Anda di halaman 1dari 4

KASUS LIKUIDASI PERTAMINA ENERGY TRADING LIMITED

(MENGELIMINASI RUANG BAGI MAFIA MIGAS)

Petral merupakan salah satu anak perusahaan PT Pertamina (persero) yang didirikan pada
tahun 1969 oleh Pertamina dan Interest Group di Amerika Serikat, dengan dua anak
perusahaan Perta Oil Marketing Corporatiom Ltd (POML), perusahaan Bahama berkantor di
Hong Kong, dan Petra Oil Marketing Corp (berbasis di California, AS). Petra yang berdiri di
Bahama inilah Perta versi Indonesia. Pada tahun 1978 POML yang berbasis di Bahama
digantikan dengan perusahaan yang berbasis di Hongkong. Pada tahun ini juga permainan rezim
Soeharto di tubuh Petra Group dimulai. BUMN hanya menguasai 40% saham Petral semantara
sisanya dimiliki Tommy Soeharto 20 persen, Bob Hasan 20 persen, dan sisanya Yayasan
Karyawan Pertamina. Kemudian pada tahun 1992, Petra Group mendirikan anak perusahaan
berbadan hukum dan berkedudukan di Singapura (Pertamina Energy Service Pte Limited-PES).
PES berperan melakukan perdagangan minyak mentah, produk minyak, dan petrokimia. Pada
tahun 1998 saat jatuhnya rezim orde baru, saham Perta Group diambil alih seluruhnya oleh
Pertamina. Tiga tahun setelahnya, Perta Group berubah nama menjadi Pertamina Energy Trading
Limited (Petral), yang berperan sebagai trading and marketing arm Pertamina di pasar
Internasional.

PERMASALAHAN

Keberadaan Pertamina Energy Trading Ltd. (Petral) dalam pengadaan bahan bakar
minyak (BBM) menjadi sumber kontroversi dan kecurigaan terkait praktik perburuan rente.
Sejak Indonesia menjadi negara pengimpor minyak, reputasi Petral erat dengan praktik-praktik
yang tidak sehat dalam pengadaan BBM dan minyak mentah. Petral menjadikan para pemburu
rente alias mafia leluasa mencari keuntungan melalui impor BBM dengan mekanisme yang tidak
sesuai prinsip berkeadilan, sekaligus mencampuri kebijakan sehingga berdampak pada
terhambatnya pembangunan. Disinyalir akibat campur tangan mafia, Negara tak berdaya dalam
mengambil keputusan strategis pembangunan yang seharusnya dilakukan, seperti pembangunan
kilang di dalam negeri untuk mengurangi impor, pemanfaatan energi terbarukan untuk
mengurangi pemakaian BBM dan pengendalian/pengalihan subsidi BBM agar lebih tepat
sasaran.

ANALISA PERMASALAHAN

Likuidasi Pertamina Energy Trading Ltd atau yang disebut Petral hampir selalu
dihubung-hubungkan dengan pemberantasan mafia migas. Anggapan tersebut sangat
disayangkan karena bagaimanapun juga likuidasi Petral justru dapat berpotensi
memunculkan trader nakal lainnya atau dengan kata lain mafia migas baru dalam pengadaan
kebutuhan bahan bakar minyak di Indonesia. Selain itu, likuidasi Petral cukup sering dikaitkan
dengan hasil kinerja Tim Reformasi Tata Kelola Migas yang baru saja berhenti masa kerjanya.
Padahal, dalam 26 rekomendasi Tim Reformasi Tata Kelola Migas, tidak ada satu pun
rekomendasi yang menyatakan bahwa Petral harus dibubarkan. Kebijakan likuidasi Petral ini pun
menjadi sedikit janggal.

Dengan dialihkannya pengadaan bahan bakar minyak Indonesia, khususnya yang berasal
dari impor pada Integrated Supply Chain (ISC),kita telah menghemat 2 hingga 3 mata rantai
pengadaan minyak. Penghematan ini menyebabkan menurunnya biaya pengadaan minyak
sebesar 30 sampai 40 sen Dollar AS per barel danbiaya letter of credit (LC) sekitar 2 sampai 3
sen Dollar AS per barel. Dengan asumsi kurs rupiah Rp13.000,00 per Dollar AS dan kebutuhan
minyak mentah dan BBM yang berasal dari impor sekitar 300 juta barel per tahun, likuidasi
Petral dan pengalihan peran petral ke ISC bisa menghemat biaya pengadaan minyak mentah dan
BBM sekitar 2,6 hingga 3 triliun rupiah per tahun. Namun, hitung-hitungan di atas tidak akan
berarti apa-apa apabila tidak ada parameter keberhasilan dari kebijakan tersebut. Kebijakan ini
memang bisa dikatakan akan memberikan dampak positif, tetapi bisa saja malah sebaliknya, atau
bahkan tidak memberikan dampak apapun. Oleh karena itu, perlu ada parameter yang jelas dan
terukur dari kebijakan tersebut untuk mengoptimalkan potensi penghematan tersebut.

Parameter yang paling diperlukan tentunya adalah sejauh mana efisiensi dalam
pengadaan minyak mentah dan BBM yang telah dihasilkan. Hal ini dapat tercermin dalam BBM
dalam negeri menjadi lebih murah, meskipun secara tidak langsung. Jika kita berasumsi harga
minyak dunia cenderung rendah seperti saat ini dan hasil efisiensi pengadaan minyak mentah dan
BBM tercapai, sedangkan faktor lain tetap, harga BBM yang murah di dalam negeri bukanlah
sebuah keniscayaan. Terdapat hal lain yang dapat dilakukan oleh pemerintah selain dari
menurunkan harga BBM di dalam negeri, yaitu mengurangi subsidi BBM dalam APBN sehingga
membuka peluang fiscal spacemenjadi lebih besar. Anggaran subsidi BBM yang telah dihemat
pun bisa dialihkan pada pembangunan infrastruktur seperti yang telah menjadi prioritas utama
pemerintah saat ini. Sebaliknya, jika pemerintah terlena dengan pujian masyarakat atas kebijakan
ini, bukan tidak mungkin malah muncul permasalahan baru dalam rantai pengadaan minyak
mentah dan BBM di Indonesia. Parameter selanjutnya adalah perbaikan kinerja keuangan
Pertamina. Seperti yang telah dijelaskan di atas, penglikuidasian Petral memiliki potensi
penghematan biaya pengadaan minyak mentah dan BBM di Indonesia. Dengan begitu, Pertamina
diharapkan dapat membiayai kegiatan operasionalnya dengan lebih baik.

Kebijakan ini berpotensi pula terhadap mudahnya proses pengauditan dalam hal
transparansi dan akuntabilitas proses pengadaan minyak dan BBM di Indonesia. Karena proses
pengadaan minyak mentah dan BBM sudah ditangani oleh ISC, BPK dan BPKP bisa dengan
mudah mengaudit proses tersebut. Berbeda dengan ISC, Petral yang berada di Singapura dalam
proses pengauditannya terdapat kendala yaitu regulasi dari negara yang bersangkutan. Karena
ISC berada di Indonesia, kendala tersebut diharapkan tidak dialami lagi sehingga proses
pengauditan pengadaan minyak mentah dan BBM dapat lebih transparan.

Pada dasarnya, kebijakan Pemerintah ini didasari dengan harapan bahwa mata rantai
distribusi minyak dapat menjadi lebih pendek dan efisien. Agen supply chain, dalam hal ini ISC
diwajibkan untuk mampu menekan biaya dan meningkatkan nilai dari suatu produk yang
didistribusikan. Sehingga kehadiran ISC dengan wewenang yang lebih besar pun ada benarnya,
ISC mampu memangkas biaya impor minyak hingga 22 juta dollar serta dengan
jangkauan trading yang lebih luas membuat ISC mampu menekan cost yang timbul dalam proses
lelang. Selain itu, terkait dengan kinerja keuangan perusahaan, pemerintah pun mendapat
kewenangan yang lebih besar untuk melakukan pengauditan melalui BPK dan BPKP. Namun
demikian, pemerintah perlu lebih waspada akan potensi mafia migas baru dalam pengadaan
kebutuhan bahan bakar minyak di Indonesia. Melihat analisis cost and banefit dari kebijakan
pembubaran petral, dapat dikatakan bahwa kebijakan ini merupakan opsi terbaik dalam hal
penyederhanaan supply chain dan penghematan biaya impor minyak. Namun, diperlukan adanya
parameter-parameter yang jelas dan measurable untuk meningkatkan potensi peningkatan
efisiensi nilai impor serta kinerja perusahaan itu sendiri.

Anda mungkin juga menyukai