Anda di halaman 1dari 16

SARI PUSTAKA II Kepada Yth :

RETINOPATHY OF PREMATURITY (ROP)

Oleh:
Luh Suci Maharani
(Peserta Program Pendidikan Dokter Spesialis Tahap 1)

PEMBIMBING :
dr. Wayan Eka Sutyawan , Sp.M

BAGIAN ILMU KESEHATAN MATA


FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS UDAYANA
RUMAH SAKIT UMUM PUSAT SANGLAH
DENPASAR
2015

0
PENDAHULUAN
Retinopathy of prematurity (ROP) merupakan gangguan vasoploriferatif yang mengancam
penglihatan terjadi pada bayi prematur (Borroni C dkk., 2013; Hartnet ME dan Penn JS, 2012).
Kelainan ini pertama kali ditemukan oleh Terry pada tahun 1942. Saat itu kelainan ini dikenal
dengan sebutan retrolental fibroplasia( Hellstrom A, Smith L, Dammann O, 2012).
Kasus ROP terjadi hampir 10% dari kelahiran preterem (usia gestasi <37 minggu) di
seluruh dunia. Data yang diperoleh dari studi prospektif di Swedia menyebutkan sebanyak 73%
ROP (semua jenis stadium) terjadi pada bayi lahir dibawah usia gestasi 27 minggu ( Hellstrom
A, Smith L, Dammann O, 2012). Data berbasis rumah sakit di RS Cipto Mangunkusumo
(RSCM) tahun 2007 dilaporkan sebesar 21,7%, dengan berat lahir berat 1206 gram dan usia
gestasi 28 minggu sebagian besar (71%) ditemukan pada stadium 3 (Sitorus RS dkk., 2011).
Kelainan ROP terjadi karena terganggunya pertumbuhan neurovaskular retina akibat
beberapa faktor yaitu hiperoksia dan terganggunya interaksi maternal-fetal ( Hellstrom A, Smith
L, Dammann O, 2012). Patogenesis stadium awal ROP adalah hiperoksia menekan aktivitas
vascular endothelial growth factor (VEGF) dan merusak pembuluh darah imatur karena terjadi
vasokonstriksi serta vasoobliterasi. Pada tahap lanjutan,mekanisme ini direspon sebagai hipoksia
sehingga meningkatkan regulasi dari VEGF dan faktor-faktor pertumbuhan lain (Borroni C dkk.,
2013).
Diagnosis ROP dibuat berdasarkan pemeriksaan oftalmoskopi oleh seorang ahli mata
yang berpengalaman. Program skrining dilakukan untuk mendeteksi awal ROP. Kriteria skrining
ROP di Indonesia mengacu pada hasil rekomendasi hasil workshop Pokja Nasional ROP dan
Bayi Prematur 2010. Skrining dilakukan pada bayi dengan berat badan lahir 1500 gram atau
usia gestasi 34 minggu (Sitorus RS dkk., 2011).
Penatalaksanaan ROP bertujuan dalam mencegah kerusakan penglihatan yang lebih berat.
Saat ini, terapi laser fotokoagulasi merupakan pilihan utama pada stadium awal ROP. Laser
ditujukan pada area retina yang rusak (Sapieha P dkk., 2010).
Penulisan sari pustaka ini bertujuan untuk memahami definisi, epidemiologi, anatomi,
etiopatogenesis, manifestasi klinis, pemeriksaan, diagnosis banding, diagnosis, penatalaksanaan
sehingga dapat memberikan penanganan lebih dini dan tepat pada penderita ROP.

1
DEFINISI
Retinopathy of prematurity (ROP) merupakan gangguan vasoploriferatif lapisan retina yang
dapat mengancam penglihatan hingga menimbulkan kebutaan terjadi hanya pada bayi prematur
(Borroni C dkk., 2013; Hartnet ME dan Penn JS, 2012).

EPIDEMIOLOGI
Retinopathy of prematurity (ROP) terjadi hampir 10% dari kelahiran preterem (usia gestasi <37
minggu) di seluruh dunia. Data yang diperoleh dari studi prospektif di Swedia, menyebutkan
sebanyak 73% ROP (semua jenis stadium) terjadi pada bayi lahir dibawah usia gestasi 27
minggu ( Hellstrom A, Smith L, Dammann O, 2012). Data berbasis rumah sakit di RS Cipto
Mangunkusumo (RSCM) pada tahun 2007 mendapatkan prevalensi ROP sebesar 21,7%, dengan
berat lahir berat 1206 gram dan usia gestasi 28,87 minggu dan sebagian besar (71%) ditemukan
pada stadium 3 (Sitorus RS dkk., 2011). Borroni dkk melaporkan sebanyak 261 bayi (62,9%)
dari total sampel 421 bayi terdiagnosis ROP (Borroni C dkk., 2013).
Gilbert dkk (2005) membagi klasifikasi negara diseluruh dunia menjadi 3 grup
berdasarkan urutan tabel UNDP-HDI. Pada grup negara high development (ranking 1-30),
didapatkan ROP stadium lanjut hampir pada semua bayi prematur dengan BBL <1000gram.
Angka kebutaan akibat ROP sebesar 3%-11% pada grup negara high development. Grup negara
low development (ranking >100) tidak didapatkan data kejadian ROP yang pasti. Hal ini
diakibatkan perawatan neonatal yang kurang optimal dan usia harapan hidup bayi prematur di
negara-negara ini tidak panjang (Gergely K dan Gerinec A,2010).

ANATOMI RETINA
Retina berasal dari 2 lapisan yang bertumpuk yaitu lapisan neural retina (inner surface) dan lapisan
pigmen epitel retina (outer surface).Lapisan neural retina berkembang secara konsentris ,dimulai dari
tengah area mangkuk optik dan melebar kearah perifer. Proses laminasi dari lapisan ini terjadi pada
minggu 8-12 gestasi. Sel-sel ganglion ikut berdiferensiasi secara cepat memasuki trimester kedua.
Vaskularisasi retina mengikuti pola konsentris yang sama dan mulai terjadi pada bulan ke 4
mencapai perifer pada bulan ke 9 kehamilan (AAO Staf, 2014-2015).
Retina adalah lembaran jaringan saraf berlapis yang tipis dan semitransparan yang melapisi
dua pertiga posterior bola mataLapisan retina dari luar ke arah dalam yaitu retinal pigmen epithelium,
fotoreceptor, external limiting membrane, outer nuclear layer, outer flexiform layer, inner nuclear

2
layer, inner plexiform layer, ganglion cell layer, nerve fiber layer, internal limiting membrane
(Guyton, 2006; AAO staf, 2014-2015; Sharma, 2003).

Gambar 1. Lapisan retina (AAO Staf, 2014-2015 )

Retina melapisi bagian dalam bola mata mulai dari sejauh korpus siliar dan berakhir pada
ora serrata. Pada orang dewasa, ora serrata berada sekitar 6,5 mm di belakang garis schwalbe
pada sisi temporal dan 5,7 mm di belakang garis ini pada sisi nasal. Retina mempunyai tebal 0,1
mm pada ora serrata dan 0,56 mm pada kutub posterior. Di tengah-tengah retina posterior
terdapat makula berdiameter 5,5-6 mm yang secara klinis dinyatakan sebagai daerah yang
dibatasi oleh cabang-cabang pembuluh darah retina temporal. Daerah ini ditetapkan oleh ahli
anatomi sebagai area sentralis yang secara histologis merupakan bagian retina yang ketebalan
lapisan sel ganglionnya lebih dari satu lapis (AAO Staff, 2011-2012; Riordan-Eva P , Whitcher
JP, 2004).
Makula terletak di retina bagian polus posterior di antara arteri retina temporal superior
dan inferior dengan diameter 5.5 mm. Makula merupakan suatu daerah cekungan yang terletak
di temporal dari saraf optik. Makula dibagi menjadi daerah fovea, foveola, free avascular zone
(FAZ), dan umbo di bagian 3 sentral. Tepi fovea memiliki ketebalan sekitar 0,55 mm sama
dengan ketebalan maksimal retina. Sedangkan umbo memiliki ketebalan sekitar 0,13 mm, dan ini
merupakan bagian retina yang paling tipis. Secara histologis, makula terdiri dari lima lapisan
yaitu membran limitan interna, lapisan pleksiform luar (lapisan ini lebih tebal dan padat di
daerah makula karena akson sel batang dan sel kerucut menjadi lebih oblik saat meninggalkan
fovea dan dikenal sebagai lapisan serabut Henle), lapisan nukleus luar, membran limitan

3
eksterna, dan sel-sel fotoreseptor limitan eksterna, dan sel-sel fotoreseptor (AAO Staff, 2014-
2015).

Gambar 2.Anatomi makula (posterior pole). Huruf menunjukkan :a = umbo;b = foveola;


C = fovea ; d = parafovea; e = perifovea (AAO staf, 2014-2015).

Retina menerima darah dari dua sumber yaitu koriokapilaris yang berada tepat di luar
membran Bruch yang menyuplai darah sepertiga luar retina termasuk lapisan pleksiform luar dan
lapisan inti luar, fotoreseptor dan lapisan epitel pigmen retina, serta cabang dari arteri retina sentralis
yang menyuplai darah dua pertiga dalam retina (AAO Staff, 2011-2012; Riordian-Eva P, 2004).
Arteri retina sentralis merupakan cabang dari arteri opthalmica yang merupakan cabang
utama dari arteri karotid interna. Arteri ini menyuplai darah untuk lapisan permukaan diskus optikus.
Selanjutnya arteri retina sentralis akan terbagi untuk menyuplai keempat kuadran retina. Pada 30
persen mata dan 50 persen orang, bagian dalam retina yang mengandung banyak fotoreseptor juga
disuplai oleh arteri cilioretina yang merupakan percabangan dari sirkulasi siliar (AAO Staff, 2011-
2012; Riordian-Eva P, 2004).

ETIOPATOGENESIS
Pada penyakit Retinopathy of Prematurity (ROP) ditemukan tanda kematian jaringan neural
retina dan terganggunya proses perkembangan vaskularisasi retina pada bayi preterem. Proses
vaskularisasi retina, normalnya berlangsung kurang lebih 36 minggu dari usia gestasi dan daerah
temporal tumbuh sempurna pada minggu ke 40. Sel-sel mesenkim pada nerve fiber layer

4
berkembang kearah luar dimulai dari area optic disc pada usia gestasi 4-5 bulan. Sel mesenkim
tersebut merupakan asal mula dari sel endotel kapiler retina, selanjutnya berkembang menjadi
sistem kapilari retina ( Hellstrom A, Smith L, Dammann O, 2012)
Literatur terbaru menyebutkan terdapat 2 proses patologis yang mendasari terjadinya
ROP adalah vasculogenesis dan angiogenesis. Vasculogenesis yang dimaksud adalah
terbentuknya formasi pembuluh darah baru karena terdapat transformasi sel prekusor vaskular..
Angiogenesis adalah proses lanjutan pematangan dinding pembuluh darah. Salah satu faktor
penting yang berperan sebagai pencetus ROP adalah paparan terhadap oksigen konsentrasi tinggi
sehingga terjadi hambatan pada pertumbuhan pembuluh darah. Namun, hal ini juga diperberat
oleh beberapa faktor seperti faktor genetik, berat badan lahir rendah, dan pendeknya usia gestasi
(AAO Staf, 2014-2015).
Studi yang dilakukan oleh Patz dkk tahun 1942, menunjukkan adanya hubungan antara
inspirasi oksigen konsetrasi tinggi dengan ROP. Penelitian Ashton dkk yang dilakukan pada
binatang percobaan, melaporkan sebanyak 70%-80% mengalami vaso-obliterasi terbentuknya
kapiler baru. Pada saat subjek penelitian dikembalikan untuk menghirup udara biasa terjadi fase
vasoproliferasi (Hartnet ME dan Penn JS, 2012).
Saat bayi prematur lahir, terjadi hambatan pada pembentukan formasi baru pembuluh
darah (vasculogenesis) sehingga kondisi tubuh menjadi hipoksia. Keadaan hipoksia diatasi
dengan pemberian oksigen tambahan konsentrasi tinggi. Kondisi oksigen tubuh tidak stabil
dominan menjadi hiperoksia. Hiperoksia merupakan fase I pencetus supresi pada pengeluaran
eritropoetin (oxygen regulated angiogenic growth factors) dan VEGF (vascular endothelial
growth factor) sehingga terjadi penghentian pertumbuhan pembuluh darah dan kematian dari
pembuluh darah yang sudah ada. Fase II dimulai saat kondisi vaskularisasi retina menjadi
hipoksia disebabkan karena hambatan dan kematian pembuluh darah retina. Fase II ditandai
dengan proliferasi vaskular merespon pembentukan oxygen-regulated factors seperti eritopetin
dan VEGF. Hal ini mengakibatkan terbentuknya neovaskularisasi retina. Kebocoran yang terjadi
pada pembuluh darah baru menyebabkan terbentukan jaringan fibrotik pada retina dan retinal
detachment ( Hellstrom A, Smith L, Dammann O, 2012).

5
Gambar 3. Progresifitas dari ROP (Hellstrom A, Smith L E, Dammann O, 2012)

Studi yang dilakukan oleh Tin dkk,melaporkan bayi usia <28 minggu yang mendapat
terapi oksigen dengan target SpO2 88%-98% pada 8 minggu kehidupan pertamanya
membutuhkan terapi ROP 4x lebih besar dibandingkan dengan target SpO 2 70%-90% (Hellstrom
A,Smith L.E, Dammann;2013). Hipotesis menyebutkan faktor genetik dapat memberikan
kontribusi terhadap perkembangan ROP didukung dari data yang bervariasi terhadap pengamatan
beberapa grup etnis. Studi yang dilakukan di Singapore tahun 1990 terhadap ras Cina, India, dan
Malaysia menyebutkan tidak ada perbedaan ras terhadap insiden ROP, namun studi lain
melaporkan bayi-bayi African-American lebih sedikit menderita ROP fase lanjut dibandingkan
dengan bayi berkulit putih (Wheatley dkk., 2002).

MANIFESTASI KLINIS
Retinopathy of Prematurity banyak ditemukan pada bayi yang lahir pada usia gestasi kurang dari
30 minggu, berat badan lahir kurang dari 1500 gram, mempunyai riwayat penggunaan oksigen
saturasi tinggi (94%-99%) dan mengalami penyakit infeksi ( Hellstrom A, Smith L, Dammann
O, 2012). Tanda klinis yang muncul pada ROP bervariasi tergantung dari stadium. Stadium awal
terdapat lengkungan pembuluh darah yang abnormal membentuk suatu garis yang disebut
demarcation line, memisahkan retina avaskular dan vaskular. Stadium 2 terdapat ridge yang
mempunyai tinggi dan lebar meluas dipermukaan retina. Pada stadium 3 ditemukan adanya
ploriferasi fibrovaskular ekstraretinal atau neovaskularisasi yang memanjang dari ridge hingga
ke vitreus. Ablasio retina dapat terjadi bila retinopati memasuki stadium IV dan V. Pada stadium
IV mengalami ablasio retina parsial ekstrafoveal,sedangkan ablasio retina total terjadi pada
stadium V (Hartnet ME dan Penn JS, 2012; Sitorus dkk.,2011).

6
Gambar 4. Stadium ROP pada bayi prematur
Gambar diambil menggunakan RetCam. Panel A menunjukkan garis batas retina avaskular dan vascular
(stadium 1). Panel B menunjukkan ridge pada area retina avaskular dengan vascular (stadium 2). Panel C
menunjukkan penipisan dari ridge dengan adanya intravitreal angiogenesis aberan (stadium 3). Panel D
menunjukkan ablasio retina parsial (stadium 4) ( (Hartnet ME dan Penn JS, 2012).

Plus disease merupakan tanda-tanda yang mengindikasikan aktivitas ROP . Klinis yang
ditemukan pada plus disease adalah dilatasi vena dan kelokan arteriol dari pembuluh darah retina
posterior (Hellstrom A, Smith L E, Dammann O, 2012; Sitorus dkk.,2011).

Gambar 5 .Perbandingan antara retina normal (A), plus disease ditandai dengan dilatasi vena dan tortuous arteriol
pada pembuluh darah retina posterior (Hellstrom A, Smith L E, Dammann O, 2012).

7
PEMERIKSAAN SKRINING
Pemeriksaan skrining dilakukan dengan menggunakan oftalmoskop indirek dengan kedua pupil
dilatasi. Pemeriksaan dilakukan pada semua bayi yang mempunyai berat badan lahir kurang dari
1500 gram atau usia gestasi kurang dari 30 minggu, atau pada bayi dengan berat badan lahir
1500 2000 gram dan usia gestasi diatas 30 minggu namun dengan kondisi tertentu.
Pemeriksaan pertama dilakukan pada 4-6 minggu dari usia postnatal atau dapat juga digunakan
usia 31-33 minggu postmenstrual age. Pemeriksaan selanjutnya dilakukan setiap 1-2 minggu
sesuai jadwal sampai pembuluh darah mencapai seluruh retina. Pemeriksaan dapat hanya sekali
dilakukan jika sudah ditemukan pembuluh darah diseluruh retina (AAO staf, 2014-2015)..
Skrining juga dapat menggunakan pencitraan digital sebagi alternatif. RetCam merupakan salah
satu sistem pencitraan digital fundus yang dapat di operasikan oleh tenaga terlatih non-medis
(Salcome EM, JohnstoN S,dan VanderVeen D,2010). Sebuah studi komperatif observasional
yang membandingkan sensitivitas dan spesifisitas antara Binokular indirek oftalmoskop dengan
RetCam melaporkan bahwa binokular indirek oftalmoskopi tetap menjadi referensi untuk
skrining ROP dibandingkan dengan RetCam (Palacios T dkk.,2015).
Jadwal pemantauan ROP dilakukan berdasarkan derajat keparahan. Pemantauan akan
lebih sering dilakukan jika terdapat ROP dengan derajat lebih berat. Dilakukan pemantauan 1
minggu bila ditemukan pembuluh darah retina berakhir di zona 1 tanpa ROP , zona II ROP
stadium 2 atau 3. Pemantauan dilakukan 1-2 minggu pada zona I regressing ROP atau zona II
ROP stadium 1. Bila ditemukan zona II vaskularisasi imatur tanpa ROP atau zona III regressing
ROP dapat dilakukan pemantauan setiap 2-3 minggu. Skrining dapat dihentikan jika ditemukan
salah satu dari kriteria ini yaitu ditemukan vaskularisasi retina di zona III tanpa ditemukan
adanya ROP pada zona I atau II, vaskularisasi retina komplit pada perifer retina, umur
postmenstrual 45 minggu dan tidak adanya penyakit sebelumya, atau ditemukan perbaikan dari
ROP (AAO staf, 2014-2015).

DIAGNOSIS BANDING
Retinopathy of Prematurity sangat sulit dibedakan dari penyakit familial eksudatif
vitreoretinopati. Familial eksudatif vitreoretinopati (FEVR) merupakan salah satu penyakit
herediter yang menganggu angiogenesis retina. Insiden FEVR tidak banyak dilaporkan dan
merupakan penyakit yang langka. Penyakit FEVR dapat mengenai semua umur yang terlahir

8
cukup usia gestasi (aterem) atau terlahir preterm dengan penyakit tanpa pernah terdiagnosa ROP.
Kasus yang terjadi dapat berupa autosomal dominan, autosomal resesif, atau X-linked. Penyebab
dari FEVR adalah mutasi gen FZD4,LRP5,dan NDP. Gen-gen ini memproduksi protein yang
berfungsi sebagai signal pathway perkembangan sel dan jaringan,terutama sel retina dan
pembuluh darah retina. Penyakit ini menyebabkan terganggunya vaskularisasi retina sehingga
jaringan kekurangan suplai. Tanda dan gejala klinis yang dapat ditemukan sangat bervariasi
dalam satu keluarga (US NationalLibrary of Medicine staf ,2009).
Studi yang dilakukan oleh Benson menyebutkan sekitar 50% pasien FEVR adalah
asimtomatik. Penderita FEVR mempunyai retina perifer yang avaskular. Gejala lain yang
ditemukan adalah strabismus dan leukokoria. Ablasio retina merupakan komplikasi yang sering
terjadi pada familial eksudatif vitreoretinopati. Hampir 64-74% pasien FEVR mempunyai visus
lebih dari sama dengan 6/12. Prognosis buruk dapat terjadi bila penderita telah menglami ablasio
retina, macular ektopia (Gilmour DF,2014).

Gambar 6. Formasi epitel membrae pada FEVR.(a) gambaran fundus (b) OCT pada penderita
FEVR dengan eksudat dan avaskular di retina perifer (Gilmour DF,2014).

DIAGNOSIS
Diagnosis dari ROP dapat di klasifikasikan berdasarkan kondisi vaskularisasi retina yang terbagi
menjadi 3 zona dan derajat keparahan ROP dikelompokkan dalam 5 stadium dilihat dari masing-
masing zona. Pada tahun 1985 klasifikasi baku untuk ROP mulai diperkenalkan dan di

9
sempurnakan pada tahun 2005 menjadi pedoman internasional untuk mendiagnosis ROP dikenal
sebagai The International Classification of ROP Revisited (ICROP) (AAO staf,2014-2015;
Hellstrom A, Smith L E, Dammann O, 2012).

Tabel 1. Klasifikasi ROP berdasarkan ICROP


Lokasi
Zona I : sebuah lingkaran beradius 600 dari pusat nervus optik
Zona II : Meluas dari tepi lingkaran posterior (zona I) menuju sisi nasal oraserata
Zona III : sisa area retina bagian temporal perifer

Stadium
Stadium I : terdapat garis demarkasi
Stadium II : garis demarkasi mempunyai tinggi, lebar,dan bervolume (ridge) yang
meluas dipermukaan retina. Jaringan neovaskular yang terisolasi dapat terlihat di
posterior dari ridge (popcorn)
Stadium III : terdapat ridge diikuti oleh ploriferasi fibrovaskular ekstraretina
Stadium IV : Parsial retina detachment
A. Ekstrafovea
B. Retina detachment termasuk area fovea
Stadium V : Total retina detachment

Plus Disease : dilatasi vaskular (venous) dan tortuous (arteriolar) dari pembuluh
darah retina posterior minimal pada 2 kuadran ; dapat disertai vaskularisasi iris dan
kekeruhan vitreus

(AAO staff,2014-2015)

Lokasi dari retina yang terlibat dideskripsikan dalam zona, sementara luas area retina
yang terlibat dalam arah jarum jam. Setiap zona berpusat pada diskus optikus. Zona I ditandai
dengan sebuah lingkaran dengan radius dua kali jarak pusat diskus ke makula, Zona II meluas
dari tepi zona I menuju sisi ora serrata. Zona III sisa area retina yang berbentuk bulan sabit,
dianterior dari zona II.Stadium dan berat ringannya retinopati pada perbatasan antara area
vaskular dan avaskular retina harus dideskripsikan sesuai ICROP (Sitorus dkk.,2011).
Stadium dibagi menjadi 5,yang mendeskripsikan respons vaskular abnormal pada
perbatasan vaskular dan avaskular. Stadium yang diambil secara keseluruhan adalah stadium
yang paling berat, jika ditemukan lebih dari satu stadium pada salah satu mata. Stadium I adalah
stadium awal terdapat garis demarkasi, yaitu garis tipis yang relatif datar. Memisahkan retina
avaskular dan vaskular. Lengkungan pembuluh darah yang abnormal membentuk suatu garis

10
yang disebut demarcation line. Stadium 2 atau ridge mempunyai tinggi dan lebar yang meluas
dipermukaan retina. Pada stadium III terjadi ploriferasi fibrovaskular ektraretinal atau
neovaskularisasi yang memanjang dari ridge hingga ke vitreus. Ablasio retina dapat terjadi bila
retinopati memasuki stadium IV dan V. Pada stadium IV mengalami ablasio retina parsial
ekstrafoveal,sedangkan ablasio retina total teradi pada stadium V (Sitorus dkk.,2011 ; Hartnet
ME dan Penn JS, 2012).
Klasifikasi ROP berdasarkan zona dan stadium menjadi penting untuk diketahui. Hal ini
sangat menentukan dari terapi yang diberikan baik untuk prenventif maupun definitif dan
memperkirakan prognosis kebutaan dikemudian hari (Hartnet ME dan Penn JS, 2012).
Plus disease merupakan tanda-tanda yang mengindikasikan aktivitas ROP ,ditandai
dengan peningkatan dilatasi vena dan kelokan arteriol dari pembuluh darah retina posterior.
Dalam mendiagnosis plus disease,perlu dipastikan bahwa abnormalitas vaskular ini melibatkan
setidakknya dua kuadran fundus kurang dari itu,maka tergolong sebagai pre-plus. Perubahan
pre-plus sendiri adalah abnormalitas vaskular pada kutub posterior yang tidak memenuhi kriteria
diagnosis plus disease,tetapi tidak dapat dianggap sebagai keadaan yang normal (Sitorus
dkk.,2011).
Pertimbangan pemilihan terapi pada ROP sangat bergantung pada stadium. Terapi ablatif
pada ROP saat ini berkembang lagi dalam Early Treatment for Retinopathy of Preaturity
Randomized Trial Study, sehingga terdapat acuan diagnosa sub-klasifikasi yaitu ROP tipe 1 dan
2. ROP tipe 1 terbagi 3 kondisi antara lain zona I,ROP stadium apapun dengan plus disease ;
zona I ,ROP stadium III dengan atau tanpa plus disease; dan zona II,ROP stadium II atau III
dengan plus disease. ROP tipe 2 terbagi menjadi zona II ,ROP stadium I atau II tanpa plus
disease dan zona II,ROP stadium III tanpa plus disease (AAO staf,2014-2015).

PENATALAKSANAAN
Penatalaksanaan ROP yang tepat waktu sangat efektif dalam mencegah kerusakan penglihatan
yang berat. Kriteria penalaksanaan ROP di Indonesia mengacu pada rekomendasi hasil
Workshop Pokja Nasional ROP dan Bayi Prematur 2010. Panduan terdahulu mengacu pada
terapi CRYO-ROP ,membagi kondisi ROP menjadi dua grup yaitu pretreshold ROP dan
threshold ROP (Sitorus dkk.,2011) . Pada tahun 1988, studi cryotherapy sebagai terapi ablatif
pada retina yang avaskular menunjukkan penurunan setengah (25%) dari insiden terjadinya

11
komplikasi ROP (47%) seperti ablsio retina, lepasnya makula,atau sikatrik retrolental setelah 1
tahun diberikan tindakan (AAO staf , 2014-2015).
Pertimbangan terapi ablatif pada ROP kemudian berkembang lagi dalam Early
Treatment for Retinopathy of Prematurity Randomized Trial Study (ETROP) , dan sub-klasifikasi
inilah yang digunakan sebagai acuan oleh Pokja Nasioal ROP dan bayi prematur . Sub-klasifikasi
dibagi menjadi dua yaitu , mata dengan ROP tipe 1 diberikan terapi ablasi retina perifer.
Adapun yang termasuk dalam kriteria ROP 1 adalah zona I ROP stadium apapun dengan plus
disease; zona 1 ROP stadium III dengan atau tanpa plus disease; dan zona II ROP stadium II
atau III dengan plus disease. Mata dengan ROP tipe 2 dilakukan pemeriksaan seri berkelanjutan.
Kriteria dari ROP tipe 2 yaitu zona II ROP stadium I atau II tanpa plus disease atau zona II ROP
stadium III tanpa plus disease. Bayi-bayi dengan ROP umumnya harus diterapi dalam waktu
48-72 jam. Terapi Laser Indirect Ophthalmoscopy direkomendasikan sebagai lini pertama untuk
terapi ROP. Terapi menggunakan laser dengan jarak bakar konfluensi dekat (0.5-1 burn width)
harus dilakukan pada seluruh retina yang avaskular (Sitorus dkk.,2011; AAO staf,2014-2015).
Terapi menggunakan anti-VEGF intravitreal dapat merupakan pilihan terapi lain untuk
ROP. Bevacizumab merupakan agen tersering yang digunakan untuk injeksi. Anti-VEGF bekerja
menurunkan level VEGF tanpa merusak retina perifer yang avaskular.injeksi Bevacizumab dapat
diberikan sebagai monoterapi untuk zona I atau zona II posterior dengan plus disease. Namun
saat ini, terapi injeksi Bevacizumab masih menjadi kontroversi mengingat komplikasi sistemik
jangka panjang yang dapat berpengaruh pada pertumbuhan. Pada ROP stadium IV dan V
diberikan terapi pembedahan. Vitrektomi dan kombinasi skleral buckling diberikan pada ROP
stadium IV dan V sebagai pencegahan ablasio retina traksional lebih lanjut (Sitorus dkk.,2011;
AAO staf,2014-2015).

KOMPLIKASI
Komplikasi jangka panjang yang dapat ditemukan pada orang dewasa riwayat terdiagnosa ROP
adalah kelainan segemen posterior. Pada sebuah studi retrospektif yang dilakukan oleh Smith
dan Tasman sebanyak 22 mata (25.6%) dari 86 mata (88.4%) mengalami retina detachment.
Regmatogen lebih dominan terjadi dibandingkan dengan eksudatif dan traksional. Komplikasi
lain yang dapat terjadi meliputi miopia, katarak juvenile,glaukoma (Smith BT dan Tasman WS,
2005).

12
PROGNOSIS
Penyakit ROP dapat mengenai sebagian besar bayi. Prognosis dari ROP dapat bervariasi
bergantung dari faktor sistemik atau faktor jaringan lokal dilaporkan sebesar 85% ROP dapat
mengalami regresi spontan. Gejala klinis dari regresi ROP ditandai dengan berkembangnya
lapisan retina yang avaskular diikuti dengan berkembangnya pembuluh darah yang melewati
shunt bersamaan dengan adanya perpanjangan arteriovenus kearah retina avaskular. Bayi dengan
berat kurang dari 1250 gram dapat mengalami Threshold ROP sebanyak kurang lebih 7% (AAO
staf ,2014-2015).

KESIMPULAN
Retinopathy of prematurity (ROP) merupakan gangguan vasoploriferatif yang mengancam
penglihatan terjadi pada bayi prematur. Kelainan ROP dapat terjadi karena terganggunya
pertumbuhan neurovaskular retina akibat beberapa faktor yaitu hiperoksia dan terganggunya
interaksi maternal-fetal. Patogenesis stadium awal ROP adalah hiperoksia menyebabkan aktivitas
vascular endothelial growth factor (VEGF) tertekan dan rusaknya pembuluh darah imatur karena
terjadi vasokonstriksi serta vasoobliterasi. Pada tahap lanjutan,mekanisme ini direspon sebagai
hipoksia sehingga meningkatkan regulasi dari VEGF dan faktor-faktor pertumbuhan lain.
Program skrining dilakukan untuk mendeteksi awal ROP. Skrining dilakukan pada bayi dengan
berat badan lahir 1500 gram atau usia gestasi 34 minggu. Penatalaksanaan ROP bertujuan
dalam mencegah kerusakan penglihatan yang lebih berat. Saat ini, terapi laser fotokoagulasi
merupakan pilihan utama pada stadium awal ROP . Laser ditujukan pada area retina yang rusak.

13
DAFTAR PUSTAKA

American Academy of Ophthalmology Staf a. 2014-2015. Retina and Vitreous. Basic and
Clinical Science Course. Sec.12. San Francisco: AAO, p. 7-11.
American Academy of Ophthalmology Staf b. 2014-2015. Retinopathy Of Prematurity. Basic
and Clinical Science Course. Sec.12. San Francisco: AAO, p. 157-170.
American Academy of Opthalmology, Staff. 2011-2012. Fundamentals and Principles of
Opthalmology. In: Basic and Clinical Science Course. Sec. 2. San Francisco : AAO ; p. 291-
302.
Borroni C, Carlevaro C, Morzenti S, Ponti ED, Bozzetti V,Console V,dkk. 2013. Survey on
retinopathy of prematurity (ROP) in Italy. Italian Journal of Pediatrics 2013; 39:43.
Gergely K dan Gerinec. 2010. Retinopathy of Prematurity Epidemics,Incidens,Prevalence,
Blindness. Bratisi Lek Listy;111(9).p 514-517.
Gilmour DF,2014. Familial Exudative Vitreoretinopathy and Related Retinopathies. Pada :
Eye (2015) 29, 114.
Guyton. 2006. Guyton AC, Hall JE. 2006. Reseptor dan Fungsi Neural Retina. Pada: Buku Ajar
Fisiologi Kedokteran, edisi 9. Jakarta: penerbit EGC, p. 795-811.
Hartnet ME dan Penn JS. 2012. Mechanisms and Management of Retinopathy of Prematurity.
N Engl J Med 2012;367:2515-26.
Hellstrom A, Smith L, Dammann O. 2012. Retinopathy of prematurity. Lancet 2013; 382: 1445
57.
Palacios T, Zarratea L,Moral M, Cruz-Bertolo D.J. 2015. Comparative study of RetCamRetCam
II vs. Binocular Ophthalmoscopy in a Screening Program for Retinopathy of Prematurity.
Arch Soc Esp Oftalmol.2015;90(8):373-378.
Riordan-Eva P , Whitcher JP. 2004. Vaughan and asburys general ophthalmology. 6th ed.
Boston: McGraw-Hill, p.13-145.
Salcome EM, JohnstoN S,dan VanderVeen D. 2010. Review of The Use of Digital Imaging for
Retinopathy of Prematurity Screening. Seminar in Ophthalmology 2010.25(5-6).214-217.

Sapieha P, Joyal J-B, Rivera JC, Duchemin EK, Sennlaub F, Hardy P, dkk. 2010. Retinopathy of

14
Prematurity: understanding ischemic retinal vasculopathies at an extreme of life. J Clin
Invest. 2010;120(9):30223032.
Sharma RK, Ehinger BEJ. 2003. Development and structure of the retina. Pada: Kaufman PL,
Alm A, editors. Adlers Physiology of the Eye. 10th ed. Missoury: Mosby, p. 319-47.
Smith BT dan Tasman WS. 2005. Retinopathy Of Prematurity: Late Complication Of
Prematurity In The Baby Boomer Generation (19461964). Trans Am Ophthalmol Soc
2005;103:225-236.
Sitorus RS, Andayani G, Djatikusumo A, Barlina JD, Yulia DE. 2011. Pedoman Terapi ROP.
Pada : Pedoman Nasional Skrining dan ROP Pada Bayi Prematur di Indonesia.Jakarta :
penerbit FKUI, hal 18-26.
U.S National Library of Medicine staff. 2009. Fraser Syndrome.Genetics Home Reference.
(diakses 10 Agustus 2015). Diunduh dari: http://ghr.nlm.nih.gov/condition/ familial-
exudative-vitreoretinopathy.
Wheatley, Dickinson JL, Mackey DA, Craig JE, dan Sale MM., 2002. Retinopathy of
prematurity: recent advances in our Understanding. Br J Ophthalmol 2002;86:696701.

15

Anda mungkin juga menyukai