Anda di halaman 1dari 10

JUMP I

1. Otoskopi : pemeriksaan visual telinga untuk memeriksa kanal telinga dan membran
timpani yang menggunakan alat bernama otoskop. Pemeriksaan untuk melihat warna,
kontur, refleks cahaya dari membran timpani dan melihat adanya sekret telinga.
2. Sekret mukopurulen : sekret yang keluar bersamaan mukus dan purulren ( pus )
3. Pulsating point :denyutan pembuluh darah yang seirama dengan denyutan jantung
4. Rhinosopi : Terdapat dua jenis pemeriksaan, yaitu rhinoskopi anterior (menggunakan
speculum untuk mengamati meatus, concha, dan sinus) dan rhinoskopi posterior
(menggunakan cermin untuk melihat dinding nasopharynx dan bagian posterior
lidah).
5. Membran timpani sentral: perforasi/lubang yang lokasinya terjadi di membran
timpani bagian tengah, lokasinya pada pars tensa, bisa kuadran antero-inferior,
postero-inferior, dan postero-superior, kadang-kadang subtotal.
6. Tonsil T3-T3 : pembesaran tonsil ( tonsila palatina ) kanan dan kiri yang sudah
mencapai jarak arcus anterior dan uvula
7. Palatal phenomena: positif jika tidak ada massa di nasofaring yang cukup signifikan
besarnya yang dapat menghambat pergerakan palatum mole.
8. Kripta : lipatan epitel skuamosa yang dalam pada tonsil
9. Detritus : merupakan kumpulan leukosit, bakteri, dan juga epitel yang mengalami
pelepasan, menimbulkan bentukan bercak berwarna putih pada tonsil.
10. Chonca inferior edema : inflamasi pada daerah tonjolan terendah di lateral dinding
hidung
11. A/N ratio: rasio adenoid nasofaring
12. Fossa adenoid :terletak di inferosuperior nasofaring dan berdekatan dengan tuba
auditiva Eustachii
13. Limfadenopati :pembengkakan/abnormalitas pada suatu limfonodi atau kelenjar limfe
secara umum baik dari segi ukuran, bentuk, konsistensi, maupun jumlahnya. Dapat
terjadi akibat adanya infeksi, keganasan, atau penyebab lain. Radang pada kelenjar
limfe dinamakan limfadenitis.
14. Septum nasi deviasi: pembatas hidunga antara kanan dan kiri. Apakah terdapat
belokan atau tidak. Biasanya terjadi deviasi akibat obstruksi dan infeksi.
15. Hiperemis : warna kemerahan pada mukosa akibat aliran darah yang berlebih pada
pembuluh darah disekitarnya. Merupakan tanda adanya inflamasi.
1. Hubungan antara usia pasien dengan keluhan yang dirasakan pasien
Usia pasien pada skenario 1 adalah 8 tahun, hal ini menunjukkan bahwa pasien termasuk
golongan anak-anak. Pada anak-anak, adenoid mengalami hipertrofi. Secara fisiologis,
adenoid akan mengalami hipertrofi pada masa puncaknya yaitu 3-7 tahun dan kemudian
mengecil dan menghilang sama sekali pada usia 14 tahun. Hipertrofi adenoid biasanya
asimptomatik, namun jika cukup besar akan menyebabkan gejala. Hipertrofi adenoid juga
didapatkan pada anak yang mengalami infeksi kronik atau rekuren pada ISPA. Pada balita
jaringan limfoid dalam cincin waldeyer sangat kecil. Pada anak berumur 4 tahun bertambah
besar karena aktivitas imun, karena tonsil dan adenoid (pharyngeal tonsil) merupakan organ
limfoid pertama di dalam tubuh yang memfagosit kuman-kuman patogen. Jaringan tonsil dan

adenoid memiliki peranan penting sebagai organ yang khusus dalam respon imun humoral
maupun selular. Oleh karena itu, hipertrofi dari jaringan merupakan respons terhadap
kolonisasi dari flora normal itu sendiri dan mikroorganisme patogen.
Selain itu, pada anak anak tuba lebih pendek, lebih lebar, dan kedudukannya lebih
horisontal dari tuba orang dewasa. Panjang tuba orang dewasa 37,5 mm dan pada anak
dibawah 9 bulan adalah 17,5 mm. Hal ini mengakibatkan penyebaran patogen dari saluran
napas ke telingan dalam melalui tuba auditiva pada anak lebih mudah dan memiliki intensitas
kejadian yang cukup sering.
2. Mengapa keluhan keluarnya cairan telinga didahului demam dan telinga yang
sakit?
Pada penyakit telinga tengah, seringkali dimulai oleh gangguan pada tuba eustachius.
Gangguan ini dapat disebabkan karena hiper trofi adenoid yang mendesak jaringan tuba
sehingga sistem imun mukosa dan silia tuba rusak dan kekurangan kemampuan untuk
melindungi tuba dari pathogen. Saat sudah terjadi proses peradangan yang kemudian
berlanjut ke infeksi, akan terbentuk sekret mukopurulen di tuba eustachius, sekret ini akan
menuju ke telinga tengah. Karena sekret tidak bisa keluar disebabkan karena terhalang
membran timpani, sekret akan terus bertumpuk di belakang membran timpani.
Penumpukan sekret ini akan menyebabkan menekan suplai darah membran timpani, hal
ini akan menyebabkan jaringan membran timpani mengalami iskemia. Secara berproses
jaringan tersebut akan nekrosis sedikit demi sedikit. Pada tahap ini pasien akan mengalami
nyeri telinga. Saat nekrosis sudah cukup luas, membran timpani akan mengalami perforasi.
Kemudian karena perforasi, sekret akan mengalir keluar dari telinga. Rasa nyeri akan
menurun saat sekret sudah keluar dari telinga.
3. Fisiologi pendengaran
Beberapa organ yang berperan penting dalam proses pendengaran adalah membran
tektoria, sterosilia dan membran basilaris. Interaksi ketiga struktur penting tersebut sangat
berperan dalam proses mendengar. Pada bagian apikal sel rambut sangat kaku dan terdapat
penahan yang kuat antara satu bundel dengan bundel lainnya, sehingga bila mendapat
stimulus akustik akan terjadi gerakan yang kaku bersamaan. Pada bagian puncak stereosillia
terdapat rantai pengikat yang menghubungkan stereosilia yang tinggi dengan stereosilia yang
lebih rendah, sehingga pada saat terjadi defleksi gabungan stereosilia akan mendorong
gabungan-gabungan yang lain, sehingga akan menimbulkan regangan pada rantai yang
menghubungkan stereosilia tersebut. Keadaan tersebut akan mengakibatkan
terbukanya kanal ion pada membran sel, maka terjadilah depolarisasi.
Gerakan yang berlawanan arah akan mengakibatkan regangan pada rantai tersebut
berkurang dan kanal ion akan menutup. Terdapat perbedaan potensial antara intra sel,
perilimfa dan endolimfa yang menunjang terjadinya proses tersebut. Potensial listrik koklea
disebut koklea mikrofonik, berupa perubahan potensial listrik endolimfa yang berfungsi
sebagai pembangkit pembesaran gelombang energi akustik dan sepenuhnya diproduksi oleh
selrambut luar (May, Budelis, & Niparko, 2004). Pola pergeseran membran basilaris
membentuk gelombang berjalan dengan amplitudo maksimum yang berbeda sesuai dengan

besar frekuensi stimulus yang diterima. Gerak gelombang membran basilaris yang timbul
oleh bunyi berfrekuensi tinggi (10 kHz) mempunyai pergeseran maksimum pada bagian basal
koklea, sedangkan stimulus berfrekuensi rendah (125 kHz) mempunyai pergeseran
maksimum lebih kearah apeks.
Gelombang yang timbul oleh bunyi berfrekuensi sangat tinggi tidak dapat mencapai
bagian apeks, sedangkan bunyi berfrekuensi sangat rendah dapat melalui bagian basal
maupun bagian apeks membran basilaris. Sel rambut luar dapat meningkatkan atau
mempertajam puncak gelombang berjalan dengan meningkatkan gerakan membran basilaris
pada frekuensi tertentu. Keadaan ini disebut sebagai cochlear amplifier.
Skema proses mendengar diawali dengan ditangkapnya energi bunyi oleh telinga luar,
lalu menggetarkan membran timpani dan diteruskan ketelinga tengah melalui rangkaian
tulang pendengaran yang akan mengamplifikasi getaran tersebut melalui daya ungkit tulang
pendengaran dan perkalian perbandingan luas membran timpani dan tingkap lonjong. Energi
getar yang telah diamplifikasikan akan diteruskan ke telinga dalam dan di proyeksikan pada
membran basilaris, sehingga akan menimbulkan gerak relatif antara membran basilaris dan
membran tektoria. Proses ini merupakan rangsang mekanik yang menyebabkan terjadinya
defleksi stereosilia sel-sel rambut, sehingga kanal ion terbuka dan terjadi pelepasan ion
bermuatan listrik dari badan sel. Keadaan ini menimbulkan proses depolarisasi sel rambut,
sehingga melepaskan neurotransmiter ke dalam sinapsis yang akan menimbulkan potensial
aksi pada saraf auditorius, lalu dilanjutkan ke nukleus auditorius sampai ke korteks
pendengaran. (Keith, 1989 )
4. Anatomi dan histologi telinga pada anak dan dewasa
a. Telinga Externa
Auricula externa tersusun atas auricula ( cuping telinga ) dan meatus acusticus
externus ( kanal telinga). Pada bagian sepertiga luar auricula tersusun oleh
cartilago elastin, dilapisi oleh epitel squamous komplex kornifikasi dan terdapat
banyak kelenjar seruminosa ( serumen ) dan kelenjar sebasea ( keringat ). Pada
dua pertiga dalam tersusun atas tulang dan dilapisi epitel squamous komplex
nonkornifikasi. Bagian ini hanya terdapat sedikit kelenjar serumen.
b. Telinga Media
Telinga media membatasi antara telinga luar dengan telinga dalam. Pada bagian
ini terdapar membran tympani ( gendang telinga ), ossicula auditiva ( tulang
pendengaran ), cavum tympani, dan tuba auditiva Eustachii.
Membran tympani terusun atas 2 pars, yaitu pars flaksida ( membran Shrapnell )
pada bagian atas dan bagian bawah pars tensa. Pars flaksida hanya berlapis 2
sedagkan pars tensa tersusun atas 3 lapis. Dilapisi epitel kulit, dan bagian dalam
dilapisi epitel kubus bersilia seperti epitel pernafasan khusus pada pars tensa
terdapat serabut kolagen dan sedikit serat elastin.
Bayangan penonjolan maleus bagian bawah pada memban tympani disebut umbo.
Dari umbo bermula suatu reflek cahaya (cone of light ). Membran tympani dibagi
menjadi 4 kuadran.
Tulang pendengaran dari luar ke dalam berturut-turut adalah maleu, incus, dan
stapes. Antar tulang ini terdapat perendian dan stapes terletak pada tingkap
lonjong yang menghubungkan dengan cochlea.

c. Telinga Interna
Berupa setengah lingkaran cochlea dan 3 buah canalis semisirkularis. Ujung
atau puncak dari cochlea disebut helikotrema, menghubungkan perilimfe skala
vestibuli dan skala tympani. Diantara skala vestibuli dan skala tympani terdapat skala
media ( ductus cochlearis) tempat dari organ corti. Skala media berisi cairan
endolimfe seperti cairan LCS ( cerebrospinal liquid ). Batas antara skala vestibuli
dengan media adalah membrana Reissner sedangkan batas skala media dan tympani
adalah membrana basillaris. Pada membrana basillaris inilah ogan corti melekat.
Orgaan corti trusun atas 1 sel rambut dalam, dan 3sel rambut luar. Satu sel rambut
dalam tersusun atas satu kinosilia dan banyak stereosilia yang saling dihubungkan
oleh tiplink.
5. Penyebab keluarnya/terbentuknya cairan kuning kental dari telinga pasien
Perforasi umumnya berbentuk bulat. Bila disebabkan oleh trauma
biasanya berbentuk robekan dan di sekitarnya terdapat bercak
darah. Lokasi perforasi dapat di atik (di daerah pars flaksida), di sentral (di
pars tensa dan di sekitar perforasi masih terdapat membran) dan di
marginal (perforasi terdapat di pars tensa dengan salah satu sisinya
langsung
berhubungan
dengan
sulkus
timpanikus). Gerakan membran timpani normal dapat dilihat dengan
memakai otoskop. Pada sumbatan tuba Eustachius tidak terdapat gerakan
membran timpani.

6. Hubungan riwayat penyakit sebelumnya dengan keluhan sekarang


Hipertrofi Adenoid
Adenoid ialah massa yang terdiri dari jaringan limfoid yang terletak
pada dinding posterior nasofaring, termasuk dalam rangkaian cincin
Waldeyer. Secara fisiologik adenoid ini membesar pada anak usia 3 tahun
dan kemudian akan mengecil dan hilang sama sekali pada usia 14 tahun.
Bila sering terjadi infeksi saluran napas bagian atas maka dapat terjadi
hipetrofi adenoid. Akibat dari hipertrofi ini akan timbul sumbatan koana
dan sumbatan tuba Eustachius.
Jadi bisa disimpulkan bahwa pada pasien ini terjadi pembesaran
adenoid dikarnakan sering terjadi infeksi saluran napas pada pasien
(sebulan sekali) hal ini menyebabkan timbulnya sumbatan pada koana dan
tuba Eustachius sehingga lama kelamaan bisa mengalami Otitis Media.

7. Interpretasi pemeriksaan THT dan rontgen kepala lateral


a. Pemeriksaan THT
Pada pemeriksaan telinga dengan otoskopi didapatkan telinga kanan liang
telinga lapang, tampak sekret mukopurulen, dan tampak perforasi membran timpani
sentral (pulsating point +) menunjukkan bahwa otitis media yang diderita sudah
mencapai stadium perforasi. Rupturnya membran timpani menyebabkan nanah
keluar mengalir dari telinga tengah ke liang telinga luar. Anak yang tadinya gelisah
sekarang menjadi tenang, suhu badan turun dan anak dapat tertidur nyenyak, hal ini
sesuai dengan hasil pemeriksaan fisik yang didapatkan yaitu kesadaran compos
mentis dan tanda vital dalam batas normal.

Pada pemeriksaan rhinoskopi anterior didapatkan sekret seromukous, konka


inferior oedema, hiperemis, septum nasi deviasi (-), palatal phenomena -/-. Adanya
sekret encer yang banyak serta mukosa oedema dan hiperemis, ditambah riwayat
pasien yang sering batuk pilek mengarah pada kemungkinan rhinitis alergi. Septum
nasi deviasi yang positif merupakan faktor predisposisi dari sinusitis. Palatal
phenomena -/- menunjukkan adanya hambatan gerakan pada palatum molle, hal ini
kemungkinan disebabkan oleh hipertrofi adenoid pasien.
Pada pemeriksaan tenggorok didapatkan tonsil T3-T3, hiperemis kripta
melebar, detritus (+). Hal ini menunjukkan tonsilitis yang diderita digolongkan ke
dalam tonsilitis kronis eksaserbasi akut. Termasuk kronis karena detritus sudah
menyebabkan kripta melebar, sedangkan dikatakan eksarserbasi akut karena mukosa
masih hiperemis.
b. Rasio Adenoid Nasofaring ( A/N )
Pemeriksaan Foto Polos Lateral Adenoid, adalah pemeriksaan radiologi untuk
mengevaluasiukuran adenoid terhadap ukuran luas nasofaring.
a. Grade 1: Rasio Adenoid-Nasofaring 0 0,52 : tidak ada pembesaran
b. Grade 2: Rasio Adenoid-Nasofaring 0,52 0,71 : pembesaran sedang-non
obstruksi
c. Grade 3: Rasio Adenoid-Nasofaring > 0,71 : pembesaran dengan obstruksi
( Amar dkk, 2013 )
Pembesaran adenoid diklasifikasikan menjadi 3 kategori berdasarkan derajat
sumbatanadenoid terhadap jalan udara nasofaring, yaitu:
a. Ringan (grade 1) : bila sumbatan adenoid < / = 50% dari jalan udara
nasofaring
b. Sedang (grade 2) : bila sumbatan adenoid 50%- 75% dari jalan udara
nasofaring
c. Berat (grade 3) : bila sumbatan adenoid > 75% dari jalan udara nasofaring.
8. Indikasi dan kontraindikasi
- Pmx otoskopi:
Indikasi: Adanya kecurigaan penyakit pada telinga tengah. Sumbatan pada
telinga, Infeksi telinga luar/ tengah, Timpanosclerosis dan gangguan
pendengaran.
Kontraindikasi: Adanya riwayat gangguan telinga, Pendengaran pada satu
teluga terpengaruh, dan pasien yang kurang kooperatif.
- Pmx rhinoskopi
Indikasi: Gangguan mukosa hidung dan gangguan septum rongga hidung.
Kontraindikasi: Perdarahan dan pasien yang kurang kooperatif
9. Alasan tidak ditemukan limfadenopati pada KGB pasien
Kecurigaan terhadap Ca Nasofaring dapat disingklrkan
10. Diagnosis diferensial
Otitis Media
a. Patogenesis

Telinga tengah biasanya steril dan mikroba biasanya terdapat di


nasofaring dan faring. Secara fisiologis, terdapat mekanisme pencegahan
masuknya mikroba ke dalam telinga tengah oleh silia mukosa tuba Eustachius,
enzim, dan antibodi.
Otitis media akut terjadi karena gangguan pertahanan tubuh. Penyebab
utamanya adalah sumbatan pada tuba Eustachius sehingga pencegahan
masuknya kuman ke dalam tuba terganggu yang kemudian kuman akan
memasuki telinga tengah.
Penyebab lain dari OMA adalah infeksi saluran pernapasan atas. Pada
anak, makin sering terserang ISPA, makin besar pula kemungkinannya untuk
menderita OMA. Pada bayi yang tuba Eustachius-nya pendek, lebar, dan agak
horizontal memudahkan untuk terjadi OMA.
Otitis media akut terbagi atas beberapa stadium berdasarkan gambaran
membrane tympanica:
i. Stadium Oklusi
Tanda adanya oklusi tuba Eustachius adalah gambaran retraksi
membran akibat tekanan negatif di dalam telinga tengah. Terkadang
membrana tympanica tampak normal atau keruh pucat. Efusi tidak
dapat dideteksi.

ii. Stadium Hiperemis (Pre-supurasi)


Tampak pembuluh darah melebar di membrana tympanica. Bisa
juga disertai edema. Sekret yang terbentuk mungkin masih berupa
eksudat serosa sehingga sukar dideteksi.
iii. Stadium supurasi
Edema hebat pada mukosa telinga tengah dan hancurnya sel epitel
superfisial serta terbentuknya eksudat yang purulen di cavum
tympanica, menyebabkan bulging. Keadaan ini bermanifestasi pada
pasien sebagai rasa sakit, nadi dan suhu meningkat, serta otalgia yang
bertambah parah.
Iskemia terjadi apabila tekanan nanah pada membrana
tympanica berlangsung terus-menerus yang kemudian akan terjadi
nekrosis. Nekrosis ini akan tampak sebagai daerah yang lebih lunak
dan berwarna kekuningan dan rawan terjadi ruptur.
Bila tidak dilakukan myringotomi, akan besar kemungkinan
terjadi ruptur pada membrana tympanica serta keluarnya nanah ke
telinga luar. Luka pada membrana tympanica akan menutup lebih baik
apabila dilakukan myringotomi dibanding ruptur.
iv. Stadium perforasi
Pada stadium ini terjadi ruptur membrana tympanica dilanjutkan
oleh keluarnya nanah dari telinga tengah. Disebabkan karena
terlambatnya pemberian antibiotik atau virulensi kuman yang tinggi.
Anak pada stadium ini akan lebih tenang dan suhu tubuhnya menurun.

v.
1.
2.
3.

Stadium resolusi
Membrana tympanica utuh membran akan normal kembali
Sudah terjadi perforasi sekret berkurang dan akhirnya kering
Perforasi menetap dengan sekret yang keluar terus atau hilang timbul
terjadi otitis media supuratif kronis
OMA berubah menjadi otitis media serosa apabila sekret menetap di cavitas
tympanica tanpa terjadinya perforasi.
b. Diagnosis
Selain anamnesis, evaluasi dari pasien yang mengarah pada otitis
media harus dilakukan otoskopi. Pemeriksaan ini bertujuan untuk menilai
keadaan telinga tengah terutama membran timpani.
c. Tatalaksana
Pertama tama berikan antibiotik untuk patogen yang umumnya
sering menjadi penyebab otitis media secara intravena, diikuti dengan kultur
spesifik antibiotik. Karena meningkatnya insidensi resisten antibiotik
penicilin, gunakan vancomycin sampai hasil kultur diperoleh.
Otitis media akut yang menyebabkan komplikasi meningitis,
mastoiditis, atau intrakranial akut/subakut paling baik diberikan terapi dengan
generasi ketiga cephalosporin.
Furosemide dan mannitol efektif dalam menurunkan hipertensi
intrakranial pada otitis hidrocephalus, namun, terapi yang paling baik
membutuhkan mastoidektomi dengan pembukaan dan penghilangan jaringan
granulasi ekstradural.
d. Komplikasi
Resiko terjadinya komplikasi pada otitis media meningkat jika masa
akut dari otitis media lebih dari 2 minggu atau apabila gejala otitis media
kembali muncul pada minggu 2-3 setelah mendapatkan pengobatan.
Komplikasi pada otitis media secara garis besar dapat dibagi menjadi 2
berdasarkan letak terjdinya, yakni komplikasi ekstrakranial dan komplikasi
intrakranial.
Karakteristik komplikasi ekstrakranial:
1. Otitis media supuratif Kronis : bentuk dari otomastoiditis kronis, seringkali
terjadi akibat invasi Pseudomonas aeruginosa
2. Paralisis nervus facialis : ada kemungkinan berhubungan dengan infeksi
akut atau subakut/kronis
3. Labyrinthitis : bisa serous atau supuratif
4. Mastoiditis dengan subperiostal abses : bisa berupa Bezold ascess , yang
merepsentatifkan perluasan abses dari mastoid ke digastric groove, abses
temporal juga bisa berasal dari perluasan abses yang melalui erosi tulang

5. Petrositis : gejala yang terjadi bisa berupa trias nyeri retro-orbital,


otorrhea, dan paralisis abdusen; kondisi ini biasa dikenal dengan sindrom
Gradenigo
Karakteristik komplikasi intrakranial
Abses otak bisa terjadi di lobus temporal atau di cerebellum, dengan penyebab
tersering otitis media. Abses epidural bisa terjadi sebagai hasil dari erosi tulang dan
penyebaran dari cholesteatoma.
Meningitis bisa berhubungan dengan infeksi akut atau subakut/kronis. Otitis
media akutadalah penyemab terumum dari meningitis. Jaringan granulasi ekstradural
atau pus mungkin ditemukan.
Trombosis sinus sigmoid atau abses/empiema subdural bisa berhubungan
dengan otitis media. Otitis hidrocepalus bisa terjadi sebagai hasil dari peningkatan
tekanan intrakranial sekunder akibat infeksi telinga tengah dan ditambah dengan
terjadinya trombosis sinus sigmoid dengan oklusi total.
Berdasarkan Donaldson (2015), komplikasi otitis media dibedakan
berdasarkan lokasi penyakit menyebar diluar struktur mukosal dari telinga tengah:
a. Intratemporal: perforasi membran timpani, mastoiditis akut, facial nerve palsy,
labirintitis akut, otitis nekrotik akut, otitis media kronik
b. Intrakranial: meningitis, ensefalitis, abses otak, otitis hidrosefalus, abses
subarachnoid, abses subdural, thrombosis sinus sigmoid
c. Sistemik: bakteremia, arthritis septik, atau endokarditis bakterial.
Tonsillitis
Tonsilitis adalah suatu peradangan pada tonsil (amandel) yang dapat menyerang
semua golongan umur.
Patogenesis
Tonsil adalah kelenjar getah bening di mulut bagian belakang (di puncak
tenggorokan). Tonsil berfungsi membantu menyaring bakteri dan mikroorganisme
lainnya sebagai tindakan pencegahan terhadap infeksi. Tonsil bisa 'dikalahkan' oleh
infeksi bakteri maupun virus, sehingga membengkak dan meradang, menyebabkan
tonsilitis. Infeksi juga bisa terjadi di tenggorokan dan daerah sekitarnya,
menyebabkan faringitis.
Berdasarkan lama perjalanan penyakit dan penyebabnya, tonsillitis terbagi atas
tonsillitis akut dan tonsillitis kronis.
1. Tonsilitis Akut
Merupakan radang pada tonsil yang timbulnya (onset) cepat, atau berlangsung
dalam waktu pendek (tidak lama), dalam kurun waktu jam, hari hingga minggu.
Lebih disebabkan oleh kuman streptokokus beta hemolitikus grup A,
pneumokokus, streptokokus viridian, dan streptokokus piogenes. Infiltrasi bakteri
pada lapisan epitel jaringan tonsil akan menimbulkan reaksi radang berupa

keluarnya leukosit polimorfonuklear sehingga terbentuk detritus. Detritus ini


merupakan kumpulan leukosit, bakteri yang mati dan epitel yang terlepas. Secara
klinis detritus ini mengisi kripte tonsil dan tampak sebagai bercak kekuningan.
2. Tonsilitis Kronik
Tonsilitis yang berlangsung lama (bulan atau tahun) atau dikenal sebagai
penyakit menahun.Bakteri penyebab tonsillitis kronik sama halnya dengan
tonsillitis akut, namun kadang-kadang bakteri berubah menjadi bakteri golongan
gram negatif.Faktor predisposisi tonsillitis kronis antara lain rangsangan kronis
rokok, makanan tertentu, higiene mulut yang buruk, pengaruh cuaca, kelelahan
fisik, dan pengobatan tonsillitis akut yang tidak adekuat.Karena proses
radang berulang maka epitel mukosa dan jaringan limfoid terkikis, sehingga pada
proses penyembuhan jaringan limfoid diganti dengan jaringan parut. Jaringan ini
akan mengerut sehingga ruang antara kelompok melebar yang akan diisi oleh
detritus, proses ini meluas hingga menembus kapsul dan akhirnya timbul
perlekatan dengan jaringan sekitar fosa tonsilaris.
Etiologi (Penyebab)
Penyebabnya adalah infeksi bakteri streptokokus atau infeksi virus (lebih jarang).
Manifestasi Klinis (Gejala)
a. Penderita biasanya mengeluh sakit menelan, lesu seluruh tubuh, nyeri sendi,
dan kadang atalgia sebagai nyeri alih dari Nervus IX.
b. Suhu tubuh sering mencapai 40C, terutama pada anak.
c. Tonsil tampak bengkak, merah, dengan detritus berupa folikel atau membran.
Pada anak, membran pad tonsil mungkin juga disebabkan oleh tonsilitis
difteri.
d. Pemeriksaan darah biasanya menunjukkan leukositosis.
e. Pada tonsilitis kronik hipertrofi, tonsil membesar dengan permukaan tidak
rata, kripta lebar berisi detritus. Tonsil melekat ke jaringan sekitarnya. Pada
bentuk atrofi, tonsil kecil seperti terpendam dalam fosa tonsilaris.
f. Gejala lainnya adalah demam, tidak enak badan, sakit kepala dan muntah.
Diagnosis
Diagnosis berdasarkan gejala klinik dan pemeriksaan fisik. Dengan bantuan
spatel, lidah ditekan untuk melihat keadaan tonsil, yaitu warnanya, besarnya,
muara kripte apakah melebar dan ada detritus, nyeri tekan, arkus anterior
hiperemis atau tidak.
Besar tonsil diperiksa sebagaiberikut:
T0
= tonsil berada di dalam fossa tonsil atau telah diangkat
T1
= bila besarnya 1/4 jarak arkus anterior dan uvula
T2
= bila besarnya 2/4 jarak arkus anterior dan uvula
T3
= bila besarnya 3/4 jarak arkus anterior dan uvula
T4
= bila besarnya mencapai arkus anterior atau lebih

Komplikasi
Otitis media akut (pada anak-anak), abses peritonsil, abses parafaring,
toksemia, septicemia, bronchitis, nefritis akut, miokarditis, dan arthritis.
Tatalaksana
Terapi
Dengan menggunakan antibiotik spectrum luas dan sulfonamide, antipiretik,
dan obat kumur yang mengandung desinfektan.
Indikasi tonsilektomi
1. Sumbatan
a. Hiperplasia tonsil dengan sumbatan jalan nafas
b. Gangguan menelan
c. Gangguan berbicara
2. Infeksi
a. Infeksi telinga tengah berulang
b. Rinitis dan sinusitis yang kronis
c. Peritonsiler abses
d. Tonsilitis kronis dengan gejala nyeri tenggorok yang menetap
3. Kecurigaan adanya tumor jinak atau ganas

Anda mungkin juga menyukai