Anda di halaman 1dari 30

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 LATAR BELAKANG


Tuberkulosis (TB) paru merupakan suatu penyakit infeksi menular yang
disebabkan oleh bakteri Mycobacterium tuberculosis (MTB), yang dapat
menginfeksi berbagai organ. Tuberkulosis menular melalui udara ketika seseorang
dengan infeksi TB batuk atau bersin. Penyakit ini bila tidak diobati atau
pengobatannya tidak tuntas dapat menimbulkan komplikasi berbahaya hingga
kematian. Infeksi Tuberkulosis yang timbul sekitar 90%-nya selalu melibatkan
paru-paru. Dalam 15–20% kasus aktif, terjadi penyebaran infeksi hingga ke luar
organ pernapasan dan menyebabkan TB jenis lainnya. TB yang terjadi di luar organ
pernapasan disebut tuberkulosis ekstra paru. TB ekstra paru umumnya terjadi pada
orang dewasa dengan imunosupresi dan anak-anak. TB ekstra paru muncul pada 50%
lebih kelompok pengidap HIV. Ada lagi TB yang lebih serius yaitu TB yang
menyebar luas dan disebut sebagai TB diseminata, atau biasanya dikenal dengan
nama Tuberkulosis Milier. Di antara kasus TB, 10%-nya biasanya merupakan TB
Milier.1
Menurut WHO 2018, TB paru merupakan penyebab terbanyak ke-9 kematian
di dunia. Pada tahun 2016, diperkirakan terdapat 1,3 juta kematian akibat TB paru.
Jumlah ini mengalami penurunan dari 1,7 juta pada tahun 2000. Diperkirakan juga,
sekitar 10,4 juta orang yang terdiri dari 90% dewasa, 65% laki-laki dan 10% orang
dengan HIV mengalami kesakitan akibat TB paru dan 56% kasus terjadi di lima
negara: India, Indonesia, China, Filipina, dan Pakistan. Menurut survey
Kementerian Kesehatan Republik Indonesia, sekitar 156.723 kasus baru dengan TB
positif terjadi pada tahun 2016.1,2
Tuberkulosis milier termasuk salah satu bentuk TB berat dan merupakan 2-
7% kasus TB dengan angka kematian yang tinggi. Tuberkulosis milier timbul
dipengaruhi oleh dua faktor, yaitu jumlah dan virulensi kuman MTB dan status
imunologi pasien (non spesifik dan spesifik). Beberapa kondisi yang menurunkan
sistem imun juga dapat memudahkan timbulnya TB milier, seperti infeksi HIV,

1
2

malnutrisi, diabetes melitus, gagal ginjal, keganasan, dan penggunaan


kortikosteroid dalam jangka panjang. Faktor-faktor lain yang mempengaruhi
perkembangan penyakit ini adalah faktor lingkungan, yaitu kurangnya sinar
matahari, perumahan yang padat, polusi udara, asap rokok, serta sosial ekonomi.1,3
Diagnosis klinis sebaiknya didukung oleh prosedur pencitraan yang tepat,
pemeriksaan radiologi x-foto toraks akan sangat membantu dalam mendiagnosis
dan penanganan kasus TB. X-foto toraks memegang peran penting sebagai
pendeteksi TB paru dini. Pada pasien dengan sputum BTA positif, foto thorax
berperan penting dalam menilai luas lesi serta komplikasi yang terjadi. Pada akhir
pengobatan TB, foto thorax berperan dalam penilaian sekuele di paru serta di pleura.
Sensitivitas dan spesifisitas foto thorax dalam mendiagnosis Tuberkulosis yaitu
86%.4

1.2 TUJUAN
Pada laporan kasus ini disajikan suatu kasus berupa seorang pria 47 tahun
dengan tuberkulosis milier. Penyajian kasus ini bertujuan untuk mempelajari lebih
dalam tentang pengertian, epidemiologi, etiologi, faktor risiko, penegakan
diagnosis, penerapan radiodiagnostik, dan pengobatan yang digunakan pada
penderita tuberkulosis milier.

1.3 MANFAAT
Penulisan laporan kasus ini diharapkan dapat membantu mahasiswa
kedokteran untuk belajar menegakan diagnosis, melakukan pengelolaan, dan
mengetahui prognosis penderita tuberkulosis milier.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 DEFINISI
Tuberkulosis adalah penyakit akibat infeksi kuman Mycobacterium
tuberculosis sistemis sehingga dapat mengenai hampir semua organ tubuh, dengan
lokasi terbanyak di paru yang biasanya merupakan lokasi infeksi primer.5–7
Tuberkulosis milier adalah bentuk tuberkulosis yang ditandai dengan
penyebaran luas ke dalam tubuh manusia dengan lesi ukuran kecil (1-5 mm),
namanya berasal dari pola yang khas terlihat pada rontgen dada dari banyak bintik-
bintik kecil yang didistribusikan ke seluruh bidang paru-paru dengan tampilan yang
mirip dengan milet biji, sehingga disebut TB ’miliaria’. Tuberkulosis milier adalah
jenis tuberkulosis yang bervariasi dari infeksi progresif lambat hingga penyakit
fulminan akut, ini disebabkan oleh penyebaran hematogen atau limfogen dari
perkijuan yang terinfeksi ke dalam aliran darah dan mengenai banyak organ.3

2.2 ANATOMI DAN FISIOLOGI


Secara harfiah pernapasan berarti pergerakan oksigen dari atmosfer menuju
ke sel-sel dan keluarnya karbon dioksida dari sel-sel ke udara bebas. Proses
pernapasan terdiri dari beberapa langkah di mana sistem pernapasan, sistem saraf
pusat dan sistem kardiovaskuler memegang peranan yang sangat penting. Pada
dasarnya, sistem pernapasan terdiri dari suatu rangkaian saluran udara yang
menghantarkan udara luar agar bersentuhan dengan membran kapiler alveoli, yang
merupakan pemisah antara sistem pernapasan dengan sistem kardiovaskuler.8
Saluran penghantar udara hingga mencapai paru-paru adalah hidung, faring,
laring, trakea, bronkus, dan bronkiolus atau bronkiolus terminalis. Saluran
pernapasan dari hidung sampai bronkiolus dilapisi oleh membran mukosa yang
bersilia. Ketika udara masuk ke dalam rongga hidung, udara tersebut disaring,
dihangatkan dan dilembabkan. Ketiga proses ini merupakan fungsi utama dari
mukosa respirasi yang terdiri dari epitel toraks bertingkat, bersilia dan bersel
goblet.8

3
4

Setelah bronkiolus terminalis terdapat asinus yang merupakan unit fungsional


paru-paru, yaitu tempat pertukaran gas. Asinus terdiri dari:
1. bronkiolus respiratorius, yang terkadang memiliki kantung udara kecil
atau alveoli pada dindingnya
2. duktus alveolaris,seluruhnya dibatasi oleh alveoli
3. sakus alveolaris terminalis, merupakan struktur akhir paru-paru.
Alveolus pada hakekatnya merupakan suatu gelembung gas yang dikelilingi
oleh suatu jalinan kapiler, maka batas antara cairan dan gas membentuk suatu
tegangan permukaan yang cenderung mencegah suatu pengembangan pada waktu
inspirasi dan cenderung kolaps pada waktu ekspirasi. Tetapi, untunglah alveolus
dilapisi oleh zat lipoprotein yang dinamakan surfaktan, yang dapat mengurangi
tegangan permukaan dan mengurangi resistensi terhadap pengembangan pada
waktu inspirasi, dan mencegah kolaps alveolus pada waktu ekspirasi.8
Ruang alveolus dipisahkan dari interstisium paru oleh sel epitel alveoli tipe I,
yang dalam kondisi normal membentuk suatu barrier yang relatif non-permeabel
terhadap aliran cairan dari interstisium ke rongga-rongga udara. Fraksi yang besar
ruang interstisial dibentuk oleh kapiler paru yang dindingnya terdiri dari satu lapis
sel endotel di atas membran basal, sedang sisanya merupakan jaringan ikat yang
terdiri dari jalinan kolagen dan jaringan elastik, fibroblas, sel fagositik, dan
beberapa sel lain. Faktor penentu yang penting dalam pembentukan cairan
ekstravaskular adalah perbedaan tekanan hidrostatik dan onkotik dalam lumen
kapiler dan ruang interstisial, serta permeabilitas sel endotel terhadap air, solut, dan
molekul besar seperti protein plasma. Faktor-faktor penentu ini dijabarkan dalam
hukum starling. 8
5

Gambar 1. Anatomi Paru8

2.3 ETIOLOGI
Mycobacterium Tuberculosis adalah penyebab utama penyakit tuberkulosis
pada manusia, berupa basil tidak membentuk spora, tidak bergerak, panjang 2-4 nm.
Obligat aerob yang tumbuh dalam media kultur Loweinstein-Jensen, tumbuh baik
pada suhu 37-410C, dinding sel yang kaya lemak menyebabkan tahan terhadap efek
bakterisidal antibodi dan komplemen, tumbuh lambat dengan waktu generasi 12-24
jam.9

2.4 EPIDEMIOLOGI
Tuberkulosis (TB) masih menjadi masalah utama kesehatan di Indonesia, dan
sebagian besar negara-negara di dunia.10 Laporan TB dunia oleh WHO yang terbaru
(2006), masih menempatkan Indonesia sebagai penyumbang TB terbesar nomor 3
di dunia setelah India dan Cina dengan jumlah kasus baru sekitar 539.000 dan
jumlah kematian sekitar 101.000 pertahun. Survei Kesehatan Rumah Tangga
(SKRT) tahun 1995, menempatkan TB sebagai penyebab kematian ketiga terbesar
setelah penyakit kardiovaskuler dan penyakit saluran pernafasan, dan merupakan
nomor satu terbesar dalam kelompok penyakit infeksi.9 Baik di Indonesia maupun
di dunia, TB masih tetap menjadi problem kesehatan dunia yang utama. Walaupun
sudah lebih dari seabad sejak penyebabnya ditemukan oleh ilmuwan Jerman,
Robert Koch, pada tahun 1882, TB belum dapat diberantas bahkan terus
berkembang.8 Peningkatan jumlah kasus TB di berbagai tempat pada saat ini diduga
6

disebabkan oleh berbagai hal, yaitu (1) diagnosis yang tidak tepat, (2) pengobatan
yang tidak adekuat, (3) program penanggulangan tidak dilaksanakan dengan tepat,
(4) infeksi endemik human immuno-deficiency virus (HIV), (5) migrasi penduduk,
(6) mengobati sendiri (self treatment), (7) meningkatnya kemiskinan, dan (8)
pelayanan kesehatan yang kurang memadai.10,11
TB milier mirip dengan banyak penyakit, pada beberapa kasus, hampir 50%
kasus tidak dapat didiagnosis semasa hidup. Dari semua pasien TB, 1,5% di
perkirakan merupakan TB milier. Laporan dari Centers for Disease Control and
Prevention (CDC) Amerika Serikat, dari tahun 1996 menunjukkan bahwa 257
pasien (1,2%) dari 21.337 pasien TB adalah TB milier. Insiden TB milier lebih
tinggi pada orang Afrika Amerika di Amerika Serikat karena pengaruh faktor sosial
ekonomi, laki-laki lebih tinggi insidennya dari wanita. Pada beberapa kasus di
temukan bahwa kulit hitam lebih tinggi insidennya di bandingkan kulit putih
karena pengaruh sosial ekonomi.10

2.5 PATOGENESIS
Paru merupakan port d´entree lebih dari 98% kasus infeksi TB. Ukuran
kuman TB sangat kecil (<5µm), sehingga kuman yang terhirup dalam percik renik
(droplet nuclei) dapat mencapai alveolus. Sebagian kasus, kuman TB dapat
dihancurkan seluruhnya oleh mekanisme imunologis nonspesifik, sehingga
tidak terjadi respons imunologis spesifik, sedangkan sebagian kasus lainnya,
tidak seluruhnya dapat dihancurkan. Individu yang tidak dapat menghancurkan
seluruh kuman, makrofag alveolus akan memfagosit kuman TB yang sebagian
besar di hancurkan. Sebagian kecil kuman TB yang tidak dapat dihancurkan akan
terus berkembang biak dalam makrofag, dan akhirnya menyebabkan lisis
makrofag. Selanjutnya kuman TB membentuk lesi di tempat tersebut, yang di
namakan fokus primer Ghon. Penyebaran selanjutnya, kuman TB dari fokus primer
Ghon menyebar melalui saluran limfe menuju kelenjar limfe regional, yaitu
kelenjar limfe yang mempunyai saluran limfe ke lokasi fokus primer. Penyebaran
ini menyebabkan terjadinya inflamasi di saluran limfe (limfangitis) dan di
kelenjar limfe (limfadenitis) yang terkena. Gabungan antara fokus primer,
7

limfangitis, dan limfadenitis di namakan kompleks primer (primary complex).


Waktu yang di perlukan sejak masuknya kuman TB hingga terbentuknya kompleks
primer secara lengkap di sebut sebagai masa inkubasi. Masa inkubasi TB
berlangsung selama 2-12 minggu, biasanya berlangsung selama 4-8 minggu.
Selama masa inkubasi, sebelum terbentuknya imunitas selular, dapat terjadi
penyebaran limfogen dan hematogen. Penyebaran limfogen, kuman menyebar ke
kelenjar limfe regional membentuk kompleks primer, atau berlanjut menyebar
secara limfohematogen. Penyebaran hematogen secara langsung bisa juga
terjadi, yaitu kuman masuk ke dalam sirkulasi darah dan menyebar ke seluruh
tubuh.7,10
Pada TB milier penyebaran hematogen adalah penyebaran
hematogenik generalisata akut (acute generalized hematogenic spread) dengan
kuman yang besar. Kuman ini akan menyebar ke seluruh tubuh, dalam
perjalanannya di dalam pembuluh darah akan tersangkut di ujung kapiler, dan
membentuk tuberkel di tempat tersebut. Semua tuberkel yang di hasilkan melalui
cara ini akan mempunyai ukuran yang lebih kurang sama. Istilah milier berasal dari
gambaran lesi diseminata yang menyerupai butir padi-padian (millet seed). Secara
patologi anatomik, lesi ini berupa nodul kuning berukuran 1-3 mm , sedangkan
secara histologik merupakan granuloma. Tuberkulosis diseminata ini timbul dalam
waktu 2-6 bulan setelah terjadi infeksi. Timbulnya penyakit bergantung pada
jumlah dan virulensi kuman TB yang beredar serta frekuensi berulangnya
penyebaran. Tuberkulosis diseminata terjadi karena tidak adekuatnya sistem imun
pejamu (host) dalam mengatasi infeksi TB, misalnya pada anak dibawah 5 tahun
(balita) , terutama dibawah 2 tahun.11–13

2.6 MANIFESTASI KLINIS


1. Demam
2. Batuk / batuk darah
3. Sesak nafas
4. Nyeri dada
5. Malaise
8

Manifestasi klinis TB milier bermacam-macam, bergantung pada banyaknya


kuman dan jenis organ yang terkena. Gejala yang sering di jumpai adalah keluhan
kronik yang tidak khas, seperti TB pada umumnya, misalnya anoreksia dan BB
turun atau gagal tumbuh (dengan demam ringan atau tanpa demam), demam lama
dengan penyebab yang tidak jelas, serta batuk dan sesak nafas. TB milier juga dapat
di awali dengan serangan akut berupa demam tinggi yang sering hilang timbul
(remittent), pasien tampak sakit berat dalam beberapa hari, tetapi gejala dan
tanda respiratorik belum ada. Lebih kurang 50% pasien, limfadenopati superfisial,
splenomegali, dan hepatomegali akan terjadi dalam beberapa minggu.
Demam kemudian bertambah tinggi dan berlangsung terus-menerus/kontinu, tanpa
disertai gejala respiratorik atau disertai gejala minimal, dan foto toraks biasanya
masih normal. Gejala klinis biasanya timbul akibat gangguan pada paru, yaitu
gejala respiratorik seperti batuk dan sesak nafas di sertai ronki atau mengi.7,10
Anemia bisa terjadi baik akibat penyakit kronik ataupun defisiensi besi.
Anemia penyakit kronis sering bersamaan dengan anemia defisiensi besi dan
keduanya memberikan gambaran penurunan besi serum, namun TIBC (Total Iron
Binding Capacity) pada anemia defisiensi besi meningkat. Rendahnya besi pada
anemia penyakit kronis disebabkan aktifitas mobilisasi besi sistem
retikuloendotelial ke plasma menurun, sedangkan penurunan saturasi transferin
pada anemia defisiensi besi diakibatkan oleh degradasi transferin yang
meningkat.14
Kriteria diagnosis anemia defisiensi besi menurut WHO adalah:
 Kadar hemoglobin kurang dari normal sesuai usia,
 Konsentrasi hemoglobin eritrosit rata-rata <31% (nilai normal:32%-
35%),
 Kadar fe serum <50µg/dL (nilai normal:80-180µg/dL), dan
 Saturasi transferin <15% (nilai normal:20%-25%).
Cara lain untuk menentukan anemia defisiensi besi dapat juga dilakukan uji
percobaan pemberian preparat besi dosis 3-6 mg/kgBB/hari dalam 2-3 dosis selama
3-4 minggu terjadi peningkatan kadar hemoglobin 1-2 g/dL maka dapat dipastikan
bahwa penyebabnya adalah anemia defisiensi besi.15
9

Gejala lain yang dapat di temukan adalah kelainan kulit berupa tuberkuloid,
papula nekrotik, nodul, atau purpura. Tuberkel koroid di temukan pada 13-87%
pasien, dan jika ditemukan dini dapat menjadi tanda yang sangat spesifik dan sangat
membantu diagnosis TB milier, sehingga pada TB milier perlu di lakukan
funduskopi untuk menemukan tuberkel koroid.16
Lesi milier dapat terlihat pada foto thorak dalam waktu 2-3 minggu
setelah penyebaran kuman secara hematogen. Gambarannya sangat khas, yaitu
berupa tuberkel halus (millii) yang tersebar merata diseluruh lapangan paru, dengan
bentuk yang khas dan ukuran yang hampir seragam (1-3mm). Lesi-lesi kecil dapat
bergabung membentuk lesi yang lebih besar, kadang-kadang membentuk infiltrat
yang luas. Sekitar 1-2 minggu setelah timbulnya penyakit, pada foto thorak dapat
di lihat lesi yang tidak teratur seperti kepingan salju.7,17

2.7 DIAGNOSIS TUBERKULOSIS


2.7.1 Anamnesis
Pasien dengan TB milier biasanya mengeluhkan adanya demam
selama beberapa minggu, anoreksia, penurunan berat badan, malaise, dan
batuk. Beberapa pasien dengan TB milier juga biasanya mengeluh
menggigil dan keringat di malam hari. Sebuah “damp shadow” sign dapat
muncul berupa siluet pasien yang tergambarkan di kasur oleh karena
keringat di malam hari. Dikarenakan TB milier menyebar secara
limfohematogen, pasien TB milier dapat mengeluhkan gejala dan tanda
yang berhubungan dengan berbagai organ lainnya seperti batuk kering,
dispneu, hemoptisis, lesi kulit dan pembesaran limfonodi.18

2.7.2 Pemeriksaan Fisik


Pemeriksaan fisik pertama terhadap keadaan umum pasien mungkin
ditemukan sakit ringan sampai berat. Pasien biasanya terlihat kurus atau
berat badan menurun, demam, konjungtiva atau kulit pucat karena anemia.5
Diagnosis dari TB milier melalui pemeriksaan fisik cukup sulit
karena manifestasi klinisnya tidak spesifik. Tidak ada tanda dan gejala yang
10

patognomonik sebagai TB milier, namun klinisi dapat melihat tanda dan


gejala yang mungkin menandakan TB milier seperti limfadenopati perifer,
adanya lesi kulit, adanya hepatosplenomegali, adanya tanda iritasi
meningeal, adanya efusi pleura atau efusi perikardial, adanya asites, adanya
cold abscess, dan adanya tuberkel milier koroid pada pemeriksaan fundus.18

2.7.3 Pemeriksaan Laboratorium


Berikut adalah berbagai pemeriksaan laboratorium yang dapat
dilakukan pada pasien dengan tuberkulosis:
1. Pemeriksaan Hematologi
Pada pemeriksaan hematologi dapat ditemukan anemia, leukositosi,
netrofilia, limfositosis, monositosis, trombositosis, leukopenia,
limfopenia, trombositopenia, reaksi leukemoid, hemofagositosis,
peningkatan laju endap darah (LED), dan peningkatan C-reactive
protein (CRP).18
2. Pemeriksaan Biokimia
Pada pemeriksaan biokimiawi dapat ditemukan hiponatremia,
hipoalbuminia, hiperkalsemia, hipokalemia, hiperbilirubinemia,
peningkatan transminase serum, peningkatan serum alkalin
fosfatase, peningkatan serum feritin.18
3. Pemeriksaan Mikrobiologi
Pemeriksaan mikrobiologi yang dapat dilakukan adalah pengecetan
bakteri tahan asam. Pemeriksaan minimal dilakukan pada 3
spesimen. Jumlah minimal sputum yang diperlukan adalah 3ml,
namun optimalnya dibutuhkan volume 5-10 ml. Pada pasien suspek
TB paru, dapat dilakukan kultur bakteri. Kultur merupakan gold
standard dari tes mikrobiologi pada pasien TB.19
Pemeriksaan dahak berfungsi untuk menegakkan diagnosis, menilai
keberhasilan pengobatan dan menentukan potensi penularan.
Pemeriksaan dahak untuk penegakan diagnosis dilakukan dengan
11

mengumpulkan 3 spesimen dahak yang dikumpulkan dalam dua hari


kunjungan yang berurutan berupa Sewaktu-Pagi-Sewaktu (SPS),
 S (sewaktu): dahak dikumpulkan pada saat suspek TB datang
berkunjung pertama kali. Pada saat pulang, suspek membawa
sebuah pot dahak untuk mengumpulkan dahak pagi pada hari
kedua.
 P (Pagi): dahak dikumpulkan di rumah pada pagi hari kedua,
segera setelah bangun tidur. Pot dahak dibawa dan diserahkan
sendiri kepada petugas di Fasyankes.
 S (sewaktu): dahak dikumpulkan di Fasyankes pada hari kedua,
saat menyerahkan dahak pagi.
Pengambilan 3 spesimen dahak masih diutamakan dibanding
dengan 2 spesimen dahak mengingat masih belum optimalnya
fungsi sistem dan hasil jaminan mutu eksternal pemeriksaan
laboratorium.
Uji Kepekaan obat TB dapat dilakukan untuk mengetahui resistensi
M. tuberculosis terhadapt OAT.

2.7.4 Pemeriksaan Radiologi Konvensional


Pasien dengan gejala respiratorik baik suspek TB maupun non-TB
perlu dievaluasi menggunakan foto polos thoraks. Perlu digarisbawahi
meskipun foto polos thoraks bermanfaat untuk mendiagnosis TB, foto polos
thoraks sendiri tidak dapat dijadikan dasar diagnosis pasti dari TB.
Konfirmasi bakteriologi merupakan hal yang wajib untuk dilaksanakan.20
Berikut ini merupakan hasil pemeriksaan radiologi konvensional
pada pasien TB:
1. Foto Polos Thoraks TB Paru Primer Aktif
TB paru primer aktif merupakan penyakit pada bayi atau dewasa
muda yang tidak terpapar oleh Mycobacterium TB. TB paru primer
aktif dapat bermanifestasi sebagai konsolidasi pneumonik (opasitas
padat homogen atau bercak pada lobus medius dan lobus inferior
12

dengan atau tanpa limfadenopati hilar yang disebut Ghon complex.


Gambaran radiologik lain dari TB primer aktif adalah opasitas
miliaria atau efusi pleura atau edem paru (Kerely B Line).21
Gambaran klasik dari TB paru aktif adalah kavitas multipel pada
lobus superior. Meskipun gambaran ini khas pada TB, riwayat
penyakit akut seperti batuk dan demam tinggi 5 hari sebelumnya
mungkin disebabkan oleh infeksi bakteri aerob seperti
Staphylococcus sp. atau pneumonia gram negatif. Pemeriksaan foto
polos thoraks harus selalu diinterpretasikan seseuai dengan
gambaran klinisnya.22

Gambar 2. Gambaran klasik pasien TB paru aktif22

Tuberkulosis Paru pada Pediatri


TB Paru pada bayi biasanya merupakan TB primer. Infeksi primer
dimulai dari deposisi droplet yang terinfeksi ke alveoli paru, diikuti
oleh inflamasi parenkim. Inflamasi ini menyebabkan konsolidasi
alveolar lokal yang merupakan fokus primer. Kondisi ini, meskipun
jarang, bisa meluas ke segmen maupun seluruh lobus dan biasanya
tidak terlihat pada foto polos thoraks. Infeksi kemudian menyebar ke
limfonodi sentral melalui jalur limfogen, dan menyebabkan
13

limfadenopati regional. Fokus primer dan pembesaran limfonodi ini


kemudian disebut Kompleks Ranke. Dengan progresifitas
penyakitnya, nodul yang terinfeksi dapat berperforasi ke bronkus
dan material kaseosa masuk ke bronkial, menyebabkan tuberkulosis
bronkogenik dan pneumonia fokal maupun lobar.23

Gambar 3. Bayi laki-laki usia 3 bulan dengan tuberkulosis


diseminasi akut. Foto polos thoraks menunjukkan diseminasi nodul
multipel dengan distribusi acak di kedua paru.23

2. Foto Polos Thoraks TB Paru Inaktif


Ada banyak gambaran pada foto polos thoraks pada pasien TB
inaktif seperti fibrosis, kalsifikasi persisten (Ghon’s Focus), dan
tuberkuloma (persistent mass like opacities). Ghon’s focus
merupakan lesi granulomatosa TB yang tampak pada bagian
superior lobus inferior atau bagian inferior lobus superior,
sedangkan ghon’s complex merupakan ghon’s focus yang ditambah
dengan limfadenopati hiler.21
14

Gambar 4. Gambaran bercak pada superomedial hemithoraks


kanan disertai fibrotic shadow dan limfadenopati hiler21

3. Foto Polos Thoraks TB Sekunder atau TB Reaktivasi


TB sekunder atau TB reaktivasi merupakan penyakit pada pasien
dewasa yang pernah terpapar Mycobacterium TB dalam kurun waktu
2 tahun terakhir di mana imunitas pasien memburuk. Temuan foto
polos thoraks pasien TB sekunder adalah konsolidasi yang tidak
jelas dengan kavitasi atau densitas fibroproliferatif pada segmen
posterior lobur superior atau segmen superior lobus inferior yang
menyebar ke endobrakial.21

Gambar 5. Gambaran lesi fibroproliferatif pada lobus superior


kanan pada pasien TB sekunder21
15

4. Foto Polos Thoraks TB Milier


Penyebaran hematogen dari bakteri tuberkulosis dapat
menyebabkan tuberkulosis milier, terutama pada pasien
imunokompromis dan pediatri. TB milier dapat muncul pada TB
primer maupun sekunder. Pada foto polos thoraks atau gambaran CT,
TB milier bermanifestasi sebagai nodul 1-3 mm difus yang
berdistribusi acak.24

Gambar 6. Tuberkulosis milier

2.8 DIFERENSIAL DIAGNOSIS


2.8.1 Diferensial Diagnosis Tuberkulosis
Diagnosis TB paru pada orang dewasa dapat ditegakkan dengan
ditemukannya kuman TB. Pada program TB nasional, penemuan BTA
melalui pemeriksaan dahak mikroskopis merupakan diagnosis utama.
Pemeriksaan lain seperti foto toraks, biakan dan uji kepekaan dapat
digunakan sebagai penunjang diagnosis sepanjang sesuai dengan
indikasinya. Diferensial diagnosis dari TB paru adalah pneumonia, kanker
paru, Nontuberculous mycobacteria (NTM), infeksi jamur, dan
sarkoidosis.7
16

2.8.2 Diferensial Diagnosis Tuberkulosis Milier


Diferensial diagnosis dari pola milier pada radiografi toraks adalah
TB milier, histoplasmosis, sarkoidosis, pneumoconiosis, karsinoma
bronkoalveolaris, siderosis pulmo, dan metastasis dari kanker tiroid, ginjal,
trofoblas, dan sarkoma.25

2.9 TATALAKSANA TUBERKULOSIS


2.9.1 Obat Anti Tuberkulosis (OAT)
Obat Anti Tuberkulosis (OAT) secara singkat akan dijelaskan pada
tabel berikut:7
17

2.9.2 Tatalaksana Tuberkulosis secara Umum


Panduan obat anti tuberkulosis (OAT) yang digunakan oleh Program
Nasonal Pengendalian Tuberkulosis di Indonesia:7
 Kategori 1 : 2(HRZE)/4(HR)3.
 Kategori 2 : 2(HRZE)S/(HRZE)/5(HR)3E3.
Disamping kedua kategori ini, disediakan paduan obat sisipan (HRZE)
 Kategori Anak : 2HRZ/4HR
 Obat yang digunakan dalam tatalaksana pasien TB resistan obat di
Indonesia terdiri dari OAT lini ke-2 yaitu Kanamycin, Capreomisin,
Levofloksasin, Ethionamide, sikloserin dan PAS, serta OAT lini-1, yaitu
pirazinamid and etambutol.
 Paduan OAT kategori-1 dan kategori-2 disediakan dalam bentuk paket
berupa obat kombinasi dosis tetap (OAT-KDT). Tablet OAT KDT ini
terdiri dari kombinasi 2 atau 4 jenis obat dalam satu tablet. Dosisnya
disesuaikan dengan berat badan pasien. Paduan ini dikemas dalam satu
paket untuk satu pasien.

2.9.3 Tatalaksana Tuberkulosis Milier


Berdasarkan Pedoman Diagnosis dan Penatalaksanaan Tuberkulosis
di Indonesia, berikut adalah penatalaksanaan kasus TB milier:
1. Rawat inap
2. Panduan Obat: 2RHZE/4 RH
3. Pada keadaan khusus (sakit berat), tergantung keadaan klinik, radiologik
dan evaluasi pengobatan , maka pengobatan lanjutan dapat diperpanjang
sampai dengan 7 bulan 2RHZE/ 7 RH
4. Pemberian kortikosteroid tidak rutin, hanya diberikan pada keadaan:
a. Tanda/gejala meningitis
b. Sesak napas
c. Tanda/gejala toksik
d. Demam tinggi
5. Kortikosteroid: prednison 30-40 mg/hari, dosis diturunkan 5-10 mg
setiap 5-7 hari, lama pemberian 4-6 minggu.6
BAB III
LAPORAN KASUS

3.1 IDENTITAS PENDERITA


Nama : Ny. K
Umur : 57 tahun
Jenis kelamin : Perempuan
Alamat : Sarang Meduro
Agama : Islam
Pendidikan : Tamatan SMTA
Pekerjaan : Ibu rumah tangga
Masuk RSDK : 19 Maret 2019
No. CM : C744678

3.2 DATA DASAR


3.2.1 Anamnesis
Keluhan Utama :

Riwayat Penyakit Sekarang :


± 2 tahun lalu pasien mengalami nyeri pinggang kanan yang bersifat
menetap. Nyeri dirasakan pada saat kurang minum dan membaik jika
meminum banyak air serta obat anti nyeri. Nyeri mengganggu aktivitas dan
timbul 2-3 kali dalam sehari. Nyeri dirasakan saat duduk ketika ingin berdiri.
Air kencing berwarna kuning, saat kencing nyeri (+). darah (-), pasir (-),
batu (-), busa (-), menetes (-). Frekuensi kencing 5-10 kali dalam sehari.
Mual(-), muntah (-), demam(-). Riwayat minum kopi sejak 20 tahun lalu
dan minum obat anti nyeri yang dibeli di warung, pasien juga jarang minum
air putih. Sebelumnya pasien diperiksa di RS Rembang dan dirujuk ke
RSUP Kariadi. Pada pemeriksaan Laboratorim kadar ureum dan kreatinin
tinggi. Pemeriksaan menggunakan pencitraan diketahui bahwa terdapat batu
di ginjal.

18
19

Riwayat Penyakit Dahulu :


 Riwayat menderita penyakit disangkal
 Riwayat trauma sebelumnya disangkal
 Riwayat operasi sebelumnya disangkal
 Riwayat alergi disangkal

Riwayat Penyakit Keluarga :


 Adik pasien mengalami kram pada punggungnya

Riwayat Sosial Ekonomi :


Pasien merupakan ibu rumah tangga. Pasien tinggal bersama suaminya,
memiliki 7 orang anak. Pembiayaan menggunakan JKN PBI. Kesan sosial
ekonomi kurang.

3.2.2 Pemeriksaan Fisik


Keadaan umum : Tampak kesakitan
Kesadaran : Composmentis, GCS = 15 (E4M6V5)
Tanda-tanda vital :
Tekanan darah : 120/80 mmHg
Nadi : 98x/menit, reguler, isi dan tegangan cukup
Frekuensi napas : 22x/menit
Suhu : 370 C (aksiler)
SpO2 : 98%
Kepala : Mesosefal
Kulit : Pucat (-), ikterik (-), turgor kulit baik
Mata : Konjungtiva palpebra pucat (-/-), sklera ikterik (-/-)
Telinga : Discharge (-/-), bengkak (-), fistula (-)
Hidung : Discharge (-/-), epistaksis (-/-), nafas cuping hidung (-)
Mulut : Bibir pucat (-), mukosa kering (-), sianosis (-), pursed lip
breathing (-)
20

Leher : JVP R+0, deviasi trakea (-), pembesaran kelenjar getah


bening (-/-), pembesaran kelenjar tiroid (-)
Axilla : Pembesaran kelenjar getah bening (-/-)

Thoraks
Dada : Bentuk normal, retraksi suprasternal (-), retraksi intercostal
(-), retraksi epigastrial (-), hipertrofi m. Sterno-
cleidomastoideus (-)
Paru
Inspeksi : Simetris saat statis dan dinamis
Palpasi : Stem fremitus kanan sama dengan kiri
Perkusi : Sonor seluruh lapangan paru
Auskultasi : Suara dasar vesikuler di kedua lapangan paru, suara
wheezing (-/-)
Jantung
Inspeksi : Iktus kordis tidak tampak
Palpasi : Iktus kordis teraba di SIC V, 2 cm medial linea
midclavicula sinistra, kuat angkat (-), thrill (-), strernal lift
(-), pulsasi epigastrial (-), pulsasi parasternal (-)
Perkusi : Batas atas : SIC II linea parasternal sinistra
Batas kiri : SIC V 2 cm medial linea midclavicula
sinistra
Batas kanan : Linea parasternal dekstra
Pinggang jantung cekung
Auskultasi : Bunyi jantung I-II murni, bising (-), gallop (-)

Abdomen
Inspeksi : Datar, venektasi (-)
Auskultasi : Bising usus (+) normal
21

Palpasi : Nyeri di pinggang kanan (+), hepar dan lien tidak teraba,
massa (-), defans muskuler (-), nyeri tekan flank (+), nyeri ketok flank (+)
Murphy sign tekan (-).
Perkusi : Timpani
Suprapubik :VU: I: datar
Pa: distensi (-), licin (-), bulat (-)
Per: tympani
Aus:-

Inguinal : Pembesaran kelenjar getah bening (-/-)

Ekstremitas : Superior Inferior


Edem -/- -/-
Akral dingin -/- -/-
Sianosis -/- -/-
CRT <2”/<2” <2”/<2”

3.2.3 Pemeriksaan Penunjang


1. Pemeriksaan Gene Expert (14 Februari 2019)

Assay Assay Version Assay Type


Xpert MTB-Rif Assay 6 In vitro diagnostic
G4
Result : MTB detected low, Rif resistance not detected

2. Pemeriksaan Laboratorium Darah (12 Maret 2019 di RS Rembang)

PEMERIKSAAN HASIL SATUAN NILAI NORMAL KET


Hematologi
Hb 12,1 g/dL 13-16
Ht 35,7 % 40-54 L
Eritrosit 4,4 106/uL 4,4-5,9
22

MCH 27,7 pg 27-32


MCV 81,1 fL 76-96
MCHC 34,2 g/dL 29-36
Leukosit 10,33 103/uL 3,8-10,6
Trombosit 243 103/uL 150-400
RDW 12,8 % 11,6-14,8
MPV 9 fL 4-11
Kimia Klinik
Glukosa sewaktu 160 mg/dL 80-160
Ureum 19 mg/dL 15-39
Kreatinin 1,2 mg/dL 0,6-1,3

3. Pemeriksaan Foto BNO-IVP (20 Maret 2019 di RSDK)


23

X-FOTO POLOS
- Preperitoneal fat line kanan kiri tampak baik
- Psosasline kanan kiri dan kontur kedua ginjal tampak baik
- Tampak opasitas bentuk staghorn pada herniabdomen kanan
setinggi corpus lumbal 2-3 (ukuran  3 x 3,5 cm)
- Distribusi udara usus normal
- Tak tampak distensi mauoun dilatasi usus
- Tak tampak free air

X-FOTO IVP

Ginjal kanan :Tampak peningkatan densitas kontur ginjal pada menit ke 5.


Kontras tak mengisi PCS sampai dengan menit ke-90. PCS
tidak dapat dievaluasi
24

Ginjal kiri : Bentuk, letak dan axis normal. Kontras tampak mengisi
PCS pada menit ke-5. PCS tak melebar, kaliks minor bentuk
cupping. Tak tampak filling defect
Ureter kanan : Tak dapat dinilai (sampai menit ke-90 tidak terisi kontras)
Ureter kiri : Tak tampka melebar. Tak tampak bendungan
Vesika Urinaria : Dinding regular. Tak tampak indentasi, filling defect,
maupun additional shadow
Post miksi : Masih tampak sisa kontras pada PCS kiri, ureter kanan kiri,
dan vesika urinary

KESAN
-Nefrolithiasis kanan bentuk staghorn (ukuran  x 3,35 cm)
-Penurunan fungsi ginjal kanan
-Fungsi ekskresi ginjal kiri baik

3.3 DIAGNOSIS
Nefrolithiasis dekstra

3.4 TERAPI

3.5 EDUKASI
 Menjelaskan kepada pasien dan keluarga tentang kemungkinan penyakit
yang dideritanya dan kemungkinan komplikasi yang mungkin terjadi
 Menjelaskan kepada keluarga dan pasien tentang pemeriksaan penunjang
yang digunakan.
BAB IV
PEMBAHASAN

Pasien Tn. L (47 tahun) datang dengan keluhan batuk berdahak disertai
sesak napas dan demam disertai keluar keringat pada malam hari sejak ± 3 minggu
yang lalu. Pasien juga mengeluhkan mual dan muntah isi makanan, penurunan
nafsu makan, serta penurunan berat badan hingga 3 kg. Pasien kemudian
memeriksakan diri ke RSDK dan menjalani pemeriksaan Gene Xpert pada 14
Februari 2019 dan didiagnosis menderita TB MDR. Kemudian pasien datang lagi
RSDK dan dilakukan pemeriksaan radiologis berupa X foto thoraks pada tanggal
21 Februari 2019.
Berdasarkan anamnesis dan pemeriksaan fisik, gejala dan tanda yang
didapatkan pada pasien mengarah kepada kecurigaan pasien menderita tuberkulosis,
di mana gejala khas pada penderita TB adalah batuk lama (lebih dari 2 minggu),
demam mengginggil dan keringat pada malam hari, dan kadang disertai penurunan
nafsu makan dan berat badan. Selain itu kecurigaan juga diperkuat dengan adanya
riwayat istri pasien yang menderita TB dan mendapat pengobatan selama 6 bulan,
sehingga ada kemungkinan pasien tertular oleh istri.
Berdasarkan pemeriksaan penunjang berupa Gene Xpert, didapatkan hasil
MTB detected low dan Rif resistence not detected. Sedangkan dari pemeriksaan X
foto thoraks tampak bentuk dan letak jantung normal, corakan vaskuler tampak
meningkat, dan bercak milier diffuse pada lapangan paru kanan dan kiri sehingga
didapatkan kesan gambaran TB milier. Gambaran bercak milier ini biasanya
berukuran 1-3 mm dan berukuran seragam serta tersebar merata di seluruh lapangan
paru. Hal ini disebabkan karena pada daerah infeksi akan dikelilingi oleh makrofag
dan terbentuk granuloma. Dari pemeriksaan radiologis tidak tampak adanya efusi
pleura yang ditandai dengan sinus kostofrenikus kanan dan kiri lancip serta tidak
ada kardiomegali.
Dari hasil anamnesis, pemeriksaan fisik, dan didukung oleh pemeriksaan
penunjang, maka pasien dapat didiagnosis menderita TB milier.

25
26

Pada pasien ini diberikan terapi berupa obat anti tuberkulosis (OAT) berupa
kombinasi dosis tetap (KDT) sebanyak 3 tablet per hari sesuai dengan panduan
tatalaksana TB yang disarankan oleh WHO. Obat ini berisi rifampisin, isoniazid,
pirazinamid, dan ethambutol. Pemberian obat ini diiringi suplementasi vitamin B6
untuk mengurangi efek samping komposisi OAT yaitu isoniazid yang dapat
menyebabkan neuritis perifer. Pasien juga mendapatkan terapi berupa oksigen nasal
kanul 3 lpm untuk memenuhi kebutuhan oksigen pasien yang mengalami sesak
napas. Pasien diberi injeksi metoclopramide untuk mengurangi keluhan mual dan
muntah. Selain itu pasien diberi n-asetyl sistein dan nebul kombinasi combivent dan
bisolvon yang berfungsi untuk mengencerkan dan memudahkan pengeluaran dahak.
Paracetamol juga diberikan kepada pasien untuk mengurangi gejala demam yang
dialami.
BAB V
SIMPULAN

Tuberkulosis milier adalah jenis tuberkulosis yang ditandai dengan


penyebaran luas ke dalam tubuh manusia dengan lesi ukuran kecil (1-5 mm),
disebabkan oleh penyebaran hematogen atau limfogen dari perkijuan yang
terinfeksi ke dalam aliran darah dan mengenai banyak organ. Keluhan yang
dijumpai pada pasien adalah adanya batuk yang semakin lama semakin memberat
disertai dengan sesak nafas, demam yang terus menerus dan tak kunjung sembuh
walaupun dengan pemberian paracetamol, keluar keringat pada malam hari, nafsu
makan menurun, dan penurunan berat badan, serta lemas. Diagnosis TB milier
dapat ditegakkan berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan
penunjang seperti pemeriksaan sputum BTA dan pemeriksaan radiologi berupa x-
foto toraks. Pemeriksaan X-foto toraks tampak corakan vaskuler tampak meningkat
dan bercak milier difus pada lapangan paru kanan kiri sehingga didapatkan kesan
gambaran TB milier.
Terapi yang diberikan berupa obat anti tuberkulosis (OAT) yaitu kombinasi
dosis tetap (KDT) sebanyak 3 tablet per hari. Obat ini berisi rifampisin, isoniazid,
pirazinamid, dan ethambutol. Pemberian obat ini diiringi suplementasi vitamin B6
untuk mengurangi efek samping OAT. Terapi simtomatik yang diberikan berupa
oksigen nasal kanul 3 lpm untuk mengurangi keluhan sesak napas, injeksi
metoclopramide untuk mengurangi keluhan mual dan muntah, n-asetyl sistein dan
nebul kombinasi combivent dan bisolvon yang berfungsi untuk mengencerkan dan
memudahkan pengeluaran dahak, paracetamol untuk mengurangi gejala demam
yang dialami. Edukasi dan konseling mengenai penyakit pasien yang bersifat
mudah menular sehingga pasien harus dirawat di ruang isolasi dan meminum obat
secara teratur sesuai anjuran dokter diperlukan untuk mencegah penularan dan
mendukung kesembuhan bagi pasien.

27
DAFTAR PUSTAKA

1. World Health Organization. Global Tuberculosis Report 2018. Geneva:


World Health Organization; 2018. 27, 243 p.
2. Kementrian Kesehatan RI. Profil Kesehatan Indonesia Tahun 2017. Jakarta:
Kementerian Kesehatan Republik Indonesia; 2018.
3. Kumar V, Abbas A, Fausto N, Aster J. Paru dan Saluran Nafas Atas. In: Buku
Ajar Patologi Robbins. 7th ed. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC;
2015. p. 1464.
4. Majdawati A. Uji Diagnostik Gambaran Lesi Foto Thorax pada Penderita
dengan Klinis Tuberkulosis Paru. Mutiara Med. 2010;10(2):180–8.
5. Bahar A, Amin Z. Tuberkulosis Paru. In: Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam
Jilid I. VI. Jakarta: Interna Publishing; 2015. p. 863–73.
6. Perhimpunan Dokter Paru Indonesia. Pedoman Diagnosis dan
Penatalaksanaan Tuberkulosis di Indonesia.
7. Kementerian Kesehatan Republik Indonesia. Pedoman Nasional
Pengendalian Tuberkulosis. 2011.
8. McPhee SJ, Ganong WF. Patofisiologi Penyakit: Pengantar Menuju
Kedokteran Klinis. Jakarta: EGC; 2007.
9. Maltezau H, Spyridis P, Kafetzis D. Extra-Pulmonary Tuberculosis in
Children. Arch Dis Child. 2000;
10. Kartasasmita C, Basir D. Tuberculosis. In: Buku Ajar Respirologi. 1st ed.
Jakarta: IDAI; 2008. p. 162–261.
11. Gie R. DIAGNOSTIC ATLAS OF INTRATHORACIC TUBERCULOSIS
IN CHILDREN A Guide For Low Income Countries. International Union
Against Tuberculosis and Lung Disease. 2003.
12. Grossman M. Tuberculosis. In: Rudolph A, Hoffman J, Rudolph C, editors.
Buku Ajar Pediatri Rudolph. 20th ed. Jakarta: EGC; 1997. p. 687–97.
13. Schlesinger L. Phagocytosis and toll-like receptors in tuberculosis. In:
Pulmonary pathophysiology. 5th ed. 2004.

28
29

14. Barreto ML, Cunha SS, Pereira SM, Genser B, Hijjar MA, Ichihara MY, et
al. Neonatal BCG protection against tuberculosis lasts for 20 years in Brazil.
Int J Tuberc Lung Dis. 2005;
15. Gunadi D, Lubis B, Rosdiana N. Terapi dan Suplementasi Besi pada Anak.
Sari Pediatr. 2017;
16. Ardiana D, Wuryaningrum W, Widjaja E. Skrofuloderma pada Dada. In:
Pertemuan Berkala Ilmu Penyakit Kulit & Kelamin XIV. Surabaya; 2002.
17. Palomino JC, Leão SC, Ritacco V. Tuberculosis 2007: From Basic Science
To Patient Care. TuberculosisTextbook.com. 2007.
18. Sharma SK, Mohan A, Sharma A. Challenges in the diagnosis & treatment
of miliary tuberculosis. Indian Journal of Medical Research. 2012.
19. Lewinsohn DM, Leonard MK, Lobue PA, Cohn DL, Daley CL, Desmond E,
et al. Official American thoracic society/Infectious diseases society of
America/Centers for disease control and prevention clinical practice
guidelines: diagnosis of tuberculosis in adults and children. Clin Infect Dis.
2017;
20. World Health Organisation. CHEST RADIOGRAPHY IN
TUBERCULOSIS. WHO Library Cataloguing-in-Publication Data. 2016.
21. Basem Abbas Al U. The Radiological Diagnosis of Pulmonary Tuberculosis
(TB) in Primary Care. J Fam Med Dis Prev. 2018;4(1):1–7.
22. Pai M, Rabinovitch B. Interpretation of Chest X-rays in Tuberculosis. Let’s
Talk TB. 2018;3.
23. Kim WS, Choi J-I, Cheon J-E, Kim I-O, Yeon KM, Lee HJ. Pulmonary
Tuberculosis in Infants: Radiographic and CT Findings. Am J Roentgenol
[Internet]. 2006 Oct 1;187(4):1024–33. Available from:
https://doi.org/10.2214/AJR.04.0751
24. Nachiappan A, Rahbar K, Shi X, Guy E, Mortani Barbosa E, Shroff G, et al.
Pulmonary Tuberculosis: Role of Radiology in Diagnosis and Management.
RadioGraphics. 2017;
25. Furqan M, Butler J. Miliary Pattern on Chest Radiography: TB or not TB?
Mayo Clin Proc. 2010;
30

Anda mungkin juga menyukai