TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Anatomi
Struktur mata yang berkaitan erat dengan retinoblastoma adalah retina,
vitreus, koroid, dan sklera. Hal ini dikarenakan pola pertumbuhan retinoblastoma
yang berasal dari sel-sel retina dan dapat bersifat eksofilik (pertumbuhan ke arah
luar) dan endofilik (pertumbuhan ke arah dalam) (Shetlar, 2010).
Retina
Retina adalah lembaran jaringan saraf berlapis yang tipis dan semi
transparan yang melapisi bagian dalam dua pertiga postrerior dinding bola mata.
Retina membentang ke anterior hampir sejauh corpus ciliare dan berakhir pada ora
serrata dengan tepi yang tidak rata. Permukaan luar retina sensoris bertumpuk
dengan lapisan epitel berpigmen retina sehingga juga berhubungan dengan
membran Bruch, koroid, dan sklera (Riordan-Eva, 2010).
Retina mempunyai tebal 0,1 mm pada ora serrata dan 0,56 mm pada kutub
posterior. Di tengah-tengah retina posterior terdapat makula berdiameter 5,5-6
mm, yang secara klinis dinyatakan sebagai daerah yang dibatasi oleh cabang-
cabang pembuluh retina temporal. Darerah ini ditetapkan sebagai area centralis,
yang secara histologis merupakan bagian retina yang ketebalan lapisan sel
ganglionnya lebih dari satu lapis (Riordan-Eva, 2010).
Retina menerima darah dari dua sumber: koriokapilaris yang berada tepat
diluar membran Bruch, yang mendarahi sepertiga luar retina, termasuk lapisan
Vitreus
Vitreus adalah suatu badan gelatin yang jernih dan avaskular yang
membentuk dua pertiga volume dan berat mata. Vitreus mengisi ruangan yang
dibatasi oleh lensa, retina, dan diskus optikus. Permukaan luar vitreus, membran
hyaloid, normalnya berkontak dengan struktur-struktur berikut: Kapsul lensa
posterior, serat-serat zonula, pars plana lapisan epitel, retina, dan caput nervi
optici (Riordan-Eva, 2010).
Basis vitreus mempertahankan penempelan yang kuat seumur hidup ke
lapisan epitel pars plana dan retina tepat dibelakang ora serrata. Di awal
kehidupan, vitreus melekat kuat pada kapsul lensa dan caput nervi optici, tetapi
segera berkurang di kemudian hari (Riordan-Eva, 2010).
Vitreus mengandung air sekitar 99%, sisa 1% meliputi dua komponen,
kolagen dan asam hialuronat, yang memberi bentuk dan konsistensi mirip gel
pada vitreus karena kemampuannya mengikat banyak air (Riordan-Eva, 2010).
Koroid
Koroid adalah segmen posterior uvea, diantara retina dan sklera. Koroid
tersusun atas tiga lapis pembuluh darah koroid; besar, sedang, dan kecil. Semakin
dalam pembuluh terletak di dalam koroid, semakin lebar lumennya (Riordan-Eva,
2010).
Bagian dalam pembuluh darah koroid dikenal sebagai koriokapilaris.
Darah dari pembuluh koroid dialirkan melalui empat vena vorticosa, satu di tiap
kuadran posterior. Koroid di sebelah dalam dibatasi oleh membran Bruch dan di
sebelah luar oleh sklera. Koroid melekat erat ke posterior pada tepi-tepi nervus
optikus. Di sebelah anterior, koroid bergabung dengan corpus ciliare (Riordan-
Eva, 2010).
2.2. Retinoblastoma
2.2.1. Definisi
Retinoblastoma adalah keganasan neuroektodermal yang berasal dari sel-
sel embriyonik retina sensoris (Augsburger dan Asbury, 2010). Retinoblastoma
merupakan keganasan intraokular primer yang paling sering terjadi pada masa
kanak-kanak (American Academy of Ophthalmology, 2007).
Epidemiologi Retinoblastoma
2.2.3. Etiologi
Retinoblastoma merupakan hasil dari transformasi keganasan sel-sel retina
primitif sebelum mencapai diferensiasi tahap akhir (Kanski, 2007). Keganasan ini
terjadi karena adanya mutasi pada gen RB1 yang terletak pada lengan panjang
kromosom 13 pada lokus 14 (13q14) (American Academy of Ophthalmology,
2008).
Gen retinoblastoma normal (RB1), yang terdapat pada semua orang adalah
suatu gen supresor atau anti-onkogen (Shetlar, 2010). Gen ini berperan
menghasilkan suatu fosfoprotein inti dengan aktivitas pengikat DNA. Hilangnya
alel yang disebabkan oleh mutasi dapat terjadi pada sel-sel somatik saja
(retinoblastoma non-herediter) atau juga di sel-sel germinativum (retinoblastoma
herediter) (Fredrick, 2010).
Individu dengan bentuk penyakit yang herediter memiliki satu alel yang
terganggu di setiap sel tubuhnya, apabila alel pasangannya di sel retina yang
sedang tumbuh mengalami mutasi spontan maka terbentuklah tumor. Pada bentuk
yang nonherediter, kedua alel gen retinoblastoma normal di sel retina yang sedang
tumbuh di nonaktifkan oleh mutasi spontan. (Shetlar, 2010).
2.2.4. Genetika
Gen RB1 merupakan gen supresor yang pertama kali ditemukan (Robbins,
2003). Berbeda dengan onkogen yang produk proteinnya berperan dalam
meneruskan sinyal-sinyal pertumbuhan sel pada semua tahap, produk gen
supresor pada umumnya memberikan sinyal untuk menghambat pertumbuhan.
2.2.5. Patogenesis
Retinoblastoma dapat tumbuh ke luar (eksofitik) atau ke dalam (endofitik)
atau kombinasi keduanya. (Shetlar, 2010). Tumor endofilik muncul dari
permukaan dalam retina, tumbuh ke arah vitreus, dan cenderung menyebar ke area
lain dari retina. Tumor eksofitik tumbuh dari lapisan retina luar dan dapat
menimbulkan ablasi retina (Herzog, 2004).
2.2.7. Klasifikasi
Klasifikasi klinis Reese-Ellworth merupakan metode penggolongan
retinoblastoma intraokular yang paling sering digunakan, tetapi klasifikasi ini
tidak menggolongkan retinoblastoma ekstraokular. Klasifikasi diambil dari
perhitungan jumlah, ukuran, lokasi tumor, dan ada atau tidaknya vitreous seeds.
Klasifikasi ini tidak memberikan informasi prognostik tentang kelangsungan
hidup pasien atau visus (American Academy of Ophthalmology, 2007).
Grup B Tumor (>3 mm) terbatas pada retina dengan cairan subretina
jernih 6 mm dari batas tumor.
2.2.8. Diagnosis
Retinoblastoma biasanya tidak disadari sampai tumbuh cukup besar dan
menimbulkan suatu leukokoria, strabismus, atau peradangan. Semua anak dengan
2.2.9. Histopatologi
Tumor terdiri dari sel-sel basofilik kecil dengan nukleus hiperkromatik
besar dan sedikit sitoplasma. Retinoblastoma banyak yang tidak berbeda, tetapi
pada berbagai tingkat diferensiasi dapat dibedakan dengan pembentukan rosettes,
yang terdiri dari tiga tipe :
2.2.11. Penatalaksanaan
Dalam menangani retinoblastoma, hal pertama dan yang paling penting
untuk difahami adalah bahwa Retinoblastoma merupakan suatu keganasan. Dalam
menentukan strategi pengobatan, tujuan pertama adalah untuk menyelamatkan
kehidupan, selanjutnya menyelamatkan mata, dan terakhir untuk menyelamatkan
visus (American Academy of Ophthalmology, 2007).
2. Kemoterapi
Beban tumor
Suatu masa tumor yang mencapai berat 1 kg yang terdiri dari sekitar 1012
sel umumnya menyebabkan kematian pasien. Pemberian kemoterapi tunggal
umumnya tidak dapat membasmi seluruh sel ganas ini. Obat kemoterapi tidak
membasmi sel tumor menurut jumlah absolut, tetapi menurut presentasi tertentu.
Bila diumpamakan pemberian satu kemoterapi dapat membasmo 90% sel tumor
dari jumlah 109 sel, maka tersisa sel 108 yang tidak mati dan kemudian akan
tumbuh kembali. Makin besar masa tumor pada awal pengobatan, makin buruk
pula hasil pengobatannya (Setiabudi, 2010).
Bila pemberian satu obat kemoterapi menyisakan 10% sel tumor, maka
pemberian kombinasi 2 macam obat dengan mekanisme kerja yang berbeda akan
menyisakan 1% sel tumor yang tidak mati. Dan pemberian 3-4 macam kemoterapi
dengan mekanisme kerja yang berbeda, sepanjang dapat ditoleransi pasien dan sel
tumor sensitif terhadap obat itu, akan menyisakan sel tumor yang masih hidup
masing-masing 0,1 dan 0,01%. Teori bahwa terapi kombinasi kemoterapi yang
memberikan hasil lebih baik dari obat tunggal ini telah terbukti pada berbagai
penelitian klinik (Setiabudi, 2010).
Suatu masa tumor terdiri dari sel-sel yang heterogen. Secara genetik sel
tumor kurang stabil dibandingkan dengan sel biasa, karena itu selama pembelahan
sel seringkali terjadi mutasi sehingga terbentuk berbagai subpopulasi sel tumor.
Sel-sel tumor yang sensitif umumnya mati pada tahap awal pemberian keomterapi
sehingga hanya subpopulasi sel resisten yang bisa hidup. Lama-kelamaan tumor
yang berukuran besar didominasi oleh sel yang resisten. Fenomena ini juga
menjelaskan mengapa respon pengobatan yang baik terlihat pada awal pemberian
kemoterapi kemudian memburuk dalam terapi lanjutan walaupun obat yang
diberikan tetap sama (Setiabudi, 2010).
Intensitas dosis
Xenon dan laser argon (532nm) sudah lama digunakan untuk terapi
retinoblastoma dengan tinggi apek kurang dari 3mm dengan dimensi basal kurang
dari 10mm. Dua sampai tiga siklus Photocoagulation merusak suplai darah tumor
yang selanjutnya mengalami regresi. Laser yang lebih baru memungkinkan untuk
terapi langsung pada permukaan tumor. Laser diode (810nm) digunakan untuk
menghasilkan hipertermia. Pemakaian langsung meningkatkan temperatur tumor
hingga 45o-60o C dan memiliki pangaruh langsung sitotoksik, yang dapat
bertambah dengan kemoterapi dan radiasi (American Academy of Ophthalmology,
2007).
5. Cryotherapy
Juga efektif untuk tumor dengan ukuran dimensi basal kurang dari 10mm.
Krioterapi digunakan dengan visualisasi langsung dengan Triple Freeze-Thaw
Technique. Secara khusus, Laser photoablation dipilih untuk tumor yang terletak
pada bagian posterior dan cryoablation untuk tumor yang terletak pada bagian
anterior. Terapi tumor berulang sering memerlukan kedua tehnik tersebut,
bersama dengan pemantauan pertumbuhan tumor atau komplikasi terapi
(American Academy of Ophthalmology, 2007).
Follow up
2.2.12. Prognosis
Anak-anak dengan retinoblastoma yang memiliki akses terhadap
pelayanan medis modern memiliki prognosis yang sangat baik untuk bertahan
hidup, dengan angka keseluruhan lebih dari 95% di negara maju. Faktor resiko
tersering yang berhubungan dengan kematian adalah penyebaran tumor ke
ekstraokular, secara langsung melalui sklera atau yang lebih sering dengan invasi
saraf optikus, khususnya pada pembedahan reseksi margin (American Academy of
Ophthalmology, 2007).
Diperkirakan sebanyak 10%-20% pasien yang mengalami retinoblastoma
bilateral akan berkembang menjadi neoplasma yang tidak berhubungan dalam 20
tahun dan 20%-40% akan mengembangkan keganasan ketiga dalam 30 tahun.
Prognosis untuk bertahan hidup pada pasien retinoblastoma yang kemudian
mengembangkan sarkoma kurang dari 50% (American Academy of
Ophthalmology, 2007).