Anda di halaman 1dari 93

Fungsi trombosit adalah menghentikan pendarahan jika terjadi luka dengan cara

membekukan darah disekitar daerah luka sehingga darah berhenti mengalir. Jika terjadi
luka, trombosit dalam darah pecah dan mengeluarkan enzim trombokinase. Enzim
trombokinase merangsang protrombin untuk membentuk thrombin dengan bantukan
vitamin K dan ion Ca. Trombin merangsang fibrinogen dalam plasma darah untuk
membentuk fibrin, yaitu berupa benang-benang yang membentuk anyaman dan dapat
menjaring darah supaya eritrosit dalam darah tidak keluar lagi dan menutup luka.

Trombosit merupakan komponen tubuh kita yang mengalir bersama dengan sel darah merah
dan putih. Trombosit memiliki fungsi utama membekukan darah sehingga tidak banyak darah
yang terbuang percuma saat terjadi pendarahan.
Rasio plasma keping darah normal berkisar antara 200.000-300.000 keping/mm, nilai
dibawah rentang tersebut dapat menyebabkan pendarahan, sedangkan nilai di atas rentang
yang sama dapat meningkatkan risikotrombosis. Trombosit memiliki bentuk yang tidak
teratur, tidak berwarna, tidak berinti, berukuran lebih kecil dari eritrosit dan leukosit, dan
mudah pecah bila tersentuh benda kasar.

Fungsi lain dari trombosit :


trombosit berfungsi untuk mendorong respon daya tahan tubuh. Dengan kata lain, trombosit
juga berfungsi untuk memperkuat daya tahan tubuh.

Pada saat terjadi luka, maka trombosit berkumpul pada luka dan membeku sehingga
tertutup lukanya. Kemudian, trombosit tersebut mengarahkan bakteri ke limpa. Selanjutnya,
bakteri tersebut dikepung oleh sel-sel dendritik yang berfungsi sebagai sel daya tahan
tubuh. Maka respon daya tahan tubuh itulah yang menghabisi bakteri

Trombosit dan cairan atau plasma darah adalah istilah yang sangat erat
hubungannya dengan penyakit demam berdarah. Untuk menjalankan tugas dalam
pembekuan darah, tubuh kita memerlukan trombosit. Trombosit akan segera menghentikan

pendarahan jika tubuh kita mengalami luka atau pendarahan. Untuk itu diperlukan trombosit
yang banyak.
Tubuh memerlukan jumlah sel keping darah normal sekitar 150.000 hingga
350.00/mm3. Istilah trombositopenia diberikan bagi mereka yang memiliki jumlah trombosit
yang sedikit. Sementara kebalikannya adalah trombositosis.
Pada kasus demam berdarah, trombositopenia terjadi karena adanya kerusakan
sumsum tulang belakang yang disebabkan oleh virus dengue. Keadaan ini diperparah
karena trombosit yang ada digunakan untuk mengatasi pendarahan yang sudah terjadi.
Sementara plasma darah adalah cairan pada darah yang mengandung ion
(elektrolit). Pada demam berdarah, plasma darah akan keluar dari pembuluh darah.
Akibatnya, cairan dan elektrolit yang terkandung di dalam plasma akan dibawa keluar dari
pembuluh darah yang mengakibatkan dehidrasi.

Trombosit memiliki peran dalam sistem hemostasis, suatu mekanisme faali tubuh
untuk melindungi diri terhadap kemungkinan perdarahan atau kehilangan darah. Fungsi
utama trombosit adalah melindungi pembuluh darah terhadap kerusakan endotel akibat
trauma-trauma kecil yang terjadi sehari-hari dan mengawali penyembuhan luka pada dinding
pembuluh darah.
Mereka membentuk sumbatan dengan dengan jalan adhesi ( perlekatan trombosit
pada jaringan sub-endotel pada pembuluh darah luka ) dan agregasi ( perlekatan antar sel
trombosit).
Orang-orang dengan kelainan trombosit, baik kualitatif maupun kuantitatif, sering mengalami
perdarahan-perdarahan kecil di kulit dan permukaan mukosa yang disebut ptechiae, dan tidak
dapat mengehentikan perdarahan akibat luka yang disengaja maupun yang tidak disengaja.
Agar dapat berfungsi dengan baik, trombosit harus memadai dalam kuantitas
(jumlah) dan kualitasnya. Pembentukan sumbat hemostatik akan berlangsung dengan
normal jika jumlah trombosit memadai dan kemampuan trombosit untuk beradhesi dan
beragregasi juga bagus.

Jumlah trombosit normal adalah 150.000 450.000 per mmk darah. Dikatakan
trombositopenia ringan apabila jumlah trombosit antara 100.000 150.000 per mmk darah.
Apabila jumlah trombosit kurang dari 60.000 per mmk darah maka akan cenderung terjadi
perdarahan. Jika jumlah trombosit di atas 40.000 per mmk darah biasanya tidak terjadi
perdarahan spontan, tetapi dapat terjadi perdarahan setelah trauma. Jika terjadi perdarahan
spontan kemungkinan fungsi trombosit terganggu atau ada gangguan pembekuan darah. Bila
jumlah trombosit kurang dari 40.000 per mmk darah,
biasanya terjadi perdarahan spontan dan bila jumlahnya kurang dari 10.000 per mmk
darah perdarahan akan lebih berat. Dilihat dari segi klinik, penurunan jumlah trombosit lebih
memerlukan perhatian daripada kenaikannya (trombositosis) karena adanya resiko
perdarahan.

BAB I
PENDAHULUAN
1.1

Latar Belakang
Dalam keadaan normal darah senantiasa berada di dalam pembuluh darah dan berbentuk
cair. Keadaan ini dapat diperoleh bila terdapat keseimbangan antara aktivitas koagulasi dengan
aktivitasfibrinolisis pada sistem hemostasis yang melibatkan endotel pembuluh darah, trombosit,
protein pembekuan, protein antikoagulan dan enzim fibrinolisis. Terjadinya efek pada salah satu
atau beberapa komponen ini akan menyebabkan terjadinya gangguan keseimbangan hemostasis dan
menimbulkan komplikasi perdarahan atau trombosis.
Pembuluh darah yang normal dilapisi oleh sel endotel. Dalam keadaan yang utuh sel
endotel bersifat antikoagulan dengan menghasilkan inhibitor trombosit (nitrogen oksida,
prostasiklin, ADPase), inhibitor bekuan darah/lisis (heparan, tissue plasminogen activator, urokinase
plasminogen aktivator, trombomodulin, inhibitor jalur faktor jaringan). Sel endotel ini dapat
terkelupas oleh berbagai rangsangan seperti asidosis, hipoksia, endotoksin, oksidan, sitokin dan
shear stress. Endotel pembuluh darah yang tidak utuh akan menyebabkan vasokonstriksi lokal,
menghasilkan faktor koagulasi (tromboplastin, faktor von Willebrand, aktivator dan inhibitor
protein C, inhibitor aktivator plasminogen tipe 1), terbukanya jaringan ikat subendotel (serat
kolagen, serat elastin dan membran basalis) yang menyebabkan aktivasidan adhesi trombosit serta
mengaktifkan faktor XI dan XII.
Trombosit dalam proses hemostasis berperan sebagai penambal kebocoran dalam sistem
sirkulasi dengan membentuk sumbat trombosit pada daerah yang mengalami kerusakan. Agar dapat
membentuk suatu sumbat trombosit maka trombosit harus mengalami beberapa tahap reaksi yaitu
aktivasi trombosit, adhesi trombosit pada daerah yang mengalami kerusakan, aggregasi trombosit
dan reaksi degranulasi. Trombosit akan teraktivasi jika terpapar dengan berbagai protein
prokoagulan yang dihasilkan oleh sel endotel yang rusak. Adhesi trombosit pada jaringan ikat
subendotel terjadi melalui interaksi antara reseptor glikoprotein membran trombosit dengan
protein subendotel terutama faktor von Willebrand sedangkan aggregasi trombosit terjadi melalui
interaksi antar reseptor trombosit dengan fibrinogen sebagai mediator.
1.2
Rumusan Masalah
Berdasarkan apa yang telah dipaparkan di atas, maka kami sebagai penulis dapat
merumuskan beberapa permasalahan yakni sebagai berikut :
1.2.1 Apa pengertian dari Hemostasis?
1.2.2 Bagaimana proses Hemostasis ?
1.2.3 Faktor-faktor terjadinya pembekuan darah ?
1.2.4 Bagaimana mekanisme Hemostasis.?
1.2.5 Bagaimana cara pemeriksaan Hemostasis.
1.3
Tujuan
Mengacu pada rumusan masalah di atas, maka tujuan dalam penyusunan makalah ini
yaitu :
1.3.1 Untuk dapat mengetahui pengertian dari Hemostasis
1.3.2 Untuk dapat menjelaskan bagaimana proses Hemostasis.
1.3.3 Dapat mengetahui factor-faktor terjadinyapembekuan darah.
1.3.4 Untuk dapat mengetahui Mekanisme Hemostasis.
1.3.5 Untuk dapat mengetahui bagaimana cara pemeriksaan Hemostasis.
BAB II
PEMBAHASAN
2.1
Definisi

Hemostasis atau haemostasis berasal dari bahasa Yunani: aimstasis (), yang
terdiri dari dua kata yaitu ama () yang berarti darah" dan stsis () yang berarti
"stagnasi".
Hemostasis adalah mekanisme menghentikan dan mencegah perdarahan. Bilamana
terdapat luka pada pembuluh darah, segara akan terjadi vasokonstriksi pembuluh darah sehingga
aliran darah ke pembuluh darah yang terluka berkurang. untuk Kemudian trombosit akan berkumpul
dan melekat pada bagian pembuluh darah yang terluka untuk membentuk sumbat trombosit. Faktor
pembekuan darah yang diaktifkan akan membentuk benang-benang fibrin yang akan membuat
sumbat trombosit menjadi non permeabel sehingga perdarahan dapat dihentikan.
Jadi dalam proses hemosatasis terjadi 3 reaksi yaitu reaksi vascular berupa vasokontriksi
pembuluh darah, reaksi selular yaitu pembentukan sumbat trombosit, dan reaksi biokimiawi yaitu
pembentukan fibrin. Faktor-faktor yang memegang peranan dalam proses hemostasis adalah
pembuluh darah, trombosit, dan faktor pembekuan darah. Selain itu faktor lain yang juga
mempengaruhi hemostasis adalah faktor ekstravascular, yaitu jaringan ikat disekitar pembuluh
darah dan keadaan otot.Pedarahan mungkin diakibatkan oleh kelainan pembuluh darah, trombosit,
ataupun sistem pembekuan darah. Bila gejala perdarahan merupakan kalainan bawaan, hampir
selalu penyebabnya adalah salah satu dari ketiga faktor tersebut diatas kecuali penyakit Von
Willebrand. Sedangkan pada kelainan perdarahan yang didapat, penyebabnya mungkin bersifat
multipel. Oleh karena itu pemeriksaan penyaring hemostasis harus meliputi pemeriksaan vasculer,
treombosit, dan koagulasi.Biasanya pemeriksaan hemostasis dilakukan sebelum operasi. Beberapa
klinisi membutuhkan pemerikasaan hemostasis untuk semua penderita praoperasi, tetapi ada juga
membatasi hanya pada penderita dengan gangguan hemostasis. Yang paling penting adalah
anamnesis riwayat perdarahan. Walaupun hasil pemeriksaan penyaring normal, pemeriksaan
hemostasis yang lengkap perlu dikerjakan jika ada riwayat perdarahan.
2.2
Proses Hemostasis
Proses hemostasis terjadi melalui tiga proses yaitu :
2.2.1 Fase vascular
Karena akibat dari adanya trauma pada pembuluh darah maka respon yang pertama kali
adalah respon dari vaskuler/kapiler yaitu terjadinya kontraksi dari kapiler disertai dengan extravasasi dari pembuluh darah, akibat dari extra vasasi ini akan memberikan tekanan pada kapiler
tersebut (adanya timbunan darah disekitar kapiler).
2.2.2 Fase Platelet/trombosit
Pada saat terjadinya pengecilan lumen kapiler (vasokontriksi) dan extra vasasi ada darah
yang melalui permukaan asar (jaringan kolagen) dengan akibatnya trombosit. Akibat dari
bertemunya trombosit dengan permukaan kasar maka trombosit tersebut akan mengalami adhesi
serta agregasi.Setelah terjadinya adhesi maka dengan pengaruh ATP akan terjadilah agregasi yaitu
saling melekat dan desintegrasi sehingga terbentuklah suatu massa yang melekat.
Peristiwa trombosit yang mulai pecah/lepas- lepas hingga menjadi suatu massa yang
melekat disebut Viscous metamorphosis. Akibat dari terjadinya semua proses ini maka terjadilah
gumpalan plug (sumbatan) baru kemudian terjadi fase yang ketiga.
2.2.3 Fase koagulasi
Fase ini terdiri dari tiga tahapan yaitu :
a.
Pembentukan prothrombinase/prothrombin activator
b.
Perubahan prothrombine menjadi trombone
c.
Perubahan fibrinogen menjadi fibrin

Ada kontak dan adanya cairan jaringan yang masuk, cairan jaringan ini mengandung
thromboplastin proses pembekuan darah terjadi karena adanya factor intrinsic dan factor
ekstrinsik. Factor intrinsic baru terjadi bila ada kontak aktivasi. Apabila kontak aktivasi tidak ada,
kebanyakan factor intrinsic berada dalam keadaan tidak aktiv (cascade theory dari clotting
factor.waktu pembuluh darah terputus.
Jaringan
thromboplastin
adalah
factor
yang
berasal
dari
jaringan.
Factor ekstrinsik reaksinya adalah berjalan dengan cepat (10 11 detik), sedngkan factor intrinsic
berjalan selama 8 menit Pada.
2.3
Faktor-Faktor Pembekuan Darah
2.3.1 Faktor I = fibrinogen
2.3.2 Faktor II = Prhotrombine
2.3.3 Faktor III = Fakotr jaringan
2.3.4 Faktor IV = Ion kalsium
2.3.5 Faktor V = Proaccelerine
2.3.6 Faktor VI = Accelerine
2.3.7 Faktor VIII = A.H.G (Anti Haemphilly Globulin)
2.3.8 Faktor IX = Christmas factor
2.3.9 Faktor X = Stuart factor
2.3.10 Faktor XI = Plasma thromboplastin antecedent
2.3.11 Faktor XII = Hagemen factor
2.3.12 Faktor XIII = Fibrine stabilizing factor (fibrinase)
2.4 Mekanisme Hemostasis
2.4.1 Primer
Mekanisme vasokonstriksi pembuluh darah pada luka yang kecil.
2.4.2 Sekunder
Mekanisme yang melibatkan faktor-faktor koagulasi dalam plasma dan trombosit dengan
tujuan akhir pembentukan jala-jala fibrin, terjadi pada luka yang besar.
2.4.3 Tersier
Mekanisme kontrol yang menjaga agar hemostasis tidak berlebihan melaku sistem
fibrinolitik.
2.5
Hemostasis (Hemofilia)
Hemofilia merupakan salah satu gangguan dari hemostasis.Hemofilia berasal dari bahasa
Yunani Kuno, yang terdiri dari dua kata yaitu haima yang berarti darah dan philia yang berarti cinta
atu kasih sayang.Jadi dapat diartikan bahwa hemofilia merupakan penyakit yang diturunkan dari
ibu kepada anaknya pada saat anak tersebut dilahirkan.
Adapun pengertian lain dari hemofilia adalah penyakit kelainan perdarahan yang
disebabkan adanya kekurangan faktor pembekuan darah atau trombosit (penyakit gangguan
pembekuan darah). Hal ini disebabkan karena darah pada penderita hemofilia tidak dapat
membeku dengan sendirinya secar normal. Proses pembekuan darah pada seorang penderita
hemofilia tidak secepat atau sebanyak orang yang normal. Penderita hemofilia akan lebih banyak
membutuhkan waktu untuk proses pembekuan darahnya.
Penderita hemofilia ini kebanyakan mengalami gangguan perdarahan di bawah kulit :
seperti luka memar jika sedikit mengalami benturan, atau luka memar timbul dengan sendirinya
jika si penderita telah melakukan aktifitas yang berat sepertai pembengkakkan pada persendian ;
seperti lutut, pergelanagn tangan atau siku tangan. Hemofilia bisa membahayakan jiwa jika terjadi
perdarahan di organ vital seperti perdarahan pada otak.

Hemofilia lebih sering dijumpai pada anak-anak. Bila pria penderita hemofilia bertahan
hidup dan bertahan sampai perkawinan, maka dia akan menurunkan anak- anak wanita yang normal
pembawa ( carier ). Dan ank wanita keturunannya ini akan menurunkan kepada sebagian anak laki
lakinya, sehingga anak laki lakinya ada yang menderita hemofilia.
2.5.1 Jenis Jenis Hemofilia
a.
Hemofilia A
Hemofilia A dikenal juga dengan nama :

Hemofilia Klasik ; karena jenis hemofilia ini adalah yang paling banyak kekurangan faktor
pembekuan pada darah ( FAH = Factor Anti Hemophilia )

Hemofilia FVIII : yaitu penyakit hemofilia yang terjadi karena kekurangan faktor 8 (FVIII)
protein pada darah yag menyebabkan masalah pada proses pembekuan darah.
b. Hemofilia B
Hemofilia B terjadi karena penderita tidak mempunyai faktor KPT ( Komponen Plasma
Tromboplastin ). Hemofilia B juga dikenal dengan nama :

Faktor 9 ( FIX ) protein pada darah yang menyebabkan masalah pada proses pembekuan
Christmas Desease ; ditemukan pertama kali pada seorang yang bernama Steven Christmas yang
berasal dari Kanada. Penyakit hemofilia yang dideritanya diwariskan dari ibunya yaitu Ratu Victoria.

Hemophilia kekurangan faktor IX ; merupakan penyakit hemofilia yang terjadi karena


kekurangan darah.
2.6
Tingkatan Hemofilia
Pada dasarnya penyakit hemofilia mempunyai tinkatan yang berbeda beda.
Hemofilia A dan B dapat digolongkan dalam 3 tingkatan yaitu :
Klasifikasi

Kadar Faktor VIII dan Faktor IX di Dalam Darah

Berat

Kurang dari 1 % dari jumlah normalnya

Sedang

1 % - 5 % dari jumlah normalnya

Ringan

5 % - 30 % dari jumlah normalnya

Berikut adalah penjabaran mengenai pembagian tingkatan dalam hemofilia A dan Hemofilia B :
2.6.1 Hemofilia Parah / Berat
Penderita hemofilia pada tinkatan ini hanya memiliki faktor VIII dan faktor IX kurang dari 1
% dari jumlah normal di dalam darahnya. Dalam artian bahwa penderita hemofilia pada tingkatan
ini akan megalami beberapa kali perdarahan dalam sebulan. Kadang kadang perdarahan terjadi
begitu saja tanpa ada sebab yang jelas.
2.6.2 Hemofilia Sedang
Seseorang yang menderita hemofilia tingkat sedang lebih jarang mengalami perdarahan
dibanding hemofilia tingkat berat. Perdarahan kadang terjadi akibat dari aktivitas tubuh yang
terlalu berat, seperti olah raga yang berlebihan.
2.6.3 Hemofilia Ringan
Penderita hemofilia tingkat ringan ini lebih jarang sekali mengalami perdarahan
dibandingkan dengan hemofilia tingkat berat dan hemofilia tingkat sednag. Yang menderita
hemofilia tingkat ringan mengalami masalah perdarahan hanya dalam situasi tertentu, seperti
operasi, cabut gigi, atau mengalami luka yang serius. Jika wanita mengalami hemofilia tingkat
ringan kemungkinan akan mengalami perdarahan lebih pada saat wanita tersebut mengalami
menstruasi.

Pada hemofilia berat, perdarahan dapat terjadi spontan tanpa trauma. Sedangkan yang
sedang, biasanya perdarahan didahului trauma ringan. Hemofilia ringan umumnya tanpa gejala atau
dapat terjadi perdarahan akibat trauma berat.
2.7
Pemeriksaan Hemostasis
Pemeriksaan faal hemosatasis adalah suatu pemeriksaan yang bertujuan untuk mengetahui
faal hemostatis serta kelainan yang terjadi. Pemeriksaan ini bertujuan untuk mencari riwayat
perdarahan abnormal, mencari kelainan yang mengganggu faal hemostatis, riwayat pemakaian
obat, riwayat perdarahan dalam keluarga. Pemeriksaan faal hemostatis sangat penting dalam
mendiagnosis diatesis hemoragik. Pemeriksaan ini terdiri atas:
2.7.1 Tes penyaring meliputi :
a.
Percobaan Pembendungan
Percobaan ini bermaksud menguji ketahanan dinding kapiler darah dengan cara mengenakan
pembendungan pada vena, sehingga tekanan darah di dalam kapiler meningkat. Dinding kapiler
yang kurang kuat akan menyebabkan darah keluar dan merembes ke dalam jaringan sekitarnya
sehingga nampak titik-titik merah kecil pada permukaan kulit, titk itu disebut dengan petekia.
Untuk melakukan percobaan ini mula-mula dilakukan pembendungan pada lengan atas dengan
memasang tensimeter pada pertengahan antara tekanan sistolik dan tekanan diastolik. Tekanan itu
dipertahankan selama 10 menit. Jika percobaan ini dilakukan sebagai lanjutan masa perdarahan,
cukup dipertahankan selama 5 menit. Setelah waktunya tercapai bendungan dilepaskan dan
ditunggu sampai tanda-tanda stasis darah lenyap. Kemudian diperiksa adanya petekia di kulit
lengan bawah bagian voler, pada daerah garis tengah 5 cm kira-kira 4 cm dari lipat siku.
Pada orang normal tidak atau tidak sama sekali didapatkan petekia. Hasil positif bila terdapat
lebih dari 10 petekia. Seandainya di daerah tersebut tidak ada petekia tetapi jauh di distal ada,
hasil percobaan ini positif juga.
Jika pada waktu dilakukan pemeriksaan masa perdarahan sudah terjadi petekie, berarti
percobaan pembendungan sudah positif hasilnya dan tidak perlu dilakukan sendiri. Pada penderita
yang telah terjadi purpura secara spontan, percobaan ini juga tidak perlu dilakukan.
Walaupun percobaan pembendungan ini dimaksudkan unntuk mmengukur ketahanan kapiler,
hasil tes ini ikut dipengaruhi juga oleh jumlah dan fungsi trombosit. Trombositopenia sendiri dapat
menyebabkan percobaan ini barhasil positif.
b.
Masa Perdarahan
Pemeriksaan ini bertujuan untuk menilai kemampuan vascular dan trombosit untuk
menghentikan perdarahan.Prinsip pemeriksaan ini adalah menentukan lamanya perdarahan pada
luka yang mengenai kapiler.
Terdapat 2 macam cara yaitu :cara Ivy dan Duke.
Pada cara Ivy, mula-mula dipasang tensimeter dengan tekanan 40 mmHg pada lengan atas. Setalah
dilakukan tindakan antisepsis dengan kapas alkohol, kulit lengan bawah bagian voler diregangkan
lalu dilakukan tusukan denagn lancet sedalam 3mm. Stopwatch dijalankan waktu darah keluar.
Setiap 30 detik darah dihisap dengan kertas saring. Setelah darah tidak keluar lagi, stopwatch
dihentikan. Nilai normal berkisar antara 1-6 menit.
Pada cara duke, mula-mula dilakukan tindakan antisepsis pada anak daun telinga. Dengan
lancet, dilakukan tususkan pada tepi anak daun telinga. Stopwatch dijalankan waktu darah keluar.
Setiap 30 detik, darah dapat dihisap dengan kertas saring. Setelah darah tidak keluar lagi,
stopwatch dihentikan. Nilai normal berkiasar antara 1-3 menit. Cara Duke sebaiknya dipakai untuk
bayi dan anak kecil dimana sukar atau tidak mungkin dilakukan pembendungan.
Pemeriksaan masa perdarahan merupakan suatu tes yang kurang memuaskan karena tidak
dapat dilakukan standarisasi tusukan baik mengenai dalamnya, panjangnya, lokalisasinya maupun

arahnya sehingga korelasi antara hasil tes ini dan keadaan klinik tidak begitu baik. Perbedaan suhu
kulit juga dapat mempengaruhi hasil tes ini.
Pada pemeriksaan ini tusukan harus cukup dalam, sehingga salah satu bercak darah pada
kertas saring mempunyai diameter 5 mm atau lebih. Masa perdarahan yang kurang dari 1 menit juga
disebabkan tusukan yang kurang dalam. Dalam hal seperti ini, percobaan dianggap batal dan perlu
diulang.
Hasil pemeriksaan menurut cara Ivy lebih dapat dipercaya daripada cara Duke, karena pada
cara Duke tidak dilakukan pembendungan sehingga mekanisme hemostatis kurang dapat dinilai.
Apabila pada cara Ivy perdarahan berlangsung lebih dari 10 menit dan hal ini diduga karena
tertusuknya vena, perlu dilakukan pemeriksaan ulang pada lengan yang lain. Kalau hasilnya tetap
lebih dari 10 menit, hal ini membuktikan adanya suatu kelainan dalam mekanisme hemostatis.
Tindakan selanjutnya adalah mencari letak kelainan hemostatis dengan mengerjakan pemeriksaanpemeriksaan lain.
c. Hitung Trombosit
Hitung trombosit dapat dilakukan dengan cara langsung dan tak langsung. Cara langsung dapat
dilakukan dengan cara manual, semi otomatik, dan otomatik.Pada cara manual, mula-mula darah
diencerkan dengan larutan pengencer lalu diidikan ke dalam kamar hitung dan jumlah trombosit
dihitung dibawah mikroskop. Untuk larutan pengencer yang dipakai larutan Rees Ecker atau larutan
amonium oksalat 1%. Cara manula mempunyai ketelitian dan ketepatan yang kurang baik, karena
trombosit kecil sekali sehingga sukar dibedakan dari kotoran kecil. Lagi pula trombosit mudah
pecah dan cenderung saling melekat membentuk gumpalan serta mudah melekat pada permukaan
asing. Oleh karena itu alat-alat yang dipakai harus betul-betul bersih dan larutan pengencer harus
disaring terlebih dahulu. Sebagai bahan pemeriksaan d ipakai darah dengan anticoagulant sodium
ethylendiamine tetraacetate yang masih dalam batas waktu yang diijinkan artinya tidak lebih dari 3
jam setelah pengambilan darah.
Pada cara semi otomatik dan otomatik dipakai alat electronic particle counter sehingga
ketelitiannya lebih baik daripada cara manual. Akan tetapi cara ini masih mempunyai kelemahan,
karena trombosit yang besar (giant trombocyte) atau beberapa trombosit yang menggumpal tidak
ikut terhitung, sehingga jumlah trombosit yang dihitung menjadi lebih rendah.
Pada cara tak langsung, jumlah trombosit pada sediaan hapus dibandingkan jumlah trombosit
dengan jumlah eritrosit kemudian jumlah mutlaknya dapat diperhitungkan dari jumlah mutlak
eritrosit.
Karena sukarnya dihitung, penilaian semi kuantitatif tentang jumlah trombosit dalam sediaan
hapus darah sangat besar artinya sebagai pemeriksaan penyaringan. Pada sediaan hapus darah tepi,
selain dapat dilakukan penilaian semi kuantitatif, juga dapat diperiksa morfologi trombosit serta
kelainan hematologi lain. Bila sediaan hapus dibuat langsung dari darah tanpa antikoagulan, maka
trombosit cenderung membentuk gumpalan. Jika berarti membentuk gumpalan berarti tedapat
gangguan fungsi trombosit.
Dalam keadaan normal jumlah trombosit sangat dipengaruhi oleh cara menghitungnya dan berkisar
antar 150.000 400.000 per l darah.
Pada umumnya, jika morfologi dan fungsi trombosit normal, perdarahan tidak terjadi jika
jumlah lebih dari 100.00/l. Jika fungsi trombosit normal, pasien dengan jumlah trombosit diatas
50.000/l tidak mengalami perdarahan kecualai terjadi trauma atau operasi. Jumlah trombosit
kurang dari 50.000/l digolongkan trombositopenia berat dan perdarahan spontan akan terjadi jika
jumlah trombosit kurang dari 20.000/l.
d. Masa Protrombin Plasma (protrombin time PT)

f.

Pemeriksaan ini digunakan untuk menguji pembekuan darah melalui jalur ekstrinsik dan jalur
bersama yaitu faktor pembekuan VII, X, V, protrombin dan fibrinogen. Selain itu juga dapat dipakai
untuk memantau efek antikoagulan oral karena golongan obat tersebut menghambat pembentukan
faktor pembekuan protrombin, VII, IX, dan X.
Prinsip pemeriksaan ini adalah mengukur lamanya terbentuk bekuan bila ke dalam plasma yang
diinkubasi pada suhu 37C, ditambahkan reagens tromboplastin jaringan dan ion kalsium.
Hasil pemeriksaan ini dipengaruhi oleh kepekaan tromboplastin yangh dipakai oleh teknik
pemeriksaan. Karena itu pemeriksaan ini harus dilakukan duplo dan disertai kontrol dengan plasma
normal.
Nilai normal tergantung dari reagen, cara pemeriksaan dan alat, dan alat yang digunakan.
Sebaiknya tiap laboratorium mempunyai nilai normal yang ditetapkan sendiri dan berlaku untuk
laboratorium tersebut.
Jika hasil PT memanjang maka penyebabnya mungkin kekurangan faktor-faktor pembekuan di
jalur ekstrinsik dan bersama atau adnya inhibitor. Untuk membedakan hal ini, pemeriksaan diulang
sekali lagi dengan menggunakan campuran plasma penderita dan plasma kiontrol dengan
perbandingan 1:1. Bila ada inhibitor, masa protombin plasma tetap memanjang.
Selain dilaporkan dalam detik, hasil PT juga dilaporkan dalam rasio, aktivitas protombin dan
indeks. Rasio yaitu perbandingan antara PT penderita dengan PT kontrol. Aktivitas protombin dapat
ditentukan dengan menentukan dengan menggunakan kurva standart dan dinyatakan dalam
%.Pemeriksaan PT juga sering dipakai untuk memantau efek pemberian antikoagulan oral.
Pemberian kepekaan reagen tromboplastin yang dipakai dan perbedaan cara pelaporan
menimbulkan kesulitan bila pemantauan dikerjakan di laboratorium yang berbeda-beda. Untuk
mengatasi masalah tersebut ICTH (International Comittee on Thrombosis and Haemostasis) dan ICSH
(International Comitte for Standardization in Haematology) menganjurkan agar tromboplastin
jaringan yang akan digunakan harus dikalibrasi terlebih dahulu terhadap tromboplastin rujukan
untuk mendapatkan ISI (International Sensitivity Index). Juga dianjurkan agar hasil pemeriksaan PT
dilaporkansecara seragam dengan menggunakan INR (International Normalized Ratio), yaitu rasio
yang dipangkatkan dengan ISI dari reagens tromboplastin yang digunakan.
e. Masa Tromboplastin Parsial Teraktivasi (activated parsial thromboplastin time APTT)
Pemeriksaan ini digunakan untuk menguji pembekuan darah melaui jalur intrinsik dan jalur
bersama yaitu faktor pembekuan XII, prekalikrein, kininogen, XI, IX, VIII, X, V, protombin dan
fibrinogen.
Prinsip pemeriksaan ini adalah mengukur lamanya terbentuk bekuan bila ke dalam plasma
ditambahkan reagens tromboplastin parsial dan aktivator serta ion kalsium pada suhu 370C. reagen
tromboplastin parsial adalah fosfolipid sebagai pengganti platelet factor 3.
Nilai normal tergantung dari reagens, cara pemeriksaan dan alat yang dipakai. Juga dianjurkan
agar tiap laboratorium menentukan nilai normalnya sendiri. Hasilnya memanjang bila terdapat
kekurangan faktor pembekuan dijalur intrinsik dan bersama atau bila terdapat inhibitor. Sama
seperti PT, untuk membedakan hal ini dilakukan pemeriksaan ulang terhadap campuran plasma
penderita dan plasma kontrol dengan perbandinagn 1:1. Bila hasilnya tetap memanjang, berarti ada
inhibitor. Pada hemofilia A maupun hemofilia B, APTT akan memanjang, tetapi pemeriksaan ini
tidak dapat membedakan kedua kelainan tersebut.
Pemeriksaan ini juga dipakai untuk memnatau pemberian heparin. Dosis heparin diatur sampai APTT
mencapai 1,5-2,5 kali nilai kontrol.
Masa Trombin (thrombin time TT)

Pemeriksaan ini digunakan untuk menguji perubahan fibrinogen menjadi fibrin. Prinsip
pemeriksaan ini adalah mengukur lamanya terbentuk bekuan pada suhu 37C bila ke dalam plasma
ditambahkan reagens thrombin.
Nilai normal tergantung dari kadar thrombin yang dipakai. Hasil TT dipengaruhi oleh kadar dan
fungsi fibrinogen serta ada tidaknya inhibitor. Hasilnya memanjang bila kadar fibrinogen kurang dari
100 mg/dl atau fungsi fibrinogen abnormal atau bila terdapat inhibitor thrombin seperti heparin
atau FDP (Fibrinogen degradation product).
Bila TT memanjang, pemeriksaan diulang sekali lagi dengan menggunakan campuran plasma
penderita dan plasma control dengan perbandingan 1:1 untuk mengetahui adanya tidaknya
inhibitor.Untuk membedakan apakah TT yang memanjang karena adanya heparin, fibrinogen
abnormal atau FDP, dilakukan pemeriksaan masa reptilase. Reptilase berasal dari bisa
ular Aneistrodon Rhodostoma. Apabila TT yang memanjang disebabkan oleh heparin maka masa
reptilase akan memberikan hasil normal, sedangkan fibrinogen abnormal atau FDP akan
menyebabkan masa reptilase memanjang.
g. Pemeriksaan Penyaring Untuk Faktor XIII
Pemeriksaan ini dimasukkan dalam pemeriksaan penyaring, karena baik PT, APTT, maupun TT
tidak menguji factor XIII, sehingga adanya defisiensi F XIII tidak dapat di deteksi dengan PT, APTT,
maupun TT.
Pemeriksaan ini digunakan untuk menilai kemampuan factor XIII dalam menstabilkan fibrin.
Prinsipnya F XIII mengubah fibrin soluble menjadi fibrin stabil karena terbentuknya
ikatan cross link. Bila tidak ada F XIII, ikatan dalam molekul fibrin akan dihancurkan oleh urea 5M
atau monokhlorasetat 1%. Cara pemeriksaannya adalah dengan memasukkan bekuan fibrin ke dalam
larutan urea 5M atau asam monokhloroasetat 1%, kemudian setelah 24 jam stabilitas bekuan dinilai.
Bila factor XIII cukup, setelah 24 jam bekuan fibrin tetap stabil dalam larutan urea 5M. jika
terdapat defisiensi factor XIII bekuan akan larut kembali dalam waktu 2-3 jam.
2.7.2 Tes khusus meliputi :
a.
Tes faal trombosit
b. Tes Ristocetin
c.
Pengukuran faktor spesifik (faktor pembekuan)
d. Pengukuran alpha-2 antiplasmin
2.8
Hal - hal yang perlu diperhatikan pada pemeriksaan Hemostasis
2.8.1
Antikoagulan
Untuk pemeriksaan koagulasi antikoagulan yang dipakai adalah natrium sitrat 0,109 M
dengan perbandingan 9 bagian darah dan 1 bagian natrium sitrat.Untuk hitung trombosit
antikoagulan yang dipakai adalah Na2EDTA.Jika dipakai darah kapiler, maka tetes darah pertama
harus dibuang.
2.8.2
Penampung
Untuk mencegah terjadinya aktivasi factor pembekuan, dianjurkan memakai
penampung dari plastic atau gelas yang telah dilapisi silicon.
2.8.3 Semprit dan Jarum
Dianjurkan memakai semprit plastic dan jarum yang cukup besar. Paling kecil nomor 20.
2.8.4 Cara pengambilan darah
Pada waktu pengambilan darah, harus dihindari masuknya tromboplastin jaringan. Yang
dianjurkan adalah pengambilan darah dengan memakai 2 semprit. Setelah darah dihisap dengan
semprit pertama, tanpa mencabut jarum, semprit pertama dilepas lalu pasang semprit kedua.
Darah semprit pertama tidak dipakai untuk pemeriksaan koagulasi, sebab dikhawatirkan sudah
tercemar oleh tromboplastin jaringan.

2.8.5 Kontrol
Setiap kali mengerjakan pemeriksaan koagulasi, sebaiknya diperiksa juga satu kontrol
normal dan satu kontrol abnormal. Selain tersedia secara komersial, kontrol normal juga dapat
dibuat sendiri dengan mencampurkan plasma yang berasal dari 10 sampai 20 orang sehat, yang
terdiri atas pria dan wanita yang tidak memakai kontrasepsi hormonal. Plasma yang dipakai sebagai
kontrol tidak boleh ikterik, lipemik, maupun hemolisis.
2.8.6 Penyimpangan dan pegiriman bahan
Pemeriksaan koagulasi sebaiknya segara dikerjakan, karena beberapa faktor pembekuan
bersifat labil. Bila tidak dapat diselesaikan dalam waktu 4 jam setelah pengambilan darah, plasma
disimpan dalam tempat plastik tertutup dan dalam keadaan beku. Untuk pemeriksaan APTT
danassay faktor VIII atau IX, bahan yang dikirim adalah plasma citrat dalam tempat plastik bertutup
dan diberi pendingin, tetapi untuk PT dan agregasi trombosit jangan diberi pendingin karena suhu
dingin dapat mengaktifkan F VII tetapi menghambat agregasi trombosit.
BAB III
PENUTUP
3.1
Kesimpulan
Berdasarkan apa yang telah di jelaskan di atas, maka penulis dapat menyimpulkan bahwa :
Hemostasis adalah mekanisme menghentikan dan mencegah perdarahan. Bilamana
terdapat luka pada pembuluh darah, segara akan terjadi vasokonstriksi pembuluh darah sehingga
aliran darah ke pembuluh darah yang terluka berkurang. untuk Kemudian trombosit akan berkumpul
dan melekat pada bagian pembuluh darah yang terluka untuk membentuk sumbat trombosit
3.2
Saran

3.2.1 Penulis berharap agar Pembaca dapat mengerti tentang Hemostasis mulai
dari Definisi sampai dengan hala apa saja yang perlu diperhatikan dalam
Hemostasis.
3.2.2 Mahasiswa selaku calon perawat dapat lebih mengenal tentang pembahasan
ini, dan dapat mensosialisasikan kepada masyarakat luas disekitarnya.
DAFTAR PUSTAKA
Guyton, Arthur C., dan John E Hall.1997. Buku Ajar Fisiologi Kedokteran. Jakarta: EGC.
Murray Robert K., dkk. 2009. Biokimia Harper Edisi 27. Jakarta: EGC.
Sadikin, Mohamad. 2001. Biokimia Darah. Jakarta: Widya Medika.
Price, Sylvia Anderson dan Lorraine M.Wilson. 2005. Patofisologi Konsep Klinis Proses-proses
Penyakit Edisi6. Jakarta:EGC
www.google.com. Proses Pembekuan Darah. http://cimobi.blogspot.com/2009/11/prosespembekuan-darah.html
http://wwwselapunya-syella.blogspot.com/2011/06/pembekuan-darah.html

Makalah Referat Kelainan Hemostasis dan


Koagulasi
BAB I
PENDAHULUAN

I.1. LATAR BELAKANG


Hemostasis adalah mekanisme tubuh untuk menghentikan perdarahan
secara spontan. Ada beberapa system yang berperan dalam hemostasis
aitu sitem vaskuker, trombosit dan pembekuan darah. Peran system
vaskuler dalam mencegah perdarahan meliputi proses kontraksi
pembuluh darah (vasokonstriksi) serta aktivasi trombosit dan pembekuan
darah. (Setiabudy, 2009)
Apabila pembuluh darah mengalami luka, maka akan terjadi
vesokonstriksi yang mula-mula secara reflektoris dan kemudian akan
dipertahankan oleh faktor local seperti 5-hidroksitriptamin (5-HT,
serotonin), dan epinefrin. Vasokonstriksi ini akan menyebabkan
pengurangan aliran darah pada daerah yang luka. Pada pembuluh darah
kecil hal ini mungkin dapat menghentikan perdarahan, sedangkan pada
pembuluh darah besar masih diperlukan system lain seperti trombosit dan
pembekuan darah. (Setiabudy, 2009)
Seperti kita ketahui, pembuluh darah dilapisi oleh sel endotel. Apabil
laisan endotel rusak maka jaringan ikatdi bawah endotel seperti serat
kolagen, serat elastin dan membrana basalis terbuka sehingga tejadi
aktivasi trombosit yang menyababkan adhesi trombosit dan pembentukan
sumbat trombosit. (Setiabudy, 2009)

I.2. TUJUAN
1. Tujuan Umum
Mengetahui dan memahami tentang kelainan hemostasis dan koagulasi.
2. Tujuan Khusus
Mempelajari lebih dalam mengenai fisiologi hemostasis dan koagulasi
beserta kelainan-kelainannya.

I.3. MANFAAT
1. Untuk bahan pustaka bagi institusi.
2. Untuk menambahan wawasan keilmuan tentang hemostasis dan koagulasi disordersbagi
penulis.

3. Sebagai sumber bacaan bagi pembaca untuk membuat karya tulis serupa.

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

II.1.

Hemostasis dan Koagualasi


Hemostasis adalah istilah kolektif untuk semua mekanisme faal yang digunakan
oleh tubuh untuk melindungi diri dari kehilangan darah. Hemostasis adalah proses
tubuh yang secara simultan menghentikan perdarahan dari tempat yang cedera,
sekaligus mempertahankan darah dalam keadaan cair di dalam kompartemen
vaskular. Hemostasis melibatkan kerja sama terpadu antara beberapa sistem
fisiologik yang saling berkaitan. (Sacher, 2004)
Kegagalan hemostatis menimbulkan perdarahan; kegagalan mempertahankan
darah dalam keadaan cair menyebabkan thrombosis. Baik perdarahan maupun
thrombosis sangat sering terjadi dan merupakan masalah klinis yang berbahaya.
Menentukan gangguan/defek yang menyebabkan perdarahan, saat ini, lebih mudah
daripada menentukan keadaan-keadaan yang memudahkan terjadinya thrombosis.
(Sacher, 2004)
Mekanisme hemostatik normal terdiri dari empat sistem utama: (1) sistem
pembuluh darah (vascular), (2) trombosit, (3) sistem pembekuan, dan (4) sistem
fibrinolitik. (Sacher, 2004)
A. Sistem Pembuluh Darah (Vascular)
Pembentukan sumbat hemostatik dimulai dengan kerusakan pembuluh darah,
kerusakan darah, atau keduannya, yang menyebabkan terjadinya suatu proses yang
berantai. Cedera vascular biasanya berkaitan dengan kontraksi pembuluh darah
(vasokontriksi), aktivasi kontak trombosit diikuti oleh agregasi trombosit, dan
pengaktifan jenjang koagulasi. Pada keadaan normal, lapisan endotel pembuluh
darah bersifat halus/mulus dan tidak terputus. Kerusakan terhadap lapisan endotel
ini menyebabkan kolagen di bawahnya terpajan, tempat trombosit dalam sirkulas
melekat (adhesi trombosit). Hal ini, pada gilirannya, memicu rekrutmen lebih banyak
trombosit untuk menyumbat pembuluh yang cedera (agregasi trombosit). Dinding
pembuluh juga merupakan sumber faktor von Willebrand dan zat antiagregasi
trombosit prostasiklin. (Sacher, 2004)
B. Trombosit
Trombosit bukan merupakan sel, tetapi merupakan fragmen-fragmen sel
granular, berbentuk cakram, tidak berinti; trombosit ini merupakan unsur selular
sumsum tulang terkecil dan penting untuk homeostasis dan koagulasi. Trombosit
berasal dari sel induk pluripoten yang tidak terikat (noncommitted pluripotent
stem cell), yang jika ada permintaan dan dalam keadaan adanya factor
perangsang trombosit (MK-CSF [factor perangsang koloni megakariosit]), interleukin
dan TPO (factor pertumbuhan dan perkembangan megakariosit), berdiferensiasi

menjadi kelompok sel induk yang terikat (commited stem cell pool) untuk
membentuk megakarioblas. Sel ini, melalui serangkaian proses maturasi, menjadi
megakariosit raksasa. Tidak seperti unsure sel lainnya, megakariosit mengalami
endomitosis, terjadi pembelahan inti di dalam sel tetapi sel itu sendiri tidak
membelah. Sel dapat membesar karena sintesis DNA yang meningkat. Sitoplasma
sel akhirnya memisahkan diri menjadi trombosit-trombosit. (Sacher, 2004)
Trombosit berdiameter 1 sampai 4 m dan memiliki siklus hidup kira-kira 10
hari. Kira-kira sepertiga berada di dalam lien sebagai sumber cadangan, dan sisanya
berada dalam sirkulasi, berjumlah antara 150.000 dan 400.000/mm 3. Jika apusan
darah perifer menggunakan pewarnaan Wright, maka sel-sel ini terlihat biru muda
denga granula berwarna merah-ungu. Yang diabsorpsi oleh membrane trombosit
adalah faktor V, VIII, dan IX, protein kontraktil aktomiosin, atau trombostenin, dan
berbagai protein serta enzim lain. Granula mengandung serotonin vasokontriktor
yang kuat, faktor agregasi adenosin difosfat (ADP), fibrinogen, faktor von Willebrand,
faktor-faktor 3 dan 4 trombosit (faktor penetralisir-heparin), dan kalsium serta enzimenzim. Semua faktor ini dilepaskan dan diaktifkan akibat respons terhadap cedera.
(Sacher, 2004)
C. Sistem Pembekuan (Koagulasi)
Pembekuan darah (Koagulasi) adalah suatu proses kimiawi yang proteinprotein plasmanya berinteraksi untuk mengubah molekul protein plasma besar yang
larut, yaitu fibrinogen menjadi gel stabil yang tidak larut yang disebut fibrin. (Sacher,
2004)
Adapun faktor-faktor yang berperan dalam proses pembekuan darah, antara
lain:
Faktor-faktor pembekuan, kecuali faktor III (tromboplastin jaringan) dan faktor
IV (ion kalsium), merupakan protein plasma yang berada dalam sirkulasi darah
sebagai molekul inaktif. Tabel 1 menunjukkan faktor-faktor koagulasi dengan
menggunakan angka Romawi yang baku dan diterima secara internasional,
memberikan sinonimnya, dan meringkas fungsi-fungsinya. Prakalikrein dan
kininogen dengan berat-molekul-tinggi (HMWK), bersama faktor XII dan XI,
disebutfaktor-faktor kontak dan diaktivasi pada saat cedera dengan berkontak
dengan permukaan jaringan; faktor-faktor tersebut berperan dalam pemecahan
bekuan-bekuan pada saat terbentuk. (Price, 2006)
Aktivasi faktor-faktor koagulasi diyakini terjadi karena enzim-enzim
memecahkan fragmen bentuk precursor yang tidak aktif, oleh karena itu
disebut prokoagulan. Tiap faktor yang diaktivasi, kecuali faktor V, VIII, XIII, dan I
(fibrinogen), merupakan enzim pemecah-protein (protease serin), yang mengaktivasi
prokuagulasi berikutnya. (Price, 2006)

Tabel 1. Faktor-Faktor Pembekuan Darah (Price, 2006)

Hati merupakan tempat sintesis semua faktor koagulasi kecuali faktor VIII dan
mungkin faktor XI dan XIII. Vitamin K penting untuk sintesis faktor-faktor protrombim
II, VII, IX, dan X. Bukti-bukti yang ada memberi kesan bahwa faktor VIII benar-benar
merupakan molekul kompleks yang terdiri atas tiga subunit yang berbeda: (1) bagian
prokoagulan, yang mengandung faktor antihemofilia, VIII AHG, yang tidak dijumpai
pada pasien-pasien hemophilia klasik; (2) subunit lain yang mengandung tempat
antigenik; dan (3) faktor von Willebrand, VIII VWF, yang diperlukan untuk adhesi
trombosit pada dinding pembuluh darah. (Price, 2006)
Fase-Fase Koagulasi
Koagulasi diawali dalam keadaan homeostasis dengan adanya
cedera vaskular. Vasokontriksi merupakan respons segera terhadap
cedera, yang diikuti dengan adhesi trombosit pada kolagen pada dinding
pembuluh yang terpajan dengan cedera. ADP dilepas oleh trombosit,
menyebabkan agregasi trombosit. Sejumlah kecil trombin juga
merangsang agregasi trombosit, dari membran trombosit, juga
mempercepat pembekuan plasma. Dengan cara ini, terbentuklah
sumbatan trombosit, kemudian segera diperkuat oleh protein filamentosa
yang dikenal sebagai fibrin. (Price, 2006)
Produksi fibrin dimulai dengan perubahan faktor X menjadi Xa, seiring dengan
terbentuknya bentuk aktif suatu faktor. Faktor X dapat diaktivasi melalui dua
rangkaian reaksi. Rangkaian pertama memerlukan faktor jaringan, atau
tromboplastin jaringan, yang dilepaskan oleh endotel pembuluh darah pada saat
cedera. Karena faktor jaringan tidak terdapat di dalam darah, maka faktor ini
merupakan faktor ekstrinsik koagulasi, dengan demikian disebut jalur
ekstrinsik untuk rangkaian ini. (Price, 2006)
Rangkaian lainnya yang menyebabkan aktivasi faktor X adalahjalur
intrinsik, disebut demikian karena rangkaian ini menggunakan faktor-faktor yang
terdapat di dalam sistem vaskular plasma. Dalam rangkaian ini, terjadi reaksi
kaskade, aktivasi satu prokoagulan menyebabkan aktivasi bentuk pengganti. Jalur
intrinsik diawali dengan plasma yang keluar terpajan dengan kulit atau kolagen di
dalam pembuluh darah yang rusak. Faktor jaringan tidak diperlukan, tetapi trombosit
yang melekat pada kolagen, sekali lagi berperan. Faktor-faktor XII, XI, dan IX harus
diaktivasi secara berurutan, dan faktor VIII harus dilibatkan sebelum faktor X dapat
diaktivasi. Zat-zat prakalikrein dan HMWK juga turut berpartisipasi, dan diperlukan
ion kalsium. (Price, 2006)
Dari hal ini, koagulasi terjadi di sepanjang apa yang dinamakanjalur
bersama. Seperti yang diperlihatkan oleh gambar, aktivasi faktor X terjadi sebagai
akibat reaksi jalur ekstrinsik dan intrinsik. Pengalaman klinis menunjukkan bahwa
kedua jalur tersebut berperan dalam hemostasis. (Price, 2006)
Langkah berikutnya pada pembentukan fibrin berlangsung jika faktor Xa,
dibantu oleh fosfolipid dari trombosit yang diaktivasi, memecah protombin,
membentuk thrombin. Selanjutnya trombin memecahkan fibrinogen membentuk
fibrin. Sejumlah kecil trombin tampaknya dicadangkan untuk memperkuat agregasi

trombosit. Fibrin ini, awalnya merupakan jeli yang dapat larut, distabilkan oleh faktor
XIIIa dan mengalami polimerasi menjadi jalinan fibrin yang kuat, trombosit, dan
memerangkap sel-sel darah. Untaian fibrin kemudian memendek (retraksi bekuan),
mendekatkan tepi-tepi dinding pembuluh darah yang cedera dan menutup daerah
tersebut. (Price, 2006)

Gambar 1. Fase Koagulasi (Price, 2006)


Faktor penghambat koagulasi
Faktor penghambat koagulasi ini menghambat kaskade koagulasi dan memastikan
bahwa kerja trombin terbatas di tempat cedera:
Antitrombin menginaktivasi protease serin, terutama faktor Xa dan
trombin. Heparin mengaktivasi antitrombin.
Makroglobulin 2, antiplasmin 2, antitripsin 2, dan kofaktor II heparin juga
menghambat protease serin dalam sirkulasi.
Protein C dan S adalah protein tergantung vitamin k yang dibuat dalam
hati. Protein C diaktivasi melalui kompleks trombintrombomodulin dan ,
seperti protein protein S, menghambat koagulasi dengan menginaktivasi
faktor Va dan VIIIa, protein Cjuga meningkatkan fibrinolisis dengan
menginaktivasi inhibitor aktivator plasmogen jaringan.
Inhibitor jalur faktor jaringan menghambat jalur koagulasi in vivoutama
dengan menghambat faktor VIIa dan Xa.

D. Sistem Fibrinolitik

Sistem fibrinolitik merupakan rangkaian yang fibrinnya dipecahkan oleh


plasmin (disebut juga fibrinolisin) menjadi produk-produk degradasi fibrin,
menyebabkan hancurnya bekuan. Diperlukan beberapa interaksi untuk mengubah
protein plasma spesifik inaktif di dalam sirkulasi menjadi enzim fibrinolitik plasmin
aktif. Protein dalam bersirkulasi, yang dikenal sebagai proaktivator plasminogen,
dengan adanya (enzim-enzim) kinase seperti streptokinase, stafilokinase, kinase
jaringan jaringan, serta faktor XIIa, dikatalisasi menjadi activator plasminogen.
Dengan adanya enzim-enzim tambahan seperti urokinase, maka aktivator-aktivator
mengubah plasminogen, suatu protein plasma yang sudah bergabung dalam bekuan
fibrin, menjadi plasmin. Kemudian plasmin memecahkan fibrin dan fibrinogen
menjadi fragmen-fragmen (produk degradasi fibrin-fibrinogen), yang mengganggu
aktivitas trombin, fungsi trombosit, dan polimerisasi fibrin, menyebabkan hancurnya
bekuan. Makrofag dan neutrofil juga berperan dalam fibrinolisis melalui aktivitas
fagositiknya. (Price, 2006)
Gambar 2. Sistem Fibrinolitik (Price, 2006)

II.2.

Pendekatan diagnosisi klinik kelainan hemostasis


Dalam keadaan normal daraha berada dalam pembuluh darah dan berbentuk
cair. Keadaan ini dapat dipertahankan bila hemostasis dalam batas normal. Tapi
perlu diketahui hemostasis yang adekuat adalah relatif, karena meskipun pembuluh
darah, trombosit dan faktor pembekuan dalam keadaan normal dapat terjadi
perdarahan, akibat proses patologis setempat. Semua perdarahan spontan
merupakan suatu keadaan patologis, kecuali perdarahan yang terjadi selama
menstruasi. (Rahajuningsih, 2009)
Perdarahan yang terjadi akibat kerusakan pembuluh darah dan trombosit
disebut kelainan hemostasis primer, sedang bila gangguan pada faktor koagulasi
disebut kelainan hemostasis sekunder. Gejala klinik yang terlihat pada umumnya
berbeda akibat kelainan hemostasis primer dan sekunder. Untuk menentukan letak
kelainan hemostasis ini diperlukan anamnesis yang baik dan teliti, pemeriksaan dan
evaluasi manifestasi klinik perdarahan yang cermat serta pemeriksaan laboratorium
yang tepat. (Rahajuningsih, 2009)
Anamnesis yang baik sering dapat memberi petunjuk yang berharga
dalam menentukan sebab perdarahan. Perdarahan yang terjadi sejak anak-anak
akan mengingatkan kemungkinan karena bawaan seperti hemofilia. Riwayat
perdarahan yang tidak normal pada keluarga sering menyokong kearah kelainan
hemostasis kongenital. Bahkan keterangan terperinci apakah ada masalah
perdarahan pada waktu ada luka atau operasi pada masa lalu perlu ditanyakan.
(Rahajuningsih, 2009)
Orangtua penderita juga perlu ditanyakan apakah waktu tali pusat dipotong
terjadi perdarahan yang menimbulkan permasalahan. Bila ini terjadi maka
kemungkinan faktor XII, afibrinogenemia atau defisiensi faktor VII perlu dipikirkan.
Pada penderita penyakit jantung atau yang pernah trombosis perlu ditanyakan
apakah mendapat obat antikoagulan. Selain untuk menentukan kelainan hemostasis

bawaan atau tidak juga dapat memberikan petunjuk kelainan hemostasis primer atau
sekunder. (Rahajuningsih, 2009)
Gejala dan evaluasi klinis
Manifestasi kelainan hemostasis bisa berupa perdarahan ke dalam kulit atau
jaringan dan juga dapat dengan gejala darah keluar dari tubuh. Perdarahan ke
dalam kulit atau jaringan, dapat terliaht sebagai ptekia, ekimosis, purpura,
hematoma dan hemartrosis. Sedang perdarahan yang disertai keluarnya darah dari
tubuh bisa berupa epistaksi, perdarahan gusi, hemoptisi, hematemesis, melena,
hematuria, metroragia. (Rahajuningsih, 2009)
Ada kalanya kelainan hemostasis primer maupun sekunder tidak
memperlihatkan gejala klinis perdarahan, sehingga sering seorang penderita baru
diketahui mengidap kelainan hemostasis setelah tubuh komplikasi perdarahan akibat
trauma atau suatu tindakan atau setelah suatu pemeriksaan penyaring hemostasis.
Pada umumnya gejala klinik, perdarahan erat hubungannya dengan jenis dan
derajat kelainan uji biologik hemostasis. Misalnya ptekie terjadi karena kelainan
trombosit atau pembuluh darah, sedang hematoma terjadi karena faktor koagualasi.
(Rahajuningsih, 2009)
Evaluasi klinik perdarahan sangat penting dan jangan terlalu perdarahan
tapi sebaliknya jangan terlalu dilebihkan, bila evaluasi dilakukan dengan sangat teliti
sering dapat mendapat memberi petunjuk yang berharga dalam menentukan
kelainan terletak pada trombosit. Pembuluh darah atau faktor pembekuan. Pada
ekstaksi gigi pada bisa terjadi perdarahan berhenti sempurna tapi seteleh beberapa
waktu timbul perdarahan kembali, ini disebut perdarahan yang terlambat (delayed
bleeding). Hal ini dapat diterangkan pada permulaan gumpalan trombosit dapat
menghentikan perdarahan tetapi karena koagulasi tidak efektif perdarahan timbul
kembali. Sebaliknya pada trombositiopenia, bila terjadi trauma atau operasi maka
perdarahan akan terjadi segera. (Rahajuningsih, 2009)
Bila pada pemeriksaan fisik ditemukan lesi yang karaktersistik pada kulit hal ini
akan dapat menerangkan masalah perdarahan sebelumnya, misalnya perdarahan
telangeiktasi herediter. Dan bila anamnesa, pemeriksaan fisik dan evaluasi klini
dilakukan dengan cermat maka seharusnya sudah dapat memberikan laboratorium
hanya menjadi tambahan dan ini menguntungkan dari segi waktu dan biaya. Seperti
sudah dikatakan terlebih dahulu gejala klinik perdarahan ini sering dapat
membedakan apakah kelainan hemostasis primer atau sekunder. Petekia misalnya
adalah perdarahan spontan ke dalam kulit, merupakan ciri khas kelainan trombosit
atau pembuluh darah, dan tidak ditemukan pada kelainan faktor koagulasi. Petekia
berwarna merah dengan ukuran seberar jarum pentul. Permukaannya datar dan
tidak hilang kalau ditekan. Pada scurvy atau defisiensi vitamin C petekia dapat
tersebar di sekitar folikel rambut pada daerah paha, bokong dan tempat duduk.
Beberapa petekie dapat bergabung dan mermbentuk perdarahan dengan ukuran
yang lebih besar yang disebut purpura. Biasanya purpura disertai ekimosis yaitu
perdarahan kedalam jaringan superfisial dan jarang menyebar ke njaringan yang
lebih dalam. Bila ekimosis besar, soliter dan menyebar sampai jaringan yang lebih
dalam sehingga bengkak seperti tumor disebut hematoma. Biasanya bukan karena

kelainan hemostrasis primer tetapi karena kelainan hem ostasis sekunder.


Perdarahan pada sendi atau ruang sinovium disebut hemartrosis, biasanya
disebabkan kelainan faktor koagulasi herediter yang berat. Hemartrosis sendi lutu
khas pada hemofilia sering dikacaukan dengan embengkakan sendi lutut karena
demam rematik. (Rahajuningsih, 2009)
Epistaksis juga bisa terjadi oleh karena sejumlah penyaki perdarahan terutama
bisa disertai trombositopenia, perdaahan telangietasi herediter, penyakit von
Wilerand. Pada penyakit von Willbrand bukan tidak jarang didapat riwayat epitaksis
yang berat, berulang pada anak-anak dan menjadi lebih baik pada masa puberits.
Epistaksis bisa timbul kembali sesudah menopause. Epistaksis juga bisa terjadi
pada orang normal terutama pada anak-anak pada musim dingin bila udara kering.
Bila perdarahan hanya pada satu sisi maka kelainan lokal harus dicurigai.
(Rahajuningsih, 2009)
Perdarahan gusi biasanya terlihat ada trombositopenia, uremia, deisiensi vit C
dan disproteinemia. Hematuria bisa terjadi pada trombositopenia, hemofilia dan
pemakaian obat antiokoagulan oral. Apapun kelainan hemostasis yang didapat pada
pasien dengan hematuria harus selalu dicari kemungkinan suatu lesi yang
mendasari seperti neoplasma, batu dalam saliran kemih, atau tuberkulosis ginjal.
Pada pasien dengqan hemofilia bisa terjadi episode hematuria yang berulang tapi
tidak perlu untuk mengul;angi kembali pemeriksaan hemostasis. (Rahajuningsih,
2009)
Hematemesis atau melena biasaanya karena pada saluran cerna bisa karena
kelainan lokal atau karena trombositopenia, perdarahan telangiektasi herediter, obat
antikoagulan, pseudoxanthoma elasticum, penyakit von Willbrand dan uremia. Hal
yang bertentangan yaitu pada trombositopenia esensial, sering terjadi perdarahan
pada saluran cerna sehingga dalam situasi seperti ini sulit menduga kelainan
hemostasis karena trombosis meningkat. Hal yang dapat menolong yaitu bila disertai
dengan spleenomegali ini merupakan petunjuk karena sering ditemukan pada
trombositemia esensial. Harus diingat penderita dengan perdarahan saluran cerna
perlu dicari kelainan lokal misalnya dengan endoskopi. (Rahajuningsih, 2009)
Metroragia bisa merupakan gejala trombositopenia, penyakit von Willbrand atau
defisiensi faktor koagulasi. Perdarahan yang lebih dari 80 ml per hari pada masa
menstruasi dianggap tidak normal. Darah yang keluar dapat diohitung dari beapa
kali harus gantu pembalut satu hari. Satu pembalut bviasanya dapat menyeratp 50
mL atau lebih darah. (Rahajuningsih, 2009)
Evaluasi klinik ini selain penting untuk menetukan asal dan luasnya perdarahan
juga dapat mengantisipasi perdarahan yang dihadapi, karena pada beberpa pada
kondisi tertentu juga disertai kelainan hemostasis tertentu pula. Misalnya pada
penyakit hati kelainan hemostasis kompleks karena merupakan kombinasi dari
\berbagai gangguan seperti sintsis faktror koagulasi berkurang, trombositopenia,
difibrinogenemia, DIC, dan fibrinolisis. (Rahajuningsih, 2009)
Pada penderita gagal ginjal fungisi trombosit terganggu (trombopati) sedang
penderita dengan sistemik lupus eritematosis sering disertai dengancirculating
antikoagulant. Perdarahan pada kematian janin dalam kandungan umumnya

karena DIC, sedang perdarahan pada tumor atau operasi prostat, biasanya karena
fibrinolisi primer. Pasien dengan obstruksi biliaris atau yang mendapat
antibiotik broad
sprectrum biasanya
mengalami
defisiensi
vitamin
K.
(Rahajuningsih, 2009)
Pemeriksaan laboratorium seharusanya akan menyokong kesimpulan yang
didasarkan atas anamnesis, pemeriksaan fisik, dan evaluasi klinik. Sehingga
pemeriksaan hemostasis yang akan dilakukan didasarkan atas kesimpulan klinik.
Seperti telah disinggung sebelumnya manifestasi klinik erat hubungannya dengan
kelainan hemostasis. (Rahajuningsih, 2009)
Pemeriksaan hemostasis ini dibagi 2 golongan yaitu pemeriksaan penyaring dan
pemeriksaan khusus. Pilihan tergantung dari tujuan pemeriksaan hemostasis yang
diinginkan sesuai dengan kondisi dan tindakan yang akan deilakukan pada pasien.
Pemeriksaan penyaring biasanya dilakukan pada pasien yang akan menjalani
operasi, sedang bila sudah ada perdarahan maka permintaan pemeriksaan
hemostasis didasarkan atas diagnosa klinis. (Rahajuningsih, 2009)
Tabel 3.Hubungan gejala klinik dengan kelainnan hemostasis (Rahajuningsih, 2009)
Gejala klinik

Hemostasis
primer
pembuluh darah/trombosit
Petekia
Ciri khas
Hematoma
Jarang
Ekimosis superfisial
Ciri khas, kecil dan banyak
Hemartrosis
Jarang
Perdarahan terlambat
Jarang
Perdarahan
luka Persisten, sering profus
superfisial atau garukan

II.3.

Hemostasis
sekunder
faktor koagulasi
Ciri khas
Biasanya besar dan soliter
Ciri khas
Umumnya ada
Sedikit

Pemeriksaan Penyaringan Pada Kelainan Hemostasis


Pemeriksaan hemostasis pemeriksaan penyaringan terdiri dari:
1. Percobaan pembendungan (Rumpel Leede)
Percobaan ini bermaksud menguji ketahanan dinding kapiler darah dengan
cara mengenakan pembendungan kepala vena, sehinnga tekanan darah didalam
kapiler meningkat. Dinding kapiler yang kurang kuat akan menyebabkan darah
keluar dan merembes ke dalam jaringan sekitarnya sehingga tampak titik merah
kecil pada permukaan kulit, titik itu disebut petekia. (Rahajuningsih, 2009)
Untuk melakukan percobaan ini mula-mula dilakukan pembendungan pada
lengan atas dengan memasang tensimeter pada pertengahan antara tekanan sistolik
dan tekanan diastolik. Tekanan itu dipertahankan selam 10 menit. Jika percobaan ini
dilakukan sebagai lanjutan masa perdarahan, cukup dipertahankan selama 5 menit.
Setelah waktunya tercapai bendungan dilepaskan dan ditunggu sampai tanda-tanda
stasis darah lenyap. Kemudian diperiksa adanya petekia di kulit lengan bawah
bagian voler, pada daerah dengan garis tengah 5 cm kira-kira 4 cm dari lipat siku.
(Rahajuningsih, 2009)

Pada orang normal, tidak atau sedikit sekali didapatkan petekia. Hasil positif
bila terdapat lebih dari 10 petekia. Seandainya di daerah tersebut tidak ada petekia
tetapi jauh di distal ada, hasil percobaan ini positif juga. Jika pada waktu dilakukan
pemeriksaan masa perdarahan sudah terjadi petekia, berarti percobaan
pembendungan sudah positif hasilnya dan tidak perlu dilakukan tersendiri. Pada
penderita yang telah mempunyai purpura secara spontan, percobaan ini juga tidak
perlu dilakukan. Walaupun percobaan pembendungan ini dimaksudkan untuk
mengukur ketahanan kapiler, hasil tes ini ikut dipengaruhi juga oleh jumlah dan
fungsi trombosit. Trombositopenia sendiri dapat menyebabkan percobaan ini
berhasil positif. (Rahajuningsih, 2009)
2.
Masa perdarahan
Pemeriksaan ini bertujuan untuk menilai kemampuan vaskular dan trombosit
untuk menghentikan pendarahan. Prinsip pemeriksaan ini adalah menentukan
lamanya perdarahan pada luka yang mengenai kapiler. Terdapat 2 macam cara yaitu
cara Ivy dan Duke. (Rahajuningsih, 2009)
Pada cara Ivy, mula-mula dipasang tensimeter denga tekanan 40 mmHg pada
lengan atas. Setelah dilakukan tindakan antisepsis dengan kapas alkohol , kulit
lengan bawah bagian voler diregangkan lalu dilakukan tususkan dengan lanset
sedalam 3 mm. Stopwatch dijalankan waktu drah keluar. Setiap 30 detik darah
dihisap dengan kertas saring. Setelah darah tidak keluar lagi, stopwatch dihentikan.
Nilai normal berkisar antara 1-6 menit. (Rahajuningsih, 2009)
Pada cara Duke, mula-mula dilakukan tindakan antisepsis pada anak daun
telinga. Dengan lanset, dilakukan tusukan pada tepi anak daun telinga. Stopwatch
dijalankan waktu darah keluar. Setiap 30 detik, darah dihisap dengan kertas saring.
Setelah darah tidak keluar lagi, stopwatch dihentikan. Nilai normal berkisar antara 13 menit. Cara Duke sebaiknya hanya dipakai untuk bayi dan anak kecil dimana
sukar atau tidak mungkin dilakukan pembendungan. (Rahajuningsih, 2009)
Pemeriksaan masa perdarahan merupakan suatu tes yangkuarng
memuaskan karena tidak dapat dilakukan standardisasi tusukan baik mengenai
dalamnya, panjangnya, lokalisasinya maupun arahnya sehingga korelasi antara
tesini dan keadaan klinik tidak begitu baik. Perbedaan suhu kulit juga dapat
mempengaruhi hasil tes ini. Pada pemerikssan ini tusukan harus cukup dalam,
sehingga salah satu bercak darah pada kertas saring mempunyai diameter 5
mmatau lebih. Masa perdarahan yang kurang dari 1 menit juga disebabkan tusukan
yang kurang dalam. Dalam hal seperti ini, percobaan dianggap batl dan perlu di
ulang. (Rahajuningsih, 2009)
Hasil pemeriksaan menurut cara Ivy lebih dapat dipercaya dari pada cara
Duke, karena pada cara Duke tidak diadakan pembendungan sehingga mekanisme
hemostasis kurang dapat dinilai. Apabila pada cara Ivy perdarah berlangsung lebih
dari 10 menit dan hal ini diduga karena tertusuknya vena, perlu dilakukan
pemeriksaan ulang pada lengan yang lain. Kalau hasilnya tetap lebih dari 10 menit,
hal ini membuktikan adanya suatu kelainan dalam mekanisme hemostasis. Tindakan
selanjutnya adalah mencari letak kelainan hemostasis dengan mengerjakan
pemeriksaan pemeriksaan lain. (Rahajuningsih, 2009)

3.

Hitung trombosit
Hitung trombosit dapat dilakukan dengan cara langsung dan tidak langsung.
Cara langsung dapat dilakukan dengan cara manual, semi otomatik dan otomatik.
Pada cara manual, mula-mula darah diencerkan dengan larutan pengencer lalu
diisikan ke dalam kamar hitung dan jumlah trombosit dihitung di bawah mikroskop.
Untuk larutan pengencer dapat dipakai larutan Rees Ecker atau larutan amonium
oksalat 1%. Cara manual mempunyai ketelitian dan ketetapan yang kurang baik,
karena trombosit kecil sekali sehingga sukar dibedakan dari kotoran kecil. Lagi pula
trombosit mudah pecah dan cenderung saling melekat membentuk gumpalan serta
mudah melekat pada permukaan asing. Oleh karena itu alat-alat yang dipakai harus
betul-betul bersih dan larutan pengencer harus disaring lebih dahulu. Sebagai bahan
pemeriksaan dipakai darah dengan antikoagulan sodium ethylendiamineyang
masih dalam batas waktu yang diijinkan artinya tidak lebih dari 3 jam setelah
pengambilan darah. (Rahajuningsih, 2009)
Pada cara tidak langsung, jumlah trombosit pada sediaan hapus
dibandingkan dengan jumlah eritrosit kemudian jumlah mutlaknya dapat
diperhitungkan dari jumlah mutlak eritrosit. Karena sukarnya dihitung, penilaian semi
kuantitatif tentang jumlah trombosit dalam sediaan hapus darah sangat besar artinya
sebagai pemeriksaan penyaring. Pada sediaan hapus darah tepi, selain dapat
dilakukan penilaian semi kuantitatif, juga dapat diperiksa morfologi trombosit serta
kelainan hematologi lain. Bila sediaan hapus dibuat langsung dari darah tanpa
antikoagulan, maka trombosit cenderung membentuk gumpalan. Jika tidak
membentuk gumpalan berarti terdapat gangguan fungsi trombosit. (Rahajuningsih,
2009)
Dalam keadaan normal jumlah trombosit sangat dipengaruhi oleh cara
menghitungnya dan berkisar antara 150.000 400.000 per l darah. Pada
umumnya, jika morfologi dan fungsi trombosit normal, perdarahan tidak terjadi jika
jumlah trombosit lebih dari 100.000/l. Jika fungsi trombosit normal, pasien dengan
jumlah trombosit di atas 50.000/l tidak mengalami perdarahan kecuali terjadi
trauma atau operasi. Jumlah trombosit kurang dari 50.000/l digolongkan
trombositpenia berat dan perdarahan spontan akan terjadi jika jumlah trombosit
kurang dari 20.000/l. (Rahajuningsih, 2009)
Masa Protrombin Plasma (prothrombin time PT)
Pemeriksaan ini digunakan untuk menguji pembekuan darah melalui jalur
ekstrinsik dan jalur bersama faktor pembekuan VII, X, V, protrombin dan fibrinogen.
Selain itu juga dapat dipakai untuk memantau efek antikoagulan oral karena
golongan obat tertentu menghambat pembentukan faktor pembekuan protrombin,
VII, IX, dan X. (Rahajuningsih, 2009)
Prinsip pemeriksaan ini dalah mengukur lamanya terbentuk bekuan bila ke
dalam plasma yang diinkubasi pada suhu 37C, ditambahkan reagens tromboplastin
jaringan dan ion kalsium. Hasil pemeriksaan ini dipengaruhi oleh kepekaan
tromboplastin yang dipakai dan oleh teknik pemeriksaan. Karena itu pemeriksaan ini
selalu harus dilakukan duplo dan disertai kontrol dengan plasma normal.
(Rahajuningsih, 2009)

Nilai normal tergantung dari reagens, cara pemeriksaan dan alat yang
digunakan. Sebaiknya tiap laboratorium mempunyai nilai normal yang ditetapkan
sendiri dan berlaku untuk laboratorium tersebut. Jika hasil PT memanjang maka
penyebabnya mungkin kekurangan faktor-faktor pembekuan di jalur ekstrinsik dan
bersama atau adanya inhibitor. Untuk membedakan hal ini, pemeriksaan diulang
sekali lagi dengan menggunakan campuran plasma penderita dan plasma kontrol
dengan perbandingan 1 : 1. Bila ada inhibitor, masa protrombin plasma tetap
memanjang. (Rahajuningsih, 2009)
Selain dilaporkan dalam detik, hasil PT juga dapat dilaporkan dalam rasio,
aktivitas protrombin dan indeks. Rasio yaitu perbandingan antara PT penderita
dengan PT kontrol. Aktivitas protrombin dapat ditentukan dengan menggunakan
kurva standard dan dinyatakan dalam %. Indeks yaitu perbandingan antara PT
kontrol dengan PT penderita dan dinyatakan dalam %. (Rahajuningsih, 2009)
Pemeriksaan PT juga sering dipakai untuk memantau efek pemberian
antikoagulan ora. Perbedaan kepekaan reagens tromboplastin yang dipakai dan
perbedaan cara pelaporan menimbulkan kesulitan bila pemantauan dikerjakan di
laboratorium yang berbeda-beda. Untuk mengatasi masalah tersebut ICTH
(International Committee on Thrombosis and Haemostasis) dan ICSH
(International
Committee
for
Standardization
in
Haematology)
menganjurkan agar tromboplastin jaringan yang akan digunakan harus dikalibrasi
terlebih dahulu terhadap tromboplastin rujukan untuk mendapatkan ISI
(International Sensitivity Ratio). Juga dianjurkan agar hasil pemeriksaan PT
dilaporkan secara seragam dengan menggunakan INR (International Normalized
Ratio), yaitu rasio yang dipangkatkan dengan ISI dari reagens tromboplastin yang
digunakan. (Rahajuningsih, 2009)
Masa Tromboplastin Parsial Teraktivasi (activated parsial thromboplastin time
APTT)
Pemeriksaan ini digunakan untuk menguji pembekuan darah melalui jalur
intrinsik dan jalur bersama yaitu faktor pembekuan XII, prekalikren, kininogen, XI, IX,
VIII, V, protrombin dan fibrinogen. Prinsip pemeriksaan ini adalah menguur lamanya
terbentuk bekuan bila ke dalam plasma ditambahkan reagens tromboplastin parsial
dan aktivator serta ion kalsium pada suhu 37C. Reagens tromboplastin parsial
adalah fosfolipid sebagai pengganti Platelet factor 3. (Rahajuningsih, 2009)
Nilai normal tergantung dari reagens, cara pemeriksaan dan alat yang
dipakai. Juga dianjurkan agar tiap laboratorium menentukan nilai normalnya sendiri.
Hasilnya memanjang bila terdapat kekurangan faktor pemberkuan di jalur intrinsik
dan bersama atau bila terdapat inhibitor. Sama seperti PT, untuk membedakan hal
ini dilakukan pemeriksaan ulang terhadap campuran plasma penderita dan plasma
kontrol dengan perbandingan 1 : 1. Bila hasilnya tetap memanjang, berarti ada
inhibitor. Pada hemofilia A maupun hemofilia B, APTT akan memanjang, tetapi
pemeriksaan ini tidak dapat membedakan kedua kelainan tersebut. Pemeriksaan ini
juga dipakai untuk memantau pemberian heparin. Dosis heparin diatur sampai APTT
mencapai 1,5 2,5 kali nilai kontrol. (Rahajuningsih, 2009)
Masa Trombin (thrombin time TT)

1.

2.

3.

4.

Pemeriksaan ini digunakan untuk menguji perubahan fibrinogen menjadi


fibrin. Prinsip pemeriksaan ini adalah mengukur lamanya terbentuk bekuan pada
suhu 37C bila ke dalam plasma ditambahkan reagens trombin. (Rahajuningsih,
2009)
Nilai normal tergantung dari kadar trombin yang dipakai. Hasil TT dipengaruhi
oleh kadar dan fungsi fibrinogen serta ada tidaknya inhibitor. Hasilnya memanjang
bila kadar fibrinogen kurang dari 100 mg/dl atau fungsi fibrinogen abnormal atau bila
terdapat inhibitor trombin seperti heparin atau FDP (Fibrinogen degradation
product). (Rahajuningsih, 2009)
Bila TT memanjang, pemeriksaan diulangi sekali lagi dengan menggunakan
campuran plasma penderita dan plasma kontrol dengan perbandingan 1 : 1 untuk
mengetahui ada tidaknya inhibitor. (Rahajuningsih, 2009)
Untuk membedakan apakah TT yang memanjang karena adanya heparin,
fibrinogen abnormal atau FDP, dilakukan pemeriksaan masa reptilase. Reptilase
berasal dari bisa ular Ancistrodon Rhodostoma.Apabila TT yang memanjang
disebabkan oleh heparin maka asa reptilase akan memberikan hasil normal,
sedangkan fibrinogen abnormal atau FDP akan menyebabkan masa reptilase
memanjang. (Rahajuningsih, 2009)
Pemeriksaan Penyaring Untuk Faktor XIII
Pemeriksaan ini dimasukkan dalam pemeriksaan penyaring, karena baik PT,
APTT, maupun TT tidak menguji faktor XIII, sehingga adanya defisiensi F XIII tidak
dapat dideteksi dengan PT, APTT, maupun TT. Pemeriksaan ini digunakan untuk
menilai kemampuan faktor XIII dalam menstabilkan fibrin. (Rahajuningsih, 2009)
Prinsipnya F XIIIa mengubah fibrin soluble menjadi fibrin stabil karena
terbentuknya ikatan cross link. Bila tidak ada F XIII, ikatan dalam molekul fibrin
akan dihancurkan oleh urea 5 M atau monokhlorasetat 1 %. Cara pemeriksaannya
adalah dengan memasukkan bekuan fibrin ke dalama larutan urea 5M atau asam
monokhloroasetat 1%. Kemudian setelah 24 jam stabilitas bekuan dinilai. Bila faktor
XIII cukup, setelah 24 jam bekuan fibrin tetap stabil dalam larutan urea 5M. Jika
terdapat defisiensi faktor XIII bekuan akan larut kembali dalam waktu 2 -3 jam.
(Rahajuningsih, 2009)
Hal-hal yang Perlu Diperhatikan Pada Pemeriksaan Hemostasis
Antikoagulan
Untuk pemeriksaan koagulasi antikoagulan yang dipakai adalah natrium sitrat 0,109
M dengan perbandingan 9 bagian darah dan 1 bagian natrium sitrat. Untuk trombosit
antikoagulan yang dipakai adalah Na2EDTA. Jika dipakai darah kapiler, maka tetes
darah pertama harus dibuang. (Rahajuningsih, 2009)
Penampung
Untuk mencegah terjadinya aktivasi faktor pembekuan, dianjurkan memakai
penampung dari plastik atau gelas yang telah dilapisi silikon. (Rahajuningsih, 2009)
Semprit atau Jarum
Dianjurkan memakai semprit plastik dan jarum yang cukup besar, paling kecil nomor
20. (Rahajuningsih, 2009)
Cara Pengambilan Darah

Pada waktu pengambolan darah, harus dihindarkan masuknya tromboplastin


jaringan. Yang dianjurkan adalah pengambilan darah dengan memakai 2 semprit.
Setelah darah dihisap dengan semprit pertama, tanpa mencabut jarum, semprit
pertama dilepas lalu dipasang semprit kedua. Darah semprit pertama tidak dipakai
untuk pemeriksaan koagulasi, sebab dikhawatirkan sudah tercemar oleh
tromboplastin jaringan. (Rahajuningsih, 2009)

Tabel 3. Pemeriksaan Laboratorium Sementara Untuk Membedakan Penyebab


Perdarahan (FKUI, 2005)
Gangguan
Vaskulus
Trombosit
Pembekuan

Masa
Perdarahan
Normal
Memanjang
Normal

Masa
Pembekuan
Normal
Normal
Memanjang

Rumpel
Leede
Positif
Positif
Negativ

Retraksi
Bekuan
Normal
Abnormal
Normal

II.4.

Gangguan Perdarahan (Diatesis Hemoragik)


Ganguan ini secara klinis ditandai dengan perdarahan abnormal, yang mungkin
spontan atau terjadi setelah suatu kejadian pemicu (missal, trauma atau
pembedahan). Perdarahan abnormal dapat disebabkan oleh (1) kelainan di dinding
pembuluh darah, (2) defisiensi atau disfungsi trombosit, atau (3) gangguan faktor
pembekuan. Seperti akan tampak pathogenesis bagian penyakit
yang
menyebabkan peningkatan perdarahan ini melibatkan pengaktifan sistemik dan
konsumsi trombosit dan/atau faktor pembekuan. Pada koagulopati konsumtif ini,
perdarahan abnormal mungkin disertai kelainan pembekuan darah. Berbagai tes
yang digunakan dalam evaluasi awal pasien dengan gangguan perdarahan adalah
sebagai berikut : (Aster jon, 2007)
1.
Waktu perdarahan (bleeding time). Ini mencerminkan waktu yang
diperlukan pada pungsi kulit (yang telah di standarisasi) untuk
menghenikan perdarahan. Prosedur ini, diukur dalam menit, merupakan
perkiraan in vivo respon trombosit terhadap cedera vascular terbatas.
Rentang acuan bergantung pada metode yang digunakan dan bervariasi
dari 2 sampai 9 menit. Uji ini abnormal bila terdapat defek pada jumlah
atau fungsi trombosit.
2.
Hitung trombosit. Ini diperoleh dengan memeriksa darah yang telah
diberi antikoagulan menggunakan penghitung partikel electron. Rentang
acuan adalah 150 sampai 450x
/mm3. Jumlah diluar kisaran ini harus
diknfirmasi dengan persepsi visual apusan darah tepi.
3.
Waktu protrombin (protrombin time, PT). prosedur ini, yang diukur dalam
detik, menguji keadekuatan ekstrinsik dan umum. Uji ini mencerminkan

waktu yang dibutuhkan oleh plasma untuk membeku apabila diberi


tromboplastin jaringan (misal, ekstrak otak) dan ion Ca ++dari luar. PT yang
memanjang terjadi pada defisiensi faktor V, VII, atau X; protrombin; atau
fibrinogen.
4.
Waktu tromboplastin parsial (partial tromboplastin time, PTT). Uji ini
dirancang untuk menilai integritas jalur pembekuan intrinsic dan umum.
Pada uji ini, waktu (dalam detik) yang dibutuhkan plasma untuk membeku
dengan keberadan kaolin, sefalin, dan kalsium diukur. Kaolin berfungsi
mengaktifkan faktor XII dependen-kontak, dan sefalin menggantikan
fosfolipid trombosit. Memanjangnya PTT dapat terjadi akibat defisiensi
faktor V, VIII, IX, X, XI, atau XI, atau protrombin atau fibrinogen atau
inhibitor didapat (biasanya suatu antibody) yang mengganggu jalur
intrinsic. (Aster jon, 2007)
Kelainan pembuluh darah dapat menyebabka perdarahan melalui beberapa
cara. Meningkatnya fragilitas pembuluh disebabkan oleh defisiensi vitamin C,
amiloidosis sistemik, pemakaian glukortikoid jangka-panjang, penyakit herediter
yang jarang mengenai jaringan ikat, dan sejumlah besar vaskulitis hipersensitivitas
dan infeksiosa. Yang infektif, penyakit riketsia, tifoid, dan purpura Henochshonlein.
Diatesis hemoragik yang murni disebabkan oleh fragilitas vaskulaer ditandai dengan
(1) ptekie dan ekimosis yang tampaknya muncul spontan di kulit dan selaput lendir
(mungkin akibat trauma ringan), (2) hitung trombosit dan uji koagulasi (PT, PTT)
yang normal, dan (3) waktu perdarahan yang biasanya normal. Selain itu, seperti
akan terlihatm koagulopati konsumtif kadang-kadang berakar pada penyakit sistemik
yang menyebabkan permukaan sel endotel memudahkan terjadinya trombosis.
(Aster jon, 2007)
Defisiensi trombosis (trombositopenia) merupakan penyebab penting
perdarahan. Defisiensi trombosit dapat terjadi pada berbagai kondisi klinis. Terdapat
gangguan dengan fungsi trombosit terganggu walaupun jumlahnya normal. Cacat
kualitatif tersebut mungkin didapat, seperti pada uremia, setelah ingestif aspirin, atau
diwarisi, seperti pada penyakit von Willebrand dan penyakit kongenital jarang
lainnya. Trombositopenia dan disfungsi trombosit serupa dengan peningkatan
fragilitas vaskular, yaitu terdapat ptekie dan ekimosis, serta mudah memar, mimisan,
perdarahan berlebihan akibat trauma ringan, dan menoragia. Demikian juga PT, dan
PTT normal, tetapi berbeda dengan gangguan vaskular, waktu perdarahan selalu
memanjang. (Aster jon, 2007)
Diatesis perdarahan yang semata-mata disebabkan oleh gangguan pembekuan
darah berbeda dalam beberapa aspek yang disebab oleh kelainan dinding di
pembuluh atau trombosit. PT, PTT, atau keduanya memanjang, sedangkan waktu
perdarahan normal. Ptekie dan tanda lain perdarahan akibat trauma ringan biasanya
tidak ditemukan. Namun, dapat terjadi perdarahan masif setelah prosedur operatif
atau gigi atau trauma berat. Selain itu, yang khas adalah perdarahan ke bagian
tubuh yang terkena trauma, seperti sendi ekstremitas bawah. Sekelompok gangguan
koagulasi kongenital masuk dalam kategori tersebut. (Aster jon, 2007)

Salah satu diatesis perdarahan yang paling kompleks, koagulasi intravaskular


diseminata (DIC), terjadi akibat terpakainya trombosit dan faktor pembekuan
sehingga memberikan gambaran klinis dan laboratorium trombositopenia dan
gangguan pembekuan darah. Penyakit von willedrand juga melibatkan gangguan
kedua modalitas tersebut. (Aster jon, 2007)

A. Kelainan Di Dinding Pembuluh Darah


Perdarahan abnormal yang tidak disebabkan oleh kelainan trombosit dan
kelainan mekanisme pembekuan darah digolongkan ke dalam perdarhan karena
gangguan vaskulus. (FKUI, 2005)
Faktor yang dapat menimbulkan kelemahan vaskulus umumnya dapat dibagi
menjadi:
1.
Faktor Kongenital
a. Telangiektasia hemoragik herediter (Osler-Weber-Rendu)
Gambaran yang tersering tampak ialah epistaksis. Dapat pula terjadi perdarahan
usus yang menahun dan kadang-kadang terjadi eksaserbasi mendadak. Perdarahan
ini biasanya diatasi dengan penekanan, es, atau obat topical dan bila perlu untuk
anemia yang menahun diberikan preparat besi atau transfuse darah pada keadaan
mendadak. (FKUI, 2005)

b.

2.
a.

b.

c.

Hiperelastika kutis (Ehler-Danlos)


Pada keadaan ini luka yang kecil sukar senbuh dan dapat terbuka kembali.
Perdarahan yang cukup hebat dapat terjadi karena suatu kecelakaan atau tindakan
operasi. Keadaan ini umumnya diatasi dengan operasi yang berhati-hati dan dalam
masa penyembuhan luka yang telah ditutup dijaga dengan baik. Transfuse diberikan
beli perlu. (FKUI, 2005)
Faktor Didapat
Skorbut
Merupakan penyakit akibat kekurangan vitamin C. pengobatannya ialah dengan
memberikan vitamin C 200 mg/hari selama 1 minggu kemudian dikurangi perlahanlahan sampai 1 bulan. (FKUI, 2005)
Panvaskulitis
Misalnya oleh karena sepsis seperti meningokoksemia, endokarditis bakterialis
subakuta atau dapat disebabkan penyakit autoimun. Pengobatan ditujukkan
terhadap penyakit primernya. (FKUI, 2005)
Purpura anafilaktoid (purpura Henoch-Schnlein)
Kelainan ini timbul atas dasar alergi (hipersensitifitas). Umumnya terjadi karena
alergi terhadap makanan (coklat, susu, telur, kacang-kacangan), obat (beladona,
atropin, fenasetin, salisilat, penisilin), gigitan serangga atau setelah suatu penyakit
infeksi (rubella, rubeola, dan lain-lain), kadang-kadang dapat terjadi setelah
pencacaran. Pengobatan dilakukan dengan pemberian kortikosteroid, antibiotik

(untuk infeksi) dan bila perlu hemostatika. Disamping itu menghindarkan diri dari
bahan penyebab allergen. (FKUI, 2005)
d. Lain-lain, misalnya uremia
Pengobatan ditujukkan pada penyakit primernya. (FKUI, 2005)
Perlu ditekankan dalam hal ini bahwa diagnosis kelainan/gangguan
pembuluh darah murni baru dapat ditegakkan bila telah dibuktikan bahwa
mekanisme pembekuan dan jumlah serta fungsi trombosit dalam keadaan baik.
(FKUI, 2005)
B. Defisiensi atau Disfungsi Trombosit
1. Trombositopenia
a)
Purpura Trombositopenik Imun (Purpura Trombosit Idiopatik/ITP)
Etilogi dan Patogenesis
Purpura trombositopenik idiopatik merupakan gangguan yang lazim terjadi
pada masa anak-anak, dengan antibody terhadap glikoprotein trombosit yang lazim,
terkait pada membrane trombosit, sehingga menyebabkan sel dibuang melalui
reseptor Fc pada makrofag jaringan di limpa. Kadang-kadang hati juga merupakan
tempat pembuatan trombosit, terutama pada kasus berat dan setelah splenektomi.
ITP biasanya terjadi setelah penyakit virus yang umum pada masa kanak-kanak,
termasuk varicela, rubella, rubeola, dan infeksi saluran nafas. Konsentrasi IgM atau
IgG yang meningkat dapat dideteksi pada membrane trombosit dengan
menggunakan teknik imunofluoresen. Kadar imnuglobulin terkait trombosit yang
meningkat ringan sampai sedang tidak spesifik untuk suatu etiologi autoimundan
juga ditemukan pada setiap keadaan yang berkaitan dengan meningkatnya destruksi
trombosit. Terdapatnya peningkatan konsentrasi IgM atau IgG pengikat trombosit di
dalam serum lebih spesifik untuk ITP. ITP pada masa kanak-minggu dan 90 % kasus
pulih dalam 6 bulan. Meskipun demikian, trombositopenia bisa menetap selama
berbulan-bulan dan bertahun-tahun, sehingga membatasi aktivasi dan memperlama
risiko perdarahan. Sampai saat ini, golongan Ig (M atau G) atau glikoprotein
trombosit target (GPIIb, GPIIa, atau GPIb) Memprediksikan gangguan ini. Kelainan
imunologik ringan terutama hipoglobulinemia dan disgamaglobulinemia ditemukan
pada anggota keluarga pada 10% dari anak dengan ITP, sedangkan pada mayoritas
anak tidak ditemukan bukti adanya disfungsi imun. (Rudolph, 2007)
Manisfestasi klinis
ITP mengenai anak laki-laki dan perempuan dengan rata. Meskipun
gangguan ini dapat timbul pada 2 bulan setelah lahir dan sampai dewasa,
rata-rata usia timbulnya awitan adalah 6 tahun. Tampilan gangguan ini
biasanya akut, dengan perdarahan ke dalam kulit baik spontan atau
setelah trauma ringan. Lesi berkisar dari peteki pin-point sampai ekimosis
yang besar. Distribusi lesi dapat acak, tetapi sering meningkat pada titiktitik tekanan, seperti sekitar leher dan tenggorokan ketika batuk, pada
wajah ketika menangis, atau di bawah ikat pinggang elastik. Perdarahan
hidung dan perdarahan dari selaput lendir tidak jarang terjadi dan sering
mengakibatkan kehilangan darah yang berat. Perdarahan sistem saraf
pusat terjadi pada 0,5% kasus dan menyebabkan sebagian besar

kematian pada penyakit ini. Perdarahan intrakranial dapat terjadi kapan


pun selama perjalanan penyakit dan dikaitkan dengan hitung trombosit
kurang dari 10.000/mm3. Pada anamnesis riwayat penyakit sering
mendukung adanya insfeksi virus selama 4 minggu sebelum tampilan
klinis dan dapat menampakan meningkatnya memar dan perdarahan.
Anamnesis yang teliti harus dilakukan untuk mendapatkan bukti adanya
gangguan autoimun lain pada anak atau pada pada anggota keluarga
yang lain, termasuk anemia hemolitik autoimun atau neutropenia,
antikoagulan lupus dengan atau tanpa trombosis, lupus eritematosus
sistemik, atau artritis reumatoid. (Rudolph, 2007)
Pemeriksaan fisik normal selain tanda perdarahan. Secara spesifik,
anak dengan ITP tidak menunjukan bukti adanya splenomegali,
hepatomegali, limfadenopati, massa, ruam (selain ekimosis), atau
pembengkakan sendi. (Rudolph, 2007)
Temuan Laboratorium
Trombositopenia, dengan hitung trombosit biasanya di bawah 50.000/mm 3,
merupakan temuan yang paling bermakna biasanya berkaitan dengan hitung
trombosit kurang dari 20.000/mm 3. Hitung darah lengkap normal kecuali anemia dan
leukositosis timbul setelah perdarahan yang bermakna. Apusan darah tepi
memastikan adanya penurunan jumlah trombosit, morfologi, jumlah eritrosit serta sel
darah putih normal, dan dapat menunjukan populasi trombosit besar. Uji penapisan
koagulasi termasuk APTT, PT, TT, fibrinogen, dan FSP normal dan menyingkirkan
keadaan komsumtif yang difus. Pemeriksaan sumsum tulang biasanya menunjukan
jumlah dan morfologi megakriosit yang normal saat itu, dengan kompensasi yang
timbul kemudian berupa meningkatnya jumlah megakariosit dan megakariosit yang
lebih imatur, ditemukan populasi progenitor sel darah putih dan eritrosit normal. Imun
globulin yang terkait trombosit biasanya meningkat. Hanya anamnesis, pemeriksaan
fisik, hitung darah lengkap, dan uji penapisan koagulasi yang penting untuk
mendiagnosis penyebab lazim ITP. (Rudolph, 2007)
Perjalanan penyakit dan prognosis
ITP merupakan gangguan akut yang swasirna pada 90%
anak dengan gangguan ini. Kekambuhan dapat terjadi selama beberapa
bulan pertama sampai beberapa tahun pertama setelah diagnosis, dan
sering dikaitkan dengan infeksi akut. Pada 10 % anak, ITP merupakan
gangguan kronis yang menetap hingga di atas 6 bulan. Bahkan pada ITP
kronis, remisi spontan dapat terjadi setelah berminggu-minggu atau
bertahun-tahun, sehingga membenarkan penatalaksanaan konservatif
yang beralasan. (Rudolph, 2007)
Terapi ITP
Karena angka pemulihan spontan yang tinggi, observatif
tanpa terapi yang spesifik diindikasikan pada mayoritas anak. Orang tua
harus diperingatkan untuk menghindari obat penghambat trombosit,
terutama aspirin. Ketika hitung trombosit kurang dari 50.000/mm 3, orang
tua harus cermat mendorong penggunaan seatbelt dan helm sepeda, dan

penghindaran sport kontak serta ketinggian. Aktivitas yang meningkatkan


risiko cedera kepala, seperti ice skate, rollerblade, ski, menyelam, harus
dilarang. Karena sangat rendahnya angka perdarahan fatal yang menjadi
komplikasi ITP, pembuktian menurunnya kematian dengan terapi menjadi
sangat sulit. Terdapat dua pendekatan utama, tidak ada satu pun terbukti
menurunkan lama penyakit, tetapi keduanya dapat memperpendek
lamanya trombositopenia berat. Kedua pendekatan ini biasanya
dicadangkan untuk anak dengan trombositopenia persisten yang kurang
dari 20.000/mm3, terutama pada anak dengan perdarahan hidung dan
selaput lendir yang bermakna. (Rudolph, 2007)
Gama globulin intravena (IVIG) diberikan dengan dosis 1 g/kg selama
dua hari berturut-turut atau 400 mg/kg/hari selama 5 hari. Peningkatan hitung
trombosit lebih besar dari 30.000 biasanya didapatkan dalam 48 jam. Infus dapat
diulang per bulan. Pembatas utama adalah biaya, kebutuhan jalur vena untuk
pemberian terapi, dan risiko minimal kontaminasi virus pada produk. Mekanisme
kerja yang utama dianggap blokade retikuloendotel pada reseptor Fc di limpa,
dengan peranan minor diberikan antibodi anti-idiotipik pada IVIG dan modulasi
langsung respons imun yang menghasilkan antibodi antitrombosit. (Rudolph,
2007)
Alternatif lain, prednison dengan dosis 2 mg/kg/hari sela 2 sampai 4
minggu diikuti dengan dosis yang diturunkan bertahap akan menghasilkan
peningkatan hitung trombosit dalam seminggu sampai 10 hari. Prednison lebih
murah dari pada IVIG dan umumnya dapat ditoleransi dengan baik untuk pemberian
singkat. Meskipun demikian, prednison dapat menyembunyikan leukemia yang
samar dan penurunan bertahap prognosis terapi leukemia. Dengan demikian, terapi
prednison tidak boleh diberikan untuk ITP tanpa pemeriksaan sumsum tulang
sebelumnya. (Rudolph, 2007)
Episode perdarahan akut pada anak dengan ITP ditangani dengan
transfusi transfusi packed red celljika diindikasikan secara klinis. Perdarahan
yang mengancam nyawa, termasuk perdarahan intrakranial, dapat ditangani dengan
IVIG dan splenektomi darurat. Transfusi trombosit jarang diindikasikan, karena
diperkirakan memiliki ketahannan hidup yang memendek secara radikal. (Rudolph,
2007)
Splenektomi efektif pada hampir 70% anak dengan ITP kronis. Hitung
trombosit biasanya meningkat segara setelah pembedahan, tetapi kemudian dapat
menurunkan hitung trombosit baik ringan sampai berat. Splenektomi bekerja dengan
mengeksisi tempat pembuangan trombosit yang diselubungi-Ig. Setelah splenektom,
trombosit akan tetap mengandung Ig permukaan yang meningkat tetapi akan
menunjukan ketahanan hidup plasma yang lebih lama dan hemostasis klinis yang
membaik. Splenektomi biasanya dipertimbangkan pada anak yang menderita
pembatasan besar dalam aktivitas akibat trombositopenia berat. Sebelum
splenektomi, anak dengan ITP kronis harus dievaluasi untuk bukti penyakit autoimun
lain dengan panel laboratorium mencakup hitung darah lengkap, evaluasi untuk
antikoagulan lupus. Uji Coomb, antibodi antikardiolipin, profil ANA, dan antibodi

tiroid. Laki-laki harus dievaluasi untuk bukti adanya sindrom Wiskott-Aldrich,


trombositopenia kongenital harus disingkirkan dengan hati-hati, terutama pada anak
yang datang dengan trombositopenia selama 2 tahun pertama setelah kelahiran.
(Rudolph, 2007)
Terdapat resiko yang bermakna bahwa splenektomi akan tidak efektif
pada anak yang tidak menunjukan peningkatan trombosit dengan IVIG atau
prednison. Kadang-kadang hati akan memainkan peranan yang dominan di dalam
pembuangan trombosit pasca splenektomi,sehingga menyebabkan kegagalan
terapeutik. Setelah splenektomi, sejumlah anak dengan ITP refraktif akan berespon
terhadap IVIG, atau obat yang mencakup vinkristin, dan vinblastin. (Rudolph, 2007)
b) Purpura Obat Imunologik
Berbagai obat dapat menyentisisasi individu tertentu
sehingga pemajanan selanjutnya terhadap obat dapat menyebabkan
trombositopenia akut. Antibodi yang dibentuk dapat bereaksi dengan
spesifik, dan absorbsi selanjutnya kompleks antigen antibodi ini pada
permukaan trombosit dapat menyebabkan kehancurannya, lisisn
trombosit dapat ditunjukan in vitro dan memerlukan obat spesifik, serum
dari penderita sensitif obat , trombosit dari semua donor, dan komplemen.
Obat yang dapat merangsang terjadinya respons ini pada individu yang
rentan
adalah
kuinidin,
kuinin,
digitoksin,
derivat
klorotiazid,
klorpropamid, meprobamit, fenilbutazon, sulfonamid, dan antihistamin.
Trombositopenia yang diinduksi heparin dapat muncul dengan
trombositopenia berat dan trombosis paradoksikal, khususnya arteri.
Trombositopenia akibat dari proses ini biasanya sembuh secara spontan
bila obat yang mengganggu dilenyapkan. Penderita dewasa akhirnya
menyusun semua kasus yang telah dilaporkan. (Rudolph, 2007)

C. Infeksi Akut dan Gangguan lain


Trombositopenia ringan sampai berat dapat muncul dengan sepsis
bakteri akibat penyebab apa pun. Trombositopenia telah dihubungkan
dengan tuberkulosis, demam tifoid, campak, rubela, varisela, demam
skarlet, endokarditis, mononukleosus infeksiosa, dan penyakit infeksi lain.
Trombositopenia juga merupakan manifestasi lazim lupus eritematosus.
Kadang-kadang, penurunan trombosit ditemukan pada hipotiroidisme. Bila
trombositopenia menyertai anemia hemolitik autoimun didapat, disebut
sebagai sindrom evan. (Rudolph, 2007)

D. Sindrom Uremik-Hemolitik dan Purpura Trombositopenik Trombik


Gangguan yang sangat terkait dan tumpang tindih ini merupakan
dua ekspresi utama penyakit mikroangiopati. Gangguan ini ditandai
dengan anemia hemolitik dan trombositopenia, agaknya karena pengaruh
koagulasi ekstra vaskuler yang berlokasi pada kapiler dan arteriola yang

berdekatan. Sindrom uremik hemolitik (HUS,hemolytic uremic syndrome)


terutama mengenai bayi dan anak kecil. Purpura trombositopenik
trombotik (TTP, trombotic trombositopenic purpura) terutama merupakan
ganggua pada orang dewasa. HUS biasanya merupakan penyakit akut dan
swasirna, sedangkan TTP bersifat kronis dan sering kambuh. Pada
sebagian pasien TTP, diantara episodenya terdeteksi multimer vWF yang
besar secara abnormal dan ditemukan pola vWF tipe II didapat selama
eksaserbasi. Pola multimer vWF tipe II yang serupa telah terdeteksi pada
sejumlah anak dengan HUS. Pada kedua gangguan tersebut, ketahanan
hidup trombosit sangat berkurang, sedangkan kecepatan degradasi
fibrinogen biasanya normal. Morfologi eritrosit memiliki cirri mikrosefarosit
dan bentuk-bentuk aneh yang terfragmentasi (disebut sel helm) yang
menjadi dasar penegakkan diagnosis. (Rudolph, 2007)
Istilah sindrom uremik hemolitik biasanya dipakai pada keadaan
bayi dan anak kecil yang secara khas mengikuti episode diare berdarah
dan dengan manifestasi ginjal, hematuria, oliguria, atau gagal ginjal akut,
dan uremia yang menonjol. Trombositopeni dan anemia hemolitik sering
timbul setelah beberapa hari diare dan setelah awitan gagal fungsi ginjal.
Manifestasi neurologi mencakup iritabilitas dan menurunnya kesiagaan
lazim terjadi tetapi biasanya bukan akibat thrombosis. Sebagian besar
penderita sembuh sempurna dengan penatalaksanaan gagal ginjal akut
yang sangat cermat. Hasil biposi ginjal deposisi fibrin saat fase akut
penyakit menimbulkan ujin coba heparin, fibrinolitik, dan inhibitor
trombosit; dari semua terapi ini tidak ada yang tampaknya mengubah
hasil HUS. Penggunaan inhibitor thrombosis dikaitkan dengan lebih
tingginya hitung trombosit dan mungkin lebih sedikitnya transfusi
trombosit. Anak dengan HUS sangant mudah mengalami hiperkoagulasi
saat fase akut penyakit. Terjadi thrombosis yang terkait kateter vaskular;
infark jemari, sistem saraf pusat, atau hati yang kadang terjadi, juga
telah dilaporkan. Sekuele jangka panjang mencakup 5-10% insiden
perburukan sampai stadium akhir gagal ginjal. Yang jarang adalah
timbulnya episode berulang. Ketika seorang anak menunjukkan episode
multiple HUS dengan awitan masa bayi, defak metaboliisme vaskuler yang
mendasari, seperti metabolisme prostasiklin, harus dicurigai.(Rudolph,
2007)
TTP biasanya muncul pada orang dewasa dan otak serta hati
sebagai target utama penyakit mikroangiopati lokalisata. TTP cenderung
menjadi kronis dan kambuh dengan angka morbiditas serta mortalitas
yang lebih tinggi. Kejang dan koma lazim terjadi. Plasmeferesis dan infuse
plasma telah dikaitkan dengan perbaikan gejala dan penurunan
mortalitas. Terapi lain yang mungkin membantu termasuk kortikosteroid,
splenektomi, aspirin dosis rendah, dan dipiridamol. (Rudolph, 2007)

E. Hemangioma Raksasa dan Tumor Vaskular Jinak Lain


Sekuestrasi trombosit, menyebabkan trombositopeni berat dan
perdarahan, dapat terjadi akibat hemangioma raksasa pada bayi. Kelainan
ini biasanya dikenal sebagai sindrom Kasabach-Merritt. Peningkatan
konsumsi faktor koagualasi terjadi pada beberapa penderita. Ukuran
hemangioma sering meningkat dengan cepat setelah lahir dan mulai
regresi secara spontan sekitar usia 1 tahun. Bayi dapat memperlihatkan
gagal jantung kongestif. Defisiensi berat zat besi dapat timbul akibat
kehilangan darah GI. Penyembuhan terjadi setelah eksisi secara bedah
atau regresi spontan. Beberapa lesi akan regresi setelah terapi dengan
kortikosteroid atau inhibitor fibrinolitik. Lesi dengan hemangioma kapiler
yang menonjol dapat berespons dengan infus interveron alfa-2a.
(Rudolph, 2007)

F. Penyakit Jantung Kongenital Sianonik


Trombositopeni dapat terjadi dengan anak dengan polisitemia
berat yang disertai dengan penyakit jantung sianotik. Derajat defisiensi
trombosit sebanding dengan keparahan hipoksia. Penilitian ketahanan
hidup trombosit menunjukkan detruksi perifer. (Rudolph, 2007)

G. Purpura Trombositopenik Neonatus


Dua penyebab trombositopenia imun pada neonatus adalah trombositopenia
aloimun
neonatus
(NAIT, neonatal
allimmune
trombocitopenia) dan
trombositopenia autoimun maternal. (Rudolph, 2007)
NAIT terjadi pada 1 dalam 2000 sampai 1 dalam 5000 kelahiran dan
disebabkan oleh imunisasi aktif pada sistem imun ibu oleh antigen trombosit janin
yang bersala dari ayah. Antibodi maternal terhadap PL-Al homozigot dan memiliki
risiko sensitisasi. Penyebab NAIT lain yang lebih jarang mencakup antigen trombosit
Pen (yuk) dan Bak (lek). NAIT mengenai bayi pertama dalam 50% kasus. Insiden
perdarahan intrakranial janin atau neonatus kira-kira sekitar 20%. Pada saat ini, uji
prenatal rutin untuk menentukan ibu yang berisiko, belum dilakukakan, karena
keterbatasan biaya. Diagnosisnya sulit dilakukan sebelum lahir, tetapi harus
dipertimbangkan pada setiap janin dengan perdarahan intrakranial atau pada setipa
saudara kandung bayi sebelumnya yang menderita NAIT. Tampilan klinis yang
biasanya adalah petekie difus dan purpura saat lahir atau sesaat setelah lahir. IgG
ibu yang dapat mengikat trombosit serum meningkat tetapi IgG yang terkait
trombosit langsung, normal. Penentuan tipe trombosit orangtua memastikan
inkopatibilitas. Pada saudara kandung berikutnya dapat dilakukan penapisan untuk
trombositopenia dengan menggunakan sample darah dari umbilikus.
Trombositopenia janin berespon terhadapa terapi maternal dengan IVIG atau
korikosteroid. Hitung trombosit janin berespon infus trombosit maternal yang telah

dicuci, IVIG, atau kortikosteroid. Janin-janin yang diketahui menderita NAIT harus
dilahirkan dengan bedah sesar. (Rudolph, 2007)
ITP maternal dapat mengakibatkan transfer pasif autoantibodi yang
menimbulkan trombositopenia janin atau neonatus. Hitung trombosit ering menurun
1 sampai 2 hari setelah lahir. Walaupun bayi dari ibu dengan ITP cenderung
mengalami trombositopenia yang lebih ringan daripada bayi dengan NAIT, hitung
trombosit janin tidak dapat diperiksa dengan hitung trombosit maternal. Walaupun
secara teknik menantang, pengambilan sample kulit kepala janin yang berasal dapat
membantu memandu jalur optimal persalinan. Terapi maternal dengan kostikosteroid
selama 10 -14 hari sebelum persalinan dapat menghasilkan hitung trombosit
maternal yang lebih tinggi. Bayi dapat diterapi dengan IVIG, kortikosteroid atau
transfudi tukar yang diikuti dengan trombosit dengan donor acak. (Rudolph, 2007)
Trombositopenia pada periode neonatus dapat juga akibat penyakit
sistemik, termasuk eritroblastosis fetalis berat, sepsis, penyakit inklusi
sitomegalik, toksoplasmosis, rubela, dan leukemia. (Rudolph, 2007)
Tipe trombositopenia kongenital yang jarang disertai dengan tidak adanya
radius bilateral (sindrom TAR). Megakariosit menurun pada sumsum tulang dan
gambaran darah leukemoid sementara dapat menunjukkan leukemia kongenital.
Walaupun ada trombositopenia menetap bayi-bayi ini cenderung menjadi baik jika
mereka mengatasi perdarahan mematikan selama masa neonatus. (Rudolph, 2007)
H. Purpura trmobositopenia sekunder (PTS)
Trombositopenia yang terjadi akibat pengaruh imun, yang menybebabkan
umur trombosit memendek dan kelainnan ini mempunyai hubungan dengan jumlah
megakarosit normal atau meningkat maupun megakarosit kurang sampai tidak ada
dalam sumsum tulang. (IDAI, 2005)
Purpura tanpa kelainan koagulasi dapat dibagi ke dalam tiga kategori:
1. Purpura trombositopenia dengan jumlah trombosit < 150 x
/L
2. Purpura dengan jumlah trombosit normal, termasuk kelainan kualitas
trombosit dan kelainan pembuluh darah
3. Purpura dengan trombositosis (jumlah trombosit < 150 x
/L
Penyebab purpura trmobositopenia sekunder akibat pengaruh imun :
1. Dipicu proses infeksi, misalnya :
a.
Infeksi virus (HIV, CMV, EBV, Varicella, Rubella, Rubeola, Mumps,
Parvovirus
)
b.
2.
3.
4.
5.
6.
7.
8.

Infeksi bakteri (Tuberkulosis, Tifoid)


Dipicu obat-obatan
Purpura pasca transfuse
Anemia hemolitik autoimun (sindrom Evan)
Lupus eritematosus sistemik
Hipertiroidism
Kelainan limfoproliperatif
Alergi, anafilaksis

Purpura trmobositopenia berhubungan dengan infeksi


Trombositopenia akibat infeksi pada beberapa keadaan mempunyai
hubungan dengan produksi berkurang dan meningkatnya penghancuran trmobosit.
Trombositopenia yang terjadi akibat peningkatan penghancuran trombosit pada
penyakit infeksi, secara keseluruhan tergantung penyebabnya dan diketahui akibat
pengaruh imun dengan mekanisme hyang belum jelas tetapi kemungkinan
mekanisme imun sangat berperan karena adanya peningkatan jumlah plateletsdherent IgG pada infeksi bakteri dan virus. (IDAI, 2005)
a) Trombositopenia HIV
Trombositopenia relative sering ditemukan akibat komplikasi nfeksi HIV-1.
Merupakan kelainan imun yang secara klinis tidak dapat dibedakan dari PTI akut
atau kronis, terjadi pada individu yang terinfeksi dengan virus HIV. (IDAI, 2005)
Pada awal fase infeksi HIV, trombositopenia hanya merupakan manifestasi
infeksi HIV dan imunologik (HIV-PTI). Pasien yang terinfeksi HIV stadium lanjut
(AIDS) umumnya terdapat kelainan hematologis lainnya seperti anemia, leucopenia,
trombositopenia disebabkan penekanan sumsum tulang sehingga trombosit
berkurang. (IDAI, 2005)
Pengobatan trombositopenia pada infeksi HIV terdiri dari bermacammacam terapi. Pengobatan antiviral dipilih jika jumlah
> 0,4-0,5
x

/L. Dikatakan AZT dapat meningkatkan jumlah trombisit. Pasien

yang tidak respon dengan terapi antiviral, akan bermanfaat dengan


pemberian komponen immunoglobulin iv (IVIG) yang dapay menyabkan
kenaikan trombosit secara cepat tapi bersifat sementara, dan kelihatan
kurang efektif bagi PTI klasik pada anak. (IDAI, 2005)

b) Rubella
Trombositopenia akut yang terjadi dapat sembuh sendiri, dengan gejala klinis
yang jelas atau tersamar. Pernah dilaporkan menyebabkan keadaan yang fatal.
Insidenya tidak diketahui tetapi jarang ditemukan. (IDAI, 2005)
c) Varicela
Infeksi varisela lebiih sering dihubungkan dengan PTI akut seperti
trombositopenia akibat imun. Masalah umumnya muncul pada masa viremia atau
masa penyembuhan. Pengobatan steroid selama masa viremis secara teori
berbahaya dan tidak berguna. Pada banyak kasus akan sembuh dalam waktu 2
minggu. Pemberian steroid harus hati-hati untuk kondisi PTI akut. (IDAI, 2005)
d) Infeksi TORCH congenital
Infeksi TORCH (toksoplasmosis, rubella, sitomegalovirus, herpes simpleks)
merupakan kelompok infeksi congenital (termasuk sifilis congenital) yang
mempunyai gambaran klinis yang umum dan salah satunya trombositopenia.
Neonatus yang menderita infeksi TORCH akan tampak sakit berat, kuning, pucat,
purpura, hepatosplenimegali. Pada pemeriksaan laboratorium ditemukan tanda-

tanda hemolitik, jumlah trombosit rendah, bersama dengan disfungsi hati dan
kelainan koagulasi. Mekanisme trombositopenia terjadi secara kompleks dan
kemungkinan mekanisme imun sebagai penyebab umur trombosit pendek. (IDAI,
2005)
e) Malaria
Trombositopenia sering merupakan akibat infeksi malaria (di luar DIC pada
penyakit fulminant akibat plasmodium falciparum), hal ini terjadi akibat trombosit
berikatan dengan antigen malaria yang mengikat antibody anti malaria. (IDAI, 2005)

Purpura trombositopenia yang dipicu obat-obatan


Obat-obatan dapat menyebabkan trombositopenia melalui dua mekanisme
berbeda, yaitu:
1. Penekanan sumsum tulang
Obat-oabatn yang digolongkan mengakibatkan depresi sumsum tulang seperti obaat
sitostatika (6-merkaptopurin, metotreksat, siklofosfamid) dan mempunyai efek
idiosinkrasi seperti kloramfenikol. (IDAI, 2005)
2. Penigkatan penghancuran trombosit
Hal ini terjadi melalui mekanisme imun (drug hapten disease). Obat dengan berat
molekul 500-1000 tidak dapat memulai proses imunitas kecuali berikatan dengan
protein yang disebut hapten. Protein tersebut merupakan komponen trombosit dan
antibody yang spesifik terhadpa komponen trobosit untuk membentuk hapten.
Terdapat beberapa obat yang dapat menyebabkan trombositopenia melalui
mekanisme proses imun. (IDAI, 2005)
Melalui imun penghancuran trombosit secara dini oleh obat-obatan dapat
melalui3 (tiga) jalan, yaitu:
1. Membentuk kompleks imun-antibodi-obat yang larut dan melekat secara
longgar pada permukaan trombosit, melekat kuat pada komplemen dan
merusak (detruksi) sel.
2. Melekat pada permukaan sel dan bekerja sebagai hapten.
3. Dengan merangsang proses produksi antibody yang akan bereaksi silang
dengan antibody permukaan sel yang menimbulkan trombositopenia
autoimun,
Obat-obatan yangs sering digunakan pada anak dan menyebabkan
trombositopenia akibat imun lain, adalah sodium valproat, fenitoin, karbamazepin,
kotrimoksazol, rifampisin, asetazolamid, simetidin, aspirin, dan heparin
trombositopenia akibat penggunaan obat-obatan, dapat bersifat sementara di mana
jumlah rombosit kembali normal jika obat tersebut dihentikan penggunaannya.
Pemeriksaan sumsum tulang dapat membedakan anatara trombositopenia yang
disebabkan penenkanan-toksisk jika megakarosit sedikit atau tidak ada dan
trombositopenia akibat penghancuran di perifer dengan jumlah megakarosit normal
atau meningkat. (IDAI, 2005)

Purpura trombositopeia pasca transfusi


Merupakan sindrom yang sangat jarang dengan jumlah trombosit kurang
dari 10.000/mL dengan manifestasi perdarahan dan terjadi kira-kira 1 minggu
setelah pemberian transfuse yang rutin dengan reaksi silang yang cocok.
Pathogenesis kompleks kerusakan trmobost autologus diduga akibat dari:
1. Kompleks destruksi trmobosit imun
2. Konversi antigen trombosit negatf dengan transfer PIA-1 antigen yang
larut
3. Produksi alloantibody
4. Produksi autoantibody trombosit yang temporer.
Kondisi ini mirip dengan trombositopenia neonatal alloimun dan dapat diobati
dengan gamma globulin intravena (GGIV) dan tranfusi tukar. (IDAI, 2005)
b) Trombositopenia neonatal
Trombositopenia neonatal terjadi bila jumlah trombosit < 100.000 / ml,
umumnya ditemukan pada distress neonatal pada bayi prematur yang sakit atau
menderita penyakit seperti bakteriemia dan koagulasi intravaskular diseminata
(DIC). Keadaan ini ditemukan pada 20 40 % neonatus yang dirawat di unit rawat
intensif. (IDAI, 2005)
Insidens trombositopenia neonatal yang dilaporkan umumnya di bawah
perkiraan yang sebenarnya karena sering terlambat diketahui maupun gambaran
klinisnya tidak jelas. Insidens diperkirakan 0,12% bila jumlah trombosit dari tali pusat
< 50.000 / ml, sedangkan insidens trombositopenia neonatal berat adalah 0.04% bila
jumlah trombosit < 20.000 / ml. Perdarahan intrakranial maupun kematian dapat
ditemukan pada trombositopenia neonatal yang berat. (IDAI, 2005)
Faktor penyebab yang mempengaruhi timbulnya trombositopenia sangat
banyak. Sebagian besar akibat penyakit primer pada sistem hematopoitik maupun
akibat transfer faktor abnormal dari si ibu. (IDAI, 2005)
Patogenesis
Trombositopenia dapat disebabkan akibat: (a) penurunan produksi trombosit,
(b) peningkatan penghancuran trombosit, trombosit terperangkap dalam limpa, atau
(c) kombinasi antara penghancuran dan produksi atau gabungan dengan
patogenesis yang tidak diketahui. (IDAI, 2005)
Trombositopenia neonatal merupakan penyakit yang didapat atau diturunkan
dan kemungkinan primer akibat peningkatan penghancuran trombosit dan gangguan
produksi. Hal ini penting diketahui karena dengan timbulnya risiko perdarahan dan
penatalaksanaan. (IDAI, 2005)
a. Penurunan produksi trombosit
Trombositopenia neonatal yang disebabkan penurunan produksi diperkirakan
terdapat pada < 5 % dari seluruh kasusu trombositopenia neonatal. Yang termasuk
dalam golongan ini adalah kelainan pada sumsum tulang seperti leukemia
kongenital, reaksi leukemoid kongenital pada bayi dengan sindrom down,
neuroblastoma, histiosit, infeksi virus terutama sitomegalovirus dan osteoporosis.
Apabila sumsum tulang termasuk sindrom TAR (trombositopenia dengan tidak
adanya radius) dan amegakariositik trombositopenia. (IDAI, 2005)

b. Peningkatan penghancuran trombosit


Trombositopenia yang timbul akibat peningkatan penghancuran trombosit dapat
dibagi 2 golongan yaitu dipengaruhi faktor imun dan faktor non-imun.
Trombositopenia yang dipengaruihi faktor imun mempunyai hubungan Platelet
associated IgG (PAIgG) ataupun komplemen. (IDAI, 2005)
Lebih kurang 50% neonatus dengan jumlah trombosit < 100.000 / ml
menunjukkan adanya peningkatan kadar IgG dan penyebab peningkatan tersebut
tidak diketahui. Peningkatan kadar PAIgG juga dapat ditemukan pada sepsis
neonatus dan bayi yang lahir dari ibu pre-eklampsi. (IDAI, 2005)
Penyebab trombositopenia neonatal non-imun paling sering ditemukan pada
koagulasi intravaskular diseminita (KID) dan terjadi sekunder akibat transfusi tukar.
(IDAI, 2005)
Penyakit yang dihubungkan dengan pemakaian trombosit
Trombositopenia yang ditemukan umumnya lebih berat dengan jumlah
trombosit kurang dari 50.000 / ml. Mekanisme timbulnya trombositopenia dapat
ditemukan antara lain pada sepsis neonatal karena bakteri, sekunder akibat KID,
kerusakan endotel karena bakteri atau produk bakteri yang menyebabkan adhesi
trombosit, agrergasi trombosit akibat imun dan penurunan produksi akibat infeksi
pada sumsum tulang. Trombositopenia neonatal dapat ditemukan dan mempunyai
hubungan dengan kondisi penyakit. (IDAI, 2005)
Penyebab
Penyebab trombositopenia yang umumnya dijumpai adalah faktor imunologis,
infeksi termasuk sepsis, tindakan pengobatan (foto terapi, transfusi tukar) KID
dengan segala faktor penyebab. Ada beberapa faktor penyebab trombositopenia
neonatal yang dihubungkan produksi trombosit. (IDAI, 2005)
Gambaran klinis dan laboratorium
Gambaran klinis trombositopenia neonatal bervariasi tergantung apakah bayi
lahir sehat atau sakit. Riwayat kelahiran yang mempunyai seperti hipoksia, infeksi,
penyakit ibu perlu diketahui, karena sebagian besar trombositopenia yang terjadi
adalah sekunder dari suatu proses. Selain hal di atas riwayat keluarga perlu
perhatian bila ditemukan trombositopenia maternal, obat yang dikonsumsi ibu,
sitopenia, kelainan tulang, trombositopenia pada neonatus sebelumnya. (IDAI, 2005)
Pemeriksaan fisik yang diteliti perlu dilakukan untuk menemukan kelainan
pada tungkai atas dan bawah, mikrosefali, hepatosplenomegali, hemangioma dan
tanda klinis neonatus dengan sangkaan infeksi kongenital. (IDAI, 2005)
Pemeriksaan laboratorium antara lain pemeriksaan darah lengkap, volumer
trombosit rata-rata (mean platelet volume = MPV), pemeriksaan darah tepi
dengan menemukan trombosit besar dan inklusi leukosit (leucocyte inclusion),
jumlah trombosit dan test koagulasi. (IDAI, 2005)
Jika ditemukan trombositopenia berat pada neonatus perlu dilakukan
pemeriksaan trombosit spesifik (specific platelet typing) dari bayi, ibu dan bapak
untuk menentukan tipe HPA (Human Platelet Antigen) trombosit dan menentukan
antibodi anti trombosit spesifik dalam sirkulasi yang mempunyai hubungan
dengan immune mediated thrombocytopenia. (IDAI, 2005)

Perdarahan lebih banyak terjadi bila keadaan trombositopenia disertai


gangguan fungsi trombosit. Penentuan jumlah trombosit merupakan pendekatan
diagnosa yang paling sederhana untuk menetapkan pedoman terapi. (IDAI, 2005)
Jika jumlah trombositik < 30.000 50.000 / ml pada bayi lahir yang cukup
bulan dan sehat akan mempunyai risiko perdarahan serius seperti perdarahan
intrakranial, sedangkan bila jumlah trombosit > 50.000 / mL bayi cukup bulan yang
sehat, risiko perdarahan sangat kecil. (IDAI, 2005)
Yang penting diperhatikan pada trombositopenia sedang yaitu bila jumlah
trombosit 50.000 10.000 / mL terjadi bayi prematur yang sakit, risiko perdarahan
tidak dapt dipastikan, tapi mempunyai hubungan dengan komplikasi perdarahan.
(IDAI, 2005)
Waktu perdarahan (Bleeding time) menggambarkan jumlah dan fungsi
trombositopenia sedang. Waktu perdarahan akan memendek jika jumlah trombosit
meningkat > 100.000 / mL dan setelah transfusi trombosit. (IDAI, 2005)
Penatalaksanaan
Karena sebagian besar trombositopenia neonatal sekunder akibat penyakit
yang mendasarinya, maka kontrol terhadapa faktor penyebab merupakan langkah
utama. Pengobatan diberi berdasarkan jumlah trombosit yang rendah dengan risiko
perdarahan.
Beberapa peneliti menganjurkan segera melakukan intervensi langsung bila jumlah
trombosit > 30.000 . mL pada 48 jam pertama kehidupan atau jika akan dilakukan
pembedahan perlu diberikan transfusi trombosit dan pemberian intravenus
immunoglobulin (IVIgG) dan obat-obatan. (IDAI, 2005)

2. Trombositosis
Trombosit yang melekat pada kolagen yang terpajan pada pembuluh yang
cedera, mengerut dan melepaskan ADP serta faktor 3 trombosit, penting untuk
mengawali system pembekuan. Kelainan jumlah atau fungsi trombosit (atau
keduanya) dapat mengganggu koagulasi darah. Trombosit yang terlalu banyak atau
terlalu sedikit menganggu koagulasi darah. Keadaan yang ditandai dengan trombosit
berlebihan dinamakan trombositosis atau trombositemia. Trombositosis umumnya
didefinisikan sebagai peningkatan jumlah trombosit lebih dari 400.000/mm 3 dan
dapat primer atau sekunder. Trombositosis primer timbul dalam bentuk
trombositemia primer, yang terjadi proliferasi abnormal megakariosit, bersama
dengan jenis sel-sel lain, di dalam sumsum tulang. Untuk menyingkirkan gangguangangguan ini diperlukan pemeriksaan sitogenik. Dapat terjadi perdarahan dan
thrombosis. Patofisiologinya masih belum jelas tetapi diyakini berkaitan dengan
kelainan kualitatif intrinsic fungsi trombosit, serta akibat peningkatan massa
trombosit. Waktu perdarahan biasanya memanjang. (Price, 2006)
Jika jumlah trombosit melebihi 1 juta atau pasien simtomatik, pengobatan
dimulai dan ditujukan untuk mengurangi aktivitas sumsum tulang melalui
penggunaan agen-agen sitotoksik seperti hidroksiurea, yang secara dramatis
menurunkan jumlah semua jenis sel. Anogrelid hidroklorida (Agrylin) ditambahkan

untuk spesifitasnya dalam mengurangi produksi trombosit. Dalam keadaan


terjadinya perdarahan atau thrombosis akut, tromboferesis sementara waktu dapat
menyembuhkan. Agen-agen antitrombosit seperti aspirin dan antikoagulan juga
digunakan. (Price, 2006)
Trombositosis sekunder terjadi sebagai akibat adanya penyebab-penyebab lain,
baik secara sementara setelah stres atau olahraga dengan pelepasan trombosit dari
sumber cadangan (dari lien), atau dapat menyertai keadaan meningkatnya
permintaan sumsum tulang seperti pada perdarahan, anemia hemolitik, atau anemia
defisiensi besi. Peningkatan tajam jumlah trombosit terjadi pada pasien-pasien yang
liennya sudah dibuang secara pembedahan. Karena lien merupakan tempat primer
penyimpanan dan penghancuran trombosit, maka pengangkatan (splenektomi)
tanpa disertai pengurangan produksi di dalam sumsum tulang akan mengakibatkan
trombositosis, yang sering melebihi 1 juta/mm 3. Pengobatan trombositosis sekunder
atau reaktif umumnya tidak diindikasikan (Price, 2006)

C. Gangguan Faktor Pembekuan


1. Hemofilia
Hemofilia adalah sindrom klinis yang ditandai dengan perdarahan yang
berlebihan dan sering, disebabkan oleh defisiensi genetic atau disfungsi salah satu
protein koagulasi. Hemofilia yang paling lazim adalah hemofilia A, yang disebabkan
oleh defisiensi faktor VII. Sedangkan hemofilia B disebabkan oleh defisiensi faktor IX
dan kira-kira jumlahnya seperempat dari penderita hemofilia A. (Rudolph, 2007)
Hemofilia (A dan B) diturunkan secara sex(X)-linked recessivedan gen
untuk faktor VIII dan IX terletak pada ujung lengan panjang (q) kromosom X. oleh
karena itu, perempuan biasanya sebagai pembawa sifat sedangkan laki-laki sebagai
penderita. Perempuan pembawa sifat hemofilia yang menikah dengan laki-laki
normal dapat menurunkan satu atau lebih anak lelaki penderita hemofilia atau satu
atau lebih anak perempuan pembawa sifat. Sedangkan anak laki-laki penderita
hemofilia yang menikah dengan perempuan normal akan menurunkan anak lelaki
yang normal atau anak perempuan pembawa sifat. (IDAI, 2005)
Hemofilia diklasifikasikan sebagai (1) berat, dengan kadar aktivitas
faktor kurang dari 1%, (2) sedang, dengan kadar aktivitas di antara 1%
dan 5%, serta (3) ringan, jika 5% atau lebih. Perdarahan spontan dapat
terjadi jika kadar aktivitas faktor kurang dari 1%. Akan tetapi, pada kadar
5% atau lebih, perdarahan umumnya tejadi berkaitan dengan trauma atau
prosedur pembedahan. (Price, 2006)
Epidemiologi

Penyakit ini bermanifestasi klinik pada laki-laki. Angka kejadian


hemofilia A sekitar 1: 10.000 orang dan hemofilia B sekitar 1 : 25.000
30.000 orang. Belum ada data mengenai angka kekerapan di Indonesia,
namun diperkirakan sekitar 20.000 kasus dari 200 juta penduduk
Indonesia saat ini. Kasus hemofilia A lebih sering dijumpai dibandingkan
hemofilia B, yaitu berturut-turut mencapai 80-85% dan 10-15% tanpa
memandang ras, geografi dan keadaan sosial ekonomi. Mutasi gen secara
spontan diperkirakan mencapai 20-30 % yang terjadi pada pasien tanpa
riwayat. (Sudoyo A W, 2009)
a) Hemofilia A (Kekurangan Faktor VIII)
Kejadian hemofilia A di seluruh dunia adalah sekitar 1 kasus per 5000 individu
laki-laki dengan sekitar sepertiga dari individu yang terkena tidak memiliki riwayat
keluarga. Prevalensi hemofilia A bervariasi dengan negara pelapor, dengan kisaran
5,4-14,5 kasus per 100.000 orang laki-laki. Di Amerika Serikat, prevalensi hemofilia
A adalah 20,6 kasus per 100.000 orang laki-laki, dengan 60% dari mereka memiliki
penyakit yang berat. Diperkirakan 17.000 orang terkena dengan hemofilia A di
Amerika Serikat pada tahun 2003. Hemofilia A terjadi pada semua ras dan kelompok
etnis. Secara umum, demografi hemofilia mengikuti distribusi rasial dalam populasi
tertentu, misalnya, tingkat hemofilia di antara kulit putih, dan Afrika Amerika di AS
serupa. (Zaiden, 2012)
Wanita mungkin mengalami perdarahan klinis karena hemofilia jika 1 dari 3
kondisi ini ditemukan: (1) lyonization ekstrim (yaitu, inaktivasi alel FVIII yang normal
di salah satu kromosom X), (2) homozigositas untuk gen hemofilia (yaitu, ayah
hemofilia dan ibu yang merupakan pembawa), atau (3) sindrom Turner (XO) terkait
dengan gen hemofilia yang terkena. (Zaiden, 2012)
Dahulu hemofilia A sering dikacaukan dengan penyakit von Willebrand, karena
pada keduanya ditemukan kekurangan faktor VII, tetapi pada penyakit von
Willebrand didapatkan pula kekurangan faktor von Willebrand yaitu faktor yang
dibutuhkan untuk agregasi trombosit. (IDAI, 2005)
Manifestasi Klinis
Perdarahan merupakan gejala dan tanda klinis khas yang sering dijumpai pada
kasus hemofilia. Perdarahan dapat timbul spontan autau akibat trauma ringan
sampai sedang serta dapat timbul saat bayi mulai belajar merangkak. Manifestasi
klinis tersebut tergantung pada beratnya hemofilia (aktivatas faktor pembekuan).
Tanda perdarahan yang sering dijumpai yaitu berupa hemartrosis, hematom
subkutan/intramuskular, perdarahan mukosa mulut, perdarahan intrakranial,
episktaksis dan hematuria. Sering pula dijumpai perdarahan yang berkelanjutan
pascaoperasi kecil (sirkumsisi, ekstraksi gigi). (Sudoyo A W, 2009)
Karena faktor VIII tidak menembus plasenta, kecenderungan berdarah mungkin
tampak nyata pada periode neonates. Hematoma setelah suntikan dan perdarahan
dari sirkumsisi adalah lazim, tetapi bayi yang terkena tidak menunjukkan
abnormalitas klinis. Sewaktu mulai rawat jalan, kemudahan berdarah terjadi.
Hematom intramuscular timbul karena trauma kecil. Trauma luka robek yang relative
kecil, seperti pada lidah atau bibir, yang berdarah terus-menerus selama berjam-jam

atau berhari-hari, merupakan kejadian yang sering menuntun ke diagnosis. Dari


penderita dengan tingkat penyakit yang parah, 90% telah menunjukkan bukti klinis
nyata peningkatan perdarahan pada umur 1 tahun. (Nelson, 2000)
Ciri khas hemofilia adalah hemartosis. Perdarahan ke dalam sendi siku, lutut,
dan pergelangan kaki menyebabkan rasa nyeri dan pembengkakan dan pembatasan
gerak sendi; ini mungkin diimbas oleh trauma yang relative kecil tetapi tampak
seperti pedarahan spontan. Perdarahan berulang dapat menyebabkan perdarahan
degenerative, dengan osteoporosis, atrofi otot dan akhirnya sendi tidak dapat
digunakan, tidak dapat digerakkan. Hematuria spontan sangat mengganggu
biasanya bukan merupakan komplikasi yang serius. Perdarahan intracranial dan
perdarahan ke dalam leher merupakan gawat darurat yang mengancam-nyawa.
(Nelson, 2000)
Penderita dengan aktivitas faktor VIII lebih dari 6% (6 unit/dL) tidak mempunyai
gejala spontan. Penderita ini, dengan hemofilia ringan, mungkin hanya mengalami
perdarahan yang memanjang setelah ekstraksi atau manipulasi gigi, pembedahan,
atau luka. (Nelson, 2000)
Temuan Laboratorium
Pasien yang dicurigai menderita hemofilia harus menjalani uji skrinning untuk
hemostasis, mencakup jumlah trombosit, waktu perdarahan, PT, dan PTT. Biasanya
pasien memperlihatkan pemanjangan PTT dengan semua uji lain menunjukkan nilai
normal. Karena defisiensi faktor VIII secara klinis mirip dengan defisiensi IX, maka
setiap laki-laki yang memiliki riwayat perdarahan dan pemanjangan PTT harus
menjalani pemeriksaan spesifik untuk faktor VIII dan IX. (Harrison, 2000)
Terapi
Terapi untuk hemophilia berat adalah penggantian faktor pembekuan
yang defisien. Dosis dan frekuensi dosis ditentukan oleh konsentrasi faktor
yang dibutuhkan untuk hemostasis, volume distribusi faktor pembekuan
yang dibutuhkan dan waktu menghilangnya plasma. Faktor VIII memiliki
volume distribusi yang sama dengan volume vascular. Satu unit faktor
koagulasi didefinisikan sebagai jumlah yang terdapat di dalam 1 mL
plasma normal yang dikumpulkan. Dengan demikian, 1 U/kg faktor VIII
akan meningkatkan konsentrasi plasma sebesar 2%. Waktu-paruh plasma
kira-kira 12 jam. (Rudolph, 2006)
Perdarahan sendi berulang telah dicegah pada anak dengan
hemophilia A berat dengan memulai infuse penggantian rutin faktor VIII
pada sekitar usia 2 tahun, atau pada saat perdarahan sendi yang
pertama. Dosis awal minimal faktor VIII untuk profilaksis primer
perdarahan sendi adalah 25 U/kg tiap selang sehari. Sebagian anak kecil
membutuhkan pemasangan jalur inravena, yang dapat meningkatkan
risiko infeksi. Kepatuhan terhadap regimen profilaktik cukup sulit, karena
biaya terapi ini mahal, dan stress yang ditimbulkan akibat seringnya
pemasangan jalur intravena. (Rudolph, 2006)
Penggantian faktor VIII sampai minimum 50% konsentrasi plasma (25
U/kg) diperlukan untuk semua perdarahan sendi pada anak. Karena

bersihan faktor VIII yang diinfuskan terjadi sedikit lebih cepat pada anakanak, infuse berulang pada hari 1,3, dan 5 setelah infuse awal dikaitkan
dengan meningkatnya pemulihan. Terapi ajuvan mencakup istirahat,
kompres es, penekanan, dan meninggikan bagian tubuh yang terlibat, dan
juga sangat penting untuk memfasilitasi penyembuhan setelah
hemartosis. Terapi fisik mungkin diperlukan jika kelainan dalam cara
berjalan, fungsi, atau kekuatan terjadi setelah perbaikan perdarahan akut.
Prednison dengan dosis 1 sampai 2 mg/kg/hari selama 3 sampai 5 hari
tampak membantu pada hemartosis yang sulit, terutama jika terdapat
bukti peradangan atau sinovitis setelah episode perdarahan awal telah
membaik. (Rudolph, 2006)
Perdarahan jaringan lunak dapat ditangani dengan penggantian 40%
faktor VIII (20 U/kg). penggantian delapan puluh sampai 100% diperlukan
untuk bedah mayor juga untuk perdarahan intracranial, gastrointestinal,
atau retroperitoneal. Berdasarkan waktu pelenyapan-separuhnya di dalam
plasma yaitu 12 jam, penggantian faktor VIII harus diberikan setiap 12-24
jam untuk perdarahan berat, dan setiap 24-48 jam untuk mencegah
perdarahan kembali menjadi perdarahan yang terkendali. Untuk
pembedahan atau perdarahan berat, kadar faktor VIII harus
dipertahankan di dekat kisaran normal selama 7-14 hari. Faktor VIII dapat
diberikan dengan tetesan intravena; metoda ini sering membantu
melestarikan faktor yang dinginkan. Individu dengan laserasi yang
membutuhkan penjahitan akan membutukan infuse faktor VIII pada saat
pengangkatan jahitan. Walaupun pengendalian perdarahan pada
pemebedahan akan tampak adekuat, luka akan pecah pada 50% kasus
kecuali jika infuse diberikan pada kedua prosedur tersebut,. Anak dengan
fraktur akan membutuhkan penggantian faktor pada saat reduksi dan
pemasangan gips pada fraktur. Selain itu, dukungan eksternal akan
mendukung kuat untuk mencegah perdarahan. Meskipun demikian, saat
gips diangkat, ekstremitas yang atrofi secara khas tidak mampu menahan
perdarahan akibat trauma yang tidak bermakna. Infuse faktor pembekuan
saat pengangkatan gips bersama dengan terapi fisik akan mencegah
perdarahan setelah pengangkatan gips. (Rudolph, 2006)
Produk faktor VIII yang paling tepat adalah yang telah terbukti aman
dari virus hepatitis A, B, dan C, serta HIV dan virus lain yang diketahui
menular lewat darah. Saat ini, faktor VIII yang diproduksi dengan
teknologi rekombinan, secara teoritis merupakan yang paling kecil
kemungkinannya untuk menularkan virus yang patogenik pada manusia.
Konsetrat faktor VIII yang berasal dari manusia dan sangat dimurnikan
yang telah dipisahkan menjadi >100 unit/mg protein dengan antibody
monoclonal atau teknik kromatografi lain dan selanjutnya dilakukan
penginaktifan virus, secara klinis dianggap aman dari virus. Banyak
konsetrat faktor VIII yang berasal dari plasma dengan kemurnian
intermediate, telah mengalami metode penginaktifan virus yang

melenyapkan HIV, hepatitis B, dan hepatitis C; meskipun demikian,


produk-produk ini membawa kerugian berupa besarnya muatan protein
yang berasal dari luar yang dapat mengubah system tubuh resipien.
Produk donor-tunggal, termasuk plasma beku segar dan kriopresipitat
yang belum mengalami prosedur penginaktifan virus, tidak lagi memenuhi
standar penanganan untuk orang yang membutuhkan pajanan terhadap
sejumlah besar produk penggantian darah. (Rudolph, 2006)
Desmopresin asetat (DDAVP) adalah vasopressin arginin sintetik yang
melepas simpanan faktor VIII dan faktor von Willebrand dari sel endotel.
Secara khas, konsentrasi faktor VIII akan meningkat tiga kali lipat setelah
DDAVP, individu dengan nilai konsentrasi dasar faktor VIII sampai 20%
dapat
sering
menggunakan
DDAVP
direkomendasikan
sebelum
penggunaan produk ini saja di dalam lingkup bedah. Individu dengan
devisiensi ringan faktor VIII mungkin bisa menggunakan DDAVP dan faktor
VIII secara bergantian setelah bedah mayor untuk mengurangi pajanan
terhadap produk darah. Preparat standar DDAVP diberikan dengan dosis
0,3 g/kg secara intravena dalam 30 mL salin isotonic selama 30 menit.
Formulasi baru semprot hidung DDAVP dosis tinggi akan mempermudah
terapi di rumah; meskipun demikian, penting untuk memastikan
efektivitas klinisnya dengan assay faktor VIII sebelum memulai
penggunaan di rumah. (Rudolph, 2006)
Inhibitor fibrinolitik, asam aminokaproat dan asam traneksamat,
berguna sebagai terapi adjuvant untuk perdarahan selaput lender yang
meliputi gigi, lidah, dan gusi. Koagulan topical, termasuk konsentrat
thrombin dan gel fibrin, berguna untuk mengendalikan permukaan yang
menetes secara difus. Penggantian vitamin K tambahan pada anak yang
sehat tanpa faktor resiko defisiensi vitamin K tidak membantu. (Rudolph,
2006)
Penderita hemophilia, keluargannya, dan penyedia kesehaan berharap
bahwa penyembuhan dengan rekonstitusi genetic dapat tersedia di
masa mendatang yang dapat diduga. (Rudolph, 2006)
Inhibitor Faktor VIII
Antibody penetral yang bersirkulasi terhadap faktor VIII terdapat pada
sekitar 25% orang dengan defisiensi genetic faktor VIII. Sebagaan besar
inhibitor yang timbul pada anak-anak dengan defisiensi berat faktor VIII,
adalah subtype
, dan membutuhkan pajanan terhadap faktor VIII
dahulu sebelumnya. Inhibitor diukur melalui kemampuannya untuk
menghancurkan faktor VIII dalam pengenceran serial plasma standar yang
dikumpulkan. Klasifikasi standar untuk inhibitor di Amerika Serikat adalah
dengan assay Bethesda. Inhibitor diklasifikasikan sebagai titer tinggi (>10
Bethesda unit/mL) versus titer rendah (<2 data-blogger-escaped-2006=""
data-blogger-escaped-bethesda="" data-blogger-escaped-dan="" datablogger-escaped-dengan="" data-blogger-escaped-faktor="" data-blogger-

escaped-inhibitor="" data-blogger-escaped-ml="" data-blogger-escapednyata=""


data-blogger-escaped-pada=""
data-blogger-escapedpemajanan-ulang="" data-blogger-escaped-peningkatan="" data-bloggerescaped-respons-rendah="" data-blogger-escaped-respons-tinggi="" datablogger-escaped-sedikit=""
data-blogger-escaped-setelah=""
datablogger-escaped-span="" data-blogger-escaped-titer="" data-bloggerescaped-udolph="" data-blogger-escaped-unit="" data-blogger-escapedversus="" data-blogger-escaped-viii="">
Sebagian besar bayi dan anak kecil dengan inhibitor awitan baru
berespon terhadap pemajanan kontinu faktor VIII dengan titer inhibitor
yang berkurang. Proses iniduksi imunotoleran dapat dilakukan pada
kebanyakan anak kecil dengan menggunakan faktor VIII 50 U/kg jika perlu
pada perdarahan akut untuk inhibitor titer rendah respons-rendah, dan
dosis 50-100 U/kg/hari untuk titer tinggi respons-tinggi. Dengan
pemajanan faktor VIII yang kontonue, titer Bethesda negative harus
didapatkan rata-rata dalam 5 bulan. Peramal terbaik induksi toleransi
imun yang berhadil adalah titer inhibitor rendah dan interval waktu yang
singkat antara awitan inhibitor da inisiasi induksi toleransi imun. Inhibitor
titer tinggi respons-tinggi dengan durasi lebih dari 5 tahun sulit untuk
dilenyapkan. Regimen industry toleransi imun yang lebih agresif
menggabungkan absorpsi imun atau plasmaferesis. Sitoksan, dan imun
globulin intravena, tampak berguna di dalam penatalaksanaan banyak
inhibitor refrakter. (Rudolph, 2006)
Komplikasi terapi infuse
Sebelum tahun 1985, individu dengan pajanan tinggi terhadap produk
yang berasal dari darah mendapatkan HIV, hepatitis B, dan hepatitis C
dari konsentrat faktor. Saat ini, banyak terapi yang disetujui dan bersifat
investigasi, untuk infeksi-infeksi ini, tetapi bukan penyembuhan.
Pencegahan infeksi yang ditularkan melalui darah merupakan hal yang
paling penting. Pajanan pada prosuk darah harusdilakukan hanya dengan
indikasi yang benar dan setiap terapi alternative yang beralasan untuk
penginfusan faktor , harus dipertimbangkan. Produk yang berasal dari
darah, jika digunakan harus harus dipilih berdasar pada keamananvirusnya. Walaupun prosedur penginaktifan HIV, hepatitis B, dan hepatitis
C yang adekuat digunakan secara umum, laporan hepatitis A atau
parvovirus yang ditularkan melalui infuse berfungsi sebagai pengingat
bahwa ancaman infeksi baru pada pasokan darah pernah ada dan tidak
dapat diprediksikan. Riset untuk menghasilkan protein pembekuan yang
direkayasa secara genetic dan untuk menydiakan terapi gen harus
dilakukan secepat mungkin. (Rudolph, 2006)
Perawatan umum untuk anak dengan hemophilia berat
Setelah membuat diagnose hemophilia, keluarga harus ditawarkan
konseling segera dan sedang berlangsung untuk menyesuaikan diagnosis
dan mulai membentuk pandangan yang sehat dan realistis mengenai

kesejahteraan anak mereka. Semua bayi yang terkena harus memulai


vaksinasi untuk hepatitis B sebelum pemajanan terhadap produk darah.
Imunisasi rutin harus diberikan, baik dengan injeksi subkutan atau, jika
intramuscular dengan menggunakan jarumdengan diameter terkecil yang
tersedia. Perawatan gigi profilaktik sangat penting untuk menghindari
bedah mulut reparasi. Latihan fisik harus ditekankan secara dini untuk
menimbulkan kekuatan musculoskeletal yang optimal. Aktivitas
prasekolah yang utuh dapat ditoleransi oleh sebgian besar anak dengan
hemophilia berat. Pada tahun-tahun sekolah awal, edukasi mengenai fisik
secara umum merupakan suatu kewajiban, dengan menghindari sama
sekali olahraga-kontak. Berenang, bersepeda, dan berjalan-jalan
disarankan pada anak. Baseball, tenis, dan basket dapat ditoleransi oleh
sebagian besar anak kecil. Infuse profilaktik mungkin diperlukan untuk
pemain sepakbola, pemain ski menurun bukit, dan olahraga serupa.
Rugby, hoki es, dan lacrosse harus dihindari oleh semua anak penderita
hemophilia. (Rudolph, 2006)
Infuse dirumah, dengan atau tanpa jalur intravena yang ditinggalkan,
menyingkirkan banyak trauma berulang yang dihadapi di ruang gawat
darurat dan membantu memungkinkan anak agar mengalami
hemofiliasebagai gangguan yang dapat ditatalaksana.Meskipun demikian,
penting untuk mempertahankan keamanan di dalam terapi di rumah.
Transmisi rumah tangga virus yang ditularkan melalui darah selalu
merupakan ancaman karena risiko penggunaan dan pembuangan produk
darah serta pasokan yang tidak baik dalam lingkungan rumah. Orang tua
membutuhkan edukasi awal yang mendasar dan membutuhkan dukungan
serta edukasi yang kontinu untuk mempertahankan terapi infuse di rumah
secara adekuat. (Rudolph, 2006)
b) Hemofilia B (Kekurangan Faktor IX)
Insiden hemofilia B diperkirakan sekitar 1 kasus per 25,000-30,000
kelahiran laki-laki. Prevalensi hemofilia B adalah 5,3 kasus per 100.000
orang laki-laki, dengan 44% dari mereka yang memiliki penyakit parah.
Dari semua kasus hemofilia, 80-85% adalah hemofilia A, 14% adalah
hemofilia B, dan sisanya adalah berbagai kelainan pembekuan lainnya.
(Zaiden, 2012)
Manifestasi Klinis
Penyakit ini klinis tidak dapat dibedakan dengan defisiensi faktor VIII (hemofilia
A); perdarahan sendi dan otot adalah khas. Ia diwariskan sebagai ciri resesif terikatX, dan tingkat keparahannya adalah terkait dengan kadar faktor aktivitas koagulan
dalam plasma.
Temuan Laboratorium
Waktu tromboplastin parsial (PTT) biasanya abnormal memanjang. Waktu
perdarahan dan PPT normal. Pengukuran faktor IX spesifik perlu untuk
membedakan dengan hemofilia A dan untuk menentukan tingkat keparahan defek
ini. (Nelson, 2000)

Terapi
Volume distribusi faktor IX kira-kira dua kali volume plasma. Dengan demikian, 1
U/kg konsentrasi faktor IX akan meningkatkan konsentrasi plasma hanya sebesar
1%. Perdarahan rutin ditangani dengan 30-40 U/kg. Sejumlah anak dengan
defisiensi faktor IX tampaknya berespon secara klinis untuk dosis penggantian yang
lebih rendah. Fase beta, atau eliminasi pada pelepasan faktor IX plasma adalah
sekitar 30 jam. Infus faktor IX dapat diberikan sekali sehari untuk pembedahan dan
2-3 kali seminggu untuk penggantian atau profilaksis. (Rudolph, 2007)
Saat ini tidak ada produk rekombinan faktor IX yang tersedia,
meskipun demikian, terdapat beberapa konsentrat yang mengalami
penginaktifan virus dan sangat dimurnikan. Kemurnian intermedial
konsentrat faktor IX mengandung faktor II, VII, IX, dan X yang bergantung
vitamin K. Sejumlah kecil faktor VII dan IX yang diaktifkan mungkin
dimasukkan sebagai kontaminan dan menyebabkan potensi trombotik dari
produk ini, terutama jika diberikan dengan dosis tinggi untuk waktu yang
lama. Hanya konsentrat faktor IX yang sangat dimurnikan, tepat untuk
pembedahan atau terapi perdarahan intrakranial dan perdarahan berat
lain. (Rudolph, 2007)
c) Hemofilia C (Kekurangan Faktor XI)
Defisiensi faktor XI diturunkan sebagai ciri bawaan autosom paling
sering dilaporkan pada individu yang memiliki leluhur Yahudi. Defisiensi
homozigot yang berkaitan dengan perdarahan spontan dan yang
disebabkan trauma yang umumnya lebih ringan daripada yang ditemukan
pada defisiensi faktor VIII atau IX. Heterozigot memiliki kemungkinan
perdarahan sekitar 50%, terutama pada pembedahan dan trauma yang
bermakna. Saat ini, tersedia konsentrat faktor IX dari Inggris untuk
penggunaan jika perlu. Penggantian faktor IX dengan plasma beku segar
akan meningkatkan plasma sebesar 1% untuk setiap 1mL/kg. (Rudolph,
2007)
2. Penyakit von Willebrand
Penyakit von Willebrand adalah kelainan perdarahan herediter yang
disebabkan oleh defisiensi faktor von Willebrand. Faktor von Willebrand
membantu trombosit melekat pada dinding pembuluh darah dan antara
sesamanya, yang diperlukan untuk pembekuan darah yang normal.
(Sudoyo, 2009)
Penyakit ini ditemukan oleh seorang alih pediatric bernama Erik von
Willebrand dari Finlandia di sebuah Kepulauan bernama Aland. (Mannuci, 2004)
Penyakit ini tidak sesering hemofilia A tetapi mungkin lebih sering dari
hemofilia B. penyakit von Willebrand terjadi pada kedua jenis kelamin dan
diwariskan sebagai trait autosom dominan. Beberapa keluarga dengan penyakit
berat telah dideskripsikan dimana pewarisnya adalah autosom resesif. Penyakit itu
disebabkan oleh kurangnya produksi protein von Willebrand, atau pada beberapa
keluarga, oleh karena sintesis protein yang disfungsi. (Nelson, 2000)
Klasifikasi

Kelainan kuantitatif FVW


Tipe 1 dan 3 ditandai dengan kelainan kuantitatif faktor von Willebrand.
Identifikasi kelainan gen adalah sulit pada tipe 1 dan 3 penyakit von Willebrand. Tipe
1 merupakan kelainan yang ringan, den menjadi kasus terbanyak. Pada penyakit
von Willebrand tipe 1, 40% anggota keluarga kelompok ini membawa allele penyakit
von Willebrand namun dengan kadar faktor von Willebrand normal. Tipe 3 adalah
bentuk yang berat. Bentuk ini jarang terjadi. (Sudoyo, 2009)
Kelainan kualitatif FVW
Tipe 2 yang terdiri dari subtype 2A, 2B, 2M dan 2N, meliputi pasien dengan
kelainan kualitatif faktor von Willebrand. Tipe 2 meliputi kelainan yang ringan sampai
sedang, ditandai dengan penurunan fungsi faktor von Willebrand yang terkait
trombosit dan termasuk subtipe IIA dan IIC. Tipe 2B, ditetapkan dengan
meningkatnya afinitas faktor von Willebrand terhadap GP 1b trombosit. Tipe 2N,
ditandai oleh kelainan ikatan faktor von Willebrand pada faktor VIII. (Sudoyo, 2009)
Manifestasi Klinis
Penyakit ini meliputi perdarahan hidung, gusi, menoragia, perdarahan luka
merembes lama, dan perdarahan yang meningkat setelah trauma atau bedah.
Hemartrosis spontan sangat jarang. (Nelson, 2000)
Temuan Laboratorium
Pemeriksaan diagnostic untuk penyakit von Willebrand meliputi asai untuk
faktor von Willebrand, menunjukkan kadar yang subabnormal. Waktu perdarahan
yang memanjang dalam keadaan adanya defisiensi faktor VIII dan kelainan agregasi
trombosit jika diberikan ristotesin (suatu antibiotik yang menyebabkan agregasi
trombosit) bersifat diagnostic untuk penyakit von Willebrand. (Price, 2006)
Pengobatan
Pengobatan penyakit von Willebrand bervariasi bergantung pada tipe dan
derajat perdarahan. Pilihan pengobatan meliputi kriopresipitat, konsentrat faktor VIII,
desmopresin (DDAVP), plama beku segar, dan estrogen. Tujuan pengobatan adalah
untuk meningkatkan ketersediaan faktor von Willebrand. Jika digunakan
kriopresipitat, sebaiknya diperoleh dari donor yang telah diseleksi secara seksama
dan diperiksa secara berulang menurut Medical and Scientific Council of
America. (Price, 2006)
DDAVP digunakan dalam pengobatan penyakit von Willebrand tipe I dan IIA.
Pada sebagian besar kasus, DDAVP dapat digunakan untuk mengontrol perdarahan
ringan, secara profilaktik digunakan sebelum prosedur pembedahan. Sekarang
tersedia dalam bentuk semprot hidung, DDAVP berperan dalam pelepasan faktor
von Willebrand dari tempat penyimpanan cadangan. Untuk penggantian faktor von
Willebrand digunakan generasi yang lebih baru yaitu faktor VIII s yang diinaktifkan
virus, yang diketahui mengandung faktor von Willebrand. Pasien-pasien yang
dijadwalkan untuk menjalani prosedur pembedahan harus dievaluasi dan
dipersiapkan oleh ahli hematologi selama dan setelah menjalani prosedur
pembedahan. (Price, 2006)

3.

Koagulasi Intravaskular Diseminata


Koagulasi intravascular diseminata (DIC) adalah suatu sindrom kompleks
yang terdiri atas banyak segi, yang sistem homeostatic dan fisiologik normalnya
mempertahankan darah tetap cair berubah menjadi suatu sistem patologik yang
menyebabkan terbentuknya trombi fibrin difus, yang menyumbat mikrovaskular
tubuh. Sistem fibrinolitik diaktivasi oleh thrombin di dalam sirkulasi, yang mencegah
fibrinogen menjadi monomer fibrin. Sistem fibrinolitik diaktivasi oleh trombin di dalam
sirkulasi, yang memecah fibrinogen menjadi monomer fibrin. Trombin juga
merangsang agregasi trombosit, mengaktivasi faktor V dan VIII, serta melepas
aktivator plasminogen, yang membentuk produk-produk degradasi-fibrin, dan
selanjutnya menginaktivasi faktor V dan VIII. Aktivitas thrombin yang berlebihan
mengakibatkan berkurangnya fibrinogen, trombositopenia, faktor-faktor koagulasi,
dan fibrinolisis, yang mengakibatkan perdarahan difus. DIC bukan merupakan
penyakit, tetapi akibat proses penyakit yang mendasarinya. Perubahan pada segala
komponen sistem vaskular, yaitu, dinding pembuluh darah, protein plasma, dan
trombosit, dapat menyebabkan suatu gangguan konsumtif.masuknya zat atau
aktivitas prokoagulan ke dalam sirkulasi darah mengawali sindrom tersebut dan
dapat terjadi pada segala kondisi yang tromboplastin jaringannya dibebaskan akibat
destruksi jaringan, dengan inisiasi jalur pembekuan ekstrinsik. Karena plasenta
merupakan sumber yang kaya akan tromboplastin jaringan, maka salah satu
penyebab tersering DIC adalah solusio plasenta (solusio plasenta, plasenta lepas
secara dini). Keadaan ini menyebabkan retensi produk-produk konsepsi (plasenta,
janin) yang menyebabkan nekrosis dan kerusakan jaringan lebih lanjut. Produkproduk tumor, luka bakar, cedera remuk menyebabkan pelepasan tromboplastin.
Pada leukemia promielositik, promielosit granular mengeluarkan aktivitas seperti
tromboplastin yang sering pada saat dimulainya kemoterapi dan dilepasnya granula.
Selama proses koagulasi, trombosit beragregasi, dan bersama dengan faktor-faktor
koagulasi, akan digunakan dan jumlahnya berkurang. Hasil thrombus fibrin dapat
atau tidak menyumbat mikrovaskular. Bersamaan dengan ini, sistem fibrinolitik
diaktivasi untuk pemecahan trombi fibrin, menghasilkan banyak fibrin dan produk
degradasi fibrinogen yang mengganggu polimerisasi fibrin dan fungsi trombosit. Aksi
ini menyebabkan perdarahan difus yang khas pada DIC. (Price, 2006)
Koagulasi intravaskular diseminata ditandai dengan aktivasi
koagulasi luas, yang menghasilkan pembentukan fibrin intravaskular
danoklusi
trombotik
koagulasi dari
pembuluh
darah. Koagulasi
intravaskular diseminata dapat mengganggu suplai darah ke organ
dan memicu gangguan hemodinamik dan metabolik, sehingga dapat
menyebabkankegagalan beberapa organ. (Levi, 1999)
Manifestasi Klinis
Gambaran klinis bervariasi sesuai stadium dan keparahan sindroma.
Sebagian besar pasien mengalami perdarahan kulit dan membrana
mukosa yang luas dan perdarahan dari berbagai tempat, biasanya dari
insisi bedah atau tempat masuknya selang infus. Manifestasi yang lebih
jarang
adalah
akrosianosis
perifer,
trombosis,
dan
perubhan

pragangrenosa di jari, genitalia, dan hidung, tepat aliran darah sangat


melambat akibat vasospasme dan mikrotrombus. Beberapa pasien,
terutama dengan KID kronik akibat keganasan, memperlihatkan kelainan
laboratorium tanpa bukti trombosis atau perdarahan.` (Harrison, 2000)
Temuan Laboratorium
Manifestasi laboratorium mencakup trombositopenia dan adanya skistosit
atau sel darah merah berfragmen yang berasal dari sel yang terperangkap dan
rusak di dalam trombus fibrin, pemanjangan PT dan PTT serta waktu trombin, dan
penurunan kadar fibrinogen akibat deplesi protein pembekuan, peningkatan produk
pecahan fibrin (fibrin degradation products, FDP) akibat fibrinolisis sekunder yang
intensif. Manifestasi utama KID, yang berkaitan paling erat dengan perdarahan
adalah kadar fibrinogen plasma. (Harrison, 2000)

Pengobatan
Penanganan ditujukan pada perbaikan mekanisme yang mendasarinya, yang
mungkin memerlukan penggunaan antibiotik, agen-agen kemoterapeutik, dukungan
kardiovaskular, serta pada keadaan retensio plasenta, isi uterus dikeluarkan.
Penggantian faktor-faktor plasma dengan plasma dan kriopresipitat, serta transfusi
trombosit dan sel darah merah, mungkin diperlukan. Bila terjadi perdarahan yang
hebat, peran heparin, yang merupakan suatu antikoagulan antitrombin yang kuat,
masih sangat kontroversial. Heparin menetralkan aktivitas thrombin, dan dengan
demikian menghambat penggunaan faktor-faktor pembekuan dan pengendapan
fibrin. Meningkatkan konsentrasi faktor-faktor pembekuan dan trombosit dengan
memberikan infus plasma dan trombsit seharusnya menghambat diatesis
perdarahan. Heparin diindikasi kapan pun jika terjadi kegagalan terapi penggantian
untuk meningkatkan faktor-faktor koagulasi dan perdarahan tetap ada. Heparin juga
diindikasikan pada keadaan adanya pengendapan fibrin yang menyebabkan
nekrosis dermal. Heparin dosis rendah telah berhasil digunakan bersama dengan
agen kemoterapeutik pada pengobatan leukemia promielositik, untuk mencegah DIC
akibat pelepasan tromboplastin oleh granula leukosit. (Price, 2006)
4. Gangguan Pembekuan Pada Penyakit Hati
Karena hati berperan penting dalam pembentukan dan metabolisme protein
pembekuan, maka disfungsi hati sering disertai oleh gangguan hemostasis. Perlu
diketahui bahwa perdarahan biasanya disebabkan oleh lesi anatomik, yang
kemudian dapat kambuh akibat gangguan hemostatik. Sebagian besar pasein
mengalami perdarahan akibat komplikasi hipertensi portal seperti varises esofagus
atau akibat gastritis dan tukak peptik saluran makanan. Hipertensi portal juga
menimbulkan splenomegali, disertai sekuestrasi trombosit dan trombositopenia,
yang berperan menambah gangguan hemostatik. (Harrison, 2000)
Pasien penyakit hati hepatoseluler tidak dapat menyimpan vitamin K secara
optimal dan mungkin sedikit banyak menderita defisiensi vitamin K. Kolestasiss
yang sering terjadi pada penyakit hati, mengganggu penyerapan vitamin K dan
semakin menurunkan simpanan vitamin K di hati. Kelainan pada karboksilasi gama

protein kompleks protrombin yang independen vitamin K dan pembentukan protein


abnormal juga pernah dilaporkan. Pasien juga mungkin mengalami penurunan
pembentukan protein pembekuan lain, termasuk fibrinogen dan faktor V. Hati juga
menghasilkan inhibitor pembekuan misalnya antitrombin II dan protein C dan S dan
merupakan tempat pembersihan untuk faktor pembekuan aktif dan enzim fibrinolitik.
Dengan demikian, pasien yang berpenyakit hati juga mengalami hiperkoagulasi dan
berpredisposisi mengalami KID atau fibrinolisis sistemik. Karena itu, gangguan
pembekuan pada penyakit hati stadium lanjut sering sulit dibedakan dengan
gangguan pembekuan pada KID. (Harrison, 2000)
Setiap pasien dengan perdarahan dan penyakit hati harus menjalani
pemeriksaan PT, PTT, jumlah trombosit, dan fibrinogen, namun dari satu rangkaian
hasil pemeriksaan laboratorium tidak selalu dapat ditentukan kelainan hemostatik
yang paling berperan. Pada pasien penyakit kronik yang mengalami komplikasi
akut, data laboratorium sebelumnya sangat membantu. Terdapat kolerasi erat antara
derajat pemanjangan PT dan risiko perdarahan. Sebagian besar pasien
memperlihatkan pemanjangan sedang PT dan PTT, trombositopenia ringan, dan
kadar fibrinogen yang normal. Namun, mereka juga mungkin mengalami gangguan
yang lebih kompleks berupa gabungan gangguan sintesis, kelainan pembersihan,
dan komsumtif aktif protein pembekuan. Karena defisiensi vitamin K sangat sering
terjadi, maka dianjurkan pemberian vitamin K parenteral, sekali dosis, setelah
pemeriksaan laboratorium pertama dilakukan, walau hal ini mungkin hanya
memperbaiki kelainan laboratorium secara parsial. Adanya trombositopenia berat
atau kadar fibrinogen yang rendah mengisyaratkan komplikasi KID dan mungkin
memerlukan pemeriksaan dan terapi lebih lanjut. (Harrison, 2000)
Terapi penggantian yang paling aman untuk pasien penyakit hati adalah
plasma beku segar, karena mengandung semua faktor pembekuan yang diketahui.
Namun, terapi bentuk ini pun memiliki kelemahan, karena plasma dalam jumlah
besar dapat mencetuskan enselopati hepatika dan memberikan beban cairan dan
natrium. Konsentrat kompleks protrombin harus dihindari karena hanya mengganti
faktor yang tergantung vitamin K, mungkin tercemar oleh virus hepatitis dan AIDS,
dan mengandung sejumlah kecil protein pembkuan aktif. Demikian pula, konsentrat
fibrinogen (atau kriopresipitat) yang kaya akan faktor VIII dan fibrinogen jangan
digunakan tanpa tambahan plasma beku segar. Antikoagulan hearin pernah
dianjurkan untuk mengontrol KID, tetapi terapi ini berbahaya dan tidak dianjurkan
untuk sirosis karena heparin dimetabolisasi secara tidakk teratur dan mungkin dapat
menyebabkan perdarahan hebat. (Harrison, 2000)

5.

Gangguan Fibrinolitik
Perdarahan juga dapat terjadi akibat gangguan pada sistem
fibrinolitik. Pasien dengan defisiensi ih\nhibitor plamin alfa 2 atau inhibitor
aktivator plasminogen (PAI-1) cepat mengalami fibrinolisis setelah
pengendapan fibrin pada pembedahan atau trauma sehingga dapat
mengalami perdarahan berulang. Demikian juga, pasien sirosis

mengalami gangguan klirens aktivator plasminogen jaringan dan


fibrinolisis sistemik yang mungkin ikut berperan menimbulkan gangguan
perdarahan. Walaupun jarang, pasien tumor seperti karsinoma prostat
metastatik dapat mengalami perdarahan difus akibat fibrinolisis primer
dan bukan akibat KID. Petunjuk diagnosis adalah kadar fibrinogen yang
terlalu rendah dengan PT dan PTT yang relatif normal serta hitung
trombosit yang normal atau hampir normal. Walaupun terdapat beberapa
pengecualian, pasien fibrinolisis primer akan memperlihatkan peningkatan
produk pecahan fibrin (FDP) tetapi kadar dimer D normal. Namun, kadangkadang fibrinolisis primer sulit atau tidak mungkin dibedakan dengan
fibrinolisis sekunder yang menyertai KID. Pasien dengan finolisis primer
yang telah berkembang penuh jangan diberi heparin, pasien memang
memerlukan terapi plasma dan kadang-kadang inhibitor fibrinolitik
misalnya EACA. Namun, EACA jangan diberikan kepada pasien yang
dicurigai menderita KID kecuali jika mereka juga mendapat heparin,
karena EACA dapat menyebabkan trombosis masif, yang sering faal, pada
pasien KID. (Harrison, 2000)

BAB III
SIMPULAN DAN SARAN

III.1 Simpulan
Hemostasis adalah istilah kolektif untuk semua mekanisme faal
yang digunakan oleh tubuh untuk melindungi diri dari kehilangan darah,
yang terdiri dari empat sistem utama yaitu sistem pembuluh darah
(vascular), trombosit, sistem pembekuan, dan sistem fibrinolitik dimana
mekanisme tersebut ditunjang dengan adanya faktor-faktor pembekuan
darah.
Kegagalan hemostatis menimbulkan perdarahan; kegagalan
mempertahankan darah dalam keadaan cair menyebabkan thrombosis.
Baik perdarahan maupun thrombosis sangat sering terjadi dan merupakan
masalah klinis yang berbahaya. Dan untuk menentukan letak kelainan
hemostasis ini diperlukan anamnesis yang baik dan teliti, pemeriksaan
dan evaluasi manifestasi klinik perdarahan yang cermat serta
pemeriksaan laboratorium yang tepat.Tes yang digunakan dalam evaluasi
awal pasien dengan gangguan perdarahan meliputi waktu perdarahan
(bleeding time), hitung trombosit, waktu protrombin (protrombin time, PT),
waktu tromboplastin parsial (partial tromboplastin time, PTT).
Ganguan perdarahan secara klinis ditandai dengan perdarahan abnormal,
yang mungkin spontan atau terjadi setelah suatu kejadian pemicu (missal, trauma
atau pembedahan). Perdarahan abnormal dapat disebabkan oleh (1) kelainan di

dinding pembuluh darah, (2) defisiensi atau disfungsi trombosit, atau (3) gangguan
faktor pembekuan.
III.2 Saran
Agar dapat lebih memahami tentang mekanisme hemostasis dan kelainannya,
seorang dokter disarankan banyak membaca dari berbagai sumber.

REFERENSI

Hassan, Rusepno. Dkk. 2005. Buku Kuliah Ilmu Kesehatan Anak Jilid 1.Jakarta:
Bagian Ilmu Kesehatan Anak FKUI.
IDAI. 2005. Buku Ajar Hematologi-Onkologi Anak. Balai Penerbit IDAI:Jakarta.

Isselbacher. Kurt J.2000. Harrison Prinsip-prinsip Ilmu Penyakit Dalam Volume 3.


Jakarta:EGC.
Kumar, Vinary. dkk. 2007. Buku Ajar Patologis Ed 7. Jakarta. EGC.
Nelson W E, dkk. 2000. Ilmu Kesehatan Anak edisi 15 volume 2. Jakarta: EGC.
Pollak,
S
E.
2012. von
Willebrand
disease. Online
at http://emedicine.medscape.com/article/206996-overview
diakses
5
oktober 2012.
Price, Sylvia. dkk. 2005. Patofisiologi Volume 2 Edisi 6. Jakarta: EGC.
Rudolph, Abraham M. dkk. 2006. Buku Ajar Pediatri RUDOLPH Volume 2 Edisi 20.
Jakarta:EGC.
Sacher, Ronald A. dkk. 2004. Tinjauan Klinis Hasil Pemeriksaan Laboratorium Edisi 11.
Jakarta:EGC.
Setiabudy, Rahajuningsih D. 2009. Hemostasis dan Trombosis Edisi Keempat. Jakarta:Balai
Penerbit FKUI.

Sudoyo A.W. dkk. 2009. Buku Ajar Ilmu Penyakit dalam edisi V jilid III. Jakarta:
FKUI.
Zaiden, R A. 2012. Haemophilia B Treatment & Management. Online
athttp://emedicine.medscape.com/article/779434-treatment diakses
5
oktober 2012.
Zaiden, R A. 2012. Haemophlia A Treatment & Management. Online
athttp://emedicine.medscape.com/article/779322-treatment
diakses
5
oktober 2012.

Makalah Trombosit
OLEH IWAN LABORAN PADA AGUSTUS 13, 2012

BAB I
PENDAHULUAN
1.1.Latar belakang
Darah adalah suatu jaringan tubuh yang terdapat di dalam pembuluh darah yang
warnanya merah. Warna merah keadaannya tidak tetap tergantung pada banyaknya
O2 dan CO2 di dalamnya. Darah yang banyak mengandung CO 2 warnanya merah tua.
Adanya O2 dalam darah diambil dengan jalan pernapasan, dan zat ini sangat berguna
pada peristiwa pembongkaran atau metabolisme di dalam tubuh.
Darah merupakan jaringan cair yang terdiri atas dua bagian yaitu:
1. Bahan intraseluler adalah cairan yang disebut dengan plasma.plasma darah
adalah cairan berwarna kuning yang dalam reaksi bersifat sedikit alkali.
Kandungan dari plasma terdiri dari gas O 2 dan CO2, hormone-hormon, enzim,
antigen.
2. Unsur-unsur padat, yaitu sel darah. Sel darah terdiri atas tiga jenis:
v Eritrosit (sel darah merah)
v Lekosit (sel darah putih)
v Trombosit (keeping-keping darah)

Volume darah secara keseluruhan kira-kira merupakan satu perdua belas berat badan
atau kira-kira 5 liter. Sekitar 55 % adalah cairan, sedangkan 45 % sisanya dari sel darah.
Dan jumlah ini dinyatakan dalam nilai hematokrit atau volume sel darah yang dipadatkan
yang berkisar antara 40-47. Volume darah dalam kondisi sehat adalah konstan dan sampai
batas tertentu diatur oleh tekanan osmotik dalam pembuluh darah dan dalam jaringan.
Susunan darah, serum darah atau plasma terdiri atas:

Air terdiri dari 91 %.

Protein terdiri dari 8 % (Albumin, globulin, protrombin dan fibrinogen)

Mineral terdiri dari 0,9 % (NaCl, Na2CO3, garam dari kalsium,fosfor, Mg dan Fe, dan
seterusnya).

Sisanya diisi oleh sejumlah bahan organic, yaitu glukosa, lemak, urea, asam urat,
kreatinin, cholesterol, dan asam amino.
Fungsi darah adalah sebagai berikut:
1)
Sebagai sistem transport dari tubuh, mengantarkan semua bahan kimia, O 2, dan zat
makanan yang diperlukan untuk tubuh fungsinya normal dapat dijalankan dan
menyingkirkan CO2 dan hasil buangan lainnya.
2)

Mengantarkan O2 ke jaringan dan menyingkirkan sebagian dari karbon dioksida.

3)
Sel darah putih menyediakan bahan pelindung dan karena gerakan fagositosis dari
beberapa sel untuk melindungi tubuh terhadap serangan bakteri.
4)
Plasma membagi protein yang diperlukan untuk pembentukan jaringan,
menstabilkan cairan jaringan karena melalui cairan sel tubuh menerima makanannya dan
sebagai pengangkut bahan buangan ke berbagai organ exkretorik untuk dibuang.
5)

Hormon, dan enzim diantarkan dari organ ke organ dengan perantaraan darah.

Pembekuan darah. Bila darah keluar dari vaskulernya maka cepat menjadi lekat dan
segera mengendap sebagai zat kental berwarna merah. Gumpalan mengerut dan keluar
cairan bening berwarna kuning jerami, yang disebut serum. Bila darah tersebut diperiksa
dibawah mikroskop, terlihat benang-benang fibrin yang tak larut yang terbenttuk dari
fibrinogen dalam plasma oleh kerja thrombin. Benang tersebut, jerat sel darah dan
bersamaan membentuk gumpalan, dan dikumpulkan dalam tabung reaksi maka akan
terapung dalam serum.

Trombin adalah alat dalam mengubah fibrinogen menjadi benang fibrin. Trombin tidak ada
dalam darah normal yang berada dalam pembuluh darah, tetapi yang ada
adalah protombin, yang kemudian diubah menjadi zat aktif thrombin oleh kerja
trombokinase. Trombokinaseatau tromboplastin adalah zat penggerak yang dilepaskan ke
darah di tempattt yang luka. Dan ini terbentuk karena terjadinya kerusakan pada
trombosit, yang selama ada garam kalsium dalam darah akan mengubah protombin
menjadi thrombin sehingga terjadi pengumpalan darah. Penggumpalan darah diperlukan
empat factor yaitu:
1. a.

Garam kalsium yang dalam keadaan normal ada dalam darah,

2. Sel yang terluka yang membebaskan trombokinase,


3. Trombin yang terbentuk dari protombin bila ada trombokinase, dan
4.

Fibrin yang terbentuk dari fibrinogen

Protombin dihasilkan dalam hati. Vitamin K diperlukan untuk mengahasilkan protombin.


Pengumpalan (koagulasi) darah dipercepat oleh panas yang sedikit lebih tinggi dari suhu
badan, kontak dengan bahan kasar, atau dengan pembalut.
Diperlambat karena dingin, kalau disimpan dalam tabung berlapis lilin disebelah
dalamnya sebab darah memerlukan kontak dengan permukaan yang dapat menjadi basah
oleh air sebelum dapat mengumpal sedangkan parafin tidak memiliki permukaan yang
basah oleh air, dapat ditambah kalium sitrat atau natrium sitrat yang meyingkirkan garam
kalsium yang dalam keadaan normal.
Trombus adalah penggumpalan yang terbentuk dalam sirkulasi darah. Keadaan adanya
trombus ini disebut trombosis. Trombosis femoral dapat terjadi sesudah operasi.
Gumpalan dalam arteri koroner menyebabkan trombosis koroner. Bila sebagian dari
gumpalan ini dilepas dan masuk sirkulasi darah disebut embolus. Bila gumpalan ini
melewati jantung dan masuk ke paru-paru melalui salah satu arteri pulmonalis, maka
sebuah pembuluh kecil atau besar dapat tersumbat, dan terjadilah emboli paru-paru.
1.2.Rumusan masalah
Permasalahan yang akan dibahas dalam makalah ini adalah sebagai berikut:
1. Apa itu trombosit?
2.

Bagaimana proses pembekuan darah?

3. Patofisiologi dari trombosit?

4. Penyakit yang ditimbulkan akibat kelainan dari trombosit?


1.3.Batasan masalah
Dalam penyusunan makalah ini, hanya dibahas tentang trombosit terhadap indikasi
penyakit.
1.4.Tujuan masalah
Tujuan yang ingin dicapai dalam penyusunan makalah ini adalah sebagai berkut:
1. Untuk mengetahui lebih luas tentang trombosit terhadap indikasi penyakit.
2. Sebagai pengetahuan tambahan bagi rekan-rekan mahasisiwa baik teman sekelas
maupun yang lainnya yang membaca makalah ini.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1.Tinjauan Umum
Trombosit (keping-keping darah) adalah fragmen sitoplasmik tanpa inti berdiameter 2-4
mm yang berasal dari megakariosit. Hitung trombosit normal dalam darah tepi adalah
150.000 400.000/l dengan proses pematangan selama 7-10 hari di dalam sumsum
tulang. Trombosit dihasilkan oleh sumsum tulang (stem sel) yang berdiferensiasi menjadi
megakariosit. Megakariosit ini melakukan reflikasi inti endomitotiknya kemudian volume
sitoplasma membesar seiring dengan penambahan lobus inti menjadi kelipatannya,
kemudian sitoplasma menjadi granula dan trombosit dilepaskan dalam bentuk
platelet/keping-keping. Enzim pengatur utama produksi trombosit adalah trombopoetin
yang dihasilkan di hati dan ginjal, dengan reseptor C-MPL serta suatu reseptor lain, yaitu
interleukin-11. Trombosit berperan penting dalam hemopoesis, penghentian perdarahan
dari cedera pembuluh darah.
Trombosit atau platelet sangat penting untuk menjaga hemostasis tubuh. Adanya
abnormalitas pada vaskuler, trombosit, koagulasi, atau fibrinolisis akan menggangu
hemostasis sistem vaskuler yang mengakibatkan perdarahan abnormal/gangguan
perdarahan (Sheerwood,2001).
Penegakkan diagnosis tentang penyebab utama gangguan perdarahan amat penting dan
hal ini dibutuhkan ketelitian yang cermat, efektif, dan efisien dalam hal anamnesis,
pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan laboratorium yang semata-mata untuk menghindari
kesalahan diagnosis. Apapun penyebab gangguan perdarahan, ternyata memberikan
gambaran klinis yang hampir sama. Maka dari itu, hampir semua kasus gangguan

perdarahan membutuhkan pemeriksaan yang lanjut demi tegaknya diagnosis penyakit


tersebut (Candrasoma,2005).
Trombosit memiliki zona luar yang jernih dan zona dalam yang berisi organel-organel
sitoplasmik. Permukaan diselubungi reseptor glikoprotein yang digunakan untuk reaksi
adhesi & agregasi yang mengawali pembentukan sumbat hemostasis. Membran plasma
dilapisi fosfolipid yang dapat mengalami invaginasi membentuk sistem kanalikuler.
Membran plasma ini memberikan permukaan reaktif luas sehingga protein koagulasi
dapat diabsorpsi secara selektif. Area submembran, suatu mikrofilamen pembentuk
sistem skeleton, yaitu protein kontraktil yang bersifat lentur dan berubah bentuk.
Sitoplasma mengandung beberapa granula, yaitu: granula densa, granula a, lisosome
yang berperan selama reaksi pelepasan yang kemudian isi granula disekresikan melalui
sistem kanalikuler. Energi yang diperoleh trombosit untuk kelangsungan hidupnya
berasal dari fosforilasi oksidatif (dalam mitokondria) dan glikolisis anaerob (Aster,2007;
A.V Hoffbrand et al, 2005; Candrasoma,2005).
Kelainan Perdarahan ditandai dengan kecenderungan untuk mudah mengalami
perdarahan, yang bisa terjadi akibat kelainan pada pembuluh darah maupun kelainan
pada darah. Kelainan yang terjadi bisa ditemukan pada faktor pembekuan
darah< atau trombosit. Dalam keadaan normal, darah terdapat di dalam pembuluh darah
(arteri, kapilerdan vena). Jika terjadi perdarahan, darah keluar dari pembuluh darah
tersebut, baik ke dalam maupun ke luar tubuh. Tubuh mencegah atau mengendalikan
perdarahan
melalui
beberapa
cara.
Homeostatis adalah cara tubuh untuk mengentikan perdarahan pada pembuluh darah
yang mengalami cedera.
Hal ini melibatkan 3 proses utama:
1. Konstriksi (pengkerutan) pembuluh darah
2. Aktivitas trombosit (partikel berbentuk seperti sel yang tidak teratur, yang terdapat
di dalam darah dan ikut serta dalam proses pembekuan)
3. Aktivitas faktor-faktor pembekuan darah (protein yang terlarut dalam plasma).
Kelainan pada proses ini bisa menyebabkan perdarahan ataupun pembekuan yang
berlebihan, dan keduanya bisa berakibat fatal.

Fungsi Trombosit
Trombosit memiliki banyak fungsi, khususnya dalam mekanisme hemostasis. Berikut
fungsi dari trombosit (A.V Hoffbrand et al, 2005): mencegah kebocoran darah spontan

pada

pembuluh

darah

kecil

dengan

caraadhesi,

sekresi,

agregasi,

dan

fusi

(hemostasis).Sitotoksis sebagai sel efektor penyembuhan jaringan.


Berperan dalam respon inflamasi.
Cara kerja trombosit dalam hemostasis dapat dijelaskan sebagai berikut : Adanya
pembuluh darah yang mengalami trauma maka akan menyebabkan sel endotelnya rusak
dan terpaparnya jaringan ikat kolagen (subendotel). Secara alamiah, pembuluh darah
yang mengalami trauma akan mengerut (vasokontriksi). Kemudian trombosit melekat
pada jaringan ikat subendotel yang terbuka atas peranan faktor von Willebrand dan
reseptor glikoprotein Ib/IX (proses adhesi). Setelah itu terjadilah pelepasan isi granula
trombosit mencakup ADP, serotonin, tromboksan A2, heparin, fibrinogen, lisosom
(degranulasi). Trombosit membengkak dan melekat satu sama lain atas bantuan ADP dan
tromboksan A2 (proses agregasi). Kemudian dilanjutkan pembentukan kompleks protein
pembekuan (prokoagulan). Sampai tahap ini terbentuklah hemostasis yang permanen.
Pada suatu saat bekuan ini akan dilisiskan jika jaringan yang rusak telah mengalami
perbaikan oleh jaringan yang baru. (Candrasoma,2005; Guyton,1997; A.V Hoffbrand et al,
2005).

MENCEGAH PENDARAHAN
Pembuluh darah merupakan penghalang pertama dalam kehilangan darah. Jika
mengkerut sehingga aliran darah keluar menjadi lebih lambat dan proses pembekuan bisa
dimulai. Pada saat yang sama, kumpulan darah diluar pembuluh darah (hematom) akan
menekan pembuluh darah dan membantu mencegah perdarahan lebih lanjut.
Segera setelah pembuluh darah robek, serangkaian reaksi akan mengaktifkan trombosit
sehingga trombosit akan melekat di daerah yang mengalami cedera. Perekat yang
menahan trombosit pada pembuluh darah ini adalah faktor von Willebrand, yaitu suatu
protein plasma yang dihasilkan oleh sel-sel di dalam pembuluh darah. Kolagen dan
protein lainnya (terutama trombin), akan muncul di daerah yang terluka dan mempercepat
perlekatan trombosit.
Trombosit yang tertimbun di daerah yang terluka ini membentuk suatu jaring yang
menyumbat luka; bentuknya berubah dari bulat menjadi berduri dan melepaskan protein
serta zat kimia lainnya yang akan menjerat lebih banyak lagi trombosit dan protein
pembekuan.
Trombin merubah fibrinogen (suatu faktor pembekuan darah yang terlarut) menjadi seratserat fibrin panjang yang tidak larut, yang terbentang dari gumpalan trombosit dan
membentuk suatu jaring yang menjerat lebih banyak lagi trombosit dan sel darah.

Serat fibrin ini akan memperbesar ukuran bekuan dan membantu menahannya agar
pembuluh darah tetap tersumbat. Rangkaian reaksi ini melibatkan setidaknya 10 faktor
pembekuan darah. Suatu kelainan pada setiap bagian proses hemostatik bisa
menyebabkan gangguan. Pembuluh darah yang rapuh akan lebih mudah mengalami
cedera
atau
tidak
dapat
mengkerut.
Pembekuan tidak akan berlangsung secara normal jika jumlah trombosit terlalu sedikit,
trombosit tidak berfungsi secara normal atau terdapat kelainan pada faktor pembekuan.
Jika terjadi kelainan pembekuan, maka cedera yang ringan pun bisa menyebabkan
kehilangan darah yang banyak. Sebagian besar faktor pembekuan dibuat di dalam hati,
sehingga kerusakan hati yang berat bisa menyebabkan kekurangan faktor tersebut di
dalam darah.
Vitamin K (banyak terdapat pada sayuran berdaun hijau) sangat penting dalam
pembuatan bentuk aktif dari beberapa faktor pembekuan. Karena itu kekurangan zat gizi
atau obat-obatan yang mempengaruhi fungsi normal vitamin K (misalnya warfarin) bisa
menyebabkan perdarahan. Kelainan perdarahan juga bisa terjadi jika pembekuan yang
berlebihan telah menghabiskan sejumlah besar faktor pembekuan dan trombosit atau jika
suatu reaksi autoimun menghalangi aktivitas faktor pembekuan.
Reaksi yang menyebabkan terbentukan suatu gumpalan fibrin diimbangi oleh reaksi
lainnya yang menghentikan proses pembekuan dan melarutkan bekuan setelah keadaan
pembuluh darah membaik. Tanpa sistem pengendalian ini, cedera pembuluh darah yang
ringan bisa memicu pembekuan di seluruh tubuh. Jika pembekuan tidak dikendalikan,
maka pembuluh darah kecil di daerah tertentu bisa tersumbat. Penyumbatan pembuluh
darah otak bisa menyebabkan stroke; penyumbatan pembuluh darah jantung bisa
menyebabkan serangan jantung dan bekuan-bekuan kecil dari tungkai, pinggul atau perut
bisa ikut dalam aliran darah dan menuju ke paru-paru serta menyumbat pembuluh darah
yang besar di paru-paru (emboli pulmoner).

GANGGUAN PERDARAHAN
Gangguan Perdarahan adalah sebagai berikut:
1.Cacat Vaskular
a. Purpura sederhana dan senilis(peningkatan fragilitas kapiler, khususnya pada usia
lanjut)
b. Vaskulitis hipersensitivitas, banyak gangguan autoimun (peradangan)
c. Kekurangan vitamin C (skorbut, kolagen defektif)
d. Amiloidisis (pembuluh yang gagal berkontriksi)

e. Adenokortikosteroid berlebih (terapeutik atau penyakit Cushing)


f. Telanglektasia hemoragik herediter (sindrom osler-weber-rendut)
g. Penyakit Ehlers-dahlons (kolagen defektif)
h. Purpura Henoch-schonlein
i. Sindrom marfan (elastin defektif)
2.Gangguan Trombosit
a. Menurun (trombositopenia)
b. Fungsi trombosit abnormal
3.Gangguan Koagulasi
a. Defesiensi faktor koagulasi
b. Keberadaan faktor antikoagulan
4.Fibrinolisis Berlebihan
a. Koagulasi intravaskular diseminata
b. Fibrinolisis primer
Perdarahan ke dalam kulit
a. Petekie : perdarahan fokal berukuran sebesar pentul
b. Purpura : multipel, berbentuk tidak beraturan atau lesi ungu oval (2-5 mm atau lebih
besar).
c. Ekimosis (memar) : purpura konfluen; semuanya menunjukkan perubahan warna
berurutan-merah, ungu, coklat-ketika eritrosit yang terekstavasasi terurai dalam jaringan.
d.

Hematom : ekimosis meliputi daerah yang luas.

Perdarahan berlebihan atau memanjang.


Pasca trauma, sering trauma minimal : pasca bedah (misalnya, pencabutan gigi),
perdarahan spontan(tanpa riwayat trauma) ke dalam otot rangka, sendi, dan otak.
Perdarahan dari permukaan mukosa.Epistaksis, perdarahan pada gusi, hemoptisis,
hematuria, dan melena.Perdarahan dari berbagai lokasi

OBAT-OBAT YANG MEMPENGARUHI PEMBEKUAN


Jenis-jenis obat tertentu bisa membantu seseorang yang memiliki resiko tinggi
membentuk bekuan darah yang berbahaya. Pada penyakit arteri koroner yang berat,
gumpalan kecil dari trombosit bisa menyumbat arteri yang sebelumnya telah menyempit
dan memutuskan aliran darah ke jantung, sehingga terjadi serangan jantung.
Aspirin dosis rendah (dan beberapa obat lainnya) bisa mengurangi perlengketan antar
trombosit sehingga tidak akan terbentuk gumpalan yang akan menyumbat arteri.
Antikoagulan mengurangi kecenderungan terbentuknya bekuan darah dengan cara
mencegah aksi dari faktor pembekuan. Antikoagulan seringkali disebut sebagai
pengencer darah, meskipun sesungguhnya tidak benar-benar mengencerkan darah.
Antikoagulan yang sering digunakan adalah warfarin (per-oral) dan heparin (suntikan).
Seseorang yang memiliki katup jantung buatan atau harus menjalani tirah baring selama
berbulan-bulan, seringkali mendapatkan antikoagulan sebagai tindakan pencegahan
terhadap pembentukan bekuan. Orang yang mengkonsumsi antikoagulan harus diawasi
secara ketat. Pemantauan terhadap efek obat ini dilakukan melalui pemeriksaan darah
untuk mengukur waktu pembekuan dan hasil pemeriksaan ini dipakai untuk menentukan
dosis selanjutnya. Dosis yang terlalu rendah tidak dapat mencegah pembekuan,
sedangkan dosis yang terlalu tinggi bisa menyebabkan perdarahan hebat.
Fibrinolitik adalah obat-obat yang membantu melarutkan bekuan yang telah terbentuk.
Segera melarutkan bekuan bisa mencegah kematian jaringan jantung karena kekurangan
darah akbiat penyumbatan pembuluh darah. Fibrinolitik yang biasa digunakan untuk
melarutkan bekuan pada penderita serangan jantung adalah streptokinase, urokinase dan
aktivator plasminogen jaringan.

MUDAHMEMAR
Seseorang bisa mudah memar karena kapiler yang rapuh di dalam kulit. Setiap pembuluh
darah kecil ini robek maka sejumlah kecil darah akan merembes dan menimbulkan bintikbintik merah di kulit (peteki) atau cemar ungu kebiruan (purpura).
Wanita lebih mudah mengalami memar akibat cedera ringan, terutama pada paha, bokong
dan lengan atas. Kadang hal ini merupakan keturunan. Kebanyakan keadaan ini tidak
serius, tetapi bisa merupakan suatu pertanda bahwa ada sesuatu yang salah dalam

elemen pembekuan darah, terutama trombosit. Untuk mengetahuinya bisa dilakukan


pemeriksaan darah.
Pada usia lanjut (terutama jika banyak terkena sinar matahari), memar biasanya timbul di
punggung tangan dan lengan bawah (purpura senilis). Usia lanjut sangat mudah
membentuk memar jika terbentur atau jatuh karena pembuluh darahnya rapuh dan lapisan
lemak dibawah kulitnya tipis. Darah yang merembes dari pembuluh darah yang rusak
akan membentuk bercak ungu tua (hematom). Memar ini bisa menetap selama beberapa
waktu, dan pada akhirnya menjadi hijau muda, kuning atau coklat. Mudah memar bukan
merupakan penyakit dan tidak memerlukan pengobatan. Untuk mengurangi memar,
sebaiknya hindari cedera.

KELAINAN JARINGAN IKAT


Pada penyakit tertentu, misalnya sindroma Ehlers-Danlos, terdapat kolagen (serat protein
yang kuat di dalam jaringan ikat) yang lemah. Kolagen mengelilingi dan menyokong
pembuluh darah yang melewati jaringan ikat, karena itu kelainan pada kolagen bisa
menyebabkan pembuluh darah sangat peka terhadap robekan.
Tidak ada pengobatan khusus, penderita sebaiknya menghindari cedera dan jika terjadi
perdarahan harus segera diatasi.

Penyebab tidak terjadinya bekuan darah:


1. Trombositopenia : konsentrasi trombosit yang rendah di dalam darah
2. Penyakit von Willebrand : trombosit tidak melekat pada lubang di dinding
pembuluh darah
3. Penyakit trombosit herediter : trombosit tidak melekat satu sama lain untuk
membentuk suatu sumbatan
4. Hemofilia : tidak ada faktor pembekuan VII atau IX
5. DIC (disseminated intravascular coagulation) : kekurangan faktor pembekuan
karena pembekuan yang berlebihan.
2.2.Patofisiologi Trombosit

Trombositopenia adalah

penurunan

jumlah

trombosit

kurang

dari

200.000/mm dalam sirkulasi. Kelainan ini berkaitan dengan peningkatan risiko


pendarahan hebat, bahkan dengan cedera ringan atau perdarahan spontan kecil.
Trombositopenia primer dapat terjadi akibat penyakit otoimun yang ditandai oleh
pembentukan antibody terhadap trombosit. Misalnya pada:
v Penggantian darah yang masif atau transfuse ganti (karena platelet tidak dapat
bertahan di dalam darah yang ditransfusikan)
v Pembedahan bypass kardiopaskuler
v Keadaan-keadaan yang melibatkan pembekuan dalam pembuluh darah(komplikasi
kebidanan, kanker, keracunan darah, akibat bakteri gram negative, kerusakan otak
traumatic.
Sebab-sebab Trombositopenia sekunder adalah berbagai obat atau infeksi virus atau
bakteri tertentu. Misalnya pada penyakit:
v Infeksi HIV
v Obat-obatab (heparin, kunidin,kuinin, antibiotic yang mengandung sulfa, beberapa obat
diabetesper-oral, garam emas, rifamicin)
v Infeksi berat disertai septicemia (keracunan darah)
v Keukemia kronik pada bayi
v Limpoma
v Purpura trombositopenik idiopatik (ITP)
Koagulasi intravaskuler diseminata (disseminated intravascular coagulation, DIC) timbul
apabila terjadi trombositopenia akibat pembekuan yang meluas akibat:
v Anemia aplastik
v Hemoglobinuria noktural paroksismal
v Leukemia
v Pemakaian alcohol yang berlebihan
v Anemia megaloblastik
v Kelainan sumsum tulang

Manisfestasi Klinis
Pendarahan pada kulit bisa merupakan pertanda awal dari jumlah trombosit yang
berkurang, bintuk-bintik keunguan seringkali muncul di tungkai bawah dan cederaringan
bisa menyebabkan memar yang menyebar.
Penyakit ini dapat menyebabkan pendarahaan pada gusi. Di dalam tinja dan air kemih
juga dapat ditemukan darah. Pada penderita wanita, darah pada waktu menstruasi sangat
banyak. Pendarahan sulit berhenti sehingga pembedahan dan kecelakaan bisa berakibat
fatal bagi penderita. Jika jumlah trombosit semakin. menurun, maka pendarahan akan
semakin memburuk. Jumlah trombosit kurang dari 5.000-10.000/ml bisa menyebabkan
hilangnya sejumlah besar darah melalui saluran pencernaan atau terjadi pendarahan di
otak ( meskipun otaknya tidak mengalami cedera ) yang dapat berakibat sangat fatal bagi
kehidupan penderita. (Sylvia A.Price &Lloraine M.Wilson,2003)

Trombositosis adalah peningkatan jumlah trombosit diatas 400.000/mm3 dalam


sirkulasi. Dan ini berkaitan dengan peningkatan risiko trombosit dalam system
pembuluh. Apabila terjadi berkepanjangan akan mengalami memar dan
perdarahan, karena trombosit habis terpakai.

Trombositosis dibagi menjadi dua yaitu:


1. Trombositosis primer
Trombositosis primer dapat terjadi pada polisitemia vera atau leukemia grunulomasitik
kronik dimana bersama kelompok sel lainnya mengalami poliferasi abnormal sel
megakariosit dalam sumsum tulang.
1. Trombositosis sekunder
Terjadi akibat infeksi, olahraga, ovulasi, dan stress atau kerja fisik disertai pengeluaran
trombosit dari pool cadangan ( dari limpa) atau saat terjadinya peningkatan permintaan
sumsum tulang seperti pada pendarahan atau pada anemia hemolitik. Jumlah trombosit
yang meningkat juga ditemukan pada orang yang limpanya sudah dibuang dengan
pembedahan. Limpa adalah tempat penyimpanan dan penghancuran utama trombosit,
splenektomi tanpa disertai pengurangan pembentukan sumsum tulang juga dapat
menyebabkan trombositosis. (Sylvia A.Price &Lloraine M.Wilson.,2003.)

2.3. Penyakit Akibat Gangguan Pembekuan Darah


A.HEMOFILI

Hemofilia adalah gangguan koagulasi herediter akibat terjadinya mutasi atau cacat
genetik pada kromosom X. Kerusakan kromosom ini menyebabkan penderita kekurangan
faktor pembeku darah sehingga mengalami gangguan pembekuan darah. Dengan kata
lain, darah pada penderita hemofilia tidak dapat membeku dengan sendirinya secara
normal. (Dr.Umarzein, 2008)
Hemofilia tak mengenal ras, perbedaan warna kulit ataupun suku bangsa. Namun
mayoritas penderita hemofilia adalah pria karena mereka hanya memiliki satu kromosom
X. Sementara kaum hawa umumnya hanya menjadi pembawa sifat (carrier). Seorang
wanita akan benar-benar mengalami hemofilia jika ayahnya seorang hemofilia dan ibunya
pun pembawa sifat. Akan tetapi kasus ini sangat jarang terjadi. Meskipun penyakit ini
diturunkan, namun ternyata sebanyak 30 persen tak diketahui penyebabnya.
(Dr.Umar zein, 2008)
Ada dua jenis utama Hemofilia , yaitu:
1. Hemofilia A:
Disebut Hemofilia Klasik. Pada hemofilia ini, ditemui adanya defisiensi atau tidak adanya
aktivitas faktor antihemofilia VIII, protein pada darah yang menyebabkan masalah pada
proses pembekuan darah. ( Gugun,2007)
1. Hemofilia B :
Disebut Christmas Disease. Ditemukan untuk pertama kalinya pada seorang bernama
Steven Christmas yang berasal dari Kanada.pada Christmas Disease ini, dijumpai
defisiensi atau tidak adanya aktivitas faktor IX. (Gugun, 2007)
Penyakit hemofilia diklasifikasikan menjadi tiga, yaitu :
1. Hemofilia berat, jika kadar aktivitas faktor kurang dari 1 %.
2. Hemofilia sedang, jika kadar aktivitas faktor antara 1-5 %.
3. Hemofilia ringan, jika kadar aktivitas faktor antara 6-30 %.

Gangguan pembekuan darah terjadi karena kadar aktivitas faktor pembeku darah jenis
tertentu kurang dari jumlah normal, bahkan hampir tidak ada. Sementara tingkat normal
faktor VIII dan IX adalah 50-200 %. Pada orang normal, nilai rata-rata kedua faktor
pembeku darah adalah 100%. (Gugun,2007)

Faktor penyebab Hemofilia


1. Faktor Genetik
Hemofilia atau pennyakit gangguan pembekuan darah memang menurun dari generasi ke
generasi lewat wanita pembawa sifat (carier) dalam keluarganya, yang bisa secara
langsung, bisa tidak. Seperti kita ketahui, di dalam setiap sel tubuh manusia terdapat 23
pasang kromosom dengan bebagai macam fungsi dan tugasnya. Kromosom ini
menentukan sifat atau ciri organisme, misalnya tinggi, penampilan, warna rambut, mata
dan sebagainya. Sementara, sel kelamin adalah sepasang kromosom di dalam initi sel
yang menentukan jenis kelamin makhluk tersebut. Seorang pria mempunyai satu
kromosom X dan satu kromosom Y, sedangkan wanita mempunyai dua kromosom X.
Pada kasus hemofilia, kecacatan terdapat pada kromosom X akibat tidak adanya protein
faktor VIII dan IX (dari keseluruhan 13 faktor), yang diperlukan bagi komponen dasar
pembeku darah (fibrin). (Sylvia A.Price &Lloraine M.Wilson., Patofisioogi klinik prosesproses penyakit vol.1.)
1. Faktor komunikasi antar sel
Sel-sel di dalam tubuh manusia juga mempunyai hubungan antara sel satu dengan sel
lain yang dapat saling mempengaruhi. Penelitian menunjukkan, peristiwa pembekuan
darah terjadi akibat bekerjanya sebuah sistem yang sangat rumit. Terjadi interaksi atau
komunikasi antar sel, sehingga hilangnya satu bagian saja yang membentuk sistem ini,
atau kerusakan sekecil apa pun padanya, akan menjadikan keseluruhan proses tidak
berfungsi.. Jalur intrinsik menggunakan faktor-faktor yang terdapat dalam sistem vaskular
atau plasma. Dalam rangkaian ini, terdapat reaksi air terjun, pengaktifan salah satu
prokoagulan akan mengakibatkan pengaktifan bentuk seterusnya. Faktor XII, XI, dan IX
harus diaktivasi secara berurutan, dan faktor VIII harus dilibatkan sebelum faktor X dapat
diaktivasi. Zat prekalikein dan kiininogen berat molekul tinggi juga ikut serta dan juga
diperlukan ion kalsium. Koagulasi terjadi di sepanjang apa yang dinamakan jalur
bersama. Aktivasi faktor X dapat terjadi sebagai akibat reaksi jalur ekstrinsik atau
intrinsik. Pengalaman klinis menunjukkan bahwa kedua jalur tersebut berperan dalam
hemostasis. Pada penderita hemofilia, dalam plasma darahnya kekurangan bahkan tidak
ada faktor pembekuan darah, yaitu faktor VIII dan IX. Semakin kecil kadar aktivitas dari
faktor tersebut maka, pembentukan faktor Xa dan seterusnya akan semakin lama.
Sehingga pembekuan akan memakan waktu yang lama juga (terjadi perdarahan yang
berlebihan). (Sylvia A.Price &Lloraine M.Wilson.,2003.)

1. Faktor epigenik
Hemofilia A disebabkan kekurangan faktor VIII dan hemofilia B disebabkan kekurabgab
faktor IX. Kerusakan dari faktor VIII dimana tingkat sirkulasi yang fungsional dari faktor
VIII ini tereduksi. Aktifasi reduksi dapat menurunkan jumlah protein faktor VIII, yang

menimbulkan abnormalitas dari protein. Faktor VIII menjadi kofaktor yang efektif untuk
faktor IX yang aktif, faktor VIII aktif, faktor IX aktif, fosfolipid dan juga kalsium bekerja
sama untuk membentuk fungsional aktifasi faktor X yang kompleks (Xase), sehigga
hilangnya atau kekurangan kedua faktor ini dapat mengakibatkan kehilangan atau
berkurangnya aktifitas faktor X yang aktif dimana berfungsi mengaktifkan protrombin
menjadi trombin, sehingga jiaka trombin mengalami penurunan pembekuanyang dibentuk
mudah pecah dan tidak bertahan mengakibatkan pendarahan yang berlebihan dan sulit
dalam penyembuhan luka. (Sylvia A.Price &Lloraine M.Wilson,2003

Patogenesis penyakit hemofilia


Proses kejadian dimulai dari terjadinya cedera pada permukaan jaringan, kemudian
dilanjutkan pada permukaan fosfolipid trombosit yang mengalami agregasi. Ada proses
utama homeostatis pada pembekuan darah
1. Fase kontriksi sementara (respon langsung terjadi cedera)
2. Reaksi trombosit yang terdiri dari adhesi, seperti factor III dari membrane
trombosit juga mempercepat reaksi.
3. Pengaktifan factor-faktor pembekuan, seperti factor III dari membrane trombosit,
juga mempercepat pembekuan darah dengan cara ini, terbentuklah sumbatan
trombosit yang kemudian diperkuat oleh protein filamentosa yang dikenal dengan
fibrin.(Sylvia A.Price & Lioraine M. Wilson,2003)
Produksi fibrin dimulai dengan perubahan faktor X menjadi Xa (belum aktif). Rangkaian
reaksi pertama memerlukan faktor jaringan (tromboplastin) yang dilepas endotel
pembuluh saat cedera. Faktor jaringan ini tidak terdapat dalam darah, sehingga disebut
faktor ekstrinsik. Sedangkan faktor VIII dan IX terdapat dalam darah, sehingga disebut
jalur intrinsik. (Sylvia A.Price &Lloraine M.Wilson,2003)
Dalam proses ini, pengaktifan salah satu prokoagulan akan mengakibatkan pengaktifan
bentuk penerusnya. Jalur intrinsik diawali dengan keluarnya plasma atau kolagen melalui
pembuluh yang rusak dan mengenai kulit. Faktor-faktor koagulasi XII, XI, dan IX harus
diaktifkan berurutan. Faktor VIII harus dilibatkan sebelum faktor X diaktifkan. Namun pada
penderita hemofilia faktor VIII mengalami defisiensi, akibatnya proses pembekuan darah
membutuhkan waktu yang lama untuk melanjutkan ke tahap berikutnya.Kondisi seperti
inilah yang menghambat pengaktifan jalur intrinsik. Secara tidak langsung juga
menghambat jalur bersama, karena faktor X tidak bisa diaktifkan.Pembentukan fibrin,
walaupun dibantu oleh fosfolipid, trombosit tidak berarti tanpa faktor Xa. Untaian fibrin
tidak terbentuk maka dinding pembuluh yang cedera menutup. Dan perdarahan pun sulit
dihentikan, hal ini dapat diuji dengan tingginya (lamanya) PTT (partial tromboplastin time).
(Sylvia A.Price &Lloraine M.Wilson., 2003)

Manisfestasi klinik
Hemofilia A atau hemofilia klasik berkarakteristik perdarahan berlebihan sebagian besar
bagian tubuh. Hematoma dan Hemarthroses dapat terjadi pada penyakit ini. Gejala klinis
dapat berupa perdarahan spontan yang berulang dalam sendi, otot, maupun anggota
tubuh yang lain. Hal ini dapat berakibat kecacatan pada sendi dan otot, bahkan
perdarahan berlanjut dapat menyebabkan kematian pada usia dini. (Sylvia A.Price
&Lloraine M.Wilson,2003)
Di sisi lain jika luka sobek di permukaan kulit, darah akan terlihat mengalir keluar
perlahan kemudian pasti menjadi kumpulan darah yang lembek. Tetapi bila lukanya di
bawah kulit, akan terjadi memar atau lebam kebiruan kendati luka itu berasal dari
benturan. Beda lagi jika perdarahan terjadi di persendian dan otot. Jaringan di sekitarnya
bisa rusak. Itulah sebabnya mengapa hemofilia bisa menyebabkan kelumpuhan. (Sylvia
A.Price &Lloraine M.Wilson,2003)
Hemofilia A dapat diklasifikasi menjadi tiga, yaitu : ringan, sedang, dan berat. Berikut ini
akan menjelaskan manifestasi klinis berdasarkan klasifikasi hemofilia:
a) Hemofilia berat tingkat faktor VIII : 1% dari normal ( 0,01 U/ml)
Manifestasi klinis :

Perdarahan spontan sejak awal masa pertumbuhan (masa infant).

Lamanya perdarahan spontan dan perdarahan lainnya membutuhkan faktor


pembekuan pengganti.

Frekuensi perdarahan sering dan terjadi secara tiba-tiba.

b)Hemofilia sedang tingkat faktor VIII : 1-5 % dari normal (0,01-0,05 U/ml)
Manifestasi klinis :

Perdarahan karena trauma atau pembedahan.

Frekuensi perdarahan terjadi kadang-kadang.hemofilia.

c)Hemofilia ringan tingkat faktor VIII : 6-30 % dari normal (0,06-0,30 U/ml)
Manifestasi klinis :

Perdarahan karena trauma atau pembedahan.

Frekuensi perdarahan jarang.

Gejala penyakit Hemofilia

Apabila

terjadi

benturan

pada

tubuh

akan

mengakibatkan

kebiru-biruan

(pendarahan dibawah kulit).

Apabila terjadi pendarahan di kulit luar maka pendarahan tidak dapat berhenti.

Pendarahan dalam kulit sering terjadi pada persendian seperti siku tangan
maupun lutut kaki sehingga mengakibatkan rasa nyeri yang hebat.
Sendi dan otot yang mengalami pendarahan terlihat bengkak dan nyeri bila
disentuh.(andra. 2007)

Dampak Psikologis Penderita


Timbulnya suatu penyakit yang kronis seperti pada hemofilia dalam suatu keluarga
memberikan tekanan pada system keluarga tersebut dan menuntut adanya penyesuaian
antara si penderita sakit dan anggota keluarga yang lain. Penderita sakit ini sering kali
harus mengalami hilangnya otonomi diri, peningkatan kerentanan terhadap sakit, beban
karena harus berobat dalam jangka waktu lama. Sedangkan anggota keluarga yang lain
juga harus mengalami hilangnya orang yang mereka kenal sebelum menderita sakit
(berbeda dengan kondisi sekarang setelah orang tersebut sakit), dan kini (biasanya)
mereka mempunyai tanggungjawab pengasuhan terhadap anggota keluarga yang
mengalami penyakit hemofilia. ( Dr. Ika Widyawati SpKJ, 2007)
Kondisi penyakit yang kronis ini menimbulkan depresi pada anggota keluarga yang lain
dan
mungkin
menyebabkan
penarikan
diri
atau
konflik
antar
mereka.
Kondisi ini juga menuntut adaptasi yang luar biasa dari keluarga.Hemofilia tidak hanya
merupakan masalah medis atau biologis semata, namun juga mempunyai dampak
psikososial yang dalam.Pengaruh orang dengan hemofilia sebaiknya tidak hanya
memperhatikan masalah fisiologi-nya saja misal mengontrol perdarahannya dan
mencegah timbulnya disabilitas fisik tetapi juga diharapkan mempunyai perhatian pada
berbagai gangguan alam perasaannya, rasa tidak amannya, rasa terisolasi dan masalah
keluarga terdekatnya (orangtua, istri, anak dan saudara kandung).( Dr. Ika Widyawati
SpKJ, 2007)

B. Penyakit Von Willebrand

Penyakit von willebrand adalah suatu penyakit yang diakibatkan oleh kekurangan atau
kelainan pada vaktor von willebrand di dalam darah yang sifatnya diturunkan. Faktor von
willebrand adalah suatu protein yang mempengaruhi fungsi trombosit.
Faktor von Willebrand ditemukan di dalam plasma, trombosit dan dinding pembuluh
darah. Jika faktor ini hilang atau jumlahnya kurang, maka tidak akan terjadi penyumbatan
pembuluh darah yang terluka (proses melekatnya trombosit ke dinding pembuluh yang
mengalami cedera). Sebagai akibatnya, perdarahan tidak akan segera terhenti
sebagaimana mestinya, meskipun pada akhirnya biasanya akan berhenti
Biasanya

penderita memiliki

orang

tua dengan

riwayat

gangguan

perdarahan.

Anak mudah mengalami memar atau mengalami perdarahan yang berlebihan setelah
kulitnya tergores, pencabutan gigi, pengangkatan amandel maupun pembedahan lainnya.
Pada wanita, darah menstruasinya sangat banyak. Di lain fihak, perubahan hormonal,
stres, kehamilan peradangan dan infeksi bisa merangsang tubuh untuk meningkatkan
pembentukan faktor von Willebrand dan untuk sementara waktu bisa memperbaiki
pembentukan bekuan.
Gen
yang
membuat
VWF
bekerja
pada
Sel endotel yaitu yang melapisi pembuluh darah, dan

dua

jenis

sel

yaitu

Trombosit
Jika tidak terdapat cukup VWF dalam darah, atau tidak bekerja dengan baik, maka dalam
proses pembekuan darah memerlukan waktu lebih lama. Penyakit ini tidak sama dengan
hemofilia dan sering dialami oleh wanita. (Sylvia A.Price &Lloraine M.Wilson.2003)

Patogenesis

Dalam tubuh darah diangkut dalam pembuluh darah. Jika ada cedara jaringan, terjadi
kerusakan pembuluh darah dan akan menyebabkan kebocoran darah melalui lubang pada
dinding pembuluh darah. Pembuluh dapat rusak dekat permukaan seperti saat terpotong.
Atau ia dapat rusak di bagian dalam tubuh sehingga terjadi memar atau perdarahan
dalam. (Sylvia A.Price &Lloraine M.Wilson,2003)
Jika pembuluh darah terluka, ada empat tahap untuk membentuk bekuan darah yang
normal adalah sebagai berikut:
1. pembuluh darah terluka dan mulai mengalami perdarahan.
2. Pembuluh darah menyempit untuk memperlambat aliran darah ke daerah

yang luka.
1. Trombosit melekat dan menyebar pada dinding pembuluh darah yang rusak. Ini
disebut adesi trombosit. Trombosit yang menyebar melepaskan zat yang
mengaktifkan trombosit lain didekatnya sehingga akan menggumpal membentuk
sumbat trombosit pada tempat yang terluka. Ini disebut agregasi trombosit.
2. Permukaan trombosit yang teraktivasi menjadi permukaan tempat terjadinya
bekuan darah. Protein pembekuan darah yang beredar dalam darah diaktifkan
pada
permukaan
trombosit
membentuk
jaringan
bekuan
fibrin.
VWD dapat terjadi pada dua tahap terakhir pada proses pembekuan darah. Pada
tahap ke 3, seseorang dapat berkemungkinan tidak memiliki cukup Faktor Von
Willebrand (VWF) di dalam darahnya atau faktor tersebut tidak berfungsi secara
normal. Akibatnya VWF tidak dapat bertindak sebagai perekat untuk menyangga
trombosit di sekitar daerah pembuluh darah yang mengalami kerusakan.
Trombosit tidak dapat melapisi dinding pembuluh darah. (Gugun,2007)
Pada tahap ke 4, VWF membawa Faktor VIII. Faktor VIII adalah salah satu protein yang
dibutuhkan untuk membentuk jaringan yang kuat. Tanpa adanya faktor VIII dalam dalam
jumlah yang normal maka proses pembekuan darah akan memakan waktu yang lebih
lama. (Gugun,2007)
-patogenesis
Apabila konsentrasi trombosit tinggi, terjadi agregasi spontan pada trombosit,
menyumbat kapiler-kapiler darah yang lembut. Pada proses ini, dinding kapiler akan rusak
yang dapat menimbulkan . pemeriksaan masa pendarahan dan fungsi trombosit lain pada
umumnya dalam batas normal. (Sylvia A.Price &Lloraine M.Wilson,2003.)

Manisfestasi klinis

Penderita penyakit ini akan mudah mengalami pendarahan karena faktor perekatnya
dalam proses pembekuan darah berkurang atau proses penutupan luka berlangsung lama
dikarenakan proses pembekuan darahnya memerlukan waktu yang lebih lama dibanding
orang normal. (Gugun,2007)
Meningkatnya jumlah trombosit di dalam plasma darah, dapat menyebabkan pendarahan
di mukosa, khususnya di dalam mukosa saluran cerna., pendarahan juga terjadi di
pembuluh darah vena dan arteri. Fungsi abnormal dari trombosit dapat menyebabkan
pendarahan yang panjang. (Sylvia A.Price &Lloraine M.Wilson,2003)

Aspirin dan obat artritis lainnya bisa memperburuk perdarahan karena obat tersebut
mempengaruhi fungsi trombosit.

Untuk

mengurangi

nyeri,

kepada

penderita

penyakit

von

Willebrand

bisa

diberikanasetaminofen karena obat ini tidak mengganggu fungsi trombosit.


Pemeriksaan laboratorium bisa menunjukkan bahwa jumlah trombosit normal tetapi
waktu perdarahan menjadi lama. Bisa dilakukan pemeriksaan untuk mengukur jumlah
faktor von Willebrand di dalam darah. Faktor von Willebrand adalah protein yang
membawa faktor VII, karena itu kadar faktor VII juga bisa menurun.Jika terjadi perdarahan
hebat, diberikan transfusi faktor pembekuan darah yang mengandung faktor von
Willebrand.
Pada penyakit yang ringan, diberikan desmopressin untuk meningkatkan jumlah faktor
von Willebrand, sehingga penderita bisa menjalani pembedahan atau prosedur gigi tanpa
transfusi.
Penyebabnya bisa keturunan (contohnya penyakit von Willebrand) atau didapat (misalnya
akibat obat-obat tertentu).
Kelainan platelet herediter
Penyakit

Angka

Keterangan

kejadian
Penyakit von
Willebrand

Relatif
sering

Beratnya
perdarahan

Kekurangan atau tidak ada


faktor von Willebrand

Ringan sampai
sedang; bisa berat

(protein yg mengikat
trombosit pada dinding

pada penderita yg
memiliki faktor von

pembuluh darah yg robek)


atau kekurangan faktor VII

Willebrand sangat
sedikit
Ringan

Penyaktstorage

Relatif

Kekuarangan granul

pool

jarang

trombosit yg menyebabkan
gangguan pada
pembentukan gumpalan
trombosit

Sindroma Ch?

Jarang

diak-Higashi &
Hermansky-

Merupakan bentuk

Bervariasi

penyakitstorage poll yg
khusus

Pudlak
Disfungsi
tromboksan A2

Sangat
jarang

Gangguan respon
trombosit terhadap

Ringan

rangsangan untuk
membentuk gumpalan
Trombastenia

Jarang

Hilangnya protein di
permukaan trombosit yg

Bervariasi

diperlukan untuk
pembentukan gumpalan
trombosit
Sindroma

Jarang

Bernard-Soulier

Hilangnya protein di

Bervariasi

permukaan trombosit &


trombosit yg berukuran
besar yg tidak menempel
pada dinding pembuluh
darah

B. D.I.C( Disseminated Intravascular Coagulation ) atau pembekuan intravaskuler


tersebar.
Pembekuan intravaskuler tersebar (DIC) adalah sindrom multifaset, sindrom kompleks
dimana homeostatik normal dan sistem fisiologik yang mempertahankan darah agar tetap
cair berubah menjadi sistem yang patologik, sehingga terjadi trombi fibrin yang
menyumbat miovaskuler dari tubuh. Keadaan ini sering timbul akibat banyaknya jaringan
yang cedera atau mati yang melepaskan faktor jaringan dalam jumlah besar kedalam
darah, seringkali bekuan ini ukurannya kecil-kecil tapi banyak dan bekuan ini menyumbat
sejumlah besar darah perifer yang kecil, terutama terjadi pada syok septikemik. (Sylvia
A.Price &Lloraine M.Wilson.,2003)
Faktor penyebab antara lain:
1. Mikroorganisme : bakteri dan jamur.Misalnya : pada syok septikemik.Bakteri
mengiritasi lapisan pembukuh darah (terutama endotoksin) sehingga mengaktifkan
mekanisme pembekuan darah.
2. Luka Bakar
Luka bakar yang terlalu parah dapat menyebabkan banyak sekali sumbatan pembuluh
darah.
3. Leukimia Promielositik
4. Produk produk tumor
5. Cedera remuk
6. Solusio plasenta (Sylvia A.Price &Lloraine M.Wilson,2003)

Patogenesis
Diawali dengan masuknya materi atau aktivasi proakoagulasi ke dalam sirkulasi darah. Ini
dapat ditemukan pada setiap keadaan dimana tromboplastin jaringan dibebaskan karena
terjadi perusakan jaringan yang mengalami pembekuan-pembekuan ekstrinsil. Karena
plasenta banyak mengandung tromboplastin jaringan, maka salah satu penyebab DIC
yang paling sering adalah solusio plasenta (pelepasan plasenta yang prematur) sehingga
menyebabkan tertahannya hasil hasil konsepsi ( plesenta fetus ) yang menyebabkan
nekrosis dan kerusakan jaringan lebih lanjut.Produk produk tumor, luka bakar, cedera
remuk dan leukemia promielositik semuanya menyebabkan pelepasan tromboplastin.
(Sylvia A.Price &Lloraine M.Wilson., Patofisioogi klinik proses-proses penyakit vol.1.)
Awal jaras intrinsik juga terjadi bila proakogulan intrinsik kontak dengan endotel
pembuluh yang rusak seperti pada vaskulitis, septic dan syok. Selama proses
pembekuan, trombosit akan beragregasi dan bersama-sama dengan faktor-faktor
pembekuan, sehingga jumlah trombosit berkurang. Hasil trombi fibrin dapat
menyebabkan sumbatan pada mikrovaskular jika jumlahnya banyak, jika jumlahnya
sedikit maka tidak akn menyebabkan sumbatan di mikrovaskular. (Sylvia A.Price
&Lloraine M.Wilson,2003)

Manisfestasi Klinis

Manisfestasi klinis yang terjadi pada DIC tergantung dari luas dan lamanya pembentukan
trombofibrin organ-organj yang terlibat ( ginjal, jantung, hipofise, paru-paru, dan mukosa
saluran
cerna),
nekrosis
dan
pendarahan
yang
ditimbulkan.
Dampaknya adalah, penderita akan mengalami perdarahan pada membran mukosa dan
jaringan jaringan bagian dalam, pendarahan disekitar bagian yang cedera, hipotensi
( syok ), oliguri atau anuria, kejang dan koma, mual dan muntah, diare, nyeri abdomen,
nyeri punggung, dispnea dan sianosis. (Sylvia A.Price &Lloraine M.Wilson,2003).

C. KELAINAN VASKULER
Berbagai kelainan dapat terjadi pada tiap tingkat mekanisme hemostatik. Pasien dengan
kelainan pada system vascular biasanya datang dengan perdarahan kulit, dan sering
mengenai membrane mukosa. Perdarahan dapat diklasifikasikan menjadi purpura alergik
dan purpura nonalerik. Pada kedua keadaan ini, fungsi trombosit dan factor koagulasi
adalah normal.Terdapat banyak bentuk purpura nonalergik, yaitu pada penyakit-penyakit
ini tidak terdapat alergi sejati tetapi terjadi berbagai bentuk vaskulitis. Yang paling sering
ditemukan adalah lupus eritematosus sistemik. Kelainan ini merupakan penyakit vascularkolagen, yaitu pasien membentuk autoantibody. Vaskulitis, atau peradangan pembuluh
darah terjadi dan merusak integritas pembuluh darah, mengakibatkan purpura. (Sylvia
A.Price &Lloraine M.Wilson., Patofisioogi klinik proses-proses penyakit vol.1.)

Jaringan penyokong pembuluh darah yang mengalami perburukan, dan tidak efektif, yang
terjadi seiring proses penuaan, mengakibatkan purpura senilis. Umumnya terlihat
perdarahan kulit pada dorsum manus dan lengan bawah serta diperburuk oleh trauma.
Kecuali mengganggu secara kosmetik, keadaan ini tidak membahayakan jiwa. Manifestasi
kulit yang serupa juga terlihat pada terapi kortikosteroid jangka lama, yang diyakini
diakibatkan dari katabolisme protein di dalam jaringan penyokong pembuluh darah.
Skorbut, yang berkaitan dengan malnutrisi, dan alkoholisme, sama-sama mempengaruhi
integritas jaringan ikat dinding pembuluh darah.Bentuk purpura vascular yang dominant
autosomal, telangiektasia hemoragik herediter (penyakit Osler-Weber-Rendu), terdapat
pada epistaksis dan perdarahan saluran cerna yang intermiten dan hebat. Telangiektasia
difus umumnya terjadi pada masa dewasa, ditemukan pada mukosa bukal, lidah, hidung
dan bibir dan tampaknya meluas ke seluruh saluran cerna. Pengobatan terutama suportif.
(Sylvia A.Price &Lloraine M.Wilson., Patofisioogi klinik proses-proses penyakit vol.1.)
Sindrom Ehlers-Danlos, suatu penyakit herediter lain, meliputi penurunan daya
pengembangan (compliance) jaringan perivascular yang menyebabkan perdarahan berat.
Purpura alergik atau purpura anafilaktoid diduga diakibatkan oleh kerusakan imunologik
pada pembuluh darah, ditandai dengan perdarahan petekie pada bagian tubuh yang
tergantung dan juga mengenai bokong. Purpura Henoch-schnlein, suatu trias purpura
dan perdarahan mukosa, gejala-gejala salurancerna, dan arthritis, merupakan bentuk
purpura alergik yang terutama mengenai anak-anak. Mekanisme penyakit ini tidak
diketahui dengan baik. Gejala-gejalanya sering didahului oleh keadaan infeksi. Pasienpasien mengalami peradangan pada cabang-cabang pembuluh darah, kapiler dan vena,
mengakibatkan pecahnya pembuluh, hilangnya sel-sel darah merah, dan perdarahan.
Glomerulonefritis merupakan komplikasi yang sering terjadi. Pengobatan bersifat suportif
dengan menghindari aspirin serta senyawa-senyawanya. (Sylvia A.Price &Lloraine
M.Wilson,2003)Top of Form

PURPURA TROMBOSITOPENIK IDIOPATIK (ITP)


Purpura Trombositopenik Idiopatik adalah suatu penyakit dimana terjadi perdarahan
abnormal akibat rendahnya jumlah trombosit tanpa penyebab yang pasti.
Penyebab dari kekurangan trombosit tidak diketahui (idiopatik). Penyakit ini diduga
melibatkan reaksi autoimun, dimana tubuh menghasilkan antibodi yang menyerang
trombositnya sendiri.
Meskipun pembentukan trombosit di sumsum tulang meningkat, persediaan trombosit
yang
ada
tetap
tidak
dapat
memenuhi
kebutuhan
tubuh.
Pada anak-anak, penyakit ini biasanya terjadi setelah suatu infeksi virus dan setelah
bebeerapa minggu atau beberapa bulan akan menghilang tanpa pengobatan.
Gejalanya bisa timbul secara tiba-tiba (akut) atau muncul secara perlahan (kronik).
Gejalanya berupa:

bintik-bintik merah di kulit sebesar ujung jarum


memar tanpa penyebab yang pasti
perdarahan gusi dan hidung
darah di dalam tinja.
Diagnosis ditegakkan berdasarkan gejala serta hasil pemeriksaan darah dan sumsum
tulang yang menunjukkan rendahnya jumlah trombosit dan adanya peningkatan
penghancuran trombosit.
Pada penderita dewasa, diberikan kortikosteroid (misalnya prednison) dosis tinggi untuk
mencoba menekan respon kekebalan tubuh. Pemberian kortikosteroid hampir selalu bisa
meningkatkan
jumlah
trombosit,
tetapi
efeknya
hanya
sekejap.
Obat-obat yang menekan sistem kekebalan (misalnya azatioprin) juga kadang diberikan.
Jika pemberian obat tidak efektif atau jika penyakitnya berulang, maka dilakukan
pengangkatan limpa (splenektomi).
Imun globulin atau faktor anti-Rh (bagi penderita yang memiliki darah Rh-positif) dosis
tinggi diberikan secara intravena kepada penderita yang mengalami perdarahan hebat
akut.
Obat ini juga digunkan untuk periode yang lebih lama (terutama pada anak-anak), guna
mempertahankan jumlah trombosit yang memadai untuk mencegah perdarahan.

TROMBOSITOPENIA AKIBAT PENYAKIT


Infeksi

HIV

(virus

penyebab AIDS)

seringkali

menyebabkan

trombositopenia.

Penyebabnya
tampaknya
adalah
antibodi
yang
menghancurkan
trombosit.
Pengobatannya sama dengan ITP. Zidovudin (AZT) yang diberikan untuk memperlambat
penggandaan virus AIDS, seringkali menyebabkan meningkatnya jumlah trombosit.
Lupus eritematosus sistemik menyebabkan berkurangnya jumlah trombosit dengan cara
membentuk antibodi.
Disseminated intravascular coagulation (DIC) menyebabkan terbentuknya bekuan-bekuan
kecil di seluruh tubuh, yang dengan segera menyebabkan berkurangnya jumlah trombosit
dan faktor pembekuan.

PURPURA TROMBOSITOPENIK TROMBOTIK

Purpura Trombositopenik Trombotik adalah suatu penyakit yang berakibat fatal dan
jarang terjadi, dimana secara tiba-tiba terbentuk bekuan-bekuan darah kecil di seluruh
tubuh, yang menyebabkan penurunan tajam jumlah trombosit dan sel-sel darah merah,
demam dan kerusakan berbagai organ.
Penyebab penyakit ini tidak diketahui. Bekuan darah bisa memutuskan aliran darah ke
bagian otak, sehingga terjadi gejala-gejala neurologis yang aneh dan hilang-timbul.
Gejala lainnya adalah:
sakit kuning (jaundice)
adanya darah dan protein dalam air kemih
kerusakan ginjal
nyeri perut
irama jantung yang abnormal.
Jika tidak diobati, penyakit ini hampir selalu berakibat fatal; dengan pengobatan, lebih
dari separuh penderita yang bertahan hidup.
Plasmaferesis berulang atau transfusi sejumlah besar plasma (komponen cair dari darah
yang tersisa setelah semua sel-sel darah dibuang) bisa menghentikan penghancuran
trombosit dan sel darah merah.
Bisa diberikan kortikosteroid dan obat yang menghalangi fungsi trombosit (misalnya
aspirin dan dipiridamol), tetapi efektivitasnya belum pasti.
DIAGNOSA
Diagnosis ditegakkan berdasarkan gejala-gejala dan hasil pemeriksaan darah yang
menunjukkan jumlah trombosit dibawah normal.
Pemeriksaan darah dengan mikroskop atau pengukuran jumlah dan volume trombosit
dengan alat penghitung elektronik bisa menentukan beratnya penyakit dan penyebabnya.
Aspirasi sumsum tulang yang kemudian diperiksa dengan mikroskop, bisa memberikan
informasi mengenai pembuatan trombosit.
PENGOBATAN
Jika penyebabnya adalah obat-obatan, maka menghentikan pemakaian obat tersebut
biasanya bisa memperbaiki keadaan.

Jika jumlah trombositnya sangat sedikit penderita seringkali dianjutkan untuk menjalani
tirah baring guna menghindari cedera.
Jika terjadi perdarahan yang berat, bisa dibeTrombosit Turun Tak Selalu Demam Berdarah
Selain demam berdarah, ada beberapa penyakit lain yang ditandai olehpenurunan kadar
trombosit. Apa sajakah itu? Pada mulanya, Desi (empat tahun) memang menderita
demam. Ketika diperiksa lebih jauh, kadar trombositnya ternyata turun sampai 30
ribu/mm3. Dokter pun mendiagnosis Desi mengidap demam berdarah. Setelah delapan
hari, suhu tubuh yang tadinya mencapai 39 derajat Celsius berangsur turun. Heni (30
tahun), sang ibu, tentu sajalega.Tapi ia mendeteksi keanehan. Pasalnya, pemeriksaan
ulang menunjukkan, trombosit Desi anjlok, hingga tinggal 9.000/mm3. Saya sampai
kaget, karena tidak demam lagi, saya pikir dia sudah sembuh dari demam berdarah (DB),
kata Heni. Ternyata rendahnya kadar trombosit dalam darah Desi memang bukan karena
DB. Tapi karena tubuh menghasilkan antibodi yang menyerang trombosit. Ternyata anak
saya menderita ITP (Immunologic Thrombocytopenia Purpura), bukan DB. Syukur
Alhamdulillah, setelah diberi obat oleh dokter, si kecil kini sudah sehat, jelas Heni lega.
Penurunan trombosit hingga di bawah batas normal memang kerap diidentikkandengan
demam berdarah, khususnya di kalangan awam. Padahal tidak selamanya demikian.
Dalam keadaan normal, trombosit dalam darah mencapai 150 ribu-450 ribu/mm3. Dalam
keadaan tidak normal, trombosit yang berperan dalampembekuan darah ini bisa turun.
Keadaan ini disebut dengan trombositopenia,yakni trombosit berada dalam keadaan
rendah. Demam berdarah hanyalah salah satu penyakit yang ditandai oleh turunnya kadar
trombosit.
Menurut Prof dr Zubairi Djoerban SpPD KHOM, ahli hematologi dari FakultasKedokteran
Universitas Indonesia (FKUI)/RS Cipto Mangunkusumo (RSCM),trombosit rendah bisa
disebabkan oleh bermacam hal. Tapi secara garis besar,penurunan kadar trombosit
disebabkan oleh dua hal yaitu kerusakan trombosit di peredaran darah, atau kurangnya
produksi trombosit di sumsum tulang.Kerusakan trombosit Demam berdarah merupakan
jenis kerusakan trombosit yang populer di masyarakat. Menurut kepala divisi HematologiOnkologi Medik Bagian Penyakit Dalam FKUI/RSCM ini, penyebab kerusakan trombosit
dalam DB adalah infeksi.Selain demam berdarah, infeksi yang juga mengurangi trombosit
adalah tifus.Kerusakan trombosit juga bisa terjadi pada penyakit ITP. Ini
merupakanpenyakit auto-imun di mana zat anti yang dibentuk tubuh malah menyerang
trombosit.Melalui mekanisme imunologi tadi, trombosit menjadi berkurang, jelasZubairi.
Pada ITP, gejalanya bisa berupa bercak-bercak perdarahan di kulit.Sementara pada DB,
penderita mengalami demam dan penurunan trombosit tapi berangsur normal dalam
delapan hari. Jika (trombosit rendah) lebih dari delapan hari, kita harus pikirkan
kemungkinan yang lain. Salah satunya adalah ITP, jelas hematolog yang juga dikenal
sebagai salah satu dari sedikit pakar AIDS di Indonesia ini. ITP seringkali menyerang
wanita usia reproduksi, yakni di bawah 35 tahun. Tapi bukan berarti, ITP tak bisa
menyerang kelompok usia lanjut. Hanya saja, kasus ITP pada kelompok usia lanjut,
terbilang jarang. Seperti penyakit lupus, ITP lebih sering ditemui pada wanita, laki-laki

hanya sekitar dua persen, kata Zubairi. Penurunan kadar trombosit juga bisa ditemui
dalam kasus DIC (Disseminated Intravascular Coagulation). Biasanya, ini terjadi pada
pasien dengan penyakit berat. Seperti pasien dengan sirosis hati, shock, infeksi kuman
apapun dalam darah yang berat sekali, serta penyakit lupus, lanjutnya. Trombosit yang
rendah bisa juga dikarenakan produksi yang kurang.Penyakitnya bisa berupa anemia
aplastik. Anemia aplastik terjadi jika sel yang memproduksi butir darah merah yang
terletak di sumsum tulang, tidak dapat menjalankan tugasnya. Pada anemia aplastik,
trombosit yang rendah juga disertai leukosit yang rendah sehingga sumsum tulangnya
kosong, jelas Zubairi. Selain anemia aplastik, trombosit yang rendah juga kerap ditemui
pada penderita penyakit leukemia. Sering juga ditemui pada penderita penyakit
mielofibrosis. Menurut Zubairi, pada penyakit ini keadaan limfa dan liver membesar.
Sebenarnya, sewaktu kita lahir, trombosit diproduksi oleh limfa dan liver.Seiring
pertambahan usia, fungsi ini kemudian dijalankan oleh sumsum tulang. Karena muncul
penyakit mielofibrosis, sumsum tulang tidak berfungsi sehingga limfa dan liver kembali
bekerja dan membesar. Untuk mengetahui penyakit mana yang diderita, perlu dilakukan
tes. Tidak bisa karena trombosit rendah langsung dikatakan ITP, ujar Zubairi.
Menurutnya, dalam prinsip kedokteran semakin sedikit data maka akan semakin banyak
kemungkinan. Pengobatan Pengobatan setiap penyakit berbeda. Pada penderita ITP,
karena ada zat yang menyerang trombosit, tidak dilakukan transfusi trombosit. Pada ITP,
transfusi trombosit justru akan merangsang zat anti untuk berproduksi. Jadi, pengobatan
utamanya adalah dengan menghilangkan mekanisme auto-imun tadi. Produksi antibodi
ditekan dengan obat yang bersifat kortikosteroid seperti prednison, tambah kepala
Perhimpunan Hematologi dan Transfusi Darah Indonesia (PHTDI) ini. Jika tidak mempan
dengan prednison, biasanya dilakukan operasi kecil untuk membuang limfa. Angka
kematian akibat trombosit rendah cenderung kecil. Seperti demam berdarah, angka
kematian pada orang dewasa di bawah 10 persen, dan sedikit lebih besar pada bayi dan
anak-anak. Kecuali pada anemia aplastik yang berat dan leukemia. ITP sendiri jarang
menyebabkan kematian. Kecuali pada saat trombosit rendah, pasien terpeleset dan jatuh
sehingga terjadi perdarahan di otak, Zubairi memberikan contoh. Sampai batas berapa
seseorang bisa bertahan dengan trombosit rendah? Tergantung, jawabnya. Pada
leukemia dan anemia aplastik, pasien dengan trombosit 20 ribu/mm3 sudah berdarahdarah. Sedangkan pada DB, hanya berupa bintik-bintik. Pada penderita ITP, meski
trombositnya mencapai 15 ribu hingga 10 ribu, tidak ada perdarahan sama sekali, apalagi
jika diberikan pengobatan. Sedangkan penderita DIC bisa berdarah pada tempat infus
hingga gusi. Menurut Zubairi, selain melihat jumlah trombosit, dokter juga akan melihat
fungsinya, yakni masa perdarahan (bleeding time) yang normalnya mencapai 14menit.Dari sisi jumlah, ada beberapa titik penting yakni 0, 20 ribu, 40 ribu, 100 ribu, dan
150 ribu. Untuk penderita DB misalnya, jika trombositnya sudah di bawah 100 ribu/mm3
sebaiknya diopname. Biasanya diberikan infus. Perlukahc transfusi trombosit? Tidak
perlu karena trombosit akan naik sendiri, kecuali jika trombosit sudah di bawah 20
ribu/mm3 dan terjadi perdarahan. Pemberian transfusi juga dilakukan dengan melihat
masa perdarahan. Jika sudah lebih dari 10 menit, misalnya, berikan transfusi trombosit.
Sedangkan pada anemia aplastik dan leukemia, karena seringkali menyebabkan

perdarahan, maka transfusi trombosit harus sering diberikan. Tapi ingat, transfusi
trombosit sebaiknya diambil dari donor tunggal.
PURPURA TROMBOSITOPENI IDIOPATIK
1. Batasan
Purpura trombositopeni idiopatik (PTI) atau purpura trombositopeni autoimun adalah
sindrom yang ditandai dengan trombositopenia akibat dekstruksi trombosit yang
meningkat sebab proses imunologik (RS dr. Soetomo,2008).
1. Etiologi
Etiologi Purpura Trombositopeni Idiopatik (PTI) adalah adanya autoantibodi terhadap
trombosit. Autoantibodi ini adalah platelet associated immunoglobulin G (PAIgG) yang
disintesis di limpa. PTI dapat merupakan menifestasi awal suatu penyakit misalnya SLE,
leukemia, dan limfoma (RS dr. Soetomo,2008). Riwayat penyakit purpura trombositopeni
idiopatik atau autoimun ini terbagi dalam 2 bentuk yaitu akut dan kronis
(Supandiman,1997).
3. Gejala klinis
Gejala utama adalah petekie dan perdarahan selaput lendir berupa epiktasis atau
perdarahan di tempat lain. Bentuk Akut gejala perdarahan selaput lendir disertai petekie
berjalan singkat. Bentuk kronis gejalanya berupa petekie diekstremitas bawah, jarang
ditemukan perdarahan selaput lendir, pada wanita menorhagia satu-satunya gejala
penyakit ini. Hendaknya disingkirkan trombositopenia sekunder/akibat obat (aspirin,
barbiturat, kina, laksansia), infeksi, anemia aplastik (Supandiman,1997).
4. Diagnosis
Diagnosis dapat ditegakkan dengan menyingkirkan faktor-faktor sekunder

yang dapat

mengakibatkan trombositopenia kriteria Difino (1998), yaitu :

Perdarahan/ purpura/ purpura lebih pada satu lokasi.

Tidak ada perbesaran limpa.

Trombositopenia kurang dari 150.000/uL.

Aspirasi sutul : jumlah megakariosit normal atau meningkat, eritropoesis,dan


mielopoesis normal.

Antiplatelet antibodi dapat positif.

Tidak ada penyakit lain penyebat trombositopeni, misalnya obat-obat, sepsis,


koagulasi intravaskuler doseminata,
transfusi.

SLE, leukemia, trombositopeni pasca

Pada 75 % penderita terdapat peningkatan titer palsu yang terjadi karena antibodi
nonspesifik misalnya pada sepsis, SLE rematoid, anemia hemolitik autoimun. Negatif
palsu didapatkan bila antibodi yang beredar dalam sirkulasi sangat rendah karena
antibodi banyak terikat pada trombosit. Teknik imunoflueresen : paling sensitif 92%, tetapi
kurang spesifik 30%. Kadar antibodi platelet tidak berhubungan dengan derajat penyakit,
hanya membantu diagnosis kadar Ab platelet berhubungan dengan jumlah trombosit
sangat berarti menunjukkan prognosis, tetapi tidak dianjurkan sebagai dasar diagnosis
(RS
dr.
Soetomo,2008).
a. Anamnesis
1. Riwayat obat (heparin, alkohol, sulfanamides, kuinidin/kuinin, aspirin) dan bahan
kimia.
2. Gejala sistemik: pusing, demam, penurunan berat badan.
3. Gejala autoimun: artralgia, rash kulit, rambut rontok.
4. Riwayat perdarahan (lokasi, banyak, lama), risiko HIV, status
5. kehamilan, riwayat transfusi, riwayat
perdarahan, dan kelainan autoimun).

keluarga

(trombositopenia,

gejala

6. Penyakit penyerta meningkatkan risisko perdarahan (kelainangastrointestinal,


sistem saraf pusat, dan urologi).
7. Kebiasaan/hobi: aktivitas yang traumatik.
b. Pemeriksaan fisik
1. Perdarahan (lokasi, dan beratnya).
2. Jarang ditemukan organomegali, tidak ikterus atau stigmata penyakit hati kronis.
3. Tanda infeksi (bakteremia/infeksi HIV)
4. Tanda penyakit autoimun (artritis, goiter, nefritis, vaskulitis)
c. Pemeriksaan penunjang
1. Darah tepi: hitung trombosit <150.000/uL tanpa sitopenia lainnya, morfologi darah
tepi dijumpai tromboblas berukuran lebih besar.

2. Pemeriksaan serologi (dengue, CMV, EBV, HIV, rubella).


3. Pemeriksaan ACA, Cooms test, C3, C4, ANA. Anti dsDNA.
4. Pemeriksaan hemostatis normal kecuali pada perdarahan yang memanjang dan
komplikasi.
5. Pemeriksaan pungsi sumsum tulang: megakariosit normal atau meningkat.
6. Pemeriksan autoantibodi trombosit.
1. Diagnosis banding
Dengan trombositopenia sekunder misal pada hipersplenisme, dan kelainan infiltrasi
sumsum tulang oleh penyakit tertentu dapat diselesaikan dengan pemeriksaan sumsum
tulang. Waktu perdarahan memanjang pada kelainan vaskuler, seperti purpura
nontrombositopenia. Tes konsumsi protrombin abnormal dapat ditemui pada penyakit
defisiensi faktor pembekuan (faktor IX, faktorVIII/vWF dan lain-lain), (Supandiman,1997).
Secara klinis perdarahan akibat trombositopeni harus dibuat diagnosis banding dengan
trombostein, purpura vaskuler, dan defisiensi faktor koagulasi. Endokarditis bakteria
subakut terdapat petekie dan splenomegali serupa PTI, tetapi endokarditis ada febris dan
kelainan jantung. Trombositopeni sekunder biasanya dilakukan atas dasar kelainan fisik
tidak ditemukan pada PTI hepatosplenomegali. Limfadenopati pada leukemia
(Supandiman,1997).
Yang sering digunakan prednison, dosis 1 mg/ kg BB / hari selam 1-3 bulan. Bila
diperlukan parenteral(injeksi) Methylprenison sodium suxinat dosis 1g/hari selama 3 hari
(RS
dr.
Soetomo,2008).
Efek steroid (prednison) tampak setelah 24-48 hari (Hanidin 1978). Angka kesembuhan 6070%. Evaluasi efek steroid dilakukan 2-4 minggu. Bila responsif dosis diturunkan perlahan
sampai kadar trombosit stabil atau dipertahankan sekitar 50.000/mm3 (RS dr.
Soetomo,2008). Pemberian prednison maksimal selama 6 bulan. Apabila lebih dari 4
minggu pasien tidak berespon dengan prednison, prednison jangan diberikan lagi.
Hasil terapi :
Respon lengkap : ada perbaikan klinis + trombosis tercapai 100.000/mm3 dan tidak
terjadi
trombositopeni
berulang
bila
dosis
steroid
diturunkan.
Respon parsial : perbaikan klinis = trombosis mencapai 50.000/mm3 dan memerlukan
terapi steroid dosis rendah untuk mencegah perdarahan dan dengan jangka waktu 6
bulan.
Respon minimal : perbaikan klinis + trombosis mencapai 50.000/mm3 dan memerluka
steroid dosis rendah untuk mencegah perdarahan dengan jangka waktu > 6 bulan

Tidak ada respon : tidak ada perbaikan klinis dannkelainan trombosit tidak dapat
mencapai 50.000/mm3 setelah terapi steroid dosis maksimal (RS dr. Soetomo,2008).
e. Splenektomi
Bila terapi steroid dianggap gagal, segera dilanjutkan splenektomi. Angka keberhaslan 70100%. Splenektomi bertujuan untuk mencegah dekstruksi trombosit yang telah diliputi
antibodi dan menurunkan sintesis antibodi platelet (RS dr. Soetomo,2008).
Indikasi Spelektomi : Gagal remisi/perbaikan dengan steroid dalam 6 bulan, perlu dosis
maintance steroid yang tinggi, dan adanya kontraindikasi/intoleransi terhadap steroid (RS
dr.
Soetomo,2008)..
f. Imunosupresi lain
Bila terjadi refrakter tehadap terapi kortikoteroid dan splenektomi, maka akan diberikan
imunosupresi lain. Imunoglobulin diperkenalkan sejak 1981 hasil perlu penelitian lebih
lanjut. Bila terjadi perdarahan darurat (perdarahan otak, dan persalinan) dapat diberikan
imunoglobulin, kortikosteroid, transfusi trombosit, dan splenoktomi darurat (RS dr.
Soetomo,2008).
g. Terapi suporti PTI kronis
Membatasi

aktivitas

yang

berisiko

trauma.Hindari

obat

yang

ganggu

fungsi

trombosit.Transfusi PRC sesuai kebutuhan.Transfusi perdarahan bila : perdarahan masif,


adanya ancaman perdarahan otak/SSP, persiapan untuk operasi besar (RS dr.
Soetomo,2008).
f. Perawatan rumah sakit untuk pasien dengan:Perdarahan berat yang mengancam
jiwa.Trombosit <20.000/ul dengan perdarahan mukosa bermakna.Trombosit >50.000/ul
asimtomatik/dengan purpura minimal tidak diterapi.Trombosit <30.000/ul dengan/tanpa
gejala, 30.000-50.000/ul dengan perdarahan bermakna, Kadar trombosit berapa saja
dengan perdarahan yang mengancam jiwa (RS dr. Soetomo,2008).
g. Komplikasi
Peradarahan masif: saluran cerna, otak, DIC Anemia Berkembang ke arah keganasan atau
penyakit autoimun lain (20%) Menjadi leukemia dan limfoma (3,8 %) Menjadi SLE (4
%)Kasus
fatal
dengan
sebab
kematian
:
1) Perdarahan intrakranial (11%)
2) Sepsis pasca splenoktomi atau pasca terapi imunosupresif (RS dr. Soetomo,2008.
h. Infeksi, ITP berat, DM induiced steroid, hipertensi immunocompromised (RS dr.
Soetomo,2008).

7. Prognosis
Faktor yang berpengaruh Umur : pada orang muda prognosis lebih baik
Jumlah trombosit : mempengaruhi respon terapi dan faktor prediktif menentukan risiko
perdarahan intrakranial. Trombosit <20.000/mm3 risiko perdarahan intrakranial meningkat,
semakin
tinggi
pada
usia
lanjut.
Kadar antibodi membantu menentukan respon terapi terhadap steroid dan splenektomi.
Menurunnya
kadar
antibodi
menunjukkan
respon
terapi
yang
baik
Prognosis jelek pada yang refrakter terhadap steroid, splenoktomi, atau imunosupresif
lain. Mortalitas sekitar 16% (RS dr. Soetomo,2008).

2.4. POLA JUMLAH TROMBOSIT PENDERITA DEMAM BERDARAH DENGUE (DBD)


Dilingkungan Forum Perhimpunan Dokter Spesialis Penyakit Dalam Indonesia (PAPDI)
maupun ditingkat Departemen Ilmu Penyakit Dalam FKUI-RSCM, sudah pernah membahas
tuntas mengenai hal ini bahwa transfusi trombosit hanya diberikan pada pasien dengan
perdarahan yang berat seperti muntah darah, mimisan yang terus menerus atau
perdarahan dari saluran cerna bawah berupa BAB berdarah segar.Jumlah trombosit yang
rendah bahkan sampai dibawah 20.000 tanpa pendarahan yang signifikan bukan
merupakan indikasi untuk diberikan trombosit sehingga kadar trombosit yang rendah saja
tidak memerlukan transfusi trombosit.Membicarakan mengenai transfusi trombosit ini
akan menguraikan sedikit tentang penyakit demam berdarah ini. Menurut WHO secara
klinis jika seseorang terinfeksi dengan virus dengue sebagai penyebab penyakit Demam
berdarah bisa tanpa gejala maupun dengan gejala. Yang bergejala dibagi 2 lagi yaitu
Demam dengue (DD) dan Dengue Haemorhagic fever (DHF). Pasien dengan DHF biasanya
dengan gejala yang lebih berat dan gejala perdarahan yang lebih jelas. Saat ini sesuai
dengan klasifikasi WHO terakhir yang diterbitkan pada tahun 1997: derajat berat
ringannya DHF dibagi menjadi 4. Berat ringannya penyakit ini didasarkan atas perdarahan
yang terjadi, serta ada tidaknya gangguan sistim sirkulasi pada saat pasien tersebut
masuk rumah sakit. Semakin berat kondisi pada saat masuk semakin tinggi derajat
sakitnya dan tentunya hal ini berhubungan dengan terjadinya kematian pada pasien
tersebut. Selain demam tinggi yang mendadak pasien kadang kala juga merasakan nyeri
di ulu hati, mual bahkan muntah, kepala pusing seperti melayang, pegal dan rasa nyeri di
otot. Setelah 2-5 hari bisa terjadi manifestasi perdarahan baik berupa bintik merah pada
kulit terutama di tangan, kaki dan dada, mimisan, gusi berdarah bahkan sampai muntah
darah.
Sebagai mana diketahui dan umumnya masyarakat juga sudah mengetahui, pasien DHF
selalu dihubungkan dengan trombosit yang rendah. Kadar trombosit yang rendah juga
menjadi patokan kapan pasien tersebut harus dirawat. Walau sebenarnya selain trombosit
yang rendah adanya darah yang semakin pekat (hemokonsentrasi) ditandai oleh

hematokrit yang meningkat serta tanda-tanda perdarahan merupakan hal lain yang juga
dilihat sebelum memutuskan apakah pasien tersebut perlu dirawat atau tidak.
Pada pasien demam berdarah selain jumlah trombosit yang menurun fungsi trombosit
juga menurun. Oleh karena itu biasanya disebutkan bahwa pada pasien DHF trombosit
terganggu baik secara jumlah maupun secara kualitas. Sebagai mana kita ketahui bahwa
trombosit merupakan salah satu sel darah yang berperan pada sistim keseimbangan
proses pembekuan dan perdarahan (hemostasis) di dalam tubuh kita. Oleh karena
adanya gangguan pada trombosit ini juga akan meningkatkan terjadinya proses
pendarahan.
Adanya trombosit yang rendah bukan berarti kita harus meningkatkan trombosit sesegara
mungkin. Ada 3 hal yang diduga sebagai penyebab penurunan kadar trombosit didalam
darah yaitu penurunan produksi trombosit karena penekanan produksi di sumsum
tulang, penggunaan trombosit yang berlebihan dan adanya antibodi anti trombosit dalam
darah. Jika melihat hal-hal yang menjadi penyebab kenapa trombosit turun ini, maka
transfusi trombosit yang tidak pada tempatnya justru akan memperburuk keadaan karena
akan merangsang proses inflamasi lebih lanjut sehingga penghancuran trombosit akan
lebih meningkat.
Seperti telah saya sebutkan tadi, indikasi pemberian trombosit telah dibicarakan
beberapa kali di Forum Perhimpunan Dokter Spesialis Penyakit Dalam Indonesia (PAPDI)
dan di tingkat Departemen Ilmu Penyakit Dalam FKUI/RSCM. Protokol mengenai
tatalaksana pasien dengan DHF khususnya mengenai kapan transfusi trombosit ini
diberikan, juga pernah disampaikan oleh pakar dari Divisi Penyakit Trofis dan Infeksi
Departemen Ilmu penyakit Dalam serta pakar dari Divisi Hematologi dan Onkologi Medis
Departemen Ilmu Penyakit FKUI-RSCM. Pada protokol tersebut disampaikan bahwa
transfusi trombosit diberikan pada pasien dengan perdarahan spontan dan massif
(banyak). Pemberian transfusi trombosit juga harus dilakukan dengan hati-hati dengan
melihat komponen sistim pembekuan darah yang lain. Oleh karena itu jumlah trombosit
yang rendah bahkan lebih rendah dari 20.000 tanpa perdarahan yang signifikan bukan
merupakan indikasi dilakukan transfusi trombosit. Pada pengalaman dilapangan karena
ketidak tahuan kadang kala keluarga pasien meminta kepada dokter agar keluarganya
yang sedang dirawat untuk segera ditransfusi trombosit padahal tidak ada indikasi untuk
pemberian transfusi trombosit.
Pengalaman penulis dalam merawat pasien dengan DBD biasanya trombosit akan naik
dengan sendirinya setelah hari ke-7 sejak mulai terjadinya demam. Selama perawatan jika
tidak terjadi syok atau perdarahan massif, cairan infus yang diberikan yaitu cairan
kristaloid seperti cairan ringer laktat atau asering yang diberikan untuk menjaga agar
volume cairan didalam pembuluh darah tetap baik.
Pada akhinya jika penanganan pasien DBD sesuai protocol yang telah ditetapkan,
pemberian komponen darah trombosit dapat diberikan secara selektif. Sehingga pada

saat dibutuhkan oleh pasien sesuai indikasi tentunya komponen trombosit tetap tersedia.
Karena selain pada kasus DBD dengan perdarahan yang massif, transfusi trombosit
dibutuhkan juga untuk pasien-pasien dengan kelainan darah yang lain dan juga pasien
dengan gangguan liver yang berat yang akan dilakukan tindakan.
Penelitian-penelitian

yang

berfokus

pada

mekanisme-mekanisme

molekuler

yang

meregulasi atherosklerosis telah banyak dipublikasikan dalam jurnal-jurnal ilmiah selama


beberapa dekade. Sekarang ini atherosklerosis telah dikenali sebagai sebuah penyakit
berperantara inflamasi yang melibatkan berbagai interaksi antara leukosit, sel-sel dinding
pembuluh darah, dan trombosit. Data terbaru menunjukkan bahwa CD40L bisa menjadi
pemain inti dalam proses atherosklerosis. CD40L merupakan sebuah protein yang sangat
melimpah dalam trombosit dan bisa memiliki peranan dalam aspek-aspek inflammatory
perkembangan
CD40L

lesi

atherosklerosis,

trombosis,

dan

dalam

restenosis.

CD40L merupakan sebuah protein transmembran terimerik yang termasuk ke dalam famili
faktor nekrosis tumor yang pada awalnya ditemukan pada sel-sel sistem imun (sel-sel
CD4+ teraktivasi, sel mast, basofil, eosinofil, dan sel NK). Peranan CD40L dalam respon
imun melibatkan pengikatan ke reseptor-reseptornya pada sel-sel B, CD40, untuk
menginduksi proliferasi sel B, menghasilkan sel B memori, menghambat apoptosis sel B,
dan memperantarai perubahan kelas antibodi. Akan tetapi kemudian ditemukan bahwa
CD40L dan CD40 kedua-keduanya terdapat pada beberapa sel pembuluh darah, termasuk
sel-sel endotelium, sel otot halus, monosit, dan makrofage. Disamping itu penelitian
menunjukkan bahwa CD40L dan CD40 juga terdapat dalam trombosit. CD40L yang
diekspresikan pada permukaan selanjutnya membelah selama beberapa menit sampai
jam, menghasilkan sebuah fragmen terlarut yang disebut sCD40L yang tetap trimerik
strukturnya. Penelitian tentang distribusi CD40L dalam sel menunjukkan bahwa >95%
CD40L yang bersirkulasi terdapat dalam trombosit. Ini menunjukkan bahwa kejadiankejadian stimulatori trombosit harus dipertimbangkan dalam konteks biologi dan patologi
fungsi

CD40L.

CD40L dan sCD40L diketahui memiliki domain struktural yang memungkinkan proteinprotein ini memiliki banyak fungsi. Pertama, domain homologi faktor nekrosis tumor
memungkinkan pengikatan ke reseptornya, yakni CD40. Kedua, motif lysin-arginin-asam
glutamat (KGD), yang tetap menjadi bagian dari produk pembelahan sCD40L,
memungkinkan pengikatannya ke glikoprotein (GP) IIb/IIIa. Ketiga, struktur trimerik dari
CD40L dan produk pembelahan yang terlarut memungkinkan untuk induksi reaksi
pensinyalan ketika terikat ke reseptor. Aktivitas fungsional dari CD40L merupakan refleksi
dari domain-domain yang banyak ini. Ketika diekspresikan pada permukaan trombosit
dan dipaparkan terhadap sel-sel vaskular yang membawa CD40, CD40L yang terkait
trombosit mampu menginisiasi berbagai respons inflammatory, termasuk ekspresi
reseptor adhesi inflammatory, ekspresi faktor jaringan, dan pelepasan chemokin. Telah
diketahui bahwa sCD40L juga proinflammatory, walaupun penelitian-penelitian lain gagal
mengamati aktivitas-aktivitas ini. Penelitian-penelitian tentang mencit yang membawa
penghapusan gen CD40L telah menunjukkan bahwa motif KGD terhadap protein ini juga

bersifat fungsional. Dengan demikian, sCD40L memiliki potensi untuk memperantarai


beberapa kejadian dalam pembuluh darah. Mediator Inflammatory Atherosklerosis:
Peranan
Kunci
CD40L
Penelitian-penelitian terdahulu yang menggunakan model mencit untuk atherosklerosis
menekankan peranan penting dari leukosit. Defisiensi-defisiensi molekul yang terlibat
baik dalam rolling leukosit, perekrutan leukosit, atau penahanan leukosit mengurangi
ukuran plak atherosklerosis, utamanya melalui pengurangan deposisi lipid, proliferasi sel
otot halus, dan migrasi. Penelitian tambahan menunjukkan limfosit T dan B yang
berinfiltrasi juga terlibat. Sel-sel ini, disamping makrofage dan sel-sel vaskular,
melepaskan berbagai sitokin dan faktor-faktor pertumbuhan untuk mempromosikan
migrasi dan proliferasi sel-sel otot halus dan menginduksi ekspresi reseptor adhesi
leukosit. Pada akhirnya, faktor-faktor yang dilepaskan oleh sel-sel ini menginduksi
sintesis matriks metaloproteinase yang bisa mengarah pada kerusakan plak. Banyak dari
mediator inflammatory ini yang telah dibuktikan terlibat dalam restenosis dan
atherosklerosis imbas graf. Karena produksi mediator-mediator inflammatory ini
merupakan sebuah penyebab utama perkembangan lesi atherosklerosis, maka
pertanyaan
mendasar
muncul
tentang
identitas
pemicu
produksinya.
Karena banyak dari protein yang diidentifikasi di atas bisa diinduksi oleh CD40L, maka
sangat menarik jika hubungan protein ini dengan perkembangan lesi atherosklerosis bisa
ditunjukkan. Mach dan rekan-rekannya menemukan bahwa gangguan fungsi CD40L pada
mencit dengan memberikan antibodi CD40L pemblokir dapat mencegah perkembangan
penyakit atherosklerosis. Litgens dkk menargetkan gen CD40L pada mencit ApoE-/-, yang
juga sangat menghambat perkembangan lesi. Interaksi CD40-CD40L juga terlibat dalam
kestabilan plak, kemungkinan besar karena pelepasan matriks metaloproteinase.

Hubungan Trombosit-CD40L
Keterlibatan trombosit dan unsur-unsur lain dari sistem hemostatik/trombotik pada
atherosklerosis merupakan sebuah bagian dari konsep yang perta akali dicetuskan oleh
Dr Russell Ross. Konsep ini menyebutkan bahwa aktivasi dinding pembuluh darah secara
terus menerus berkontribusi bagi perekrutan trombosit, yang pada gilirannya
memungkinkan kerusakan endotelium lebih lanjut. Teori perekrutan trombosit pada
endotelium yang utuh secara fisik tetapi terdisregulasi secara fungsional kelihatannya
lebih relevan, karena sel-sel endotelium teraktivasi mendukung rolling trombosit,
translokasinya,
dan
terkadang,
perlekatannya.
Akan tetapi, trombosit juga merupakan sumber utama CD40L bersirkulasi, sehingga
melahirkan
pertanyaan
tentang
peranannya
dalam
perkembangan
penyakit
atherosklerosis, termasuk pembentukan oklusi trombotik. Penelitian-penelitian terbaru
menunjukkan bahwa CD40L terombosit menjadi termobilisasi dalam indikasi trombotik
koroner akut. Kadar sCD40L yang meningkat juga ditemukan pada pasien dengan

sindrom koroner akut, dan penyakit oklusif arteri perifer. Kadar sCD40L plasma yang
meningkat merupakan sebuah faktor risiko untuk kejadian-kejadian kardiovaksular di
masa mendatang pada wanita yang sehat. Penyimpanan konsentrat tombosit untuk
transfusi klinis diketahui melepaskan 50% CD40L trombosit: Transfusi konsentrasi ke
pasien menghasilkan respons demam yang tergantung CD40L.
Produksi sCD40L dari trombosit dan aktivitas trombotiknya yang tampak terkait erat
dengan integrin trombosit GP IIb/IIIa diketahui terlibat dalam produksi sCD40L karena
antagonis IIb/IIIa memperkecil pelepasan CD40L dari trombosit teraktivasi in vitro.
Antagonis-antagonis ini memblokir pelepasan dari trombosit-trombosit terstimulasi
bahkan tanpa agregasi, yang menunjukkan peranan langsung untuk GP IIb/IIIa dalam
mekanisme pembelahan. Kedua, pengikatan langsung sCD40L ke GP IIb/IIIa menunjukkan
bahwa kemampuan sCD40L untuk mempromosikan dan menstabilkan trombosis dibawah
laju gesekan yang tinggi merupakan akibat dari interaksi langsung antara kedua protein
ini.
Restenosis
Dengan adanya hubungan dekat antara inflamasi dan restenosis, mungkin tidak
mengherankan bahwa ada sebuah hubungan antara CD40L dan respons terhadap cedera
vaskular. Bagaimana CD40L bisa terlibat dalam restenosis? Disamping itu, apakah CD40L
yang terlibat dalam aktivitas-aktivitas ini berasal dari trombosit? PCI diketahui
mengganggu endotelium, menghasilkan keterpaparan permukaan trombogenik yang
mendukung adhesi, aktivasi, dan agregasi trombosit. Trombi yang kaya trombosit bisa
menjadi sumber konsentrasi CD40L proinflammatory tinggi yang terlokalisasi, baik pada
permukaan trombosit atau pada lingkungan sekitarnya karena mereka melepaskan
sCD40L. Artikel yang ditulis oleh Urbich kk memberikan sebuah mekanisme bagaimana
sCD40L yang dihasilkan yang dihasilkan oleh trombosis bisa mempromosikan restenosis.
Para penulis ini menunjukkan bahwa CD40L yang diekspresikan pada permukaan sel T
dan trombosit teraktivasi, dan sCD40L yang dilepaskan dari trombosit, menghambat
migrasi sel endotelium vena umbilikal manusia yang diinduksi faktor pertumbuhan
sedangkan tidak mempengaruhi proliferasi sel dan kematian sel. Penelitian mereka juga
menunjukkan bahwa inhibisi migrasi yang diinduksi CD40L dicapai dengan pembentukan
radikal-radikal bebas dan inhibisi produksi NO. Dari pengamatan-pengamatan ini, mereka
berspekulasi bahwa interaksi sCD40L dengan CD40 bisa menghambat reendotelisasi
sebuah pembuluh darah yang cedera, sehingga meningkatkan proses restenotik.
DBD Pada Anak-anak
Pola Jumlah Trombosit Penderita Demam Berdarah Dengue (DBD) pada Anak-Anak yang
Petanda Serologinya Positif Anak Agung Ngurah Subawa, I Wayan Putu Sutirta Yasa 217
Demam Berdarah Dengue (DBD) merupakan penyakit infeksi akut yang disebabkan

oleh 4 serotipe virus dengue (DEN-1, DEN-2, DEN- 3, DEN-4) dengan daya infeksi tinggi
pada manusia.Menurut jumlah kasus DBD di wilayah Asia Tenggara, Indonesia
mendapatkan peringkat kedua setelah Thailand. Dilaporkan sebanyak 58.301 kasus DBD
terjadi di Indonesia sejak 1 Januari hingga 30 April
2004 dan 658 kematian, yang mencakup 30 provinsi dan terjadi kejadian luar biasa (KLB)
pada 293 kota di 17 provinsi.1Bebepapa penelitian lain
menunjukkan kejadian DBD lebih banyak terjadi pada anak-anak yang lebih muda dari 15
tahun.2 Trombositopenia merupakan salah satu kriteria laboratorium non spesifik untuk
menegakkan diagnosis DBD yang ditetapkan oleh WHO.3 Hasil penelitian Shah GS dkk4
tahun 2006 di Bangladesh, menunjukkan dari 100 penderita anak-anak yang positif infeksi
dengue, 52 (61,7%) menunjukkan trombositopenia pada penderita DBD dan DSS (Dengue
Syock Syndrome). Sedangkan penelitian Celia C Carlos dkk5 pada tahun 2005,anak-anak
yang menderita infeksi dengue menunjukkan penurunan jumlah trombosit sekitar
113,8 58 (x103/L) pada group demam dengue dan 58,5 84,1 (x103/L) pada group
DBD. Adanya trombositopenia pada hari ketiga atau keempat pada saat sakit akan
mempermudah diagnosis DBD. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui
pola jumlah trombosit pada anak-anak yang menderita DBD berdasarkan petanda serologi
IgG dan IgM. BAHAN DAN CARA Penelitian ini dilaksanakan secara
retrospektif dengan cara melihat catatan medis pasien anak-anak yang dirawat dengan
DBD di Rumah Sakit Sanglah Denpasar dari Juli 2005 sampai Juni 2006. Pemeriksaan
serologi IgG dangM dengan metode Captured Immunochromato-graphic. Sedangkan
pemeriksaan
jumlah
trombosit
dilakukan
secara
otomatis
dengan
alat hematology analyzer. Hasil yang didapat dari catatan medis tersebut kemudian di
simpulkan dan dijabarkan secara deskriptip dengan grafik dan narasi.HASIL Selama bulan
Juli 2005 sampai Juni 2006 terdapat 42 pasien pediatri yang menderita DBD dengan hasil
pemeriksaan serologi positif, sebanyak 17 anak (40,5%) dengan IgG positif, 9 anak (21,4%)
IgM positif dan 16 anak (38,1%) dengan IgG dan IgM positif. Rata-rata usia penderita
sekitar 6,9 tahun (dengan rentang usia 8 bulan-13 tahun) dan proporsi penderita anak lakilaki sama dengan anak wanita. Berdasarkan catatan medis dari penderita, kebanyakan
penderita datang ke RS Sanglah pada hari keempat perjalanan penyakit (dengan rentang
saat masuk antara panas hari ke 3 sampai hari ke 5).
J Peny Dalam, Volume 8 Nomor 3 September 2007
218050100 150 IgG IgG dan IgM IgM 99.8101.5122.9 Rata-rata jumlah trombosit (x103 /mm3
) Jenis Imunoglobulin Grafik 2. Distribusi rata-rata jumlah trombosit berdasarkan jenis
Imunoglobulin
pada
hari
ke
4
perjalanan
penyakit
0100200IgGIgG
danIgMIgM71.861.7105.3Rata-rata jumlah trombosit(x103/mm3)Jenis Imunoglobulin Grafik
3. Distribusi rata-rata jumlah trombosit berdasarkan jenis imunoglobulin pada hari ke-5
perjalanan penyakit Pada hari ke 4 perjalanan penyakit DBD, didapatkan rata-rata jumlah

trombosit pada pasien DBD anak-anak paling rendah pada serologi IgG saja yang positif
(99,865,9 x 103/mm3), kemudian diikuti dengan IgG dan IgM positif (101,572,7 x
103/mm3), dan paling tinggi pada IgM nya saja positif (122,944,8 x 103/mm3). (Tabel 2).
Sedangkan pada hari ke-5 perjalanan penyakit, rata-rata jumlah trombosit pada penderita
DBD anak-anak paling rendah pada serologi IgG dan IgM yang positif (61,740,2 x
103/mm3) kemudian diikuti berturut-turut dengan IgG yang positif (71,880,0 x 103/mm3)
dan IgM yang positif (105,351,4 x 103/mm3). (Grafik 3).Pada hari ke-6 perjalanan penyakit,
rata-rata jumlah trombosit menyerupai distribusi rata-rata jumlah trombosit pada hari ke-4
perjalanan penyakit yaitu paling rendah pada IgG positif (61,951,4 x103/mm3) kemudian
diikuti IgG dan IgM positif(68,736,9 x 103/mm3) dan IgM positif (81,457,4 x 103/mm3).
(Grafik 4) 0,20,40,60,80,100,120 Hari 4 Hari 5 Hari 6 Hari 7 Hari 8104.5,74.5,68.4,73.5,85.8
Rata-rata jumlah trombosit(x103/mm3) Hari perjalanan penyakit Grafik 1. Distribusi jumlah
trombosit penderita DBD pada anak berdasarkan hari perjalanan Penyakit 0,50,100IgG IgG
dan IgMIgM 61.9,68.7,81.4 Rata-rata jumlah trombosit(x103/mm3)Jenis Imunoglobulin
Grafik 4. Distribusi rata-rata jumlah trombosit berdasarkan jenis Imunoglobulin pada hari
ke-6 perjalanan penyakit Pola Jumlah Trombosit Penderita Demam Berdarah Dengue
(DBD) pada Anak-Anak yang Petanda Serologinya Positif Anak Agung Ngurah Subawa, I
Wayan Putu Sutirta Yasa 219 Pada hari ke-7 perjalanan penyakit, penderita yang
mempunyai IgG positif (73,951,2 x 103/mm3) atau IgG dan IgM positif (71,545,8 x
103/mm3), rata-rata jumlah trombositnya mengalami peningkatan dari hari sebelumnya
sedangkan penderita yang mempunyai IgM saja yang positif justru masih mengalami
penurunan dari hari sebelumnya (68,232,2 x 103/mm3). (Grafik 5) Pada hari ke-8
perjalanan penyakit yang merupakan suatu fase konvalesen sumsum tulang terjadi
hiperseluler dan terutama diisi oleh eritropoisis dengan pembentukan trombosit yang
sangat aktif. Disini dapat dilihat penderita yang mempunyai IgG dan IgM positif (89,364,5
x 103/mm3) cenderung memiliki jumlah trombosit yang lebih besar dari pada penderita
yang hanya memiliki IgG saja positif (83,246,7 x 103/mm3) atau IgM saja yang positif
(83,367,7 x 103/mm3). Tetapi rata-rata jumlah trombosit penderita DBD anak-anak
semuanya mengalami peningkatan pada perjalanan penyakit hari ke-8. (Grafik 6)
Pembahasan
Rata-rata jumlah trombosit penderita DBD pada anak-anak, tampak bahwa pada hari
keempat perjalanan penyakit jumlah trombosit sekitar 104.500/mm3 kemudian terus
menurun dan mencapai puncaknya paling rendah pada hari keenam sekitar 60.400/mm3.
Setelah hari keenam perjalanan penyakit rata-rata jumlah trombosit mengalami kenaikan
secara perlahan-lahan dimana pada hari ke 8 mencapai sekitar 85.800/mm3 (grafik 1). Hal
ini dapat dijelaskan, pada pemeriksaan sumsum tulang penderita DBD pada awal demam
terdapat hipoplasia sumsum tulang dengan hambatan pematangan dari semua sistem
hemopoisis terutama megakariosit. Setelah hari ke-5 sampai hari ke-8 perjalanan
penyakit, terjadi peningkatan cepat eritropoisis dan megakariosit muda. Pada fase
konvalesen sumsum tulang terjadi hiperseluler dan terutama diisi oleh eritropoisis
dengan pembentukan trombosit yang sangat aktif.12 Dari hasil penelitian ini, terlihat
bahwa jumlah trombosit penderita DBD pada anak-anak menunjukkan pola yang spesifik

terhadap antibodi IgG dan IgM yang ditimbulkan oleh infeksi virus 65,70,75 IgG IgG dan
IgM IgM 73.9,71.5,68.2 Rata-rata jumlah trombosit (x103 /mm3) Jenis Imunoglobulin Grafik
5. Distribusi rata-rata jumlah trombosit berdasarkan jenis Imunoglobulin pada hari ke-7
perjalanan penyakit 80,82,84,86,88,90 IgG IgG dan IgM IgM 83.2,89.3,83.3 Rata-rata jumlah
trombosit(x103 /mm3 ) Jenis Imunoglobulin Grafik 6. Distribusi rata-rata jumlah trombosit
berdasarkan jenis Imunoglobulin pada hari ke-8 perjalanan penyakit dengue. Pada infeksi
primer (IgM positif), rata-rata jumlah trombosit pada hari ke-4 sampai hari ke-6 perjalanan
penyakit cenderung lebih tinggi daripada infeksi sekunder (IgG positif atau IgG dan IgM
positif). Sedangkan pada hari berikunya yang merupakan suatu fase konvalesen justru
terjadi hal sebaliknya dimana pada infeksi primer rata-rata jumlah trombosit cenderung
lebih rendah dari infeksi sekunder. Disini terlihat fase konvalesen pada infeksi primer
terjadi lebih lambat dari pada infeksi sekunder yang berarti peningkatan cepat eritropoisis
dan megakariosit muda selama fase konvalesen pada infeksi primer lebih lambat dari
infeksi sekunder. Hubungan tipe serologi yang ditimbulkan dengan berat ringannya
trombositopeni masih belum jelas. Seperti diketahui sebelumnya serologi yang dapat
dideteksi berupa IgG dan atau IgM spesifik terhadap virus dengue merupakan respon
imun humoral yang dapat terbentuk jika terinfeksi virus dengue. Antibodi ini dapat
ditemukan dalam darah sekitar demam hari kelima. Pada infeksi primer antibodi IgG
meningkat sekitar demam hari ke-14 sedangkan pada infeksi sekunder antibodi IgG
meningkat pada hari kedua. Diagnosis infeksi primer dapat ditegakkan dengan
mendeteksi antibodi IgM setelah sakit hari kelima, diagnosis infeksi sekunder dapat
ditegakkan lebih dini dengan adanya peningkatan antibodi IgG dan IgM
yang cepat.11 Faktor-faktor yang dapat mempengaruhi terjadinya trombositopenia pada
penderita DBD yaitu adanya pelepasan sitokin kedalam sirkulasi selama fase awal demam
akut dari infeksi dengue. sitokin tersebut antara laintumour necrosis factor (TNF), interleukins (IL-2, IL-6, IL-8) dan interferon (IFN- dan IFN-). Kadar sitokin tersebut
berhubungan dengan derajat berat DBD. Waktu terjadinya supresi sumsum tulang juga
berhubungan dengan peningkatan kadar sitokin dalam darah. Adanya komplemen yang
berperan dalam destruksi trombosit yaitu C3dg, merupakan bentuk aktif C3, ditemukan
pada permukaan trombosit, dan sejumlah C3dg positif berhubungan dengan penurunan
jumlah trombosit dalam sirkulasi. Selain itu trombositopenia terjadi sebagai akibat
peningkatan penggunaan trombosit selama proses koagulopati konsumtif yangterjadi
pada setiap penderita DBD.7- 10 Pola trombositopenia yang terjadi pada anak-anak yang
menderita DBD menunjukkan bahwa pada awal infeksi virus dengue, penderita yang
mengalami infeksi sekunder (IgG positif atau IgG dan IgM positif) cenderung jumlah
trombositnya lebih rendah dari pada infeksi primer (IgM positif). Sedangkan pada fase
konvalescen penderita yang mengalami infeksi sekunder cenderung jumlah trombositnya
lebih cepat meningkat dari pada infeksi primer. Penelitian ini
merupakan penelitian pendahuluan dan diharapkan dilakukannya penelitian lanjutan
dengan jumlah sampel yang lebih banyak dan ruang lingkup yang lebih luas.
Top of Form

DAFTAR PUSTAKA

Dr.Umar zein, kepala dinkes kota medan. 2008. Www.waspada.online.com


Canadian
Hemophilia
Society,
What
is
Hemophilia
?

1999
World Federation of Hemophilia, Hemophilia in Pictures 1998. Copyright Indonesian
Hemophilia Society 2007 Created By Gugun
Price.Sylvia A &Lloraine M.Wilson,2003. Patofisioogi klinik proses-proses penyakit vol.1.)
Andra.majalah farmacia vol.6no7, februari 2007

Anda mungkin juga menyukai