Anda di halaman 1dari 20

INITIAL ASSESSMENT

definisi
proses evaluasi secara cepat pada penderita gawat darurat yang langsung
diikuti dengan tindakan resusitasi, dikerjakan secara sistematis, dan
proses ini meliputi:
1.
2.
3.
4.
5.
6.
7.
8.
9.

persiapan penderita
triase
survey primer
resusitasi
pemeriksaan penunjang untuk survey primer
survey sekunder
pemeriksaan penunjang untuk survey sekunder
pengawasan dan evaluasi ulang
terapai definitif

sedangkan assesment secara terbatas adalah meliputi tindakan triase


sampai dengan survey sekunder)
Pelaksanaan Initial Assessment Pendahuluan
initial assessment harus dilakukan dengan urutan yang benar supaya
diperoleh hasil yang maksimal.
Persiapan penderita
ada 2 tahap persiapan penderita: tahap pra rumah sakit (pra RS) dan
tahap intra rumah sakit(intra RS)
pada tahap pra RS hal-hal yang perlu dipertimbangkan adalah :
-

persiapan untuk SDM dan perlengkapannya


bagaimana harus melakukan pemeriksaan dan resusitasi pada
penderita
koordinasi dengan petugas lapangan lainnya.
koordinasi dengan RS tujuan.
pada tahap intra RS juga harus dipersiapkan petugas dan
perlengkapannya sebelumnya sebelum penderita tiba. persiapan
tersebut meliputi:
-kesiapan perlengkapan untuk resusitasi
persiapan utnuk tindakan resusitasi yang lebih kompleks
persiapan untuk terapi definitif
Triase

triase (=triage) adalah tindakan utnuk mengelompokkan penderita


berdasar pada beratnya cidera yang diprioritaskan berdasar ada tidaknya
gangguan pada A (airway), B (breathing) dan C (circulation). triase juga

mencakup pengertian mengatur rujukan sedemikian rupa sehingga


penderita mendapatkan tempat perawatan yang selayaknya.
tindakan triase dapat dikerjakan pada sekelompok pasien, misal
pada keadaan bencana atau korban massal, atau pada penderita tunggal
yang berarti menentukan diagnosis.
Survey Primer, Resusitasi dan Pemeriksaan
Penunjang
survey primer atau primary survey adalah pemeriksaan secara
cepat fungsi vital pada penderita dengan cidera berat dengan prioritas
pada ABCDE, dimana pada kasus trauma prioritas tersebut disertai
tindakan lain yang sesuai sebagai berikut:
A atau Airway maintenance adalah mempertahankan jalan nafas bersama
menjaga stabilitas tulang leher (cervical control).
B atau Breathing adlah pernafasan yang disertai ventilasi.
C atau Circulation adalah mempertahankan sirkulasi bersama dengan
tindakan untuk menghentikan perdarahan (control of hemorrhage).
D atau dissability adalah pemeriksaan untuk mendapatkan kemungkinan
adanya gangguan neurologis.
E atau environment atau Exposure adalah pemeriksaan pada seluruh
tubuh penderita dengan menjaga supaya tidak terjadi hipotermi.
prioritas penanganan kegawatan dilakukan berdasar urutan diatas,
namun bila memungkinkan dapat juga dilakukan secara simultan. prioritas
penanganan untuk pasien usia muda maupun usia lanjut adalah sama.
salah satu perbedaannya adalah bahwa pada usia muda ukuran organ
relatif lebih kecil dan fungsinya belum berkembang maksimal. pada ibu
hamil, prioritas tetap sama, hanya saja proses fisiologis berubah karena
adanya janin. pada orangtua, karena proses penuaan fungsi tubuh
menjadi lebih rentan terhadap trauma karena berkurangnya daya
adaptasi.

A. Airway + cervical control


pemeriksaan airway bisa dimulai dengan chin lift atau jaw thrust
maneuver untuk mengetahui ada tidaknya sumbatan oleh benda
asing/darah/dan lain-lain. selama melakukan hal tersebut, harus dijaga
stabilitas tulang leher, khususnya pada multiple trauma atau trauma
dibagian atas tubuh. cidera tulang leher harus diantisipasi dengan
benar sampai terbukti tidak ada. pada keadaan tertentu dimana airway

sukar dipertahankan dengan tindakan biasa, maka harus segera


disiapkan untuk membuat surgical airway (punkticricothyroid,
cricothyroidotomi, tracheostomi).

B. Breathing + ventilation
breathing (pernafasan) dan ventilation(ventilasi = proses pertukaran
gas) yang baik memerlukan kerja dinding dada, paru dan diafragma
yang baik pula. gangguan pada salah satu organ tersebut dapat
menyebabkan gangguan pada pernafasan dan ventilasi.
beberapa keadaan akut akibat trauma yang dapat menyebabkan
gangguan pernafasan yang fatal adalah : tension pneumathorak, flail
chest yang disertai kontusio pulmonum, hemothorak massive dan
pneumothorak terbuka. keadaan tersebut memerlukan tindakan
segera berupa pemasangan drain thorak untuk tujuan dekompresi.

C. Circulation + Hemorrhage
penilaian fungsi sirkulasi secara cepat dapat dilakukan dengan manilai
kesadaran, warna kulit dan nadi. manghentikan perdarahan luar dapat
dikerjakan selam survey primer
reaksi tubuh terhadap hilangnya cairan (perdarahan) dapat berbeda :
- pada orangtua kemampuan kompensasi sudah jauh berkurang
sehingga resusitasi harus diberikan secara cepat.
- pada usia dini, kompensasi sangat besar sehingga tanda-tanda
kegagalan sirkulasi muncul lambat.
- pada olahragawan daya kompensasi lebih besar daripada orang
biasa, dengan ciri khas lebih jarang timbul takikardi pada keadaan
hipovolemia..
resusitasi cairan diberikan berdasar pada derajat syok yang terjadi
dari derajatsyok dan responnya terhadap resusitasi cairan dapat
diprediksi apakah suatu perdarahan dalam (internal bleeding)
memerlukan tindakan operatif (surgical resusitation) atau tidak

D.Dissability
pemeriksaan neurolog secara cepat dapat dilakukan dengan metode
APVU (Allert, voice respond, pain respond, unresposive). permeriksaan
dengan GCS secara periodik dapat dilakukanuntuk hasil yang lebih
detail pada survey sekunder.
bila hipoksia dan hipovolemia pada penderita dengan gangguan
kesadaran dapat disingkirkan, pikirkan adanya kerusakan CNS sampai
terbukti lain.

E. environment event.
pemeriksaan seluruh bagian tubuh harus dilakukan disertai tindakan
utnuk mencegah hipotermi. penanganan bidai atau vacum matras
utnuk menghentikan perdarahan dapat juga dilakukan pada fase ini.

pemeriksaan penunjang pada umumnya tidak dilakukan pada survey


primer adalah : pemeriksaan saturasi oksigen dengan pulse oksimetri,
foto cervical, foto thorak dan foto polos abdomen. tindakan lainnya
yang dapat dikerjakan pada survey primer adalah pemasangan
monitor EKG, kateter dan NGT. pemeriksaan dikerjakan tanpa
menghentikan/menunda proses survey primer.
untuk dapat melakukan evaluasi lebih baik, perlu diketahui kejadian
(event) dari traumanya.
Survey sekunder, pemeriksaan penunjang dan
evaluasi.
prinsip pada survey sekunder adalah memeriksa ulang seluruh tubuh
dengan teliti mulai dari ujung rambut dampai ujung jari kaki (head to toe),
baik pada tubuh bagian depan maupun belakang. dimulai anamnesa
singkat yang meliputi AMPLE (Alergies, medication, past illness, last meal
dan event of injury). pemeriksaan penunjang yang diperlukan pada fase
ini diantaranya adalah: foto toraks.
Terapi definitif
terapi definitif pada umumnya merupakan porsi dari dokter spesialis
bedah. tugas dokter yang melakukan penanganan pertama adalah untuk
melakukan resusitasi dan stabilisasi serta menyiapkan penderita untuk
tindakan definitif atau untuk dirujuk.

SYOK
definisi
Syok adalah suatu keadaan dimana oksigenasi jaringan dan perfusi
jaringan tidak adekuat yang disebabkan adanya gangguan sirkulasi.
Akibat syok adalah terjadinya gangguan fungsi organ yang pada akhirnya
dapat menimbulkan kematian apabila tidak segera ditanggulangi.
penyebab
-

Hipovolemik
Kardiogenik
Neurogenik
Tension Pneumothorak

Syok hipovolemik disebabkan karena berkurangnya cairan intravaskuler,


baik karena perdarahan (syok hemoragik) atauapun bukan (syok non
hemoragik). Syok kardiogenik disebabkan karena adanya gangguan pada
jantung sehingga fungsinya untuk memompa cairan didalam pembuluh
darah tidak berjalan baik. Akibatnya jaringan organ akan kekurangan
oksigen. Pada syok neurogenik pembuluh darah yang berfungsi sebagai
saluran mengalami penyempitan atau pelebaran yang tidak wajar, dengan
akibat yang sama dengan syok lainnya :jaringan organ kekurangan
oksigen. Pada tension pneumothorak, tekanan di dalam rongga thorak
menjadi sedemikian tinggi dan menekan organ-organ di dalamnya,
termasuk jantung dan pembuluh darah. Akibatnya juga sama : jaringan
organ mengalami kekurangan oksigen. Dengan demikian, apapun
penyebabnya, akibat dari syok adalah sama : perfusi organ dan oksigenasi
jaringan menjadi tidak adekuat.
Pada kasus-kasus trauma, kebanyakan syok adalah syok hipovolemikhemoragik. Oleh karena itu pada uraian selanjutnya akan lebih ditekankan
pada keadaan tersebut.
Mengenali syok/ diagnosis
Perdarahan yang dapat menyebabkan timbulnya syok hipovolemikhemoragik adalah:
Perdarahan Pada Rongga Perut, Baik Intra Maupun Retroperitoneal
Perdarahan Akibat Fraktur Tulang Panjang Atau Pelvis
Perdarahan Didalam Rongga Dada
Perdarahan kepala (intrakranial) tidak akan menyebabkan stok
hipovolemik-hemoragik kecuali pada bayi yang sutura tulang kepalanya
belum menutup.
Berdasarkan berat ringanya keadaan klinis syok dapat dibagi menjadi 4
kelas berdasarkan banyaknya darah yang hilang., yang dihitung berdasar
persentase terhadap total effective Blood Volume atau EBV. Sedangkan
normalnya EBV berkisar anatara 70 cc/kgBB(pada orang dewasa) sampai
200 cc/kgBB pada bayi baru lahir.

Darah hilang /cc


Darah hilang /% BV
Nadi
Tekanan darah
Pulse pressure
Respirasi
Produksi urine/ cc
Kesadaran
Cairan pengganti

Klas I
< 750
< 15
< 100
N
N
14-20
> 30
Agak
gelisah
Kristaloid

Klas II
750-1500
15-30
>100
N

20-30
20-30
Gelisah
Kristaloid

Klas III
1500-2000
30-40
>120

30-40
5-15
Gelisah &
bingung
Kristaloid+

Klas IV
>2000
<40
>140

>35
Tidak ada
Bingung &
letargik
darah

Dari tabel diatas jelaslah bahwa syok harus didapat dikenali secara cepat
tanpa harus dibantu pemeriksaan penunjang yang bermacam-macam.
Bahkan pada kasus trauma, bila ditemukan ada takikardi dan ekstremitas
yang dingin, sudah harus dipikirkan adanya syok.
Penanganan/terapi
Tanpa memandang penyebabnya tindakan pertama untuk memperbaiki
keadaan ini, bila masalah A dan B sudah diatasi atau tidak ada masalah
adalah memperbaiki kekurangan cairan intravaskuler dengan memberikan
cairan dengan jumlah cukup serta dalam waktu yang singkat. Pada
umumnya cairan yang diberikan adalah ringer laktat 20-40 cc/kgBB yang
diberikan dalam tempo 10-15 menit. Pemberian cairan ini dapat diulangi
1-2 kali tergantung situasi.
Hal lain yang harus diperhatikan disini adalah cara pemasangan infus.
Pilihlah jarum serta selang infus ukuran besar sehingga memungkinkan
pemberian transfusi dengan lancar. Jangan lupa untuk mengambil sampel
darah untuk pemeriksaan sebelum cairan diberikan. Supaya tidak mudah
terjadi plebitis dan aman, pilihlah pembuluh darah yang cukup besar
seperti vena mediana cubiti. Hindari pemasangan infus di kaki. Bila perlu
jangan ragu-ragu untuk mencari vena dengan vena sektie/venous
cutdown. Pada anak dibawah 6 tahun dapat iberikan infus melalui jarum
khusus yang dimasukkan intra osseus pada tulang tibia bagian medial.
Dari responnya terhadap pemberian cairan ini dapat diperkirakan berat
ringanya perdarahan yang timbul serta tindakan lebih lanjut yang
diperlukan, termasuk pemberian transfusi dan tindakan bedah.
Tanda vital
Darah hilang
Kebutuhan cairan
tambahan
Transfuse
Operasi

Respon cepat
Kembali normal
10-20%
jarang

Respon transient
Perbaikan sementara
20-40%
sering

Respon negatif
Tetap buruk
>40%
Sering

jarang
mungkin

sering
Perlu mungkin sekali

Sering
Sangat mungkin

Pada keadaan dimana perlu tindakan bedah, maka harus dilakukan


konsultasi secepatnya kepada dokter bedah.
Hasil dari resusitasi yang dilakukan dapat dilihat dari kembali tidaknya
fungsi organ vital yang tadinya terganggu. Tanda-tanda keberhasilan
resusitasi dapat dilihat sebagai berikut:
Otak .. kembalinya kesadaran
Ginjal volume urine bertambah
Kulit ekstremitas .. menjadi hangat
Jantung . Denyut nadi turun, tensi meningkat
Prognosis

Prognosis tergantung pada beberapa hal, diantaranya :


a) lamanya syok berlangsung
b) beratnya syok
c) kecepatan penanganan yang benar
d) kondisi sebelumnya
e) penyakit penyerta
Akibat akhir dari syok yang berlanjut adalah kematian yang disebabkan
gagalnya fungsi organ-organ vital yang bersifat irreversibel. Makin lama
berlangsung dan makin berat derajat syok, maka kemungkinan terjadinya
kerusakan organ akan makin besar. Oleh karena itu, makin cepat
pertolongan diberikan, makin besar kemungkinan keberhasilannya.
Disamping hal tersebut diatas, keadaan penderita secara umum seperti
usia, gizi dan adanya penyakit lain dapat pula mempengaruhi hasil
penangan syok. Penderita usia lanjut, gizi buruk dan penyakit sistemik
seperti diabetes dan sirosis hati akan memperburuk prognosis.

CEDERA KEPALA
Pendahuluan
Fenomena otoregulasi cenderung mempertahankan aliran darah otak
(ADO) stabil bila tekana darah rata-rata 50-160 mmHg (untuk pasien
normotensif, dan bergeser kekekana pada pasien hipertensif dan
sebaliknya). Dibawah 50 mmHg ADO berkurang bertahap dan diatas 160
mmHg terjadi dilatasi pasif pembuluh otak dengan akibat peninggian
tekanan intrakranial. Otoregulasi dapat terganggu pada cedera otak
dengan akibat ADO tergantung secara linier pada tekanan darah. Oleh
karena hal-hal tersebut (perhatikan tekanan darah pasien sebelum
cedera).
Volume total intrakranial tetap konstan (Doktrin Monroe Kellie : K = V otak
+V css + V darah + V massa). Kompensasi atas terbentuknya lessi
intrakranial adalah bergesernya css dan darah vena hingga batas
kompensasi, untuk selanjutnya tekanan intrakranial akan naik secara
tajam.
Pada lesi yang membesar cepat seperti hematom, perjalanan klinik dapat
diprediksi. Bila fase kompensasi terlewati, tekanan intrakranial meningkat.
Pasien nyeri kepala yang memburuk oleh hal yang meninggikan TIK
seperti batuk, membungkuk dan terlentang, kemudian mulai mengantuk.
Kompresi atau pergeseran batang otakberakibat peninggian tekanan
darah, sedang denyut nadi dan respirasi menjadi lambat. Pupil sisi massa
berdilatasi, bisa dengan hemiparesis sisi kontralateral massa. Selanjutnya.
Pasien jadi tidak responsif, pupil tidak bereaksi dan berdilatasi, serta
refleks batang otak hilang. Akhirnya fungsi batang otak berhenti, tekanan
darah merosot, nadi lambat, respirasi lambat dan tidak teratur untuk
akhirnya berhenti. Penyebab akhir kegagalan otak adalah iskemia.

Peninggian TIK mempengaruhi ADO akibat kompresi arterial, regangan


atau robekan arteria dan vena batang otak serta gangguan perfusi. ADO
konstan 50 ml/100 gr/menit pada otoregulasi normal. Jadi ADO
dipengaruhi oleh tekanan darah arterial, tekanan intrakranial, otoregulasi,
stimulasi metabolik serta distorsi atau kompresi pembuluh darah oleh
massa atau herniasi. Pada kenyataannya, banyak akibat klinis dari
peninggian TIK adalah akibat pergeseran otak dibanding tingkat TIK
sendiri.
Edema otak yang terjadi oleh sebab apapun akan meninggikan TIK yang
berakibat gangguan ADO yang berakibat memperberat edema sehingga
merupakan lingkaran setan. TIK lebih dari 15 mmHg harus ditindak.
Triad klasik nyeri kepala, edema papil dan muntah ditemukan pada dua
pertiga pasien. Sisanya hanya dua gejala. Tidak satupun khas peninggian
TIK kecuali papil edema, namun memerlukan waktu yang lama untuk
timbulnya. Simptom lebih banyak tergantung penyebab daripada tingkat
tekanan. Tidak ada korelasi konsisten antara tingkat tekanan dengan
beratnya gejala.
Penurunan kesadaran adalah ciri cedera otak. Dua jenis cedera otak yaitu
cedera korteks bilateral serta cedera pada sistem pengaktif retikuler
batang otak disamping peninggian TIK dan penurunan ADO dapat
menurunkan tingkat kesadaran.

Klasifikasi
Didasarkan pada aspek :
a. Mekanisme trauma
1) Tumpul : kecepatan tinggi, kecepatan rendah
2) Tajam : cedera peluru, bacok dll
b. Beratnya
Didasarkan pada Glasgow Coma Scale (GCS)
1. Cedera Kepada Ringan (bila GCS 14-15)
2. Cedera Kepala Sedang (bila GCS 9-13)
3. Cedera Kepala Berat (bila GCS 3-8)
c. Berdasarkan morfologinya
1) Fraktura tengkorak
a)
Kalvaria :
1.
linier atau stelata
2.
terdepres atau tidak terdepres
b)
Basiler :
1.
anterior
2.
media
3.
posterior
2) Lesi intrakranial

a)
1.

2.
b)
1.
2.
3.

Fokal :
Perdarahan meningeal
1)
Epidural
2)
Subdural
3)
subarakhnoid
Perdarahan dan laserasi otak
1)
Perdarahan intraserebral dan atau kontusi
2)
Benda asing, peluru tertancap.
Difusa :
Konkusi ringan
Konkusi klasik
Cedera aksonal injuri

CEDERA KEPALA RINGAN


Definisi
pasien bangun, dan mungkin bisa berorientasi (GCS 14-15)
(tidak termasuk pasien sadar kelompok cedera kepala berat).
Pengelolaan setelah pasien distabilkan :
1. Riwayat : jenis dan saat kecelakaan, kehilangan kesadaran, amnesia,
nyeri kepala, perdarahan hidung/mulut/telinga, kejang
2. Pemeriksaan umum untuk menegakkan cedera siatemik
3. Pemeriksaan neurologis
4. Radiografi tengkorak
5. Radiografi servikal dan lain-lain atas indikasi
6. Kadar alkohol darah serta urin utnuk skrining toksik (bila ada)
7. CT Scan idealnya dilakukan bila didapatkan tujuh pertama dari kriteria
rawat

CEDERA KEPALA SEDANG


Definisi
pasien mungkin konfusi atau somnolen namun tetap mampu untuk
mengikuti perintah sederhana (GCS 9-13).
Pengelolaan :
Di Unit Gawat Darurat :
1. Riwayat : jenis dan saat kecelakaan, kehilangan kesadaran,
amnesia, nyeri kepala, perdarahan hidung/mulut/telinga, kejang
2. Pemeriksaan umum guna menyingkirkan cedera sistemik
3. Pemeriksaan neurologis
4. Radiografi tengkorak bila diduga trauma tembus
5. Radiografi tulang belakang leher dan lain-lain bila ada indikasi

6. Kadar alkohol darah serta urin untuk skrining toksik (bila ada)
7. Contoh darah untuk penentuan golongan darah
8. Tes darah dasar dan EKG
9. CT Scan kepala
10.
Rawat untuk pengamatan bahkan bila CT Scan normal
Setelah dirawat :
1.
2.

Pemeriksaan neurologis setiap setengah jam


CT Scan bila ada perburukan neurologis

Walaupun pasien ini tetap mampu mengikuti perintah sederhana, mereka


dapat memburuk secara cepat. Karenanya harus ditindak hampir seperti
halnya terhadap pasien cedera kepala berat, walau mungkin kewaspaan
yang tidak begitu akut terhadap urgensi.

CEDERA KEPALA BERAT


Definisi
pasien tidak mampu mengikuti bahkan perintah sederhana karena
gangguan kesadaran (GCS < 8). (Tidak termasuk disini kelompok cedera
kepala berat dengan GCS > 8)
PENGELOLAAN INISIAL CEDERA KEPALA BERAT
Prioritas pertama pada pasien cedera kepala adalah resusitasi fisiologis
yang lengkap dan cepat. Tidak ada tindakan spesifik untuk hipertensi
intrakranial yang tidak disertai tanda-tanda herniasi tentorial atau
perburukan neurologis progresif yang tidak diakibatkan oleh kelainan
ekstrakranial. Bila tanda-tanda herniasi transtentorial atau perburukan
neurologis yang bukan disebabkan oleh kelainan ekstrakranial tampil,
pikirkan bahwa hipertensi intrakranial terjadi dan segera tindak dengan
agresif hiperventilasi segera lakukan. Manitol disukai namun dibawah
keadaan resusitasi cairan yang adekuat.
Sedasi
dan
blok
neuromuskular
dapat
berguna
untuk
mengoptimalkan transport, namun masing-masing mempengaruhi
pemeriksaan neurologis. Jenis sedatif terserah masing-masing dokter. Blok
neuromuskuler digunakan bila sedasi saja tidak adekuat. Gunakan aksi
pendek.
Hipertensi intrakranial berpotensi memperburuk outcome, sayang
semua jenis tindakan terhadap hipertensi intrakranial bukan saja bisa
berkomplikasi serius, namun beberapa berpengaruh langsung terhadap
resusitasi, seperti misalnya diuretika.

Karena penyebab hipotensi umumnya sekunder atas perdarahan atau


kehilangan cairan lainnya, maka volume intravaskuler tampaknya cara
terbaik untuk memperbaiki tekanan darah. Kristaloid untuk memperkuat
preload jantung, mempertahankan curah jantung (CO), tekanan darah dan
pengangkutan oksigen perifer. Dianjurkan infus cepat 2 liter RL atau salin
normal sebagai bolus inisial pada dewasa. Pada pasien tanpa cedera
kepala, pikirkan bahwa resusitasi tanpa hemostasis bedah menyebabkan
kehilangan darah sekunder akibat bergesernya klot hemostatik. Begitu
pula hemodilusi yang terjadi dapat mempeburuk keadaan pada trauma
tertentu seperti trauma penetrasi torso. Karenanya resusitasi cairan ideal
adalah tidak menyebabkan kehilangan darah sekunder dan hemodilusi.
Tindakan terhadap otak
A.

Herniasi serebral: tanda-tandanya adalah gangguan kesdaran serta


tidak adanya respons, termasuk posturing ekstensor, pupil berdilatasi,
tidak bereaksi terhadap cahaya atau perburukan neurologis progresif
(penurunan GCS lebih dari dua poin dari sebelumnya pada pasien
dengan GCS initial < 9). Hiperventilasi adalah intervensi jalur pertama
terhadap pasien tersangka ancaman herniasi otak. Status neurologis
memerlukan penilaian berulang dan diikuti hilangnya tanda-tanda
herniasi otak, hiperventilasi dihentikan.
B.
Manitol pra rumah sakit utnuk herniasi otak.
C.
Tindakan saat transport pasien : sedasi, analgesia dan blok (sesuai
sarana tersedia) berguna dalam mengoptimalkan transport pasien
cedera kepala.
D.
Penyebab lain perubahan status kesadaran : hipoglikemik dilaporkan
sebagai pencetus trauma. Hipoglikemia bisa tampil dengan perubahan
kesdaran yang tidak jelas etiologinya ditentukan glukosanya secara
cepat atau diberikan glukosa secara empiris.

Transportasi
A.

Semua pasien dengan cedera otak traumatika dengan GCS < 9


langsung dirujuk ke fasilitas yang berkemampuan pemeriksaan CT
segera, fasilitas bedah saraf memadai, dan fasilitas pengamat tekanan
intrakranial (bila ada) serta kemampuan menindak hipertensi
intrakranial.
B.
Pasien dengan GCS 9-13 berpotensi mengalami cedera intrakranial
dan tindakan bedah syaraf, hingga harus dirujuk ke pusat bedah saraf.
Sebagian kematian akibat cedera adalah tanggung jawab cedera kepala.
Transportasi merupakan bagian penting yang mempengaruhi outcome.
Langkah yang berpengaruh pra rumah sakit adalah :

1.

Informasi lengkap yang dikumpulkan petugas pra rumah sakit dan


yang diminta petugas rumah sakit rujukan seperti apakah pasien
sadar, dapat berbicara,membuka mata, atau menggerakkan
ekstremitas dapat membantu menentukan adanya cedera otak.
2.
Penilaian pra rumah sakit atas mekanisme, jenis dan beratnya
cedera (parahnya kerusakan kendaraan, benturan kaca depan,
penggunaan sabuk pengaman dan alat pengaman lain), kejadian dan
khususnya pemeriksaan pasien penting untuk menilai situasi
neurologis keseluruhan. Tanda-tanda vital dan oksimetri denyut nadi
bila ada, membantu menemukan hipotensi dan hipoksemia. Skor GCS
dan kondisi pupil memberikan informasi beratnya cedera otak.
3.
Berdasarkan penilaian pasien, intervensi pra rumah sakit dimulai
untuk mencegah hipotensi atau hipoksemia serta potensi mengancam
hidup atau kecacadan lainnya. Disini tingkat keterampilan penolong
sangat menentukan mutu intervensi.
4.
Rumah sakit penerima juga menentukan outcome.
Beberapa faktor berpengaruh pada tindakan yang optimal. Untuk
perkotaan, waktu tanggap pendek, rumah sakit banyak, waktu
transport singkat, berakibat tindakan lebih cepat dan dekat. Namun
dikota UGD lebih sibuk, jalanan macet dan protokol mung kin tidak
mengizinkan jalan pintas ke pusat trauma lain.
Didaerah yang jauh dari pusat trauma, petugas harus diberi
kemudahan memanfaatkan alat transportasi yang lebih cepat. Bila sarana
bedah syaraf tidak tersedia, bawa dulu ke fasilitas terdekat untuk
stabilisasi pasien. Untuk selanjutnya tergantung kebutuhan. Lakukan
penilaian neurologis berulang untuk mengevaluasi atau menemukan
setiap perubahan kondisi dan status neurologis pasien selama perjalanan.

ALGORITMA PENILAIAN DAN TINDAKAN TERHADAP CEDERA OTAK


TRAUMATIKA (COT) PRA RUMAH SAKIT (DENGAN FASILITAS BEDAH
SARAF).

Nilai, stabilkan dan tindak pasien berdasar protokol berat (GCS 38) harus ditransport ke pusat trauma.
Bila pasien tidak membuka mata, tekan pangkal kuku atau cubit
kulit anterior aksila untuk merangsang buka mata.
Bila dengan rangsang nyeri tersebut pasien membuka mata, nilai
seksi verbal dan motor dari GCS untuk mendapatkan skor total.
Pasien yang tidak responsif dengan GCS 3-8 harus ditransport ke
pusat trauma dengan kemampuan :
1.
CT Scan 24 jam
2.
sarana bedah sayaraf dan kamar operasi 24 jam
3.
kemampuan monitor tekanan intrakranial (bila ada) dan tindakan
terhadap peninggian tekanan intrakranial.
Pasien GCS 14-15 ditransport ke rumah sakit non pusat trauma,
dengan UGD berkemampuan resusitasi segera pasien kritis.

Pasien yang tidak membuka mata terhadap rangsang nyeri


langsung ditransport ke pusat truma tersebut.

Pasien yang tidak responsif namun bereaksi atas rangsangan


nyeri pada pangkal kuku dengan posturing ekstensor atau pasien yang
flaksid, amankan jalan nafas (usahakan intubasi) dan hiperventilasi
(20x/menit untuk dewasa, 30 x/menit untuk anak-anak, 35-40 x/menit
untuk bayi)

Pasien yang tidak responsif namun beraksi atas rangsang nyeri


pada pangkal kuku atau cubitan ketiak dengan fleksi abnormal atau
respon motor GCS lebih tinggi, namun dengan pupil asimetris dan atau
berdilatasi dan tidak bereaksi cahaya, lakukan hiperventilasi dada.

Semua pasien pasien COT nilai oksigenasinya tiap 5 menit serta


saturasi O2nya dipertahankan > 90. tekanan darah sistolik
dipertahankan diatas 90 mmHg pada dewasa dan usia 12-16; 80
mmHg bagi usia 5-12; 75 mmHg bagi usia 1-5; dan 65 mmHg untuk
bayi kurang dari 1 tahun.
Karena status neurologis bisa berubah, nilai pasien secara lengkap setiap
5 menit dan tindak atau ubah tindakan bila perlu.

TRAUMA THORAKS
Pembagian trauma thoraks
Kegawatan

mengancam jiwa
o tension pneumothoraks
o hemothoraks masif
o tamponade jantung
o flail chest

potensial mengancam jiwa


o open pneumothoraks
o simple pneumothoraks
o hemothoraks ringan/sedang
o cedera diafragma
o cedera pada aorta
o kontusio paru

jenis trauma
tumpul
tajam

TRAUMA TUMPUL
Trauma tumpul pada dada akan menyebabkan kerusakan dari dinding
dada sampai ke organ didalam rongga thoraks, tergantung besar kecil
traumanya. Trauma pada dada bagian posterior
relatif lebih aman
daripada dada anterior, karena di posterior dilindungi oleh muskulus yang
tebal, serta terdapat tulang skapula.
Bila trauma mengenai kosta, akan terjadi penekanan pada daerah kosta
yang terkena trauma, serta terjadi peregangan pada bagian kosta yang
berlawanan dan pada titik tertentu, bila trauma tersebut besar, kosta
akan patah dan bila trauma tersebut berlanjut terus maka fragmen kosta
yang patah akan melekuk ke dalamm rongga toraks dan mengenai organ
didalamnya. Bila menusuk paru akan terjadi pneumothoraks, bila
mengenai pembuluh darah, misalnya arteri interkostalis, bronkialis akan
terjadi hemotoraks. Satu hal penting, kosta yang patah dan melekuk ke
dalam tersebut akan kembali ke posisi semula, ini akibat adanya muskulus
interkostalis. Pada anak-anak, karena elastisitas dari kostanya trauma
besar yang mengenai dada akan menimbulkan kerusakan paru tapi tanpa
disertai patahnya kosta.
Trauma tumpul yang besar seringkali menimbulkan patah tulang iga
multipel pada dua tempat yang sama(misalnya fraktur kosta 3,4,5,6
kanan bagian depan ,dan belakang) yang disertai dengan kegagalan
fungsi pernafasan akibat rusaknya jaringan paru ini disebut dengan flail
chest.

1.

Fraktur Kosta
Kosta merupakan bagian dari toraks yang sering mengalami cedera.
Karena proses bernafas, maka fraktur kosta akan selalu terasa nyeri,
dengan akibat penderita cenderung menahan atau mengurangi
gerakan nafasnya sehingga akan terjadi gangguan ventilasi, distribusi
dan difusi. Selain nafas, batuk juga akan ditahan. Sehingga
pengeluaran sekret akan tertahan dan secara keseluruhan akan
merugikan
bagi
penderita,
serta
menimbulkan
atelektasis
(menguncupnya paru) serta pneumonia. Pada setiap fraktur kosta
harap diperhatikan :
o
jumlah
o
lokasi
o
komplikasi
semakin banyak kosta yang fraktur semakin besar traumanya dan
semakin besar kemungkinan timbulnya komplikasi pada organ di dalam
rongga toraks.
Lokasi atau nomor kosta yang patah :
o

Kosta 1-3
Harus dicurigai adanya cedera yang lebih luas mengenai
daerah kepala, servikal dan pembuluh darah besar. Patah
tulang ini biasanya menimbulkan cedera yang serius,

karena secara anatomis kosta 1-3 terlindung dengan baik


oleh struktur tulang disekelilingnya dan banyak organ vital
diantaranya, vertebra servikalis, arteri-vena subklavia,
pleksus brakhialis dsb
o

Kosta 4-9
Kosta ini yang paling sering mengalami cedera, fragmen
frakturnya akan menimbulkan komplikasi pneumotoraks
atau hemotoraks serta kontusio paru

Kosta 10-12
patah tulang disini harus dicurigai adanya cedera pada
organ hepatoslenik

Diagnosa ditegakkan berdasarkan pemeriksaan klinis, inspeksi adanya


jejas, deformitas, gerakan nafas yang tertinggal, palpasi adanya nyeri
tekan, krepitasi.
Bila ada fasilitas rontgen, bisa dilakukan foto thoraks PA selain untuk
melihat kosta yang fraktur, juga untuk melihat kemungkinan komplikasi
akibat fraktur kosta tersebut.
Terapi yang dianjurkan adalah dengan memberi oksigenasi yang cukup,
kemudian diberikan analgetika kuat pada awal kejadian dan diturunkan
pada hari berikutnya serta observasi terhadap kemungkinan komplikasi
yang akan timbul.
Pemakaian alat-alat yang menghambat gerakan nafas, seperti plester
lebar, bidai tidak dianjurkan untuk dipergunakan.

2.

Fraktur Sternum
Fraktur yang menyebabkan tulang sternum patah adalah trauma
langsung, seringkali terjadi pada sopir yang mengendarai mobil tanpa
fasilitas airbag. Gejalanya biasanya penderita merasa nyeri didaerah
fraktur dan pemeriksaan klinis akan tampak jelas adanya deformitas
pad sternum. Bila terjadi komplikasi pada jantung, akan terjadi gejalagejala tamponade.
Diagnosis didasarkan pemeriksaan klinis dan foto thoraks/sternum
dengan posisi lateral.

3.

Flail Chest
Terjadi bila terdapat fraktur kostalebih dari 2 yang berurutan pada level
yang sama, sehingga dinding dada tidak mampu melakukan fungsi
pernafasan.
Karena terjadi fraktur tersebut, segmen kosta yang patah tersebut
hanya difiksasi oleh kulit saja, sehingga akan terjadi gerakan
paradoksal, yakni pada saat inspirasi, karena rongga dada
mengembang, volume bertambah, tekanan intratorakal menurun ,

segmen dada yang fraktur tesebut akan mendorong kedalam.


Demikian juga saat ekspirasi, tekanan intratorakal meningkat,
akibatvolume dada yang mengecil, segmen tesebut akan terdorong
keluar berlawanan dengan gerakan dari dinding dada. Yang perlu
diperhatikan sebenarnya cedera parunya sendiri. Trauma yang
menyebabkan flail chest adalah trauma yang sangat besar, sehingga
paru akan mengalami cedera yang cukup hebat, terjadi perdarahan
yang cukup serius pada parenkim paru. Perdarahan ini akan
menyebabkan gangguan difusi pada alveoli paru, sehingga akan
menimbulkan distress pernafasan yang berat. Keadaan ini disebut
kontusio paru.
Tindakan yang harus diambil adalah pemberian oksigenasi yang baik,
bila tidak mencukupi bisa dilakukan bantuan ventilasi mekanik ataupun
pemasangan endotrakeal tube. Jangan lupa diberikan analgetika yang
cukup kuat. Serta observasi apakah ada cedera pada organ lainnya.
Hati-hati dengan pemberian cairan, balans seimbang, karena
kemungkinan bisa terjadi oedema paru.

4.

Pneumotoraks
ada 3 jenis :
tension
simpel
open

TENSION PNEUMOTORAKS
Adanya mekanisme katup satu arah atau ventil pada dinding dada
ataupun pada parunya sendiri. Akibat suatu trauma, udara masuk ke
dalam rongga pleura sewaktu inspirasi, akan tetapi tidak bisa keluar
sewaktu exspirasi karena mekanisme katup satu arah tadi. Demikian
terus, tiap inspirasi udara masuk di rongga pleura akan tinggi sekali.
Tekanan tinggi ini akan mendorong paru secara akut, penderita sesak
karena tubuh belum sempat mengadakan kompensasi, kadar oksigen
akan menurun pada jaringan dan organ vital. Hal ini diperberat lagi
karena tekanan yang tinggi tersebut akan mendorong mediastinum ke
arah kontralateral. Jantung akan juga ikut terdorong, sehingga vena
kava superior dan inferior akan menyempit, aliran darah ke jantung
akan menurun, dan akibat selanjutnya cardiac output juga akan
menurun. Penderita akan mengalami syok yang diperberat oleh
menurunnya kadar oksigen akibat kolapnya paru. Ini adalah ancaman
jiwa penderita.

Diagnosa tension pneumotoraks adalah


berdasarkan gejala klinis, bukan radiologis.

ditegakkan

Gejala tension pneumotoraks adalah nyeri dada, sesak, syok dan pada
pemeriksaan klinis didapatkan pada trakea tedorong ke arah
kontralateral, vena jugularis menonjol, gerakan nafas tertinggal.

Perkusi hipersonor pada daerah tension, auskultasi tidak terdengar


suara nafas sama sekali.
Tindakan yang harus cepat dilakukan adalah membuat tension
pneumotoraks menjadi simple pneumotoraks dengan jalan ditusuk
dengan jarum besar (14-16 F) pada dada di sela iga 2, pertengahan
klavikula. Setelah udara keluar, mediastinum kembali ke tengah, paru
menjadi simple pneumotoraks, dan tindakan berikutnya adalah
memasang toraks drain yang dihubungkan pada WSD.

SIMPEL PNEUMOTORAKS
Pada keadaan normal rongga pleura, yaitu rongga diantara pleura
viseralis dan parietalis mempunyai tekanan negatif dibawah tekanan
udara luar, yang menyebabkan paru menggantung tidak kolaps.
Apabila oleh karena suatu sebab tekanan udara berubah menjadi sama
besar dengan udara luar atau lebih besar, paru akan kolaps sebagian,
keadaan ini kita sebut dengan pneumotoraks simple. Penyebab
tersering adalah laserasi paru akibat cedera tumpul ataupun tajam
pada toraks.
Diagnosa ditegakkan berdasarkan pemeriksaan klinis, didapatkan pada
inspeksi seperti fraktur kosta, ada jejas, palpasi terdapat krepitasi,
gerakan dada menurun dan pada perkusi lebih hipersonor dari yang
normal serta pada auskultasi suara nafas menurun. Dengan foto
toraks, terutama diambil saat ekspirasi, akan tampak gambaran paru
yang kolaps.
Penanganan terbaik adalah dengan memasang toraks drain, pada sela
iga kelima atau setinggi putting susu, pada laki-laki, pada perempuan
setinggi lipatan buah dada dengan dinding toraks, di garis anterior
aksila dan dihubungkan dengan WSD.

PNEUMOTORAKS TERBUKA
Terdapatnya defek pada dinding dada yang mengakibatkan adanya
hubungan antara rongga dada dengan udara luar. Bila defek tersebut
besarnya lebih dari 2/3 diameter trakea maka udara luar akan
cenderung mengalir melalui defek tersebut dibandingkan lewat trakea,
karena tahananya lebih kecil. Akibatnya paru akan kolaps total.
Tindakan awal adalah menutup defek tersebut dengan kasa steril, atau
kain plastik yang diplester pada 3 sisinya, dengan sisi ke 4 dibiarkan
terbuka. Diharapkan saat inspirasi kasa akan menutup lobang karena
terhisap dan akan terbuka karena terdorong saat ekspirasi, sehingga
paru akan mengembang
Tindakan selanjutnya tentunya menjahit defek
memasang toraks drain dan menghubungkan ke WSD

5.

Hemothoraks
ada 2 jenis :

tersebut

serta

Masif
Ringan/Sedang

HEMOTORAKS MASIF
Terjadi perdarahan pada cedera toraks yang terkumpul pada rongga
pleura. Jumlah darah yang banyak ini mengakibatkan paru kolaps serta
mendorong mediastinum seperti pada tension pneumotoraks. Hal ini
akan memperburuk keadaan hipoksia dan syok yang timbul akibat
perdarahan sebelumnya.
Gejala klinis mirip tension pneumotoraks, terdapat pendorongan trakea
kearah kontralateral, penonjolan vena jugularis, sesak, syok, tidak
terdengar suara nafas, hanya pada perkusi disisi paru yang abnormal
akan redup dan penderita tampak anemis. Tindakan pada kasus ini
adalah pemasangan toraks drain dan berikutnya harus diawasi dengan
ketat. Terapi definitif dilakukan dengan tindakan torakotomi untuk
mencari sumber perdarahan, bila setelah pemasangan drain toraks
keluar darah terus menerus sebanyak 200 cc per jam dalam waktu 2
sampai 4 jam berturut-turut.

HEMOTORAKS RINGAN ATAU SEDANG


Penyebab tersering dari hemotoraks selain laserasi dari pembuluh
darah pada parenkim paru, juga disebabkan robekan dari pembuluh
darah interkostalis atau mamria interna. Perdarahan yang yang darah
tidak terlalu banyak, dengan mengembangnya paru, biasanya akan
berhenti sendiri. Hemotoraks akut yang cukup banyak, baik dari
pemeriksaan fisik maupun dari foto toraks sebaiknya dikeluarkan
melalui toraks drain, disamping untuk mencegah menumpuknya
bekuan darah dalam rongga pleura, juga untuk memonitor perdarahan
selanjutnya.

6.

Tamponade Jantung
Cedera toraks, baik tumpul maupun tajam dapat mengakibatkan
timbulnya perdarahan pada rongga pericardium/hemoperikardium.
Keadaan ini dapar mengakibatkan timbulnya gejala tamponade
jantung. Lapisan pericardium berbeda dengan pleura, dimana kalau
pleura elastis sedangkan pericardium terdiri dari struktur yang kaku.
Jadi bila terjadi perdarahan dan berada pada rongga pericardium
sedikit saja jumlahnya, sudah dapat menganggu pengisian darah
kembali ke jantung. Dengan mengeluarkan darah dari rongga
pericardium sedikit saja, 15-30 cc, melalui pericardiosintesis, akan
memperbaiki hemodinamik penderita.
Diagnosa ditegakkan berdasarkan pemeriksaan klinis, dikenal dengan
gejala yang khas, yakni trias beck, adanya peningkatan vena jugularis
di leher, suara jantung menjauh/lemah serta adanya penurunan
tekanan darah. Kecurigaan adanya tamponade jantung, dilakukan
tindakan untuk mengeluarkan darah dari rongga pericardium, yaitu

percardiosintesis, dengan menusukkan jarum besar (nomor 14 atau 16


F) dengan spuit, ditusukkan dari tulang xipoid kiri ke arah ujung bawah
scapula kiri atau pertengahan klavikula kiri dengan sudut 45 derajad ke
arah posterior. Jangan lupa memasang EKG sebelumnya, untuk
mengetahui
jarum
tersebut
mengenai
atau
tidak
jantungnya/miokardium. Bila jarum tersebut menyentuh miokardium,
akan tampak gambaran ekstrasistol pada EKG.

7.

Cedera Pada Diafragma


Cedera diafragma seringkali terjadi pada sebelah kiri, karena adanya
hepar disebelah kanan dapat mengurangi kemungkinan rupturnya
diafragma kanan. Bila penyebabnya adalah trauma tumpul, ada efek
kantung kertas, yakni kantung kertas yang ditiup kemudian dengan
tangan dipecahkan. Ini akan mengakibatkan luka yang lebar pada
diafragma ini akan menyebabkan isi rongga abdomen masuk ke dalam
rongga toraks. Yang tersering adalah lambung, kolon dan ileum.
Dengan masuknya organ tersebut akan mendesak paru sehingga
menimbulkan keluhan distress nafas.
Diagnosa ditegakkan dengan pemeriksaan klinis, terutama adanya
bising usus didada, serta dapat dibantu dengan memasukkan
nasogastrik tube dan dites dengan menyemprotkan udara lewat NGT
tadi dan akan terdengar didada kiri.
Pada gambaran foto toraks, hernia diafragma traumatika akan tampak
hilanya gambaran diafragma, dan adanya gambaran gaster didalam
rongga toraks.

8.

Cedera Bronchus
Cedera pada trakea atau bronchus utama merupakan cedera yang
cukup serius serta seringkali terlihat pada saat pemeriksaan awal.
Cedera akibat trauma tumpul yang sering terjadi adalah pada daerah
karina. Bila ruptur total, penderita serngkali meninggal ditempat
kejadian. Gejala klinis yang sering timbul adalah adanya hemoptisis,
sesak sampai sianosis serta adanya emfisema subkutis. Diagnosis pasti
ditegakkan dengan bronchoskopi. Intubasi kadang sulit dilakukan
karena adanya distorsi anatomis akibat timbulnya hematoma para
trakeal.

RUPTUR AORTA
Ruptur aorta akibat suatu trauma seringkali berakibat fatal. Ruptur
disini adalah rupture yang in komplit atau parsial dimana lapisan
adventitia dari aorta masih utuh atau terdapat hematoma pada
mediastinum yang mencegahh terjadinya perdarahan aorta untuk
sementara. Adanya hipotensi yang menetap dengan tidak ditemukan
cedera/ perdarahan ditempat lain, harus dicurigai adanya kelainan ini.
Adanya riwayat trauma yang khas, seperti cedera dada akiabt
deselerasi, serta ditemukannya pelebaran mediastinum pada toraks
foto, harus curiga adanya ruptur dari aorta.

Diagnosa pasti adalah dengan pemeriksaan aortografi, sedang terapi


harus dilakukan pembedahan. Untuk itu penderita harus segera dikirim
ke tempat yang fasilitasnya lengkap.

TRAUMA TAJAM
Secara umum, akibat yang ditimbulkan akibat trauma tajam pada
toraks hampir sama dengan trauma tumpul, hanya saja ada hal-hal
penting yang harus diperhatikan. Luka akibat trauma tajam toraks
yang lokasinya di antara kedua putting susu atau kalau diposterior
diantara tulang scapula, kemungkinan besar mengenai organ penting
didalam rongga toraks, seperti jantung atau pembbuluh darah besar
dan biasanya perlu tindakan torakotomi.
Bila ini terjadi, beberapa hal yang harus diperhatikan, diagnosa harus
cepat ditegakkan, atasi komplikasi yang timbul, seperti tamponade,
tension pneumotoraks dan lain-lain, control perdarahan dan siapkan
untuk dirujuk ditempat yang lengkap fasilitasnya.
Ringkasan
Penanganan trauma toraks secara umum adalah sesuai
dengan kaidah-kaidah ATLS, dimana toraks adalah menempati
urutan kedua setelah airway
o
Trauma toraks sering didapatkan pada penderita
dengan trauma ganda dan merupakan masalah yang mengancam
jiwa
o
Tindakan yang relatif sederhana, seperti penusukan
jarum kontraventil, toraks drain, perikardiosintesis merupakan
tindakan awal yang dapat mencegah penderita trauma toraks
terhadap ancaman kematian.
o

Anda mungkin juga menyukai