Kebijakan Penulisan Resep2
Kebijakan Penulisan Resep2
dibaca dengan jelas oleh pembaca resep, atau menggunakan fasilitas resep yang
dicetak elektronik tanpa tulis tangan jika memang sudah tersedia. 9. Menggunakan
tall-man lettering, penebalan, atau warna huruf berbeda pada pelabelan nama obat,
misalnya : ChlorproMAZINE vs ChlorproPAMIDE HydrALAzine vs HydrOXYzine
MeFINTER vs MeTIFER, dsb b. Permintaan Lisan. 1. Batasi permintan verbal, hanya
untuk obat-obatan tertentu, misalnya hanya dalam keadaan emergency. 2. Sebisa
mungkin menghindari order obat secara lisan terutama melalui telepon,
kemungkinan kesalahan mendengar sangat tinggi. 3. Diperlukan teknik mengulang
permintaan, dibacakan lagi permintaannya, jadi ada kroscek. c. Bagi tenaga
kesehatan 1. Apoteker mengidentifikasi obat yang diresepkan dengan teliti,
disesuaikan dengan nama dagang, nama generik, indikasi, serta kekuatan
sediannya. 2. Apoteker mengetahui dengan pasti persediaan obat-obatan yang
termasuk kategori SALAD. 3. LASA disimpan dengan jarak yang berjauhan satu
sama lain. 4. Tidak menyimpan obat-obat LASA secara alfabet, tetapi di tempat
terpisah, misalnya obat fast moving. 5. Cocokkan indikasi resep dengan kondisi
pasien sebelum dispensing atau administrating. 6. Membuat strategi pada obat
yang penyebab errornya diketahui, misalnya pada obat yang kekuatannya berbeda
atau pada obat yang kemasannya mirip. 7. Laporan error yang aktual dan potensial
(berpeluang terjadi error) 8. Diskusikan penyebab terjadinya error dan strategi ke
depannya. 9. Sewaktu penyerahan, tunjukkan obat sambil memberikan informasi,
supaya pasien mengetahui wujud obatnya dan untuk mereview indikasinya. 10. Di
rumah sakit, panitia farmasi dan terapi (PFT) bisa membuat kebijakan untuk obatobat ini. Misal, aturan penulisan obat atau logo obat-obat LASA. 6. SOP bila resep
tidak terbaca atau tidak jelas a. Resep yang diterima oleh petugas apotek dilakukan
identifikasi kelengkapan resep, yaitu : - Tanggal resep, nama dokter, nomor resep,
nama pasien, tanggal lahir pasien. - Aturan pakai (frekuensi, dosis, rute pemberian)
ditulis dengan jelas. - Resep obat dari golongan Narkotika dan Psikotropika harus
dibubuhi dengan tandatangan yang lengkap, alamat & nomor telepon yang dapat
dihubungi dari dokter yang menuliskan resep. - Tidak menggunakan istilah dan
singkatan sehingga mudah dibaca dan tidak disalahgunakan. b. Resep yang kurang
jelas penulisannya didiskusikan terlebih dahulu bersama staf apotek dan membaca
riwayat pengobatan pasien. c. Jika resep belumjelas maka apoteker
mengkonfirmasikan ke perawat dan meminta perawat yang menangani pasien
tersebut agar melihat status pemberian obat. d. Jika resep belum jelas maka
menghubungi dokter untuk memperoleh kejelasan resep. e. Apabila dokter tidak
dapat dihubungi maka dapat menghubungi ke bagian pelayanan medik untuk
selanjutnya meneruskan informasi ke dokter/SMF/ dokter jaga apakah resep
tersebut obatnya harus diganti. f. Apabila sudah mendapatkan kejelasan dari
dokter, maka perawat secepatnya mengkonfirmasikan resep ke instalasi farmasi
untuk segera dilayani dan disiapkan obatnya. 7. Jenis pemesanan tambahan yang
diijinkan. a. RS mengidentifikasi petugas yang kompeten yang diijinkan untuk
menuliskan resep atau memesan obat-obatan. b. Dalam situasi emergensi, RS
mengidentifikasi petugas tambahan yang diijinkan untuk menuliskan resep/pesanan
obat. c. Obat yang diijinkan bila elemen resepnya lengkap : - Obat emergensi .
Epinefrin, Lidocain, Sulfas Atropin, Ephedrin. Resep emergensi (darurat) diberi tanda
CITO ! atau cito (digarisbawahi atau diberi tanda seru) pada bagian atas resep
diparaf. Selain CITO, bisa juga menggunakan URGENT (penting), STATIM (penting),
atau PIM (Periculum In Mora = berbahaya bila ditunda) - Obat automatic stop order
(Narkotik, sedatif, hipnotik, antikoagulan). Obat-obat ini harus jelas aturan pakainya,
bila saat penggunaan tidak sesuai dengan aturan pakai, apoteker dapat
menghentikan obat.