4.1. Palinologi
4.1.1 Pendahuluan
Palinologi adalah ilmu yang mempelajari fosil palinomorf termasuk polen,
spora, dinoflagelata, acritarch, chitinozoa, dan scolecodont bersama dengan
material organik dan kerogen yang ditemukan dalam batuan sedimen (Traverse,
1988).
Istilah palinologi brerasal dari bahasa Yunani, yaitu Palunein yang
artinya serbuk atau debu. Moore dan Web (1978), mendefinisikan palinologi
sebagai ilmu yang mempelajari polen tumbuhan tingkat tinggi dan spora dari
tumbuhan Cryptogamae.
Palinologi mempunyai peranan penting dalam geologi dan bidang ilmu
lainnya, adapun analisis yang dapat kita lakukan melalui pendekatan palinologi
antara lain:
47
48
yang akan hilang setelah sel mati. Intin tersusun dari selulosa dan mempunyai
konstruksi yang hampir sama dengan dinding sel tumbuhan. Lapisan eksin
merupakan bagian luar butiran dengan permukaan berupa struktur yang beraneka
ragam. Pada lapisan ini secara khusus tahan terhadap daya destruktif tekanan,
suhu dan kondisi asam yang tinggi serta oksidasi yang terjadi secara alami dalam
perlapisan batuan. Menurut Faegri dan Iversen (1975), hal ini dikarenakan eksin
tersusun atas zat sporopolenin yang bersifat tahan terhadap keadaan anaerob dan
oksidasi selama proses fosilisasi. Lapisan eksin terdiri dari lapisan eksin dalam
(endeksin) dan lapisan eksin luar (ekteksin). Menurut Morley (1990), ekteksin
yang sempurna tersusun oleh tiga lapisan, yaitu lapisan tektum sebagai lapisan
terluar, kolumela atau bakula berbentuk tiang kecil yang mendukung tektum, dan
lapisan kaki sebagai lapisan paling dasar (Gambar 4.2). Butiran dengan tektum
yang menutupi seluruh permukaan butiran disebut tektat. Jika tidak mempunyai
tektum disebut intektat dan butir yang mempunyai tektum hanya menutupi
sebagian kecil permukaan disebut semitektat.
49
Indeks P/E
Bentuk
> 2,0
Perprolate
1,33-2,0
Prolate
0,75-1,33
Subspheroidal
0,5-0,75
Oblate
<0,5
Peroblate
Tabel 4.1. Klasifikasi bentuk polen berdasarkan indeks P/E (Reitsma, 1970 dalam
Morley, 1990).
50
Gambar 4.3. Variasi bentuk morfologi, apertur, dan posisi apertur pada polen dan spora
(Traverse, 1988).
51
satu, yaitu leasure, yang tampak seperti garis pada sisi luar.
Ornamentasi merupakan bentuk eksternal eksin tanpa menunjukkan
susunan eksin bagian dalam. Menurut Faegri dan Iversen (1975), ornamentasi
termasuk dalam skluptur eksin yang timbul karena adanya keanekaragaman
bentuk morfologi dari tektum. Beberapa bentuk dari ornamentasi antara lain
psilate, verrucate, scabrate, perforate, foveolate, gemmate, clavate, echinate,
regulate, reticulate, baculate, dan striate (Gambar 4.4). Traverse (1988),
menggunakan teknik pengamatan lux-obscuritas analysis untuk mengamati
ornamentasi polen dan spora, yaitu dengan menggunakan perbesaran mikroskop
90-100 kali, focus digerakkan turun naik untuk mengetahui bentuk dan
ornamentasi samping butiran polen dan spora (Gambar 4.4).
Menurut Traverse (1988), polen dan spora memiliki ukuran lanau atau
52
Gambar 4.5. Ukuran dari polen dan spora yang dibandingkan dengan ukuran sedimen
klastik /Skala Wenworth (Traverse 1988).
53
Penimbangan
Sampel kering ditimbang agar tiap sampel mempunyai berat yang
seragam, yaitu 50 gram.
Penumbukan
Penumbukan sampel dimaksudkan untuk mempercepat jalannya reaksi
kimia.
2. Tahap Reaksi Kimia
Penghilangan karbonat
Proses penghilangan karbonat dilakukan dengan merendam sampel
dalam HCl 37% selama kurang lebih 6 jam. Setelah itu residu dinetralisir
dengan akuades.
Penghilangan silikat
Proses penghilangan silikat dilakukan dengan mereaksikan residu
dengan HF 40% panas selama kurang lebih 8 jam. Setelah itu residu
dinetralisir dengan akuades.
Penghilangan kalsium florida
Proses penghilangan kalsium florida dilakukan dengan mereaksikan
residu dengan HCl 37% panas selama kurang lebih 4 jam. Setelah itu
residu kembali dinetralisir dengan akuades.
Oksidasi
Proses ini dilakukan dengan mereaksikan residu menggunakan HNO3
69% panas selama 3 menit. Setelah itu kembali dinetralisir dengan
aquades.
Penghilangan asam humus
Proses ini dilakukan dengan mereaksikan residu menggunakan KOH
10% panas selama 3 menit. Setelah itu residu kembali dinetralisir
dengan akuades.
3. Tahap Pembuatan Preparat
Penyaringan dilakukan untuk dilakukan untuk memisahkan palinomorf
dengan partikel lain. Saringan yang digunakan adalah saringan nilon
yang berukuran 5 mikrometer.
54
Pembuatan preparat
Pembuatan preparat dilakukan dengan menempelkan residu pada kaca
preparat dengan menggunakan canada balsam.
Diagram Palinologi
Diagram ini menyajikan persentase tiap takson polen, spora,
dinoflagelata, dan foraminifera test lining dalam tiap sampel.
Keseluruhan takson yang telah dihitung persentasenya kemudian
dikelompokkan
berdasarkan
ekologinya,
seperti
tumbuhan
% suatu takson =
suatu takson
x 100%
seluruh individu
Diagram AP/NAP
Diagram ini digunakan untuk menentukan perubahan iklim dari
suatu sedimen. Perubahan iklim ini dapat dilihat dari persentase
arboreal pollen terhadap non aboreal pollen. Arboreal pollen (AP)
merupakan polen yang berasal dari tumbuhan berkayu, sedangkan
non anboreal pollen merupakan polen yang berasal dari tumbuhan
tidak berkayu. Berikut adalah rumus yang digunakan untuk
perhitungan AP dan NAP:
56
% AP
% NAP
AP
(AP+NAP)
x 100%
NAP
(AP+NAP)
x 100%
Diagram Spora
Diagram ini menggambarkan perbandingan persentase dari spora yaitu
pada Pteridophyta terhadap keseluruhan takson (tidak termasuk
foraminifera test lining dan dinoflagelata). Diagram ini digunakan
untuk
menginterpretasi
kelembaban
suatu
lingkungan
dengan
% Spora
Spora
(Spora +Polen)
x 100%
57
dan
kehadiran
Florschuetzia
trilobata
bersama
Florschuetzia levipoli.
ini
ditandai
dengan
kemunculan
dari
Dacrycarpidites
58
Lagoon
Coastal Plain (Delta dan Estuary, Lagoon, Sandy Beach dan Barrier
Island)
59
60
Calophyllum,
Graminae,
Altingia,
Quercus,
Macaranga,
Polygonum,
Shorea,
Zalacca,
Randiapollis,
Bombacidites,
dan
61
Dyopteris,
Polypodium,
Lygodium,
Stenochlaenidites
62
adalah N21 bagian atas N22 dan atau lebih muda (Blow, 1969) yaitu pada
Pliosen Akhir-Pleistosen.
Berdasarkan hasil analisis palinologi (Lampiran E-1), lingkungan
pengendapan dari Satuan Batupasir Formasi Kalibiuk adalah marine.
Maka
dapat
diinterpretasikan
bahwa
lingkungan
telah
63
Gambar 4.9. Diagram marine-non marine Satuan Batupasir Formasi Kalibiuk (tanpa
skala).
64
dan
persentase
spora
juga
meningkat
sehingga
65
66
menunjukkan
peningkatan
dibandingkan
dengan
pengendapan
b.
c.
d.
e. Terjadi
penurunan
persentase
arboreal
pollen
pada
akhir
67
Kurva dari fluktuasi iklim dapat dilihat dengan jelas pada (Lampiran E-1,
Diagram Palinologi Satuan Batupasir Formasi Kalibiuk).
4.2 Foraminifera
4.2.1 Pendahuluan
Foraminifera adalah organisme bersel tunggal yang hidup secara akuatik,
mempunyai satu atau lebih kamar yang terpisah satu sama lain oleh sekat (septa)
yang ditembusi oleh banyak lubang halus (foramen) (Pringgoprawiro dan Kapid,
2000). Foraminifera termasuk kedalam kerajaan protista dan filum protozoa.
Foraminifera dapat dibagi dalam foraminifera besar dan kecil. Pada
umumnya foraminifera besar mempunyai ukuran cangkang yang lebih besar,
dengan jumlah kamar yang lebih banyak dan susuna kamar yang lebih rumit.
Berdasarkan dari cara hidupnya foraminifera besar dan kecil dapat dibagi lagi.
Foraminifera besar hidup secara bentonik sedangkan foraminifera kecil dapat
hidup secara bentonik dan plangtonik.
Dalam penentuan jenis spesies dalam foraminifera, morfologi foraminifera
yang dapat dideterminasi antara lain:
68
lingkungan
pengendapan
purba,
beberapa
spesies
perlahan-lahan
dengan
menumbuknya
dengan
Tahap pelarutan
Setelah agak halus, sedimen dimasukkan ke dalam mangkok dan
dilarutkan dengan H2O2 (10-15%) untuk memisahkan mikrofosil dalam
batuan sedimen dari matriks (lempung) yang melingkupinya. Biarkan
selama 2-5 jam hingga tidak ada reaksi.
100 mesh. Kemudian residu yang tertinggal pada saringan 80 dan 100
mesh diambil dan dikeringkan di dalam oven (60).
Tahap determinasi
Setelah kering residu dikemas dalam plastik residu dan diberi label sesuai
dengan nomor sampel yang dipreparasi. Determinasi foraminifera
dilakukan untuk menentukan genus atau spesies dari foraminifera tersebut
yang nanti akan digunakan dalam penentuan umur dan lingkungan
pengendapan.
70
trilobus
Hastigerina
sacculifer,
pelagica,
Globorotalia
Globorotalia
menardii,
tumida,
Hastigerina
Globigerinoides
71
Adanya
72
Gambar 4.10. Bagian-bagian dari gastropoda, kiri: sisi dorsal; kanan: sisi ventral.
73
74
75
76
Conus
Turricula
Lophiotoma
Terebra
(lithoconus)
Oliva
Oliva
Batissa
javana
indica
sp
sp
sp
vidua
sp
KWG-
54
KWG-
47
KWG-
46
KWG-
39
Tabel 4.3. Lampiran moluska Satuan Batupasir Formasi Kalibiuk.
4.4 Paleoekologi
4.4.1 Pendahuluan
Paleoekologi berasal dari kata Paleo yang berarti purba, tua, primitif dan
ekologi yang berarti ilmu yang mempelajari tentang hubungan lingkungan
dengan organisme. Jadi, paleoekologi adalah ilmu yang mempelajari tentang
hubungan lingkungan dengan organism pada masa lampau.
Adapun beberapa faktor lingkungan yang sangat berpengaruh pada
kehidupan organisme yang kemudian juga mempengaruhi proses interaksi antara
organism tersebut dengan lingkungannya adalah:
1. Suhu dan kelembaban
Suhu dan kelembaban suatu daerah pada waktu tertentu dapat diwakili oleh
iklim yang berkembang pada saat itu. Adapun iklim juga sangat berpengaruh
terhadap naikturunnya muka air laut, sehingga pendekatan yang dilakukan
dalam analisis suhu dan kelembaban dapat dilakukan dengan palinologi.
2. Pengaruh marinenonmarine
77
foraminifera
pengendapan
dan
pengamatan
marine
(Neritik
moluska
Dalam).
didapatkan
Iklim
pada
78