Anda di halaman 1dari 5

Mengenali Distribusi Normal

Metode yang juga dikenal dengan sebutan forced distribution ini mendapatkan
namanya dari kenyataan bahwa para penilai yang terlibat memang dipaksa untuk
mendistribusikan nilai karyawan ke dalam sejumlah kategori kinerja yang sudah ditetapkan
persentase proporsinya. Biasanya, bentuk distribusi yang diterapkan adalah distribusi normal,
dimana persentase yang setara kecilnya ditempatkan di kutub kanan (terbaik) dan kutub kiri
(terburuk) sedangkan persentase yang lebih besar ditempatkan di bagian tengah di antara
kedua kutub tersebut. Sebagai contoh, proporsi yang mungkin digunakan adalah: Istimewa
10%, Memuaskan 20%, Berkinerja Bagus 40%, Perlu Peningkatan 20%, dan Tidak
Memuaskan 10%. Adapun asumsi yang mendasari metode ini adalah bahwa, secara statistik,
tingkat kinerja karyawan terdistribusi mengikuti pola kurva normal. Jika berhasil
diimplementasikan secara efektif, metode distribusi normal bisa mendatangkan manfaat
berikut ini:
1. Mengurangi kemungkinan terjadinya bias penilaian.
Dengan memaksa penilai untuk mendistribusikan hasil penilaiannya, bias yang terjadi
akibat penilai terlalu murah hati (dimana semua karyawan dinilai bagus) atau terlalu pelit
(dimana semua karyawan dinilai buruk) bisa diminimalkan. Melalui penerapan metode
ini, Ford misalnya berhasil menurunkan bias kemurahan hati yang terjadi di metode
penilaian kinerja sebelumnya dimana 98% stafnya dinilai memenuhi harapan (Olson &
Davis, 2003).
2. Meningkatkan objektivitas penilaian.
Karena harus memastikan penempatan setiap karyawan dalam suatu kategori, pada
metode distribusi normal, para penilai perlu mengevaluasi semua karyawan berdasarkan
kriteria yang sama. Dengan demikian, hasil penilaian mereka akan cenderung lebih
objektif dibandingkan jika setiap manajer menilai anak buah mereka berdasarkan kriteria
mereka masing-masing.
3. Memfasilitasi terjadinya komunikasi yang spontan dan terbuka antara atasan dan
bawahan.

Metode ini menuntut para atasan untuk secara berkala memberikan umpan balik kepada
anak buah mereka. Tanpa kesediaan untuk sering menyampaikan umpan balik secara
spontan dan terbuka, sang atasan akan menghadapi kesulitan pada saat harus
menjelaskan kepada anak buahnya mengapa dia menempatkan si karyawan di kategori
tidak memuaskan.

4. Membantu menetapkan konsekuensi kinerja yang tepat.


Dengan memaksa para atasan untuk mendistribusikan karyawan ke dalam kategori
tertentu, perusahaan bisa mengenali siapa saja yang berkinerja unggul, menengah, dan
yang berkinerja terendah. Jadi, secara terarah, perusahaan bisa memutuskan karyawan
mana yang harus diganjar dengan kompensasi dan promosi, karyawan mana yang patut
dipertahankan dan dikembangkan, serta karyawan mana yang perlu diputuskan hubungan
kerjanya.
Di sisi lain, metode distribusi normal juga tidak lepas dari sejumlah kelemahan pokok yang
mengundang kritik:
1. Metode ini menggunakan sistem distribusi normal yang salah penerapannya.
Menurut Abelson (2001), model kurva lonceng mengasumsikan bahwa distribusi normal
akan terjadi pada sekelompok besar subjek yang terbentuk secara acak, dan tidak
mengasumsikan hal yang sama untuk kelompok-kelompok kecil. Adapun yang dimaksud
dengan kelompok besar adalah kelompok yang setidaknya terdiri dari 1.000 1.500
anggota.
Pada kenyataannya, sejumlah perusahaan menerapkan model kurva lonceng ini pada
sekelompok kecil karyawan, yang jumlah anggotanya bahkan tidak lebih dari 50 orang.
Akibatnya, sebagian karyawan yang berkinerja bagus tetapi berada di kelompok unggul
mau tidak mau akan menderita karena terpaksa mendapatkan nilai buruk. Sebaliknya,
beberapa karyawan yang sebenarnya berkinerja biasa-biasa saja tetapi berada di
kelompok yang berkinerja lemah, akan menikmati inflasi nilai dan dianugerahi posisi
sebagai 10%-20% karyawan yang berkinerja terbaik hanya karena memang harus ada
yang dinilai paling tinggi.

Sementara itu, asumsi acak yang digunakan juga dianggap tidak tepat. Kalau secara
statistik dinyatakan bahwa acak adalah situasi dimana setiap anggota populasi memiliki
peluang yang sama untuk terpilih menjadi anggota sampel, maka dengan jelas dapat
disimpulkan bahwa kelompok karyawan Anda bukanlah kelompok yang acak. Anda
tidak merekrut mereka secara acak, Anda tidak menempatkan mereka secara acak, Anda
juga tidak melatih dan memperlakukan mereka secara acak.
2. Ketika diterapkan secara konsisten, metode distribusi normal justru membangkitkan
tantangan baru yang menyulitkan.
Karena mengharuskan perusahaan untuk memecat karyawan yang dinilai berkinerja
paling rendah, setelah diimplementasikan selama beberapa tahun, metode ini justru
semakin mempersulit upaya membedakan karyawan yang berkinerja memuaskan dengan
karyawan yang berkinerja istimewa. Perbedaan di antara keduanya semakin menipis dan
semakin tidak kasat mata. Di sisi lain, karena standar kinerja karyawan yang semakin
lama semakin meningkat, perusahaan juga semakin sulit mendapatkan calon karyawan
yang memenuhi standar tersebut, yaitu karyawan yang kualifikasinya harus melebihi
karyawan yang sebelumnya dipecat.
3. Kategori yang digunakan tidak menunjukkan kinerja yang sebenarnya.
Pemaksaan nilai dan pengkategorian yang dipersyaratkan dalam metode distribusi
normal membuat karyawan diberi nilai dan ditempatkan di kategori yang belum tentu
sesuai dengan tingkat kinerja aktual mereka. Perusahaan yang berhasil mencapai target
bisnisnya, misalnya, dimana semua karyawannya memang berprestasi bagus dan berhasil
mencapai target perorangan mereka, dengan terpaksa harus tetap menempatkan 10%
karyawannya di kategori tidak memuaskan. Situasi semacam ini tentu tidak bisa
dianggap objektif. Akibatnya, seperti yang dikemukakan oleh Olson dan Davis,
karyawan lebih sering merasa bahwa nilai yang mereka terima sesungguhnya hanyalah
nilai yang dibuat untuk memuaskan distribusi yang telah ditetapkan perusahaan. Bukan
merupakan refleksi dari kinerja aktual mereka.
4. Dipersepsi lebih sulit dan kurang fair dibandingkan metode penilaian konvensional.

Persepsi yang timbul di kalangan mereka yang terlibat dalam implementasi metode
distribusi normal ini ditemukan dalam penelitian Schleicher, Bull dan Green (2008).
Dengan adanya persepsi semacam itu, tidak mengherankan jika kemudian teridentifikasi
bahwa para manajer umumnya kurang bereaksi positif terhadap metode tersebut (Lawler,
2002). Mereka sering mengungkapkan komentar miring tentang metode itu, sehingga
akhirnya para karyawan pun berpandangan bahwa metode tersebut kurang fair dan
dengan demikian tidak mereka terima.
5. Terlalu memaksakan perbandingan kinerja antar-jabatan dalam upaya mendapatkan
peringkat kinerja seluruh karyawan.
Pertanyaannya

adalah:

Bagaimana Anda

akan

secara

fair

dan

objektif

membandingkan kinerja seorang kepala departemen dengan kinerja seorang petugas


administrasi? Atau kinerja Kepala Departemen Pemasaran dengan Kepala Departemen
SDM? Kriteria apa yang akan Anda gunakan? Selain tidak mudah untuk dijawab dan
diimplementasikan, pertanyaan itu jelas mengusik rasa keadilan para pengemban jabatan
yang diperbandingkan.
6. Merangsang tumbuhnya lingkungan kerja yang kompetitif sekaligus destruktif.
Upaya membandingkan tingkat kinerja, dan memasukkan karyawan ke dalam kategori
yang proporsinya sudah dibatasi dengan persentase tertentu, jelas membuat karyawan
terperangkap dalam situasi persaingan. Selalu mencoba menampilkan kinerja yang tidak
hanya sebaik mungkin, tetapi juga harus lebih baik dibandingkan kinerja rekan-rekan
yang lain, agar bisa masuk dalam kategori penilaian yang lebih tinggi dan terhindar dari
kemungkinan menjadi penghuni kategori terbawah.
Situasi semacam ini jelas menghambat terjadinya kerja sama di kalangan anggota
kelompok kerja. Apalagi jika karyawan mengetahui bahwa perusahaan memberikan
perlakuan dan kompensasi yang berbeda untuk setiap kategori penilaian.

(Tulisan ini akan menjadi bagian dari buku Tips and Tricks for Driving Productivity)

Anda mungkin juga menyukai