keparahan suatu infeksi. Hal tersebut disebabkan oleh adanya abnormalitas dalam
imunitas yang diperantarai oleh sel dan fungsi fagosit berkaitan dengan
hiperglikemia, termasuk berkurangnya vaskularisasi.4
Dalam dua dekade terakhir terjadi peningkatan prevalensi DM, terutama
DM tipe II. Hal ini disebabkan oleh perubahan gaya hidup, meningkatnya
obesitas, dan berkurangnya aktivitas yang umumnya terjadi pada negara-negara
yang mulai mengalami industrialisasi. Peningkatan prevalensi DM, sebagai faktor
risiko TB juga disertai dengan peningkatan prevalensi TB. Para ahli mulai
memberi perhatian pada epidemi DM dan TB, terutama pada negara-negara
berpenghasilan rendah-menengah, seperti Cina dan India yang mengalami
peningkatan prevalensi DM tercepat dan memiliki beban TB tertinggi di dunia.4
Definisi
Tuberkulosis paru adalah penyakit infeksi paru yang disebabkan oleh kuman
Mycobacterium tuberculosis.3
Etiologi
Tuberkulosis adalah suatu penyakit menular yang disebabkan oleh kuman dari
kelompok Mycobacterium yaitu Mycobacterium tuberculosis. Terdapat beberapa
spesies Mycobacterium, antara lain: M. tuberculosis, M. africanum, M. bovis, M.
leprae dsb. yang juga dikenal sebagai Bakteri Tahan Asam (BTA). Kelompok
bakteri
Mycobacterium
menimbulkan
gangguan
selain
Mycobacterium
pada
saluran
nafas
tuberculosis
dikenal
yang
sebagai
bisa
MOTT
Ogawa.
Kuman nampak berbentuk batang berwarna merah dalam pemeriksaan
dibawah mikroskop.
Tahan terhadap suhu rendah sehingga dapat bertahan hidup dalam jangka
kurang 1 minggu.
Kuman dapat bersifat dormant (tidur / tidak berkembang)
Epidemiologi
Prevalensi TB meningkat seiring dengan peningkatan prevalensi DM. Frekuensi
DM pada pasien TB dilaporkan sekitar 10-15% dan prevalensi penyakit infeksi ini
2-5 kali lebih tinggi pada pasien diabetes dibandingkan dengan kontrol yang nondiabetes. Dalam studi terbaru di Taiwan disebutkan bahwa diabetes merupakan
komorbid dasar tersering pada pasien TB yang telah dikonfirmasi dengan kultur,
terjadi pada sekitar 21,5% pasien. Prevalensi TB paru meningkat seiring dengan
peningkatan prevalensi DM. Studi Dobler, dkk. di Australia (2012) dan Leung,
dkk.di Hong Kong (2008) menemukan penderita DM dengan kadar HbA1c >7%
lebih banyak menderita TB paru. Simpulan penelitian tersebut bahwa kondisi
hiperglikemia, bahkan pengguna insulin berisiko tinggi menderita TB paru.5
Alisjahbana, dkk. menyatakan bahwa lebih dari 10% penderita TB paru di dunia
adalah penduduk Indonesia. Penelitiannya di Indonesia pada tahun 2001-2005,
melaporkan 40% penderita TB paru memiliki riwayat DM. Pada penderita DM,
ditemukan 60 kasus TB paru di antara 454 penderita; risiko penderita DM untuk
mengalami TB paru sebesar 4,7 kali lipat.4
Patogenesis Tuberkulosis
Penularan TB umumnya terjadi melalui droplet, yang dikeluarkan dengan cara
batuk, bersin, atau percikan ludah orang terinfeksi TB paru. Droplet ini dapat
bertahan di udara dalam waktu beberapa jam. Diameter droplet yang sangat kecil
(<5-10 m) menyebabkan droplet tersebut dapat mencapai jalan napas terminal
jika terhirup dan membentuk sarang pneumonia, yang dikenal sebagai sarang
primer atau afek primer. Dari sarang primer dapat terjadi peradangan saluran
getah bening (limfangitis lokal) yang diikuti pembesaran kelenjar getah bening di
hilus (limfadenitis regional). Afek primer bersama-sama dengan limfangitis dan
limfadenitis regional membentuk kompleks primer. Kompleks primer ini dapat
sembuh tanpa meninggalkan cacat, sembuh dengan meninggalkan fibrotik atau
kalsifikasi, ataupun menyebar secara perkontinuitatum, bronkogen, limfogen,
maupun hematogen. Kejadian tersebut merupakan perjalanan tuberculosis
primer.1,2
Tuberkulosis pasca primer terjadi bertahun-tahun setelah tuberkulosis primer.
Bentuk tuberkulosis ini menjadi masalah kesehatan karena dapat menjadi sumber
penularan. Tuberkulosis pasca primer diawali dengan pembentukkan sarang dini
(sarang pneumonia), umumnya di segmen apical lobus superior maupun inferior.
Sarang pneumonia tersebut dapat diresorbsi dan sembuh tanpa cacat, meluas dan
menyembuh dengan fibrotic dan perkapuran, atau meluas dan mengalami nekrosis
kaseosa membentuk kavitas. Kavitas tersebut dapat meluas dan membentuk
sarang pneumonia baru, membentuk tuberkuloma, atau menyembuh membentuk
kavitas terbuka yang sembuh.1,2
Baik imunitas alamiah maupun imunitas adaptif berperan dalam mekanisme
defensi terhadap M. tuberculosis. Imunitas alamiah yang diawali oleh ikatan
antara M. tuberculosis dengan reseptor fagosit dan masuknya M. tuberculosis ke
dalam makrofag alveolar, sel dendrit, maupun monosit, merupakan kunci untuk
terbentuknya imunitas adaptif terhadap M. tuberculosis. Imunitas adaptif berupa
imunitas yang diperantarai oleh sel, akan menimbulkan resistensi terhadap M.
tuberculosis dan menyebabkan terbentuknya hipersensitivitas terhadap antigen
TB. Imunitas alamiah dan imunitas adaptif tersebut akan menentukan hasil akhir
dari paparan terhadap M. Tuberculosis.4
Gambar 1. Patofisiologi Tuberkulosis : inhalasi basil (A), terkurung dalam granuloma (B),
rusaknya granuloma pada individu immunodefisiensi (C).12
atau status imunokompromais dari pejamu. Pada sejumlah kecil pejamu yang
terinfeksi, imunitas adaptif gagal dan terbentuklah infeksi primer.1
Stadium awal TB primer ditandai oleh proliferasi M. tuberculosis di dalam
makrofag alveolar. Proliferasi ini pada akhirnya dapat menyebabkan lisis
makrofag. Lisisnya makrofag melepaskan berbagai kemoatraktan, seperti
komplemen, molekul bakteri, dan sitokin yang merekrut dan mengaktivasi lebih
banyak makrofag imatur, termasuk sel dendrit. Makrofag-makrofag tersebut
kemudian bermigrasi ke dalam aliran limfatik dan mempresentasikan antigen M.
tuberculosis pada limfosit T, dengan perantara MHC kelas II. Pada saat ini,
pembentukan imunitas yang diperantarai sel dimulai. Reseptor menyerupai Toll
(TLR) juga diperkirakan memiliki peranan dalam pembentukan imunitas adaptif
terhadap M. tuberculosis. Akibat utama dari interaksi antara TLR pada makrofag
dan sel dendrit dengan M. tuberculosis adalah terjadinya sekresi sitokin dan
kemokin. Sitokin dan kemokin ini selanjutnya bertanggung jawab dalam
pembentukan respon imun adaptif terhadap M. tuberculosis. 1,6
Limfosit T CD4 merupakan sel yang memainkan peran paling penting dalam
respon imun adaptif terhadap M. tuberculosis. Apoptosis atau lisis sel-sel yang
terinfeksi oleh sel T CD4 juga dapat memainkan peranan dalam mengontrol
infeksi. Limfosit T CD4 ini akan berdiferensiasi menjadi sel Th1 dan Th2, yang
memproduksi sitokin. Pada saat ini, dikenal tiga jenis sitokin yang menginduksi
perubahan sel T menjadi Th1. Ketiga jenis sitokin tersebut adalah IL-12, yang
merupakan sitokin yang dominan dalam induksi dan pemeliharaan Th1; IL-23,
yang memiliki aktivitas pada sel T memori; dan IL-27, yang terlibat dalam inisiasi
Th1. Th1 memproduksi IFN- dan IL-2, sedangkan Th2 memproduksi IL-4, IL-5,
IL-10, IL-13, dan berperan pada timbulnya imunitas humoral. Namun, hingga saat
ini peran sel Th2 pada TB masih kontroversial. Limfosit T CD8 juga memiliki
peranan dalam proteksi terhadap TB. Sel CD8 juga memiliki kemampuan untuk
mensekresi sitokin, seperti IFN- dan IL-4, dan berperan dalam meregulasi
keseimbangan sel Th1 dan Th2 pada paru pasien dengan TB paru. 1,6
Selain menstimulasi makrofag untuk membunuh M. tuberculosis, respons Th juga
merancang pembentukan granuloma dan nekrosis kaseosa. Makrofag teraktivasi,
yang distimulasi oleh IFN-, memproduksi tumor necrosis factor (TNF), yang
merekrut monosit. Monosit-monosit ini berdiferensiasi menjadi histiosit epiteloid,
yang merupakan gambaran respon granulomatosa. Pada sebagian orang, respon
ini tidak menimbulkan destruksi jaringan yang signifikan maupun penyakit. Akan
tetapi pada sebagian orang yang lain, infeksi bersifat progresif menyebabkan
destruksi jaringan melalui nekrosis kaseosa dan kavitasi. Progresivitas infeksi ini
berkaitan dengan umur dan imunosupresi. Di samping itu, TNF juga berperanan
dalam menginduksi terbentuknya reactive nitrogen intermediates dan terjadinya
apoptosis makrofag yang terinfeksi, sehingga mengurangi jumlah kuman.1,6
manusia terhadap TB. Selain itu, ditemukan juga aktivitas bakterisidal leukosit
yang berkurang pada pasien DM, terutama pada mereka yang memiliki kontrol
gula darah yang buruk. Meningkatnya risiko TB pada pasien DM diperkirakan
disebabkan oleh defek pada makrofag alveolar atau limfosit T. Terdapat
peningkatan jumlah makrofag alveolar matur (makrofag alveolar hipodens) pada
pasien TB paru aktif. Namun, tidak ditemukan perbedaan jumlah limfosit T yang
signifikan antara pasien TB dengan DM dan pasien TB saja. Proporsi makrofag
alveolar matur yang lebih rendah pada pasien TB yang disertai DM
bertanggungjawab terhadap lebih hebatnya perluasan TB dan jumlah bakteri
dalam sputum pasien TB dengan DM. Pada plasma darah manusia didapatkan
bahwa tidak ada perbedaan produksi sitokin antara pasien TB dengan atau tanpa
DM. Jika pasien dengan DM tipe 2 dibandingkan dengan kontrol yang sehat,
produksi IFN- spesifik M. tuberculosis sama saja, tetapi produksi IFN- yang
non-spesifik berkurang secara signifikan pada kelompok DM. Diduga bahwa
berkurangnya IFN- yang non-spesifik tersebut menunjukkan adanya defek pada
respon imun alamiah yang berperan pada meningkatnya risiko pasien DM untuk
mengalami TB aktif.4
Derajat hiperglikemi juga berperan dalam menentukan fungsi mikrobisida pada
makrofag. Pajanan kadar gula darah sebesar 200 mg% secara signifikan dapat
menekan fungsi penghancuran oksidatif dari makrofag. Penderita DM yang
kurang terkontrol dengan kadar hemoglobin terglikasi (HbA1c) tinggi
menyebabkan TB menjadi lebih parah dan berhubungan dengan mortalitas yang
lebih tinggi. Selain terjadi kerusakan pada proses imunologi, pada pasien DM
juga terdapat gangguan fisiologis paru seperti hambatan dalam proses
pembersihan sehingga memudahkan penyebaran infeksi pada inang. Glikosilasi
non enzimatik pada protein jaringan menginduksi terjadinya gangguan pada
fungsi mukosilier atau menyebabkan neuropati otonom diabetik sehingga
menyebabkan abnormalitas pada tonus basal jalan napas yang mengakibatkan
menurunnya reaktifitas bronkus serta bronkodilatasi.7
Tabel 1. Defek Imunologi dan fungsi fisiologi pulmonal pada penderita diabetes melitus3
bakteriologi, maupun radiologi. Gejala yang dilihat dari penelitian ini adalah
batuk, hemoptisis, sesak napas, demam, keringat malam, dan penurunan berat
badan, masing masing gejala diberikan poin 1 dengan total 6. Skor gejala lebih
dari 4 digolongkan dengan gejala yang berat. Dengan demikian pada pasien TB
yang juga menderita DM dapat ditemukan gejala, seperti batuk, batuk berdarah,
sesak nafas, demam, keringat malam, dan penurunan berat badan, namun gejala
cenderung lebih banyak dan keadaan umum lebih buruk.10
Diagnosis
Diagnosis tuberkulosis dapat ditegakkan berdasarkan gejala klinis, pemeriksaan
fisik, pemeriksaan bakteriologi, radiologi, dan pemeriksaan penunjang lainnya.
Gejala klinis yang dapat timbul, antara lain demam dan keringat malam,
penurunan berat badan, batuk lebih dari 2 minggu, batuk darah, sesak napas, dan
nyeri dada. Pada pemeriksaan fisik dapat ditemukan suara napas bronkial,
amforik, suara napas yang melemah, dan rhonki basah. Diagnosis pasti
tuberkulosis paru adalah dengan menemukan kuman Mycobacterium tuberculosis
dalam sputum atau jaringan paru biakan. Pemeriksaan lain yang dapat dilakukan
adalah dengan pencitraan radiologi.1
Gambar 3. Alur Diagnosis dan tindak lanjut TB Paru pada pasien dewasa1
menggunakan
rifampisin,
isoniazid,
pirazinamid,
etambutol,
dan
dengan DM hanya 50% dari kadar rifampisin pasien TB paru tanpa DM.
Konsentrasi plasma maksimal rifampisin di atas target (8 mg/L) hanya ditemukan
pada 6% pasien, sedangkan pada yang bukan DM ditemukan 47%. Hal ini dapat
menjelaskan mengapa respons pengobatan pasien TB paru dengan DM lebih
rendah dibandingkan dengan pasien TB tanpa DM.10
Tabel 2. Dosis OAT lini pertama bagi pasien dewasa1
Rifampisin dan INH diduga tidak berpengaruh terhadap insulin karena insulin
didegradasi di hati melalui hidrolisis disulfida antara rantai A dan rantai B oleh
insulin degrading enzyme (IDE). Setelah selesai pengobatan TB paru, dapat
dilanjutkan kembali dengan obat anti-diabetes oral.7
Prognosis
Penderita TB paru dengan DM memiliki risiko kematian lebih tinggi
dibandingkan penderita TB paru tanpa DM selama terapi dan juga peningkatan
risiko kekambuhan setelah pengobatan dan penularan yang lebih besar.9