Anda di halaman 1dari 32

BAB IV

PALEOEKOLOGI SATUAN BATUPASIR FORMASI KALIBIUK

4.1. Palinologi
4.1.1 Pendahuluan
Palinologi adalah ilmu yang mempelajari fosil palinomorf termasuk polen,
spora, dinoflagelata, acritarch, chitinozoa, dan scolecodont bersama dengan
material organik dan kerogen yang ditemukan dalam batuan sedimen (Traverse,
1988).
Istilah palinologi brerasal dari bahasa Yunani, yaitu Palunein yang
artinya serbuk atau debu. Moore dan Web (1978), mendefinisikan palinologi
sebagai ilmu yang mempelajari polen tumbuhan tingkat tinggi dan spora dari
tumbuhan Cryptogamae.
Palinologi mempunyai peranan penting dalam geologi dan bidang ilmu
lainnya, adapun analisis yang dapat kita lakukan melalui pendekatan palinologi
antara lain:

Biostratigrafi untuk korelasi dan menentukan umur relatif lapisan,


horizon, formasi, atau sekuen stratigrafi. Penentuan umur relatif
pada batuan dilakukan dengan melakukan pengamatan pemunculan
awal dan akhir suatu takson yang merupakan takson indeks suatu
umur tertentu.

Penentuan lingkungan pengendapan, yaitu dengan melakukan


analisis kuantitatif terhadap taksontakson penciri lingkungan
mangrove, back mangrove, peatswamp, freshwater swamp, fresh
water, dan lain-lain.

Paleoklimatologi (iklim purba), yaitu dengan melakukan analisis


kuantitatif terhadap takson takson dari arboreal pollen dan non
arboreal pollen.

Studi palinofasies organik. Studi ini digunakan untuk menentukan


lingkungan pengendapan batuan sedimen berdasarkan material
organik dan palinomorf.

47

Alterasi geotermal. Warna palinomorf yang yang diekstrak dari


batuan dapat menjelaskan temperatur alterasi dan kematangan
batuan sedimen, sehingga dapat dipergunakan untuk menghitung
paleotemperatur maksimum

Kematangan batuan induk, yaitu dengan melakukan analisis


kerogen dan indeks warna spora.

4.1.2 Polen dan Spora


Polen adalah serbuk sari dari tumbuhan dan dihasilkan oleh tumbuhan
berbunga. Polen atau serbuk sari merupakan sel kelamin jantan tumbuhan
Angiospermae dan Gymnospermae. Polen yang telah masak dan siap dilepaskan
akan menyebabkan pembuahan di kepala putik dan menghasilkan biji bagi
perkembangbiakan tumbuhan tingkat tinggi.
Spora adalah alat perkembangbiakan tumbuhan tingkat rendah (alga,
lumut, jamur dan paku-pakuan). Fosil spora yang sering ditemukan dalam jumlah
banyak dan dapat menunjukkan kondisi kelembaban suatu tempat adalah spora
tumbuhan paku (Pteridophyta). Tumbuhan yang termasuk Pteridophyta hidup
tersebar luas dari daerah tropis yang lembab hingga daerah Artik, dijumpai di
hutan hujan tropis, daerah beriklim sedang, padang rumput yang lembab serta
sepanjang tepi jalan dan sungai (Tjitrosomo, 1986).
Morfologi polen dan spora sangat tergantung pada fungsinya. Ciri khusus
dalam polen didesain untuk membantu spesies tumbuhan untuk beradaptasi
dengan lingkungan, memudahkan transportasi polen oleh angin maupun air, dan
membantu proses fertilisasi.
Polen dan spora pada umumnya dihasilkan sebagai butiran tunggal
walaupun ada beberapa famili yang mempunyai bentuk tetrad (empat butiran
bersatu). Dinding polen mempunyai struktur kompleks yang merefleksikan
adaptasi fungsional dari suatu spesies. Substansi yang membentuk serbuk sari
disebut sporopollenin. Sporopolenin sangat stabil secara kimia dan resisten
terhadap berbagai macam kerusakan akibat pengaruh lingkungan.
Struktur dinding polen dan spora mempunyai dua lapisan pokok, yaitu
intin dan eksin (Gambar 4.1). Intin merupakan lapisan tengah yang langsung
berhubungan dengan sitoplasma, yaitu bagian dalam butiran berupa plasma sel

48

yang akan hilang setelah sel mati. Intin tersusun dari selulosa dan mempunyai
konstruksi yang hampir sama dengan dinding sel tumbuhan. Lapisan eksin
merupakan bagian luar butiran dengan permukaan berupa struktur yang beraneka
ragam. Pada lapisan ini secara khusus tahan terhadap daya destruktif tekanan,
suhu dan kondisi asam yang tinggi serta oksidasi yang terjadi secara alami dalam
perlapisan batuan. Menurut Faegri dan Iversen (1975), hal ini dikarenakan eksin
tersusun atas zat sporopolenin yang bersifat tahan terhadap keadaan anaerob dan
oksidasi selama proses fosilisasi. Lapisan eksin terdiri dari lapisan eksin dalam
(endeksin) dan lapisan eksin luar (ekteksin). Menurut Morley (1990), ekteksin
yang sempurna tersusun oleh tiga lapisan, yaitu lapisan tektum sebagai lapisan
terluar, kolumela atau bakula berbentuk tiang kecil yang mendukung tektum, dan
lapisan kaki sebagai lapisan paling dasar (Gambar 4.2). Butiran dengan tektum
yang menutupi seluruh permukaan butiran disebut tektat. Jika tidak mempunyai
tektum disebut intektat dan butir yang mempunyai tektum hanya menutupi
sebagian kecil permukaan disebut semitektat.

Gambar 4.1. Bagan penyusun dinding polen (Morley, 1990).

Gambar 4.2. Morfologi dari eksin (Morley, 1990).

49

Secara umum, polen diklasifikasikan berdasarkan kenampakan fisiknya.


Beberapa sifat yang dapat membantu dalam determinasi dan identifikasi polen
adalah ukuran dan bentuk polen, jumlah dan bentuk apertur (Gambar 4.3), serta
bentuk dan ornamentasi pada eksin. Bentuk polen dapat dilihat dari dua
pandangan yaitu polar dan ekuatorial. Tingkatan bentuk polen dan spora
ditentukan berdasarkan indeks perbandingan diameter polar dan ekuatorial (P/E),
terdiri dari bentuk-bentuk peroblate, oblate, subspheroidal, prolate, perprolate,
dan lain-lain (Tabel 4.1) (Reitsma, 1970 dalam Morley, 1990).

Indeks P/E

Bentuk

> 2,0

Perprolate

1,33-2,0

Prolate

0,75-1,33

Subspheroidal

0,5-0,75

Oblate

<0,5

Peroblate

Tabel 4.1. Klasifikasi bentuk polen berdasarkan indeks P/E (Reitsma, 1970 dalam
Morley, 1990).

50

Gambar 4.3. Variasi bentuk morfologi, apertur, dan posisi apertur pada polen dan spora
(Traverse, 1988).

Ukuran polen dan spora ditentukan berdasarkan pengukuran aksis yang


terpanjang yang dibagi menjadi enam kelompok ukuran, yaitu butir sangat kecil
<10 mikron, kecil antara 10-25 mikron, sedang antara 25-50 mikron, besar antara
50-100 mikron, sangat besar antara100-200 mikron, dan ukuran terbesar >200
mikron. Pada umumnya ukuran fosil polen dan spora ditemukan antara 20-50
mikron (Erdtman, 1952).

51

Apertur merupakan suatu modifikasi eksin yang berupa bagian yang


hilang dan biasanya tipis (Moore dan Webb, 1978). Apertur pada polen
mempunyai dua bentuk yaitu pori dan colpi, sedangkan pada spora hanya terdapat

satu, yaitu leasure, yang tampak seperti garis pada sisi luar.
Ornamentasi merupakan bentuk eksternal eksin tanpa menunjukkan
susunan eksin bagian dalam. Menurut Faegri dan Iversen (1975), ornamentasi
termasuk dalam skluptur eksin yang timbul karena adanya keanekaragaman

bentuk morfologi dari tektum. Beberapa bentuk dari ornamentasi antara lain
psilate, verrucate, scabrate, perforate, foveolate, gemmate, clavate, echinate,
regulate, reticulate, baculate, dan striate (Gambar 4.4). Traverse (1988),
menggunakan teknik pengamatan lux-obscuritas analysis untuk mengamati
ornamentasi polen dan spora, yaitu dengan menggunakan perbesaran mikroskop

90-100 kali, focus digerakkan turun naik untuk mengetahui bentuk dan
ornamentasi samping butiran polen dan spora (Gambar 4.4).

Gambar 4.4. Ornamentasi pada lapisan eksin (Traverse, 1988).

Menurut Traverse (1988), polen dan spora memiliki ukuran lanau atau

berukuran pasir sangat halus (Gambar 4.5)

52

Gambar 4.5. Ukuran dari polen dan spora yang dibandingkan dengan ukuran sedimen
klastik /Skala Wenworth (Traverse 1988).

4.1.3 Preparasi Palinologi


Preparasi palinologi dilakukan untuk mengekstraksi palinomorf dari batuan
sedimen. Preparasi dilakukan sesuai dengan petunjuk yang berlaku di
Laboratorium Palinologi, Program Studi Teknik Geologi, Fakultas Ilmu dan
Teknologi Kebumian, Institut Teknologi Bandung.
Preparasi palinologi dilakukan dalam tiga kelompok tahapan pengerjaan,
yaitu :
1. Tahap Persiapan
Pengeringan dan pembersihan
Sampel dikeringkan dan dibesihkan dari kotoran dan bagian batuan yang
tidak segar.

53

Penimbangan
Sampel kering ditimbang agar tiap sampel mempunyai berat yang
seragam, yaitu 50 gram.
Penumbukan
Penumbukan sampel dimaksudkan untuk mempercepat jalannya reaksi
kimia.
2. Tahap Reaksi Kimia
Penghilangan karbonat
Proses penghilangan karbonat dilakukan dengan merendam sampel
dalam HCl 37% selama kurang lebih 6 jam. Setelah itu residu dinetralisir
dengan akuades.
Penghilangan silikat
Proses penghilangan silikat dilakukan dengan mereaksikan residu
dengan HF 40% panas selama kurang lebih 8 jam. Setelah itu residu
dinetralisir dengan akuades.
Penghilangan kalsium florida
Proses penghilangan kalsium florida dilakukan dengan mereaksikan
residu dengan HCl 37% panas selama kurang lebih 4 jam. Setelah itu
residu kembali dinetralisir dengan akuades.
Oksidasi
Proses ini dilakukan dengan mereaksikan residu menggunakan HNO3
69% panas selama 3 menit. Setelah itu kembali dinetralisir dengan
aquades.
Penghilangan asam humus
Proses ini dilakukan dengan mereaksikan residu menggunakan KOH
10% panas selama 3 menit. Setelah itu residu kembali dinetralisir
dengan akuades.
3. Tahap Pembuatan Preparat
Penyaringan dilakukan untuk dilakukan untuk memisahkan palinomorf
dengan partikel lain. Saringan yang digunakan adalah saringan nilon
yang berukuran 5 mikrometer.

54

Pembuatan preparat
Pembuatan preparat dilakukan dengan menempelkan residu pada kaca
preparat dengan menggunakan canada balsam.

Diagram alir preparasi palinologi di Laboratorium Palinologi, Program


Studi Teknik Geologi, Fakultas Ilmu dan Teknologi Kebumian, Institut Teknologi
Bandung terlihat dalam gambar berikut (Gambar 4.6) :

Gambar 4.6. Diagram alir preparasi palinologi.

4.1.4 Metode Analisis Palinologi


Metode analisis yang digunakan dapat dibagi menjadi tiga tahap, yaitu:
1. Tahap Determinasi
Determinasi palinomorf dilakukan untuk menentukan nama palinomorf
sampai tingkat famili, genus, atau spesies dengan mengamati secara
deskriptif sifat fisik palinomorf. Preparat sampel dideterminasi secara
kuantitatif untuk mendapatkan jumlah tiap takson. Determinasi palinomorf
55

dilakukan dengan menggunakan mikroskop binokuler dengan perbesaran


600 dan 1000 kali.
2. Tahap Pengelompokan Palinomorf
Individu-individu palinomorf hasil determinasi kemudian dikelompokkan
berdasarkan lingkungannya, yaitu: marine, mangrove, back mangrove,
freshwater, peatswamp, freshwater swamp, dan lain-lain.
3. Tahap Penyajian Data
Data hasil analisis kemudian dipresentasikan dalam bentuk diagram dan
grafik, yaitu:

Diagram Palinologi
Diagram ini menyajikan persentase tiap takson polen, spora,
dinoflagelata, dan foraminifera test lining dalam tiap sampel.
Keseluruhan takson yang telah dihitung persentasenya kemudian
dikelompokkan

berdasarkan

ekologinya,

seperti

tumbuhan

mangrove, back mangrove, riparian, dan tumbuhan darat.


Tumbuhan paku dipisahkan menjadi kelompok tersendiri karena
kuantitasnya digunakan untuk menginterpretasi kelembaban suatu
lingkungan. Rumus yang digunakan dalam perhitungan tiap takson
adalah:

% suatu takson =

suatu takson
x 100%
seluruh individu

Diagram AP/NAP
Diagram ini digunakan untuk menentukan perubahan iklim dari
suatu sedimen. Perubahan iklim ini dapat dilihat dari persentase
arboreal pollen terhadap non aboreal pollen. Arboreal pollen (AP)
merupakan polen yang berasal dari tumbuhan berkayu, sedangkan
non anboreal pollen merupakan polen yang berasal dari tumbuhan
tidak berkayu. Berikut adalah rumus yang digunakan untuk
perhitungan AP dan NAP:

56

% AP

% NAP

AP
(AP+NAP)

x 100%

NAP
(AP+NAP)

x 100%

Diagram Spora
Diagram ini menggambarkan perbandingan persentase dari spora yaitu
pada Pteridophyta terhadap keseluruhan takson (tidak termasuk
foraminifera test lining dan dinoflagelata). Diagram ini digunakan
untuk

menginterpretasi

kelembaban

suatu

lingkungan

dengan

didukung oleh diagram AP/NAP.

% Spora

Spora
(Spora +Polen)

x 100%

Diagram Perbandingan iklim basah dengan iklim kering


Diagram ini menggambarkan persentase dari takson penciri iklim
basah dengan takson penciri iklim kering. Diagram ini digunakan
untuk meninterpretasi iklim sebagai dengan didukung oleh diagram
AP/NAP. Adapun takson sebagai penciri iklim basah, antara lain:
Camptostemon, Ilex tipe, Blumeodendron, Lanagiopolis emerginatus,
Lycopodium cernuum, Lycopodium phlegmaria, Retistephanocolpites
williamsii, Sapotaceae, dan Selaginela. Sedangkan takson penciri
iklim kering antara lain: Calophyllum, Magnastriatites howardii,
Monoporites annulatus, Pinuspollenites, dan Polygonum.

4.1.5 Penentuan Umur


Untuk menginterpretasi umur sedimen di daerah penelitian, penulis
menggunakan Zonasi Palinologi Pulau Jawa (Rahardjo dkk., 1994). Zonasi ini
membagi Zaman Tersier menjadi 8 zona dari tua ke muda (Gambar 4.7), yaitu:

57

Zona Proxapertites operculatus.


Zona ini ditandai oleh kisaran Proxapertites operculatus.

Zona Meyeripollis naharkotensis.


Zona ini ditandai dengan kehadiran Meyeripollis naharkotensis tanpa
kehadiran Proxapertites operculatus.

Zona Florschuetzia trilobata


Zona ini ditandai oleh kepunahan Meyeripollis naharkotensis dan
kemunculan awal dari Florschuetzia trilobata.

Zona Florschuetzia levipoli


Zona ini ditandai oleh kehadiran Florschuetzia levipoli bersama
Florschuetzia trilobata.

Zona Florschuetzia meridionalis


Zona ini ditunjukkan dengan pemunculan awal Florschuetzia
meridionalis

dan

kehadiran

Florschuetzia

trilobata

bersama

Florschuetzia levipoli.

Zona Stenochlaenidites papuanus


Zona ini ditandai oleh kehadiran dari Stenochlaenidites papuanus
bersama Florschuetzia levipoli dan Florschuetzia meridionalis serta
kepunahan dari Florschuetzia trilobata.

Zona Dacrycarpidites australiensis


Zona

ini

ditandai

dengan

kemunculan

dari

Dacrycarpidites

australiensis atau Podocarpus imbricatus serta kepunahan dari


Stenochlaenidites papuanus.

Zona Monoporites annulatus


Zona ini ditandai dengan kelimpahan dari Monoporites annulatus yang
hadir bersama dengan Dacrycarpidites australiensis atau Podocarpus
imbricatus tanpa kehadiran dari Stenochlaenidites papuanus.

58

Gambar 4.7. Zonasi Palinologi Pulau Jawa (Rahardjo dkk., 1994).

4.1.6 Penentuan Lingkungan Pengendapan


Interpretasi lingkungan pengendapan berdasarkan palinologi didasarkan
pada Haseldonckx (1974) yang membagi lingkungan pengendapan menjadi 8
kelompok palinofasies berdasarkan asosiasi takson takson pencirinya (Tabel
4.2), yaitu:

Hinterland (Montane Rain Forest, Lowland Rain Forest, Lake dan


Riparian Fringe)

Flood Plain dan Alluvial Plain

Sandy Beach dan Barrier Island

Lagoon

Delta dan Estuary

Back Mangrove dan Mangrove

Coastal Plain (Delta dan Estuary, Lagoon, Sandy Beach dan Barrier
Island)

Marine (Sublitoral dan Open Marine)

59

Tabel 4.2. Lingkungan pengendapan (Haseldonckx, 1974).

Gambar 4.8. Hubungan antara distribusi palinomorf dengan lingkungan pengendapan


Pantai/Delta (Haseldonckx, 1974).

60

Lingkungan montane dicirikan oleh kehadiran Pinus, Podocarpus sp, dan


Dacrycarpidites australiensis. Lingkungan riparian dicirikan oleh kehadiran
Barringtonia sp, Pandanus sp, Ilex, Canthium, Myrtaceae dan Pometia sp.
Lingkungan fresh water dicirikan oleh kehadiran Arenga, Nenga, Palmae,
Calamus,

Calophyllum,

Graminae,

Altingia,

Quercus,

Macaranga,

Bluemedendron, Achantaceae, Croton, Euphorbiceae, Trema, apindaceae,


Acacia,

Polygonum,

Shorea,

Zalacca,

Randiapollis,

Bombacidites,

dan

Malvaceae. Lingkungan backmangrove dicirikan oleh kehadiran Acrostichum


aureum, Nypa fruticans, Oncosperma, dan Sonneratia caseolaris. Lingkungan
mangrove dicirikan oleh kehadiran Sonneratia alba, Rhizoporaceae, Avicennia,
dan Camptostemon. Sedangkan lingkungan marine dicirikan oleh kehadiran
Dinoflagelata cyst dan Forminifera test lining.
4.1.7 Penentuan Iklim Purba
Iklim merupakan ekspresi statistik dari cuaca atau cuaca rata rata selama
periode waktu tertentu. Iklim merupakan hasil akhir dari interaksi berbagai
subsistem yang berbeda yaitu atmosfer, lautan, biosfer, permukaan tanah, dan
cryosphere yang secara bersama-sama membentuk sistem iklim (Bradley, 1999).
Sedangkan perubahan iklim diartikan sebagai variasi iklim global bumi atau iklim
regional selama suatu waktu tertentu. Perubahan ini bisa diakibatkan oleh proses
internal dalam bumi, pengaruh eksternal (seperti variasi intensitas cahaya
matahari), atau oleh aktivitas manusia. Perubahan iklim ini akan mengakibatkan
perubahan vegetasi. Vegetasi dapat beradaptasi sesuai dengan perubahan iklim
yang terjadi. Oleh karena itu perubahan iklim dapat direkonstruksi dengan baik
melalui analisis palinologi. Dalam pendekatan palinologi, perubahan iklim dapat
dilihat dari persentase kelimpahan dari arboreal pollen dan non arboreal pollen.
Arboreal pollen yaitu polen yang berasal dari tumbuhan berkayu, sedangkan non
arboreal pollen adalah polen yang berasal dari tumbuhan yang tidak berkayu
(Herbaceae dan Graminae). Arboreal pollen mengindikasikan iklim yang panas
dan basah, sedangkan non arboreal pollen mengindikasikan iklim yang dingin
dan kering. Selain arboreal pollen dan non arboreal pollen, kehadiran spora juga
harus diperhatikan sebagai penciri kelembaban lingkungan.

61

Takson takson polen yang termasuk dalam arboreal pollen adalah


Avicennia, Camptostemon, Rhizoporaceae, Sonneratia caseolaris, Oncosperma,
Bluemedendron, Eugenia, Podocarpus, Canthium, Ilex, Casuarina, Macaranga,
Arenga, Pometia, Shorea, Quercus, Brownlowia, Dacrycarpidites australiensis,
Lumitzera sp, Sonneratia alba, Sapotaceae, Alangium, Pinus, Barringtonia,
Malvaceae, Calophyllum, dan lain-lain. Takson takson yang temasuk dalam non
arboreal pollen adalah Graminae, Calamus, Moraceae, dan Nenga, Nypa
fruticans, dan lain-lain. Taksontakson yang termasuk dalam spora adalah
Selaginella, Lycopodium pleghmaria, Lycopodium chernuum, Equisetum,
Gleicheina, Cyatea, Cyclosorus, dan Psilotum, Pteris tipe, Laevigatosporites,
Verrucatosporites,

Dyopteris,

Polypodium,

Lygodium,

Stenochlaenidites

papuanus, Adiantum, Blechnum, Magnastriatites howardii, dan lain-lain.


4.1.8 Palinologi Satuan Batupasir Formasi Kalibiuk
Analisis palinologi pada Satuan Batupasir Formasi Kalibiuk dilakukan
melalui analisis kuantitatif. Terdapat 20 sampel yang dianalisis dalam studi
palinologi, antara lain KWG-19, KWG-20, KWG-21, KWG-23, KWG-24, KWG25, KWG-36, KWG-37, KWG-38, KWG-40, KWG-41, KWG-43, KWG-44,
KWG-46, KWG-47, KWG-48, KWG-49. KWG-51, KWG-52, KWG-54.
Penentuan umur dari suatu satuan dapat dilihat dari kemunculan awal atau
kemunculan akhir dari suatu fosil diagnostik. Dari 20 sampel yang dideterminasi,
maka Satuan Batupasir Formasi Kalibiuk dapat dibagi menjadi dua zona menurut
Zonasi Palinologi Pulau Jawa (Rahardjo dkk., 1994), yaitu Zona Dacrycarpidites
australiensis (Pliosen Akhir) dan Zona Monoporites annulatus (Pleistosen). Dasar
dari penentuan umur ini adalah didapatkan kehadiran dari Florschuetzia levipoli,
Florschutzia meridonalis, dan Stenochlaenidites papuanus pada interval KWG-19
hingga KWG-51 yang menunjukkan kisaran Pliosen (Lampiran E-1). Kemudian,
pada KWG-52 didapatkan kepunahan dari Stenochlaenidites papuanus yang
menunjukkan batas Pliosen Akhir dengan Pleistosen. Pada interval KWG-52
hingga KWG-54 didapatkan kelimpahan dari Monoporites annulatus tanpa
kehadiran dari Stenochlanidites papuanus yang menunjukkan kisaran umur
Pleistosen (Lampiran E-1). Hal ini juga didukung dengan analisis semikuantitatif
foraminifera (Lampiran E-2) didapatkan umur Satuan Batupasir Formasi Kalibiuk

62

adalah N21 bagian atas N22 dan atau lebih muda (Blow, 1969) yaitu pada
Pliosen Akhir-Pleistosen.
Berdasarkan hasil analisis palinologi (Lampiran E-1), lingkungan
pengendapan dari Satuan Batupasir Formasi Kalibiuk adalah marine.

Interval KWG-19 hingga KWG-25.


Pada interval ini didapatkan kehadiran Dinoflagelata sebagai penciri
takson marine yang melimpah hingga mencapai 95% (KWG-24) walaupun
terdapat penurunan persentase dari Dinoflagelata tetapi kehadirannya
masih dominan. Kehadiran dari takson penciri mangrove, back mangrove,
riparian, peat swamp, freshwater swamp, dan freshwater pada interval ini
dapat diinterpretasikan sebagai thanatocoenose.

interval KWG-36 hingga sebelum KWG-46.


Pada interval ini dicirikan dengan mulai menurunnya persentase dari
Dinoflagelata sebagai penciri lingkungan marine bersamaan dengan
kehadiran dari takson penciri lingkungan mangrove seperti Avicenia,
Champtostemon, Florschuetzia meridionalis, dan Rhizopora. Penurunan
dari Dinoflagelata dapat diinterpretasikan bahwa pengaruh marine kecil
dan menunjukkan lingkungan mendangkal.

Marine (interval KWG-46 hingga KWG-54).


Pada interval ini terlihat kenaikan dari Dinoflagelata sebagai penciri
lingkungan marine yang mencapai 95% walaupun terlihat penurunan
persentase pada pengendapan KWG-49 hingga KWG-54 tetapi masih
dominan.

Maka

dapat

diinterpretasikan

bahwa

lingkungan

telah

mendalam. Takson-takson penciri lingkungan mangrove, back mangrove,


riparian, peat swamp, freshwater swamp, dan freshwater pada interval ini
dapat diinterpretasikan sebagai thanatocoenose.
Kurva perubahan muka laut terlampir pada Gambar 4.9.

63

Gambar 4.9. Diagram marine-non marine Satuan Batupasir Formasi Kalibiuk (tanpa
skala).

64

Interpretasi iklim purba daerah penelitian didasarkan pada kurva fluktuasi


iklim purba yang disusun berdasarkan perbandingan persentase jumlah takson
takson arboreal pollen dan non arboreal pollen, diagram spora, dan diagram
perbandingan iklim basah dan iklim kering. Dari kurva tersebut dapat diamati
fluktuasi iklim yang berkembang pada Satuan Batupasir Formasi kalibiuk
(Lampiran E-1), yaitu:

Iklim Panas/basah dan Lembab (Interval KWG-19 hingga KWG-44)


Pada interval ini diagram arboreal pollen dan spora menunjukkan
persentase yang dominan didukung oleh persentase takson penciri iklim
basah yang dominan pula. Walaupun pada interval ini terjadi beberapa
fluktuasi tetapi masih dominan. Adapun fluktuasi yang terjadi pada
interval ini, antara lain:
a. Pada pengendapan dari KWG-19 hingga KWG-21, pada kurva iklim
dan diagram spora terlihat persentase arboreal pollen yang cukup
tinggi mencapai 60%, persentase spora, dan persentase iklim basah
yang tinggi juga. Maka dapat diinterpretasikan iklim pada saat
pengendapan ini adalah panas/basah dan lembab.
b. Setelah pengendapan KWG-21 hingga KWG-23, iklim sedikit hangat
dan lembab. Hal ini ditunjukkan dengan menurunnya persentase
arboreal pollen dan persentase takson iklim basah. Pada saat
pengendapan ini, persentase spora juga menurun tetapi masih dominan
hingga mencapai 70%.
c. Setelah pengendapan KWG-23 hingga pada saat pengendapan KWG24, terjadi peningkatan persentase arboreal pollen dan taksom iklim
basah yang cukup tinggi, hal ini menandakan bahwa iklim semakin
panas/basah

dan

persentase

spora

juga

meningkat

sehingga

menandakan bahwa kelembaban pada pengendapan ini tinggi.


d. Kehadiran dari arboreal pollen setelah pengendapan KWG-24 hingga
KWG-36 semakin berkurang, tetapi masih lebih dominan. Selain itu
pada diagram spora juga menunjukkan persentase spora yang menurun
walaupun kehadiran spora tersebut masih lebih dominan dibandingkan

65

dengan keseluruhan. Maka iklim pada saat pengendapan ini masih


tetap hangat/basah dan lembab.
e. Setelah KWG-36 hingga KWG-37 terjadi kenaikan persentase arboeal
pollen dan takson iklim basah, kemudian terjadi kenaikan lagi pada
pengendapan KWG-37 hingga KWG-38. Persentase spora juga
mengalami kenaikan pada saat pengendapan KWG-36 hingga KWG37, tetapi mengalami penurunan pada KWG-37 hingga KWG-38
walaupun masih lebih dominan. Maka, iklim pada saat pengendapan
ini menjadi panas/basah dan lembab.
f. Setelah KWG-38 hingga KWG-40, persentase arboreal pollen dan
takson iklim basah kembali menurun walaupun masih dominan. Hal ini
juga ditunjukkan dengan persentase spora yang menurun tetapi
kehadirannya masih dominan. Maka iklim pada saat pengendapan ini
sedikit hangat/basah dan kelembaban menurun.
g. Kehadiran dari arboreal pollen dan takson iklim basah mulai
meningkat lagi setelah KWG-40 hingga KWG-41. Begitu pula yang
ditunjukkan dengan kehadiran dari spora yang meningkat. Maka, pada
saat pengendapan ini iklim berubah menjadi lebih panas/basah dan
kelembaban yang meningkat
h. Kemudian terjadi lagi peningkatan persentase dari arboreal pollen dan
takson iklim basah setelah KWG-41 hingga KWG-43, tetapi
persentase dari spora menurun walaupun kehadiran dari spora masih
lebih dominan. Hal ini menunjukkan bahwa iklim bertambah panas
tetapi kelembaban berkurang.
i. Pada KWG-43 hingga KWG-44 terlihat persentase arboreal pollen,
takson iklim basah, dan spora mengalami penurunan walaupun masih
dominan. Maka dapat diinterpretasikan iklim berubah menjdai hangat
dan lembab.

Iklim dingin dan lembab (Interval KWG-44 hingga KWG-46)


Pada interval ini terjadi penurunan persentase arboreal pollen yang
sangat signifikan. Pada pengendapan dari KWG-46 ini arboreal pollen
tidak menunjukkan kehadirannya (0%). Tetapi persentase dari spora

66

menunjukkan

peningkatan

dibandingkan

dengan

pengendapan

sebelumnya. Maka, dapat dilihat bahwa pada pengendapan ini iklim


menjadi dingin dengan kelembaban yang tinggi.

Iklim panas/basah dan lembab (Interval KWG-46 hingga KWG-54)


a.

Terjadi peningkatan pada arboreal pollen dan takson iklim basah


pada interval KWG-46 hingga KWG-47. Kurva iklim menunjukkan
persentase dari arboreal polen mencapai 85%. Tetapi dari diagram
spora menunjukkan bahwa persentase spora menurun dibandingkan
dengan pengendapan sebelumnya. Maka pada saat pengendapan ini
iklim berubah menjadi panas/basah dengan kelembaban berkurang.

b.

Pada akhir dari pengendapan KWG-47 hingga KWG-48, arboreal


pollen menunjukkan peningkatan yang sangat kecil, tetapi spora
memperlihatkan peningkatan yang cukup tinggi. Maka pada
pengendapan ini, iklim tetap panas/basah tetapi kelembaban menjadi
tinggi.

c.

Pada akhir dari pengendapan KWG-48 hingga KWG-49, terjadi


penurunan persentase dari arboreal pollen dan takson iklim basah
hingga memperlihatkan kehadiran yang berimbang dengan non
arboreal polen. Persentase spora juga memperlihatkan penurunan
tetapi masih lebih dominan. Maka, pada saat pengendapan ini iklim
berubah hangat/basah dan lembab.

d.

Pada akhir pengendapan dari KWG-49 hingga KWG-51, terjadi


kembali peningkatan dari persentase arboreal pollen dan takson iklim
basah serta sedikit peningkatan dari persentase spora. Perbahan ini
menunjukkan bahwa iklim berubah menjadi panas/basah dan lembab.

e. Terjadi

penurunan

persentase

arboreal

pollen

pada

akhir

pengendapan dari KWG-51 hingga mencapai kehadiran yang


berimbang dengan non arboreal pollen pada pengendapan KWG-54,
perubahan ini menyebabkan iklim menjadi hangat. Selain itu
persentase spora juga menunjukkan penurunan hingga kehadiran
spora ini menjadi tidak dominan, sehingga mengindikasikan kondisi
iklim yang relatif kering.

67

Kurva dari fluktuasi iklim dapat dilihat dengan jelas pada (Lampiran E-1,
Diagram Palinologi Satuan Batupasir Formasi Kalibiuk).
4.2 Foraminifera
4.2.1 Pendahuluan
Foraminifera adalah organisme bersel tunggal yang hidup secara akuatik,
mempunyai satu atau lebih kamar yang terpisah satu sama lain oleh sekat (septa)
yang ditembusi oleh banyak lubang halus (foramen) (Pringgoprawiro dan Kapid,
2000). Foraminifera termasuk kedalam kerajaan protista dan filum protozoa.
Foraminifera dapat dibagi dalam foraminifera besar dan kecil. Pada
umumnya foraminifera besar mempunyai ukuran cangkang yang lebih besar,
dengan jumlah kamar yang lebih banyak dan susuna kamar yang lebih rumit.
Berdasarkan dari cara hidupnya foraminifera besar dan kecil dapat dibagi lagi.
Foraminifera besar hidup secara bentonik sedangkan foraminifera kecil dapat
hidup secara bentonik dan plangtonik.
Dalam penentuan jenis spesies dalam foraminifera, morfologi foraminifera
yang dapat dideterminasi antara lain:

Dinding cangkang, terdiri dari kitin, arenaceous, silikaan, dan gampingan.

Bentuk cangkang (bulat, botol, tabung, planispiral, dan lain-lain).

Susunan kamar cangkang seperti uniformed, biformed, multiformed.

Apertur, yaitu lubang utama pada foraminifera. Hal yang perlu


dideterminasi antara lain: bentuk apertur, posisi apertur, dan jenis
aperturnya.

Hiasan atau ornamentasi.


Foraminifera mempunyai peranan yang sangat penting dalam dunia

geologi, terutama dalam analisis mikropaleontologi antara lain:


a. Penentuan umur relatif dari suatu sedimen. Beberapa biozonasi
foraminifera yang biasa digunakan (Pringgoprawiro dan Kapid, 2000)
antara lain:
-

Biozonasi foraminifera kecil (plangtonik), antara lain biozonasi Bolli


(1966), Biozonasi Blow (1969), Biozonasi Postuma (1971), serta
Biozonasi Bolli dan Saunders (1985).

68

Biozonasi foraminifera besar, terdiri atas Klasifikasi Huruf Tersier dari


Van der Vlerk dan Umbgrove (1927), Klasifikasi Clarke dan Blow
(1969), dan Klasifikasi Adams (1970).

Biozonasi foraminifera kecil bentonis. Selain digunakan untuk


penentuan

lingkungan

pengendapan

purba,

beberapa

spesies

foraminifera kecil bentonik dapat pula digunakan untuk penentuan


umur relatif.
b. Penentuan lingkungan pengendapan, dilakukan dengan menggunakan
analisis foraminifera bentonik.
c. Aplikasi paleoekologi, paleoklimatologi dan paleotemperatur dari
suatu sedimen.
d. Korelasi biostratigrafi.
4.2.2 Preparasi Foraminifera
Preparasi foraminifera dilakukan untuk mengekstraksi foraminifera dari batuan
sedimen untuk dianalisis takson-taksonnya dalam penentuan umur dan lingkungan
pengendapan. Preparasi dilakukan sesuai dengan petunjuk yang berlaku di
Laboratorium Mikropaleontologi, Program Studi Teknik Geologi, Fakultas Ilmu
dan Teknologi Kebumian, Institut Teknologi Bandung. Adapun tahapan yang
dilakukan dalam preparasi foraminifera, antara lain:

Tahapan penimbangan dan penumbukan


Sampel batuan yang akan dipreparasi ditimbang dengan berat yang sama,
kemudian apabila sedimen tersebut keras atau agak keras, harus
dipecahkan

perlahan-lahan

dengan

menumbuknya

dengan

mempergunakan alu besi atau porselen.

Tahap pelarutan
Setelah agak halus, sedimen dimasukkan ke dalam mangkok dan
dilarutkan dengan H2O2 (10-15%) untuk memisahkan mikrofosil dalam
batuan sedimen dari matriks (lempung) yang melingkupinya. Biarkan
selama 2-5 jam hingga tidak ada reaksi.

Tahap pencucian, penyaringan dan pengeringan


Setelah tidak terjadi reaksi, seluruh residu dicuci dengan air yang deras
dan disaring diatas tiga saringan yang dari atas ke bawah berukuran 30-8069

100 mesh. Kemudian residu yang tertinggal pada saringan 80 dan 100
mesh diambil dan dikeringkan di dalam oven (60).

Tahap determinasi
Setelah kering residu dikemas dalam plastik residu dan diberi label sesuai
dengan nomor sampel yang dipreparasi. Determinasi foraminifera
dilakukan untuk menentukan genus atau spesies dari foraminifera tersebut
yang nanti akan digunakan dalam penentuan umur dan lingkungan
pengendapan.

4.2.3 Metoda Analisis Foraminifera


Analisis foraminifera dikakukan dengan melakukan pengamatan dari
morfologi foraminifera tersebut seperti dinding cangkang, bentuk cangkang,
putaran cangkang, apertur, dan ornamentasi. Analisis foraminifera pada daerah
penelitian ini menggunakan metoda analisis semikuantitatif yaitu menghitung
jumlah dari spesies dengan menggunakan parameter seperti jarang (rare),
beberapa (few), umum (common), dan melimpah (abundant).
4.2.4 Analisis Foraminifera Satuan Batupasir Formasi Kalibiuk.
Analisis foraminifera pada Satuan Batupasir di daerah penelitian
menggunakan analisis semikuantitatif. Terdapat 12 sampel yang dianalisis yaitu
KWG-1, KWG-2, KWG-7A, KWG-8, KWG-19, KWG-22, KWG-24, KWG-26,
KWG-46, KWG-48, KWG-50, dan KWG-51. Terdapat beberapa fosil indeks dan
biodatum yang didapatkan pada analisis ini.
Berdasarkan hasil analisis mikropaleontologi (Lampiran E-2 dan Lampiran
D-1), didapatkan kisaran umur relatif dari Satuan Batupasir adalah Pliosen AkhirPleistosen (N21 bagian bawahN22 dan atau lebih muda) berdasarkan Biozonasi
Blow (1969). Umur pada satuan ini dicirikan dengan kemunculan akhir dari
Globigerinoides trilobus fistulosus pada batas Satuan Batulempung dengan Satuan
Batupasir. Selain itu ditemukan pemunculan akhir dari Globigerinoides trilobus
extremus yang punah pada N21 setelah pengendapan KWG-48. Hal ini
menunjukkan bahwa pada bagian atas Satuan Batupasir umur telah berubah
menjadi Pleistosen (N22 dan atau lebih muda). Selain itu Spesies spesies
foraminifera plangton lainnya yang terdapat pada satuan ini antara lain Orbulina
universa, Globigerinoides trilobus trilobus, Gloigerinoides trilobus immaturus,

70

Globigerinoides ruber, Globigerina bulloides, Neogloboquadrina pseudopima,


Globigerinoides
siphonifera,

trilobus

Hastigerina

sacculifer,
pelagica,

Globorotalia
Globorotalia

menardii,
tumida,

Hastigerina

Globigerinoides

obliquus, Globoquadrina altispira, dan Neogloboquadrina acostaensis. Tetapi,


pada kisaran umur di Satuan Batupasir ini ditemukan spesies Puleniatina primalis
(KWG-2, KWG-19, KWG-26, KWG-50) yang mempunyai kisaran umur N6-N20
(Blow, 1969) dan Sphaerodinellopsis seminulina (KWG-7, KWG8, KWG19, dan
KWG-26) dengan kisaran umur N16-N20 (Blow, 1969) (Lampiran E-2 dan
Lampiran D-1). Adanya kehadiran fosil dengan umur yang lebih tua terdapat pada
suatu pengendapan dengan umur yang lebih muda dapat diinterpretasikan bahwa
Puleniatina primalis dan Sphaerodinellopsis seminulina merupakan fosil
rombakan.
Analisis foraminifera pada 12 sampel yang diambil di daerah penelitian juga
digunakan untuk menginterpretasi lingkungan pengendapan pada Satuan
Batupasir berdasarkan asosiasinya berdasarkan klasifikasi Robertson Research
(1983). Hasil dari analisis tersebut adalah sebagai berikut (Lampiran E-2 dan
lampiran D-1):

Neritik Tengah (KWG-1 hingga KWG-7A).


Pada awal pengendapan KWG-1 hingga KWG-7A ditemukan asosiasi dari
Lagena sp, Uvigerina sp, Uvigerina peregrina, Oolina sp, dan
Amphistegina sp. Berdasarkan dari asosiasi tersebut, maka didapatkan
lingkungan pengendapan Neritik Tengah (100-200m).

Neritik Dalam (KWG-7A hingga KWG-51).


Kemudian, pada awal pengendapan KWG-8 hingga pengendapan KWG51 mulai hadir spesies-spesies penciri Neritik Dalam seperti Asterorotalia
trispinosa, Ammonia beccarri, Nonion scaphum, Quinqueloculina sp,
Elphidium sp, Cellanthus craticulatus. Hadirnya spesies-spesies tersebut
dapat diasumsikan bahwa lingkungan mendangkal dari Neritik Tengah
menjadi Neritik Dalam. Tetapi asosiasi tersebut bercampur dengan
spesies-spesies penciri Laut Dalam (Neritik Luar) seperti Uvigerina
peregrina, Sphaeroidina bulloides, Planulina wuelerstorfi, Gyroidina
sooldani, Uvigerina sp, Bulimina striata, Bulimina marginata, dan

71

Hyalinea balthica dengan jumlah yang sangat sedikit.

Adanya

percampuran tersebut dapat diinterpretasikan bahwa spesies-spesies


Neritik Luar merupakan fosil rombakan karena hadir dalam jumlah yang
sedikit bila dibandingkan dengan spesies-spesies penciri Neritik Dalam.
4.3 Moluska
4.3.1 Pendahuluan
Menurut Wikipedia, moluska berasal dari bahasa latin molluscus yang
berarti lunak merupakan hewan triploblastik selomata yang bertubuh lunak.
Moluska merupakan filum terbesar kedua dalam kerajaan hewan setelah filum
Arthropoda. Tubuh dari moluska dapat tersusun atas cangkang atau tidak tersusun
cangkang. Bentuk cangkang bervariasi, yaitu cangkang tunggal (Gastropoda),
cangkang ganda (Bivalvia), berbentuk seperti tanduk atau gading gajah
(Scaphopoda), berlapislapis (Polyplacophora /Chiton) dan ada pula yang terletak
di dalam tubuhnya, misalnya pada cumicumi (Loligo) dan suntung (Sepia sp.).
Moluska muncul pada permulaan Zaman Kambrium. Moluska dapat hidup
di lingkungan air tawar, payau, darat, dan laut. Saat ini diperkirakan ada 75 ribu
jenis, ditambah 35 ribu jenis dalam bentuk fosil. Moluska dicirikan dengan Tubuh
tidak bersegmen, simetri bilateral, tubuhnya terdiri dari "kaki" muskular, dengan
kepala yang berkembang beragam menurut kelasnya. Kaki dipakai dalam
beradaptasi untuk bertahan di substrat, menggali dan membor substrat, atau
melakukan pergerakan.
Filum moluska dapat dibagi menjadi tujuh kelas, antara lain:
1. Kelas Gastropoda, disebut juga binatang berkaki perut. Gastropoda
merupakan kelas terbesar dari filum moluska. Pada awalnya kelas ini hidup
di laut tetapi mulai Zaman Mesozoikum kelas ini menyesuaikan diri hidup
di air tawar atau payau. Gastropoda yang hidup di laut terdiri dari dua
golongan yaitu yang dapat berenang seperti Pteropoda dan Heteropoda,
sebagian lagi melekat pada batuan, pada cangkang gastropoda lain atau
pada dasar laut. Bagian tubuh gastropoda terdiri dari kepala, isi perut, kulit
mantel, dan cangkang. Bagian cangkang inilah yang akan menjadi fosil.

72

Cangkang gastropoda dapat bersifat planispiral (terputar pada satua bidang)


dan trochospiral (terputar tiga dimensi). Putaran saling berhubungan satu
sama lain dengan garis sambungannya disebut sutura.

Gambar 4.10. Bagian-bagian dari gastropoda, kiri: sisi dorsal; kanan: sisi ventral.

2. Kelas Scaphopoda, memiliki cangkang yang berbentuk seperti tanduk,


hidup di laut dengan cara membenamkan sebagian dari cangkangnya di
dalam pasir atau pasir berlumpur di dasar laut, hanya sebagian kecil atasnya
saja yang kelihatan di permukaan. Tidak mempunyai kepala, mata dan
insang, tetapi mempunyai radula. Alat kelaminnya terpisah.
3. Kelas Bivalvia (Pelecypoda), mempunyai dua kepingan atau belahan yang
dihubungkan oleh engsel elastis yang disebut ligament dan mempunyai satu
atau dua buah otot adductor di dalam cangkangnya yang berfungsi untuk
membuka dan menutup kedua belahan valve-nya. Tidak mempunyai kepala,
mata dan radula. Beberapa ada yang memiliki banyak mata di tepi
mantelnya. Banyak diantaranya yang mempunyai sepasang insang.
Umumnya memiliki alat kelamin terpisah. Beberapa diantaranya dapat
hidup di air tawar.
4. Kelas Cephalopoda, sering disebut binatang berkaki kepala, anggotanya
diantaranya adalah cumicumi (Loligo sp.), Suntung (Sepia sp.), gurita
(Octopus sp.), Argonauta dan Nautilus. Hanya Nautilus yang mempunyai
cangkang luar. Organisme dari kelas ini mempunyai mata, radula dan alat
kelamin terpisah serta hidup dengan berenang di air laut.

73

5. Kelas Polyplacophora, dikenal pula dengan sebutan Chiton, memiliki


cangkang yang tersusun bertumpuk seperti genting. Mempunyai banyak
insang dan mempunyai radula. Hidup di laut menempel pada bendabenda
keras.
6. Kelas Monoplacophora, hanya dikenal beberapa spesies saja. Memiliki lima
atau enam pasang insang dan mempunyai radula. Hidup di laut yang sangat
dalam dan sangat jarang dijumpai.
7. Kelas Aplacophora, bentuknya menyerupai cacing, tidak bercangkang dan
hidup di dasar laut dangkal.
Posisi hidup dari fosil (moluska) terhadap dasar cekungan (sungai, danau,
atau laut) dapat dibagi menjadi 4 (empat), yaitu:
1. Infaunal, posisi hidup dengan menguburkan seluruh tubuhnya dalam substrat
sedimen.
2. Semi-Infaunal, posisi hidup yang mengubur sebagian dari tubuhnya ke dalam
substrat sedimen dengan orientasi vertikal (posterior berada di bawah).
3. Epifaunal, posisi hidup dengan menambatkan diri pada suatu obyek lain
seperti sedimen, atau tanaman-tanaman laut.
4. Reclining, posisi hidup hewan seperti melayang berorientasi horizontal di
substrat sedimen.
4.3.2 Preparasi dan Metoda Analisis Moluska
4.3.2.1 Preparasi Moluska
Preparasi moluska bertujuan untuk mengekstrak moluska yang tertanam di
dalam sedimen menjadi takson-takson yang siap di determinasi untuk analisis
umur dan lingkungan pengendapan. Preparasi moluska dapat dibagi menjadi tiga
tahap, antara lain:
1. Tahap Pencucian dan Penyaringan
Sampel batuan yang mengandung moluska direndam dengan air kurang
lebih 1 hari, kemudian batuan disaring dengan mesh 100 sampai 150 di
bawah air mengalir sambil dibersihkan dengan kuas.
2. Tahap pengeringan

74

Sampel dikeringkan dengan dipanaskan dalam oven bersuhu 80 hingga


kering.
3. Determinasi
Sampel yang telah kering siap dideterminasi dengan pengamatan mata
telanjang.
4.3.2.2 Metoda Analisis Moluska
Analisis moluska dilakukan dengan pengamatan terhadap fosil cangkang
yang meliputi jenis cangkang (cangkang tunggal, cangkang ganda, berlapislapis
atau berbentuk seperti tanduk), engsel (khususnya pada organisme bercangkang
ganda/bivalve), bukaan aperturnya, sudut apex (pada organisme bercangkang
tunggal), putaran cangkang dan ornamentasinya.
4.3.3 Analisis Moluska Satuan Batupasir Formasi Kalibiuk
Moluska di daerah penelitian didominasi oleh kelas gastropoda dan
pelecypoda. Kumpulan fosil-fosil ini ditemukan dalam kondisi yang pecah-pecah
pada bagian bawah dan tengah satuan, sehingga sulit untuk dideterminasi
spesiesnya. Sedangkan pada bagian atas satuan selain ditemukan fosil-fosil
dengan kondisi pecah-pecah, juga ditemukan fosil gastropoda dengan kondisi
utuh. Fosil gastropoda dengan kondisi utuh ditemukan dalam posisi sejajar dengan
horizontal sedimen. Hal ini menunjukkan bahwa posisi fosil pada sedimen ini
sama dengan posisi pada waktu hidupnya. Sedangkan fosil pelecypoda pada
umumnya ditemukan dengan kondisi pecah-pecah. Fosil moluska dengan kondisi
pecah-pecah dapat diinterpretasikan bahwa fosil tersebut talah mengalami
transportasi atau tidak insitu, sedangkan fosil gastropoda yang utuh ditemukan
dalam posisi sama dengan posisi hidupnya mencerminkan bahwa fosil tersebut
insitu.
Conto moluska yang digunakan dalam penelitian ini diambil dari Sungai
Klawing yang terletak pada bagian utara daerah penelitian (Lampiran E-2).
Terdapat empat conto dari moluska yang dapat dideterminasi, yaitu KWG-39,
KWG-46, KWG-47, dan KWG-54 (Tabel 4.3). Fosil gastropoda utuh yang
ditemukan pada lintasan ini antara lain Turricula javana, Lophiotoma indica,
Conus (Lithoconus) sp, Oliva sp, Oliva vidua, Terebra sp. Sedangkan fosil

75

pelecypoda dalam kondisi pecah-pecah yang ditemukan di lintasan ini adalah


Batissa sp. Pengambilan conto moluska dilakukan pada batupasir halus dari
Formasi Kalibiuk. Determinasi dari gastropoda dan pelecypoda yang ditemukan
berdasarkan dari Okutani (2000) dan Dharma (2005).
Berdasarkan dari determinasi moluska, gastropoda yang dapat dijadikan
indikator umur antara lain Lophiotoma indica dan Oliva vidua dengan kisaran
umur Miosen-Resen (Dharma, 2005). Asosiasi moluska (gastropoda) pada bagian
atas dari Satuan Batupasir menunjukkan lingkungan pengendapan subtidal hingga
laut dangkal/open marine dengan kisaran kedalaman 0-30 m berdasarkan zonasi
Fairbridge dan Bourgeois (1978) (Gambar 4.11). Penjelasan kisaran lingkungan
pengendapan pada moluska terlampir pada Lampiran D-6.

Gambar 4.11. Zonasi Tidal-Open Marine (Fairbridge dan Bourgeois, 1978).

76

Conus

Turricula

Lophiotoma

Terebra

(lithoconus)

Oliva

Oliva

Batissa

javana

indica

sp

sp

sp

vidua

sp

KWG-

54

KWG-

47

KWG-

46
KWG-

39
Tabel 4.3. Lampiran moluska Satuan Batupasir Formasi Kalibiuk.

4.4 Paleoekologi
4.4.1 Pendahuluan
Paleoekologi berasal dari kata Paleo yang berarti purba, tua, primitif dan
ekologi yang berarti ilmu yang mempelajari tentang hubungan lingkungan
dengan organisme. Jadi, paleoekologi adalah ilmu yang mempelajari tentang
hubungan lingkungan dengan organism pada masa lampau.
Adapun beberapa faktor lingkungan yang sangat berpengaruh pada
kehidupan organisme yang kemudian juga mempengaruhi proses interaksi antara
organism tersebut dengan lingkungannya adalah:
1. Suhu dan kelembaban
Suhu dan kelembaban suatu daerah pada waktu tertentu dapat diwakili oleh
iklim yang berkembang pada saat itu. Adapun iklim juga sangat berpengaruh
terhadap naikturunnya muka air laut, sehingga pendekatan yang dilakukan
dalam analisis suhu dan kelembaban dapat dilakukan dengan palinologi.
2. Pengaruh marinenonmarine

Fluktuasi muka laut membawa pengaruh yang berbeda terhadap kondisi


lingkungan di sekitarnya.
3. Kedalaman

77

Kedalaman dari suatu lingkungan dapat diketahui dengan melakukan


determinasi terhadap asosiasi dari foraminifera kecil bentos dan moluska
yang mencerminkan lingkungan tertentu.
4.4.2 Paleoekologi Satuan Batupasir Formasi Kalibiuk
Berdasarkan dari hasil dari analisis palinologi, foraminifera, dan moluska
pada Satuan Batupasir di daerah penelitian, maka analisis paleoekologi dari
Satuan Batupasir dari bawah ke atas ini dapat dibagi menjadi tiga interval, antara
lain:
1. Interval I (KWG-19 hingga KWG-44).
Berdasarkan hasil analisis foraminifera plangton umur yang didapatkan
adalah N21bagian atas. Berdasarkan analisis palinologi didapatkan umur
Pliosen Akhir. Berdasarkan analisis kuantitatif palinologi, analisis
semikuantitatif
lingkungan

foraminifera

pengendapan

dan

pengamatan

marine

(Neritik

moluska
Dalam).

didapatkan
Iklim

pada

pengendapan ini relatif panas/basah dan lembab yang didapatkan


berdasarkan analisis palinologi.
2. Interval II (KWG-44 hingga KWG-46).
Berdasarkan hasil analisis palinologi dan foraminifera didapatkan umur
pada interval ini adalah Pliosen Akhir-Pleistosen. Penentuan umur juga
ditunjang dengan analisis moluska yang didapatkan kisaran umur Pliosen
Akhir. Iklim yang terjadi pada interval ini adalah dingin dan lembab. Hal
ini ditunjukkan dengan menurunnya persentase arboreal pollen pada
diagram palinologi dan terjadi peningkatan dari persentase spora.
Berdasarkan analisis palinologi, foraminifera dan moluska lingkungan
pengendapan menunjukkan marine (Neritik Dalam).
3. Interval III (KWG-47 hingga KWG-54)
Terdapat perubahan iklim yang signifikan yaitu dari iklim dingin dan
lembab menjadi panas dan lembab. Berdasarkan analisis kuantitatif
palinologi, analisis semikuantitatif foraminifera bentos dan moluska
lingkungan pengendapan menunjukkan marine (Neritik Dalam). Adapun
pengaruh marine pada interval ini sangat besar yang ditunjukkan dengan
melimpahnya takson marine yaitu Dinoflagelata.

78

Anda mungkin juga menyukai