Anda di halaman 1dari 28

BAB 1

PENDAHULUAN

1.1

Latar Belakang
Batubara merupakan salah satu sumber energi primer yang memiliki
riwayat pemanfaatan yang sangat panjang. Penyediaan BBM mulai kritis karena
cadangannya terbatas sedangkan sumber kayu bakar juga kritis karena luas
kawasan hutan (terutama jawa) sudah kurang dari persyaratan ideal. Jadi salah
satu sumberenergi alternatif adalah batubara. Akhir-akhir ini harga bahan bakar
minyak dunia meningkat pesat yang berdampak pada meningkatnya harga jual
bahan bakar minyak termasuk Minyak Tanah di Indonesia.
Minyak Tanah di Indonesia yang selama ini di subsidi menjadi beban yang
sangat berat bagi pemerintah Indonesia karena nilai subsidinya meningkat pesat
menjadi lebih dari 49 trilun rupiah per tahun dengan penggunaan lebih kurang 10
juta kilo liter per tahun. Untuk mengurangi beban subsidi tersebut maka
pemerintah berusaha mengurangi subsidi yang ada dialihkan menjadi subsidi
langsung kepada masyarakat miskin.
Namun untuk mengantisipasi kenaikan harga BBM dalam hal ini Minyak
Tanah diperlukan bahan bakar alternatif yang murah dan mudah didapat.Briket
batubara merupakan salah satu bahan bakar padat alternatif yang terbuat dari
batubara, bahan bakar padat ini merupakan bahan bakar alternatifpengganti
minyak tanah yang mempunyai kelayakan teknis untukdigunakan sebagai bahan
bakar rumah tangga, industri kecil ataupun menengah.
Briket juga mempunyai keuntungan ekonomis karena dapat diproduksi
secarasederhana, memiliki nilai kalor yang tinggi, dan ketersediaan batubara
cukup banyakdi Indonesia sehingga dapat bersaing dengan bahan bakar lain.

1.2

Rumusan Masalah
1.

Apa pengertian Karbonisasi?

2.

Apa Tujuan Karbonisasi?

3. Bagaimana Proses Karbonisasi Briket Batubara?


4. Bagaimana Proses Karbonisasi menjadi Kokas?

5.

1.3

Apa saja Uji pada Karbonisasi?

Tujuan
1.

Untuk mengetahui pengertian karbonisasi

2.

Untuk mengetahui tujuan karbonisasi

3.

Untuk mengetahui proses karbonisasi briket batubara

4.

Untuk mengetahui proses karbonisasi menjadi kokas

5.

Untuk mengetahui apa saja uji pada karbonisasi

BAB II
PEMBAHASAN

2.1

Pengertian Karbonisasi
Karbonisasi atau pengarangan adalah proses mengubah bahan menjadi
karbon berwarna hitam melalui pembakaran dalam ruang tertutup dengan udara
yang terbatas atau seminimal mungkin. Pada proses karbonisasi akan melepaskan
zat yang mudah terbakar seperti CO, CH 4, H2, formaldehid, metana, formik dan
acetil acid serta zat yang tidak terbakar seperti seperti CO 2, H2O dan tar cair.
Proses pembakaran dikatakan sempurna jika hasil pembakaran berupa abu dan
seluruh energi di dalam bahan organik dibebaskan ke lingkungan dengan
perlahan. Secara ringkas proses karbonisasi dapat ditampilkan dalam bagan
(Kurniawan dan Marsono 2008).
a.

Pembakaran Sempurna
Bahan

b.

Energi

Abu

Energi

Arang

Pembakaran Tidak Sempurna


Bahan

Menurut Hasani (1996) dalam Pancapalaga (2008), proses karbonisasi


merupakan salah satu tahap yang penting dalam pembuatan briket. Pada umumnya
proses ini dilakukan pada temperatur 500800 oC.
Karbonisasi merupakan suatu proses pembakaran tidak sempurna dari
bahan-bahan organik dengan jumlah oksigen yang sangat terbatas, yang
menghasilkan arang serta menyebabkan penguraian senyawa organik yang
menyusun struktur bahan berupa selulosa, hemiselulosa dan lignin serta

membentuk uap air, methanol, uap-uap asam asetat dan hidrokarbon. Dengan
adanya proses karbonisasi maka zat-zat terbang yang terkandung dalam briket
diturunkan serendah mungkin sehingga produk akhirnya tidak berbau dan berasap.
Menurut Kurniawan dan Marsono (2008), pelaksanaan karbonisasi
meliputi teknik yang paling sederhana hingga yang paling canggih. Metode
karbonisasi yang paling sederhana dilakukan adalah metode pengarangan di dalam
drum. Arang yang dihasilkan lebih hitam jika dibandingkan dengan metode
pengarangan lainnya dan rendemen yang dicapai mendekati angka 5060 % dari
berat semula. Drum bekas aspal atau oli yang masih baik digunakan untuk
membuat arang. Bagian alas drum dilubangi kecil-kecil dengan paku atau bor besi
dengan jarak 1 cm x 1 cm, selanjutnya bahan baku dimasukkan ke dalam drum,
lalu api dinyalakan lewat bawah drum yang berlubang. Apabila asap mulai keluar,
berarti pembakaran bahan baku telah berlangsung.
2.2

Tujuan Karbonisasi
Tujuan dari proses karbonisasi adalah menaikkan kadar karbon padat dan
menghilangkan zat terbang (volatile matter) yang terkandung dalam batubara
serendah mungkin sehingga dihasilkan semi kokas atau kokas dengan kandungan
zat terbang yang ideal 8-15% dengan nilai kalori yang cukup tinggi di atas 6.000
kkal/kg. Kandungan zat terbang berhubungan erat dengan kelas batubara, makin
tinggi zat terbangnya maka makin rendah kelas batubara, karena zat terbang akan
mempercepat pembakaran karbon padatnya. Dengan karbonisasi juga akan
menghasilkan produk akhir yang tidak berbau dan berasap.

2.3

Karbonisasi Briket Batubara


Briket batubara adalah bahan bakar padat yang terbuat dari batubara
dengan sedikit campuran seperti tanah liat, tapioka dan pati singkong. Bahan baku
utama briket batubara adalah batubara yang sumbernya mencukupi untuk daerah
Sulawesi Tenggara.
Menurut Balitbang Kehutanan (1994) dalam Sihombing (2006) nilai kalor
briket batubara menurut standar Jepang yaitu sebesar 6000 7000 kal/g, untuk
standar USA yaitu sebesar 6230 kal/g dan standar Inggris yaitu sebesar 7289 kal/g
4

sedangkan menurut SNI briket batubara terkarbonisasi (SNI-13-4931-1998) yaitu


sebesar 5500 kal/g.
a. Tahap Pembriketan
Briket merupakan bahan bakar padat yang terbuat dari limbah
organik, limbah pabrik maupun limbah perkotaan. Bahan bakar padat ini
merupakan bahan bakar alternatif atau merupakan pengganti bahan bakar
minyak yang paling murah dan dimungkinkan untuk dikembangkan dalam
waktu yang relatif singkat mengingat teknologi dan peralatan yang digunakan
relatif sederhana (Husada, 2008).
Briket adalah gumpalan yang terbuat dari bahan lunak yang
dikeraskan. Faktor-faktor yang mempengaruhi sifat briket arang adalah jenis
serbuk arang, kehalusan serbuk, suhu karbonasi dan tekanan pengempaan.
Sedangkan syarat briket yang baik adalah briket yang permukaanya halus dan
tidak meninggalkan bekas hitam di tangan.
Salah satu teknologi yang menjanjikan adalah proses pembriketan.
Teknologi ini secara sederhana didefinisikan sebagai proses densifikasi untuk
memperbaiki karakteristik bahan baku. Sifat-sifat penting dari briket yang
mempengaruhi kualitas bahan bakar adalah sifat fisik, kimia dan daya tahan
briket. Sebagai contoh adalah karakteristik densistas, ukuran briket,
kandungan air, nilai kalor, kadar abu dan kepekatan asap (Husada, 2008).
Briket adalah arang yang dirubah bentuk, ukuran, dan kerapatannya
dengan caramengepres campuran serbuk arang dengan bahan perekat
(Hartoyodkk.,

1978).Melalui

penelitian-penelitian

sebelumnya,

maka

diperlukan 5 tahapan utama dalam pembuatan briket, yaitu :

Pengarangan (Karbonasi)
Karbon adalah suatu bahan padat yang berpori dan merupakan
hasil pembakaran tidak sempurna.Dalam istilah kimia, karbon adalah
karbon aktif yang mengandung 5 - 15% abu dan sisanya adalah karbon.
Selain unsur karbon yang tinggi, karbon juga mengandung unsur-unsur
lain yang terikat secara kimia sepertinitrogen, hidrogen, belerang,
oksigen dan abu mineral organik yang berasal dari bahan mentahnya
(Suarya, 1999).

Menurut Jankowska (1991) karbonasi merupakan peristiwa


pirolisis untuk mengubah bahan dasar menjadi karbon. Dengan pirolisis,
hampir semua unsur bukan karbon lepas ke dalam bentuk gas, sedangkan
karbon-karbon membentuk susunan semacam kristal yang disebut
sebagai kristalit grafitik.
Menurut Manocha Satish (2003), proses karbonisasi adalah proses
perlakuan panas pada kondisi oksigen yang sangat terbatas (pirolisis)
terhadap bahan dasar (bahan organik). Proses pemanasan tersebut
menyebabkan terlepasnya komponen yang mudah menguap dan karbon
mulai membentuk struktur pori-pori. Dengan demikian bahan dasar
tersebut telah mimiliki luas permukaan tetapi penyerapannya masih
relatif kecil karena masih terdapat residu tar dan senyawa lain yang
menutupi pori-pori. Bahan dasar hasil karbonasi adalah karbon atau
arang. Proses karbonasi dilakukan pada temperatur 400-500 oC sehingga
material yang mudah menguap yang terkandung pada bahan dasar akan
hilang.
Proses karbonisasi merupakan proses pembakaran sempurna dari
bahan-bahan organik dengan jumlah oksigen yang sangat terbatas, yang
menghasilkan arang serta menyebabkan penguraian senyawa organik
yang menyusun struktur bahan pembentuk uap air, methanol dan
hidrokarbon. Proses pengarangan dapat dibagi menjadi empat tahap yaitu
penguapan air, penguraian selulosa, penguraian senyawa lignin dan
pembentukan gas hidrogen.

Pembuatan Serbuk dan Penyaringan


Menurut Ndraha (2009), arang yang hendak dicetak harus
dihancurkan dahulu dalam sebuah hammer mill. Kemudian arang tersebut
diayak untuk mendapatkan ukuran partikel arang yang seragam.
Keseragaman ukuran partikel dimaksudkan untuk mempermudah

pencetakan briket.
Pencampuran Perekat
Perekat adalah suatu zat atau bahan yang memiliki kemampuan
untuk mengikat dua benda melalui ikatan permukaan. Analisa berbagi
tepung pati-patian dapat dilihat pada Tabel berikut :
6

Jenis tepung

Air

Abu Lemak Protein

(%)

(%)

(%)

(%)

Serat
kasar

Karbon

(%)
(%)
Tepung Jagung 10,52 1,27
4,89
8,48
1,04
73,8
Tepung Beras
7,58 0,68
4,53
9,89
0,82
76,9
Tepung Terigu
10,7 0,86
2
11,5
0,64
74,2
Tepung Tapioka 9,84 0,36
1,5
2,21
0,69
85,2
Tepung Sagu
14,1 0,67
1,03
1,12
0,73
82,7
Tabel Daftar Analisa Bahan Perekat(Anonimous, 1989).
Estela (2002) menggunakan dua cara dalam pembuatan briket
yaitu kompaksi rendah dengan menggunakan bahan pengikat tanah liat,
bentonit serta kanji dan kompaksi tinggi tanpa bahan pengikat.
Berdasarkan fungsi bahan perekat dan kualitasnya, pemilihan bahan
perekat dapat dibagi 2 yaitu:
1) Berdasarkan sifat perekatan briket
Karakteristik bahan baku perekatan untuk pembuatan briket adalah
sebagai berikut:
a) Memiliki gaya kohesi yang baik bila dicampur dengan semikolas
b) Mudah terbakar dan tidak berasap
c) Tidak mengeluarkan bau, tidak beracun dan tidak berbahaya
2) Berdasarkan Jenis
Jenis bahan baku yang umumnya dipakai sebagai perekat untuk
pembuatan briket yaitu:
a)

Perekat Anorganik
Perekat anorganik dapat menjaga ketahanan briket selama proses
pembakaran sehingga dasar permeabilitas bahan tidak terganggu.

b) Perekat Organik
Perekat organik menghasilkan abu yang relatif sedikit setelah
pembakaran briket dan umumnya merupakan bahan perekat yang
efektif, contohnya kanji. Dalam penelitian ini perekat yang
digunakan adalah tepung sagu dan kanji.
Ndraha (2009) dalam penelitiannya menyatakan bahwa perlakuan
persentase bahan pengikat memberi pengaruh sangat nyata terhadap
kualitas nilai kalor briket. Kriteria untuk menilai ketepatan komposisi
bahan pengikat dalam briket yaitu:
7

1) Pada proses pencampuran, perekat tercampur merata. Perekat yang


terlalu sedikit tidak dapat tercampur merata.
2) Setelah tercampur dengan merata, campuran dapat digumpalkan
dengan tangan. Campuran yang dapat digumpalkan mengindikasikan
bekerjanya material pengikat.
3) Pada proses pencetakan, air tidak merembes keluar. Air yang
merembes keluar mengindikasikan jumlah perekat terlalu banyak.
Hal ini berlaku pada gel amilum yang sebagian besar berupa air.
Pada proses pengeringan setelah keluar dari cetakan, peregangan
kembali briket tidak terlalu besar. Peregangan yang terlalu besar
mengindikasikan perekat tidak bekerja dengan baik.Ndraha (2009) dalam
penelitiannya menyatakan bahwa perlakuan persentase bahan pengikat
memberi pengaruh berbeda sangat nyata terhadap kualitas nilai kalor
briket. Menurut Schuchart, dkk (1996) pembuatan briket dengan
penggunaan bahan perekat akan lebih baik hasilnya jika dibandingkan
tanpa menggunakan bahan perekat. Disamping meningkatkan nilai bakar
dari bioarang, kekuatan briket arang dari tekanan luar juga lebih baik
(tidak mudah pecah).
Sagu (Metroxylon sp) merupakan tanaman yang sangat produktif
sebagai penghasil pati dan energi. Selain untuk bahan makanan, sagu
juga digunakan sebagai perekat. Secara kimia, pati sagu mengandung 28
% amilosa dan 72 % amilopektin sehingga dapat digunakan untuk
perekat (Brades dan Tobing, 2008). Tepung kanji merupakan produk
olahan berupa tepung yang diperoleh dari umbi ketela pohon. Kanji
sering dipakai campuran untuk makanan yaitu sebagai pengental.
Pembuatan briket arang membutuhkan bahan perekat (Husada, 2008).
Perekat adalah bahan yang dapat merekatkan dua buah benda
berdasarkan ikatan permukaan.Menurut (Maarif, 2004) kekutanperekatan
dipengaruhi oleh faktor sifat perekatnya sendiri dan tingkat penyesuaian
antara jenis bahan perkat dengan bahan yang direkat.
Menurut (Maarif, 2004) penggunaan perekat pati memiliki
beberapa keuntungan, antara lain : harga murah, mudah pemakaiannya,
dapat menghasilkan kekuatan rekat kering yang tinggi. Penelitian yang
8

telah dilakukan (Maarif, 2004) menyebutkan bahwa prosedur pembuatan


perekat pati dan air adalah dengan menggunakan perbandingan 1 bagian
berat tepung pati dan 16 bagian berat air. Tepung kanji merupakan
produk olahan berupa tepung yang diperoleh dari umbiketela
pohon.Kanji sering dipakai untuk campuran makanan yaitu sebagai
pengental, sehingga kanji dapat digunakan sebagai perekat (Husada,
2008).Selain kanji, sagu dan lempung juga cukup potensial untuk
digunakan bahan perekat, Sulawesi Tenggara merupakan salah satu
daerah yang memiliki potensi sagu yang cukup luas.

Pencetakan dan Pengempaan


Berdasarkan tekanan pencetakan, briket digolongkan menjadi:
1) Briket tekanan tinggi
2) Briket tekanan medium dengan alat pemanas
3) Briket tekanan rendah dengan bahan pengikat
Mekanisme

pengikatan

pada

briket

bertekanan

rendah

mengandalkan sifat adhesif dari perekat.Selain melakukan mekanisme


pengikatankohesif-adhesif, perekat juga berperan dalam penggumpalan
(agglomeration) dan meningkatkan kekuatan briket setelah kering.
Poespowati, (2009) melakukan penelitian tentang gaya yang
dikenakan pada proses pressingbriket, menurut mereka kekuatan
maksimum yang diberikan selama proses pressing adalah 150 kg/cm2.
Jika kekuatan pressing lebih dari 150 kg/cm2, maka terjadi penurunan
kekuatan mekanik dari material yang disebabkan karena batas
kemampuan butiran untuk menahan penekanan dimana butiran akan
pecah. Semakin besar beban penekananakan mengakibatkan kerapatan
(densitas)briket semakin besar yang memperkuat kekuatan mekanik,
tetapi pada kondisi tertentu penambahan penekanan akan merusak
struktur bahan dasar yang justru akan menurunkan kekuatan mekanik
dari hasil.

Pengeringan
Wijayanti (2009) mengeringkan briket dengan oven pada suhu
60oC selama 2 x 24 jam. Pengeringan bertujuan untuk menghilangkan
kadar air briket akibat pencampuran dengan bahan perekat sehingga yang
tersisa hanya kandungan air higroskopis bahan penyusunnya.
9

b.

Analisis Kualitas briket


Kadar Air
Kandungan air merupakan salah satu komponen dari bahan bakar
padat. Kadar air bahan bakar padat ialah perbandingan berat air yang
terkandung dalam bahan bakar padat dengan berat kering bahan bakar
padat tersebut.Kandungan air dalam bahan bakar padat terdiri dari air
internal/air higroskopis dan air eksternal/air mekanikal. Kandungan air
akan berpengaruh negatif terhadap nilai kalor dan karakteristik
pembakaran bahan bakar padat (Husada, 2008).
Hermawan (2007) dalam penelitiannya menemukan bahwa
penambahan gel amilum yang terlalu banyak di dalam briketakan
menyebabkan pori terlalu besar. Besarnya pori pada briket memudahkan
air yang terkandung untuk keluar, sehingga dengan semakin besarnya
komposisi gel amilum dalam briket akan menyebabkan semakin banyak
air keluar melalui pori. Namun di sisi lain, jumlah air tertambahkan yang
terikat di dalam struktur briket dipengaruhi pula oleh besarnya komposisi
gel amilum terhadap briket. Semakin banyak komposisi gel amilum
mengakibatkan semakin banyak pula air yang turut terikat di dalam
struktur dalam briket. Kedua hal yang kontradiktif tersebut menyebabkan
proses pengeringan alami berlangsung paling baik pada perbandingan
optimum.

Kadar abu
Kandungan abu merupakan ukuran kandungan material dan
berbagai material anorganik didalam benda uji. Menurut Earl (1974)
dalam Husada (2008), abu adalah bahan yang tersisa misalnya pada kayu,
apabila kayu dipanaskan hingga berat konstan. Kadar abu ini sebanding
dengan kandungan bahan anorganik di dalam kayu. Salah satu unsur
utama yang terkandung dalam abu adalah silika dan pengaruhnya kurang
baik terhadap nilai kalor yang dihasilkan. Abu terdiri dari bahan mineral

seperti lempung, silika, kalsium, serta magnesium oksida dan lainlain.


Nilai kalor
Besarnya satuan kalor yang dilepaskan oleh pembakaran
sempurna dari satu satuan massa atau dari volume bahan bakar tertentu
10

didefinisikan sebagai nilai kalor bakar dari bahan bakar tersebut. Untuk
bahan bakar padat seperti batubara, nilai kalor bakarnya dapat diukur
dengan

menggunakan

kalorimeter

bomb

(Kulshrestha,

1989).

Kalorimeter bomb adalah suatu alat yang digunakan untuk menentukan


panas yang dibebaskan oleh suatu bahan bakar dan oksigen pada volume
tetap. Alat tersebut ditemukan oleh Prof. S. W. Parr pada tahun 1912,
oleh sebab itu alat tersebut sering disebut Parr OxygenBomb
Calorimeter (Husada, 2008). Nilai kalor bakar atas suatu bahan bakar
didapatkan dengan menggunakan kalorimeter bomb, dimana hasil
pembakaran didinginkan kembali sampai suhu awal, sehingga uap air
yang dihasilkan dalam pembakaran bahan bakar akan terkondensasi dan
panas laten uap air akan terbebas, dengan demikian nilai kalor bakar total

mengandung panas laten dari uap air (Kulshrestha, 1989).


Fixed carbon (karbon terikat)
Komponen yang bila terbakar tidak membentuk gas, yaitu
karbon tetap atau KT atau FC (fixed carbon) (Husada, 2008).
Sedangkan Djatmiko dkk. (1981) dalam Husada (2008) mengemukakan
karbon terikat sebagai karbon (C) dalam arang selain fraksi abu, air, dan
zat mudah menguap. Karbon terikat mempunyai peranan yang cukup
penting untuk menentukan kualitas arang karena akan mempengaruhi
besarnya nilai kalor yang dihasilkan. Semakin tinggi karbon terikat
dalam arang, semakin tinggi pula nilai kalor yang dihasilkan. Arang yang
bermutu baik adalah arang yang mempunyai nilai kalor dan karbon
terikat tinggi, tetapi mempunyai kadar abu yang rendah.
Menurut Raharjo (2006) dalam Husada (2008) nilai kadar karbon
diperoleh melalui pengurangan angka 100 dengan jumlah kadar air
(kelembaban), kadar abu, dan jumlah zat terbang. Nilai ini semakin
bertambah seiring dengan tingkat pembatubaraan. Kadar karbon dan
jumlah zat terbang digunakan sebagai perhitungan untuk menilai kualitas
bahan bakar, yaitu berupa nilai fuel ratio.

Berat jenis

11

Menurut Haygreen dan Bower (1989) dalam Kardianto (2009)


berat jenis adalah perbandingan antara kerapatan kayu (atas dasar berat
kering tanur dan volume pada kadar air yang telah ditentukan) dengan
kerapatan air pada suhu 4oC. Air memiliki kerapatan 1 g/cm3 atau 1000
kg/m3 pada suhu standar tersebut.Soeparnodkk (1999) mengemukakan
berat jenis yang tinggi menunjukkan kekompakan kerapatan arang briket
yang dihasilkan.
Berat jenis sangat mempengaruhi kadar air, kadar abu, kadar zat
terbang, kadar karbon terikat dan nilai kalor briket yang dihasilkan
(Sudrajad, 1983 dalam Pria, 2009). Selanjutnya disebutkan briket dari
kayu berkerapatan tinggi menunjukkan nilai kerapatan, keteguhan tekan,
kadar abu, kadar karbon terikat, dan nilai kalor yang lebih tinggi
dibandingkan briket yang dibuat dari kayu yang berkerapatan rendah.
c.

Jenis-Jenis Briket
Briket batubara terdiri atas 2 jenis :
1. Jenis berkarbonisasi (super), jenis ini mengalami proses karbonisasi
sebelum menjadi briket. Proses karbonisasi batubara adalah proses
karbonisasi zat terbang yang dikandung batubara sehingga dihasilkan
karbon sebagai sisa padatan dan disebut sebagai kokas atau semikokas.
Selain itu dihasilkan juga cairan (campuran dari hidrokarbon lainnya dan
air) dan gas (Sukandarrumidi, 2006). Dengan proses karbonisasi, zat-zat
terbang yang terkandung dalam briket batubara diturunkan serendah
mungkin sehingga produk akhirnya tidak berbau dan berasap, namun biaya
produksi menjadi meningkat karena pada batubara tersebut terjadi
rendemen sebesar 50%. Briket ini cocok untuk digunakan untuk keperluan
rumah tangga.

12

Gambar 1. Flow chart pembuatan briket batubara berkarbonisasi (super)


Kondisi - kondisi yang berpengaruh terhadap proses karbonisasi adalah :
a. Ukuran Bahan
Ukuran bahan yang semakin kecil mengakibatkan makin cepat perataan
ke seluruh umpan sehingga pirolisis berjalan lebih sempurna. Ukuran
arang yang cukup halus membentuk briket yang baik, sebaiknya dengan
ukuran 30 60 mesh, karena ukuran partikel yang cukup besar akan
sulit dilakukan perekatan sehingga mempengaruhi kuat tekan.
b. Waktu Karbonisasi
Waktu pirolisis akan semakin sempurna, bila waktu pemanasan
diperpanjang sehingga hasil arang semakin berkurang, tetapi cairan gas
semakin meningkat. Waktu karbonisasi bervariasi yaitu berkisar antara
1 2 jam.
c. Pengaruh Penambahan Bahan Perekat
Jenis bahan perekat mempunyai kelebihan dan kekurangan, namun
syarat utama dari perekat adalah harus ikut terbakar dan dapat
menambah nilai kalor. Penambahan perekat yang tidak semestinya (baik
jenis maupun komposisinya) akan dapat mengurangi nilai kalor dari
briket arang.

13

d. Suhu Karbonisasi
Proses karbonisasi sekam padi yang terbaik diperoleh pada suhu 240
250oC selama 2 jam dan pada suhu 200 oC didapatkan sekam padi yang
belum terkarbonisasi sempurna, sedangkan pada suhu 300 320oC telah
terbentuk abu.
2. Jenis non karbonisasi (biasa), jenis yang ini tidak dikarbonisasi sebelum
diproses menjadi briket dan harganya pun lebih murah. Karena zat
terbangnya masih terkandung dalam briket batubara, maka pada
penggunaannya lebih baik menggunakan tungku (bukan kompor) sehingga
akan menghasilkan pembakaran yang sempurna dimana seluruh zat
terbang yang muncul dari briket akan habis terbakar oleh lidah api
dipermukaan tungku. Briket ini umumnya digunakan untuk industri kecil

Gambar 2.2 Flow chart pembuatan briket batubara non karbonisasi (biasa)

d. Karakteristik Pembakaran Briket


Tahapan dalam pembakaran bahan bakar padat adalah sebagai berikut :
1) Pengeringan
Tahapan awal yang terjadi adalah pengeringan, dimana ketika sebuah
partikel dipanaskan dengan dikenai temperatur tinggi atau radiasi api, air
dalam bentuk uap airdi permukaan bahan bakar akan menguap,
14

sedangkan yang berada di dalam akan mengalir keluar melalui pori-pori


partikel dan menguap. Uap airdalam bahan bakar padat terdapat dalam
dua bentuk, yaitu sebagai air bebas (free water) yang mengisi rongga
pori-pori di dalam bahan bakar dan sebagai air terikat (bound water)
yang terserap di permukaan ruang dalam struktur bahan bakar (Borman
dan Ragland, 1998).Waktu pengeringan adalah waktu yang diperlukan
untuk memanaskan partikel sampai ke titik penguapan dan melepaskan
air tersebut.Kesetimbangan energi pada partikel kecil menyatakan bahwa
laju perubahan energi dalam partikel sama dengan laju kalor untuk
menguapkan air ditambah laju perpindahan kalor ke partikel melalui
konveksi dan radiasi.
2.

Devolatisasi
Proses pengeringan akan dilanjutkan dengan proses devolatisasi/
pirolisis. Setelah proses pengeringan, bahan bakar mulai mengalami
proses dekomposisi, yaitu pecahnya ikatan kimia secara termal dan zat
terbang akan keluar dari partikel.

3.

Pembakaran Arang
Proses pengeringan dan pirolisismenyisakan arang (fix carbon) dan
sedikit abu, kemudian partikel bahan bakar mengalami tahapan oksidasi
arang yang memerlukan 70 - 80 % dari total waktu pembakaran
(Mujiono, 2009). Laju pembakaran arang tergantung pada konsentrasi
oksigen, temperatur gas, bilangan Reynolds, ukuran, dan porositas arang.

Faktor-faktor yang mempengaruhi pembakaran bahan bakar padat, antara lain


(Sulistyanto, 2006) :
1) Ukuran Partikel
Partikel yang lebih kecil ukurannya akan lebih cepat terbakar.
2) Kecepatan aliran udara
Laju pembakaran biobriketakan naik dengan adanya kenaikan kecepatan
aliran udara dan kenaikan temperatur.
3) Jenis bahan bakar
15

Jenis bahan bakar akan menentukan karakteristik bahan bakar.


Karakteristik tersebut antara lain kandungan zat terbangdan kandungan
uap air.
4) Temperatur udara pembakaran
Kenaikan

temperatur

udara

pembakaran

menyebabkan

semakin

pendeknya waktu pembakaran.


e.

Bentuk Briket Batubara


Pada saat ini dikenal 2 tipe bentuk briket batubara :
1) Tipe Yontan, berbentuk silinder dengan garis tengah 150 mm, tinggi 142
mm, berat 3,5 kg dan mempunyai lubang berbentuk tabung searah
memanjang sebanyak 22 lubang. Lubang tersebut bertujuan agar briket
mudah terbakar sehingga mnghasilkan panas maksimum. Jenis briket ini
biasanya untuk keperluan rumah tangga (Sukandarrumidi, 2006).

Gambar Briket Bentuk Silinder


2)

Tipe Telor (Egg), berbentuk oval dengan panjang 46-48 mm, lebar 32-39
mm, dan tebal bagian tengah 20-24 mm. Pada bagian tepi pinggir dibuat
pipih tumpul (tidak meruncing), sehingga mudah dibakar mulai dari
bagian pinggir ke bagian tengah (Sukandarrumidi, 2006).

Gambar (a) Briket Super (terkarbonisasi, bentuk telor);


(b) Briket Non Karbonisasi (bentuk telor)
16

Produsen terbesar briket batubara di Indonesia saat ini adalah PT.


TambangBatubara Bukit Asam (Persero), atau PT. BA yang mempunyai 3
pabrik yaitu di Tanjung Enim Sumatera Selatan, Bandar Lampung dan Gresik
Jawa Timur dengankapasitas terpasang 115.000 ton per tahun. Disamping PT.
BA terdapat beberpaperusahaan swasta lain yang meproduksi Briket Batubara
namun jumlahnya jauhlebih kecil dibanding PT. BA dan belum berproduksi
secara kontinyu.
Kenaikan BBM khususnya minyak tanah dan solar, tentunya
penggunaan briket batubara oleh kalangan rumah tangga maupun industri
kecil/menengah akan lebihekonomis dan menguntungkan, namun demikian
kemampuan produksi dari PT. BA.masih sangat kecil, untuk mengatasi
kekurangan tersebut diharapkan partisipasi sertakeikutsertaan pihak swasta
untuk memproduksi dan mensosialisasikan penggunaanbriket batubara
disetiap daerah. (K.D Maison, 2006).

2.4

Karbonisasi Batubara menjadi Kokas


Kokas adalah material padatan hasil proses karbonisasi batubara.
Karbonisasi batubara dapat didefinisikan sebagai suatu proses dekomposisi
batubara dengan pemanasan bebas udara yang menghasilkan keluaran berupa
suatu padatan, cairan dan produk gas. Padatan yang dihasilkan dari proses
karbonisasi biasanya disebut char atau semikokas untuk produk karbonisasi
temperatur rendah, dan disebut dengan kokas untuk produk karbonisasi
temperatur tinggi.
Kegunaan kokas antara lain adalah sebagai bahan bakar dalam industri
pengecoran dan industri pembuatan besi atau baja. Secara umum kegunaan kokas
adalah (Kenji dan Tata, 1996) :

sebagai sumber kalori, kokas berreaksi dengan oksigen dari tiupan udara
menghasilkan panas untuk melelehkan besi dan slag;

sebagai chemicals, kokas berreaksi dengan oksigen dan CO2 membentuk


gas pereduksi untuk proses reduksi bahan baku besi;
17

sebagai reduktor oksida-oksida logam lainnya seperti mangan, silika dan


pospor,

sebagai unggun yang kuat, poros dan media permeabel agar sirkulasi dan
distribusi gas pereduksi optimal.
Kokas digunakan terutama untuk melebur bijih besi dan bahan besi lainnya

dalam blast furnace, bertindak baik sebagai sumber panas dan sebagai bahan
kimia pereduksi, untuk memproduksi pig iron, atau logam panas. Kokas, bijih
besi, dan batu kapur dimasukkan ke dalam blast furnace, yang bekerja secara
terus menerus. Udara panas ditiupkan ke dalam tungku untuk membakar kokas,
yang berfungsi sebagai sumber panas dan oksigen, sebagai zat pereduksi untuk
menghasilkan besi metalik. Dalam penyediaan panas ini, secara kimiawi dapat
mengubah bijih yang seperti batu menjadi bentuk logam cair. Kokas juga
membantu memisahkan gas dari logam cair. Sementara gas naik di dalam tungku,
logam cair tenggelam ke bawah dimana ia akan diambil untuk diproses lebih
lanjut menjadi baja. Kapur bertindak sebagai fluks dan juga menyatu dengan
kotoran untuk membentuk terak. Industri baja menggunakan kokas sebagai
sumber panas untuk menghasilkan logam cor. Industri lainnya menggunakan
kokas untuk peleburan batuan fosfat untuk menghasilkan unsur fosfor dan
produksi kalsium karbida.

18

Gambar 2. Proses Pemanfaatan Kokas di Industri Besi dan Baja


1.

Penggunaan sebagai bahan bakar


Penggunaan petroleum coke sebagai bahan bakar umumnya masuk
kepada dua kategori, bahan bakar untuk pembangkit tenaga uap dan bahan
bakar untuk pabrik semen. Untuk penggunaan ini, kokas biasanya dicampur
dengan batubara bitumen atau digunakan dalam kombinasi dengan minyak
atau gas. Pada umumnya, kokas sebagai bahan bakar digunakan dalam
kombinasi dengan batubara bitumen memiliki keuntungan sebagai berikut
disamping batubara bitumen itu sendiri :
a.

Grinding (penggilingan). Kokas lebih mudah untuk digiling daripada


batubara bitumen, dihasilkan dengan biaya penggilingan yang lebih

b.

murah dan tidak perlu perawatan yang lebih.


Nilai Pemanasan (Heating Value). Nilai pemanasan dari petroleum coke
adalah lebih dari 14.000 Btu/lb, dibandingkan dengan 9000 sampai

c.

12.500 Btu/lb untuk batubara.


Kandungan abu. Kandungan abu yang sangat rendah (kurang dari 0,5
persen berat) dari kokas menghasilkan biaya pengolahan yang lebih
murah.

2.

Penggunaan Untuk Elektroda


19

Kadar sulfur yang rendah, sponge coke dengan kadar logam yang
rendah, setelah proses kalsinasi, dapat digunakan untuk membuat anoda pada
industri aluminium. Industri aluminium merupakan industri satu-satunya yang
mengkonsumsi kokas paling banyak. Untuk setiap pon dari aluminium yang
dihasilkan melalui proses peleburan hampir lb dari kokas hasil kalsinasi
yang digunakan. Needle coke merupakan petroleum coke yang paling banyak
dipesan yang dihasilkan dari bahan aromatik dengan kandungan sulfur yang
rendah. Penggunaan utama dari needle coke yang dkalsinasi adalah pada
pembuatan elektroda grafit untuk dapur elektrik pada industri baja. (Robert A.
Meyers, 1986)

a.

Proses Pembuatan Kokas


Kokas dibuat dengan cara karbonisasi. Karbonisasi adalah suatu
proses untuk menaikkan kadar karbon padat dan menghilangkan zat terbang
(volatile matter) yang terkandung dalam batubara serendah mungkin sehingga
dihasilkan semi kokas atau kokas dengan kandungan zat terbang yang ideal 815% dengan nilai kalori yang cukup tinggi di atas 6.000 kkal/kg. Kandungan
zat terbang berhubungan erat dengan kelas batubara, makin tinggi zat
terbangnya maka makin rendah kelas batubara, karena zat terbang akan
mempercepat pembakaran karbon padatnya. Dengan karbonisasi juga akan
menghasilkan produk akhir yang tidak berbau dan berasap.
Proses karbonisasi dapat merupakan reaksi endoterm atau eksoterm
tergantung pada temperatur dan proses reaksi yang sedang terjadi. Secara
umum hal ini dipengaruhi oleh hubungan temperatur karbonisasi, sifat reaksi,
perubahan fisik/kimiawi yang terjadi. Perubahan fisika terdiri atas pelunakan,
aliran material, penggabungan dan pengerasan, sedangkan perubahan kimia
terdiri atas perekahan polimerisasi dan penguapan.
Karbonisasi batubara adalah proses pemanasan batubara dengan
keadaan anaerob (tanpa oksigen) pada temperatur beberapa ratus derajat
menghasilkan material material :
1. Karbon padat (solid residu)
Disebut semikokas/kokas jika bersifat kompak dan padat, atau
disebut char jika lebih berpori dan tidak kompak.
20

2.

Hasil cair
Terbuat dari campuran hidrokarbon (zat arang cair) disebut tar
dan larutan yang mengandung air yang mengandung jenis bahan-bahan

3.

terlarut yang disebut zat amoniak.


Hidrokarbon dan campuran lain
Dalam bentuk gas yang didinginkan ke temperatur normal.
Berdasarkan perbedaan besarnya temperatur pemanasan, proses

karbonisasi terdiri atas:


a. Low temperature carbonization pada suhu 500oC-700oC (1290oF)
b. Medium temperature carbonization pada suhu 700oC-900oC
c. High temperature carbonization pada suhu > 900oC (1650oF)
Pembuatan kokas berkaitan erat dengan proses karbonisasi batubara.
Proses karbonisasi dapat diklasifikasikan berdasarkan temperatur pemanasan
yang digunakan, yaitu (Wilson, 1960):
1. Karbonisasi temperatur rendah
Pada karbonisasi dengan temperatur rendah, umumnya dilakukan pada
rentang temperatur 450-700OC. Tujuan utama dari proses ini adalah
menghasilkan kokas reaktif dengan hasil ter yang tinggi. Kokas yang
dihasilkan biasanya dipasarkan sebagai smokeless domestic fuel yang
diproduksi dalam bentuk lump atau serbuk dengan kandungan zat terbang
8-20% (daf). Rendemen yang diperoleh dapat mencapai 70-80 %. Saat ini
semikokas dapat digunakan sebagai bahan baku pembuatan karbon aktif
melalui proses aktivasi fisik menggunakan uap air.
2. Karbonisasi temperatur sedang
Karbonisasi temperatur sedang dilakukan pada rentang temperatur 750900OC dengan tujuan untuk menghasilkan produk gas yang lebih tinggi
dan kokas yang cukup reaktif. Produk padatan yang dihasilkan
mengandung zat terbang antara 2-8% (daf) yang digunakan sebagai
domestic fuel.
3. Karbonisasi temperatur tinggi
Karbonisasi temperatur tinggi dilakukan pada temperatur 900OC dengan
tujuan pembuatan hard coke untuk keperluan industri metalurgi seperti
pengecoran logam, kupola dan tanur tiup. Solid yield dapat mencapai 70%

21

(adb) dengan kandungan zat terbang 2-5%. Gas yang dihasilkan


mengandung sulfat, amoniak, benzol dan gas hidrogen
Temperatur, OC
450-700

Tujuan Proses
Menghasilkan semikokas

Temperatur sedang

750-900

reaktif dan tar


Menghasilkan kokas reaktif

Temperatur tinggi

900-1050

dan gas
Menghasilkan kokas keras

Proses Karbonisasi
Temperatur rendah

Secara umum sifat fisik dan kimia kokas (parameter) yang diinginkan setelah
karbonisasi adalah sebagai berikut :

kandungan air dan abu maksimal masing-masing 3% dan 1,25%;

kandungan pospor dan sulfur masing-masing kurang dari 3% dan 1,25%;

absolute density maksimal 2,3 (grafit);

apparent density antara 0,85-0,95 untuk kokas temperatur tinggi dan 0,75
untuk semikokas;

Kekuatan shatter kokas yang berukuran 2,0 inch, 1,5 inch dan 1,0 inch
masing-masing 80, 90 dan 98%.

Proses karbonisasi dilakukan melalui dua cara:


1. Proses Karbonisasi dengan pemanasan secara langsung
Proses Karbonisasi dengan pemanasan secara langsung dalam
tungku Beehive yang berbentuk kubah. Tungku Beehive merupakan tungku
yang paling tua dimana batubara dibakar pada kondisi udara terbatas,
sehingga hanya zat terbang saja yang akan terbakar. Jika zat terbang
terbakar habis, proses pemanasan dihentikan.Kelemahannya antara lain
terdapat produk samping berupa gas dan cairan yang tidak dapat
dimanfaatkan atau habis terbakar, disamping itu produktivitas sangat
rendah.
2.

Karbonisasi batubara dengan pemanasan tidak langsung


22

Karbonisasi batubara dengan pemanasan tidak langsung atau proses


distilasi kering di mana sirkulasi udara dikontrol seminimal mungkin.
Melalui dinding baja, panas disalurkan ke dalam tanur bakar yang memuat
batubara. Pada suhu sekitar 375oC - 475oC, batubara mengalami
dekomposisi membentuk lapisan plastis di sekitar dinding.
Ketika suhu mencapai 475oC - 600oC, terlihat kemunculan cairan tar
dan senyawa hidrokarbon (minyak), dilanjutkan dengan pemadatan massa
plastis menjadi semi-kokas. Pada suhu 600oC - 1100oC, proses stabilisasi
kokas dimulai. Ketika lapisan plastis sudah bertemu di tengah oven, berarti
seluruh batubara telah terkarbonasi menjadi kokas, dilanjutkan dengan
proses pendinginan (quenching). Setelah kokas selesai dibuat di oven, perlu
pendinginan secepatnya supaya kokas tersebut tidak berubah jadi abu.
Cara ini selain menghasilkan kokas juga diperoleh produk samping
berupa tar, amoniak, gas methana, gas hidrogen dan gas lainnya. Gas-gas
tersebut dapat dimanfaatkan sebagai bahan bakar. sedangkan produk cair
berupa tar, amoniak dan lain-lain dapat diproses lebih lanjut untuk
menghasilkan bahan-bahan kimia, umumnya berupa senyawa aromatik.

23

b. Hasil dan Manfaat Produk Karbonisasi


Hasil karbonisasi terdiri dari:
1.

Karbon padat (char) : sebagai bahan baku kokas briket dan kokas
metalurgi yang digunaan untuk tanur tiup.

2.

Yang bersifat volatile terdiri atas gas amonia, tar dan minyak ringan
(bahan bakar cair ringan )

Manfaat produk karbonisasi adalah:


1.

Tar dan Hidrokarbon cair : digunakan sebagai umpan (bahan baku)


industri kimia)

2.

Char (solid residu) digunakan untuk :


Kokas metalurgi : peleburan baja dan steel
Kokas Briket : untuk bahan bakar boiler, bahan bakar industri kecil, dan
rumah tangga.

2.5

Uji Pada Karbonisasi


1. Free Swelling Index
24

Tes ini dilakukan untuk menentukan angka peleburan dengan cara


memanaskan sejumlah sampel pada temperatur peleburan normal (kira-kira
800C). Setelah pemanasan atau sampai semua semua volatile dikelurkan,
sejumlah coke tersisa dari peleburan. Swelling number dipengaruhi oleh
distribusi ukuran partikel dan kecepatan pemanasan.
2. Tes karbonisasi Gray-King dan tipe coke
Tes Gray-King menentukan jumlah padatan, larutan dan gas yang
diproduksikan akibat karbonisasi. Tes dilakukan dengan memenaskan sampel
didalam tabung tertutup dari temperatur 300C menjadi 600C selama 1 jam
untuk karbonisasi temperatur rendah atau dari 300C menjadi 900C selama 2
jam untuk karbonisasi temperatur tinggi.
3. Tes Karbonisasi Fischer
Prinsipnya sama dengan metode Gray-King, perbedaan terletak pada
peralatan dan kecepatan pemanasan. Pemanasan dilakukan di dalam tabung
alumunium selama 80 menit. Tar dan liquor dikondensasikan ke dalam air
dingin. Akhirnya didapatkan persentase coke, tar dan, air sedangkan jumlah
gas didapat dengan cara mengurangkannya. Tes Fischer umum digunakan
untuk batubara rank rendah (brown coal dan lignit) untuk karbonisasi
temperatur rendah.
4.

Plastometer Gieseler
Plastometer Gieseler adalah viskometer yang memantau viskositas sampel
batubara yang telah dileburkan. Dari tes ini direkam data-data sbb.

5.

a.

Initial softening temperature

b.

Temperatur viskositas maksimum

c.

Viskositas maksimum

d.

Temperatur pemadatan resolidifiation

Indeks Roga
25

Indeks Roga menyatakan caking capacity. Ditentukan dengan cara


memanaskan 1 gram sampel batubara yang dicampur dengan 5 gram antrasit
pada 850C selama 15 menit.
6.

Tes lain yang dilakukan:


Biasanya dilakukan untuk menentukan:
a. Komposisi kimia (analisis proksimat, total belerang, analisis abu,dll).
b. Parameter fisik (distribusi ukuran, densitas relatif).
c. Uji kekuatan.
d. Tes Metalurgi.

BAB III
PENUTUP

Karbonisasi adalah proses pemanasan batubara sampai suhu dan waktu


tertentu (berkisar 200oC di atas 1000oC) pada kondisi miskin oksigen untuk
menghilangkan kandungan zat terbang batubara sehingga dihasilkan padatan yang
berupa arang batubara atau kokas atau semi kokas dengan hasil samping tar dan
gas. Pada proses karbonisasi akan melepaskan zat yang mudah terbakar seperti
CO, CH4, H2, formaldehid, metana, formik dan acetil acid serta zat yang tidak
terbakar seperti seperti CO2, H2O dan tar cair. Tujuan dari proses karbonisasi
adalah menaikkan kadar karbon padat dan menghilangkan zat terbang (volatile
matter) yang terkandung dalam batubara serendah mungkin sehingga dihasilkan
semi kokas atau kokas dengan kandungan zat terbang yang ideal 8-15% dengan
26

nilai kalori yang cukup tinggi di atas 6.000 kkal/kg. Proses karbonisasi batubara
untuk menjadi kokas terjadi pada saat batubara dengan spesifikasi tertentu (kalori
tinggi) pada pemanasan bebas udara pada temperature 9000C dalam waktu tertentu
sehingga terjadi pengkayaan karbon tetap (FC) menjadi char dan menghasilkan
cairan dan gas. Hasil karbonisasi terdiri dari Karbon padat (char) sebagai bahan
baku kokas briket dan kokas metalurgi yang digunaan untuk tanur tiup. Yang
bersifat volatile terdiri atas gas amonia, tar dan minyak ringan (bahan bakar cair
ringan )

DAFTAR PUSTAKA

http://www.tekmira.esdm.go.id/BRIKET/jenis.html,diakses pada tanggal 7 november


2015
http://www.tekmira.esdm.go.id/kp/Batubara/index.asp.html
http://materikuliakarina.blogspot.co.id/2012/12/karbonisasi-batubara.html
Suganal, dkk.2009.Operasi Prototype Plant Kokas.Puslitbang Teknologi Mineral Dan
Batubara
http://www.ristek.go.id/file/upload/lain_lain/briket/briket_batubara_1.htm
Jurnal Pembuatan dan Karakterisasi Fisik Briket dari Aspal Lawele Kabupaten Buton
sebagai Bahan Bakar Alternatif
Andi Ardan Yusuf.2010.Briket Batubara.Jurusan Teknik Pertambangan, fakultas
teknologi indutri, universitas muslim indonesia

27

28

Anda mungkin juga menyukai