Indonesia
Oleh Admin KeuLSM / Jumat 27 September 2013 / Tidak ada komentar
Dalam konteks itu pula, maka upaya memahami kosep-konsep dan praktik-praktik
kedermawanan di Indonesia pada saat yang sama berarti mansyaratkan pengertian
yang sepadan mengenai sektor ketiga-agenda-agenda dan problematikanya.
Karena itu tanggapan OMW terhadap perubahan pada umumnya juga mendua;
sebagai agen dan sekaligus pasien. Ketika peranan OMW menjadi tuntut-an dan
kebutuhan aktual bagi penegakan tatanan masyarakat warga, misalnya, secara
inheren OMW sendiri sarat keterbatasan. Gejala dan fakta paling konkret adalah
kegiatan OMW di Indonesia sejauh ini masih sangat tergantung kepada donasi dan
solidaritas antarbangsa, apakah dari lembaga-lembaga unilateral, multilateral dan
bilateral atau LSM-LSM yang berpusat negara-negara kaya. Kondisi ini, untuk
sebagian, merupakan asas bagi berkembangnya isu yang merupakan asas bagi
berkembangnya isu yang meragukan otentitas sektor ketiga di Indonesia. Sebelum
OMW memperlihatkan tanda-tanda kemandirian dalam menggalang dana sosial
dari sumber-sumber domestik, isu atau penilaian semacam itu, untuk sebagian
dapat dibenarkan dan tidak bisa disangkal.
Adapun jumlah dana potensial yang mungkin digali diperkirakan lebih besar lagi.
Penduduk yang berjumlah 210 juta jiwa adalah dermawan-dermawan potensial,
betapa pun bentuk dan nilainya. Potensi itu diperkuat oleh ketersediaan kerangka
referensi umum berupa nilai-nilai, norma-norma, sikap, dan kepercayaan (agamis,
suka menolong atau tolong menolong, ramah-tamah) yang sering diasumsikan
melekat pada bangunan sosial di Indonesia. Tindakan sosial sukarela yang
terlembaga itu tidak hanya potensial di dayagunakan untuk mengatasi masalah-
masalah sosial dan kemanusiaan yang sedang terjadi, tetapi juga membangun
kemandirian dan otentitas identitas diri sebagai sebuah bangsa. Apabila lembaga-
lembaga perantara (intermediary institutions, fundraisers, trustees) berhasil
mengembangkan cara-cara alternatif yang lebih aktual dan agenda-agenda
sukarela berhasil dikembangkan secara terkoordinasi, dana sosial yang akan
dihasilkan dari sumber-sumber domestik akan jauh dari memadai untuk
menangani masalah-masalah sosial dan kemanusiaan yang terjadi di tanah air.
Sistem dana sosial di Indonesia juga bukan tanpa masalah. Dewasa ini terdapat
anggapan kuat bahwa kedermawanan lebih merupakan (a) milik atau tanggung
jawab sosial golongan menegah atas, yang lebih pantas digalang oleh (b)
lembaga-lembaga pemerintah atau lembaga yang dilegalisir pemerintah, sebagai
(c) belas kasihan kepada golongan masyarakat yang kurang mampu, dengan (d)
cara-cara yang karitatif dan kuratif. Mekanisme pengelolaan (penganggaran,
pendistribusian, dan pertanggung jawaban) yang hibrid dan tertutup. Mekanisme
pertanggungjawaban dana sosial yang digalang oleh lembaga-lembaga tersebut
tidak begitu jelas. Tak sedikit komentar yang mencurigai dana-dana sosial
tersebut digunakan untuk kepentingan politik penguasa, baik di pusat maupun di
daerah.
Dalam konteks makro ada dua pertanyaan pokok yang penting dijawab. Pertama,
apakah tersedia dan memungkinkan mengembangkan sebuah kerangka konseptual
umum yang koheren dalam memahami agenda-agenda sukarela di Indonesia?
Kedua, kondisi apa yang diperlukan sehingga agenda-agenda sukarela tersebut
lebih mudah bekerja secara efektif dan terkoordinasi? Terkait kedermawanan,
pertanyaan pertama berhubungan dengan tugas mengenali sifat dan hakikat
kedermawanan dan subjek-subjek yang terkait dengan kedermawanan. Sedangkan
pertanyaan kedua berhubungan dengan cara membangkitkan kedermawanan,
yaitu: (1) Siapa atau dari golongan mana derma atau dana itu bersumber atau
seyogyanya bersumber (pribadi perorangan, lembaga)?; (2) Siapa atau lembaga
mana yang paling pantas, kompeten dan acceptable menjalankan peran sebagai
perantara atau penggalang derma atau dana-dana sosial tersebut?; (3) Bagaimana
mekanisme pengelolaan (meringankan, melayani, dan membebaskan) atau
mekanisme penghantaran derma atau dana-dana sosial tersebut (materi, non-
materi, langsung dan tidak langsung, bersyarat dan tanpa syarat)?; (4) Golongan
mana yang menjadi penerima (individu, golongan sosial)? Keempat pertanyaan ini
sesungguhnya dapat terangkum oleh sebuah pertanyaan yakni bagaimana
mengembangkan sistem dana sosial yang berwibawa di Indonesia. Kebutuhan ini
belum banyak dipertanyakan dan dicari jawabannya.
Berkaitan dengan itu, prakarsa gerakan masyarakat warga yang diwakili oleh
organisasi-organisasi sukarela belum banyak memainkan perannya,
menyambungkan peran dunia usaha dan pemerintahan dengan kepentingan publik.
Di luar aksi-aksi sosial yang lazim, seperti kampanye, demonstrasi, advokasi atau
secara terbatas pendampingan di akar rumput, jalur alternatif belum berkembang.
Upaya-upaya langsung menggalang dukungan dan solidaritas unsur-unsur warga
sekomunitas belum banyak digarap.
http://keuanganlsm.com/konsep-dan-permasalahan-dari-philanthropy-di-
indonesia/