OLEH KELOMPOK V
1. Nia Kurniasih
2. Nunung Sukaemi
3. Wawan Darmawan
4. Yuniar Rahmah
BAB 1
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Perilaku konsumsi konsumen masyarakat menunjukkan perilaku masyarakat
dalam jangka panjang terhadap alokasi pendapatannya untuk melakukan konsumsi yang
di dalamnya meliputi berapa besar pendapatan mereka yang dialokasikan untuk konsumsi
dan pola hasrat untuk mengkonsumsi. Dalam usaha mengalokasikan pendapatannya
untuk konsumsi tersebut, konsumen akan dihadapkan pada proses membuat keputusan
terhadap produk atau jasa yang akan dikonsumsi untuk memenuhi kebutuhan hidup
sekaligus mencapai kepuasan. Pada kondisi inilah sebenarnya perilaku konsumen sudah
mulai berjalan. Sehingga perilaku beli konsumen atau disebut perilaku konsumen,
bukanlah suatu perkara kecil karena setiap anggota masyarakat merupakan konsumen.
Setelah terjadi revolusi atau gelombang peradaban yang pertama, manusia
beranjak pada tahapan agrikultur. Mata pencaharian manusia sudah bukan lagi berburu
dan meramu, melainkan sudah pada tahap bercocok tanam. Pada tahap ini pola dan jenis
makanan yang dikonsumsi pun adalah makanan hasil olahan.
Setiap masyarakat memiliki persepsi yang berbeda mengenai benda yang
dikonsumsi. Perbedaan persepsi ini sangat dipengaruhi oleh nilai dan norma budaya yang
berlaku di masyarakat. Oleh karena itu, bila bertemu beberapa orang dengan latar
belakang budaya berbeda akan menunjukkan persepsi ini terhadap makanan yang
berbeda.
Semakin berkembangnya ilmu pengetahuan dan teknologi, pola makan dan gaya
hidup masyarakat menjadi semakin modern. Hal tersebut juga merubah stuktur sosial dan
kebudayaan masyarakat. Perubahan tersebut berkaitan dengan perubahan pola konsumsi,
produksi, dan distribusi pangan.
Pola makan masyarakat modern cenderung mengonsumsi makanan cepat saji
(fast food). Hal ini mereka lakukan karena tingginya jam kerja atau tingginya kompetisi
hidup yang membutuhkan kerja keras. Padahal, dibalik pola makan tersebut, misalnya
hasil olahan siap santap, memiliki kandungan garam yang sangat tinggi.
1.2 Permasalahan
1. Bagaimana terbentuknya pola konsumsi pada individu dan masyarakat ?
2. Bagaimana perubahan pola konsumsi makanan pada masyarakat ?
3. Bagaimana akibat yang ditimbulkan dan analisis konsekuensi
1.3 Tujuan
Mengetahui pola konsumsi , perubahan pola konsumsi dan akibat yang ditimbulkan pada
masyarakat .
BAB II
PEMBAHASAN
2.1 Pengertian Pola Konsumsi Makanan
Konsumsi, dari bahasa Belanda consumptie, ialah suatu kegiatan yang
bertujuan mengurangi atau menghabiskan daya guna suatu benda, baik berupa
barang maupun jasa, untuk memenuhi kebutuhan dan kepuasan secara langsung.
Menurut Dumairy (1996:114) menyatakan bahwa Konsumsi adalah bagain dari
pendapatan yang dibelanjakan. Sedangkan menurut Samuelson dan Nordhaus
(1995: 123) mendefinisikan konsumsi rumah tangga adalah pengeluaran untuk
pembelian barang-barang dan jasa akhir guna mendapatkan kepuasan ataupun
memenuhi kebutuhannya.
Menurut Dumairy (1996:117) menyatakan bahwa Pengeluaran untuk
makanan terdiri atas padi-padian,umbi-umbian, ikan, daging, telur dan susu,
sayur-mayur, kacang-kacangan, buah-buahan, minyak dan lemak, bahan
minuman, bumbuan, bahan pangan, makanan jadi, minuman beralkohol,
tembakau dan sirih. Sedangkan pengeluaran bukan makanan
tediri atas
perumahan dan bahan baker, aneka barang dan jasa (bahan perawatan badan,
bacaan, komunikasi, kendaraan bermotor, transportasi, pembantu, dan sopir),
biaya kesehatan, pakaian, alas kaki, tutup kepala, barang tahan lama, pajak dan
premi asuransi, keperluan pesta dan upacara.
Pola konsumsi menurut Samuelson (Makroekonomi: 2002) Dalam
kehidupan sehari-hari tidak pernah ada dua keluarga yang menggunakan uang
mereka dengan cara yang tepat sama. Pola konsumsidapat dikenali berdasrkan
alokasi penggunaannya. Untuk keperluan analisis, secara garis besar alokasi
pengeluaran konsumsi masyarakat digolongkan dalam dua kelompok penggunaan,
yauti pengeluaran untuk makanan dan pengeluaran untuk non- makanan.
Pola konsumsi makanan adalah susunan jenis dan jumlah makanan yang
dikonsumsi seseorang atau kelompok pada waktu tertentu (Khomsan, 2010). Pola
konsumsi makanan yang baik berpengaruh positif pada diri seseorang seperti
3
sebaya
dapat
mempengaruhi
seseorang
dalam
pula
letak
geografis
mempengaruhi
makanan
yang
lapar
umumnya
merupakan
sensasi
yang
kurang
2. Kekayaan
Orang kaya yang punya banya aset riil biasanya memiliki
pengeluaran konsumsi yang besar. Contonya seperti seseorang yang
memiliki banyak rumah kontrakan dan rumah kost biasanya akan memiliki
banyak uang tanpa harus banyak bekerja. Dengan demikian orang tersebut
dapat membeli banyak barang dan jasa karena punya banyak pemasukan
dari hartanya.
3. Tingkat Bunga
Bunga bank yang tinggi akan mengurangi tingkat konsumsi yang
tinggi karena orang lebih tertarik menabung di bank dengan bunga tetap
tabungan atau deposito yang tinggi dibanding dengan membelanjakan
banyak uang.
4. Perkiraan Masa Depan
Orang yang was-was tentang nasibnya di masa yang akan datang
akan menekan konsumsi. Biasanya seperti orang yang mau pensiun, punya
anak yang butuh biaya sekolah, ada yang sakit buatuh banyak biaya
perobatan, dan lain sebagainya.
Penyebab Faktor Demografi
1. Komposisi Penduduk
Dalam suatu wilayah jika jumlah orang yang usia kerja produktif
banyak maka konsumsinya akan tinggi. Bila yang tinggal di kota ada
banyak maka konsumsi suatu daerah akan tinggi juga. Bila tingkat
pendidikan sumber daya manusia di wilayah itu tinggi-tinggi maka
biasanya pengeluaran wilayah tersebut menjadi tinggi.
2. Jumlah Penduduk
Jika suatu daerah jumlah orangnya sedikit sekali maka biasanya
konsumsinya sedikit. Jika orangnya ada sangat banyak maka konsumsinya
sangat banyak pula.
konsumen
berusaha
untuk
lebih
hati-hati
dalam
atau
tabungan
akan
lebih
memilih
untuk
menyisihkan
Makin tinggi pendapatan seseorang makin tinggi pula daya belinya dan
semakin beraneka ragam kebutuhan yang harus dipenuhi, dan sebaliknya.
2. Tingkat Pendidikan
Makin tinggi pendidikan seseorang makin tinggi pula kebutuhan
yang ingin dipenuhinya. Contohnya seorang sarjana lebih membutuhkan
computer dibandingkan seseorang lulusan sekolah dasar.
3. Tingkat Kebutuhan
Kebutuhan setiap orang berbbeda-beda. Seseorang yang tinggal di
kota daya belinya akan lebih tinggi jika dibandingkan dengan yang tinggal
di desa.
4. Kebiasaan Masyarakat
Di
zaman
yang
serba
modern
muncul
kecenderungan
10
11
konsumen
memutuskan
untuk
membeli
barang
tanpa
12
13
Contoh ke 2 : Pak Harto tinggal di Jawa beliau terbiasa makan nasi dalam
kesehariannya, bisa menghabiskan berasa 30 Kg dalam 1 Bulan. Lalu ketika Pak
Harto pindah ke NTT, disana notabene pertanian ditanami dengan jagung, maka
lama kelamaan Pak Harto lebih sering memakan Jagung sebagai kebutuhan pokok
di bandingkan Nasi.
4. Perubahan Iklim
Cuaca sangat mempengaruhi pola konsumsi konsumen, saat cuaca panas
maka baju-baju yang tipis akan banyak diminati orang, minuman dan makanan
dingin juga banyak terjual, lain halnya jika dimusim hujan yang lebih laku terjual
adalah jas hujan, payung, sandal jepit, dsb.
Untuk diluar negeri yang memiliki musim salju atau dingin, akan membuat
pedagang mantel bulu laku keras. Inilah bukti betapa iklim sangat mempengaruhi
pola konsumsi.
5. Makanan Sebagai Identitas Kelompok
Nasi adalah satu komoditas makanan utama bagi masyarakat Sunda-Jawa.
Semantara jagung menjadi komoditas makanan utama masyarakat Madura. Bagi
orang barat mereka tidak membutuhkan nasi setelah mengkonsumsi roti karena
roti merupakan makanan utama dalam budaya barat. Persepsi dan penilaian seperti
ini merupakan makna makanan sebagai budaya utama sebuah masyarakat, oleh
karena itu tidak menghjerankan bila orang sunda, kendati sudah makan roti
kadang kala masih berkata belum makan kerena dirinya belum makan nasi.
Karena ada kesangsian terhadap makanan hasil olahan atau makanan
instan, banyak di antara masyarakat kota yang sudah mulai pidah ketradisi
vegetarian. Bagi kelompok gang, meenghirup ganja, narkoba, dan merokok
merupakan ciri kelompoknya. Kacang diidentikan sebagai makan yang biasa
menemani orang menonton sepak bola, merokok menjadi teman untuk
menghadirkan inspirasi atau kreativitas. Pemahaman dan persepsi inilah lebih
merupakan sebuah persepsi budaya tandingan (counter-cultulre) terhadap budaya
domuinan.
14
Identitas arus budaya utama (dominan culture), artinya harus ada dan
adanya kesangsian atau ketidak sepakatan dengan budaya arus utama, dan.
Makanan sebagai identitas budaya bagi suatu kelompok tertentu
(subculture)
15
16
17
swasta (52,7%), dan pekerjaan ibu yaitu IRT/tidak bekerja (62,5%). Terdapat
50,9% responden yang mengalami obesitas/overweight dan 49,1% yang tidak
mengalami overweight. Dengan kata lain, status gizi obesitas/overweight lebih
banyak dibandingkan dengan status gizi yang tidak overweight. Adapun frekuensi
konsumsi fast food kategori jarang lebih banyak (56,2%) dibandingkan dengan
kategori sering (43,8%).
Jenis kelamin yang paling banyak mengalami overweight yaitu laki-laki (60,7%)
dan tidak overweight (39,3%), sedangkan untuk jenis kelamin perempuan
persentase overweightnya rendah (39,2%) dibandingkan yang tidak overweight
(60,8%).
b. Jenis konsumsi
Untuk persentase konsumsi tiap jenis fast food yang paling sering
dikonsumsi yaitu sosis (51,78%), nuget dan kentang (49,10%). Dan yang paling
jarang dikonsumsi yaitu steak (94,64%) dan hotdog (85,71%).
c. Status Gizi
Status gizi overweight lebih sering mengkonsumsi fast food (53,1%) dan
untuk status gizi tidak overweight jarang yang mengkonsumsi fast food (50,8%).
Rata-rata asupan energi untuk status gizi overweight yaitu 493 kkal, protein 39,5
gr, lemak 47,1 gr, dan karbohidrat 80 gr. Dan rata-rata energi untuk status gizi
tidak overweight 221 kkal, protein 28,1 gr, lemak 24,8 gr, dan karbohidrat 41 gr.
Jenis kelamin responden yang tinggi yang berstatus gizi overweight adalah
laki-laki. Jenis kelamin tampaknya ikut berperan dalam kejadian overweight.
Karena dapat dilihat pada umumnya obesitas dijumpai pada laki-laki, walaupun
overweight dapat terjadi juga pada perempuan. Obesitas/overweight terjadi karena
adanya kelebihan energi yang disimpan dalam bentuk jaringan lemak. Gangguan
keseimbangan energi ini dapat disebabkan oleh faktor eksogen (obesitas primer)
sebagai akibat nutrisional dan faktor endogen (obesitas sekunder) akibat adanya
kelainan hormonal, sindrom atau defek genetik. Pengaturan keseimbangan energi
diperankan oleh hipotalamus melalui proses fisiologis yaitu, pengendalian rasa
lapar dan kenyang, mempengaruhi laju pengeluaran energi, dan regulasi sekresi
18
19
BAB III
KESIMPULAN DAN SARAN
3.1 Kesimpulan
Pola konsumsi masyarakat dapat dikenali berdasarkan alokasi penggunaannya.
Untuk keperluan analisis, secara garis besar alokasi pengeluaran konsumsi masyarakat
digolongkan ke dalam dua kelompok besar yaitu, pengeluaran untuk makanan dan
pengeluaran untuk non-makanan. Pengeluaran masyarakat Indonesia banyak pada
makanan. Akan tetapi terdapat ketimpangan dalam hal pengeluaran konsumsi antara
penduduk pedesaan dan penduduk perkotaan, misalkan dari besarnya pengeluaran dan
juga pola konsumsinya. Perbandingan besar pengeluaran antara penduduk pedesaan dan
penduduk perkotaan cenderung konstan tahun demi tahun. Melalui perbandingan perilaku
dan pola konsumsi, terdapat kesenjangan antara masyarakat pedesaan dan masyarkat
perkotaan. Pengeluaran konsumsi dapat pula difungsikan untuk mendeteksi ketimpangan
kemakmuran antar lapisan masyarakat, yang dapat diukur baik dengan pendekatan
pendapatan maupun pendekatan pengeluaran. Bagian dari pendapatan yang dapat
dibelanjakan tapi tidak dikeluarkan untuk konsumsi merupakan tabungan masyarakat.
Penggabungan antara tabungan masyarakat dan tabungan pemerintah dapat membentuk
tabungan nasional yang merupakan sumber dana investasi. Untuk mendapatkan gambaran
fungsional tabungan dan konsumsi digunakan suatu fungsi yaitu fungsi konsumsi dan
fungsi tabungan.
3.2 Saran
Pengeluaran konsumsi masyarakat di Indonesia dewasa ini semakin besar
tergunakan untuk keperluan pembentukan modal atau investasi serta ekspor dan impor.
Itu menunjukkan bahwa Indonesia akhir-akhir ini sudah memiliki bekal kemandirian.
Bekal kemandirian tersebut dapat dikonfirmasi melalui tinjauan pengeluaran konsumsi
20
DAFTAR PUSTAKA
Dharmmesta, B. S. (1993), Perilaku beli Konsumen Era 90an dan Startegi Pemasaran,
Journal Ekonomi dan Bisnis Indonesia, Vol. VIII, No. 1, pp. 29-41.
Dharmmesta, B. S. (1994), Perilaku Konsumen Indonesia Tahun 2000, Kelola, Vol. III,
No. 6, pp. 83-93.
Dinas Pendidikan DIY (2006), Direktori Potensi Pendidikan DIY Tahun 2006,
Pemerintah
Propinsi DIY-Dinas Pendidikan, Yogyakarta.
Maulana Agus, Perilaku Konsumen di Masa Krisis Implikasinya terhadap Stategi
Pemasaran, Majalah Usahawan, No.1, Tahun XXVIII, Januari 1999.
Susenas, Modul Konsumsi tahun 1990, 1993, 1996, 1999 dan 2002.
Devi N. Gizi Anak Sekolah. Jakarta: Penerbit Buku Kompas; 2012.
Oktaviani WD, Saraswati LD, Rahfiludin Z. Hubungan Kebiasaan Konsumsi Fast Food,
Aktivitas Fisik, Pola Konsumsi, Karakteristik Remaja Dan Orang Tua Dengan Indeks
Massa Tubuh (IMT) (Studi Kasus Pada Siswa SMA Negeri 9 Semarang Tahun 2012).
Jurnal Kesehatan Masyarakat. 2012;1(7):2-3.
Manurung NK. Pengaruh Karakteristik Remaja, Genetik, Pendapatan Keluarga,
Pendidikan Ibu, Pola Makan, dan Aktivitas Fisik Terhadap Kejadian Obesitas di SMU RK
Trisakti Medan (Tesis). Medan: Universitas Sumatera Utara; 2009.
21
http://khairilanwarsemsi.blogspot.com/2011/03/analisis-pola-konsumsi-masyarakat.html
http://library.um.ac.id/free-contents/index.php/pub/detail/pola-konsumsi-masyarakat
kotamadya-kedirioleh-endang-tri-windusari-4442.html.
http://repository.unhas.ac.id/bitstream/handle/123456789/10739/A.%20ARYATI
%20ANUGRAH%20K11110103.pdf?sequence=1
http://tiarameilita.blogspot.co.id/2011/03/perubahan-sosial-budaya-berkaitan.html
22