PENDAHULUAN
1.1
Apresiasi Budaya 1
1.2
Rumusan Masalah
Adapun permasalahan yang dapat dirumuskan berdasarkan latar belakang di atas, antara
lain :
.1
Bagaimana bentuk dan fungsi dari rumah tradisional Bali yang mulai terjadi
perubahan budaya?
.2
Apa makna yang terkandung di dalam perubahan budaya perilaku civitas rumah?
.3
Pada bagian mana sajakah terjadi perubahan budaya pada rumah tradisional Bali
yang terdapat di Penatih ini ?
1.3
Tujuan Penulisan
Adapun tujuan dari penulisan laporan ini adalah sebagai berikut :
1.
Untuk mengetahui bentuk dan fungsi dari rumah tradisional Bali yang sudah
terjadi perubahan budaya.
2.
3.
Untuk mengetahui letak perubahan budaya pada rumah tradisional Bali yang
terdapat di Penatih.
1.4
Metode Penulisan
Adapun metode penulisan yang kami gunakan dalam pembuatan laporan ini antara lain,
yaitu :
.1
Metode Observasi
Yaitu melakukan pengamatan langsung terhadap objek yang akan dikaji.
.2
Metode Literatur
Yaitu menggunakan beberapa literatur yang berkaitan dengan penulisan ini.
.3
Metode Wawancara
Yaitu melakukan wawancara dengan narasumber yang terkait dengan subjek penulisan
ini.
Apresiasi Budaya 2
BAB IV SIMPULAN
Apresiasi Budaya 3
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Budaya
2.1.1 Pengertian Budaya
Budaya atau kebudayaan, berasal dari bahasa Sansekerta yaitu buddhayah yang
merupakan bentuk jamak dari buddhi (budi atau akal) diartikan sebagai hal-hal yang
berkaitan dengan budi dan akal. Dalam bahasa Inggris, kebudayaan disebut culture,
yang berasal dari kata Latin Colere, yaitu mengolah atau mengerjakan. Bisa diartikan
juga sebagai mengolah tanah atau bertani. Kata culture juga kadang diterjemahkan
sebagai "kultur" dalam bahasa Indonesia.
Ada beberapa versi definisi dari kebudayaan, antara lain :
Menurut Van Peursen (1977), kebudayaan adalah endapan dari kegiatan dan karya
manusia.
Menurut R. Soekmono, kebudayaan adalah seluruh hasil usaha manusia, baik berupa
benda ataupun hanya berupa buah pikiran dan alam penghidupan.
kebudayaan yaitu sistem pengetahuan yang meliputi sistem ide atau gagasan yang
terdapat dalam pikiran manusia, sehingga dalam kehidupan sehari-hari, kebudayaan itu
bersifat abstrak. sedangkan perwujudan kebudayaan adalah benda-benda yang
diciptakan oleh manusia sebagai makhluk yang berbudaya, berupa perilaku dan bendabenda yang bersifat nyata, misalnya pola-pola perilaku, bahasa, peralatan hidup,
organisasi sosial, religi, seni, dan lain-lain, yang kesemuanya ditujukan untuk
membantu manusia dalam melangsungkan kehidupan bermasyarakat.
Apresiasi Budaya 5
Aktivitas (Tindakan)
Aktivitas adalah wujud kebudayaan sebagai suatu tindakan berpola dari manusia
dalam masyarakat itu. Wujud ini sering pula disebut dengan sistem sosial. Sistem
sosial ini terdiri dari aktivitas-aktivitas manusia yang saling berinteraksi,
mengadakan kontak, serta bergaul dengan manusia lainnya menurut pola-pola
tertentu yang berdasarkan adat tata kelakuan. Sifatnya konkret, terjadi dalam
kehidupan sehari-hari, dan dapat diamati dan didokumentasikan.
Artefak (Karya)
Artefak adalah wujud kebudayaan fisik yang berupa hasil dari aktivitas, perbuatan,
dan karya semua manusia dalam masyarakat berupa benda-benda atau hal-hal yang
dapat diraba, dilihat, dan didokumentasikan. Sifatnya paling konkret di antara
ketiga wujud kebudayaan.
Menurut Koentjoroningrat (1974), kebudayaan dapat digolongkan ke dalam tiga
kelompok, yaitu:
-
Atribut Morfologi menyangkut komponen yang ada dalam suatu perumahan ini
(core) dan daerah periphery di luar perumahan, yang masing-masing
Griya
Rumah tempat tinggal untuk kasta brahmana disebut griya yang umumnya
menempati bagian utama dari suatu pola lingkungan. Sesuai dengan peranan brahmana
selaku pengemban bidang spiritual, maka bentuk dan pola ruang griya sebagai rumh
tempat tinggal brahmana disesuaikan dengan keperluan keperluan aktivitasnya.
Puri
Rumah tempat tinggal untuk kasta ksatria yang memegang pemerintahan disebut
puri yang umumnya menempati bagian kaja kangin di sudut perempatan agung di pusat
desa. Umumnya puri dibangun dengan tata zoning yang berpola sangamandala
Apresiasi Budaya 8
semacam papan catur berpetak sembilan. Bangunan bangunan puri sebagian besar
mengambil tipe utama. Antara zona satu dengan lainnya dari petak ke petak
dihubungkan dengan pintu kori. Fungsi masing masing bagian antara lain untuk:
ancak saji, halaman pertama untuk mempersiapkan diri untuk masuk ke puri.
Rangki, untuk area tamu tamu paseban sidang, pemeriksaan dan pengamanan.
Jero
Rumah tempat tinggal untuk kasta ksatria yang tidak memegang pemerintahan
secara langsung. Pola ruang dan tata zoning, juga bangunan bangunannya umumnya
lebih sederhana dari puri. Sesuai fungsinya pola ruang jero dirancang dengan tri
angga. Pamerjanan sebagai parhyangan, jeroan sebagai area rumah tempat tinggal dan
jabaan sebagai tempat pelayanan umum atau halaman depan. Sebagaimana puri, jero
juga menempati zoning utama kaja kangin atau kaja kangin yang umumnya di pusat
desa. Dilihat dari status sosial penghuni sebagai akibat dari kasta dan peranannya di
masyarakat, griya, puri dan jero umumnya merupakan rumah tempat tinggal uatama.
Identitas kasta dan peranannya cenderung ditampakkan lewat bangunan tempat
tinggalnya.
Umah
Rumah tempat tinggal dari kasta weisya disebut umah lokasiu umah dalam
perumahan di suatu desa dapat menempati di sisi sisi utara selatan timur atau barat
dari jalan desa, pusat pusat orientasi adalah pempatan agung pusat desa atau bale
banjar di pusat pusat sub lingkungan. Unit umah dalam perumahan berorientasi ke
natah sebagai halaman pusat aktivitas rumah tangga. Umah di dalama perumahan
tradisional merupakan susunan massa massa bangunan di dalam suatu pekarangan
Apresiasi Budaya 9
yang dikelilingi tembok penyengker batas pekarangan dengan kori pintu masuk ke
pekarangan. Masing masing ruang dapur, tempat kerja, lumbung dan tempat tidur di
bawah satu atap merupakan satu massa bangunan. Komposisi massa massa bangunan
umah tempat tiunggal menempati bagian utara , selatan, timur, barat membentuk
halaman natah ditengah. Sesuai dengan status sosial dari penghuninya yang sebagian
besar adalah petani, maka rumah tempat tinggal nya umumnya berpada di tingkatan
madya. Di desa desa yang kondisi pertaniannya kurang menguntungkan umah nya
pun dalam keadaan sederhana.
Kubu
Rumah tempat tinggal diluar pusat pemukiman di ladang, di perkebunan atau
tempat tempat kehidupan lainnya disebut kubu ataupakubon. Penghuni rumah tempat
tinggal pakubon adalah petani atau nelayan yang berpendapatan sedang atau rendah
dengan kehidupan yang sederhana. Pola ruang kubu sebagai rumah tinggal serupa
pula dengan pola umah masing masing ruang, dapur tempat kerja lumbung dan
tempat tidur dibawah satu atap untuk masing masing massa bangunan. Komposisi
massa massa membentuk halaman natah di tengah sebagai pusat orientasi dan
aktivitasnya. Dalam fungsinya untuk kegiatan spiritual pengurusan tatu bentuk bentuk
kehidupan tertentu pakubon disebut padukuhan.
2.3 Filosofi Tata Ruang Perumahan Bali
2.3.1 Tri Hita Karana
Untuk menyelaraskan antara bhuana agung/alam semesta dengan bhuana alit/manusia,
maka setiap lingkungan kehidupan dibuat senilai dengan unsur-unsur yang utuh, yakni Tri
Hita Karana. Tri Hita Karana memiliki makna, Tri berarti tiga, Hita berarti kemakmuran,
baik, gembira, senang, dan lestari, sedangkan Karana berarti sebab, sumber (penyebab). Jadi
Tri Hita Karana memiliki arti tiga unsur penyebab kebaikan yang meliputi :
Atma (roh/jiwa)
Prana (tenaga)
Angga (jasad/fisik)
Konsepsi Tri Hita Karana melandasi terwujudnya susunan kosmos dari yang paling
makro (bhuana agung/alam semesta) sampai hal yang paling mikro (bhuana alit/manusia).
Apresiasi Budaya 10
Dalam alam semesta jiwa adalah paramatma (Tuhan Tang Maha Esa), tenaga adalah berbagai
energi alam dan jasad adalah Panca Maha Bhuta. Dalam kaitannya dengan banjar, Atma
(jiwa) dari banjar adalah parahyangan (pura banjar), Prana (tenaga) adalah pawongan (warga
banjar) dan Angga (jasad) adalah palemahan (wilayah banjar). Sedangkan dalam diri
manusia, jiwa adalah atman, tenaga adalah sabda bayu idep dan jasad adalah sthula
sarira/tubuh manusia.
Penyelarasan antara bhuana agung dengan bhuana alit yang dikenal dengan Tri Hita
Karana pada banjar Wangaya Kaja dapat dilihat dari penyelarasan hubungan manusia dengan
Tuhan (parahyangan) dengan terdapatnya sebuah Mrajan di banjar yang terletak pada arah
orientasi Kaja-Kangin, hubungan manusia dan manusia (pawongan) teraplikasikan dengan
warga banjar itu tersendiri, sedangkan untuk palemahannya yaitu bangunan banjar itu sendiri.
Rumah
Parhyangan
Pawongan
(Sanggah/Pamerajan) (Penghuni
rumah)
Palemahan
(Pekarangan
rumah)
hubungan
manusia
dengan
alam,
Apresiasi Budaya 11
Selanjutnya hubungan harmonis antara bhuana alit dan bhuana agung diimplikasikan
pada sisitem pendimensian bangunan, baik parahyangan, pawongan maupun palemahan,
bahwa yang menjadi patokan dalam sisitem pendimensian adalah ergonomic dari pemilik
rumah untuk tempat tinggal dan ergonomic pemangku untuk parhyangan, pelinggihpelinggih (tempat bersthananya dewa-dewa).
2.3.3Tri Angga
Tri Hita Karana (tiga unsur kehidupan) yang mengatur kesimbangan atau keharmonisan
manusia dengan lingkungan, tersusun dalam susunan jasad/angga, memberikan turunan
konsep ruang yang disebut Tri Angga. Secara harfiah Tri berarti tiga dan Angga berarti
badan, yang lebih menekankan tiga nilai fisik yaitu: Utama Angga, Madya Angga dan Nista
Angga. Dalam alam semesta/Bhuana agung, pembagian ini disebut Tri Loka, yaitu: Bhur
Loka (bumi), Bhuah Loka (angkasa), dan Swah Loka (sorga). Ketiga nilai tersebut didasarkan
secara vertikal, dimana nilai utama pada posisi teratas/sakral, madya pada posisi tengah dan
nista pada posisi terendah/kotor.
Konsepsi Tri Angga berlaku dari yang bersifat makro (alam semesta/bhuana agung)
sampai yang paling mikro (manusia/bhuana alit). Dalam skala wilayah; gunung memiliki
nilai utama; dataran bernilai madya dan lautan pada nilai nista. Dalam perumahan,
Kahyangan Tiga (utama), Perumahan penduduk (madya), Kuburan (nista), juga berlaku
dalam skala rumah dan manusia.
Pada banjar Wangaya Kaja konsep Tri Angga ini dapat dilihat dari bentuk bangunannya.
Tri Angga pada bangunan terdiri dari atap pada Utama Angga, kolom/dinding pada Madya
Angga dan lantai/bataran pada Nista
Angga.
Apresiasi Budaya 12
konsep Sanga Mandala. Konsep tata ruang Sanga Mandala juga merupakan konsep yang
lahir dari sembilan manifestasi Tuhan, yaitu Dewata Nawa Sanga yang menyebar di delapan
arah mata angin di tambah satu di tengah dalam menjaga keseimbangan alam semesta.
Konsep Sanga Mandala ini menjadi pertimbangan dalam penzoningan kegiatan dan tata letak
bangunan dalam penzoningan kegiatan dan tata letak bangunan pada Arsitektur Tradisional
Bali. Kegiatan utama atau yang memerlukan ketenangan diletakkan di daerah Utamaning
Utama, dan kegiatan yang dianggap kotor diletakkan di daerah Nistaning Nista, sedangkan
kegiatan diantaranya diletakkan di tengah atau yang kita kenal dengan pola Natah.
Apresiasi Budaya 13
Selain terdapatnya bataran-bataran tinggi sebagai simbul dari ibu pertiwi konsep Bapa
Akasa dan Ibu Pertiwi juga terdapat pada sebuah ruang kosong sebagai pertemuan antara
unsur langit dan bumi yang sering diebut dengan natah. Natah tersendiri memiliki beberapa
pengertian yaitu sebagai ruang, tempat dan kekosongan, dari pengertian tersebutlah natah
difungsikan sebagai tempat yang sakral dimana upacara keagamaan dilaksanakan di dalam
natah.
Apresiasi Budaya 15
BAB III
DATA & IDENTIFIKASI GEJALA PERGESERAN
3.1 Gambaran Umum
Rumah dari bapak I.G.N. Jayanegara merupakan rumah tradisional Bali yang terletak di
Banjar Saba Kelurahan Penatih, Kecamatan Denpasar Timur, Kotamadya Denpasar. Rumah ini
merupakan rumah peninggalan orang tua dari bapak I.G.N. Jayanegara yang dari dahulu hingga
sekarang telah banyak terjadi perubahan dari berbagai aspek.
Apresiasi Budaya 16
Keterangan:
A.
B.
C.
D.
E.
F.
G.
H.
I.
J.
K.
L.
Apresiasi Budaya 17
Apresiasi Budaya 18
Pura untuk tempat pemujaan keluarga dari satu unit keluarga besar di sebuah Pamerajan
atau Sanggah. Untuk tempat pemujaan di tingkat keluarga di setiap rumah tangga ada
Pamerajan atau Sanggah yang terletak di daerah Kaja-Kangin. Pamerajan alit diperuntukan
untuk keluarga kecil atau rumah tanggab dan Pamerajan Agung atau Sanggah Gede untuk
keluarga besar.
Pada rumah milik bapak I.G.N Jayanegara ini bentuk Pamerajannya bersifat pamerajan
alit yang terdiri dari :
Letak dari bangunan suci ini berorientasi pada arah timur untuk bangunan Gedong,
Kemulan dan Ratu Ngurah dengan arah hadap ke barat dan untuk pelinggih Taksu
berorientasi pada arah utara dengan arah hadap ke selatan.
Apresiasi Budaya 19
3.3.2. Angkul-angkul
Angkul-angkul adalah sejenis pintu masuk rumah atau pekarangan untuk
bangunan bali yang diberi atap yang meng- ungkuli/unkul-ungkul (berada diatas
kepala) terhadap orang yang lewat. Menurut Arinton Puja, istilah pamesuan muncul
sesuai dengan fungsinya untuk pintu masuk dan keluar. Namun, istilah ini hanya untuk
pintu masuk dan keluar yang lebih sederhana dari kori. Untuk tempat-tempat yang
disucikan istilah pamesuan disebut dengan kori agung, dan pamedal adalah istilah
yang sama untuk perumahan dari penghuni berkasta brahmana atau ksatria. Massa
angkul-angkul bisa dianggap sebagai lubang masuk berangkap. Untuk pekarangan
yang luas atau perumahan utama atau madya juga dibangun pintu sehari-hari, karena
alam perkembangannya angkul-angkul dianggap sebagai pintu masuk formal, yang
disebut betelan atau peletasan.
Dimensi
Angkul-angkul sangat besar dipengaruhi status sosial penghuninya, selain kondisi
Dimensi Horizontal
Angkul-angkul memiliki lubang pintu dengan lebar selebar orang yang sedang
Dimensi Vertikal
Pintu angkul-angkul memiliki tinggi yang berbeda, secara garis besar adalah 2,5xlebar
angkul-angkulnya.
Transformasi:
Transformasi yang terjadi pada angkul angkul adalah adanya perubahan dimensi
dari angkul angkul. Pada masa lalu angkul angkul pada rumah ini berukuran dengan
berpatokan pada dimensi manusia. Namun dengan perkembangan jaman perubahan
dimensi pada angkul angkul tampak pada ukuran lebar angkul angkul yang dapat
dilalui kendaraan bermotor.
Selain itu transformasi yang terjadi adalah adanya perubahan unsur material
pembentuk angkul angkul. Pada masa kini material yang digunakan adalah
penggunaan beton pada strukturnya, sedangkan unsur ragam hiasnya/ ornamen tampak
pada penggunaan bata gosok merah dan perpaduan paras.
3.3.3
Bale
Meten
Sakutus
Fungsi
Apresiasi Budaya 21
Sebagai tempat tidur bagi orang tua atau Ida Pedanda Resi Penatih yang tinggal di
pekarangan tersebut.
Bahan
Atap :
-
Dinding :
Jaman dulu menggunakan bahan tanah polpolan. Jaman sekarang menggunakan
bata merah dan batu paras bahkan terkadang diplester dengan semen.
Tiang/Sesaka :
Bahan kayu jati karena kekuatan dan keawetannya dan terdiri dari 8 buah saka di
bagian luar bangunan.
Pondasi :
Menggunakan susunan batu alam sedangkan bebaturannya menggunakan batu,
paras dan bata.
Apresiasi Budaya 22
Gbr. 8 Perubahan material bangunan pada Bale Meten Sakutus dari rumah bapak I.G.N. Jayanegara
Sumber : hasil survei
3.3.4
Bale Daja
Seperti yang dijelasankan sebelumnya fungsi bale Daja sebagai tempat tidur bagi
perempuan yang masih perawan atau belum menikah. Fungsi ini berubah sekarang,
hanya saja Bale Daja pada saat sekarang ini tidak saja hanya sebagai tempat tidur bagi
kaum perempuan yang belum menikah, tetapi bisa juga sebagai tempat tidur bagi
anggota keluarga lainnya. Bale daja yang diperuntukan bagi orang yang dianggap tua
pada keluarga ini dan letaknya sebelah barat dari merajan. Bale Daja sekarang ini
sekarang ini dibangun tanpa menggunakan lagi ukuran tradisional yang pasti. Bentuk
bale pada umumnya mengambil konsep Tri Angga seperti bangunan tradisional Bali
lainnya yang terbagi atas kepala, badan, dan kaki. Konsep bentuk ini masih dipegang
teguh oleh masyarakat Penatih sampai saat sekarang ini terutama pada rumah ini, hanya
saja perubahan dapat dilihat dari bentuk bentuk dengan memakai ukuran yang modern
bukan lagi menggunakan ukuran tradisional Bali. Perubahan dapat dilihat pada adanya
teras tambahan pada bangunan Bale Daja ( bale Meten ) yang difungsikan sebagai
tempat duduk duduk dengan tambahan saka, sebagai penopangnya. Initinya bentuk
dari sebuah bale daja yang sangat sederhana berkembang menjadi bentuk yang lebih
kompleks seiring dengan pertambahan ruang dalam bangunan.
Apresiasi Budaya 23
Gbr. 9 Bale
Daja pada
rumah
bapak
I.G.N.
Jayanegara
Sumber : hasil survei
Perubahan tata letak Bale Daja di jaman modern saat ini. Perubahan terjadi adalah
Bale Daja agak ke barat atau agak ke timur, tidak selalu tepat dengan arah utara (kaja)
namun tetap menghadap ke selatan. Karena keterbatasan lahan terutama biasa terjadi
pada daerah urban seperti desa Penatih, Bale daja di bangun pada lahan kosong yang
tersedia, pada bangunan ini terletak di sebelah agak ke sebelah timur. Banyak
masyarakat modern sekarang ini memiliki pemikiran bahwa yang penting dalam
rumahnya terdapat Bale Daja entah itu peletakannya di mana saja selama masih ada
pekarangan di rumahnya, bahkan pada rumah tinggal masa kini jarang terdapat bale
daja.
Pola bangunan tradisional bale daja umumnya disesuaikan dengan tingkat
golongan utama, madya, sederhana. Bentuk terkecil dari bale daja adalah saka 8 atau
bertiang delapan. Pada pekarangan ini bale daja menggunakan tiang 8, pada bagian
dalamnya terdapat 4 saka dan bagian luarnya terdapat 4 saka. Pada saat ini penggunaan
bahan bahan tradisional di atas sudah sedikit mengalami perubahan, hal ini
didasarkan atas tingkat perekonomian masyarakat Bali yang semakin meningkat , serta
semakin sulitnya memperoleh beberapa bahan alami tersebut. Faktor estetika juga
menjadi salah satu pertimbangan berubahnya penggunaan bahan tersebut.
-
Untuk bagian bawah atau pondasi tetap menggunakan batu kali sebagai strukturnya.
Perubahan yang terjadi adalah pada bagian bantaran yang saat ini kebanyakan telah di
tempeli keramik. Hal ini merupakan ekspresi dari tingkat perekonomian si pemilik yang
semakin meningkat.
Apresiasi Budaya 24
Untuk bagian tengah, terutama bagian bale-bale dan sesaka masih menggunakan bahan
kayu. Perubahan yang terjadi pada bangunan dinding dimana penggunaan bahan dinding,
dimana penggunaan tanah polpolan sudah di tinggalkan. Kini dinding menggunakan
Fungsi
Sebagai tempat tidur bagi orang tua dan tempat menerima tamu.
Letak
- Zona Madyaning Nista.
- Terletak di sebelah barat (kauh), menghadap ke timur (kangin).
Apresiasi Budaya 25
Gbr. 10 Bale Dauh yang terletak pada arah kauh (barat) yang menghadapa ke arah kangin (timur)
Sumber : hasil survei
Bahan
Dinding :
Anyaman bambu besar (tidak seperti gedeg) sehingga terdapat pori-pori yang
memungkinkan terjadinya sirkulasi udara (meskipun relatif kecil). Pada bangunan
yang telah mengalami modernisasi, dinding bangunan terbuat dari pasangan batu
bata.
Dinding batur :
Bahan batu kali.
Tiang bangunan :
Bahan kayu (bersifat struktural). Elemen-elemen struktur tiang: sineb lambang,
canggahwang, dan bale-bale memakai bahan kayu dan seseh (batang kelapa),
kecuali untuk alas bale-bale (galar) memakai bahan bambu.
Sendi-sendi :
Bahan batu padas dan batu kali (merupakan media penerusan beban bangunan,
yang hubungannya dengan tiang/saka).
Lantai bangunan :
Lantai tanah. Pada Bale Dauh yang telah mengalami modernisasi, pemakaian
bahan beralih ke semen dan tegel/keramik
Transformasi :
Sesuai dengan tuntutan zaman bale dauh pada masa kini sudah berubah fungsi
menjadi ruang tidur. Karena bertambahnya jumlah penghuni dari rumah tinggal di
penatih tersebut maka rumah tersebut dijadikan sebagai rumah modern. Namun
sesuai dengan filosofinya bale dauh tetap sebagai tempat beristirahat, walaupun
hirarkinya telah berubah dari tempat istirahat orang tua berubah menjadi tempat
istirahat keluarga. Material yang digunakan juga telah mengalami perubahan yang
Apresiasi Budaya 26
Letak
Terdapat dalam pola natah menjadi satu unit hunian. Terletak di timur (kangin) dari
halaman/natah, dengan sisi yang lebih lebar menghadap Utara (memanjang ke arah
timur-barat). Berhadapan dengan Bale Daja.
Jumlah tiang
Fungsi
Karakteristik
Dinding bangunan tertutup pada 2 sisi (sisi timur dan selatan) sehingga dapat
memberikan kebebasan gerak dalam kegiatan upacara dengan struktur sebagai dinding
pemisah dan memikul bebannya sendiri serta tidak mempengaruhi struktur utama.
Apresiasi Budaya 27
Bahan
Atap :
-
Penutup atap dari alang-alang, bambu, sirap bambu atau anyaman daun
kelapa.
Pendukung penutup atap terdiri atas rangkaian iga-iga/usuk, terbuat dari
bahan bambu.
Langit-langit yang mengikat iga-iga pada puncak atap memakai bahan
batang kelapa/seseh.
Pemeteng dan saka pada Bale Gede menggunakan bahan kayu, untuk jenis
kayu yang digunakan disesuaikan dengan fungsi bangunannya.
Dinding :
Jaman dulu menggunakan bahan tanah polpolan. Jaman sekarang menggunakan
bata merah dan batu paras bahkan terkadang diplester dengan semen.
Tiang/Sesaka :
Bahan kayu jati karena kekuatan dan keawetannya.
Pondasi :
Menggunakan susunan batu alam sedangkan bebaturannya menggunakan batu,
paras dan bata.
3.3.7 JINENG
Jineng adalah bangunan traditional Bali yang berfungsi sebagai tempat untuk
menyimpan padi. Bangunan penyimpanan padi dengan denah persegi empat, memiliki
4 kolom, dengan atap pelana lengkung. Letak Jineng umumnya berdekatan dengan
paon, sehingga ruang bale Jineng dapat difungsikan sebagai perluasan dari kegiatan
paon. Jineng jika dilihat dari strukturnya merupakan bangunan bertingkat, dengan
ruang penyimpanan padi di atas. Langki kepala tiang dengan lantai selasar berbatas sisi
dalam atap lengkung, dan balai di bagian bawah untuk tempat duduk, istirahat, atau
tempat bekerja. Sesuai dengan fungsi aslinya dan adanya ruang bertingkat, maka
Apresiasi Budaya 28
konstruksi Jineng dibuat dengan kolom yang cukup besar, bukan hanya satu rai seperti
umumnya bangunan tradisional Bali lainnya.
Gbr. 12 Jineng sebagai status sosial pada rumah bapak I.G.N. Jayangera
Sumber : hasil survei
3.3.8 PAON
Dalam rumah I. G. N. Jayanegara, bentuk paon pada masa lalu berbentuk
bangunan sakanem. Bentuk sakanem segi empat panjang, dengan panjang sekitar tiga
kali lebar. Luas bangunan sekitar 6 meter x 2 meter, mendekati dua kali luas sakapat.
Konstruksi atap pada masa lalu adalah kampiah. Material bangunan yang dipergunakan
Apresiasi Budaya 29
pada paon pada rumah ini adalah tembok dari tembok popolan/ tanah dengan atap dari
genteng serta lantai dari tanah.
Perubahan kondisi paon terjadi pada rumah I. G. N. Jayanegara, perubahan yang
terjadi berupa perubahan tata letak. Pada masa lalu Paon terletak pada posisi kelod
(selatan). Posisi tersebut bergeser ke arah timur yakni ke arah kandang. Sehingga kini
posisi paon tersebut terletak pada posisi kangin kelod (timur selatan) dari rumah
tersebut.
Gbr. 13 Paon pada rumah bapak I.G.N Jayanegara yang bergandengan dengan Bale Delod
Sumber : hasil survei
Apresiasi Budaya 30
BAB IV
PENUTUP
4.1 Kesimpulan
Adanya era modernisasi membuat rumah tradisional Bali juga ikut berkembang, mulai
dari bahan, warna sampai dengan bentuk. Tidak sedikit faktor ini menyebabkan pergeseran nilainilai tradisional yang telah di anut. Karena itu, dalam perkembangan arsitektur tradisional Bali
ke depannya, perumahan tata ruang perumahan Bali merupakan dasar yang harus dipegang kuat
dalam membangun.
4.2 Saran-saran
Penyusun sadar bahwa paper ini jauh dari sempurna akibat dari keterbatasan penyusun.
Maka dari itu penyusun mengharapkan kritik dan saran yang konstruktif dari semua pihak yang
bersifat membangun demi kesempurnaan paper ini. Semoga paper memberikan manfaat bagi
pembaca.
Apresiasi Budaya 31
DAFTAR PUSTAKA
Sumintardja. Djauhari, Kompedium Sejarah Arsitektur, Yayasan Lembaga Penyelidikan
I Nyoman Gelebet. 1985. Pengantar Arsitektur Tradisional Bali. Denpasar : Departemen
Pendidikan dan Kebudayaan Propinsi Bali.
Dwijendra. N.K. Acwin. 2008. Arsitektur Rumah Tradisional Bali. Denpasar : Udayana
University Press
http://id.wikipedia.org/wiki/budaya
Apresiasi Budaya 32