Anda di halaman 1dari 8

Pengkajian dan Intervensi Keperawatan Gerontik

di Unit Gawat Darurat


Elizabeth Rosted RN, MScN; Lis Wagner RN, Dr PH; Carsten Hendriksen MD, Dr MSc;
Ingrid Poulsen RN, Dr MedSci diterbitkan pada tanggal 13 Februari 2012

Tujuan Penelitian:
Untuk menggambarkan dan menguji model pengkajian dan intervensi
keperawatan gerontik yang selesai perawatan atau pulang dari unit gawat darurat.
Latar belakang:
Orang tua yang baru keluar dari rumah sakit memiliki risiko tinggi untuk
kembali lagi mendapatkan perawatan di rumah sakit (kambuh). Risiko ini dapat
meningkat ketika mereka langsung dinyatakan sembuh atau diperbolehkan pulang
langsung dari unit gawat darurat yang tanpa harus melalui proses rawat inap atau
hanya menjalani rawat jalan saja, dengan ini diperlukan petugas yang mampu
fokus menangani masalah kesehatan orang tua yang dikatakan memiliki masalah
yang lebih kompleks daripada orang dewasa lainnya yang lebih membutuhkan
tindakan perawatan.
Metode Penelitian:
Penelitian ini menggunakan studi pilot prospektif deskriptif. Responden
yang diambil adalah orang tua yang berusia 70 tahun atau lebih dan memiliki
risiko masalah kesehatan dan gangguan fungsional tubuh. Intervensi yang
dilakukan adalah dengan melakukan follow-up selama 1 sampai 6 bulan setelah
pasien akan dipulangkan dari unit gawat darurat, dengan cara melakukan
pengkajian keperawatan terstruktur dengan menggunakan ISAR 2 (Identification
of Seniors at Risk) yang dikembangkan oleh McCusker et al. Fokusnya adalah
pada masalah yang belum terselesaikan yang membutuhkan intervensi medis atau
keperawatan baik di rumah maupun di pusat pelayanan kesehatan lain atau proses
pengkajian gerontik secara komprehensif. Setelah pengkajian, perawat membuat
rujukan yang relevan ke klinik rawat jalan geriatric, pusat pelayanan kesehatan di
masyarakat, dokter umum atau membuat perencanaan dengan anggota keluarga di
rumah.
1

Hasil Penelitian:
Orang tua yang ikut berpartisipasi dalam penelitian ini berjumlah 150
orang, usia rata-rata adalah 81,7. Pada proses pemulangan awal, orang tua
memiliki rata-rata 1,9% masalah yang belum terselesaikan, setelah dilakukan
follow-up dalam bulan pertama menurun menjadi 0,8%, dan pada bulan keenam
menjadi 0,4%. Orang tua yang mendapat perawatan di rumah meningkat dari 79%
pada awal pemulangan meningkat menjdi 89% pada bulan pertama dan 90% pada
bulan keenam setelah dilakukan follow-up.
Kesimpulan :
ISAR 2 bekerja dengan cukup baik saat orang tua akan dipulangkan atau
mendapat rawat jalan saja melalui unit gawat darurat. Masalah kesehatan yang
belum terselesaikan selama di unit gawat darurat dapat menurun ketika perawat
menilai dan melakukan intervensi keperawatan saat perencanaan pulang
(Discharge Planning) pasien dari unit gawat darurat dan upaya tindak lanjut
(follow-up).
Implikasi Keperawatan:
Pengkajian dan intervensi keperawatan harus dilakukan di unit gawat
darurat di rumah sakit mana pun untuk mengurangi masalah kesehatan aktual pada
lansia.

Diskusi Hasil Penelitian:


Para lansia yang dirawat di unit gawat darurat beresiko tinggi mengalami
penurunan status fungsional, sehingga memungkinkan memerlukan lebih banyak
bantuan dari pelayanan keperawatan komunitas atau di panti jompo. Peneliti
menemukan penurunan status fungsional lansia setelah pemulangan pasien lebih
banyak ditemukan dengan menggunakan Chair Stand Test (Uji berdiri dengan
kursi).

Efektifitas

terakhir

menunjukkan

dalam

mengurangi

tingkat

ketergantungan lansia dalam aktifitas keseharian (activity daily living),


melaporkan bahwa peserta dalam kelompok perlakuan dapat mempertahankan
tingkat fungsionalnya, sebagai penurunan Indeks Barthel dan kuesioner Skor
Status Mental (MMSE) yang kurang dari pada kelompok kontrol. McCuskes et al
(2001) melaporkan bahwa intervensi keperawatan dikaitkan dengan penurunan
tingkat signifikan pada menurunnya status fungsional lansia atau kematian. Tidak
ada perbedaan status fungsional yang terdeteksi selama uji coba, namun, waktu
antara kunjungan UGD dan intervensi saat pengiriman pasien adalah nyta lebih
lama dibandingkan pada uji coba lainnya.
Peneliti menemukan penurunan yang ckup besar dan signifikan secara
statitik pada responden lansia dengan satu atau lebih masalah yang belum
terselesaikan dari 85% menjadi 46% setelah bulan pertama dan menjadi 25%
setelah bulan keenam dalam upaya tindak lanjut. Masalh yang ditemukan bersifat
multifaktoral, dan campuran fisik, mental, baik medis maupun sosial. Setelah
mengungkapkan masalah responden, perawat yang ditugaskan dalam penelitian
ini langsung melakukan kontak atau menghubungi anggota keluarga, dokter
praktek umum atau puskesmas, atau klinik rawat jalan lansia, panti jompo untuk
pemecahan masalah interdisipliner. Jumlah masalah aktual berkurang dari ratarata 1,9 menjadi 0,8 saat pemulangan pasien setelah bulan pertama dan menjadi
0,4 setelag bulan keenam. Dalam uji coba terkontrol secara acak, Verdon et al
(2007) melaporkan bahwa 59% dari lansia dengan menggunakan ISAR 1 positif
telah terungkap masalah kesehatan selama di UGD, dan menunjukkan angka 85%.
Namun ternyata masih dapat ditemui masalah baru yang muncul dan tidak terukur
setelah pengkajian diawal menggunakan ISAR 1. Di Negara Denmark, ada sebuah
tradisi perpanjangan dalam pemberian layanan kesehatan dari pelayanan

kesehatan masyarakat yang memungkinkan memiliki harapan yang lebih tinggi


oleh lansia dan perawat dalam menangani masalha aktual pada lansia.
Unit gawat darurat mengakui tidak memiliki waktu yang cukup untuk
melakukan pengkajian lansia secara komprehensif, akibatnya, lansia dipulangkan
kembali dengan masalah kesehatan yang belum terselesaikan dan mendapatkan
bantuan yang tidak sesuai dengan masalah kesehatannya dari pusat pelayanan
kesehatan masyarakat setempat. Peneliti melakukan tindak lanjut pada ISAR 1
dengan menggunakan ISAR 2 dan menunjukkan peningkatan bantuan dari
layanan masyarakat saat pemulangan pasien pada bulan pertama awal tindak
lanjut dan penurunan masalah kesehatan aktual. McCusker et al (2003)
melaporkan bahwa orang-orang di kelompok intervensi lebih mungkin untuk
memiliki pendokumentasian masalah kesehatan saat akan dirujuk ke pusat
pelayanan

kesehatan

setempat

di

komunitas

mereka.

Hasil

penelitian

menunjukkan bahwa pengkajian keperawatan dan intervensi keperawatan di UGD


memiliki dampak positif dalam penyelesaian masalah kesehatan yang belum
terselesaikan pada lansia dan dapat mengungkapkan masalah yang timbul dari
kurangnya bantuan dari pelayanan kesehatan masyarakat dalam perawatan seharihari. Dapat dikatakan bahwa waktu merupakan faktor penting dalam melakukan
pengkajian keperawatan dalam menemukan masalah-masalah baru dan yang
belum terselesaikan dan kemungkinan akan semakin mengembangkan masalah
baru setelah berada di komunitas.

ANALISIS JURNAL DAN PENERAPANNYA


DI NEGARA INDONESIA
Perkembangan jumlah lansia di Indonesia akan semakin bertambah
disetiap tahunnya. Pada tahun 2000 jumlah lansia di Indonesia diproyeksikan
sebesar 7,28% pada yahun 2020 menjadi sebesar 11,34 % (BPS, 1992).
Berdasarkan data Biro Sensus Amerika memperkirakan Indonesia akan
mengalami pertambahan warga lansia terbesar di seluruh dunia pada tahun 19902025, yaitu sebesar 414% (Kinsella dan Taeuber, 1993). Berdasarkan data
tersebut, maka akan semakin bertambahnya permasalahan kesehatan lansia di
Indonesia, sehingga perlu adanya peran serta dari Pemerintah dan warga
masyarakat serta petugas kesehatan dalam membantu permasalahan kesehatan
lansia di Indonesia.
Berbagai upaya telah dilaksanakan oleh instansi pemerintah, para
professional kesehatan, serta bekerja sama dengan pihak swasta dan masyarakat
untuk mengurangi angka kesakitan (morbiditas) dan kematian ( mortalitas ) lansia.
Pelayanan kesehatan, sosial, ketenagakerjaan, dan lain-lainya telah dikerjakan
pada berbagai tingkatan, yaitu tingkat individual , kelompok lansia, keluarga,
Panti sosial tresna wreda (PSTW), Sasana Tresna Wreda (STW), Sarana
Pelayanan Kesehatan Tingkat Dasar (Primer). Sarana Pelayanan Kesehatan
Rujukan (Sekunder), dan sarana pelayanan kesehatan tingkat lanjutan (Tersier)
untuk mengatasi permasalahan pada lansia, tetapi tetap masalah kesehatan pada
lansia tidak dapat terselesaikan seutuhnya bahkan semakin banyaknya kasus baru
yang bermunculan yang tidak dapat dikaji lebih dalam dan tidak terukur.
Berdasarkan permasalahan tersebut, penulis mencoba untuk menganalisis
penggunaan model pengkajian keperawatan yang ditawarkan dalam sebuah jurnal
yang diterbitkan oleh International Journal of Older People Nursing (2012)
tentang Pengkajian dan Intervensi keperawatan gerontik di Unit Gawat Darurat.
Berdasarkan analisis penulis, model pengkajian dan intervensi keperawatan di
Indonesia dapat dikatakan masih belum bisa diterapkan dikarenakan beberapa hal
sebagai berikut:

1. Perawat profesional atau berpengalaman (Ners Spesialis Gerontik) masih


belum mencukupi jumlahnya. Ini dikarenakan Di Indonesia, keperawatan
gerontik

masih

dalam

tahap

pengembangan.

Salah

satu

cara

pengembangannya adalah dengan memasukkan keperawatan gerontik di


dalam kurikulum pembelajaran pada pendidikan keperawatan. Hanya
sebagian kecil perawat di Indonesia yang mau terjun di komunitas dalam
memberikan pelayanan pada lansia.
2. Puskesmas sebagai perpanjangan tangan dari rumah sakit tidak hanya
berfokus pada pelayanan lansia saja. Peran serta puskesmas tidak berbeda
jauh dengan peran dari rumah sakit umum, sehingga proses pengkajian
gerontik pun tidak dilakukan di puskesmas. Sehingga perlu membutuhkan
posyandu khusus lansia yang berfokus menangani permasalahan pada lansia,
tetapi jumlah posyandu lansia yang masih dirasa kurang dalam menangani
permasalahan lansia.
3. Jumlah rumah layanan lansia atau panti jompo yang masih terbatas jumlahnya
di Indonesia, sedangkan jumlah lansia di Indonesia akan semakin bertambah
setiap tahunnya. Tetapi panti jompo pun tidak menjamin terselesaikannya
masalah kesehatan pada lansia karena membutuhkan peran serta dari anggota
keluarga yang peduli terhadap kesehatan lansia.
4. Lansia di komunitas tidak dihargai di dalam keluarga. Mereka tidak mendapat
perhatian khusus didalam suatu keluarga sehingga dianggap sebagai individu
yang sudah tidak produktif lagi, sehingga banyak anak dan cucu mereka yang
meninggalkan mereka sendirian di rumah, sehingga diusia tuanya masih
banyak lansia yang bekerja untuk menghidupi diri sendiri yang membuat
permasalahan kesehatan pada lansia semakin banyak bermunculan kasus
baru. Hal in terbukti pada hasil pendataan menurut Lembaga Demografi FEUI (1993) bahwa:
- 62,3 %lansia di Indonesia masih berpenghasilan dari pekerjaannya
sendiri
- 59,4 % dari Lansia masih berperan sebagai kepala keluarga.
- 53 % Lansia masih menanggung beban kehidupan keluarga.
- Hanya 27,5 % Lansia mendapat penghasilan dari anak/menantu.
5. Belum ada rumah sakit di Indonesia yang khusus menangani permasalahan
lansia, sehingga masalah kesehatan lansia hanya sebatas pelayanan penyakit
secara umum layaknya rumah sakit umum di Indonesia.

6. Proses pengkajian keperawatan yang hanya berfokus pada kondisi fisik saja
pada individu yang diperiksa dan masuk di instalasi gawat darurat di seluruh
rumah sakit di Indonesia. Tidak ada tindak lanjut dalam memberikan rencana
pulang pasien yang dianggap sembuh oleh petugas kesehatan di rumah sakit,
sehingga banyak kasus kambuhan lansia yang sudah pernah berobat di rumah
sakit tersebut.

LAMPIRAN JURNAL

Anda mungkin juga menyukai