PENDAHULUAN
Sejumlah mekanisme trauma tumpul dan tajam wajah dapat menyebabkan laserasi
kelopak mata. Bahkan benda tumpul yang tampaknya tidak berbahaya di tempat kerja
dapat menyebabkan laserasi kelopak mata.
Cedera yang melibatkan kelopak mata dan daerah periorbital umumnya terjadi setelah
trauma tumpul atau penetrasi pada wajah. Luka tersebut dapat bervariasi dari lecet kulit
sederhana sampai kasus yang lebih kompleks yang menyebabkan kehilangan jaringan
yang luas serta fraktur tulang-tulang wajah. Pada saat awal pemeriksaan yang menjadi
prioritas utama adalah memperhatikan faktor yang mengancam jiwa secara sistemik.
Setelah kondisi yang dapat mengancam jiwa stabil, perhatian dapat diarahkan ke luka
yang spesifik pada adnexa okular. Pada proses pengembalian struktur dan fungsi harus
tetap mengarah pada prinsip-prinsip estetika dasar yang menjadi perhatian utama dari ahli
bedah rekonstruksi.
Kejadian cedera mata dalam trauma kraniofasial tinggi, berkisar antara 15 dan 60%
dalam berbagai penelitian.
a.
1
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1. ANATOMI
2.5.1. PALPEBRA
Kelopak mata berfungsi sebagai pelindung yang menutupi mata. Palpebra superior sangat
tipis sedangkan palpebra inferior sedikit lebih tebal. Muskulus orbicularis berfungsi sebagai sfingter
pada kelopak mata. Muskulus ini diinervasi oleh cabang temporal dan zygomatic dari syaraf wajah.
Otot ini dibagi menjadi tiga bagian: pretarsal, preseptal, dan preorbital.
Septum orbita merupakan lembaran tipis yang merupakan jaringan ikat pada kedua
kelopak mata atas dan bawah. Bagian ini berasal dari periosteum dari orbital rims. Pada
palpebra superior, septum meluas ke inferior mencapai aponeurosis levator tepat di atas
perbatasan tarsal superior. Pada palpebra inferior, septum meluas ke superior untuk sampai
ke perbatasan tarsal inferior. Septum berfungsi sebagai penghalang antara orbita dan kulit
kelopak mata. Bagian anterior orbital fat terletak di profundus dari septum orbital. Pada palpebra
superior, lemak preaponeurotic terletak antara septum dan aponeurosis levator.
2
Aponeurosis levator pada palpebra superior merupakan tendon dari muskulus levator
palpebrae superior. Levator ini berasal dari periorbita yang merupakan bagian posterior dari
orbita dan berjalan di anterior superior dari muskulus rektus superior. Muskulus ini berubah
menjadi tendon sekitar 15 mm di atas tarsal plate superior kemuadian serat dari muskulus
ini berhubungan dengan serat dari orbicularis oculi membentuk lipatan palpebra superior.
Serat juga meluas ke tarsus inferior untuk memungkinkan elevasi palpebra. Muller's
sympathetic muscle muncul dari serat-serat levator dan masuk ke dalam perbatasan tarsal
superior.
Fascia capsulopalpebral pada palpebra inferior analog dengan aponeurosis levator
pada palpebra superior. Bagian ini berasal dari muskulus rektus inferior dan menempel ke
perbatasan tarsal inferior. Muskulus tarsal inferior palpebra inferior sama dengan muskulus
Muller pada palpebra superior. Fascia capsulopalpebral dan muskulus tarsal inferior disebut
sebagai retraktor palpebra inferior. Mereka berfungsi untuk menarik palpebra lebih ke
inferior dan posterior dengan melirik ke bawah.
Tarsal plate terbuat dari jaringan berserat padat yang membentuk struktur dari kelopak
mata. Ukuran tebalnya sekitar 1mm dan panjang horisontalnya 25mm. Secara vertikal, tarsus
superior berukuran sekitar 10mm sedangkan tarsus inferior biasanya berukuran 5mm. Setiap tarsus
mengandung sekitar 30 kelenjar Meibo. Konjungtiva palpebral adalah selaput lendir tipis transparan
yang melapisi permukaan belakang masing-masing kelopak mata. Konjungtiva palpebral melekat
pada Tarsal plate dan tidak memerlukan penjahitan jika tarsus tersebut diperbaiki.
Margo palpebra dibagi menjadi bagian ciliary dan bagian lakrimal. Bagian ciliary
merupakan bagian bantalan yang memanjang dari sudut kantus lateral ke punctum lakrimal. Bagian
lakrimal meluas dari punctum ke sudut kantus medial. Di bagian ciliary, bulu mata menonjol dari
tepi anterior margin. Margo palpebra (dari depan ke belakang) terdiri dari: (1)Anterior Lid
Margin; (2) Cilia; (3) Intermarginal space; (4) Gray line = peralihan antara kulit dan mukosa
(penting untuk insisi); (5) Muara Glandula Meibom; (6) Posterior Lid Margin.
Sistem lakrimalis
2.2. BATASAN
Berbagai mekanisme trauma seperti kecelakaan mobil, perkelahian, gigitan binatang,
dan berbagai mekanisme lain dapat merusak kelopak mata dan sistem drainase air mata.
Sedangakan yang disebut sebagai laserasi kelopak mata merupakan rudapaksa pada kelopak
mata akibat benda tajam yang mengakibatkan luka robek/laserasi.
2.3. KLASIFIKASI
Kerusakan pada kelopak mata diklasifikasikan berdasarkan ukuran dan lokasi:
Untuk pasien muda (tight lids)
o Small - 25-35%
o Medium - 35-45%
o Large - > 55%
Untuk pasien yang lebih tua (lax lids)
o Small - 35-45%
o Medium - 45-55%
4
o Large - > 65%
Kerusakan khas mungkin melibatkan 50% dari bagian tengah kelopak mata atas. Keterlibatan
margin kelopak mata harus diperhatikan. Jika margin kelopak mata terhindar, penutupan dengan flap
lokal atau skin graft mungkin sudah cukup. Setelah margin terlibat, perbaikan bedah harus
mengembalikan integritas dari margin kelopak mata.
2.4. PATOFISIOLOGI
2.5.1. TRAUMA TUMPUL
Echimosis dan edema termasuk dalam manifestasi klinis trauma tumpul. Pasien
membutuhkan evaluasi biomikroskopik dan pemeriksaan fundus dengan pupil yang
dilebarkan untuk menyingkirkan permasalahan yang terkain kelainan intraokular. CT scan
di perlukan untuk mengetahui adanya fraktur.
5
Adanya lemak orbita di dalam luka menyatakan bahwa septum orbita telah terkena. Bila
terdapat benda asing di daerah superfisial harus dicari sebelum laserasi pada palbebra di
jahit. Melakukan irigasi untuk menghilangkan kontaminasi material di dalam luka. Prolaps
lemak orbita pada palpebra superior merupakan indikasi untuk melakukan eksplorasi,
laserasi pada otot levator atau aponeurosis harus dengan hati-hati melakukan perbaikan
untuk menghindari ptosis post operasi.
7
pelembab. Evaluasi secara rutin pada palpebra merupakan penanganan dini pada pasien-
pasien tersebut.
2.5. PENATALAKSANAAN
2.5.1. EVALUASI PREOPERATIVE DAN PENDEKATAN DIAGNOSTIK
A. Stabilisasi Sistemik
Evaluasi luka periorbital dimulai setelah pasien trauma telah stabil dan cedera yang
mengancam hidup ditangani. Peran dokter mata dalam evaluasi dan manajemen adalah
sangat penting - harus ada komunikasi yang baik antara tim trauma dan dokter mata.
B. Riwayat Penyakit
Sebuah riwayat penyakit yang lengkap diperoleh untuk menentukan waktu kejadian
dan mekanisme cedera. Untuk anak-anak, harus dipertimbangkan kemungkinan adanya
kekerasan pada anak sebagai penyebab cedera mata dan periorbital. Adanya anamnesa
tentang partikel proyektil berkecepatan tinggi mungkin memerlukan studi pencitraan yang
tepat untuk menentukan adanya benda asing intraokuler atau intraorbital. Gigitan hewan
dan gigitan manusia harus diberi perhatian khusus dan dikelola sesuai dengan pemberian
antibiotik yang tepat. Pada bagian yang cedera diperiksa dengan hati-hati untuk setiap
jaringan yang hilang, dan setiap jaringan yang teramputasi yang ditemukan di lokasi
kejadian diawetkan dan ditempatkan pada es secepat mungkin. Dalam kebanyakan kasus
jaringan ini dapat dijahit kembali ke lokasi anatomi yang tepat.
C. Pemeriksaan Oftalmologi
Penilaian ketajaman visual adalah wajib dan dilakukan sebelum setiap upaya
rekonstruksi. Periksa keadaan pupil, jika didapatkan kerusakan relatif pada afferent
pupillary, potensi hasil visual akan buruk dan harus didiskusikan dengan pasien
sebelum dilakukan bedah rekonstruksi. Otot-otot luar mata dievaluasi dan jika
didapatkan adanya diplopia harus tercatat sebelum operasi. Pemeriksaan eksternal
meliputi penilaian lengkap tulang tulang wajah, dengan penekanan khusus pada
wilayah periorbital. Palpasi yang jelas menunjukkan adanya krepitasi, atau unstable
bone memerlukan evaluasi radiologi. Pengukuran baseline proyeksi bola mata
didokumentasikan dengan exophthalmometry Hertel karena enophthalmos
merupakan sequela lambat yang umum terjadi pada trauma orbital. Posisi kelopak
mata, fungsi otot orbicularis, dan setiap bukti lagophthalmos dicatat. Pengukuran
jarak intercanthal dan evaluasi integritas dari tendon canthal juga dilakukan, karena
dapat terjadi dehiscence tendon traumatis dan telecanthus.
D. Evaluasi Laboratorium dan Radiografi
8
Biasanya, evaluasi laboratorium yang tepat dilakukan oleh tim ruang gawat darurat.
Hitung darah lengkap dan analisis kimia serum seringkali diperlukan untuk tujuan anestesi.
Pemeriksaan faal hemostasis dapat membantu dalam kasus-kasus tertentu, dan pemeriksaan
kimia darah untuk alkohol dan zat-zat beracun lainnya diperlukan dalam beberapa kasus.
Ketika kecurigaan klinis patah tulang orbital tinggi, pencitraan yang sesuai dengan orbita,
terutama computed tomography, harus diusulkan. Ultrasonografi bola mata, otot luar mata,
saraf optik, dan orbita kadang-kadang bisa menjadi pemeriksaan tambahan yang penting.
E. Profilaksis Infeksi
Pencegahan infeksi merupakan hal yang utama. Data riwayat imunisasi tetanus
lengkap harus diperoleh dan akan dilakukan manajemen yang tepat pada pasien tidak
mendapat imunisasi atau tidak tahu tentang riwayat imunisasinya. Jika diketahui atau
dicurigai adanya gigitan hewan, semua informasi tentang bagian yang cedera , pemilik
hewan, dan setiap perilaku hewan yang abnormal harus diperoleh dan departemen
perawatan hewan setempat diberitahu. Ikuti protokol standar rabies.
Gigitan kucing, dan bahkan luka yang disebabkan oleh cakar kucing, merupakan
resiko tinggi infeksi. Profilaksis yang sesuai termasuk penisilin VK
(phenoxymethylpenicillin) 500mg sehari selama 5-7hari. Pada pasien alergi penisilin
maka dapat diberikan tetrasiklin. Luka gigitan manusia memerlukan pemberian antibiotik
yang tepat, seperti penisilin.
F. Timing of Repair
Waktu perbaikan ini ditentukan oleh beberapa faktor. Setiap upaya harus
dilakukan untuk merekonstruksi jaringan terluka sesegera mungkin setelah pasien
telah sepenuhnya dievaluasi dan data pemeriksaan penunjang tambahan telah
diperoleh. Jika terpaksa dilakukan penundaan perbaikan, maka penting untuk selalu
menjaga jaringan agar selalu dalam kondisi lembab.
2.5.2. ANESTESI
Pemilihan anestesi untuk perbaikan luka adnexal tergantung pada beberapa faktor.
Umur pasien sangat penting karena hampir semua anak memerlukan anestesi umum
untuk mencapai hasil rekonstruksi terbaik. Luka besar dengan kerusakan jaringan
lunak yang luas dan keterlibatan osseous terbaik jika dilakukan dengan anatesi umum.
Meskipun dengan menggunakan anestesi umum, infiltrasi lokal epinefrin (adrenalin)
sangat penting untuk hemostasis. Mayoritas cedera dewasa dapat diperbaiki dengan
anestesi infiltrasi atau regional lokal lidokain 1-2% (lignocaine) dengan 1:100000
epinefrin. Anestesi infiltrasi dapat menyebabkan distorsi jaringan yang signifikan; ini
9
dapat diminimalkan dengan penggunaan asam hyaluronic (hyaluronidase), yang
memfasilitasi penyebaran cairan anestesi.
10
2.5.4. TEKNIK SPESIFIK
A. Partial-Thickness Eyelid Injuries
Partial-thickness eyelid injuries, laserasi kelopak mata dangkal yang tidak melibatkan
margin palpebra dan yang sejajar dengan garis kulit dapat distabilkan dengan skin tape.
Laserasi yang lebih besar dan tegak lurus dengan garis kulit memerlukan pendekatan yang
lebih hati-hati dan eversi ke tepi kulit. Hal ini dapat dicapai dengan menggunakan benang
ukuran 6-0 atau 7-0 yang absorbable atau nonabsorbable. Jika ketebalan penuh dari otot
orbicularis terlibat, harus diperbaiki secara terpisah. Penetrasi ke septum orbital dengan
cedera pada aponeurosis levator, luka tersebut harus diperbaiki.
B. Eyelid Margin Lacerations
Jenis trauma adnexa membutuhkan pendekatan kelopak mata yang paling teliti,
yang harus tepat untuk menghindari notching kelopak mata dan malposisi margin
palpebra. Semua bagian tarsal yang iregular di tepi luka harus dibuang untuk
memungkinkan pendekatan tarsal-ke-tarsal yang lebih baik pada margin palpebra yang
diperbaiki. Hal ini dilakukan sepanjang ketinggian vertikal seluruh tarsus untuk
mencegah tarsal buckling, meskipun laserasi primer mungkin hanya melibatkan tarsus
marginal. Perbaikan dimulai dengan penempatan benang 6-0 pada bidang kelenjar
meibom di margin palpebra, kira-kira 2mm dari tepi luka dan dengan kedalaman
2mm. Dulunya, sering dilakukan penjahitan margin menggunakan benang
nonabsorbable. Namun, Jeffrey P, George C dan Robert AG telah secara rutin
menggunakan jahitan dengan menggunakan benang absorbable dan belum mengalami
komplikasi dari penyerapan jahitan yang prematur.
11
Teknik penjahitan pada laserasi yang melibatkan margin palpebra
A. Tepi dari palpebra, jahit dengan jahitan matras vertikal, benang melewati
orificium kelenjar meibom.
12
B. Jahitan plat tarsal dengan 2 atau 3 jahitan terputus.
C. Jahitan pada tepi palpebra dengan matras vertical.
D. Pentupan kulit
13
Perbaikan cedera pada kanalikulus inferior masih dalam perdebatan. Bukan
suatu hal yang sulit untuk menyatukan kembali dua sisi kanalikulus yang terputus,
namun tidak mudah untuk memastikan patensi anastomosis kanalikulus ini setelah
beberapa bulan kemudian. Berbagai jenis stent telah digunakan, namun pengunaan stent
itu sendiri merangsang timbulnya fibrosis.
Selama operasi sebuah silicone tube halus (stent) diletakkan di saluran lakrimalis
untuk menjaga bukaan pada sistem drainase air mata. Stent ini kemudian akan dilepas.
Jika operasi ini tidak sepenuhnya berhasil gejala dapat diselesaikan dengan
menggunakan sebuah tabung Jones Lester.
14
c. Common Canaliculus
Jika terjadi cedera pada common canaliculus, maka harus dilakukan perbaikan
atau dibuka sampai sakus lakrimalis, lakukan intubasi kanalikulus dan
dakriosistorinostomi.
d. Sakus Lakrimais
Jika terjadi cedera pada sakus lakrimalis, maka dakriosistorinostomi harus dilakukan.
2.6. KOMPLIKASI
A. Akibat kegagalan dalam memperbaiki laserasi khususnya jika melibatkan margin palpebra,
dapat berupa:
Epifora kronis
Konjungtivitis kronis, konjungtivitis bakterial
Exposure keratitis
Abrasi kornea berulang
Entropion/ ektropion sikatrikal
B. Akibat teknik pembedahan yang buruk, terutama dalam hal akurasi penutupan luka, dapat
berupa:
Jaringan parut
Fibrosis
Deformitas palpebra sikatrikal
C. Keadaan luka yang memburuk akibat adanya infeksi atau karena penutupan luka yang
tertunda.
D. Laserasi dekat canthus medial dapat merusak sistem nasolacrimal.
2.7. PROGNOSIS
Prognosis sangat tergantung pada luasnya laserasi atau kerusakan palpebra serta
lokasi dan ketebalan jaringan yang rusak.
15
BAB III
LAPORAN KASUS
I.1 Identitas
Nama : Ny. KM
Usia : 65 tahun
TTL : 1 Mei 1954
Jenis kelamin : Perempuan
Agama : Islam
Alamat : Dk Bibik RT 1 RW 2 Ngijo Gunungpati
No. CM : 253034
Tanggal masuk : 21 September 2019, pukul 07.28
Keluhan utama
Nyeri mata kiri
16
I.3 Pemeriksaan Fisik
A. Keadaan umum : Tampak kesakitan
B. Kesadaran : komposmentis (GCS E4V5M6)
C. Vital sign
Tekanan darah : 150/90
Nadi : 77 x/menit
Pernafasan : 18 x/menit
Suhu : 37 º C
Saturasi oksigen : 99 %
D. Status Generalis
Kepala : normocephal
Hidung : Tidak nampak discharge maupun bekas perdarahan
Telinga : Simetris
Mulut : Dalam batas normal
Leher : Tidak ada pembesaran kelenjar tiroid dan kelenjar
limfe
Thorax
Paru-paru :
Inspeksi : Tampak normal, pengembangan dinding dada baik
Palpasi : Fremitus taktil hemithorax kanan dan kiri normal
Perkusi : Sonor
Auskultasi : Suara nafas vesikuler (+/+), wheezing (-/-), ronkhi (-/-)
Jantung :
Inspeksi : Ictus cordis tidak terlihat
Palpasi : Ictus cordis tidak teraba, thrill (-)
Perkusi : batas jantung dalam batas normal
Auskultasi : Bunyi jantung I – II regular
Abdomen : Supel, Tidak ada nyeri tekan, Bising usus dalam batas
normal.
Ekstremitas : Tidak ditemukan edem ekstremitas. Akral hangat
E. Status Lokalis
OD OS
Palpebra (Kutis dan dbn Ruptur palpebra
Tarsus) superior sinistra,
17
vertikal sepanjang 1
cm.
Perdarahan aktif (+)
Edema (+)
Konjungtiva palpebra dbn Nampak laserasi
sepanjang 0.5 cm
pada konjungtiva
palpebra superior,
tidak mencapai
fornix konjungitva.
Edema (+)
Konjungtiva bulbi dbn Injeksi konjungtiva (+),
kemosis (+)
Visus >2/60 >2/60
TIO (digital) dbn dbn
Gerakan bola mata Dapat ke segala arah Dapat ke segala arah
Kornea Jernih Jernih
Pupil Bulat, Isokor, Reaktif Bulat, Isokor, Reaktif
Iris Radier, Robekan (-) Radier, Robekan (-)
Lensa Jernih Jernih
Tes Fluoresensi dbn Tidak nampak defek
kornea
F. Pemeriksaan penunjang
Tanggal 21 September 2019
GDS : 281 mg/dL
Laboratorium darah lengkap :
Hb : 13.7 g/dl
Lekosit : 7.70 /ul
Trombosit : 230.000/ul
Hematokrit : 38.6 %
Eritrosit : 4.72x 106 /ul
MCV : 81.8 fL
MCH : 29.0 pg
MCHC: 35.5 g/dL
18
Diagnosis Kerja
Ruptur palpebra superior oculus sinistra
Hiperglikemia
Hipertensi Grade 1
I.6 Tatalaksana
Planning diagnosis : -
Planning Terapi :
o Pro Rekonstruksi Palpebra superior oculus sinistra
o Infus RL 20 tpm
o Injeksi Ceftriaxon 1gr/12 jam
o Injeksi ketorolac 30mg/8 jam
o Injeksi Ranitidin 1A/12 jam
o Injeksi ATS 1500 IU
o Glimepirid 2mg 1x1 tab
o Amlodipin 10mg 1x1 tab
Planning monitoring :
Evaluasi perdarahan luka post operasi
I.7 Prognosis
Quo ad vitam : dubia ad bonam
Quo ad functionam : dubia ad bonam
Quo ad sanationam : dubia ad bonam
I.8 Follow-up
21 September 2019
• S : Nyeri mata kiri
• O : Ruptur palpebra superior sinistra (+) dan laserasi konjungtiva palpebralis superior
Kesadaran composmentis
• TD 150/90, Suhu 36’ C, N 77x/m, RR 20x/m SpO2 98%
• A : Ruptur palpebra superior sinistra e.c trauma
• P : Injeksi Ceftriaxone 1gr/12 jam
• Injeksi Ketorolac 1A/12 jam
• Cendo tobroson 6dd gtt 1 OS
• Cendo genta EO 3dd gtt 1 OS
• Konsul Intern ke dr SpPD
19
Dr. SpPD
• P:
o Candesartan tab 1x8 mg
o Glimepirid tab 1x4 mg
o Cek GDS Pagi
22 September 2019
Dr. SpPD
• S : Pusing
• O : GDS 212, TD 120/70, N80x/m, RR 18x/m, SpO2 99%, t 36.7’C
• A: Post operasi rekonstruksi palpebra superior oculus sinistra
Diabetes Mellitus
Hipertensi Grade 1
• P:
• Injeksi Ketorolac 1A/12 jam
• Cendo tobroson 6dd gtt 1 OS
• Cendo genta EO 3dd gtt 1 OS
Dr. SpPD
• P:
o Candesartan tab 1x8 mg
o Glimepirid tab 1x4 mg
o Metformin 500 mg 3x1/2 tab
o Cek GDS pagi
23 September 2019
• S : Nyeri oculus sinistra
• O : Jahitan rapat, tidak ada perdarahan aktif, pus (-)
Kesadaran composmentis
• TD 130/70, Suhu 36.5’C, N 82x/m, RR 18x/m SpO2 99%
• A: Post operasi rekonstruksi palpebra superior oculus sinistra
Diabetes Mellitus
Hipertensi Grade 1
• P:
• Cendo tobroson 6dd gtt 1 OS
20
• Cendo genta EO 3dd gtt 1 OS
• Ciprofloxacin 2x500 mg
• Kalium Diclofenac 2x50 mg
• Candesartan tab 1x8mg
• Metformin tab 3x500mg
• Glimepirid tab 1x4mg
21
BAB IV
PEMBAHASAN
Pasien seorang wanita usia 65 tahun dengan keluhan nyeri pada mata sisi kiri setelah
terkena hanger pakaian ½ jam SMRS. Dari anamnesis pasien tidak didapatkan keluhan
penurunan penglihatan, saat dicoba membuka mata, pasien masih dapat membuka mata
dan tidak mengeluh silau meskipun dengan membuka mata pasien merasa bertambah
nyeri. Keluhan nyeri pada area retrootbital disangkal pasien. Tidak ada keluhan nyeri
kepala maupun mual.
Dari hasil pemeriksaan fisik keadaan umum pasien tampak kesakitan. Tanda vital
pasien diketahui tekanan darah pasien hipertensi grade 1.
Pemeriksaan fisik status lokalis ditemukan adanya rupture palpebra superior sinistra
sepanjang 1 cm dan laserasi pada konjungtiva palpebralis sepanjang ½ cm. Pasien masih
dapat berkedip dengan baik. Ditemukan perdarahan (+) dari luka pada palpebra.
Konjungtiva bulbi pasien tampak injeksi (+) dan kemosis. Tidak tampak adanya hifema
pada camera oculi anterior dan pada pemeriksaan fluoresens tidak didapatkan defek epitel
kornea dan tidak didapatkan perforasi, sehingga dapat disimpulkan tak ada trauma tembus
mata.
Pemeriksaan fisik thorax dalam batas normal.
Pemeriksaan fisik abdomen ditemukan dalam batas normal
Pemeriksaan penunjang pasien ditemukan GDS 281 mg/d (hiperglikemia)
Dari hasil anamnesis, pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjang diatas, dapat
ditegakkan diagnosis Ruptur palpebra, hiperglikemia dan hipertensi grade 1.
Untuk penatalaksanaan pada pasien, diberikan penanganan awal berupa anti nyeri,
antibiotic dan antitetetanus di UGD, sedangkan tatalaksana definitive berupa rekonstruksi
palpebra dilakukan oleh dokter Spesialis Mata di ruang operasi.
Penanganan diagnosis hipertensi dan hiperglikemia juga diberikan di UGD berupa
obat oral anti hipertensi golongan CCB, yaitu Amlodipin 1x10 mg dan Obat hipoglikemik
oral golongan sulfonylurea yaitu glimepiride 2x1 mg.
Prognosis pasien ini untuk Quo ad sanationam, Quo ad vitam dan Quo ad functionam
adalah dubia ad bonam.
22
Daftar Pustaka
Edsel I. Laceration, Eyelid (serial online). Last update Apr 26, 2012. [cited
Dec/20/2012,06.18]. Available from: URL:
http://emedicine.medscape.com/article/1212531-overview
Francis B, Quinn. Anatomy of the Ocular Adnexa and Orbit, In: Orbital Trauma (serial
online). Last update Jun/03/1998. [cited Dec/24/2012,06.20]. Available from: URL:
http://www.utmb.edu/otoref/grnds/orbital-trauma.html
Rowena GH, Harijo W, Ratna,D. Laserasi Kelopak Mata, Dalam: Pedoman Diagnosis dan
Terapi Bag/SMF Ilmu Penyakit Mata Edisi III. Surabaya: RSU DR. Soetomo; 2006. p.147
Mounir B. Eyelid Reconstruction, Upper Eyelid (serial online). Last update Nov 13, 2011.
[cited Dec/26/2012,06.24]. Available from: URL:
http://emedicine.medscape.com/article/1282054-overview
American Academy of Ophthalmology. Orbit, Eyelids, and Lacrimal System. San Fransisco:
The Eye M.D Association; 2006.
J R O Collin. Repaired of Eyelid Injuries, In: A Manual of Systematic Eyelid Surgery. United
States of Amarica: Churchill Livingstone; 1989. p.99-108
Maria S. Watering eyes (serial online). Last update Jan/29/2010. [cited Dec/28/2012,01.26].
Available from: URL: http://www.faceandeye.co.uk/eye/wateringeyes2.html
Graham M, Paul EM. Eyelid: Trauma – Repair (serial online). Last update Jan/16/2010. [cited
Jan/4/2013,02.24]. Available from: URL:
http://www.vetstream.com/equis/Content/Technique/teq00106
12. Vaughan, D.G. Oftalmologi Umum, Edisi 14, Cetakan I, Widya Medika, Jakarta, 200.,
23