat dari organ corti. Skala media berisi cairan
endolimfe seperti cairan LCS ( cerebrospinal liquid ). Batas antara skala vestibuli
dengan media adalah membrana Reissner sedangkan batas skala media dan tympani
adalah membrana basillaris. Pada membrana basillaris inilah ogan corti melekat.
Orgaan corti trusun atas 1 sel rambut dalam, dan 3sel rambut luar. Satu sel rambut
dalam tersusun atas satu kinosilia dan banyak stereosilia yang saling dihubungkan
oleh tiplink.
5. Penyebab keluarnya/terbentuknya cairan kuning kental dari telinga pasien
Perforasi umumnya berbentuk bulat. Bila disebabkan oleh trauma
biasanya berbentuk robekan dan di sekitarnya terdapat bercak
darah. Lokasi perforasi dapat di atik (di daerah pars flaksida), di sentral (di
pars tensa dan di sekitar perforasi masih terdapat membran) dan di
marginal (perforasi terdapat di pars tensa dengan salah satu sisinya
langsung
berhubungan
dengan
sulkus
timpanikus). Gerakan membran timpani normal dapat dilihat dengan
memakai otoskop. Pada sumbatan tuba Eustachius tidak terdapat gerakan
membran timpani.
v.
1.
2.
3.
Stadium resolusi
Membrana tympanica utuh membran akan normal kembali
Sudah terjadi perforasi sekret berkurang dan akhirnya kering
Perforasi menetap dengan sekret yang keluar terus atau hilang timbul
terjadi otitis media supuratif kronis
OMA berubah menjadi otitis media serosa apabila sekret menetap di cavitas
tympanica tanpa terjadinya perforasi.
b. Diagnosis
Selain anamnesis, evaluasi dari pasien yang mengarah pada otitis
media harus dilakukan otoskopi. Pemeriksaan ini bertujuan untuk menilai
keadaan telinga tengah terutama membran timpani.
c. Tatalaksana
Pertama tama berikan antibiotik untuk patogen yang umumnya
sering menjadi penyebab otitis media secara intravena, diikuti dengan kultur
spesifik antibiotik. Karena meningkatnya insidensi resisten antibiotik
penicilin, gunakan vancomycin sampai hasil kultur diperoleh.
Otitis media akut yang menyebabkan komplikasi meningitis,
mastoiditis, atau intrakranial akut/subakut paling baik diberikan terapi dengan
generasi ketiga cephalosporin.
Furosemide dan mannitol efektif dalam menurunkan hipertensi
intrakranial pada otitis hidrocephalus, namun, terapi yang paling baik
membutuhkan mastoidektomi dengan pembukaan dan penghilangan jaringan
granulasi ekstradural.
d. Komplikasi
Resiko terjadinya komplikasi pada otitis media meningkat jika masa
akut dari otitis media lebih dari 2 minggu atau apabila gejala otitis media
kembali muncul pada minggu 2-3 setelah mendapatkan pengobatan.
Komplikasi pada otitis media secara garis besar dapat dibagi menjadi 2
berdasarkan letak terjdinya, yakni komplikasi ekstrakranial dan komplikasi
intrakranial.
Karakteristik komplikasi ekstrakranial:
1. Otitis media supuratif Kronis : bentuk dari otomastoiditis kronis, seringkali
terjadi akibat invasi Pseudomonas aeruginosa
2. Paralisis nervus facialis : ada kemungkinan berhubungan dengan infeksi
akut atau subakut/kronis
3. Labyrinthitis : bisa serous atau supuratif
4. Mastoiditis dengan subperiostal abses : bisa berupa Bezold ascess , yang
merepsentatifkan perluasan abses dari mastoid ke digastric groove, abses
temporal juga bisa berasal dari perluasan abses yang melalui erosi tulang
Komplikasi
Otitis media akut (pada anak-anak), abses peritonsil, abses parafaring,
toksemia, septicemia, bronchitis, nefritis akut, miokarditis, dan arthritis.
Tatalaksana
Terapi
Dengan menggunakan antibiotik spectrum luas dan sulfonamide, antipiretik,
dan obat kumur yang mengandung desinfektan.
Indikasi tonsilektomi
1. Sumbatan
a. Hiperplasia tonsil dengan sumbatan jalan nafas
b. Gangguan menelan
c. Gangguan berbicara
2. Infeksi
a. Infeksi telinga tengah berulang
b. Rinitis dan sinusitis yang kronis
c. Peritonsiler abses
d. Tonsilitis kronis dengan gejala nyeri tenggorok yang menetap
3. Kecurigaan adanya tumor jinak atau ganas