Anda di halaman 1dari 32

BAB I

PENDAHULUAN

1.1

Latar Belakang Masalah


Manusia memang tidak dapat dilepaskan dari kebudayaan yang dihasilkannya. Mereka
membentuk berbagai ide dan gagasan dalam upayanya untuk menjaga keberadaan mereka
dan sebagai usaha untuk menghargai keberadaan alam di sekitarnya. Mereka juga
menciptakan berbagai sistem yang digunakan dalam kehidupan sehari-hari yang harus ditaati.
Sistem ini berkaitan dengan hubungan manusia dengan penciptanya, hubungan manusia
dengan sesamanya dan hubungan manusia dengan lingkungannya. Selain itu, mereka juga
menciptakan berbagai benda yang merupakan kreasi mereka dalam usaha untuk mncurahkan
imajinasinya terhadap ide, gagasan serta sistem yang telah mereka tentukan dan terapkan.
Dalam sistem sosial, untuk menunjang kegiatan kemasyarakatan manusia berinteraksi
ke sesama, maka dibangunlah perumahan. Pembangunan perumahan atau rumah ini
merupakan sebuah hasil kreasi manusia terhadap sistem sosial mereka. Rumah merupakan
suatu hasil daya pikir manusia yang menyesuaikan terhadap keadaan lingkungan di
sekitarnya. Pada jaman purba, begitu manusia menemukan api, begitu juga manusia
menumukan dapur maka pada saat itulah dikenal rumah sebagai tempat berlindung dan
mengahangatkan diri. Begitu juga fungsi rumah pada zaman sekarang yang masih berfungsi
sebagai tempat berlindung terhadap gangguan cuaca dan juga terdapat fungsi-fungsi lainnya.
Arsitektur Tradisional Bali merupakan perwujudan keindahan manusia dan alamnya
oleh masyarakat Bali yang mengeras kedalam bentuk-bentuk bangunan dengan ragam hias
yang dikenakannya. Bentuk-bentuk ragam hias yang ditampilkan mengambil berbagai bentuk
alam. Hal ini menyebabkan munculnya berbagai bentuk ragam hias. Selain itu, berbagai
ragam hias yang digunakan memiliki makna tersendiri. Penempatan ragam hias juga tak
boleh dilakukan dengan sembarangan. Hal ini harus disesuaikan dengan kaidah yang telah
ditentukan.

Apresiasi Budaya 1

1.2

Rumusan Masalah
Adapun permasalahan yang dapat dirumuskan berdasarkan latar belakang di atas, antara
lain :
.1

Bagaimana bentuk dan fungsi dari rumah tradisional Bali yang mulai terjadi
perubahan budaya?

.2

Apa makna yang terkandung di dalam perubahan budaya perilaku civitas rumah?

.3

Pada bagian mana sajakah terjadi perubahan budaya pada rumah tradisional Bali
yang terdapat di Penatih ini ?

1.3

Tujuan Penulisan
Adapun tujuan dari penulisan laporan ini adalah sebagai berikut :
1.

Untuk mengetahui bentuk dan fungsi dari rumah tradisional Bali yang sudah
terjadi perubahan budaya.

2.

Untuk mengetahui makna yang terkandung di dalam perubahan budaya perilaku


civitas rumah.

3.

Untuk mengetahui letak perubahan budaya pada rumah tradisional Bali yang
terdapat di Penatih.

1.4

Metode Penulisan
Adapun metode penulisan yang kami gunakan dalam pembuatan laporan ini antara lain,
yaitu :
.1

Metode Observasi
Yaitu melakukan pengamatan langsung terhadap objek yang akan dikaji.

.2

Metode Literatur
Yaitu menggunakan beberapa literatur yang berkaitan dengan penulisan ini.

.3

Metode Wawancara
Yaitu melakukan wawancara dengan narasumber yang terkait dengan subjek penulisan
ini.

Apresiasi Budaya 2

1.5 Sistematika Penulisan


BAB I PENDAHULUAN

: menguraikan tentang latar belakang pemilihan masalah


yang menjadi dasar dalam penulisan laporan ini.

BAB II TINJAUAN PUSTAKA : menguraikan tentang berbagai teori yang berhubungan


dengan masalah yang diangkat dalam penulisan laporan
ini.
BAB III TINJAUAN OBJEK

: menguraikan tentang objek yang dibahas pada laporan ini


serta menganalisa berbagai rumusan permasalahan yang
telah diajukan.

BAB IV SIMPULAN

: menguraikan simpulan dari keseluruhan penulisan ini


serta kemungkinan saran yang diajukan.

Apresiasi Budaya 3

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Budaya
2.1.1 Pengertian Budaya
Budaya atau kebudayaan, berasal dari bahasa Sansekerta yaitu buddhayah yang
merupakan bentuk jamak dari buddhi (budi atau akal) diartikan sebagai hal-hal yang
berkaitan dengan budi dan akal. Dalam bahasa Inggris, kebudayaan disebut culture,
yang berasal dari kata Latin Colere, yaitu mengolah atau mengerjakan. Bisa diartikan
juga sebagai mengolah tanah atau bertani. Kata culture juga kadang diterjemahkan
sebagai "kultur" dalam bahasa Indonesia.
Ada beberapa versi definisi dari kebudayaan, antara lain :

Menurut Koentjoroningrat (1974), kebudayaan adalah seluruh gagasan / pikiran,


tindakan / karya dan hasil karya manusia dalam rangka kehidupan masyarakat yang
tidak berakar pada nalurinya, dan karenanya hanya bisa dicetuskan setelah melalui
proses belajar.

Menurut Van Peursen (1977), kebudayaan adalah endapan dari kegiatan dan karya
manusia.

Menurut Soewondo BS (1982), kebudayaan pada hakekatnya merupakan alat untuk


memenuhi kebutuhan. Jika kebudayaan sudah tidak lagi dapat memenuhi kebutuhan
maka dengan sendirinya kebudayaan akan hilang. Jadi kebudayaan mendasari dan
mendorong terwujudnya suatu kelakuan sebagai pemenuhan kebutuhan yang
timbul.

Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (2001 : 170),


- Kebudayaan adalah hasil kegiatan dan penciptaan batin (akal budi) manusia
seperti kepercayaan, kesenian dan adat istiadat.
- Kebudayaan adalah keseluruhan pengetahuan manusia sebagai mahluk sosial
yang digunakan untuk memahami lingkungan serta pengalamannya dan yang
menjadi pedoman tingkah lakunya.
Apresiasi Budaya 4

Menurut Arnold Toynbee, kebudayaan adalah segala ciptaan manusia pada


hakekatnya hasil usaha manusia untuk mengubah dan memberi bentuk serta
susunan baru kepada pemberian alam, sesuai dengan kebutuhan jasmani dan
rohaninya dan kebudayaan universal yaitu kebudayaan yang unsur-unsurnya bisa
didapatkan di dalam semua kebudayaan dari semua bangsa di mana pun di dunia.

Menurut R. Soekmono, kebudayaan adalah seluruh hasil usaha manusia, baik berupa
benda ataupun hanya berupa buah pikiran dan alam penghidupan.

Menurut Andreas Eppink, kebudayaan mengandung keseluruhan pengertian, nilai,


norma, ilmu pengetahuan serta keseluruhan struktur-struktur sosial, religius, dan
lain-lain, tambahan lagi segala pernyataan intelektual dan artistik yang menjadi ciri
khas suatu masyarakat.

Menurut Edward B. Taylor, kebudayaan merupakan keseluruhan yang kompleks,


yang di dalamnya terkandung pengetahuan, kepercayaan, kesenian, moral, hukum,
adat istiadat, dan kemampuan-kemampuan lain yang didapat seseorang sebagai
anggota masyarakat.

Menurut Selo Soemardjan dan Soelaiman Soemardi, kebudayaan adalah sarana


hasil karya, rasa, dan cipta masyarakat.
Dari berbagai definisi tersebut di atas, dapat diperoleh pengertian mengenai

kebudayaan yaitu sistem pengetahuan yang meliputi sistem ide atau gagasan yang
terdapat dalam pikiran manusia, sehingga dalam kehidupan sehari-hari, kebudayaan itu
bersifat abstrak. sedangkan perwujudan kebudayaan adalah benda-benda yang
diciptakan oleh manusia sebagai makhluk yang berbudaya, berupa perilaku dan bendabenda yang bersifat nyata, misalnya pola-pola perilaku, bahasa, peralatan hidup,
organisasi sosial, religi, seni, dan lain-lain, yang kesemuanya ditujukan untuk
membantu manusia dalam melangsungkan kehidupan bermasyarakat.

Apresiasi Budaya 5

2.1.2 Wujud Kebudayaan


Menurut J.J. Hoenigman, wujud kebudayaan dibedakan menjadi tiga: gagasan,
aktivitas, dan artefak.

Gagasan (Wujud ideal)


Wujud ideal kebudayaan adalah kebudayaan yang berbentuk kumpulan ide-ide,
gagasan, nilai-nilai, norma-norma, peraturan, dan sebagainya yang sifatnya abstrak;
tidak dapat diraba atau disentuh. Wujud kebudayaan ini terletak dalam kepalakepala atau di alam pemikiran warga masyarakat. Jika masyarakat tersebut
menyatakan gagasan mereka itu dalam bentuk tulisan, maka lokasi dari kebudayaan
ideal itu berada dalam karangan dan buku-buku hasil karya para penulis warga
masyarakat tersebut.

Aktivitas (Tindakan)
Aktivitas adalah wujud kebudayaan sebagai suatu tindakan berpola dari manusia
dalam masyarakat itu. Wujud ini sering pula disebut dengan sistem sosial. Sistem
sosial ini terdiri dari aktivitas-aktivitas manusia yang saling berinteraksi,
mengadakan kontak, serta bergaul dengan manusia lainnya menurut pola-pola
tertentu yang berdasarkan adat tata kelakuan. Sifatnya konkret, terjadi dalam
kehidupan sehari-hari, dan dapat diamati dan didokumentasikan.

Artefak (Karya)
Artefak adalah wujud kebudayaan fisik yang berupa hasil dari aktivitas, perbuatan,
dan karya semua manusia dalam masyarakat berupa benda-benda atau hal-hal yang
dapat diraba, dilihat, dan didokumentasikan. Sifatnya paling konkret di antara
ketiga wujud kebudayaan.
Menurut Koentjoroningrat (1974), kebudayaan dapat digolongkan ke dalam tiga

kelompok, yaitu:
-

Wujud ideal meliputi gagasan, nilai-nilai, norma, peraturan dsb,

Wujud sistem sosial yang merupakan pola kelakuan manusia


dalam masyarakatnya,

Wujud fisik yang merupakan benda-benda hasil karya manusia,


termasuk produk arsitektur.
Apresiasi Budaya 6

Menurut LA. White (1949), kebudayaan merupakan sistem terpadu dan


terorganisir yang dapat dirinci dalam tiga bagian yaitu :
-

Sistem teknologi (peralatan produksi untuk memenuhi kebutuhan pokok,


perlindungan fisik dalam arti luas, peralatan berperang/pertahanan).

Sistem sosial sebagai perangkat untuk mewujudkan kehidupan komunal manusia


sebagai mahluk sosial (pola-pola tingkah laku kolektif maupun individual yang
menghasilkan sistem organisasi masyarakat, sistem kemiliteran, sistem pembagian
kerja, dll).

Sistem ide sebagai perangkat untuk menafsirkan lingkungannya (gagasan,


kepercayaan, dan pengetahuan yang tercermin dalam percakapan, kepercayaan,
kesusasteraan, filsafat, dll).

2.2 Perumahan Tradisional Bali


2.2.1 Pengertian Perumahan Tradisional Bali
Pengertian Desa Tradisional Bali atau secara tradisional disebut desa (adat)
merupakan suatu tempat kehidupan yang utuh dan bulat terdiri atas 3 unsur, yaitu unsur
khayangan tiga (pura desa), unsur krama desa (warga), dan karang desa (wilayah)
(Sulistyawati, 1958 :3). Menurut Gelebet (1986 : 48), perumahan atau permukiman
tradisional merupakan tempat tinggal yang berpola tradisional dengan perangkat
lingkungan dengan latar belakang norma-norma dan nilai-nilai tradisional.
Desa tradisional Bali yang dilandasi konsepsi seperti hubungan yang harmonis
antara Bhuana Agung dengan Bhuana Alit, Manik Ring Cacupu, Tri hita Karana, Tri
Angga, Hulu-Teben sampai melahirkan tata nilai Sanga Mandala yang meberi arahan
tata ruang, baik dalam skala rumah (umah) maupun perumahan (desa). Hasil dari
penurunan konsep tata ruang ini sangat beragam, namun Ardi P. Parimin (1986)
menyimpulkan adanya 4 atribut dalam perumahan tradisional Bali, yaitu :

Atribut Sosiologi menyangkut sisitem kekerabatan masyarakat Bali yang


dicirikan dengan adanya sistem desa adat, sistem banjar, sistem subak, sekeha,

dadia dan perbekalan.


Aspek Simbolik berkaitan dengan orientasi perumahan, orientasi sumbu utama
desa, orientasi rumah dan halamannya.
Apresiasi Budaya 7

Atribut Morfologi menyangkut komponen yang ada dalam suatu perumahan ini
(core) dan daerah periphery di luar perumahan, yang masing-masing

memmpunyai fungsi dan arti pada perumahan tradisional Bali.


Atribut Fungsional menyangkut fungsi perumagan tardisional Bali pada
dasarnya berfungsi keagamaan dan fungsi sosial yang dicirikan dengan adanya
3 pura desa.

2.2.2 Rumah Tempat Tinggal


Dari kehidupan goa sampai kehidupan kota manusia bertempat tinggal di rumah
rumah sederhana elemen alam, berkembang sampai ke rumah rumah flat super modern.
Arsitektur tradisional rumah tempat tinggal di Bali pada masa masa bali mula, abli aga,
dan bali arya berkembang pesat setelah para arya dari majapahit berkuasa di Bali
disertai tokoh tokoh budayawan juga dalam bidang arsitektur. Tingkatan kasta, status
social dan pernannya di masyarakat merupakan fakor factor tingkat perwujudan rumah
tempat tinggal utama, madya, dan sederhana. Pengelompokan rumah rumah tempat
tinggal ke dalam tingkatan utama ditinjau dari luas pekarangan, susunan ruang , tipe
bangunan, fungsi, bentuk, bahan penyelesainnya.
Ditinjau dari nama, rumah tempat tinggal sesuai dengan tingkat kasta yang
menempatinya. Puri rumah tinggal utama, gria, jero dan umah adalah madya dapat pula
utama dan sedikit kemungknan sederhana. Kubu atau pakubon tergolong sederhana.
Untuk rumah tempat tinggal nama namanya ditentukan oleh fungsi kasta
penghuninya. Nama nama bangunan ditentukan pula oleh fungsi juga tipe bangunannya

Griya
Rumah tempat tinggal untuk kasta brahmana disebut griya yang umumnya

menempati bagian utama dari suatu pola lingkungan. Sesuai dengan peranan brahmana
selaku pengemban bidang spiritual, maka bentuk dan pola ruang griya sebagai rumh
tempat tinggal brahmana disesuaikan dengan keperluan keperluan aktivitasnya.

Puri
Rumah tempat tinggal untuk kasta ksatria yang memegang pemerintahan disebut

puri yang umumnya menempati bagian kaja kangin di sudut perempatan agung di pusat
desa. Umumnya puri dibangun dengan tata zoning yang berpola sangamandala
Apresiasi Budaya 8

semacam papan catur berpetak sembilan. Bangunan bangunan puri sebagian besar
mengambil tipe utama. Antara zona satu dengan lainnya dari petak ke petak
dihubungkan dengan pintu kori. Fungsi masing masing bagian antara lain untuk:

ancak saji, halaman pertama untuk mempersiapkan diri untuk masuk ke puri.

Sumanggen, untuk area upacara pitra yadnya

Rangki, untuk area tamu tamu paseban sidang, pemeriksaan dan pengamanan.

Pewaregan, untuk area dapur dan perbekalan.

Lumbung, untuk area penyipanan dan pengolahan bahan perbekalan.

Saren kaja, area tempat tinggal istri istri raja.

Saren kangin, untuk tempat tinggal raja.

Paseban, untuk area pertemuan atau sidang kerajaan.

Pamerajan agung untuk are tempat suci parhyangan.

Jero

Rumah tempat tinggal untuk kasta ksatria yang tidak memegang pemerintahan
secara langsung. Pola ruang dan tata zoning, juga bangunan bangunannya umumnya
lebih sederhana dari puri. Sesuai fungsinya pola ruang jero dirancang dengan tri
angga. Pamerjanan sebagai parhyangan, jeroan sebagai area rumah tempat tinggal dan
jabaan sebagai tempat pelayanan umum atau halaman depan. Sebagaimana puri, jero
juga menempati zoning utama kaja kangin atau kaja kangin yang umumnya di pusat
desa. Dilihat dari status sosial penghuni sebagai akibat dari kasta dan peranannya di
masyarakat, griya, puri dan jero umumnya merupakan rumah tempat tinggal uatama.
Identitas kasta dan peranannya cenderung ditampakkan lewat bangunan tempat
tinggalnya.

Umah
Rumah tempat tinggal dari kasta weisya disebut umah lokasiu umah dalam

perumahan di suatu desa dapat menempati di sisi sisi utara selatan timur atau barat
dari jalan desa, pusat pusat orientasi adalah pempatan agung pusat desa atau bale
banjar di pusat pusat sub lingkungan. Unit umah dalam perumahan berorientasi ke
natah sebagai halaman pusat aktivitas rumah tangga. Umah di dalama perumahan
tradisional merupakan susunan massa massa bangunan di dalam suatu pekarangan
Apresiasi Budaya 9

yang dikelilingi tembok penyengker batas pekarangan dengan kori pintu masuk ke
pekarangan. Masing masing ruang dapur, tempat kerja, lumbung dan tempat tidur di
bawah satu atap merupakan satu massa bangunan. Komposisi massa massa bangunan
umah tempat tiunggal menempati bagian utara , selatan, timur, barat membentuk
halaman natah ditengah. Sesuai dengan status sosial dari penghuninya yang sebagian
besar adalah petani, maka rumah tempat tinggal nya umumnya berpada di tingkatan
madya. Di desa desa yang kondisi pertaniannya kurang menguntungkan umah nya
pun dalam keadaan sederhana.

Kubu
Rumah tempat tinggal diluar pusat pemukiman di ladang, di perkebunan atau

tempat tempat kehidupan lainnya disebut kubu ataupakubon. Penghuni rumah tempat
tinggal pakubon adalah petani atau nelayan yang berpendapatan sedang atau rendah
dengan kehidupan yang sederhana. Pola ruang kubu sebagai rumah tinggal serupa
pula dengan pola umah masing masing ruang, dapur tempat kerja lumbung dan
tempat tidur dibawah satu atap untuk masing masing massa bangunan. Komposisi
massa massa membentuk halaman natah di tengah sebagai pusat orientasi dan
aktivitasnya. Dalam fungsinya untuk kegiatan spiritual pengurusan tatu bentuk bentuk
kehidupan tertentu pakubon disebut padukuhan.
2.3 Filosofi Tata Ruang Perumahan Bali
2.3.1 Tri Hita Karana
Untuk menyelaraskan antara bhuana agung/alam semesta dengan bhuana alit/manusia,
maka setiap lingkungan kehidupan dibuat senilai dengan unsur-unsur yang utuh, yakni Tri
Hita Karana. Tri Hita Karana memiliki makna, Tri berarti tiga, Hita berarti kemakmuran,
baik, gembira, senang, dan lestari, sedangkan Karana berarti sebab, sumber (penyebab). Jadi
Tri Hita Karana memiliki arti tiga unsur penyebab kebaikan yang meliputi :

Atma (roh/jiwa)
Prana (tenaga)
Angga (jasad/fisik)
Konsepsi Tri Hita Karana melandasi terwujudnya susunan kosmos dari yang paling

makro (bhuana agung/alam semesta) sampai hal yang paling mikro (bhuana alit/manusia).
Apresiasi Budaya 10

Dalam alam semesta jiwa adalah paramatma (Tuhan Tang Maha Esa), tenaga adalah berbagai
energi alam dan jasad adalah Panca Maha Bhuta. Dalam kaitannya dengan banjar, Atma
(jiwa) dari banjar adalah parahyangan (pura banjar), Prana (tenaga) adalah pawongan (warga
banjar) dan Angga (jasad) adalah palemahan (wilayah banjar). Sedangkan dalam diri
manusia, jiwa adalah atman, tenaga adalah sabda bayu idep dan jasad adalah sthula
sarira/tubuh manusia.
Penyelarasan antara bhuana agung dengan bhuana alit yang dikenal dengan Tri Hita
Karana pada banjar Wangaya Kaja dapat dilihat dari penyelarasan hubungan manusia dengan
Tuhan (parahyangan) dengan terdapatnya sebuah Mrajan di banjar yang terletak pada arah
orientasi Kaja-Kangin, hubungan manusia dan manusia (pawongan) teraplikasikan dengan
warga banjar itu tersendiri, sedangkan untuk palemahannya yaitu bangunan banjar itu sendiri.
Rumah

Parhyangan

Pawongan

(Sanggah/Pamerajan) (Penghuni
rumah)

Palemahan
(Pekarangan
rumah)

2.3.2 Panca Maha Bhuta


Agama Hindu memiliki suatu kepercayaan
terhadap

hubungan

manusia

dengan

alam,

bhuana alit dan bhuana agung yang terbentuk


oleh unsure-unsur yang sama yang dikenal
dengan panca mahabutha. Kedua alam ini (macro
dan microcosmos) mempunyai sifat-sifat keadaan
yang sama. Segala yang kental, padat dank keras
pada alam maupun tubuh manusia terbentuk oleh
Pertiwi (zat padat), segala yang cair terbentuk
oleh Apah

(zat cair), segala yang bercahaya

Gbr. 1 Unsur Panca Maha Bhuta pada tubuh


manusia
Sumber : www.kaladarshan.arts.ohio-state.edu

panas terbentuk oleh Teja (cahaya), angin, hawa


dan gas pada macrocosmos serta nafas pada mahluk terbentuk oleh unsur Bayu (gas), adapun
kekosongan baik pada micro dan macrocosmos disebabkan oleh unsur Akasa (ether).

Apresiasi Budaya 11

Selanjutnya hubungan harmonis antara bhuana alit dan bhuana agung diimplikasikan
pada sisitem pendimensian bangunan, baik parahyangan, pawongan maupun palemahan,
bahwa yang menjadi patokan dalam sisitem pendimensian adalah ergonomic dari pemilik
rumah untuk tempat tinggal dan ergonomic pemangku untuk parhyangan, pelinggihpelinggih (tempat bersthananya dewa-dewa).
2.3.3Tri Angga
Tri Hita Karana (tiga unsur kehidupan) yang mengatur kesimbangan atau keharmonisan
manusia dengan lingkungan, tersusun dalam susunan jasad/angga, memberikan turunan
konsep ruang yang disebut Tri Angga. Secara harfiah Tri berarti tiga dan Angga berarti
badan, yang lebih menekankan tiga nilai fisik yaitu: Utama Angga, Madya Angga dan Nista
Angga. Dalam alam semesta/Bhuana agung, pembagian ini disebut Tri Loka, yaitu: Bhur
Loka (bumi), Bhuah Loka (angkasa), dan Swah Loka (sorga). Ketiga nilai tersebut didasarkan
secara vertikal, dimana nilai utama pada posisi teratas/sakral, madya pada posisi tengah dan
nista pada posisi terendah/kotor.
Konsepsi Tri Angga berlaku dari yang bersifat makro (alam semesta/bhuana agung)
sampai yang paling mikro (manusia/bhuana alit). Dalam skala wilayah; gunung memiliki
nilai utama; dataran bernilai madya dan lautan pada nilai nista. Dalam perumahan,
Kahyangan Tiga (utama), Perumahan penduduk (madya), Kuburan (nista), juga berlaku
dalam skala rumah dan manusia.
Pada banjar Wangaya Kaja konsep Tri Angga ini dapat dilihat dari bentuk bangunannya.
Tri Angga pada bangunan terdiri dari atap pada Utama Angga, kolom/dinding pada Madya
Angga dan lantai/bataran pada Nista

Angga.

Ketiga unsur tersebut menjadi satu kesatuan

yang membentuk aplikasi dari susunan makro kosmos ke mikro kosmos.

Apresiasi Budaya 12

2.3.4 Ulu Teben dan Sangamandala


Selain memberikan nilai secara vertikal, konsep Tri Angga juga memiliki tata nilai UluTeben, yang merupakan tata nilai dalam mencapai keselarasan antara bhuana agung/alam
semesta dan bhuana alit/manusia. Konsep Ulu-Teben ini kemudian mempunyai beberapa
orientasi-orientasi, antara lain :

Orientasi dengan konsep sumbu ritual Kangin-Kauh.


- Kangin (matahari terbit)-luan, nilai utama
- Kauh (matahari terbenam)-teba, nilai nista
Orientasi dengan konsep sumbu bumi/natural Kaja-Kelod
- Kaja (ke arah gunung)-luan, nilai utama
- Kelod (ke arah laut)-teba, nilai nista
Penggabungan konsep sumbu bumi (Kaja-Kelod) dengan sumbu nilai mengghasilkan

konsep Sanga Mandala. Konsep tata ruang Sanga Mandala juga merupakan konsep yang
lahir dari sembilan manifestasi Tuhan, yaitu Dewata Nawa Sanga yang menyebar di delapan
arah mata angin di tambah satu di tengah dalam menjaga keseimbangan alam semesta.
Konsep Sanga Mandala ini menjadi pertimbangan dalam penzoningan kegiatan dan tata letak
bangunan dalam penzoningan kegiatan dan tata letak bangunan pada Arsitektur Tradisional
Bali. Kegiatan utama atau yang memerlukan ketenangan diletakkan di daerah Utamaning
Utama, dan kegiatan yang dianggap kotor diletakkan di daerah Nistaning Nista, sedangkan
kegiatan diantaranya diletakkan di tengah atau yang kita kenal dengan pola Natah.

Apresiasi Budaya 13

Gbr.2 Konsep Arah Orientasi Ruang dan Konsep Sanga Mandala


Sumber: Eko Budihardjo (1986)

2.3.5 Bapa Akasa Ibu Pertiwi


Dalam konsep Bapa Akasa, langit dianggap bermuatan positif sedangkan ibu pertiwi
(tanah) dianggap bermuatan negatif yang memiliki daya tarik (grafitasi) sehingga Tuhan
sebagai Bapa Akasa turun menuju ibu pertiwi. Dengan dasar konsep ini manusia bisa berdiri
tegak dimuka bumi ini, jika ibu pertiwi tidak memiliki daya tarik, manusia akan ditarik oleh
kekuatan planet lain pada antariksa ini. Sehingga dalam arsitektur tradisional Bali selalu
terdapat bataran-bataran yang tinggi merupakan simbul dari ibu pertiwi.
Apresiasi Budaya 14

Selain terdapatnya bataran-bataran tinggi sebagai simbul dari ibu pertiwi konsep Bapa
Akasa dan Ibu Pertiwi juga terdapat pada sebuah ruang kosong sebagai pertemuan antara
unsur langit dan bumi yang sering diebut dengan natah. Natah tersendiri memiliki beberapa
pengertian yaitu sebagai ruang, tempat dan kekosongan, dari pengertian tersebutlah natah
difungsikan sebagai tempat yang sakral dimana upacara keagamaan dilaksanakan di dalam
natah.

Apresiasi Budaya 15

BAB III
DATA & IDENTIFIKASI GEJALA PERGESERAN
3.1 Gambaran Umum
Rumah dari bapak I.G.N. Jayanegara merupakan rumah tradisional Bali yang terletak di
Banjar Saba Kelurahan Penatih, Kecamatan Denpasar Timur, Kotamadya Denpasar. Rumah ini
merupakan rumah peninggalan orang tua dari bapak I.G.N. Jayanegara yang dari dahulu hingga
sekarang telah banyak terjadi perubahan dari berbagai aspek.

Gbr. 3 Peta Lokasi

Apresiasi Budaya 16

3.2 Pola Tata Ruang Pada Rumah


Rumah milik bapak I.G.N Jayanegara ini memiliki pola tata ruang yang berpegangan
teguh terhadap konsep Ulu-Teben dan Sangamandala. Pada rumah ini telah mengalami gejala
pergeseran bentuk dan fungsi yang dilihat dari beberapa bentuk bangunan yang bertambah
pada pola penataan tata ruang rumah tersebut. Hal ini dikarenakan dengan semakin
berkembangnya zaman maka tuntutan ruang akan sebuah rumah di suatu pekarangan pun
bertambah.
3.2.1 Pola Tata Ruang Rumah Lama

Keterangan:
A.
B.
C.
D.
E.
F.
G.
H.
I.
J.
K.
L.

: tempat suci/ merajan


: wantilan kecil
: Bale Tempat menyimpan arca
: Kandang
: Bale Daja
: merajan natah
: Bale Gede
: Paon
: Bale meten
: Natah
: Sumur
Angkul angkul

Gbr. 4 Pola tata ruang rumah lama


Sumber : hasil wawancara

3.2.2 Pola Tata Ruang Rumah Sekarang


Keterangan:
A. Merajan

Apresiasi Budaya 17

B & C: Bale Penyimpan benda Seni


D. Paon
E. Bale daja
F. Bale bengong
G. Merajan natah
H. Bale Gede
I. Bale Delod
J. Bale Meten
K. Natah
L. Garasi
M. Bale Dauh
N. Angkul angkul

Gbr.5 Pola tata ruang rumah sekarang


Sumber : hasil survei

3.3 Bentuk dan Fungsi Bagian Bangunan Pada Rumah


3.3.1 Pamerajan

Apresiasi Budaya 18

Pura untuk tempat pemujaan keluarga dari satu unit keluarga besar di sebuah Pamerajan
atau Sanggah. Untuk tempat pemujaan di tingkat keluarga di setiap rumah tangga ada
Pamerajan atau Sanggah yang terletak di daerah Kaja-Kangin. Pamerajan alit diperuntukan
untuk keluarga kecil atau rumah tanggab dan Pamerajan Agung atau Sanggah Gede untuk
keluarga besar.
Pada rumah milik bapak I.G.N Jayanegara ini bentuk Pamerajannya bersifat pamerajan
alit yang terdiri dari :

Gbr. 6 Pola peletakkan pelinggih (bangunan suci) pada rumah


Sumber : hasil survei

Letak dari bangunan suci ini berorientasi pada arah timur untuk bangunan Gedong,
Kemulan dan Ratu Ngurah dengan arah hadap ke barat dan untuk pelinggih Taksu
berorientasi pada arah utara dengan arah hadap ke selatan.

Apresiasi Budaya 19

Gbr. 7 Pelinggih (bangunan suci) pada rumah bapak I.G.N. Jayanegara


Sumber : hasil survei

3.3.2. Angkul-angkul
Angkul-angkul adalah sejenis pintu masuk rumah atau pekarangan untuk
bangunan bali yang diberi atap yang meng- ungkuli/unkul-ungkul (berada diatas
kepala) terhadap orang yang lewat. Menurut Arinton Puja, istilah pamesuan muncul
sesuai dengan fungsinya untuk pintu masuk dan keluar. Namun, istilah ini hanya untuk
pintu masuk dan keluar yang lebih sederhana dari kori. Untuk tempat-tempat yang
disucikan istilah pamesuan disebut dengan kori agung, dan pamedal adalah istilah
yang sama untuk perumahan dari penghuni berkasta brahmana atau ksatria. Massa
angkul-angkul bisa dianggap sebagai lubang masuk berangkap. Untuk pekarangan
yang luas atau perumahan utama atau madya juga dibangun pintu sehari-hari, karena
alam perkembangannya angkul-angkul dianggap sebagai pintu masuk formal, yang
disebut betelan atau peletasan.

Dimensi
Angkul-angkul sangat besar dipengaruhi status sosial penghuninya, selain kondisi

perekonomiannya, berdasarkan dimensinya, angkul-angkul dibedakan atas vertikal dan


horizontal.

Dimensi Horizontal
Angkul-angkul memiliki lubang pintu dengan lebar selebar orang yang sedang

bertolak pinggang(mapejengking). Dimensi lebar juga dapat diperoleh dari 3 tapak


kaki ditambah satu tapak ngandang(3+1/2 telapak kaki pemilik rumah). Lubang pintu
yang sempit mengajak orang untuk melangkah hati-hati, tertib, dan penuh hormat.
Perhitungan menggunakan ukuran badan kepala keluarga. Ukuran ini menyebabkan
pintu rumah tidak disiapkan untuk dilalui hewan peliharaan atau kendaraan.
Apresiasi Budaya 20

Dimensi Vertikal

Pintu angkul-angkul memiliki tinggi yang berbeda, secara garis besar adalah 2,5xlebar
angkul-angkulnya.

Transformasi:
Transformasi yang terjadi pada angkul angkul adalah adanya perubahan dimensi

dari angkul angkul. Pada masa lalu angkul angkul pada rumah ini berukuran dengan
berpatokan pada dimensi manusia. Namun dengan perkembangan jaman perubahan
dimensi pada angkul angkul tampak pada ukuran lebar angkul angkul yang dapat
dilalui kendaraan bermotor.
Selain itu transformasi yang terjadi adalah adanya perubahan unsur material
pembentuk angkul angkul. Pada masa kini material yang digunakan adalah
penggunaan beton pada strukturnya, sedangkan unsur ragam hiasnya/ ornamen tampak
pada penggunaan bata gosok merah dan perpaduan paras.

Gbr. 7 Perubahan dimensi angkul-angkul pada rumah bapak I.G.N.


Jayanegara

3.3.3

Sumber : hasil survei

Bale

Meten

Sakutus

Fungsi
Apresiasi Budaya 21

Sebagai tempat tidur bagi orang tua atau Ida Pedanda Resi Penatih yang tinggal di

satu pekarangan milik bapak I.G.N. Jayanegara berada


Letak
- Zona Uttamaning Madya
- Terletak di sebelah utara dan menghadap ke selatan
Karakteristik
Dinding bangunan tertutup pada 4 sisi bangunan sehingga bangunan bersifat
privat dan hanya digunakan untuk orang yang dianggap tetua di suatu keluarga
atau juga sebagai tempat tinggal dari Ida Pedanda yang tinggal di dalam suatu

pekarangan tersebut.
Bahan
Atap :
-

Penutup atap dari genteng


Pendukung penutup atap terdiri atas rangkaian iga-iga/usuk, terbuat dari
bahan kayu.

Dinding :
Jaman dulu menggunakan bahan tanah polpolan. Jaman sekarang menggunakan
bata merah dan batu paras bahkan terkadang diplester dengan semen.
Tiang/Sesaka :
Bahan kayu jati karena kekuatan dan keawetannya dan terdiri dari 8 buah saka di
bagian luar bangunan.
Pondasi :
Menggunakan susunan batu alam sedangkan bebaturannya menggunakan batu,
paras dan bata.

Apresiasi Budaya 22

Gbr. 8 Perubahan material bangunan pada Bale Meten Sakutus dari rumah bapak I.G.N. Jayanegara
Sumber : hasil survei

3.3.4

Bale Daja
Seperti yang dijelasankan sebelumnya fungsi bale Daja sebagai tempat tidur bagi
perempuan yang masih perawan atau belum menikah. Fungsi ini berubah sekarang,
hanya saja Bale Daja pada saat sekarang ini tidak saja hanya sebagai tempat tidur bagi
kaum perempuan yang belum menikah, tetapi bisa juga sebagai tempat tidur bagi
anggota keluarga lainnya. Bale daja yang diperuntukan bagi orang yang dianggap tua
pada keluarga ini dan letaknya sebelah barat dari merajan. Bale Daja sekarang ini
sekarang ini dibangun tanpa menggunakan lagi ukuran tradisional yang pasti. Bentuk
bale pada umumnya mengambil konsep Tri Angga seperti bangunan tradisional Bali
lainnya yang terbagi atas kepala, badan, dan kaki. Konsep bentuk ini masih dipegang
teguh oleh masyarakat Penatih sampai saat sekarang ini terutama pada rumah ini, hanya
saja perubahan dapat dilihat dari bentuk bentuk dengan memakai ukuran yang modern
bukan lagi menggunakan ukuran tradisional Bali. Perubahan dapat dilihat pada adanya
teras tambahan pada bangunan Bale Daja ( bale Meten ) yang difungsikan sebagai
tempat duduk duduk dengan tambahan saka, sebagai penopangnya. Initinya bentuk
dari sebuah bale daja yang sangat sederhana berkembang menjadi bentuk yang lebih
kompleks seiring dengan pertambahan ruang dalam bangunan.

Apresiasi Budaya 23

Gbr. 9 Bale

Daja pada

rumah

bapak

I.G.N.
Jayanegara
Sumber : hasil survei

Perubahan tata letak Bale Daja di jaman modern saat ini. Perubahan terjadi adalah
Bale Daja agak ke barat atau agak ke timur, tidak selalu tepat dengan arah utara (kaja)
namun tetap menghadap ke selatan. Karena keterbatasan lahan terutama biasa terjadi
pada daerah urban seperti desa Penatih, Bale daja di bangun pada lahan kosong yang
tersedia, pada bangunan ini terletak di sebelah agak ke sebelah timur. Banyak
masyarakat modern sekarang ini memiliki pemikiran bahwa yang penting dalam
rumahnya terdapat Bale Daja entah itu peletakannya di mana saja selama masih ada
pekarangan di rumahnya, bahkan pada rumah tinggal masa kini jarang terdapat bale
daja.
Pola bangunan tradisional bale daja umumnya disesuaikan dengan tingkat
golongan utama, madya, sederhana. Bentuk terkecil dari bale daja adalah saka 8 atau
bertiang delapan. Pada pekarangan ini bale daja menggunakan tiang 8, pada bagian
dalamnya terdapat 4 saka dan bagian luarnya terdapat 4 saka. Pada saat ini penggunaan
bahan bahan tradisional di atas sudah sedikit mengalami perubahan, hal ini
didasarkan atas tingkat perekonomian masyarakat Bali yang semakin meningkat , serta
semakin sulitnya memperoleh beberapa bahan alami tersebut. Faktor estetika juga
menjadi salah satu pertimbangan berubahnya penggunaan bahan tersebut.
-

Untuk bagian bawah atau pondasi tetap menggunakan batu kali sebagai strukturnya.
Perubahan yang terjadi adalah pada bagian bantaran yang saat ini kebanyakan telah di
tempeli keramik. Hal ini merupakan ekspresi dari tingkat perekonomian si pemilik yang
semakin meningkat.
Apresiasi Budaya 24

Untuk bagian tengah, terutama bagian bale-bale dan sesaka masih menggunakan bahan
kayu. Perubahan yang terjadi pada bangunan dinding dimana penggunaan bahan dinding,
dimana penggunaan tanah polpolan sudah di tinggalkan. Kini dinding menggunakan

bahan batu bata dilapisi plesteran kemudian di finishing dengan cat.


Pada bagian atas tetap menggunakan bahan kayu pada struktur atapnya, hal ini berarti
struktur atap tradisional bali masih tetap digunakan yang berubah adalah penutup atap
yang saat ini adalah bahan genteng dan asbes karena bahan alang-alang semakin sulit
diperoleh dan harganya cukup mahal.
Ornamen merupakan salah satu estetika yang mendukung keberadaan Bale Daja.
Pada Bale Daja mulanya ornamen bersifat pelengkap dan bentuknya sangat sederhana,
namun pada perkembangannya sekarang ini Bale Daja dibuat semegah mungkin dengan
menambah ornament-ornamen yang dapat menambah nilai estetika Bale Daja, baik pada
bagian atapnya, dindingnya maupun pada bagian lantainya yang disesuaikan pada tingkat
ekonomi pemiliknya. Pada ukir-ukirannya dapat dilihat pada saka-sakanya dengan ukiran
berbagai bentuk yang di finishing dengan prada (pada bale daja meten).

3.3.5 Bale Dauh

Fungsi
Sebagai tempat tidur bagi orang tua dan tempat menerima tamu.
Letak
- Zona Madyaning Nista.
- Terletak di sebelah barat (kauh), menghadap ke timur (kangin).

Apresiasi Budaya 25

Gbr. 10 Bale Dauh yang terletak pada arah kauh (barat) yang menghadapa ke arah kangin (timur)
Sumber : hasil survei

Bahan
Dinding :
Anyaman bambu besar (tidak seperti gedeg) sehingga terdapat pori-pori yang
memungkinkan terjadinya sirkulasi udara (meskipun relatif kecil). Pada bangunan
yang telah mengalami modernisasi, dinding bangunan terbuat dari pasangan batu
bata.
Dinding batur :
Bahan batu kali.
Tiang bangunan :
Bahan kayu (bersifat struktural). Elemen-elemen struktur tiang: sineb lambang,
canggahwang, dan bale-bale memakai bahan kayu dan seseh (batang kelapa),
kecuali untuk alas bale-bale (galar) memakai bahan bambu.
Sendi-sendi :
Bahan batu padas dan batu kali (merupakan media penerusan beban bangunan,
yang hubungannya dengan tiang/saka).
Lantai bangunan :
Lantai tanah. Pada Bale Dauh yang telah mengalami modernisasi, pemakaian
bahan beralih ke semen dan tegel/keramik

Transformasi :
Sesuai dengan tuntutan zaman bale dauh pada masa kini sudah berubah fungsi
menjadi ruang tidur. Karena bertambahnya jumlah penghuni dari rumah tinggal di
penatih tersebut maka rumah tersebut dijadikan sebagai rumah modern. Namun
sesuai dengan filosofinya bale dauh tetap sebagai tempat beristirahat, walaupun
hirarkinya telah berubah dari tempat istirahat orang tua berubah menjadi tempat
istirahat keluarga. Material yang digunakan juga telah mengalami perubahan yang
Apresiasi Budaya 26

cukup signifikan. Penggunaan material yang dahulunya menggunakan mterial


alami seperti bahan batu padas dan batu kali, bahan kayu, anyaman bambu besar,
bahan kayu dan seseh (batang kelapa). Material yang digunakan pada masa kini
adalah penggunaan material beton bertulang pada unsur strukturalnya, sedangkan
atap menggunakan atap genteng. Unsur modern terdapat pada unsur pelapis lanati
berupa keramik.

3.3.6 Bale Gede

Letak

Terdapat dalam pola natah menjadi satu unit hunian. Terletak di timur (kangin) dari
halaman/natah, dengan sisi yang lebih lebar menghadap Utara (memanjang ke arah
timur-barat). Berhadapan dengan Bale Daja.

Jumlah tiang

12 tiang penyangga (2 bale).

Fungsi

Tempat untuk mempersiapkan kegiatan upacara keagamaan (terutama upacara manusia


yadnya dan pitra yadnya).

Karakteristik
Dinding bangunan tertutup pada 2 sisi (sisi timur dan selatan) sehingga dapat
memberikan kebebasan gerak dalam kegiatan upacara dengan struktur sebagai dinding
pemisah dan memikul bebannya sendiri serta tidak mempengaruhi struktur utama.

Gbr. 11 Bale Gede pada rumah bapak I.G.N.Jayanegara

Apresiasi Budaya 27

Sumber : hasil survei

Bahan
Atap :
-

Penutup atap dari alang-alang, bambu, sirap bambu atau anyaman daun

kelapa.
Pendukung penutup atap terdiri atas rangkaian iga-iga/usuk, terbuat dari

bahan bambu.
Langit-langit yang mengikat iga-iga pada puncak atap memakai bahan

kayu jenis ketewel/kayu nangka.


Lambang sineb sebagai pengikat dan pemersatu saka, menggunakan

batang kelapa/seseh.
Pemeteng dan saka pada Bale Gede menggunakan bahan kayu, untuk jenis
kayu yang digunakan disesuaikan dengan fungsi bangunannya.

Dinding :
Jaman dulu menggunakan bahan tanah polpolan. Jaman sekarang menggunakan
bata merah dan batu paras bahkan terkadang diplester dengan semen.
Tiang/Sesaka :
Bahan kayu jati karena kekuatan dan keawetannya.
Pondasi :
Menggunakan susunan batu alam sedangkan bebaturannya menggunakan batu,
paras dan bata.
3.3.7 JINENG
Jineng adalah bangunan traditional Bali yang berfungsi sebagai tempat untuk
menyimpan padi. Bangunan penyimpanan padi dengan denah persegi empat, memiliki
4 kolom, dengan atap pelana lengkung. Letak Jineng umumnya berdekatan dengan
paon, sehingga ruang bale Jineng dapat difungsikan sebagai perluasan dari kegiatan
paon. Jineng jika dilihat dari strukturnya merupakan bangunan bertingkat, dengan
ruang penyimpanan padi di atas. Langki kepala tiang dengan lantai selasar berbatas sisi
dalam atap lengkung, dan balai di bagian bawah untuk tempat duduk, istirahat, atau
tempat bekerja. Sesuai dengan fungsi aslinya dan adanya ruang bertingkat, maka
Apresiasi Budaya 28

konstruksi Jineng dibuat dengan kolom yang cukup besar, bukan hanya satu rai seperti
umumnya bangunan tradisional Bali lainnya.

Pergeseran Fungsi Jineng


Pergeseran sektoral dari pertanian ke sector lainnya terutama ke sector jasa telah

mempengaruhi perubahan system mata pencaharian sebagian besar masyarakat Bali.


Hal ini mempercepat tergesernya keberadaan bangunan tradisional Bali khusunya
Jineng yang tidak lagi memenuhi fungsi sesuai dengan tuntutan nilai masa kini, di mana
kebutuhan terhadap bangunan hunian meningkat sehingga keberadaannya banyak
terbengkalai dengan kondisi yang menyedihkan. Pada pekarangan ini Jineng hanya
berfungsi sebagai hiasan dan sebagai penunjuk status social.

Gbr. 12 Jineng sebagai status sosial pada rumah bapak I.G.N. Jayangera
Sumber : hasil survei

3.3.8 PAON
Dalam rumah I. G. N. Jayanegara, bentuk paon pada masa lalu berbentuk
bangunan sakanem. Bentuk sakanem segi empat panjang, dengan panjang sekitar tiga
kali lebar. Luas bangunan sekitar 6 meter x 2 meter, mendekati dua kali luas sakapat.
Konstruksi atap pada masa lalu adalah kampiah. Material bangunan yang dipergunakan
Apresiasi Budaya 29

pada paon pada rumah ini adalah tembok dari tembok popolan/ tanah dengan atap dari
genteng serta lantai dari tanah.
Perubahan kondisi paon terjadi pada rumah I. G. N. Jayanegara, perubahan yang
terjadi berupa perubahan tata letak. Pada masa lalu Paon terletak pada posisi kelod
(selatan). Posisi tersebut bergeser ke arah timur yakni ke arah kandang. Sehingga kini
posisi paon tersebut terletak pada posisi kangin kelod (timur selatan) dari rumah
tersebut.

Gbr. 13 Paon pada rumah bapak I.G.N Jayanegara yang bergandengan dengan Bale Delod
Sumber : hasil survei

Apresiasi Budaya 30

BAB IV
PENUTUP
4.1 Kesimpulan
Adanya era modernisasi membuat rumah tradisional Bali juga ikut berkembang, mulai
dari bahan, warna sampai dengan bentuk. Tidak sedikit faktor ini menyebabkan pergeseran nilainilai tradisional yang telah di anut. Karena itu, dalam perkembangan arsitektur tradisional Bali
ke depannya, perumahan tata ruang perumahan Bali merupakan dasar yang harus dipegang kuat
dalam membangun.
4.2 Saran-saran
Penyusun sadar bahwa paper ini jauh dari sempurna akibat dari keterbatasan penyusun.
Maka dari itu penyusun mengharapkan kritik dan saran yang konstruktif dari semua pihak yang
bersifat membangun demi kesempurnaan paper ini. Semoga paper memberikan manfaat bagi
pembaca.

Apresiasi Budaya 31

DAFTAR PUSTAKA
Sumintardja. Djauhari, Kompedium Sejarah Arsitektur, Yayasan Lembaga Penyelidikan
I Nyoman Gelebet. 1985. Pengantar Arsitektur Tradisional Bali. Denpasar : Departemen
Pendidikan dan Kebudayaan Propinsi Bali.
Dwijendra. N.K. Acwin. 2008. Arsitektur Rumah Tradisional Bali. Denpasar : Udayana
University Press
http://id.wikipedia.org/wiki/budaya

Apresiasi Budaya 32

Anda mungkin juga menyukai