Anda di halaman 1dari 4

Filosofi IKET dalam Budaya Sunda

OPINI | 09 November 2011 | 00:08 123 25 4 dari 8 Kompasianer menilai bermanfaat

Pernah menyaksikan pagelaran wayang golek dalam budaya sunda?


Didalamnya selalu dihiasi dengan kejenakaan 3 tokoh punakawan. Sebutlah cepot, dawala dan
gareng. Cepot merupakan tokoh yang paling terkenal diantara ketiganya. Dan merupakan ciri
khas dari Cepot adalah kulit berwarna merah, gigi tonggos dan tak lupa selalu menggunakan
tutup kepala yang disebut sebagai iket.

Iket dalam budaya sunda memiliki filosofi tersendiri, disebut Makutawangsa :

sing saha bae anu make iket ieu, maka dirina kudu ngalakonkeun PANCADHARMA.
artinya : barang siapa yang menggunakan iket ini, harus menjalankan PANCADHARMA

Hukum PANCADHARMA :

1. Apal jeung hormat ka PURWADAKSI DIRI (Menyadari dan menghormat kepada asal
usul diri).

2. Tunduk kana HUKUM jeung ATURAN (Tunduk akan hukum dan tata tertib/aturan).

3. Berilmu (DILARANG BODOH..!)

4. Mengagungkan SANG HYANG TUNGGAL (Sang pencipta, Tuhan).

5. Berbakti kepada BANGSA dan NEGARA.


Filosofi iket sunda

Digambarkan tahapan iket Makutawangsa. Pada tahap pertama disebut OPAT KA LIMA
PANCER, dapat juga diartikan diri menyatu dengan unsur-unsur utama alam: Angin, Cai (Air),
Taneuh (Tanah) dan Seuneu (Api). Kemudian segiempat tadi dilipat menjadi bentuk segitiga
yang merupakan refleksi Diri, Bumi dan Negeri. Refleksi ini dikenal dengan sebutan
TRITANGTU dalam falsafah sunda. Kemudian lakukan lipatan sebanyak lima kali, disebut
sebagai PANCANITI.

1. Niti Harti (Tahap mengerti)

2. Niti Surti (Taham memahami).

3. Niti Bukti (Tahap membuktikan).

4. Niti Bakti (Tahap membaktikan).

5. Niti Jati (Tahap kesejatian, manunggal dengan sang pencipta)

Gambar berikutnya disebut SANG HYANG TUNGGAL merupakan refleksi dari sang pencipta.
Dan gambar terakhir adalah gambar iket yang sudah jadi menempel di kepala. Lungguh pada
gambar terakhir adalah refleksi patuh pada sang pencipta.

Filosofi diatas adalah pemahaman pribadi mengenai filosofi iket sunda.

Budaya mengalami perkembangan. Termasuk dalam jenis-jenis iket sendiri. Adalah Mochamad
Asep Hadian Adipraja, saya sebut sebagai seorang pemerhati iket sunda. Saya mengenal Kang
Asep dari seorang teman yang gemar dengan kebudayaan sunda. Dan sampai saat ini Kang Asep
masih mengumpulkan rupa-rupa iket yang ada di Nusantara. Kang Asep dalam blognya
pulasaraiket menganalisa bahwa iket dapat digolongkan menjadi dua model utama :

1. Rupa Iket Buhun; adalah rupa iket yang sudah terdapat di kampung-kampung adat, dan
sudah menjadi pola kebiasaan sehari-hari dalam penggunaannya tanpa tercampur oleh
budaya atau elemen dari luar.

2. Rupa Iket Reka-an; adalah rupa iket hasil karya dari pribadi dengan kreasi yang
disukainya, namun pada prinsipnya adalah tetap menggunakan kain segiempat.

Berikut adalah rupa iket yang berhasil dikumpulkan :

RUPA IKET BUHUN

Parekos Jngkol; Parekos Nangka; Barangbang Semplak; Julang Ngapak; Koncr; Kuda
Ngencar; Lohen; Kebo Modol; Kol Nyangsang; Buaya Ngangsar; Portng; Parekos Gedang
( Kampung Ciptagelar ); Ki Parana ( Kampung Ciptagelar ); Udeng ( Kampung
Ciptagelar ); Patua ( Kampung Ciptagelar ); Babarengkos ( Kampung Ciptagelar ); Iket Adat
Kampung Ciptagelar 1 ( Kampung Ciptagelar ); Iket Adat Kampung Naga 1; Iket Adat Kampung
Naga 2; Iket Adat Kampung Dukuh; Iket Adat Kampung Cikondang 1; Iket Adat Rancakalong;

RUPA IKET RKA-AN

Parkos Candra Sumirat; Parkos Maung Leumpang; Parkos Batu Amparan; Parkos Dua
Adegan; Parkos KiPahare; Kujang Dua Papasangan; Parkos Jeulit Danas.

Anda mungkin juga menyukai