Anda di halaman 1dari 21

MAKALAH SISTEM SENSORI PERSEPSI

GANGGUAN KORNEA

DISUSUN OLEH :
Alria Ajizah Dwilantika
141.0008
PEMBIMBING :
Iis Fatimawati S.Kep. Ns, M.Kes

SEKOLAH TINGGI ILMU KESEHATAN HANG TUAH SURABAYA


PRODI S-1 KEPERAWATAN
TAHUN AJARAN 2016

KATA PENGANTAR
Puji syukur kehadirat Allah SWT, atas rahmat-Nya, penyusun dapat menyelesaikan
makalah ini dengan topik pembahasan Gangguan Kornea untuk memenuhi penugasan
individu sistem sensori persepsi.
Makalah ini memberikan informasi tentang salah satu gangguan pada sistem panca
indera yaitu mata yang bisa terjadi pada rentang usia berapapun. Penyusunan makalah ini
telah dikaji dengan sebaik-baiknya dan diperoleh dari beberapa sumber.
Dengan segala kerendahan hati penyusun menyadari bahwa makalah ini masih jauh
dari sempurna, untuk itu segala kritik dan saran yang bersifat membangun untuk perbaikan
makalah ini, selanjutnya akan kami terima dengan senang hati. Semoga makalah ini dapat
bermanfaat bagi pembaca.

Surabaya, September 2016

Penulis

ii

DAFTAR ISI
Kata Pengantar..................................................................................... i
Daftar Isi............................................................................................... ii
Bab 1 Pendahuluan............................................................................... 1
1.1 Latar Belakang................................................................................1
1.2 Rumusan Masalah...........................................................................2
1.3 Tujuan............................................................................................. 2
1.4 Manfaat.......................................................................................... 2
Bab 2 Tinjauan Pustaka........................................................................3
2.1 Kornea............................................................................................ 3
2.2 Keratitis.......................................................................................... 4
2.2.1 Definisi..................................................................................... 4
2.2.2 Etiologi..................................................................................... 4
2.2.3 Klasifikasi..................................................................................5
2.3 Diagnosa dan Intervensi Keperawatan...........................................12
Bab 3 Penutup...................................................................................... 18
3.1 Kesimpulan..................................................................................... 18
3.2 Saran.............................................................................................. 18
Daftar Pustaka...................................................................................... iii

iii

BAB 1
PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Kornea berfungsi sebagai membran pelindung dan merupakan jaringan
transparan yang dilalui oleh berkas cahaya saat menuju retina. Sifat tembus
cahaya kornea disebabkan oleh strukturnya yang uniform, avaskular, dan
deturgenses. Epitel yang terdapat pada kornea ini adalah sawar yang efisien
terhadap masuknya mikroorganisme ke dalam kornea (Biswell, 2010).
Infiltrasi sel radang pada kornea akan menyebabkan keratitis, hal ini
mengakibatkan kornea menjadi keruh. Kekeruhan ini akan menimbulkan gejala
mata merah dan tajam penglihatan akan menurun. Keratitis dapat diakibatkan oleh
beberapa faktor seperti infeksi, mata yang kering, alergi ataupun konjungtivitis
kronis (Ilyas, 2004).
Insidensi dari keratitis di negara berkembang lebih tinggi dibandingkan
negara maju. Di Nepal diperkirakan mencapai 799 per 100.000 orang per tahun
(Upadhyay, 2001). Menurut Moriyama (2008) dalam Winda (2010), agen-agen
mikroba yang paling sering menyebabkan keratitis dari bakteri gram positif adalah
coagulasenegative staphylococcus (67,27%), Corynebacterium sp (18,18%),
Staphylococcus aureus (9,09%), Streptococcus sp (3,6%), dll (1,8%). Bakteri
gram negatif yang tersering adalah Pseudomonas sp (55,17%), Pseudomonas
aeruginosa (22,4%), Pseudomonas fluorescens (7%), Serratia sp (25,86%),
Enterobacter aerogenes (8,62%), Klebsiella sp (1,72%), Proteus mirabilis
(1,72%), Citrobacter freundii (1,72%), Achromobacter xyloxidans (1,72%),
Alcaligenes sp (1,72%), Moraxella sp (1,72%), sedangkan penyebab jamur yang
tersering adalah Candida sp (75%), dan Aureobasidium pullulans (25%).
Di Indonesia kekeruhan kornea masih merupakan masalah kesehatan mata
sebab kelainan ini menempati urutan kedua dalam penyebab utama kebutaan.
Kekeruhan kornea ini terutama disebabkan oleh infeksi mikroorganisme berupa

bakteri, jamur, dan virus dan bila terlambat didiagnosis atau diterapi secara tidak
tepat akan mengakibatkan kerusakan stroma dan meninggalkan jaringan parut
yang luas.
Maka dari itu kita sebagai seorang perawat hendaknya bisa membantu pasien
dalam mengatasi rasa tidak nyaman terhadap penyakitnya dengan berbagai cara
yang kita ketahui dan pahami. Karena dengan bantuan yang kita berikan, kita
dapat membantu menghilangkan sedikit rasa tidak nyaman yang dialami pasien.
1.2 Rumusan Masalah
1. Apa itu kornea ?
2. Apa saja gangguan pada kornea ?
3. Diagnosa keperawatan apa yang bisa muncul ?
4. Bagaimana rencana keperawatannya ?
1.3 Tujuan Penulisan
1. Mengetahui apa itu kornea
2. Mengetahui apa saja gangguan pada kornea
3. Mengetahui diagnosa apa saja yang bisa muncul
4. Mengetahui rencana keperawatan apa yang digunakan
1.4 Manfaat Penulisan
Secara umum makalah ini mempunyai manfaat agar kita dapat mengerti
dan memahami apa saja gangguan pada kornea dan intervensi apa yang dapat kita
berikan terhadap klien tersebut.

BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Kornea
Kornea merupakan jaringan yang avaskular, bersifat transparan, berukuran
11-12 mm horizontal dan 10-11 mm vertikal, serta memiliki indeks refraksi 1,37.
Kornea adalah salah satu organ tubuh yang memiliki densitas ujung-ujung saraf
terbanyak dan sensitifitasnya adalah 100 kali jika dibandingkan dengan
konjungtiva ( AAO, 2008). Kornea dewasa rata-rata mempunyai tebal 550 m,
diameter horizontalnya sekitar 11,75 mm dan vertikalnya 10,6 mm ( RiordanEva, 2010).
Lapisan sel kornea terdiri dari lima lapisan, yaitu lapisan epitel, lapisan
Bowman, stroma, membran Descemet, dan lapisan endotel (Riordan-Eva, 2010).
Kornea mendapat nutrisi dari pembuluh-pembuluh darah limbus, humor aqueous,
dan air mata. Saraf-saraf sensorik kornea didapat dari cabang pertama
(ophthalmichus) dan nervus kranialis trigeminus (Riordan-Eva, 2010). Saraf
trigeminus ini memberikan sensitivitas tinggi terhadap nyeri bila kornea disentuh
(Hollwich, 1993). Adapun faktor-faktor yang sering menyebabkan kelainan pada
kornea adalah:
1. Dry eye
Kelainan ini muncul ketika lapisan air mata mengalami defisiensi
sehingga tidak dapat memenuhi batas-batas kecukupan, baik secara
kuantitatif maupun kualitatif, yang kemudian diikuti dengan
keluhan

subjektif.

Kekurangan

cairan

lubrikasi

fisiologis

merupakan faktor yang dapat menyebabkan terjadinya infeksi


mikroba pada mata (Bangun, 2009).
2. Defisiensi vitamin A
Kelainan kornea oleh karena defisiensi vitamin A dapat
menyebabkan kekeringan yang menggambarkan bercak Bitot yang
warnanya seperti mutiara yang berbentuk segitiga dengan pangkal
di daerah limbus. Bercak Bitot seperti ada busa di atasnya. Bercak
ini tidak dibasahi oleh air mata dan akan terbentuk kembali bila
dilakukan debridement. Terdapat dugaan bahwa bentuk busa ini
merupakan akibat kuman Corynebacterium xerosis. Hipovitamin A

ini juga dapat menyebabkan keratomalasia dan tukak kornea


dimana akan terlihat kornea nekrosis dengan vaskularisasi ke
dalamnya (Ilyas, 2009).
3. Abnormalitas ukuran dan bentuk kornea
Abnormalitas ukuran dan bentuk kornea yang terjadi adalah
mikrokornea dan megalokornea. Mikrokornea adalah suatu kondisi
yang tidak diketahui penyebabnya, bisa berhubungan dengan
gangguan pertumbuhan kornea fetal pada bulan ke-5. Selain itu
bisa juga berhubungan dengan pertumbuhan yang berlebihan dari
puncak anterior optic cup yang meninggalkan sedikit ruang bagi
kornea untuk berkembang. Mikrokornea bisa berhubungan dengan
autosomal dominan atau resesif dengan prediksi seks yang sama,
walaupun

transmisi

dominan

lebih

sering

ditemukan.

Megalokornea adalah suatu pembesaran segmen anterior bola


mata. Penyebabnya bisa berhubungan dengan kegagalan optic cup
untuk tumbuh dan anterior tip menutup yang meninggalkan
ruangan besar bagi kornea untuk untuk diisi (Bangun, 2010).
4. Distrofi kornea
Deposit abnormal yang disertai oleh perubahan arsitektur kornea,
bilateral simetrik dan herediter, tanpa sebab yang diketahui. Proses
dimulai pada usia bayi 1-2 tahun dapat menetap atau berkembang
lambat dan bermanisfestasi pada usia 10-20 tahun. Pada kelainan
ini tajam penglihatan biasanya terganggu dan dapat disertai dengan
erosi kornea (Ilyas, et al, 2002).
5. Trauma kornea
Trauma kornea bisa disebabkan oleh trauma tumpul, luka penetrasi
atau perforasi benda asing. Kemungkinan kontaminasi jamur atau
bakteri harus diingat dengan kultur untuk bakteri dan jamur
diambil pada saat pemeriksaan pertama jika memungkinkan.
Trauma tumpul kornea dapat menimbulkan aberasi, edema,
robeknya membran Descemet dan laserasi korneoskleral di limbus
(Bangun, 2010). Trauma penetrasi merupakan keadaan yang gawat
untuk bola mata karena pada keadaan ini kuman akan mudah
masuk ke dalam bola mata selain dapat mengakibatkan kerusakan

susunan anatomik dan fungsional jaringan intraokular (Ilyas,


2009). Perforasi benda asing yang terdapat pada kornea dapat
menimbulkan gejala berupa rasa pedas dan sakit pada mata.
Keluhan ini mungkin terjadi akibat sudah terdapatnya keratitis atau
tukak pada mata tersebut (Ilyas, 2009).
2.2 Keratitis
2.2.1 Definisi
Kelainan akibat terjadinya infiltrasi sel radang pada kornea yang akan
mengakibatkan kornea menjadi keruh.
2.2.2 Etiologi
Keratitis dapat disebabkan oleh banyak faktor (Ilyas, 2004), diantaranya:
1. Virus.
2. Bakteri.
3. Jamur.
4. Paparan sinar ultraviolet seperti sinar matahari.
5. Iritasi dari penggunaan berlebihan lensa kontak.
6. Mata kering yang disebabkan oleh kelopak mata robek atau tidak cukupnya
pembentukan air mata.
7. Adanya benda asing di mata.
8. Reaksi terhadap obat seperti neomisin, tobramisin, polusi, atau partikel udara
seperti debu, serbuk sari (Wijaya, 2012).

2.2.3 Klasifikasi
Menurut Biswell (2010), keratitis dapat diklasifikasikan berdasarkan
beberapa hal :
5

1. Berdasarkan lapisan yang terkena keratitis dibagi menjadi :


a. Keratitis Pungtata (Keratitis Pungtata Superfisial dan Keratitis Pungtata
Subepitel)
Keratitis pungtata adalah keratitis dengan infiltrat halus pada kornea yang
dapat terletak superfisial dan subepitel (Ilyas, 2004).
1) Etiologi
Keratitis Pungtata ini disebabkan oleh hal yang tidak spesifik dan
dapat terjadi pada Moluskum kontangiosum, Akne rosasea, Herpes
simpleks, Herpes zoster, Blefaritis neuroparalitik, infeksi virus,
vaksinisia, trakoma, trauma radiasi, dry eye, keratitis lagoftalmos,
keracunan obat seperti neomisin, tobramisin dan bahaya pengawet
lainnya

2) Gejala klinis
Dapat berupa rasa sakit, silau, mata merah, dan merasa kelilipan.
3) Pemeriksaan laboratorium
Penyakit ini ditandai kekerutan epitel yang meninggi berbentuk
lonjong dan jelas yang menampakkan bintik-bintik pada pemulasan
dengan fluoresein, terutama di daerah pupil. Uji fluoresein
merupakan sebuah tes untuk mengetahui terdapatnya kerusakan
epitel kornea. Dasar dari uji ini adalah bahwa zat warna fluoresein
akan berubah berwarna hijau pada media alkali. Zat warna fluoresein
bila menempel pada epitel kornea maka bagian yang terdapat defek
akan memberikan warna hijau karena jaringan epitel yang rusak
bersifat lebih basa. Kekeruhan subepitelial dibawah lesi epitel sering
terlihat semasa penyembuhan epitel ini, uji sensibilitas kornea juga
diperiksa untuk mengetahui fungsi dari saraf trigeminus dan fasial.
Pada umumnya sensibilitas kornea juga akan menurun (Ilyas, 2003).
4) Penatalaksanaan

Penatalaksanaan pada ketratitis pungtata superfisial pada prinsipnya


adalah diberikan sesuai dengan etiologi. Untuk virus dapat diberikan
idoxuridin, trifluridin atau asiklovir. Untuk bakteri gram positif
pilihan pertama adalah cafazolin, penisilin G atau vancomisin dan
bakteri gram negatif dapat diberikan tobramisin, gentamisin atau
polimixin B. Pemberian antibiotik juga diindikasikan jika terdapat
sekret mukopurulen yang menunjukkan adanya infeksi campuran
dengan bakteri. Untuk jamur pilihan terapi yaitu natamisin,
amfoterisin atau fluconazol. Selain terapi berdasarkan etiologi, pada
keratitis pungtata superfisial ini sebaiknya juga diberikan terapi
simptomatisnya agar dapat memberikan rasa nyaman seperti air mata
buatan, sikloplegik dan kortikosteroid (Ilyas, 2003).
b. Keratitis Marginal
Merupakan infiltrat yang tertimbun pada tepi kornea sejajar dengan
limbus. Penyakit infeksi lokal konjungtiva dapat menyebabkan keratitis kataral
atau keratitis marginal ini. Keratitis marginal kataral biasanya terdapat pada
pasien setengah umur dengan adanya blefarokonjungtivitis (Ilyas, 2004).
1) Etiologi
Strepcoccus pneumonie, Hemophilus aegepty, Moraxella lacunata dan
Esrichia.
2) Gejala klinis
Penderita akan mengeluhkan sakit, seperti kelilipan, lakrimasi, disertai
fotofobia berat. Pada mata akan terlihat blefarospasme pada satu mata,
injeksi konjungtiva, infiltrat atau ulkus yang memanjang, dangkal
unilateral

dapat

tunggal

ataupun

multipel,

sering

disertai

neovaskularisasi dari arah limbus.


3) Pemeriksaan laboratorium
Pemeriksaan kerokan kornea yang dipulas dengan pewarnaan Gram
maupun Giemsa dapat mengidentifikasi organisme, khususnya bakteri
(Biswell, 2010).
4) Penatalaksanaan

Pengobatan yang diberikan adalah antibiotika yang sesuai dengan


penyebab infeksi lokalnya dan steroid dosis ringan. Pada pasien dapat
diberikan vitamin B dan C dosis tinggi (Ilyas, 2004).
c. Keratitis Interstisial
Keratitis interstitial adalah kondisi serius dimana masuknya pembuluh
darah ke dalam kornea dan dapat menyebabkan hilangnya transparansi kornea.
Keratitis interstitial dapat berlanjut menjadi kebutaan. Sifilis adalah penyebab
paling sering dari keratitis interstitial (Hollwich, 1993).
1) Etiologi
Keratitis Interstisial dapat terjadi akibat alergi atau infeksi spiroket ke
dalam stroma kornea dan akibat tuberkulosis (Ilyas, 2004).
2) Gejala klinis
Biasanya akan memberikan gejala fotofobia, lakrimasi, dan menurunnya
visus. Menurut Hollwich (1993) keratitis yang disebabkan oleh sifilis
kongenital

biasanya

ditemukan

trias

Hutchinson

(mata:

keratitis

interstisial, telinga: tuli labirin, gigi: gigi seri berbentuk obeng), sadlenose,
dan pemeriksaan serologis yang positif terhadap sifilis. Pada keratitis
yang disebabkan oleh tuberkulosis terdapat gejala tuberkulosis lainnya
(Ilyas, 2004)
3) Pemeriksaan laboratorium
Pemeriksaan kerokan kornea yang dipulas dengan pewarnaan gram
maupun Giemsa dapat mengidentifikasi

organisme, khususnya bakteri

(Biswell, 2010).
4) Penatalaksanaan
Penatalaksanaannya dapat diberikan kortikosteroid tetes mata jangka lama
secara intensif setiap jam dikombinasi dengan tetes mata atropin dua kali
sehari dan salep mata pada malam hari (Hollwich, 1993).
2. Berdasarkan penyebabnya
Keratitis diklasifikasikan menjadi :
a. Keratitis Bakteri
1) Etiologi
Menurut American Academy of Ophthalmology (2009). Penyebab
Keratitis Bakterial adalah Staphylococcus aureus, Staphylococcus
epidermidis, Streptococcus pneumoniae and other Streptococcus spp,

Pseudomonas aeruginosa (most common organism in soft contact lens


wearers), Enterobacteriaceae (Proteus, Enterobacter, Serratia).
2) Gejala klinis
Pasien keratitis biasanya mengeluh mata merah, berair, nyeri pada
mata yang terinfeksi, penglihatan silau, adanya sekret dan penglihatan
menjadi kabur (Kanski, 2005).
3) Pemeriksaan laboratorium
Menurut Kanski (2005) pemeriksaan kultur bakteri dilakukan dengan
menggores ulkus kornea dan bagian tepinya dengan menggunakan
spatula steril kemudian ditanam di media cokelat (untuk Neisseria,
Haemophillus dan Moraxella sp), agar darah (untuk kebanyakan
jamur, dan bakteri kecuali Neisseria) dan agar Sabouraud (untuk
jamur, media ini diinkubasi pada suhu kamar). Kemudian dilakukan
pewarnaan Gram (Biswell, 2010).
b. Keratitis Jamur
Infeksi jamur pada kornea yang dapat disebut juga mycotic keratitis
(Dorland, 2000).
1) Etiologi
Menurut Susetio (1993), secara ringkas dapat dibedakan :
a. Jamur berfilamen (filamentous fungi) : bersifat multiseluler
dengan cabang-cabang hifa.
b. Jamur bersepta : Furasium sp, Acremonium sp, Aspergillus sp,
Cladosporium

sp,

Penicillium

sp,

Paecilomyces

sp,

Phialophora sp, Curvularia sp, Altenaria sp.


c. Jamur tidak bersepta : Mucor sp, Rhizopus sp, Absidia sp.
d. Jamur ragi (yeast) yaitu jamur uniseluler dengan pseudohifa
dan tunas : Candida albicans, Cryptococcus sp, Rodotolura sp.
e. Jamur difasik. Pada jaringan hidup membentuk ragi sedang
media pembiakan membentuk miselium : Blastomices sp,
Coccidiodidies sp, Histoplastoma sp, Sporothrix sp.
2) Gejala klinis
Menurut Susetio (1993) untuk menegakkan diagnosis klinik dapat
dipakai pedoman berikut :
a. Lesi satelit.
b. Tepi ulkus sedikit menonjol dan kering, tepi yang ireguler dan
tonjolan seperti hifa di bawah endotel utuh.
c. Plak endotel.
d. Formasi cincin sekeliling ulkus.
e. Lesi kornea yang indolen.

3) Pemeriksaan Laboratorium
Sebaiknya melakukan biopsi jaringan kornea dan diwarnai dengan
Periodic Acid Schiff atau Methenamine Silver, tetapi memerlukan
biaya yang besar. Akhir-akhir ini dikembangkan Nomarski differential
interference contrast microscope untuk melihat morfologi jamur dari
kerokan

kornea

(metode

Nomarski)

yang

dilaporkan

cukup

memuaskan. Selanjutnya dilakukan kultur dengan agar Sabouraud atau


agar ekstrak maltosa ( Susetio, 1993).
4) Penatalaksanaan
Menurut Susetio (1993) terapi medikamentosa di Indonesia terhambat
oleh terbatasnya preparat komersial yang tersedia, tampaknya
diperlukan kreativitas dalam improvisasi pengadaan obat. Hal yang
utama

dalam

terapi

keratomikosis

adalah

mengenai

jenis

keratomikosis yang dihadapi, dapat dibagi:


1) Belum diidentifikasi jenis jamur penyebabnya.
Topikal amphotericin B 1,02,5 mg/ml, thiomerosal (10 mg/ml),
natamycin > 10 mg/ml, golongan imidazole.
2) Jamur berfilamen.
Untuk golongan II : Topikal amphotericin B, thiomerosal,
natamycin (obat terpilih), imidazole (obat terpilih).
3) Ragi (yeast).
Amphoterisin B, natamycin, imidazole
4) Golongan Actinomyces yang sebenarnya bukan jamur sejati.
Golongan sulfa, berbagai jenis antibiotik.
c. Keratitis Virus
1) Etiologi
Herpes simpleks virus (HSV) merupakan salah satu infeksi virus
tersering pada kornea. Virus herpes simpleks menempati manusia
sebagai host, merupakan parasit intraselular obligat yang dapat
ditemukan pada mukosa, rongga hidung, rongga mulut, vagina dan
mata. Penularan dapat terjadi melalui kontak dengan cairan dan
jaringan mata, rongga hidung, mulut, alat kelamin yang mengandung
virus (Ilyas, 2004).
2) Gejala klinis
Pasien dengan HSV keratitis mengeluh nyeri pada mata, fotofobia,
penglihatan kabur, mata berair, mata merah, tajam penglihatan turun
terutama jika bagian pusat yang terkena (Ilyas, 2004). Infeksi primer
Herpes simpleks pada mata biasanya berupa konjungtivitis folikularis
10

akut disertai blefaritis vesikuler yang ulseratif, serta pembengkakan


kelenjar limfe regional. Kebanyakan penderita juga disertai keratitis
epitelial dan dapat mengenai stroma tetapi jarang. Pada dasarnya
infeksi primer ini dapat
sembuh sendiri, akan tetapi pada keadaan tertentu dimana daya tahan
tubuh sangat lemah akan menjadi parah dan menyerang stroma.
3) Pemeriksaan laboratorium
Menurut Biswell (2010) dilakukan kerokan dari lesi epitel pada
keratitis HSV dan cairan dari lesi kulit mengandung sel-sel raksasa.
Virus ini dapat dibiakkan pada membran korio-allantois embrio telur
ayam dan pada banyak jenis lapisan sel jaringan (misal sel HeLa,
tempat terbentuknya plak-plak khas).
a. Terapi
1) Debridement
Cara efektif mengobati

keratitis

dendritik

adalah

debridement epithelial, karena virus berlokasi didalam


epitel. Debridement juga mengurangi beban antigenik virus
pada stroma kornea. Epitel sehat melekat erat pada kornea
namun

epitel

yang

terinfeksi

mudah

dilepaskan.

Debridement dilakukan dengan aplikator berujung kapas


khusus.

Obat

siklopegik

seperti

atropin

1%

atau

homatropin 5% diteteskan kedalam sakus konjungtiva, dan


ditutup dengan sedikit tekanan. Pasien harus diperiksa
setiap hari dan diganti penutupnya sampai defek korneanya
sembuh umumnya dalam 72 jam (Biswell, 2010).
2) Terapi Obat menurut Ilyas, 2004:
IDU (Idoxuridine) analog pirimidin (terdapat dalam
larutan 1% dan diberikan setiap jam, salep 0,5%

diberikan setiap 4 jam).


Vibrabin: sama dengan IDU tetapi hanya terdapat

dalam bentuk salep.


Trifluorotimetidin (TFT):

diberikan 1% setiap 4 jam.


Asiklovir (salep 3%), diberikan setiap 4 jam.

sama

dengan

IDU,

11

Asiklovir oral dapat bermanfaat untuk herpes mata


berat, khususnya pada orang atopi yang rentan
terhadap penyakit herpes mata dan kulit agresif.

3) Terapi Bedah
Keratoplasti penetrans

mungkin

diindikasikan

untuk

rehabilitasi penglihatan pasien yang mempunyai parut


kornea yang berat, namun hendaknya dilakukan beberapa
bulan setelah penyakit herpes nonaktif (Biswell, 2010).
d. Keratitis Acanthamoeba
1) Etiologi
Keratitis yang berhubungan dengan infeksi Acanthamoeba yang
biasanya disertai dengan penggunaan lensa kontak (Dorland, 2002).
2) Gejala klinis
Rasa sakit yang tidak sebanding dengan temuan kliniknya yaitu
kemerahan, dan fotofobia. Tanda klinik khas adalah ulkus kornea
indolen, cincin stroma, dan infiltrat perineural. Bentuk-bentuk awal
pada penyakit ini, dengan perubahan-perubahan hanya terbatas pada
epitel kornea semakin banyak ditemukan. Keratitis Acanthamoeba
sering disalah diagnosiskan sebagai keratitis herpes (Biswell, 2010).
3) Pemeriksaan laboratorium
Diagnosis ditegakkan dengan pemeriksaan kerokan dan biakan di atas
media

khusus.

Biopsi

kornea

mungkin

diperlukan.

histopatologik menampakkan bentuk-bentuk amuba

Sediaan

(kista atau

trofozoit). Larutan dan kontak lensa harus dibiak. Sering kali bentuk
amuba dapat ditemukan pada larutan kotak penyimpan lensa kontak
(Biswell, 2010).
4) Penatalaksanaan
Terapi dengan obat umumnya dimulai dengan isetionat, propamidin
topikal (larutan 1%) secara intensif dan tetes mata neomisin. Bikuanid
poliheksametilen (larutan 0,01-0,02%) dikombinasi dengan obat lain
atau sendiri, kini makin populer. Agen lain yang mungkin berguna
adalah paromomisin dan berbagai imidazol topikal dan oral seperti
ketokonazol, mikonazol, itrakonazol. Terapi juga dihambat oleh
kemampuan organisme membentuk kista didalam stroma kornea,

12

sehingga memerlukan waktu yang lama. Kortikosteroid topikal


mungkin diperlukan untuk mengendalikan reaksi radang dalam
kornea. Keratoplasti mungkin diperlukan pada penyakit yang telah
lanjut untuk menghentikan berlanjutnya infeksi atau setelah resolusi
dan terbentuknya parut untuk memulihkan penglihatan. Jika organisme
ini sampai ke sklera, terapi obat dan bedah tidak berguna (Biswell,
2010).
2.3 Diagnosa dan Intervensi Keperawatan

1. Gangguan rasa nyaman: nyeri b.d efek inflamasi kornea


Subjektif :
a. Klien menyatakan nyeri
b. Klien mengatakan nyeri bertambah bila ditekan
c. Klien mengatakan sukar tidur
Objektif :
a. Blefarospasme
b. Ekspresi wajah meringis saat dilakukan pemeriksaan
Tujuan :
Nyeri berkurang/hilang.
Krteria hasil :
a. Klien

mampu

mengidentifikasi

berbagai

tindakan

untuk

mengurangi nyeri
b. Klien menyatakan nyeri hilang atau berkurang

Intervensi
Rasional
1. Kaji derajat nyeri setiap Nyeri yang meningkat mungkin
hari.

disebabkan oleh infeksi kelenjar


atau sumbatan kelenjar.
Nyeri dapat meningkat karena

2. Kaji fakor yang dapat


meningkatkan nyeri.

pengaruh infeksi atau reaksi


terhadap bahan iritan (salep,
obat dan kosmetik).
Distraksi
visual
membaca,menggambar

seperti
dan

13

3. Ajarkan

klien

mngurangi

teknik distraksi

auditorik

seperti

radio,

dapat

nyeri mendengar

(distraksi).

mengurangi rasa nyeri.


Mengurangi rasanyeri.

4. Kolaborasi

dengan

dokter pemberian obat


analgetik

padadaerah

mata.
2. Ansietas b.d kurangnya pengetahuan tentang penyakit
Subjektif :
a. Klien mengatakan takut kehilangan pengelihatannya
b. Klien mengatakan tidak dapat tidur karena cemas
Objektif :
a. TTV : denyut nadi dan frekuensi napas meningkat
b. Tampak gelisah
Tujuan :
Klien tidak mengalami kecemasan
Kriteria hasil :
a. Klien mampu memahami tentang penyakitnya
b. Kecemasan berkurang dan tampak rileks

1. Kaji

Intervensi
pemahaman

Rasional
klien Persepsi yang salah dari klien

tentang penyakitnya.

mungkin berasal dari informasi


yang salah atau pengalaman yang
dipersepsikan kurang tepat oleh

2. Jelaskan pada klien tentang klien.


penyakit yang dideritanya.

Gangguan

kornea

umumnya

menimbulkan gejala nyeri yang


cukup

hebat

sehingga
14

3. Tunjukkan

fakta-fakta menimbulkan kecemasan pada

tentang penyakitnya.

klien.
Informasi

tentang

persentase

kejadian kebutaan pada berbagai


kasus menunjukkan klien yang
mendertia keluhan yang sama
dengan

klien

dapat

4. Berikan kesempatan pada meningkatkan kepercayaan dan


klien

untuk menambah

keyakinan

mengungkpakan

menurunkan ansietas.

perasaannya.

Memungkinkan
mengekspresikan
kekhawatiran,

serta
klien

ketakutan,
dan

ketidatahuannya.
3. Ketidakefektifan manajemen kesehatan b.d kurang pengetahuan
tentang program terapeutik
Subjektif :
a. Klien mengatakan tidak mengetahui rencana keperawatan
b. Klien mengeluh kesulitan dalam melakukan berbagai tindakan
sendiri
c. Klien mengatakan takut dan tidak tahu apa yang harus dilakukan
Objektif :
a. Memeragakan berbagai tindakan yang dapat menimbulkan
kerusakan mata lebih parah
b. Penggunaan berbagai obat yang tidak steril atau tidak sesuai
anjuran
Tujuan :
Klien mampu melakukan berbagai tindakan perawatan diri yang
diperlukan dalam proses penyembuhan.
Kriteria hasil :
a. Klien mengungkapkan perannya dalam perawatan
b. Klien memeragakan cara memberikan obat sendiri.
15

1. Beri

Intervensi
intruksi

terhadap
boleh

kegiatan

dan

tidak

Rasional
tertulis Intruksi verbal mudah dilupakan.
yang
boleh

dilakukan.
Pencegahan infeksi merupakan
2. Berikan penjelasan untuk
salah satu aspek yang harus
melindungi mata dari debu,
diperhatikan oleh klien.
kotoran,
dll
serta
mempertahankan

balutan

tetap bersih dan kering.


Klien dengan ganguan kornea
3. Ajarkan
klien
untuk
mungkin mendapatkan obat
menggunakan obat mata
dalam waktu lama hingga
sendiri atau keluarga.
perawatan.

BAB 3
PENUTUP
3.11

Kesimpulan
Gangguan kornea antara lain adalah keratitis. Keratitis itu sendiri

kelainan akibat terjadinya infiltrasi sel radang pada kornea yang akan
mengakibatkan kornea menjadi keruh.penyebab dari keratitis antara lain
virus, jamur, bakteri, dll. Menurut biswell keratitis dibagi menjadi
beberapa klasifikasi menurut etiloginya seperti jamur, bakteri dan virus.
3.21

Saran
Penulis menginginkan agar para pembaca dapat memahami

makalah ini yang mengenai tindakan keperawatan yang harus dimengerti

16

dalam Gangguan Kornea dan penulis mengharapkan kritikan yang sifatnya


membangun sehingga makalah ini dapat tersusun baik untuk penyusunan
makalah selanjutnya.

17

DAFTAR PUSTAKA
Anthony Bron. 2006. Oftalmologi edisi kesembilan. Jakarta: Erlangga
Nanda Interasional. 2015. Diagnosis Keperawatan. Jakarta: EGC
Roderick B. Kornea. 2009.. Oftalmologi Umum Edisi 17. Jakarta :EGC
Ns. Thamsuri Anas, Skep 2011. Klien gangguan mata & penglihatan
keperawatan medikal bedah. Jakarta : EGC.

18

Anda mungkin juga menyukai