Jambaners
Jambaners
mengumpulkan kotoran/najis manusia yang lazim disebut kakus atau WC, sehingga kotoran tersebut
disimpan dalam suatu tempat tertentu dan tidak menjadi penyebab atau penyebar penyakit dan
mengotori lingkungan pemukiman. Kotoran manusia yang dibuang dalam praktek sehari-hari bercampur
dengan air, maka pengolahan kotoran manusia tersebut pada dasarnya sama dengan pengolahan
air limbah. Oleh sebab itu pengolahan kotoran manusia, demikian pula syarat-syarat yang dibutuhkan
pada dasarnya sama dengan syarat pembuangan air limbah (Depkes RI, 1985.
Sementara menurut Kusnoputranto (1997), terkait dengan pengolahan ekskreta manusia dan aspek
kesehatan masyarakat, terdapat dua sistem pengolahan yang digunakan, yaitu: a). Sistem kering (night
soil) seperti Pit Latrine, composting toilets, cartage systems, composting; b). Sistem basah (sewage),
seperti aquaprivy dan septick tank.
Sedangkan syarat jamban sehat menurut Depkes RI (1985), antara lain :
1.
Tidak mencemari sumber air minum. Letak lubang penampungan kotoran paling sedikit berjarak
10 meter dari sumur air minum (sumur pompa tangan, sumur gali, dan lain-lain). Tetapi kalau
keadaan tanahnya berkapur atau tanah liat yang retak-retak pada musim kemarau, demikian juga
bila letak jamban di sebelah atas dari sumber air minum pada tanah yang miring, maka jarak
tersebut hendaknya lebih dari 15 meter;
2. Tidak berbau dan tinja tidak dapat dijamah oleh serangga maupun tikus. Untuk itu tinja harus
tertutup rapat misalnya dengan menggunakan leher angsa atau penutup lubang yang rapat;
3.
Air seni, air pembersih dan air penggelontor tidak mencemari tanah di sekitarnya, untuk itu
lantai jamban harus cukup luas paling sedikit berukuran 11 meter, dan dibuat cukup
landai/miring ke arah lubang jongkok;
4.
Mudah dibersihkan, aman digunakan, untuk itu harus dibuat dari bahan-bahan yang kuat dan
tahan lama dan agar tidak mahal hendaknya dipergunakan bahan-bahan yang ada setempat;
5.
Dilengkapi dinding dan atap pelindung, dinding kedap air dan berwarna terang;
6. Cukup penerangan;
7.
Berdasarkan bentuknya, terdapat beberapa macam jamban menurut beberapa ahli. Menurut Azwar
(1983), jamban mempunyai bentuk dan nama sebagai berikut :
1.
Pit privy (Cubluk): Kakus ini dibuat dengan jalan membuat lubang ke dalam tanah sedalam 2,5
sampai 8 meter dengan diameter 80-120 cm. Dindingnya diperkuat dari batu bata ataupun tidak.
Sesuai dengan daerah pedesaan maka rumah kakus tersebut dapat dibuat dari bambu, dinding
bambu dan atap daun kelapa. Jarak dari sumber air minum sekurang-kurangnya 15 meter.
2. Jamban cemplung berventilasi (ventilasi improved pit latrine): Jamban ini hampir sama dengan
jamban cubluk, bedanya menggunakan ventilasi pipa. Untuk daerah pedesaan pipa ventilasi ini
dapat dibuat dari bambu.
3.
Jamban empang (fish pond latrine): Jamban ini dibangun di atas empang ikan. Di dalam sistem
jamban empang ini terjadi daur ulang (recycling) yaitu tinja dapat langsung dimakan ikan, ikan
dimakan orang, dan selanjutnya orang mengeluarkan tinja, demikian seterusnya.
4. Jamban pupuk (the compost privy): Pada prinsipnya jamban ini seperti kakus cemplung, hanya
lebih dangkal galiannya, di dalam jamban ini juga untuk membuang kotoran binatang dan
sampah, daun-daunan.
5.
Septic tank: Jamban jenis septic tank ini merupakan jamban yang paling memenuhi persyaratan,
oleh sebab itu cara pembuangan tinja semacam ini yang dianjurkan. Septic tank terdiri dari
tangki sedimentasi yang kedap air, dimana tinja dan air buangan masuk mengalami dekomposisi.
Jamban bentuk septic tank sebagai bentuk jamban yang paling memenuhi syarat, tinja mengalami
beberapa proses didalamnya, sebagai berikut :
1.
Proses kimiawi: Akibat penghancuran tinja akan direduksi sebagian besar (60- 70%), zat-zat
padat akan mengendap di dalam tangki sebagai sludge Zat-zat yang tidak dapat hancur bersamasama dengan lemak dan busa akan mengapung dan membentuk lapisan yang menutup
permukaan air dalam tangki tersebut. Lapisan ini disebut scum yang berfungsi mempertahankan
suasana anaerob dari cairan di bawahnya, yang memungkinkan bakteri-bakteri anaerob dan
fakultatif anaerob dapat tumbuh subur, yang akan berfungsi pada proses selanjutnya.
2. Proses biologis: Dalam proses ini terjadi dekomposisi melalui aktivitas bakteri anaerob dan
fakultatif anaerob yang memakan zat-zat organik alam sludge dan scum. Hasilnya selain
terbentuknya gas dan zat cair lainnya, adalah juga pengurangan volume sludge, sehingga
memungkinkan septic tank tidak cepat penuh. Kemudian cairan influent sudah tidak
mengandung bagian-bagian tinja dan mempunyai BOD yang relatif rendah. Cairan influent
akhirnya dialirkan melalui pipa.
Reference, antara lain : Pengantar Ilmu Kesehatan Lingkungan. Azwar, A. 1983. Mutiara, Jakarta.
dan Pedoman Teknis Penilaian Rumah Sehat, Direktorat Jenderal PPM & PL. 2003,
Tempat Duduk Kakus: Fungsi tempat duduk kakus merupakan tempat penampungan tinja, harus
kuat, mudah dibersihkan, berbentuk leher angsa atau memakai tutup yang mudah diangkat.
Kecukupan Air Bersih: Jamban hendaklah disiram minimal 4-5 gayung, bertujuan menghindari
penyebaran bau tinja dan menjaga kondisi jamban tetap bersih. Juga agar menghindari kotoran tidak
dihinggapi
serangga
sehingga
dapat
mencegah
penularan
penyakit.
Tersedia Alat Pembersih: Tujuan pemakaian alat pembersih, agar jamban tetap bersih setelah jamban
disiram air. Pembersihan dilakukan minimal 2-3 hari sekali meliputi kebersihan lantai agar tidak
berlumut dan licin. Sedangkan peralatan pembersih merupakan bahan yang ada di rumah kakus didekat
jamban.
Tempat Penampungan Tinja: Adalah rangkaian dari sarana pembuangan tinja yang berfungsi sebagai
tempat mengumpulkan kotoran/tinja. Konstruksi lubang harus kedap air dapat terbuat dari pasangan
batu bata dan semen, sehingga menghindari pencemaran lingkungan.
Saluran Peresapan: Merupakan sarana terakhir dari suatu sistem pembuangan tinja yang lengkap,
berfungsi mengalirkan dan meresapkan cairan yang bercampur tinja.
Selain Sanitasi tinja diatas, kita juga harus paham berbagai jenis jamban keluarga. Menurut Azwar
(1990), terdapat beberapa jenis jamban, antara lain :
1.
Jamban cubluk (Pit Privy): adalah jamban yang tempat penampungan tinjanya dibangun
dibawah tempat injakan atau dibawah bangunan jamban. Fungsi dari lubang adalah mengisolasi
tinja sedemikian rupa sehingga tidak dimungkinkan penyebaran dari bakteri secara langsung ke
pejamu yang baru. Jenis jamban ini, kotoran langsung masuk ke jamban dan tidak terlalu dalam
karena akan menotori air tanah, kedalamannya sekitar 1,5-3 meter (Mashuri, 1994).
2. Jamban Empang (Overhung Latrine): Adalah jamban yang dibangun diatas empang, sungai
ataupun rawa. Jamban model ini ada yang kotorannya tersebar begitu saja, yang biasanya dipakai
untuk makanan ikan, ayam.
3. Jamban Kimia (Chemical Toilet): Jamban model ini biasanya dibangun pada tempat-tempat
rekreasi, pada transportasi seperti kereta api dan pesawat terbang dan lain-lain. Disini tinja
disenfeksi dengan zat-zat kimia seperti caustic soda dan pembersihnya dipakai kertas tissue
(toilet paper). Sedangkan jamban kimia ada dua macam, yaitu tipe lemari (commode type), dan
tipe tangki (tank type). Jamban kimia sifatnya sementara, karena kotoran yang telah terkumpul
perlu di buang lagi.
4. Jamban Leher Angsa (Angsa Trine): Jamban leher angsa merupakan jamban leher lubang closet
berbentuk lengkungan, dengan demikian akan terisi air gunanya sebagai sumbat sehingga dapat
mencegah bau busuk serta masuknya binatang-binatang kecil. Jamban model ini adalah model
yang terbaik yang dianjurkan dalam kesehatan lingkungan.
Menurut Depkes RI (2004), terdapat beberapa syarat Jamban Sehat, antara lain :
1.
Tidak mencemari sumber air minum, letak lubang penampung berjarak 10-15 meter dari sumber
air minum.
2. Tidak berbau dan tinja tidak dapat dijamah oleh serangga maupun tikus.
3. Cukup luas dan landai/miring ke arah lubang jongkok sehingga tidak mencemari tanah di
sekitarnya.
4. Mudah dibersihkan dan aman penggunannya.
5.
Dilengkapi dinding dan atap pelindung, dinding kedap air dan berwarna.
6. Cukup penerangan
7.
2. Melindungi dari gangguan estetika, bau dan penggunaan saran yang aman
3. Bukan tempat berkembangnya serangga sebagai vektor penyakit
4. Melindungi pencemaran pada penyediaan air bersih dan lingkungan
Sedangkan prosedur pemeliharaan jamban menurut Depkes RI (2004) adalah sebagai berikut:
1.
Riskesdas 2010
Menurut tempat tinggal, persentase rumah tangga yang menggunakan fasilitas BAB
milik sendiri lebih tinggi di perkotaan (79,7%) dibandingkan dengan di perdesaan
(59,0%). Sebaliknya persentase rumah tangga yang tidak memiliki fasilitas BAB 4 kali
lebih tinggi di perdesaan (25,2%) dibandingkan dengan di perkotaan (6,7%).
Sejalan persentase rumah tangga yang BABmenggunakan fasilitas umum, lebih
banyak di perdesaan (7,2%) dibandingkan dengan perkotaan (5,3%); sedangkan
persentase rumah tangga yang menggunakan fasilitas BAB bersama relatif sama di
perkotaan dan perdesaan.
Rumah tangga yang tidak memiliki fasilitas BAB di perdesaan 3 kali lebih tinggi (2,8%)
dibandingkan dengan di perkotaan (0,9%).
Secara nasional tempat pembuangan akhir tinja sebagian besar rumah tangga di
Indonesia (59,3%) menggunakan septic tank. Sebesar 16,4 persen masih melakukan
pembuangan tinja di sungai/danau, dan (11,7%) di lubang tanah.
Persentase tempat tinggal yang menggunakan tanki septik lebih tinggi (75,1%) di
perkotaan dibandingkan (42,5%) di perdesaan demikian dengan
yangmenggunakan SPAL relatif lebih banyak (3,5%) di perkotaan dibandingkan
(2,2%) di perdesaan.
Menurut tingkat pengeluaran rumah tangga per kapita, semakin tinggi tingkat
pengeluaran rumah tangga, maka semakin meningkat persentase rumah tangga
yang menggunakan septic tank dan SPAL. Sebaliknya, semakin rendah pengeluaran
rumah tangga maka semakin rendah persentase tempat pembuangan akhir tinja di
kolam/sawah, sungai/danau, lubang tanah, pantai/kebun dan lainnya.
Berdasarkan tempat tinggal, akses terhadap pembuangan tinja yang layak sesuai
dengan MDGs, di perkotaan telah mencapai 71 ,4 persen, sedangkan di perdesaan baru
38,5 persen.
Secara nasional, cara buang air besar sebagian besar rumah tangga di
Indonesia (51,1%) tergolong improved.
Air limbah rumah tangga, secara nasional sebagian besar (41,3%) dibuang
langsung ke sungai/parit/got dan sebanyak 18,9 persen dibuang ke tanah (tanpa
penampungan). Hanya 13,5 persen rumah tangga yang memiliki SPAL.
Menurut tempat tinggal, persentase rumah tangga tertinggi yang memiliki SPAL
lebih tinggi di perkotaan (18,7%) dibandingkan di perdesaan (7,9%), demikian
dengan yang memiliki penampungan tertutup di pekarangan lebih tinggi di
perkotaan (7,3%) dibandingkan di perdesaan (5,5%).
Pembuangan Sampah
Data pembuangan sampah yang ada dalam Riskesdas 2010 ini adalah cara
pembuangannya. Dikategorikan baik apabila rumah tangga pembuangannya diambil
petugas, dibuat kompos dan dikubur dalam tanah. Sedangkan bila dibakar, dibuang ke
sungai atau sembarangan dikategorikan kurang baik.
Menurut tempat tinggal, di perkotaan cara penanganan sampah yang menonjol adalah dengan cara
diangkut petugas (42,9%), sedangkan di perdesaan yang paling umum adalah dengan cara
dibakar (64,1%). Baik di perkotaan (0,5%) maupun perdesaan (1,7%), hanya sedikit yang penanganan
sampahnya dibuat kompos.
Rumah tangga dengan penanganan sampah yang baik di perkotaan (46,6%) lebih
tinggi daripada di perdesaan (9,6%). Menurut tingkat pengeluaran rumah tangga
per kapita, semakin tinggi tingkat pengeluaran rumah tangga, semakintinggi pula
persentase rumah tangga dengan penanganan sampah baik.
Kesehatan Perumahan
Data perumahan yang disajikan dalam Riskesdas 2010 ini adalah data jenis penggunaan
bahan bakar untuk memasak dan kriteria rumah sehat. Jenis bahan bakar untuk
memasak berkaitan dengan kemungkinan terjadinya indoors air pollution , dimana
dikategorikan baik bila menggunakan jenis gas, minyak tanah dan listrik. Sedangkan untuk
menilai kriteria rumah sehat mengacu pada beberapa kriteria yang ada dalam Kepmenkes
RI No. 829/Menkes/SK/VII/1999 tentang Persyaratan Kesehatan Perumahan.
Dalam Riskesdas 2010 ini, kriteria rumah sehat yang digunakan bila memenuhi tujuh
kriteria, yaitu atap berplafon, dinding permanen (tembok/papan), jenis lantai bukan tanah,
tersedia jendela, ventilasi cukup, pencahayaan alami cukup, dan tidak padat huni (lebih
sama dengan 8m2/orang).
Secara nasional 60 persen rumah tangga di Indonesia menggunakan listrik, gas, dan minyak
tanah sebagai bahan bakar untuk memasak, sementara sisanya masih menggunakan arang, kayu
dan lainnya.
Berdasarkan tempat tinggal, penggunaan bahan bakar untuk memasak jenis listrik, gas dan
minyak tanah di perkotaan (82,7%), sedangkan di perdesaan lebih banyak penggunaan bahan bakar
untuk memasak jenis arang, kayu bakar dan lainnya (64,2%).
Hasil lengkap Riskesdas bidang sanitasi dan kesehatan lingkungan dapat dibaca pada laporan lengkap
Riskesdas 2010, Badan Litbangkes Kemenkes RI Tahun 2010.