Anda di halaman 1dari 7

KESETIAAN DAN CINTA TULUS

SEORANG SUAMI

Sebuah contoh kesabaran dan kesetiaan seorang suami pada


istrinya yang patut dijadikan teladan bagi kita semua.
Rumah kontrakan kecil di wilayah kecamatan Wonokromo
Surabaya, yang berisi kamar tidur dan sebuah dapur mini menjadi
saksi bisu keindahan hidup suami istri ini, Rofi dan Tini.
Kesederhanaan telah menjadi gambaran keseharian mereka. Rofi
lelaki asal Surabaya, berprofesi sebagai tenaga kontrak sebuah
perusahaan kontraktor bangunan di kota asalnya, dan Tini, istrinya,
adalah seorang wanita lugu asal kota Reog, Ponorogo, yang
berprofesi sebagai penjual bakso di depan rumah kontrakan mereka.
Rofi adalah tipe lelaki kurus, pendiam dan bersahaja yang hampir
setiap hari selalu menyempatkan diri untuk sholat berjamaah di
mushola dekat rumahnya.
Sedangkan Tini, wanita yang bertubuh agak gemuk, suka bercanda
namun tetap bersahaja seperti halnya suaminya. Dalam
kesehariannya, jarang sekali perselisihan ditemukan dalam rumah
tangga mereka, sehingga para tetangga menganggap mereka
sebagai pasangan yang harmonis.
Hampir sepuluh tahun sudah perjalanan rumah tangga Rofi dan Tini,
tapi sayang belum seorang anak pun yang Allah amanahkan kepada
mereka. Resah yang Tini rasakan, apalagi jika melihat suaminya
sering menggendong anak kecil, entah anak saudaranya ataupun
anak tetangganya. Sedih pula hati kecilnya ketika ia merasa belum
bisa memberikan keturunan untuk suaminya dari rahimnya sendiri.
Tapi Tini bukanlah wanita yang lemah dan cengeng, walaupun
kondisi fisiknya memburuk karena sakit dan berwajah tak secantik
wanita pada umumnya, tapi ia adalah sosok wanita yang tegar dan
ikhlas. Tegar tatkala ujian seperti ini datang melanda dirinya dan
ikhlas tatkala mengizinkan suaminya untuk menikah lagi dengan

wanita lain agar bisa mendapatkan keturunan dari darah dagingnya


sendiri.
Tapi dibalik tegar dan ikhlas yang coba ia tanamkan dalam
benaknya, ada jerit tangis yang menyayat dalam jiwanya, jerit tangis
seorang wanita. Selayaknya wanita lainnya, ia pun sebenarnya tak
ingin dimadu dalam hidupnya. Tapi apa boleh buat, kenyataan
membuatnya harus menerima keadaan ini.
Lain halnya dengan Rofi, Rofi tidaklah lelaki seperti kebanyakan.
Sebagaimana istrinya, ia pun bukan lelaki lemah yang mudah
tergoda bujuk rayu wanita lain meski telah mendapat izin dari
istrinya untuk menikah.
Ia adalah tipe laki-laki yang sabar dan setia. Namun sebagai lakilaki normal tentu besar pula keinginannya untuk memiliki anak dari
darah dagingnya sendiri sebagai penghibur dirinya tatkala lelah
menghampiri, tapi ia tepiskan keinginannya itu jauh-jauh demi
menjaga perasaan istrinya.
Lama sudah rasa resah itu melanda hati Tini. Bertambahlah resah itu
saat Rofi, lelaki yang dicintainya, mendapat tugas kerja untuk jangka
waktu yang lama di kota Sorong, Papua. Sebuah kota yang jauh
dari tempat tinggalnya sekarang, Surabaya. Apalagi untuk orang
kecil sepertinya, sebuah tiket pesawat ke Papua tentu menjadi
barang yang mahal untuk ia dapatkan.
Setahun berlalu sejak keberangkatan suaminya ke Sorong, tak jarang
hati Tini merasakan kerinduan yang teramat sangat. Apalagi sejak
pertama berangkat hingga kini, belum sekalipun suaminya pulang
untuk menjenguknya.
Hanya melalui telepon, suara Rofi yang gagah layaknya seorang lakilaki perkasa dari seberang sanalah yang sanggup meredam

kerinduannya walau hanya sesaat. Itupun tidak setiap hari, hanya


pada saat-saat tertentu saja suaminya menelpon dirinya.
Bila kemudian kerinduan itu datang lagi menerpa, kembali rasa
resah dan gundah menghantui dirinya. Resah jika suaminya menikah
lagi tanpa sepengetahuan dirinya.
Dan gundah jika suaminya enggan kembali ke Jawa lantaran telah
memiliki keluarga baru di sana dengan seorang istri yang cantik dan
anak yang lucu. Tapi ia tetap berusaha tegar dan ikhlas dengan
apapun yang terjadi. Hanya doa-doa manis penenang jiwalah yang
bisa ia panjatkan sekedar untuk menenangkan hatinya yang gelisah
itu.
Belakangan, sudah beberapa lama ini Rofi, suaminya, tak kunjung
menelpon dirinya. Tapi ia tetap bersikap tenang. Diingatnya sejumlah
dialog yang pernah terjadi diantara mereka sebelum Rofi berangkat
ke Sorong, Papua.
Dialog seorang istri yang sedih lantaran ditinggal ke luar kota oleh
suaminya dalam waktu yang lama, dan dialog seorang istri yang
dengan berat hati mengizinkan suaminya untuk menikah kembali
dengan wanita lain. Tapi ada satu dialog yang selalu kan diingat dan
dikenang olehnya, suatu jawaban bijak dari Rofi atas pertanyaan
yang ditujukan kepadanya yang cukup membuat hati Tini menjadi
tenang,
"Sayang, kamu adalah segalanya bagiku. Allah anugerahkan kamu
untukku sebagai pelangi yang senantiasa mewarnai hidupku.
Senyummu adalah semangat jiwaku dan tangismu adalah duka
batinku.
Jikalau Allah berkehendak mengamanahkan seorang anak untuk
kita, tentulah teramat mudah bagiNya. Tapi jika Allah belum
menghendaki seorang anakpun untuk kita, mungkin ada rahasia

Allah dibalik itu yang takkan mudah kita pahami karena


keterbatasan ilmu kita, manusia.
Bila waktunya tiba, anak akan hadir walaupun kita tidak
menginginkannya hadir, dan sebaliknya, anak tak akan hadir walau
sesusah apapun kita menginginkannya untuk hadir. Karena itu
adalah hak prerogatif Allah sepenuhnya yang telah dicatat olehNya
dalam Lauhul Mahfudz.
Allah tahu apa yang terbaik untuk kita sekarang. Anak adalah
amanah, anak adalah titipan, dan anak adalah tanggung jawab.
Mungkin Allah menganggap kita belum mampu dan belum siap
untuk memikul amanah itu sehingga Allah menundanya untuk kita.
Seandainya Allah kirimkan seorang anak saat ini, mungkin kamu
akan terlalu sibuk mengurus anak kita sampai tak sempat lagi
mengurus aku, suamimu, sehingga akupun menjadi terabaikan dan
cemburu pada anak kita. Atau mungkin aku masih belum pantas
menjadi seorang ayah karena Allah menganggap aku belum
sanggup merawat anak kita lantaran berbagai keterbatasan yang
kumiliki.
Sayang, mungkin Allah hendak menjadikan kita selayaknya Nabi
Zakariyya yang dengan kesabarannya lalu dianugerahkan padanya
seorang anak yang soleh padahal usianya sudah sangat renta. Atau
mungkin Allah tak hendak menjadikan kita selayaknya Nabi Nuh
yang diberikannya seorang anak namun kafir lagi mendurhakai
Allah, Tuhannya, padahal ayahnya seorang nabi untuk umat di
zamannya. Allah lebih tahu apa yang terbaik untuk kita.
Sayang, aku tahu kamu punya banyak kekurangan. Tapi tak
selayaknya aku biarkan kekuranganmu itu menjadi aib bagimu. Aku
adalah pakaian terindah untukmu dan kamu adalah pakaian

terindah untukku, pakaian untuk menutup segala kekurangan yang


ada dalam diriku dan dirimu.
Betapapun banyaknya pakaian mahal dan indah yang bisa kubeli
dan kupakai, tapi hanya ada satu pakaian terbaik yang melekat
dalam tubuhku, dan pakaian itu adalah kamu.
Pakaian yang lain mungkin akan pudar dimakan zaman, pakaian
lain mungkin akan luntur ditelan waktu, tapi kamu, adalah pakaian
yang tak akan pernah pudar dan luntur selamanya, karena kamu
adalah pakaian terbaik hidupku yang Allah persembahkan untuk
aku. Lalu masih pantaskah aku untuk mencari pakaian-pakaian
yang lain? Yang belum tentu bisa kudapatkan pakaian sebaik dan
seindah kamu?
Seandainya aku jadi kamu dan aku menyuruhmu menikah lagi
hanya karena aku tak dapat memberikanmu seorang anak, betapa
naifnya aku telah menyia-nyiakanmu. Tak terbayangkan olehku
betapa sakitnya hati yang kurasakan melihat kamu bercumbu mesra
dengan orang lain yang menjadi maduku.
Tak terbayangkan pula olehku melihat kamu tersenyum bahagia
padahal hatiku hancur luluh lantah bagai ditelan bumi. Demikian
juga halnya denganku. Tak ingin rasanya aku melihatmu menangis
karena tak kuasa menahan sakitnya hati diduakan.
Dan tak ingin pula aku tersenyum di atas derita batin yang kamu
rasakan. Kamu adalah milikku satu-satunya di dunia ini dan begitu
pula aku adalah milikmu satu-satunya dalam hidupmu yang tak
akan pernah tergantikan oleh siapapun. Kamu tercipta untukku dan
aku tercipta untukmu.
Sekarang kamu tenang ya sayang, jangan bersedih lagi. Insya Allah
aku akan menjaga cinta ini untukmu selalu."

Tit..tit..tit..tit.....
Getar suara pesan singkat dari handphone milik Tini mengejutkan
keheningan malamnya. Sambil membuka pesan singkat yang baru
diterimanya, diambilnya sebuah bingkai foto Rofi, suaminya, lalu
didekapnya erat-erat dalam hangat peluknya. Tak lama pesan
singkat itu dibacanya :
"Sayang baik-baik ya di sana, aku kan selalu merindukanmu di sini. I
love u... dari Rofi, suamimu."

Anda mungkin juga menyukai