Anda di halaman 1dari 15

POLITIK KERJASAMA INTERNASIONAL

Upaya Amerika Serikat Mengimbangi Pengaruh Tiongkok di Asia Tenggara


Dosen Pengampu : Mega Nisfa, S.IP., MA

DISUSUN OLEH :
KELOMPOK 6
ANINDYA DWITYA PUTRI
BQ. GITA INSANI W
MIFTAH PRATIWI NAZAFA
TAUFIKURAHMAN
W. FIRDAUS MUJAHIDIN

JURUSAN HUBUNGAN INTERNASIONAL


FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN POLITIK
UNIVERSITAS MATARAM
2016

KATA PENGANTAR
Alhamdulillahirabbilalamin, puji syukur kehadirat Tuhan Yang Maha Esa atas rahmat
dan karunianya, penulis dapat menyelesaikan tulisan yang berjudul Upaya AS Mengimbangi
Pengaruh Tiongkok di Asia Tenggara dengan penjabaran mengenai upaya-upaya Amerika
dalam mewujudkan kepentingan-kepentingan nasionalnya di wilayah Asia Tenggara sebagai
respon dari pengaruh Tiongkok di Asia Tenggara.
Ucapan terimakasih penulis haturkan kepada dosen pembimbing mata kuliah Politik
Kerjasama Internasional, Mega Nisfa, S.IP., MA dan tak lupa pula ucapan terimakasih kepada
teman-teman seperjuangan yang tergabung dalam program studi Hubungan Internasional
Universitas Mataram yang telah memberi dukungan selama proses pengerjaan tulisan ini.
Dalam tulisan selalu ada kekurangan, karenanya penulis memohon kritik dan saran para
pembaca untuk tulisan yang lebih baik kedepannya. Wassalammualaikum wr.wb.

Mataram, 27 Desember 2016


Kelompok 6

Daftar Isi
Kata Pengantar
Daftar Isi

ii

BAB 1 Latar Belakang


Latar Belakang

Rumusan Masalah

BAB 2 Pembahasan 3
Landasan Konseptual

Kebangkitan Tiongkok di Asia Tenggara

Upaya AS dalam Mengimbangi Pengaruh Tiongkok


Kesimpulan

10

Daftar Pustaka

11

BAB I
1.1 Latar Belakang
Tiongkok mengalami perkembangan dalam bidang ekonomi yang sangat pesat sejak
Deng Xiaoping pada Desember 1978, menyerukan sebuah gerakan yang bernama Revolusi
Keterbukaan. Revolusi ini membawa harapan positif bagi masyarakat Tiongkok dengan
dibukanya perekonomian Tiongkok bagi dunia internasional serta menjadikan Tiongkok yang
yang sebelumnya berada dalam dominasi sistem Barat menjadi negara panutan di dalam
proses globalisasi kawasan Asia Pasifik (Ding,2014). Hal ini dibuktikan dengan Tiongkok
sebagai negara dengan perekonomian tertinggi di kawasan benua Asia. Keberhasilan
Tiongkok dalam bidang ekonomi telah mendorong banyak negara-negara di Asia Tenggara
yang melakukan kerjasama dengan Tiongkok yang diharapkan akan dapat membantu
menaikkan perekonomian negara-negara di Asia Tenggara. Hal tersebut dapat terlihat dari
banyaknya kerjasama antara Tiongkok dengan negara-negara di kawasan regional Asia
Tenggara seperti APEC (Asia Pasific Economic Communiy), ARF (ASEAN Regional Forum),
SCO (Shanghai Cooperation Organization) dan bentuk-bentuk kerjasama lainnya.
Kebangkitan dan menguatnya peran Tiongkok dalam dunia internasional tidak hanya
mendapat respon positif yaitu dapat dicontohnya Tiongkok oleh negara-negara berkembang
yang lain khususnya di kawasan Asia Tenggara, akan tetapi juga mendapat respon negatif dan
kekhawatiran yang menganggap Tiongkok sebagai sebuah ancaman baru yang disebut
sebagai China Threat Theory karena dapat menggeser posisi Barat di dunia internasional
terutama oleh Amerika yang disebut-sebut sebagai negara hegemoni (Jianwei Wang,2009).
Pengaruh suatu negara dalam tataran politik internasional merupakan hal yang penting karena
semakin kuat dan tinggi posisi negara tersebut di hadapan negara lainnya maka akan
memudahkan negara tersebut dapat dengan mudah mencapai kepentingan nasionalnya
bahkan dapat mempengaruhi kebijakan luar negeri suatu negara akibat pengaruhnya yang
begitu besar.
Meski sejak pasca perang dingin, Amerika mendominasi Asia Tenggara yaitu dengan
adanya Collective Defence Treaty for Southeast Asia dan Southeast Asia Treaty Organization
(SEATO) dengan tujuan mencegah berkembangnya paham komunisme. Selanjutnya,
hubungan kerjasama keamanan antara AS-ASEAN mendapatkan beberapa hambatan yang
membuat AS kemudian mengurangi basis pertahanan militernya di Asia Tenggara. Di masa
4

pemerintahan Obama, AS menerapkan kebijakan yang menjadi langkah AS dalam merespon


pengaruh Tiongkok di kawasan Asia Tenggara yang begitu besar dalam dominasi pengaruh
AS di Asia Tenggara, seperti dengan menerapkan strategi Rebalancing Asia yakni sebuah
strategi yang diambil untuk menyeimbangkan kondisi negara-negara di kawasan Asia
Tenggara melalui diplomasi, ekonomi dan keamanan (Phillip C. Saunders, 2014). Selain itu,
wilayah Asia Tenggara merupakan wilayah yang sangat penting karena negara-negara di
kawasan Asia Tenggara memiliki populasi dan sumber daya alam yang sangat banyak yang
dapat digunakan untuk mengakomodasi kepentingan-kepentingan yang dimiliki oleh AS.
Negara-negara di kawasan Asia Tenggara juga mendapatkan timbal balik dengan penguasaan
teknologi, pemberdayaan masyarakat, pengembangan produk dan juga dapat meningkatkan
pembangunan dalam negeri. Hal tersebut menunjukkan betapa besar dan pentingnya kawasan
Asia Tenggara untuk pemenuhan kepentingan-kepentingan yang dimiliki oleh AS dalam
mengimbangi kebangkitan Tiongkok.
1.2 Rumusan masalah :
Bagaimanakah upaya Amerika Serikat dalam mengimbangi pengaruh Tiongkok di Asia
Tenggara?

BAB II
2.1 Landasan Konseptual
a. Konsep kepentingan nasional
Setiap negara dalam melakukan hubungan kerjasama memiliki kepentingankepentingan nasional yang mengikuti. Kepentingan-kepentingan nasional ini
dijadikan salah satu acuan untuk mementukan sebuah kebijakan. Kepentingan
nasional berkaitan dengan usaha-usaha yang dilakukan oleh negara untuk
memenuhi kebutuhan negara secara keseluruhan dalam berbagai bidang seperi
bidang ekonomi, sosial, budaya dan lain sebagainya yang termasuk di dalamnya
perolehan kekuasaan. Kekuasaan merupakan salah satu kepentingan negara yang
ingin dicapai dalam rangka usaha negara menciptakan, mengembangkan dan
memelihara kerjasama dengan negara lain baik yang bersifat kerjasama maupun
konflik (Morgenthau, 1987 dalam Widianti 2013). Selain itu terdapat empat jenis
kepentingan nasional yakni (Nuechterlin, 1973 dalam Widianti 2013) :
a. Dimensi pertahanan
Dalam dimensi ini negara berusaha menjamin hak-hak setiap warga negaranya
untuk memiliki rasa aman dari ancaman yang berasal dari negara lain
b. Dimensi ekonomi
Negara berusaha memenuhi kebutuhan dan meningkatkan ekonomi
masyarakat dengan melakukan serangkaian kerjasama dengan negara lain
c. Dimensi politik
Kepentingan untuk menjalin dan membina hubungan kerjasama dengan negara
lain yang dapat berpengaruh pada citra dan posisi negaranya dalam tataran
politik internasional
d. Dimensi ideologi
Dalam dimensi ini negara melakukan usaha untuk melindungi nilai-nilai
ideologi negaranya dari ancaman ideologi negara lain
Keberadaan pengaruh Tiongkok telah setidaknya merubah arah kebijakan luar negeri
Amerika Serikat dalam rangka untuk mempertahankan pengaruhnya di Asia Tenggara dalam
bidang pertahanan, ekonomi, politik dan ideologi dengan adanya kebijakan Rebalancing
Asia dalam rangka mengimbangi pengaruh Tiongkok yang kini sangat besar pengaruhnya
bagi negara-negara Asia Tenggara yang masih termasuk dalam kategori negara berkembang.
b. Konsep balance of power

Konsep balance of power dalam pandangan kaum realis adalah konsep yang
menekankan bahwa tingginya sebuah kekuasaan dalam suatu negara sangat
diperlukan untuk mewujudkan adanya adanya keseimbangan kekuatan dalam rangka
mencegah terjadinya perang dan situasi dunia berada dalam keadaan yang damai.
Konsep balance of power merupakan pembagian kekuasaan yang sifatnya dinamis
dan berkerjasama dengan negara lain untuk mencegah kecenderungan pemusatan
kekuasaan (Pettman, 1991).
Kehadiran Amerika sebagai negara unipolar pasca Perang Dingin di Asia Tenggara
memberikan perubahan dalam aspek politik, ekonomi maupun militer. Dengan adanya bentuk
baru yakni unipolar yang menempatkan Amerika Serikat menjadi satu satunya negera
hegemon, telah membawa banyak perubahan signifikan terhadap kondisi sistem internasional
dewasa ini. Bahkan, dengan unipolaritas tersebut, cenderung memunculkan kekuatan
kekuatan baru, salah satunya ancaman kekuatan yang muncul dari negara Tiongkok.
Meskipun saat ini Tiongkok hanya menjadi hegemon di kawasan Asia, tidak menutup
kemungkinan Tiongkok akan mengembangkan popularitasnya di kawasan Barat. Tidak hanya
aspek ekonomi yang saat ini berkembang dengan pesat di Tiongkok, akan tetapi dalam aspek
militer pun kini Tiongkok tidak dapat dianggap sebagai pesaing biasa. Pertumbuhan
Tiongkok tersebut membawa dampak pada negara negara Asia lainnya untuk mengimbangi
kekuatan Tiongkok yang semakin dominan di wilayah Asia. Melihat semakin besarnya
pengaruh Tiongkok terhadap negara negara di Asia, Amerika menggandeng negara negara
lain khususnya di kawasan Asia untuk menjadi rival dari Tiongkok agar kekuasaan Tiongkok
di Asia dapat berkurang. Seperti halnya negara Australia, Vietnam, Jepang, Filipina dan
Taiwan.
Dengan demikian dapat dipahami bahwa balance of power adalah konsep dimana
adanya keseimbangan di dalam kekuasaan oleh negara negara super power. Balance of
power juga digunakan sebagai solusi dari adanya kekuatan yang seimbang atau stabil di
tengah kondisi yang riskan akan konflik. Sistem internasional saat ini juga telah berubah pada
bentuk unipolar yakni dengan kekuatan hegemoni Amerika Serikat. Kendati demikian,
Amerika Serikat dihadapkan pada kenyataan munculnya kekuatan baru Tiongkok di Asia
yang disinyalir mampu menyaingi kekuatan super power Amerika Serikat. Amerika Serikat
berusaha mempertahankan status quonya sebagai kekuatan tunggal dalam sistem

internasional di Asia dengan adanya kebijakan Presiden Barack Obama yakni kebijakan
Rebalancing Asia.
2.2 Kebangkitan Tiongkok di Asia Tenggara
Bangkitnya negara Tiongkok melalui bidang ekonomi memunculkan banyak persepsi
di banyak negara. Apakah kebangkitan Tiongkok ini akan menimbulkan ancaman ataukah
memunculkan peluang untuk meraih keuntungan. Tak terkecuali negara-negara di Asia
Tenggara. Negara-negara di kawasan regional Asia Tenggara memfokuskan diri untuk
menciptakan stabilitas ekonomi dan juga membangun negaranya menuju kehidupan yang
lebih baik. Karena sudah lama sejak peristiwa 9/11 terjadi, negara-negara dalam kawasan ini
banyak melakukan kerjasama dalam bidang ekonomi bukan lagi berkerjasama dalam hal
memerangi isu terorisme atau dalam masa perang dingin memerangi perkembangan ideologi
komunisme dalam bentuk kerjasama keamanan dan pertahanan. Faktor-faktor yang
menguatkan pengaruh Tiongkok untuk menjadi pilihan dari negara-negara di kawasan Asia
Tenggara untuk berkerjasama menurut Brantley Womack : 1) Kebijakan Tiongkok untuk
ambil bagian dari sistem yang multipolar 2) Kesamaan dalam memandang non-intervensi
dalam permasalahan nasional negara turut menjadi faktor makin menguatnya pengaruh
Tiongkok dalam negara-negara yang tergabung dalam ASEAN di kawasan regional Asia
Tenggara. Hal ini karena ASEAN, memiliki kesamaan historis yang begitu pahit akibat
penjajahan selain dari adanya kesamaan etnis, agama, ras sehingga negara-negara ASEAN
yang tergabung dalam regional yang sama sepakat dalam urusan dalam negeri tidak
memerlukan intervensi dari negara lainnya 3) Reformasi ekonomi dan keterbukaan Tiongkok
yang mendorong negara di kawasan Asia Tenggara melihat peluang kesempatan untuk
mendapatkan keuntungan yang lebih besar dengan kebangkitan Tiongkok daripada
memandangnya sebagai sebuah ancaman meski pemikiran tersebut dalam realis adalah benar
adanya (Brantley Womack, 2004 dikutip dari David C. Kang, 2007). Terdapat dua hal dalam
mendefinisikan kerjasama yang dilakukan oleh negara. Pertama, negara melakukan
kerjasama dengan negara yang dirasa mengancam untuk menghindari serangan dan kedua,
kerjasama dilakukan untuk meningkatkan perekonomian (Walt, 1987; Schweller, 1994
dikutip dari Denny Roy 2005). Negara di Asia Tenggara memilih kedua jenis kerjasama
tersebut dalam membangun hubungan kerjasama dengan AS terutama yang berhubungan
dengan kerjasama keamanan dengan masuknya Tiongkok di Asia Tenggara serta menjalin

hubungan yang baik juga dengan Tiongkok dalam bidang ekonomi. Bentuk-bentuk kerjasama
yang dilakukan Tiongkok-ASEAN antara lain :
a. Bidang ekonomi perdagangan
Tiongkok dan negara di kawasan Asia Tenggara tergabung dalam APEC (Asia
Pasific Economic Communiy, ARF (ASEAN Regional Forum), SCO (Shanghai
Cooperation Organization), ACFTA (ASEAN-China Free Trade Area), ASEAN+3
Economic Ministers Consultation, East Asia Summit dan masih banyak lagi
kerjasama dalam ekonomi lainnya.
a. Bidang Keamanan dan Pertahanan
Tiongkok menjadi tuan rumah Tiongkok dari Konferensi Kebijakan Keamanan
ARF (ARF Security Policy Conference) pada November 2004, East Asia Summit,
ADMM (ASEAN Defence Ministers Meeting) bersama dengan AS, Rusia, Jepang,
India, Korea Selatan, Australia dan New Zealand di Hanoi, Vietnam, ASEAN+3
(Tiongkok, Jepang dan Korea) sebagai komitmen Tiongkok dalam menjaga
stabilitas keamanan dan perdamaian di wilayah Asia Tenggara.
b. Bidang Sosial Budaya
Tiongkok dan ASEAN semakin memperkuat hubungan kerjasama melalui budaya
seperti dalam Asian Games 1990, MoU on Cultural Cooperation 2005 dengan
ASEAN, The annual China-ASEAN Expo 2004, kerjasama kultural dengan
beberapa universitas di Asia dan pengadaan pertukaran pelajar, selain itu
mempromosikan budaya dan bahasa mandarin menggunakan media massa seperti
Xinhua dan CCTV.
Kesamaan kultur dan budaya timur yang sangat kental dan cenderung heterogen
terutama di kawasan Asia Tenggara juga adanya kesamaan prinsip yang dipegang teguh yakni
non-intervensi memberikan peluang yang begitu besar bagi Tiongkok dalam membina
hubungan kerjasama dibandingkan dengan negara Amerika yang umumnya homogen dan
sangat bertolak belakang dengan konsep ketimuran yang dimiliki oleh masyarakat dalam
kawasan regional Asia Tenggara. Terlebih lagi dengan adanya konsepsi keamanan Tiongkok
yang menekankan persamaan, dialog dan kerjasama (Bambang Cipto, 2010). Selain itu
negara-negara di Asia Tenggara membutuhkan Tiongkok untuk dapat memajukan teknologi,
sumber daya manusia, pengelolaan alam dan penciptaan sektor industri yang kondusif demi
kemajuan negara dengan melakukan hubungan kerjasama dengan negara Tiongkok yang
berhasil dengan serangkaian upayanya di bidang ekonomi.

Tiongkok tidak hanya memengaruhi wilayah di Asia Tenggara saja namun


kebangkitannya juga mengusik negara AS yang sejak perang dingin memegang peran penting
dalam menjaga stabilitas keamanan negara-negara di dunia tak terkecuali kawasan Asia
Tenggara. Dalam pandangan AS, Tiongkok bagaikan musuh dalam selimut yang siap
menerjang kapan saja Amerika lengah. AS telah memulai memberikan pengaruh sejak
terjadinya krisis ekonomi yang dihadapi oleh negara di kawasan Asia Tenggara pada 1997
dan semenjak peristiwa 9/11 kedua belah pihak berkomitmen untuk memerangi terorisme
global (David C, Kang, 2007). Negara-negara di Asia Tenggara tidak saja membutuhkan AS
dalam menjaga stabilitas ekonomi akan tetapi juga membutuhkan AS dalam menjaga
stabilitas keamanan. Akan tetapi, AS bukan tidak mungkin akan tergeser pengaruhnya di Asia
Tenggara dengan sifatnya yang suka melakukan intervensi di negara lain dan minimnya hasil
kerjasama yang dilakukan terutama dalam bidang ekonomi seperti pada saat krisis ekonomi
1997 terjadi yang pada saat itu negara-negara di Asia Tenggara dibantu oleh IMF dan juga
Bank Dunia untuk keluar dari krisis ekonomi. Absennya AS dalam memberikan bantuan dana
menimbulkan persepsi pada negara-negara di Asia Tenggara bahwa sebenarnya AS
menginginkan krisis ekonomi di era 1997-an itu tetap terjadi dengan adanya sikap Amerika
yang seolah-olah tidak peduli dengan krisis yang sedang dihadapi oleh negara di kawasan
Asia Tenggara (David C. Kang, 2007). Selain itu dalam perang melawan terorisme global,
terdapat banyak sekali isu mengenai kemanusiaan dan demokrasi yang dilanggar demi
memberantas terorisme dan kesempatan bagi AS untuk mengintervensi negara dalam
melakukan tindakan anti-terorisme (David C. Kang, 2007) dan intervensi Amerika di Irak dan
Afghanistan menimbulkan persepsi di negara mayoritas Muslim di Asia Tenggara seperti
Indonesia dan Malaysia bahwa AS adalah negara yang anti dengan Islam. Sehingga posisi AS
saat ini sangat rawan tergeser dengan keberadaan pengaruh Tiongkok di kawasan Asia
Tenggara.
2.3 Upaya AS dalam mengimbangi pengaruh Tiongkok di Asia Tenggara
Kekalahan Amerika dalam perang Vietnam pada 1975 memengaruhi hubungan ASASEAN karena ASEAN tidak sepenuhnya membutuhkan AS dalam menyelesaikan
permasalahan mengenai keamanan dengan terbentuknya ARF (ASEAN Regional Forum)
(Bambang Cipto, 2010). Akan tetapi, negara-negara ASEAN pada saat itu meningkatkan
kerjasama militer dengan Amerika untuk menjaga stabilitas keamanan di Asia Tenggara
misalnya saja Singapura dan Malaysia yang menandatangani MoU untuk penyediaan fasilitas
10

bagi angkatan udara AS dan Indonesia yang bersedia menerima perbaikan kapal-kapal AS
(Bambang Cipto, 2010). Akan tetapi dengan adanya kebijakan AS dalam memerangi
terorisme secara global pasca 9/11, hubungan AS dengan ASEAN bergantung pada sikap dan
tindakan ASEAN terhadap terorisme menjadikan pengaruh AS mulai memudar seiring
dengan kerjasama ekonomi ASEAN dengan Tiongkok melalui ARF di tahun 1994.
Kebangkitan Tiongkok memperkuat pengaruh Tiongkok di kawasan Asia Tenggara melalui
berbagai macam bentuk kerjasama. AS sebagai negara yang besar memerlukan kestabilan dan
kebutuhan untuk mempertahankan pengaruhnya dalam tataran dunia internasional. Maka dari
itu dalam rangka menghadapi pengaruh Tiongkok di Asia Tenggara dan pemenuhan beragam
kepentingan yang dimiliki, AS di bawah kepemimpinan Barack Obama mengeluarkan
kebijakan Rebalancing Asia. Rebalance yang dimaksud bukanlah mengimbangi kekuatan
dengan Tiongkok akan tetapi lebih kepada bagaimana AS mengimbangi perkembangan
diplomasi, ekonomi, keamanan yang ada di kawasan Asia Tenggara dengan ketersediaan
sarana yang dimiliki oleh AS untuk pemenuhan kepentingan yang dimiliki AS (Phillip C.
Saunders, 2014). Menlu AS Hillary Clinton menyebutkan setidaknya terdapat 6 hal yang
dapat dilakukan oleh AS untuk mengimplementasikan kebijakan Rebalancing Asia (Phillip
C. Saunders, 2014) : 1) Mempererat aliansi keamanan bilateral; 2) Menjalin hubungan yang
baik dengan negara-negara yang mengalami pertumbuhan yang pesat, termasuk Tiongkok; 3)
Menjalin kerjasama dengan institusi multilateral di kawasan regional; 4) Memperluas
kerjasama dagang dan investasi; 5) Menyiapkan pangkalan militer di luar negeri terutama di
Asia Selatan dan memperluas pengaruh AS di Asia Tenggara; serta 6) Memajukan demokrasi
dan hak asasi manusia di kawasan Asia Tenggara. Maka dari itu untuk mewujudkan keenam
hal tersebut, maka AS mengambil langkah-langkah sebagai berikut (Phillip C. Saunders,
2014) :
a. Melakukan proses diplomasi dengan menandatangani perjanjian kerjasama dan
persahabatan ASEAN (ASEAN Treaty of Amity and Cooperation) serta hadir dalam
konferensi Asia Timur (East Asia Summit) dan menyatakan kesediaan AS dalam
memobilisasi saran dari negara di kawasan Asia Tenggara dalam Forum Regional
ASEAN (ARF).
b. Melakukan kerjasama dagang dengan memperluas kerjasama dagang dengan
mengikutkan diri dalam kerjasama dagang regional dan multilateral seperti Free
Trade Area (FTA) dan Trans Pasific Partnership (TPP).
c. Melakukan kerjasama keamanan bersama dengan negara di kawasan Asia Tenggara
sebagai bentuk komitmen AS dalam menjaga stabilitas keamanan di wilayah Asia
11

Tenggara baik dari jalur laut, darat maupun udara yaitu dengan melakukan sejumlah
penandatanganan perjanjian dan menempatkan kapal selam di wilayah-wilayah yang
dirasa berpotensi besar menjadi ancaman bagi keamanan di Asia Tenggara.
Selain melakukan kerjasama di bidang ekonomi dan militer, AS juga dapat melakukan
pendekatan persuasif dengan menggunakan diplomasi publik sebagai sarana untuk
memuluskan langkah dalam mewujudkan strategi rebalancing asia tersebut. Dengan begitu
persepsi-persepsi negatif terhadap kehadiran AS di wilayah Asia Tenggara akan berubah dan
sebaliknya akan mendapatkan sambutan yang positif sebagaimana yang telah diterapkan oleh
Tiongkok dengan Peaceful Rise yang berfokus untuk membangun dan memperbaiki
keadaan domestik dalam negeri daripada berusaha untuk menyaingi AS sebab pemahaman
yang baik akan mencegah terjadinya anarki dan mempermudah terbentuknya kerjasama yang
positif. Terlebih lagi banyak negara di Asia yang kini berfokus pada peningkatan ekonomi
serta bagaimana membangun infrastruktur pendukung yang tepat guna dengan keadaan
geografi, potensi alam dan sumber daya manusia. Sehingga sangat sedikit negara yang
mengeluarkan dana dalam jumlah besar untuk menambah basis militer, meski negara-negara
di Asia membolehkan AS untuk membangun basis militer untuk pertahanan dan keamanan
dengan adanya pertumbuhan Tiongkok yang sangat pesat dalam ekonomi (Justin Logan,
2013).
Kepentingan AS sangatlah besar di kawasan Asia Tenggara. Terutama keberadaan
sumber daya yang terbatas jumlahnya dengan membina hubungan dengan Asia sehingga
dapat memanfaatkannya secara maksimal dan banyaknya dana, waktu dan tenaga yang harus
dikeluarkan AS untuk melakukan invasi di Irak dan Afghanistan. Selain itu kebutuhan AS
untuk dapat mempertahankan pengaruhnya di Asia Tenggara yang mulai tergeser dengan
keberadaan Tiongkok. AS juga melihat peluang benua Asia untuk menjadi sentral ekonomi
dan politik dengan pertimbangan jumlah GDP ketiga secara global, kapasitas militer yang
baik di beberapa negara di Asia dan jumlah penduduk yang mencapai setengah dari penduduk
di dunia (White House, 2015).
Saat ini, AS masih merupakan negara yang kuat secara ekonomi dan memiliki
kapasitas militer jauh di atas Tiongkok. Selain itu AS memiliki banyak mitra dan aliansi yang
dapat digunakan untuk memperkuat pengaruh AS di kawasan Asia Tenggara meski memiliki
penurunan di bidang ekonomi dan meningkat di bawah pengaruh Tiongkok. Sehingga AS
tidaklah berusaha mengimbangi Tiongkok akan tetapi bersama-sama dengan Tiongkok
12

dengan konsep peaceful risenya melalui penerapan diplomasi publik sebab untuk
mengimbangi suatu negara, negara memerlukan persepsi seberapa besar negara tersebut akan
menimbulkan ancaman (Denny Roy, 2005). Meski terdapat ancaman dengan adanya
peningkatan pengeluaran Tiongkok pada militernya, hubungan kerjasama antara AS dengan
Tiongkok tetap berjalan karena keduanya masih membutuhkan satu sama lain. Terlebih lagi
dengan absennya keinginan Tiongkok untuk menjadi negara yang hegemon dalam tataran
dunia internasional melainkan bersama-sama dengan negara yang lainnya membangun dan
mensejahterakan rakyat dalam negeri dan kesediaan AS dalam membangun hubungan
kerjasama yang positif, koperatif dan komprehensif sehingga bersama-sama dapat memenuhi
kepentingan-kepentingan yang dimiliki (Phillip C. Saunders, 2014).

Kesimpulan
Kebangkitan dan menguatnya peran Tiongkok dalam dunia internasional tidak hanya
mendapat respon positif yaitu dapat dicontohnya Tiongkok oleh negara-negara berkembang

13

yang lain khususnya di kawasan Asia Tenggara, akan tetapi juga mendapat respon negatif dan
kekhawatiran yang menganggap Tiongkok sebagai sebuah ancaman baru tak terkecuali oleh
AS. Kesamaan kultur dan budaya timur yang sangat kental dan cenderung heterogen terutama
di kawasan Asia Tenggara memberikan peluang yang begitu besar bagi Tiongkok dalam
membina hubungan kerjasama dibandingkan dengan negara Amerika yang umumnya
homogen dan sangat bertolak belakang dengan konsep ketimuran yang dimiliki oleh
masyarakat dalam kawasan regional Asia Tenggara. Akan tetapi AS merupakan negara yang
besar pengaruhnya bagi negara di kawasan Asia Tenggara sama halnya dengan Tiongkok.
Sehingga negara di kawasan Asia Tenggara tidak hanya membina hubungan yang baik
dengan Tiongkok namun juga dengan AS yang sangat kuat pengaruhnya dalam tataran dunia
internasional. Bangkitnya Tiongkok mengharuskan AS memfokuskan diri pada Asia dengan
menggunakan strategi kebijakan Rebalancing Asia dengan keberadaan kepentingan AS di
berbagai bidang termasuk kepentingan untuk mempertahankan pride dan citranya sebagai
negara yang besar. Prospek hubungan kerjasama antara negara AS dengan Tiongkok memiliki
masa depan yang cerah apabila keduanya tetap menahan diri dan secara bijak menghindari
perselisihan yang dapat muncul dari isu-isu dalam maupun luar negeri dan terutama terkait
dengan adanya Rebalancing Asia oleh AS dalam upayanya menguatkan pengaruh di Asia
Tenggara. Karena apabila perang terjadi antara kedua negara tesebut maka akan berdampak
pada stabilitas keamanan dan perdamaian di seluruh dunia, termasuk di kawasan Asia
Tenggara.

Daftar Pustaka
Buku

14

Kang, David. C. 2007. China Rising : Peace, Power and Order in East Asia. New York :
Columbia University Press.
Cipto, Bambang. 2010. Hubungan Internasional di Asia Tenggara : Teropong terhadap
Dinamika, Kondisi Riil dan Masa Depan. Yogyakarta : Pustaka Pelajar
Pettman, Ralph. 1991. The Balance of Power : International Politics, Balance of Power,
Balance of Productivity, Balance of Ideologies. Sydney : Logman Cheshire
Artikel
____. 2015. Fact Sheet : Advancing Rebalance Asia and Pasific tersedia dalam
http://www.whitehouse.gov di akses pada 30 September 2016
Artikel dalam Jurnal
Ding, Sheng. 2014. Chinese Soft Power and Public Diplomacy: An Analysis of Chinas New
Diaspora Engagement Policies in the Xi Era. East Asia Institute Fellows Program Working
Paper Series 43.
Wang, Jianwei. 2009. Chinas Peaceful Rise : A Comparative Study. East Asia Institute
Fellows Program Working Paper Series No. 19
Saunders, Phillip C. 2014. Chinas Rising Power, the U.S. Rebalance to Asia and
Implications for U.S.-China Relations. Institute of International Relations of Chengchi :
Issues and Studies 50 No.3
Roy, Denny. 2005. Southeast Asia and China : Balancing or Bandwagoning. Institute of
Southeast Asian Studies of Singapore : Contemporary Southeast Asia 27 No. 2
Logan, Justin. 2013. China, America and Pivot to Asia. CATO Institute Policy Analysis No.
717

15

Anda mungkin juga menyukai