Anda di halaman 1dari 4

Konsep dan Permasalahan dari Filantropi di

Indonesia
Oleh Admin KeuLSM / Jumat 27 September 2013 / Tidak ada komentar

Tidak seperti di negeri-negeri demokratis pada umumnya, gerakan sosial di


Indonesia relatif terlambat berkembang, untuk menyebut mandeg, kerdil, atau
rapuh. Peranannya tidak terlalu signifikan mengisi proses transformasi di
Indonesia.

Konsep dan Permasalahan dari Filantropi di Indonesia

Kedermawanan atau filantropi (philanthropy) adalah satu di antara konsep-konsep


yang mendesak. Konsep ini sekurang-kurangnya relevan untuk dua wacana pokok
yang sedang menyedot perhatian dan keprihatinan publik di Indonesia. Pertama,
krisis pitumuka dan dampak-dampak ikutannya (konflik sosial, pengungsian,
pembengkak-an hutang negara), yang menimpakan penderitaan bagi manusia
Indonesia, terutama atas golongan yang kurang beruntung atau tidak diuntungkan
(the disadvantaged). Upaya-upaya pemulihan dengan biaya sosial (social cost) tak
kecil telah dilakukan, tetapi tanda-tanda kepulihan yang mendasar belum juga
tampak jelas. Pemulihan lebih lanjut, memerlukan dana sosial (social fund) yang
tak kecil pula. Kedua, agenda penegakan kembali tatanan masyarakat warga (civic
minded, civil society) yang terkait dengan wacana demokratisasi, rekonsiliasi,
penguatan kapasitas (capacity building), pemberdayaan (empowerment) atau tata
pemerintahan yang baik (good governance).

Pertautan kedermawanan dengan konsep-konsep yang disebut terakhir terdapat


pada elemen dasar yaitu tindakan sukarela (volunteerism) secara keseluruhan
disebut agenda-agenda sukarela atau gerakan sosial (social movement), atau sektor
filantropi (philanthropy sector), atau sektor ketiga (third sector).

Tidak seperti di negeri-negeri demokratis pada umumnya, gerakan sosial di


Indonesia relatif terlambat berkembang, untuk menyebut mandeg, kerdil, atau
rapuh. Peranannya tidak terlalu signifikan mengisi proses transformasi di
Indonesia. Agenda-agenda sukarela memerlukan penanganan yang serius secara
bersama di Indonesia.

Dalam konteks itu pula, maka upaya memahami kosep-konsep dan praktik-praktik
kedermawanan di Indonesia pada saat yang sama berarti mansyaratkan pengertian
yang sepadan mengenai sektor ketiga-agenda-agenda dan problematikanya.

Tidak seperti di negeri-negeri demokratis pada umumnya, gerakan sosial di


Indonesia relatif terlambat berkembang, untuk menyebut mandeg, kerdil, atau
rapuh. Peranannya tidak terlalu signifikan mengisi proses transformasi di
Indonesia. Sebab utama, karena sistem politik nasional yang memihak prinsip
negara kuat selama empat dekade (sejak era Demokrasi Terpimpin), memang
tidak memberi peluang bagi bekerjanya kekuatan-kekuatan sosial alternatif di luar
sektor negara dan pasar (ekonomi politik). Jika pun terjadi, seperti ditunjukkan
oleh gerakan LSM sejak tahun 1970-an, ruang geraknya terbatas, peranannya
marginal, dan kultur bergiat yang dominan terendapkan di dalamnya boleh jadi
tidak sehat. Gerakan mahasiswa tahun 1997-1998 yang berhasil menumbangkan
pemerintahan Orde Baru dapat disebut sebagai sebuah gerakan sosial, sekalipun
untuk sebagian, terutama dari perspektif historis, kurang mencukupi.

Gerakan masyarakat warga di Indonesia praktis baru menemukan momentumnya


berkembang sejak angin keterbukaan dan reformasi bergulir lima tahun terakhir
(1997). Belakangan OMW tumbuh ibarat jamur di musim hujan . Mengimbuhi
atau melanjutkan rintisan-rintisan peranan LSM sebelumnya, peran OMW dewasa
ini tak bisa dipungkiri kian signifikan. Penghargaan dan penerimaan lingkungan
sosial, baik dalam maupun luar negeri, terus menguat, meski kontroversi wacana
tak kurang menyertainya.

Karena itu tanggapan OMW terhadap perubahan pada umumnya juga mendua;
sebagai agen dan sekaligus pasien. Ketika peranan OMW menjadi tuntut-an dan
kebutuhan aktual bagi penegakan tatanan masyarakat warga, misalnya, secara
inheren OMW sendiri sarat keterbatasan. Gejala dan fakta paling konkret adalah
kegiatan OMW di Indonesia sejauh ini masih sangat tergantung kepada donasi dan
solidaritas antarbangsa, apakah dari lembaga-lembaga unilateral, multilateral dan
bilateral atau LSM-LSM yang berpusat negara-negara kaya. Kondisi ini, untuk
sebagian, merupakan asas bagi berkembangnya isu yang merupakan asas bagi
berkembangnya isu yang meragukan otentitas sektor ketiga di Indonesia. Sebelum
OMW memperlihatkan tanda-tanda kemandirian dalam menggalang dana sosial
dari sumber-sumber domestik, isu atau penilaian semacam itu, untuk sebagian
dapat dibenarkan dan tidak bisa disangkal.

Adapun jumlah dana potensial yang mungkin digali diperkirakan lebih besar lagi.
Penduduk yang berjumlah 210 juta jiwa adalah dermawan-dermawan potensial,
betapa pun bentuk dan nilainya. Potensi itu diperkuat oleh ketersediaan kerangka
referensi umum berupa nilai-nilai, norma-norma, sikap, dan kepercayaan (agamis,
suka menolong atau tolong menolong, ramah-tamah) yang sering diasumsikan
melekat pada bangunan sosial di Indonesia. Tindakan sosial sukarela yang
terlembaga itu tidak hanya potensial di dayagunakan untuk mengatasi masalah-
masalah sosial dan kemanusiaan yang sedang terjadi, tetapi juga membangun
kemandirian dan otentitas identitas diri sebagai sebuah bangsa. Apabila lembaga-
lembaga perantara (intermediary institutions, fundraisers, trustees) berhasil
mengembangkan cara-cara alternatif yang lebih aktual dan agenda-agenda
sukarela berhasil dikembangkan secara terkoordinasi, dana sosial yang akan
dihasilkan dari sumber-sumber domestik akan jauh dari memadai untuk
menangani masalah-masalah sosial dan kemanusiaan yang terjadi di tanah air.

Sistem dana sosial di Indonesia juga bukan tanpa masalah. Dewasa ini terdapat
anggapan kuat bahwa kedermawanan lebih merupakan (a) milik atau tanggung
jawab sosial golongan menegah atas, yang lebih pantas digalang oleh (b)
lembaga-lembaga pemerintah atau lembaga yang dilegalisir pemerintah, sebagai
(c) belas kasihan kepada golongan masyarakat yang kurang mampu, dengan (d)
cara-cara yang karitatif dan kuratif. Mekanisme pengelolaan (penganggaran,
pendistribusian, dan pertanggung jawaban) yang hibrid dan tertutup. Mekanisme
pertanggungjawaban dana sosial yang digalang oleh lembaga-lembaga tersebut
tidak begitu jelas. Tak sedikit komentar yang mencurigai dana-dana sosial
tersebut digunakan untuk kepentingan politik penguasa, baik di pusat maupun di
daerah.

Dalam konteks makro ada dua pertanyaan pokok yang penting dijawab. Pertama,
apakah tersedia dan memungkinkan mengembangkan sebuah kerangka konseptual
umum yang koheren dalam memahami agenda-agenda sukarela di Indonesia?
Kedua, kondisi apa yang diperlukan sehingga agenda-agenda sukarela tersebut
lebih mudah bekerja secara efektif dan terkoordinasi? Terkait kedermawanan,
pertanyaan pertama berhubungan dengan tugas mengenali sifat dan hakikat
kedermawanan dan subjek-subjek yang terkait dengan kedermawanan. Sedangkan
pertanyaan kedua berhubungan dengan cara membangkitkan kedermawanan,
yaitu: (1) Siapa atau dari golongan mana derma atau dana itu bersumber atau
seyogyanya bersumber (pribadi perorangan, lembaga)?; (2) Siapa atau lembaga
mana yang paling pantas, kompeten dan acceptable menjalankan peran sebagai
perantara atau penggalang derma atau dana-dana sosial tersebut?; (3) Bagaimana
mekanisme pengelolaan (meringankan, melayani, dan membebaskan) atau
mekanisme penghantaran derma atau dana-dana sosial tersebut (materi, non-
materi, langsung dan tidak langsung, bersyarat dan tanpa syarat)?; (4) Golongan
mana yang menjadi penerima (individu, golongan sosial)? Keempat pertanyaan ini
sesungguhnya dapat terangkum oleh sebuah pertanyaan yakni bagaimana
mengembangkan sistem dana sosial yang berwibawa di Indonesia. Kebutuhan ini
belum banyak dipertanyakan dan dicari jawabannya.

Barangkali memang besar anggapan banyak pihak bahwa pengusaha telah


mengeluarkan dana dalam jumlah tak sedikit menanggapi baik tuntutan formal
maupun keprihatinan sosial yang terjadi di sekelilingnya. Akan tetapi siapa
kelompok penerimanya, apa lembaga perantaranya, bagaimana mekanisme
penghantarannya, bagaimana dampak-nya, apa kendala dan masalahnya, serta apa
sesungguhnya opini mereka, sejauh ini belum diketahui secara jelas. Para
komentator dan kritikus di media sejauh ini baru “berandai-andai” tanpa disertai
bukti-bukti empiris.
Akan halnya kritik kepada pemerintah, tak jauh dari apa yang disebut oleh para
ahli dengan patologi birokrasi. Birokrasi sering kali terlalu lamban menangani
kasus-kasus yang pada dasarnya memerlukan tindakan sosial segera. Tak jarang
bantuan pemerintah untuk menangani masalah-masalah sosial, kemanusiaan, dan
lingkungan hidup yang terlanjur kadaluarsa. Belakangan, terutama sejak UU
Otonomi Daerah berlaku, malah terdapat kecenderungan baru di mana gerak
birokrasi daerah justru lebih lamban. Jika masa sebelumnya gubernur, bupati atau
wali kota punya keleluasaan menggalang dana masyarakat dan
mendistribusikannya secara taktis menuju sasaran, sejak UU No. 22 tentang
Otonomi Daerah, tidak lagi berlaku demikian. Kalangan legislatif acap kali justru
memainkan peran sebagai birokrasi tambahan, berhubungan posisi politiknya
dalam penyusunan peraturan daerah yang diperlukan dalam penyelenggaraan
pemerintah daerah.

Berkaitan dengan itu, prakarsa gerakan masyarakat warga yang diwakili oleh
organisasi-organisasi sukarela belum banyak memainkan perannya,
menyambungkan peran dunia usaha dan pemerintahan dengan kepentingan publik.
Di luar aksi-aksi sosial yang lazim, seperti kampanye, demonstrasi, advokasi atau
secara terbatas pendampingan di akar rumput, jalur alternatif belum berkembang.
Upaya-upaya langsung menggalang dukungan dan solidaritas unsur-unsur warga
sekomunitas belum banyak digarap.

Disarikan dari buku: Kedermawanan Alam Kalimantan, penulis: Budi Baik


Siregar, halaman:1-18.

http://keuanganlsm.com/konsep-dan-permasalahan-dari-philanthropy-di-
indonesia/

Anda mungkin juga menyukai