Anda di halaman 1dari 7

AIDS di Afrika

Oleh : M.Naufal Aflah


Kelas : XII Alselerasi A

AIDS di Afrika adalah epidemik virus HIV/AIDS yang meluas di negara-negara yang berada
di benua Afrika yang penyebarannya bervariasi satu sama lainnya.
Walaupun penyebaran penyakit ini tidak hanya di Afrika, namun nyatanya Afrika adalah
daerah yang paling terpengaruh dari penyebaran virus ini. Benua Afrika didiami oleh 10%
dari jumlah populasi dunia namun disaat yang sama 60% dari jumlah populasinya mengidap
AIDS.
Banyak yang menanggap bahwa prevalensi penyakit HIV stabil di kebanyakan tempat di
Afrika Sub-Sahara, tetapi banyak laporan yang menyatakan bahwa jumlah pengidap HIV
masih meningkat di negara-negara Afrika bagian selatan (walaupun ada beberapa wilayah
negara yang jumlahnya stabil). Uganda memiliki kecepatan tanggap tingkat nasional yang
paling berhasil, mengurangi prevalensi HIV dari 11% hingga sekitar 6% saat ini. Walau ada
juga laporan yang menyatakan bahwa prevalensi HIV di Uganda sedang meningkat kembali;
tetapi pada awalnya, Uganda memang telah berhasil mengurangi prevalensi HIV pada tingkat
nasional sejak awal 1990an (untuk statistik pendukung, lihat halaman web UNAIDS). Akan
tetapi, beberapa agensi mengingatkan agar masyarakat jangan melihat tingkat infeksi yang
mulai stabil sebagai awal dari berakhirnya pandemik di Afrika.
Hal ini sering disebabkan karena meningkatnya tingkat kematian akibat AIDS, yang dapat
menyembunyikan jumlah infeksi baru.
Walau prevalensi HIV menurun, seperti yang terjadi di Uganda, tidak menutup kemungkinan
bahwa jumlah infeksi baru tetap tinggi. Statistik prevalensi nasional dapat menyamarkan
tingginya tingkat infeksi di tempat-tempat tertentu atau di antara kelompok-kelompok dengan
risiko tinggi. Selain itu, beberapa negara memiliki angka migrasi yang tinggi karena kondisi
dalam negeri yang buruk (misalnya: Zimbabwe).
Hal ini menyebabkan nilai prevalensi menjadi tidak akurat (contohnya: di beberapa wilayah
di Botswana, penduduk yang diuji tidak ditanya dari negara mana mereka berasal. Oleh
karena itu, penduduk asing secara salah diikutsertakan pula dalam statistik nasional).
Ada beberapa laporan kontroversial baru-baru ini mengenai tingkat prevalensi yang tinggi di
negara-negara Afrika bagian selatan yang kaya (misalnya Afrika Selatan atau Botswana).
Laporan ini menyimpulkan bahwa perawatan kesehatan yang baik yang tersedia bagi orangorang dengan HIV memperbolehkan mereka tampak sehat. Dan stigma yang melekat pada
infeksi HIV serta keenganan untuk menggunakan kondom, beberapa pengidap HIV memilih
untuk terus melakukan hubungan sex tanpa perlindungan, hingga akhirnya menularkan HIV
kepada pasangannya.

Selanjutnya, masih banyak yang membantah bahwa HIV menyebabkan AIDS, terutama di
beberapa negara Afrika bagian selatan. Thabo Mbeki dan Robert Mugabe mengemukakan
sebuah teori bahwa AIDS sesungguhnya berakar pada kemiskinan dan bukan karena infeksi
HIV (Walau hal ini tidak sepenuhnya salah, argumen yang digunakan dirasa sangat
kontroversial, karena mereka mengesampingkan pertalian medis antara HIV dan AIDS).
Selain itu, masih banyak mitos seputar penggunaan kondom. Beberapa di antaranya
mengatakan bahwa kondom digunakan untuk menghambat pertumbuhan penduduk Afrika;
mitos lainnya adalah bahwa memakan ayam itu sangat berbahaya karena besar kemungkinan
ayam tersebut pernah memakan kondom bervirus; atau bahwa kondom mengekang tradisi
kekuasaan pria di dalam komunitasnya.\
Di 35 negara Afrika dengan prevalensi tertinggi, rata-rata angka harapan hidup adalah 48.3
tahun6.5 tahun di bawah angka harapan hidup normal (tanpa adanya infeksi/penyakit
HIV/AIDS). Bagi negara-negara dengan jangkauan prevalensi di atas 13%, angka harapan
hidup adalah 47.7 tahun11.0 tahun di bawah angka harapan hidup yang diperkirakan dapat
dicapai tanpa HIV/AIDS.
UNAIDS telah memperkirakan kemungkinan yang dapat terjadi di wilayah ini hingga tahun
2025.Perkiraan ini mencakup kemungkinan tercapainya fase stabil (plateau) dan kemudian
penurunan angka kematian sekitar tahun 2012; atau kemungkinan terjadinya peningkatan
besar-besaran pada angka kematian dengan perkiraan terjadinya 90 juta kasus infeksi.
Sepanjang sejarah, pengeluaran untuk kesehatan dari negara-negara Afrika dapat dikatakan
sangat minim. Hal ini mewariskan sistem pelayanan kesehatan yang sangat buruk. Keadaan
ini diperburuk oleh alokasi prioritas pengeluaran yang kurang baik oleh rezim militer di
benua itu, terutama setelah kemerdekaan dari kolonialisme. Sistem kesehatan yang
diwariskan oleh penguasa kolonial lebih mengutamakan pengobatan penyakit, dan bukan
pada pencegahan penyakit. Program pencegahan yang baik adalah dasar yang penting untuk
menjalankan program penanggulangan. Tetai, untuk melakukan perubahan sesuai tuntutan
ini, sangatlah sulit.
Tanpa gizi, pelayanan kesehatan, dan obat-obatan (misalnya obat anti-retroviral) seperti yang
tersedia di negara-negara maju, banyak orang di Afrika yang akhirnya mengidap AIDS.
Mereka tidak dapat bekerja dan membutuhkan perawatan yang lebih intensif. Banyak yang
meramalkan bahwa keadaan ini akan menyebabkan keruntuhan ekonomi dan rusaknya sistem
masyarakat di wilayah ini. Di negara-negara yang paling parah, banyak anak-anak yang
menjadi yatim piatu, yang kemudian dirawat oleh sanak saudara atau terpaksa tinggal di panti
asuhan atau bahkan menggelandang. UNAIDS, WHO dan UNDP mencatat semakin
berkurangnya angka harapan hidup dan penurunan GNP di berbagai negara di Afrika yang
memiliki prevalensi HIV sebesar 10% atau lebih.
Banyak pemerintah di negara-negara Afrika Sub-Sahara yang selama bertahun-tahun
membantah adanya masalah ini. Dan walaupun mereka sekarang ini lebih bersedia untuk
mencari pemecahan masalah ini, ada beberapa hal yang menghambat pengurangan

penyebaran penyakit ini. Beberapa di antara mereka menyatakan bahwa masalah ini berakar
pada kurangnya dana. Pada kenyataannya ada banyak sekali bantuan yang disalurkan kepada
negara-negara berkembang dengan tingkat HIV/AIDS yang tinggi. Sesungguhnya akar dari
masalah ini adalah: sistem desentralisasi yang baru, kurangnya infrastruktur (terutama klinik
atau balai kesehatan), korupsi di segala tingkat (baik itu di dalam organisasi pemberi bantuan
maupun dalam pemerintahan), pertanggungjawaban yang berorientasi pada donor asing dan
bukan kepada kelompok masyarakat yang terkait, serta penempatan sumber daya yang tidak
terkoordinasi dengan baik. Tentunya, setiap negara memiliki masalah yang berbeda satu
dengan lainnya, terutama sehubungan dengan pendistribusian sumber daya, tetapi masalahmasalah yang disebutkan di atas terjadi hampir di semua daerah.
Sekelompok kecil peneliti menyatakan bahwa dari seluruh kasus infeksi HIV pada penduduk
Afrika usia dewasa, 40% di antaranya disebabkan oleh penggunaan jarum suntik yang tidak
aman. Akan tetapi teori ini ditolak oleh kebanyakan ahli, termasuk ahli dari WHO. Menurut
mereka, sebagian besar infeksi HIV terjadi karena hubungan heteroseksual.

Mengukur Epidemi
Perlu diingat bahwa "tingkat prevalensi nasional' adalah sebuah gambaran epidemik yang
tertunda, karena menyajikan data mengenai infeksi HIV dari beberapa tahun yang sudah
lampau. Dengan kata lain, perhitungan prevalensi mengikutsertakan semua orang di suatu
negara yang mengidap HIV/AIDS. Sebaliknya, perhitungan per "insiden" mencatat jumlah
infeksi baru dan biasanya perhitungan dilakukan per satu tahun periode. Sayangnya, tidak ada
cara yang baik dan terpercaya untuk menguji frekuensi insiden infeksi HIV di Afrika SubSahara. Perkiraan terbaik didapat dari angka prevalensi pada wanita yang sedang
mengandung yang mengunjungi klinik antenatal. Metode penilaian seperti ini dikenal dengan
sebutan serosurvei.
Banyak yang meragukan pelaporan kasus HIV oleh unit-unit kesehatan, karena unit tersebut
jarang beroperasi di komunitas daerah terpencil dan sering tidak memperhitungkan penduduk
yang memutuskan untuk meinggal di rumah atau yang mencari pengobatan alternatif. Surveisurvei baru seperti survei populasi nasional atau survei rumah tangga semakin sering
digunakan untuk mengisi kekurangan serosurvei. Survei ini mengukur dan mengumpulkan
data dari kedua jenis kelamin, dari wanita yang tidak sedang megandung, serta mampu
memperoleh data dari daerah-daerah yang terpencil. Gabungan survei-survei ini mampu
memberikan penyesuaian pada catatan tingkat prevalensi nasional yang sudah ada, yang
dimiliki oleh beberapa negara di Afrika dan di benua lainnya.
Serosurvei dan survei nasional tentu memiliki beberapa kekurangan. Banyak penduduk yang
mungkin tidak berpartisipasi dalam survei rumah tangga karena mereka takut mengetahui
apakah mereka memang benar-benar positif mengidap HIV, atau karena mereka sedang tidak
berada di rumah (tetapi tidak termasuk pekerja yang sering berpindah / nomaden, yang
termasuk dalam kategori penduduk berisiko tinggi). Ekstrapolasi data juga memerlukan
beberapa kriteria pengandaian, yang mungkin tidak sesuai untuk digunakan di seluruh
wilayah atau untuk menghitung epidemik pada tingkat penetrasi yang berlainan.

Kadang kala, pemerhati HIV/AIDS akan mengatakan bahwa di beberapa negara, misalnya di
Uganda, ada kemungkinan perbedaan yang cukup signifikan antara angka resmi yang
diterbitkan pemerintah dengan prevalensi HIV yang sebenarnya terjadi di lapangan.
Pemerintah Uganda dengan tegas menyatakan ahwa angka yang dilaporkan adalah angka
yang sebenarnya dan akurat.

Mendapatkan perawatan
Secara teknis prawatan dapat diberikan di mana saja di dunia ini. Bahkan,
kekurangan infrastruktur bukan suatu alasanSaya tidak tahu satu tempat pun di
mana infrastruktur kesehatan yang kelebihan beban, sehingga tidak mampu
memberikan perawatan yang baik dijadikan sebagai alasan utama tidak adanya
perawatan itu. Ketahuilah bahwa [kurangnya] pengetahuan bukanlah halangan,
tetapi ketidak adaannya kemauan politiklah [yang menjadikan] halangan itu.

Obat anti-retroviral (ARV) yang baru dapat memperlambat atau bahkan membalikkan
perkembangan infeksi HIV, menunda serangan AIDS selama dua puluh tahun atau lebih.
Tetapi, karena biaya yang harus dikeluarkan relatif tinggi, maka hanya 7% dari 6 juta orang
di negara berkembang yang memerlukan perawatan menggunakan ARV yang mampu
menggunakannya. Tetapi akses untuk mendapatkan terapi ARV meningkat lebih dari delapan
kali lipat sejak akhir tahun 2003, dan kini terhitung 810,000 pasien yang mendapatkan
perawatan.
Kemudahan untuk mendapatkan obat-obatan yang sesuai semakin dilihat sebagai komponen
penting dalam setiap strategi penanggulangan HIV/AIDS yang baik. ARV memiliki peran
yang sangat penting dalam mencegah sekaligus mengobati. Dipercaya bahwa semakin
banyak orang yang bersedia untuk menjalani tes, apabila ada harapan bagi mereka untuk
mendapatkan perawatan yang baik. Hal ini juga dapat mendorong mereka untuk berperilaku
positif dengan berusaha untuk menghindari penularan virus kepada orang lain.
Memperlambat serangan AIDS memungkinkan penduduk untuk terus hidup secara normal,
sehingga dapat mendukung kehidupan sosial dan ekonomi di negara mereka.
ARV harus digunakan secara terus-menerus, untuk mencegah strain virus HIV yang kebal
semakin menyebar. Di daerah di mana biaya terapi ARV sangat tinggi, strain kebal seperti ini
banyak dijumpai pada pengidap yang pernah menghentikan terapi untuk beberapa waktu
karena kekurangan biaya. Pasien yang mulai menjalani perawatan HIV biasanya harus
mengkonsumsi obat secara terus menerus sepanjang hidupnya, walaupun banyak di antara
mereka yang melewati beberapa waktu tanpa mengkonsumsi obat ARV. Jangka waktu ini
biasanya disebut sebagai cuti obat" (drug holidays). UNAIDS telah melaporkan pecahnya
wabah tuberkulosis yang sangat kebal di daerah KwaZulu-Natal, yang pertama kali dicatat

pada awal September. Ada pula penyakit kombinasi antara HIV dan TBC di Afrika Selatan, di
mana sekitar 60% pasien pengidap TBC juga telah terinfeksi HIV.
Dalam komunitas negara-negara Barat, terapi ARV masih sangat mahal, memakan biaya
antara $10,000 hingga $15,000 per orang per tahun. Biaya ini termasuk biaya yang
dibayarkan kepada pemegang paten, yang memungkinkan perusahaan peneliti obat-obatan
untuk mengembalikan modal yang digunakan untuk penelitian, sehingga mereka dapat
mengembangkan obat-obat baru yang lebih baik. Akan tetapi, beberapa organisasai
internasional seperti VSO, Oxfam dan Medecins Sans Frontieres sering mempertanyakan
apakah uang yang didapat oleh perusahaan ini sebanding dengan uang yang sebenarnya
dikeluarkan untuk penelitian.
Sebagai perbandingan, di beberapa negara di Afrika, terapi ARV tersedia dengan biaya di
bawah $140 per orang per tahun. Obat-obatan yang ada didapat dari India, Afrika Selatan,
Brazil, Thailand, dan Cina, negara-negara yang memproduksi obat generik, duplikat dari
obat-obat yang telah dipatenkan tersebut. Karena tidak perlu membayar bea kepada para
pemegang hak paten, obat-obatan tersebut dapat kemudian diberikan kepada pasien yang
membutuhkan dengan harga dapat diterima oleh pemerintah dan masyarakat di negara-negara
berkembang. Pengurangan biaya ini diperoleh dari gabungan antara penggunaan obat generik
dan diberikannya "potongan harga", yaitu sumbangan suka rela dari perusahaan produsen
obat. Kini para pemegang paten sudah mulai menurunkan harga jual obat-obatan mereka
untuk menghadapi kompetisi dari industri obat generik.
Selain biaya obat-obatan, biaya terapi HIV juga mencakup perlunya mengadakan
pemeriksaan berkala atau pengujian angka viral load (jumlah virus HIV dalam setiap mililiter
darah) dan hitungan sel CD4 untuk mengawasi dan mencegah pembentukan kekebalan pada
virus. Pengujian semacam ini tentunya membuthkan peralatan laboratorium yang mahal dan
logistik yang memadai. Di Afrika, biaya per pasien untuk pengadaan laboratorium seperti ini
jauh lebih tinggi dibandingkan biaya yang dikeluarkan untuk membeli ARV. Total biaya yang
biasanya harus dikeluarkan untuk terapi sesuai dengan ketentuan standar negara-negara Barat
adalah sekitar $800. [1]
Oleh karena itu, terapi ARV masih tergolong mahal untuk sebagian besar penduduk Afrika;
dan bagi mereka yang hidup di bawah garis kemiskinan, dengan pendapatan sekitar $2 per
hari, terapi ini tidak terjangkau, sehingga mereka harus bergantung ada pelayanan kesehatan
gratis.
Inisiatif 3 by 5 yang dicanangkan oleh WHO dimaksudkan untuk memberikan terapi ARV
kepada 3 juta orang hingga pada akhir tahun 2005. Organisasi kemanusiaan internasional
melakukan berbagai usaha pendekatan untuk mendorong pengembangan produksi obat
generik di negara-negara berkembang -- secepatnya untuk jangka pendek dan secara perlahan
tetapi berkelanjutan untuk jangka panjang -- dengan menggunakan dana dari inisiatif 3-by-5
ini.
Inisiatif AIDS dari Amerika Serikat, PEPFAR [2], memusatkan dua per tiga dari keseluruhan
sumber dayanya untuk AIDS di Afrika. Mulai dari tahun 2004, pengeluarannya untuk proyek
di seluruh dunia naik dari $2.3 juta menjadi $3.3 juta di tahun 2006. Tingkat pemberian
bantuan sebesar $4 juta sedang dipermohonkan untuk tahun 2007. [3]

Proyek DREAM, yang dimotori oleh Community of Sant'Egidio telah terbukti menjadi salah
satu cara pemberian akses perawatan gratis menggunakan obat generik HAART bagi
kalangan tidak mampu dalam jumlah banyak: Sejauh ini, 5,000 orang telah menerima
perawatan, terutama di Mozambique; tetapi program ini juga sedang disosialisasikan di
berbagai negara: Malawi, Guinea, Tanzania dan lain-lain. Walaupun gratis, program ini
mempunyai tujuan untuk memberikan perawatan yang terbaik, memberikan pilihan obat yang
lengkap (HAART) dan tes darah secara berkala sesuai dengan standar Eropa. Program ini
juga dihubungkan dengan program perbaikan gizi serta memberikan penyuluhan dan
bimbingan pemeliharaan kebersihan lingkungan (sanitasi). Penyuluhan dan pembimbingan
ini dilakukan oleh para relawan (dan juga mereka yang mengidap HIV yang hendak
membantu). Program ini berhasil mendorong pasien-pasien baru untuk mengikuti dan datang
pada hari-hari yang ditentukan. Angka keikutsertaan program ini sangat tinggi (94%).

Pengaruh dari Epidemik AIDS

Epidemik HIV/AIDS di Afrika mempengaruhi kehidupan sosial, ekonomi dan politik di


benua itu.
Pengaruh AIDS terhadap perekonomian adalah: melambatnya pertumbuhan ekonomi, tidak
seimbangnya jumlah pengeluaran penduduk, semakin besarnya aliran dana bantuan
internasional, dan perubahan struktur demografis populasi negara tersebut. Perubahan pada
angka harapan hidup jangka panjang dapat mengubah cara pengambilan keputusan bidang
ekonomi, menurunkan jumlah simpanan/tabungan dan angka investasi. Akan tetapi, banyak
dari pengamatan ini yang sifatnya teoritis, dan bukan karena pengamatan empiris di lapangan.
Para ahli ekonomi di Afrika Selatan telah mengembangkan model untuk menguji pengaruh
AIDS terhadap tatanan sosial. Nicoli Nattrass dalam "The Moral Economy of AIDS in South
Afrika" memperkirakan bahwa pemerintah Afrika Selatan sebenarnya sangat mungkin untuk
memberikan akses untuk mendapatkan obat anti-retroviral tanpa harus terlalu membebani
anggaran nasional. AIDS juga telah bersimpangan dengan kekeringan, pengangguran dan
masih banyak masalah lainnya sehingga menimbulkan apa yang dikatakan oleh Alan
Whiteside dan Alex de Waal sebagai "paceklik baru", karena rumah tangga miskin dengan
AIDS tidak dapat memenuhi kebutuhan pangan di saat adanya krisis makanan.
Pengaruh AIDS terhadap kehidupan sosial yang paling mencolok adalah meningkatnya
jumlah anak yatim piatu di benua itu. Ada sekitar 12 juta anak di Afrika Sub-Sahara yang
menjadi yatim piatu karena AIDS. Seringkali, anak-anak ini diasuh dengan sangat baik oleh
kerabat mereka. Akan tetapi kemampuan kerabat untuk mengasuh anak-anak ini semakin
lama semakin berat, dan sudah mulai melemah. UNICEF dan beberapa agensi internasional
lainnya menatakan bahwa krisis yatim piatu di Afrika adalah sebuah prioritas kemanusiaan.
Para praktisi dan ahli kebajikan tetap berusaha untuk tidak mengelompokkan anak-anak
yatim piatu ini dari anak-anak lain yang membutuhkan atau terancam. Hal ini dilakukan
untuk menghindari pemberian stigma kepada kelompok anak yatim piatu karena AIDS. Oleh

karena itu, diperlukan kebijakan sosial dan program yang baik dan efektif untuk memberikan
bantuan dan perlindungan kepada seluruh yatim piatu dan anak-anak yang terancam.
Hingga kini, tidak banyak penelitian yang dilakukan untuk mengetahui pengaruh AIDS
terhadap keadaan politik suatu negara. Banyak pihak yang khawatir bahwa tingkat HIV yang
tinggi di antara para prajurit dan politikus dapat mengakibatkan "pengosongan" dan,
akhirnya, rusaknya struktur politis suatu negara. Hal ini dapat mendorong pecahnya sebuah
konflik di negara tersebut. Laurie Garrett dari Council on Foreign Affairs adalah sosok
pengamat yang paling sering dikaitkan dengan pandangan ini. Akan tetapi, epidemik ini juga
terjadi bersamaan dengan dikukuhkannya demokrasi di berbagai negara di Afrika, dan bahwa
pemerintahan dan angkatan bersenjata di benua ini belajar untuk semakin dapat mengatasi
epidemik ini.

Sumber :
1. http://id.wikipedia.org/wiki/AIDS_di_Afrika
2. Encyclopedia of AIDS: A Social, Political, Cultural, and Scientific Record of
the HIV Epidemic, Raymond A. Smith (ed), Penguin Books. ISBN 0-14051486-4.

Anda mungkin juga menyukai