Anda di halaman 1dari 40

BAB I

PENDAHULUAN
1.1

Latar Belakang Masalah


Manusia memang tidak dapat dilepaskan dari kebudayaan yang dihasilkannya. Mereka
membentuk berbagai ide dan gagasan dalam upayanya untuk menjaga keberadaan mereka
dan sebagai usaha untuk menghargai keberadaan alam di sekitarnya. Mereka juga
menciptakan berbagai sistem yang digunakan dalam kehidupan sehari-hari yang harus ditaati.
Sistem ini berkaitan dengan hubungan manusia dengan penciptanya, hubungan manusia
dengan sesamanya dan hubungan manusia dengan lingkungannya. Selain itu, mereka juga
menciptakan berbagai benda yang merupakan kreasi mereka dalam usaha untuk mncurahkan
imajinasinya terhadap ide, gagasan serta sistem yang telah mereka tentukan dan terapkan.
Dalam sistem sosial, untuk menunjang kegiatan kemasyarakatan manusia berinteraksi
ke sesama, maka dibangunlah perumahan. Pembangunan perumahan atau rumah ini
merupakan sebuah hasil kreasi manusia terhadap sistem sosial mereka. Rumah merupakan
suatu hasil daya pikir manusia yang menyesuaikan terhadap keadaan lingkungan di
sekitarnya. Pada jaman purba, begitu manusia menemukan api, begitu juga manusia
menumukan dapur maka pada saat itulah dikenal rumah sebagai tempat berlindung dan
mengahangatkan diri. Begitu juga fungsi rumah pada zaman sekarang yang masih berfungsi
sebagai tempat berlindung terhadap gangguan cuaca dan juga terdapat fungsi-fungsi lainnya.
Arsitektur Tradisional Bali merupakan perwujudan keindahan manusia dan alamnya
oleh masyarakat Bali yang mengeras kedalam bentuk-bentuk bangunan dengan ragam hias
yang dikenakannya. Bentuk-bentuk ragam hias yang ditampilkan mengambil berbagai bentuk
alam. Hal ini menyebabkan munculnya berbagai bentuk ragam hias. Selain itu, berbagai
ragam hias yang digunakan memiliki makna tersendiri. Penempatan ragam hias juga tak
boleh dilakukan dengan sembarangan. Hal ini harus disesuaikan dengan kaidah yang telah
ditentukan.

APRESIASI BUDAYA 1

1.2

Rumusan Masalah
Adapun permasalahan yang dapat dirumuskan berdasarkan latar belakang di atas, antara
lain :
.1

Bagaimana bentuk dan fungsi dari rumah tradisional Bali yang mulai terjadi
perubahan budaya?

.2

Apa makna yang terkandung di dalam perubahan budaya perilaku civitas rumah?

.3

Pada bagian mana sajakah terjadi perubahan budaya pada rumah tradisional Bali
yang terdapat di Penatih ini ?

1.3

Tujuan Penulisan
Adapun tujuan dari penulisan laporan ini adalah sebagai berikut :
1.

Untuk mengetahui bentuk dan fungsi dari rumah tradisional Bali yang sudah
terjadi perubahan budaya.

2.

Untuk mengetahui makna yang terkandung di dalam perubahan budaya perilaku


civitas rumah.

3.

Untuk mengetahui letak perubahan budaya pada rumah tradisional Bali yang
terdapat di Penatih.

1.4

Metode Penulisan
Adapun metode penulisan yang kami gunakan dalam pembuatan laporan ini antara lain,
yaitu :
.1

Metode Observasi
Yaitu melakukan pengamatan langsung terhadap objek yang akan dikaji.

.2

Metode Literatur
Yaitu menggunakan beberapa literatur yang berkaitan dengan penulisan ini.

.3

Metode Wawancara
Yaitu melakukan wawancara dengan narasumber yang terkait dengan subjek penulisan
ini.

APRESIASI BUDAYA 2

1.5 Sistematika Penulisan


BAB I PENDAHULUAN

: menguraikan tentang latar belakang pemilihan masalah


yang menjadi dasar dalam penulisan laporan ini.

BAB II TINJAUAN PUSTAKA : menguraikan tentang berbagai teori yang berhubungan


dengan masalah yang diangkat dalam penulisan laporan
ini.
BAB III TINJAUAN OBJEK

: menguraikan tentang objek yang dibahas pada laporan ini


serta menganalisa berbagai rumusan permasalahan yang
telah diajukan.

BAB IV SIMPULAN

: menguraikan simpulan dari keseluruhan penulisan ini


serta kemungkinan saran yang diajukan.

APRESIASI BUDAYA 3

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Budaya
2.1.1 Pengertian Budaya
Budaya atau kebudayaan, berasal dari bahasa Sansekerta yaitu buddhayah yang
merupakan bentuk jamak dari buddhi (budi atau akal) diartikan sebagai hal-hal yang
berkaitan dengan budi dan akal. Dalam bahasa Inggris, kebudayaan disebut culture,
yang berasal dari kata Latin Colere, yaitu mengolah atau mengerjakan. Bisa diartikan
juga sebagai mengolah tanah atau bertani. Kata culture juga kadang diterjemahkan
sebagai "kultur" dalam bahasa Indonesia.
Ada beberapa versi definisi dari kebudayaan, antara lain :

Menurut Koentjoroningrat (1974), kebudayaan adalah seluruh gagasan / pikiran,


tindakan / karya dan hasil karya manusia dalam rangka kehidupan masyarakat yang
tidak berakar pada nalurinya, dan karenanya hanya bisa dicetuskan setelah melalui
proses belajar.

Menurut Van Peursen (1977), kebudayaan adalah endapan dari kegiatan dan karya
manusia.

Menurut Soewondo BS (1982), kebudayaan pada hakekatnya merupakan alat untuk


memenuhi kebutuhan. Jika kebudayaan sudah tidak lagi dapat memenuhi kebutuhan
maka dengan sendirinya kebudayaan akan hilang. Jadi kebudayaan mendasari dan
mendorong terwujudnya suatu kelakuan sebagai pemenuhan kebutuhan yang
timbul.

Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (2001 : 170),


- Kebudayaan adalah hasil kegiatan dan penciptaan batin (akal budi) manusia
seperti kepercayaan, kesenian dan adat istiadat.
- Kebudayaan adalah keseluruhan pengetahuan manusia sebagai mahluk sosial
yang digunakan untuk memahami lingkungan serta pengalamannya dan yang
menjadi pedoman tingkah lakunya.

Menurut Arnold Toynbee, kebudayaan adalah segala ciptaan manusia pada


hakekatnya hasil usaha manusia untuk mengubah dan memberi bentuk serta
susunan baru kepada pemberian alam, sesuai dengan kebutuhan jasmani dan
APRESIASI BUDAYA 4

rohaninya dan kebudayaan universal yaitu kebudayaan yang unsur-unsurnya bisa


didapatkan di dalam semua kebudayaan dari semua bangsa di mana pun di dunia.

Menurut R. Soekmono, kebudayaan adalah seluruh hasil usaha manusia, baik berupa
benda ataupun hanya berupa buah pikiran dan alam penghidupan.

Menurut Andreas Eppink, kebudayaan mengandung keseluruhan pengertian, nilai,


norma, ilmu pengetahuan serta keseluruhan struktur-struktur sosial, religius, dan
lain-lain, tambahan lagi segala pernyataan intelektual dan artistik yang menjadi ciri
khas suatu masyarakat.

Menurut Edward B. Taylor, kebudayaan merupakan keseluruhan yang kompleks,


yang di dalamnya terkandung pengetahuan, kepercayaan, kesenian, moral, hukum,
adat istiadat, dan kemampuan-kemampuan lain yang didapat seseorang sebagai
anggota masyarakat.

Menurut Selo Soemardjan dan Soelaiman Soemardi, kebudayaan adalah sarana


hasil karya, rasa, dan cipta masyarakat.
Dari berbagai definisi tersebut di atas, dapat diperoleh pengertian mengenai

kebudayaan yaitu sistem pengetahuan yang meliputi sistem ide atau gagasan yang
terdapat dalam pikiran manusia, sehingga dalam kehidupan sehari-hari, kebudayaan itu
bersifat abstrak. sedangkan perwujudan kebudayaan adalah benda-benda yang
diciptakan oleh manusia sebagai makhluk yang berbudaya, berupa perilaku dan bendabenda yang bersifat nyata, misalnya pola-pola perilaku, bahasa, peralatan hidup,
organisasi sosial, religi, seni, dan lain-lain, yang kesemuanya ditujukan untuk
membantu manusia dalam melangsungkan kehidupan bermasyarakat.
2.1.2 Wujud Kebudayaan
Menurut J.J. Hoenigman, wujud kebudayaan dibedakan menjadi tiga: gagasan,
aktivitas, dan artefak.

Gagasan (Wujud ideal)


Wujud ideal kebudayaan adalah kebudayaan yang berbentuk kumpulan ide-ide,
gagasan, nilai-nilai, norma-norma, peraturan, dan sebagainya yang sifatnya abstrak;
tidak dapat diraba atau disentuh. Wujud kebudayaan ini terletak dalam kepalaAPRESIASI BUDAYA 5

kepala atau di alam pemikiran warga masyarakat. Jika masyarakat tersebut


menyatakan gagasan mereka itu dalam bentuk tulisan, maka lokasi dari kebudayaan
ideal itu berada dalam karangan dan buku-buku hasil karya para penulis warga
masyarakat tersebut.

Aktivitas (Tindakan)
Aktivitas adalah wujud kebudayaan sebagai suatu tindakan berpola dari manusia
dalam masyarakat itu. Wujud ini sering pula disebut dengan sistem sosial. Sistem
sosial ini terdiri dari aktivitas-aktivitas manusia yang saling berinteraksi,
mengadakan kontak, serta bergaul dengan manusia lainnya menurut pola-pola
tertentu yang berdasarkan adat tata kelakuan. Sifatnya konkret, terjadi dalam
kehidupan sehari-hari, dan dapat diamati dan didokumentasikan.

Artefak (Karya)
Artefak adalah wujud kebudayaan fisik yang berupa hasil dari aktivitas, perbuatan,
dan karya semua manusia dalam masyarakat berupa benda-benda atau hal-hal yang
dapat diraba, dilihat, dan didokumentasikan. Sifatnya paling konkret di antara
ketiga wujud kebudayaan.
Menurut Koentjoroningrat (1974), kebudayaan dapat digolongkan ke dalam tiga

kelompok, yaitu:
-

Wujud ideal meliputi gagasan, nilai-nilai, norma, peraturan dsb,

Wujud sistem sosial yang merupakan pola kelakuan manusia


dalam masyarakatnya,

Wujud fisik yang merupakan benda-benda hasil karya manusia,


termasuk produk arsitektur.
Menurut LA. White (1949), kebudayaan merupakan sistem terpadu dan

terorganisir yang dapat dirinci dalam tiga bagian yaitu :


-

Sistem teknologi (peralatan produksi untuk memenuhi kebutuhan pokok,


perlindungan fisik dalam arti luas, peralatan berperang/pertahanan).

Sistem sosial sebagai perangkat untuk mewujudkan kehidupan komunal manusia


sebagai mahluk sosial (pola-pola tingkah laku kolektif maupun individual yang

APRESIASI BUDAYA 6

menghasilkan sistem organisasi masyarakat, sistem kemiliteran, sistem pembagian


kerja, dll).
-

Sistem ide sebagai perangkat untuk menafsirkan lingkungannya (gagasan,


kepercayaan, dan pengetahuan yang tercermin dalam percakapan, kepercayaan,
kesusasteraan, filsafat, dll).

2.1.3 Unsur Kebudayaan Universal


Beberapa ahli telah merumuskan unsur-unsur kebudayaan pokok. Para ahli tersebut,
di antaranya Melville J. Herskovits yang menyampaikan empat unsur pokok kebudayaan,
yaitu alat-alat teknologi, sistem ekonomi, keluarga, dan kekuasaan politik. Sementara
itu Bronislaw Malinowski menyebut unsur-unsur pokok kebudayaan sebagai berikut.

Sistem norma yang memungkinkan kerja sama antaranggota masyarakat sebagai upaya
menguasai alam sekitarnya.

Organisasi ekonomi.

Alat-alat dan lembaga atau petugas pendidikan, termasuk keluarga sebagai lembaga
pendidikan yang utama.

Organisasi kekuatan.
Adapun C. Kluckhohn dalam karyanya Universals Categories of Culture

memaparkan ada tujuh unsur kebudayaan yang dianggap cultural universals, yaitu sebagai
berikut.
1. Sistem kepercayaan (sistem religi).
Agama atau religi menurut Haviland dapat diapandang sebagai kepercayaan atau pola
perilaku yang diusahakan oleh manusia untuk menangani masalah masalah penting yang
tidak dapat dipecahkan dengan menggunakan teknologi dan teknik organisasi yang
diketahuinya untuk mengetahui keterbatasan itu orang berpaling pada kekuatan
supernatural. Sistem keyakinan dalam keagamaan menurut Koentjaraningrat dapat
berwujud pikiran dan gagasan manusia, yang menyangkut keyakinan dan konsepsi manusia
APRESIASI BUDAYA 7

tentang sifat sifat Tuhan, tentang wujud adri alam gaib/ kosmologi, tentang terwujudnya
alam dan dunia/ kosmogoni, tentang jaman akhirat/ syatologi. Sistem keyakinan juga
menyangkut tentang sistem nilai dan sistem keagamaan, ajaran kesusilaan, ajaran doktrin
lainnya yang mengatur tingkah laku manusia. Kemudian sarana yang dikatakan sebagai alat
pemujaan menurut Koentjaraningrat dapat berupa gedung gedung pemujaan seperti Pura,
Masjid, Gereja dan lain lain.
2. Sistem kemasyarakatan
Sistem kekerabatan merupakan bagian yang sangat penting dalam struktur sosial. Meyer
Fortes mengemukakan bahwa sistem kekerabatan suatu masyarakat dapat dipergunakan
untuk menggambarkan struktur sosial dari masyarakat yang bersangkutan. Kekerabatan
adalah unit-unit sosial yang terdiri dari beberapa keluarga yang memiliki hubungan darah
atau hubungan perkawinan. Anggota kekerabatan terdiri atas ayah, ibu, anak, menantu, cucu,
kakak, adik, paman, bibi, kakek, nenek dan seterusnya. Dalam kajian sosiologi-antropologi,
ada beberapa macam kelompok kekerabatan dari yang jumlahnya relatif kecil hingga besar
seperti keluarga ambilineal, klan, fatri, dan paroh masyarakat. Di masyarakat umum kita juga
mengenal kelompok kekerabatan lain seperti keluarga inti, keluarga luas, keluarga bilateral,
dan keluarga unilateral. Sementara itu, organisasi sosial adalah perkumpulan sosial yang
dibentuk oleh masyarakat, baik yang berbadan hukum maupun yang tidak berbadan hukum,
yang berfungsi sebagai sarana partisipasi masyarakat dalam pembangunan bangsa dan
negara. Sebagai makhluk yang selalu hidup bersama-sama, manusia membentuk organisasi
sosial untuk mencapai tujuan-tujuan tertentu yang tidak dapat mereka capai sendiri.
Menurut Koentjaraningrat suatu kelompok adalah suatu kesatuan individu yang terikat
oleh paling sedikit enam unsur sebagai berikut:
1. suatu sistem norma norma yang mengatur kelakuan warga kelompok
2. suatu rasa kepribadian kelompok yang disadari semua anggotanya
3. kegiatan kegiatan berkumpul dari anggota kelompok secara berulang ulang
4. suatu sistem hak dan kewajiban yang mengatur interaksi antara anggota kelompok
5. suatu pimpinan atau pengurus yang mengorganisasi kegiatan kelompok
APRESIASI BUDAYA 8

6. suatu sistem hak dan kewajiban bagi para individunya terhadap sejumlah harta
produktif, harta konsumtif dan harta pusaka tertentu.
3. Sistem Ilmu pengetahuan.
Ilmu adalah pengetahuan yang bersifat umum dan sistematis, pengetahuan dari
mana dapat disimpulkan dalil-dalil tertentu menurut kaidah-kaidah umum. (Nazir, 1988)
Konsepsi ilmu pada dasarnya mencakup tiga hal, yaitu adanya rasionalitas, dapat
digeneralisasi dan dapat disistematisasi (Shapere, 1974), Pengertian ilmu mencakup
logika, adanya interpretasi subjektif dan konsistensi dengan realitas sosial (Schulz, 1962)
Ilmu tidak hanya merupakan satu pengetahuan yang terhimpun secara sistematis, tetapi
juga merupakan suatu metodologi.
4. Mata pencaharian dan sistem-sistem ekonomi.
Dalam masyarakat selalu ada mata pencaharian atau sistem ekonomi, seperti pertanian,
peternakan, sistem produksi, sistem distribusi, dan sebagainya.
5. Bahasa, baik lisan maupun tulisan.
Masyarakat mana yang tidak memiliki bahasa? Tentunya tidak ada masyarakat yang tidak
memiliki bahasa, baik bahasa lisan maupun tulisan.
6.Kesenian, baik seni rupa, seni suara, maupun seni lainnya.
Setiap masyarakat mempunyai berbagai macam seni yang tentunya berbeda dengan
masyarakat lainnya.
7. Peralatan dan perlengkapan hidup manusia.
Setiap masyarakat juga memiliki pakaian, perumahan, alat-alat rumah tangga, alat-alat
produksi, senjata, dan sebagainya.

APRESIASI BUDAYA 9

2.2 Perumahan Tradisional Bali


2.2.1 Pengertian Perumahan Tradisional Bali
Pengertian Desa Tradisional Bali atau secara tradisional disebut desa (adat)
merupakan suatu tempat kehidupan yang utuh dan bulat terdiri atas 3 unsur, yaitu unsur
khayangan tiga (pura desa), unsur krama desa (warga), dan karang desa (wilayah)
(Sulistyawati, 1958 :3). Menurut Gelebet (1986 : 48), perumahan atau permukiman
tradisional merupakan tempat tinggal yang berpola tradisional dengan perangkat
lingkungan dengan latar belakang norma-norma dan nilai-nilai tradisional.
Desa tradisional Bali yang dilandasi konsepsi seperti hubungan yang harmonis
antara Bhuana Agung dengan Bhuana Alit, Manik Ring Cacupu, Tri hita Karana, Tri
Angga, Hulu-Teben sampai melahirkan tata nilai Sanga Mandala yang meberi arahan
tata ruang, baik dalam skala rumah (umah) maupun perumahan (desa). Hasil dari
penurunan konsep tata ruang ini sangat beragam, namun Ardi P. Parimin (1986)
menyimpulkan adanya 4 atribut dalam perumahan tradisional Bali, yaitu :

Atribut Sosiologi menyangkut sisitem kekerabatan masyarakat Bali yang


dicirikan dengan adanya sistem desa adat, sistem banjar, sistem subak, sekeha,

dadia dan perbekalan.


Aspek Simbolik berkaitan dengan orientasi perumahan, orientasi sumbu utama

desa, orientasi rumah dan halamannya.


Atribut Morfologi menyangkut komponen yang ada dalam suatu perumahan ini
(core) dan daerah periphery di luar perumahan, yang masing-masing

memmpunyai fungsi dan arti pada perumahan tradisional Bali.


Atribut Fungsional menyangkut fungsi perumagan tardisional Bali pada
dasarnya berfungsi keagamaan dan fungsi sosial yang dicirikan dengan adanya
3 pura desa.

2.2.2 Rumah Tempat Tinggal


Dari kehidupan goa sampai kehidupan kota manusia bertempat tinggal di rumah
rumah sederhana elemen alam, berkembang sampai ke rumah rumah flat super modern.
Arsitektur tradisional rumah tempat tinggal di Bali pada masa masa bali mula, abli aga,
dan bali arya berkembang pesat setelah para arya dari majapahit berkuasa di Bali
disertai tokoh tokoh budayawan juga dalam bidang arsitektur. Tingkatan kasta, status
APRESIASI BUDAYA 10

social dan pernannya di masyarakat merupakan fakor factor tingkat perwujudan rumah
tempat tinggal utama, madya, dan sederhana. Pengelompokan rumah rumah tempat
tinggal ke dalam tingkatan utama ditinjau dari luas pekarangan, susunan ruang , tipe
bangunan, fungsi, bentuk, bahan penyelesainnya.
Ditinjau dari nama, rumah tempat tinggal sesuai dengan tingkat kasta yang
menempatinya. Puri rumah tinggal utama, gria, jero dan umah adalah madya dapat pula
utama dan sedikit kemungknan sederhana. Kubu atau pakubon tergolong sederhana.
Untuk rumah tempat tinggal nama namanya ditentukan oleh fungsi kasta
penghuninya. Nama nama bangunan ditentukan pula oleh fungsi juga tipe bangunannya

Griya
Rumah tempat tinggal untuk kasta brahmana disebut griya yang umumnya

menempati bagian utama dari suatu pola lingkungan. Sesuai dengan peranan brahmana
selaku pengemban bidang spiritual, maka bentuk dan pola ruang griya sebagai rumh
tempat tinggal brahmana disesuaikan dengan keperluan keperluan aktivitasnya.

Puri
Rumah tempat tinggal untuk kasta ksatria yang memegang pemerintahan disebut

puri yang umumnya menempati bagian kaja kangin di sudut perempatan agung di pusat
desa. Umumnya puri dibangun dengan tata zoning yang berpola sangamandala
semacam papan catur berpetak sembilan. Bangunan bangunan puri sebagian besar
mengambil tipe utama. Antara zona satu dengan lainnya dari petak ke petak
dihubungkan dengan pintu kori. Fungsi masing masing bagian antara lain untuk:

ancak saji, halaman pertama untuk mempersiapkan diri untuk masuk ke puri.

Sumanggen, untuk area upacara pitra yadnya

Rangki, untuk area tamu tamu paseban sidang, pemeriksaan dan pengamanan.

Pewaregan, untuk area dapur dan perbekalan.

Lumbung, untuk area penyipanan dan pengolahan bahan perbekalan.

Saren kaja, area tempat tinggal istri istri raja.

Saren kangin, untuk tempat tinggal raja.

Paseban, untuk area pertemuan atau sidang kerajaan.

Pamerajan agung untuk are tempat suci parhyangan.


APRESIASI BUDAYA 11

Jero

Rumah tempat tinggal untuk kasta ksatria yang tidak memegang pemerintahan
secara langsung. Pola ruang dan tata zoning, juga bangunan bangunannya umumnya
lebih sederhana dari puri. Sesuai fungsinya pola ruang jero dirancang dengan tri
angga. Pamerjanan sebagai parhyangan, jeroan sebagai area rumah tempat tinggal dan
jabaan sebagai tempat pelayanan umum atau halaman depan. Sebagaimana puri, jero
juga menempati zoning utama kaja kangin atau kaja kangin yang umumnya di pusat
desa. Dilihat dari status sosial penghuni sebagai akibat dari kasta dan peranannya di
masyarakat, griya, puri dan jero umumnya merupakan rumah tempat tinggal uatama.
Identitas kasta dan peranannya cenderung ditampakkan lewat bangunan tempat
tinggalnya.

Umah
Rumah tempat tinggal dari kasta weisya disebut umah lokasiu umah dalam

perumahan di suatu desa dapat menempati di sisi sisi utara selatan timur atau barat
dari jalan desa, pusat pusat orientasi adalah pempatan agung pusat desa atau bale
banjar di pusat pusat sub lingkungan. Unit umah dalam perumahan berorientasi ke
natah sebagai halaman pusat aktivitas rumah tangga. Umah di dalama perumahan
tradisional merupakan susunan massa massa bangunan di dalam suatu pekarangan
yang dikelilingi tembok penyengker batas pekarangan dengan kori pintu masuk ke
pekarangan. Masing masing ruang dapur, tempat kerja, lumbung dan tempat tidur di
bawah satu atap merupakan satu massa bangunan. Komposisi massa massa bangunan
umah tempat tiunggal menempati bagian utara , selatan, timur, barat membentuk
halaman natah ditengah. Sesuai dengan status sosial dari penghuninya yang sebagian
besar adalah petani, maka rumah tempat tinggal nya umumnya berpada di tingkatan
madya. Di desa desa yang kondisi pertaniannya kurang menguntungkan umah nya
pun dalam keadaan sederhana.

Kubu
Rumah tempat tinggal diluar pusat pemukiman di ladang, di perkebunan atau

tempat tempat kehidupan lainnya disebut kubu ataupakubon. Penghuni rumah tempat
tinggal pakubon adalah petani atau nelayan yang berpendapatan sedang atau rendah
dengan kehidupan yang sederhana. Pola ruang kubu sebagai rumah tinggal serupa
APRESIASI BUDAYA 12

pula dengan pola umah masing masing ruang, dapur tempat kerja lumbung dan
tempat tidur dibawah satu atap untuk masing masing massa bangunan. Komposisi
massa massa membentuk halaman natah di tengah sebagai pusat orientasi dan
aktivitasnya. Dalam fungsinya untuk kegiatan spiritual pengurusan tatu bentuk bentuk
kehidupan tertentu pakubon disebut padukuhan.
2.3 Filosofi Tata Ruang Perumahan Bali
2.3.1 Tri Hita Karana
Untuk menyelaraskan antara bhuana agung/alam semesta dengan bhuana alit/manusia,
maka setiap lingkungan kehidupan dibuat senilai dengan unsur-unsur yang utuh, yakni Tri
Hita Karana. Tri Hita Karana memiliki makna, Tri berarti tiga, Hita berarti kemakmuran,
baik, gembira, senang, dan lestari, sedangkan Karana berarti sebab, sumber (penyebab). Jadi
Tri Hita Karana memiliki arti tiga unsur penyebab kebaikan yang meliputi :

Atma (roh/jiwa)
Prana (tenaga)
Angga (jasad/fisik)
Konsepsi Tri Hita Karana melandasi terwujudnya susunan kosmos dari yang paling

makro (bhuana agung/alam semesta) sampai hal yang paling mikro (bhuana alit/manusia).
Dalam alam semesta jiwa adalah paramatma (Tuhan Tang Maha Esa), tenaga adalah berbagai
energi alam dan jasad adalah Panca Maha Bhuta. Dalam kaitannya dengan banjar, Atma
(jiwa) dari banjar adalah parahyangan (pura banjar), Prana (tenaga) adalah pawongan (warga
banjar) dan Angga (jasad) adalah palemahan (wilayah banjar). Sedangkan dalam diri
manusia, jiwa adalah atman, tenaga adalah sabda bayu idep dan jasad adalah sthula
sarira/tubuh manusia.
Penyelarasan antara bhuana agung dengan bhuana alit yang dikenal dengan Tri Hita
Karana pada banjar Wangaya Kaja dapat dilihat dari penyelarasan hubungan manusia dengan
Tuhan (parahyangan) dengan terdapatnya sebuah Mrajan di banjar yang terletak pada arah
orientasi Kaja-Kangin, hubungan manusia dan manusia (pawongan) teraplikasikan dengan
warga banjar itu tersendiri, sedangkan untuk palemahannya yaitu bangunan banjar itu sendiri.
Rumah

Parhyangan

Pawongan

(Sanggah/Pamerajan) (Penghuni
rumah)

Palemahan
(Pekarangan
rumah)

APRESIASI BUDAYA 13

2.3.2 Panca Maha Bhuta


Agama Hindu memiliki suatu kepercayaan terhadap hubungan manusia dengan alam,
bhuana alit dan bhuana agung yang terbentuk oleh unsure-unsur yang sama yang dikenal
dengan panca mahabutha. Kedua alam ini (macro dan microcosmos) mempunyai sifat-sifat
keadaan yang sama. Segala yang kental, padat dank keras pada alam maupun tubuh manusia
terbentuk oleh Pertiwi (zat padat), segala yang cair terbentuk oleh Apah (zat cair), segala
yang bercahaya panas terbentuk oleh Teja (cahaya), angin, hawa dan gas pada macrocosmos
serta nafas pada mahluk terbentuk oleh unsur Bayu (gas), adapun kekosongan baik pada
micro dan macrocosmos disebabkan oleh unsur Akasa (ether).

Gbr. 1 Unsur Panca Maha Bhuta pada tubuh manusia


Sumber : www.kaladarshan.arts.ohio-state.edu

Selanjutnya hubungan harmonis antara bhuana alit dan bhuana agung diimplikasikan
pada sisitem pendimensian bangunan, baik parahyangan, pawongan maupun palemahan,
bahwa yang menjadi patokan dalam sisitem pendimensian adalah ergonomic dari pemilik
rumah untuk tempat tinggal dan ergonomic pemangku untuk parhyangan, pelinggihpelinggih (tempat bersthananya dewa-dewa).
APRESIASI BUDAYA 14

2.3.3Tri Angga
Tri Hita Karana (tiga unsur kehidupan) yang mengatur kesimbangan atau keharmonisan
manusia dengan lingkungan, tersusun dalam susunan jasad/angga, memberikan turunan
konsep ruang yang disebut Tri Angga. Secara harfiah Tri berarti tiga dan Angga berarti
badan, yang lebih menekankan tiga nilai fisik yaitu: Utama Angga, Madya Angga dan Nista
Angga. Dalam alam semesta/Bhuana agung, pembagian ini disebut Tri Loka, yaitu: Bhur
Loka (bumi), Bhuah Loka (angkasa), dan Swah Loka (sorga). Ketiga nilai tersebut didasarkan
secara vertikal, dimana nilai utama pada posisi teratas/sakral, madya pada posisi tengah dan
nista pada posisi terendah/kotor.
Konsepsi Tri Angga berlaku dari yang bersifat makro (alam semesta/bhuana agung)
sampai yang paling mikro (manusia/bhuana alit). Dalam skala wilayah; gunung memiliki
nilai utama; dataran bernilai madya dan lautan pada nilai nista. Dalam perumahan,
Kahyangan Tiga (utama), Perumahan penduduk (madya), Kuburan (nista), juga berlaku
dalam skala rumah dan manusia.
Pada banjar Wangaya Kaja konsep Tri Angga ini dapat dilihat dari bentuk bangunannya.
Tri Angga pada bangunan terdiri dari atap pada Utama Angga, kolom/dinding pada Madya
Angga dan lantai/bataran pada Nista

Angga.

Ketiga unsur tersebut menjadi satu kesatuan

yang membentuk aplikasi dari susunan makro kosmos ke mikro kosmos.


2.3.4 Ulu Teben dan Sangamandala
Selain memberikan nilai secara vertikal, konsep Tri Angga juga memiliki tata nilai UluTeben, yang merupakan tata nilai dalam mencapai keselarasan antara bhuana agung/alam
semesta dan bhuana alit/manusia. Konsep Ulu-Teben ini kemudian mempunyai beberapa
orientasi-orientasi, antara lain :

Orientasi dengan konsep sumbu ritual Kangin-Kauh.


- Kangin (matahari terbit)-luan, nilai utama
- Kauh (matahari terbenam)-teba, nilai nista
Orientasi dengan konsep sumbu bumi/natural Kaja-Kelod
- Kaja (ke arah gunung)-luan, nilai utama
- Kelod (ke arah laut)-teba, nilai nista

APRESIASI BUDAYA 15

Penggabungan konsep sumbu bumi (Kaja-Kelod) dengan sumbu nilai mengghasilkan


konsep Sanga Mandala. Konsep tata ruang Sanga Mandala juga merupakan konsep yang
lahir dari sembilan manifestasi Tuhan, yaitu Dewata Nawa Sanga yang menyebar di delapan
arah mata angin di tambah satu di tengah dalam menjaga keseimbangan alam semesta.

Konsep Sanga Mandala ini menjadi pertimbangan dalam penzoningan kegiatan dan tata
letak bangunan dalam penzoningan kegiatan dan tata letak bangunan pada Arsitektur
Tradisional Bali. Kegiatan utama atau yang memerlukan ketenangan diletakkan di daerah
Utamaning Utama, dan kegiatan yang dianggap kotor diletakkan di daerah Nistaning Nista,
sedangkan kegiatan diantaranya diletakkan di tengah atau yang kita kenal dengan pola Natah.

APRESIASI BUDAYA 16

Gbr.2 Konsep Arah Orientasi Ruang dan Konsep Sanga Mandala


Sumber: Eko Budihardjo (1986)

2.3.5 Bapa Akasa Ibu Pertiwi


Dalam konsep Bapa Akasa, langit dianggap bermuatan positif sedangkan ibu pertiwi
(tanah) dianggap bermuatan negatif yang memiliki daya tarik (grafitasi) sehingga Tuhan
sebagai Bapa Akasa turun menuju ibu pertiwi. Dengan dasar konsep ini manusia bisa berdiri
tegak dimuka bumi ini, jika ibu pertiwi tidak memiliki daya tarik, manusia akan ditarik oleh
kekuatan planet lain pada antariksa ini. Sehingga dalam arsitektur tradisional Bali selalu
terdapat bataran-bataran yang tinggi merupakan simbul dari ibu pertiwi.
Selain terdapatnya bataran-bataran tinggi sebagai simbul dari ibu pertiwi konsep Bapa
Akasa dan Ibu Pertiwi juga terdapat pada sebuah ruang kosong sebagai pertemuan antara
unsur langit dan bumi yang sering diebut dengan natah. Natah tersendiri memiliki beberapa
pengertian yaitu sebagai ruang, tempat dan kekosongan, dari pengertian tersebutlah natah

APRESIASI BUDAYA 17

difungsikan sebagai tempat yang sakral dimana upacara keagamaan dilaksanakan di dalam
natah.

BAB III
TINJAUAN OBJEK
3.1 Gambaran Umum
Rumah dari bapak I.G.N. Jayanegara merupakan rumah tradisional Bali yang terletak di
Banjar Saba Kelurahan Penatih, Kecamatan Denpasar Timur, Kotamadya Denpasar. Rumah ini

APRESIASI BUDAYA 18

merupakan rumah peninggalan orang tua dari bapak I.G.N. Jayanegara yang dari dahulu hingga
sekarang telah banyak terjadi perubahan dari berbagai aspek.

Gbr. 3 Peta Lokasi

3.2 Pola Tata Ruang Pada Rumah


Rumah milik bapak I.G.N Jayanegara ini memiliki pola tata ruang yang berpegangan
teguh terhadap konsep Ulu-Teben dan Sangamandala. Pada rumah ini telah mengalami gejala
pergeseran bentuk dan fungsi yang dilihat dari beberapa bentuk bangunan yang bertambah
pada pola penataan tata ruang rumah tersebut. Hal ini dikarenakan dengan semakin
berkembangnya zaman maka tuntutan ruang akan sebuah rumah disuatu pekarangan pun
bertambah.
APRESIASI BUDAYA 19

3.2.1 Pola Tata Ruang Rumah Lama

Keterangan:
A.
B.
C.
D.
E.
F.
G.
H.
I.
J.
K.
L.

: tempat suci/ merajan


: wantilan kecil
: Bale Tempat menyimpan arca
: Kandang
: Bale Daja
: merajan natah
: Bale Gede
: Paon
: Bale meten
: Natah
: Sumur
Angkul angkul

Gbr. 4 Pola tata ruang rumah lama


Sumber : hasil wawancara

3.2.2 Pola Tata Ruang Rumah Sekarang

Keterangan:
A. Merajan
B & C: Bale Penyimpan benda
Seni
D. Paon
APRESIASI BUDAYA 20

E. Bale daja
F. Bale bengong
G. Merajan natah
H. Bale Gede
I. Bale Delod
J. Bale Meten
K. Natah
L. Garasi
M. Bale Dauh
N. Angkul angkul
Gbr.5 Pola tata ruang rumah sekarang
Sumber : hasil survei

3.3 Unsur Kebudayaan Universal yang Mempengaruhi Bentuk Arsitektur Rumah Bapak
I.G.N. Jayanegara
3.3.1 Sistem Religi
Perwujudan dari unsur kebudayaan berupa sistem religi ini, dapat ditunjukkan
oleh adanya Merajan atau Sanggah pemujaan keluarga pada rumah milik I G N
Jayanegara. Keberadaan merajan tersebut tidak terlepas dari sistem religi yang dianut
dan dipercayai oleh keluarga I G N Jayanegara yakni agama Hindu. Pada merajan dari
I G N Jayanegara ini terdapat beberapa bangunan yakni pelinggih sebagai tempat
pemujaan. Pada rumah milik bapak I.G.N Jayanegara ini bentuk Pamerajannya bersifat
pamerajan alit yang terdiri dari :

APRESIASI BUDAYA 21

Gbr.6 Pola peletakkan pelinggih (bangunan suci) pada rumah


Sumber : hasil survei

Letak dari bangunan suci ini berorientasi pada arah timur untuk bangunan
Gedong, Kemulan dan Ratu Ngurah dengan arah hadap ke barat dan untuk pelinggih
Taksu berorientasi pada arah utara dengan arah hadap ke selatan. Selain pada merajan
wujud fisik kebudayaan berupa sistem religi tampak dari adanya benda fisik berupa
pelangkiran yang terdapat dalam setiap bangunan di rumah tersebut. Posisi dari
pelangkiran terletak pada posisi kaja kangin yang merupakan posisi yang dianalogikan
sebagai pertemuan gunung dan arah terbitnya matahari.
3.3.2 Sistem Organisasi Sosial
Perwujudan sistem sosial pada rumah dari I G N Jayanegara ini tampak pada
adanya struktur sosial keluarga tersebut. Yang terdiri dari ayah ibu, anak, menantu,
kakek, nenek, dan lain lain. Dalam satu rumah pada rumah ini terdapat 2 keluarga
kecil yang pada intinya terdapat satu keluarga yang merupakan keluarga pokok yang
mendiami rumah ini. Secara fisik perwujudan sistem sosial ini tampak pada pola
natah, dimana setiap bangunan pada rumah tersebut memiliki orientasi ke tengah. Pola
tersebut mengindikasikan bahwa natah tidak hanya sebagai ruang terbuka, makna
lainnya yang terkandung adalah sebagai sarana komunikasi secara visual. Dengan
adanya komuikasi tersebut terjadi hubungan atau interaksi antar anggota keluarga yang
dengan sendirinya menimbulkan sistem organisasi dari keluarga tersebut.

APRESIASI BUDAYA 22

Gbr.7 Natah sebagai wujud sistem kemasyarakatan pada rumah bapak I.G.N. Jayanegara
Sumber : hasil survei

3.3.3 Sistem Ilmu Pengetahuan


Ilmu pengetahuan dalam arsitektur tradisional Bali sangat terkait dengan nilai
dasar dalam membangun. Nilai dasar tersebut diwujudkan dalam filosofi tata ruang
perumahan Bali. Sistem ilmu pengetahuan yang berkaitan tentang perwujudan
arsitektur tradisional Bali pada rumah bapak I.G.N. Jayanegara ini dapat di lihat pada
berbagai kasus bangunan yang berada pada rumah tersebut, yaitu :
Pamerajan
Pura untuk tempat pemujaan keluarga dari satu unit keluarga besar di sebuah
Pamerajan atau Sanggah. Untuk tempat pemujaan di tingkat keluarga di setiap rumah
tangga ada Pamerajan atau Sanggah yang terletak di daerah Kaja-Kangin sesuai
dengan filosofi Ulu Teben.
Angkul-angkul
APRESIASI BUDAYA 23

Terjadi perubahan dimensi pada angkul angkul. Pada masa lalu angkul angkul pada
rumah ini berukuran dengan berpatokan pada dimensi manusia. Namun dengan
perkembangan

ilmu

pengetahuan

perubahan

dimensi

pada

angkul

angkul

menyesuaikan ukuran lebar angkul angkul yang dapat dilalui kendaraan bermotor.
Bale Daja
Bale daja yang diperuntukan bagi orang yang dianggap tua pada keluarga ini dan
letaknya sebelah barat dari merajan. Bale Daja sekarang ini sekarang ini dibangun
tanpa menggunakan lagi ukuran tradisional yang pasti. Bentuk bale pada umumnya
mengambil konsep Tri Angga seperti bangunan tradisional Bali lainnya yang terbagi
atas kepala, badan, dan kaki. Konsep bentuk ini masih dipegang teguh oleh masyarakat
Penatih sampai saat sekarang ini terutama pada rumah ini.
-

Bale Dauh

Bale ini berfungsi sebagai ruang tidur bagi keluarga. Berada di Zona Madyaning Nista.
Terletak di sebelah barat (kauh), menghadap ke timur (kangin) sesuai dengan filosofi
Ulu Teben. perubahan dapat dilihat dari bentuk bentuk dengan memakai ukuran
yang modern bukan lagi menggunakan ukuran tradisional Bali.
-

Bale Meten Gunung Rata

Fungsi bale ini sebagai tempat tidur bagi orang tua atau Ida Pedanda Resi Penatih yang
tinggal di satu pekarangan milik bapak I.G.N. Jayanegara berada pada zona
Uttamaning Madya di sebelah utara dan menghadap ke selatan yang sesuai dengan
filosofi Ulu Teben.
Paon
Perubahan yang terjadi berupa perubahan tata letak. Pada masa lalu Paon terletak pada
posisi kelod (selatan). Posisi tersebut bergeser ke arah timur yakni ke arah kandang.
Sehingga kini posisi paon tersebut terletak pada posisi kangin kelod (timur selatan)
dari rumah tersebut.
3.3.4 Sistem Bahasa
Bahasa merupakan sistem perlambangan manusia yang lisan maupun tertulis
untuk berkomunikasi satu dengan yang lain. Dalam hal unsur kebudayaan ini yang
berkaitan dengan arsitektur yakni bahasa proksemik yaitu pesan yang disampaikan
melalui pengaturan jarak dan ruang.
APRESIASI BUDAYA 24

Hubungan Nilai Rumah Bapak IGN Jayanegara dengan Sistem Bahasa

Keterangan:
A. Merajan
B & C: Bale Penyimpan benda Seni
D. Paon
E. Bale daja
F. Bale bengong
G. Merajan natah
H. Bale Gede
I. Bale Delod
J. Bale Meten
K. Natah
L. Garasi
M. Bale Dauh
N. Angkul angkul

Gbr.8 Denah rumah yang telah berubah


Sumber : hasil survei

Terlihat adanya pengelompokan massa Bale Meten, Bale Daja dan Bale Dauh sesuai
dengan fungsinya yaitu sebagai tempat istrahat dengan subjek yang berbeda. Namun
dari adanya kedekatan ini, dengan maksud agar hubungan antar individu dekat.
Dengan memberikan tingkat privasi dari jaraknya dari angkul-angkul yang tidak
-

terlalu dekat.
Angkul-ngkul
Adanya penambahan pagar pada angkul-angkul agar menjaga keamanan dari pemilik
rumah. Memberi kesan privat, sehingga memberi jarak antara penghuni rumah dan
orang di luar rumah.

Bale Meten Sakutus


APRESIASI BUDAYA 25

Bale ini berfungsi sebagai tempat tidur bagi orang tua atau Ida Pedanda Resi Penatih
yang tinggal di satu pekarangan milik bapak I.G.N. Jayanegara berada nampak dari
karakteristik bangunannya dengan dinding bangunan tertutup pada 4 sisi bangunan
sehingga bangunan bersifat privat dan hanya digunakan untuk orang yang dianggap
-

tetua di suatu keluarga.


Bale Daja
Terlihatat adanya penambahan teras bangunan Bale Daja ( bale Meten ) yang
difungsikan sebagai tempat duduk duduk (media interaksi) dengan tambahan saka,
sebagai penopangnya. Initinya bentuk dari sebuah bale daja yang sangat sederhana
berkembang menjadi bentuk yang lebih kompleks seiring dengan pertambahan
jumlah penghuni sejalan dengan pertambahan interaksi penghuni ruang dalam
bangunan.

Bale Gede
Karena fungsinya sebagai tempat untuk mempersiapkan kegiatan upacara keagamaan
(terutama upacara manusia yadnya dan pitra yadnya) maka karakteristik bangunan
dengan dinding bangunan tertutup pada 2 sisi (sisi timur dan selatan) sehingga dapat
memberikan kebebasan gerak dalam kegiatan upacara (terjadi interaksi satu dengan
yang lainnya.

3.3.5 Sistem Kesenian


Karya seni dan budaya Bali pada awalnya muncul sebagai suatu kewajiban yang
patut dilaksanakan oleh kelompok profesi tertentu dalam upaya mempersembahkan bakti
yang sempurna kepada Tuhan lewat kegiatan keagamaan. Tarian dan karawitan diciptakan
untuk mengungkap ekspresi kebahagiaan menyambut turunnya para Dewata disaat upacara
di Pura, seni rupa yang diterjemahkan dalam lukisan dan pahatan selalu tampil dalam
berbagai kelengkapan sajen sebagai media untuk menyambung komunikasi spiritual
sedangkan nyanyian kidung dikumandangkan untuk mengungkapkan puja dan puji atas
kesejahteraan yang dilimpahkan oleh para Dewata.
APRESIASI BUDAYA 26

Dalam rumah I. G. N. Jayanegara menerapkan kesenian masyarakat bali yaitu asta


kosala kosali dalam penataan bangunan. Rumah tinggal I. G. N. Jayanegara ini tidak
dijadikan satu, disini dibagi menjadi beberapa ruangan yang dimana bangunannya dipisah.
Selain dari penataan bangunan sebagai sistem kesenian masyarakat Bali yang terwujud pada
rumah Bapak I.G.N Jayanegara ini, sistem kesenian juga terwujud pada pemberian Bale
Gong sebagai wujud kegiatan seni yang berlangsung di rumah tersebut. Wujud Bale Gong
ini merupakan suatu apresiasi kesenian masyarakat Bali terhadap kegiatan keagamaan yang
berlangsung pada suatu area.

Gbr. 9 Bale Gong


Sumber : hasil survei

3.3.6 Sistem Mata Pencaharian


Pada umumnya masyarakat bali bermata pencaharian mayoritas bercocok tanam, pada
dataran yang curah hujannya yang cukup baik, pertenakan terutama sapi dan binatang
sebagai usaha penting dalam masyarakat pedesaan di Bali, baik perikanan darat maupun laut
yang merupakan mata pecaharian sambilan, kerajinan meliputi kerajinan pembuatan benda
anyaman, patung, kain, ukir-ukiran, percetakaan, pabrik kopi, pabrik rokok, dll. Usaha dalam
bidang ini untuk memberikan lapangan pekerjaan pada penduduk. Karena banyak wisatawan
yang mengunjungi bali maka timbullah usaha perhotelan, travel, toko kerajinan tangan.
APRESIASI BUDAYA 27

Rumah dari bapak I.G.N. Jayanegara ini juga dipengaruhi mata pencaharian dari
bapak I.G.N. Jayanegara sendiri. Di mana kita dapat melihat perubahan wujud arsitektur
bangunan pada saat masih mata pencahariannya petani dan sekarang telah menjadi wakil
walikota. Hal ini dapat kita lihat dari angkul-angkul, jineng dan garasi pada rumah ini.
Transformasi yang terjadi pada angkul angkul adalah adanya perubahan dimensi dari
angkul angkul. Pada masa lalu angkul angkul pada rumah ini berukuran dengan berpatokan
pada dimensi manusia. Namun dengan perkembangan jaman perubahan dimensi pada angkul
angkul tampak pada ukuran lebar angkul angkul yang dapat dilalui kendaraan bermotor.

Gbr. 10 Angkul-angkul dengan perubahan dimensi


Sumber : hasil survey

Pada bangunan Jineng sendiri merupakan apresiasi pemilik rumah terhadap sistem
mata pencaharian mayoritas masyarakat Bali sebagai petani, jadi peletakkan Jineng pada
rumah

ini

tidak

tempat

penyimpanan

hasil

Selain

itu

pekarangan

pada

berfungsi

sebagai
pertanian.
ini

Jineng hanya berfungsi

sebagai hiasan dan

sebagai penunjuk status

sosial

pemilik

rumah.

APRESIASI BUDAYA 28

Gbr. 11 Jineng sebagai penunjuk status sosial


Sumber : hasil survei

Penambahan garasi pada rumah ini dipengaruhi juga dari sistem mata pencaharian
yang meningkatkan pendapatan ekonomi pemilik rumah. Pada umumnya Arsitektur
Tradisional Bali tidak mengenal bangunan garasi, akan tetapi karena tuntutan dari
meningkatknya ekonomi suatu keluarga yang memungkinkan memilik sebuah atau lebih
mobil maka garasi pun merupakan suatu kebutuhan.

Gbr. 12 Garasi sebagai pengaruh perubahan mata pencaharian


Sumber : hasil survei

3.3.7 Sistem Teknologi


Dalam teknologi tradisional dikenal 8 (delapan) macam sistem perlatan dan
kebudayaan fisik yang dipakai oleh manusia yang hidup dalam

masyarakat kecil

berpindah-pindah atau masyarakat pedesaan yang hidup dari pertanian, yaitu :


1.

Alat-alat produksi

2.

Alat membuat api


APRESIASI BUDAYA 29

3.

Senjata

4.

Wadah

5.

Makanan

6.

Pakaian

7.

Tempat berlindung atau pemukiman

8.

Alat transportasi
Dari segi arsitektur sistem teknologi yang termasuk yaitu tempat berlindung atau

permukiman. Pada rumah bapak I.G.N Jayanegara ini sistem teknologi pada
perumahannya dilihat dari segi material dan sistem konstruksi masing-masing
bangunan.

Pamerajan
Pura untuk tempat pemujaan keluarga dari satu unit keluarga besar di sebuah

Pamerajan atau Sanggah. Untuk tempat pemujaan di tingkat keluarga di setiap rumah
tangga ada Pamerajan atau Sanggah yang terletak di daerah Kaja-Kangin. Pamerajan
alit diperuntukan untuk keluarga kecil atau rumah tanggab dan Pamerajan Agung atau
Sanggah Gede untuk keluarga besar. Pada pemerajan perubahan teknologi yang terjadi
tidak signifikan, karena pemerajan merupakan tempat suci sehingga pemilik rumah
tidak melakukan perubahan baik dari tata letak maupun material.

APRESIASI BUDAYA 30
Gbr. 13 Pelinggih (bangunan suci) pada rumah bapak I.G.N. Jayanegara
Sumber : hasil survei

Angkul-angkul
Angkul-angkul adalah sejenis pintu masuk rumah atau pekarangan untuk

bangunan bali yang diberi atap yang meng- ungkuli/unkul-ungkul (berada diatas
kepala) terhadap orang yang lewat. Menurut Arinton Puja, istilah pamesuan muncul
sesuai dengan fungsinya untuk pintu masuk dan keluar. Namun, istilah ini hanya untuk
pintu masuk dan keluar yang lebih sederhana dari kori. Untuk tempat-tempat yang
disucikan istilah pamesuan disebut dengan kori agung, dan pamedal adalah istilah yang
sama untuk perumahan dari penghuni berkasta brahmana atau ksatria. Massa angkulangkul bisa dianggap sebagai lubang masuk berangkap. Untuk pekarangan yang luas
atau perumahan utama atau madya juga dibangun pintu sehari-hari, karena alam
perkembangannya angkul-angkul dianggap sebagai pintu masuk formal, yang disebut
betelan atau peletasan.
Seiring dengan perkembangan teknologi, yaitu mobil sebagai sarana transportasi
maka dimensi angkul angkul berubah. Transformasi yang terjadi pada angkul angkul
adalah adanya perubahan dimensi dari angkul angkul. Pada masa lalu angkul angkul
pada rumah ini berukuran dengan berpatokan pada dimensi manusia. Namun dengan
perkembangan jaman perubahan dimensi pada angkul angkul tampak pada ukuran lebar
angkul angkul yang dapat dilalui kendaraan
bermotor. Selain itu transformasi yang terjadi
adalah

adanya

perubahan

unsur

material

pembentuk angkul angkul. Pada masa kini


material yang digunakan adalah

penggunaan

beton pada strukturnya, sedangkan unsur ragam


hiasnya/ ornamen tampak pada penggunaan bata
gosok merah dan perpaduan paras.

APRESIASI BUDAYA 31

Gbr. 14 Perubahan dimensi angkul-angkul pada rumah bapak I.G.N.


Jayanegara
Sumber : hasil survey

Bale Meten Gunung Rata


Pada Bale Meten Gunung Rata ini mengalami perubahan teknologi yaitu pada

penggunaan material yang hamper seluruhnya berubah. Hal ini disebabkan karena
adanya material material baru yang lebih kuat dari segi struktur dan lebih mudah
didapat dibandingkan dengan material material lama.
Bahan
Atap :
-

Penutup atap dari genteng


Pendukung penutup atap terdiri atas rangkaian iga-iga/usuk, terbuat dari bahan

kayu.

Dinding :
Jaman dulu menggunakan bahan tanah polpolan. Jaman sekarang menggunakan
bata merah dan batu paras bahkan terkadang diplester dengan semen.
Tiang/Sesaka :
Bahan kayu jati karena kekuatan dan keawetannya dan terdiri dari 8 buah saka di
bagian luar bangunan.
APRESIASI BUDAYA 32

Pondasi :
Menggunakan susunan batu alam sedangkan bebaturannya menggunakan batu,
paras dan bata.

Gbr. 15 Perubahan material bangunan pada Bale Meten Sakutus dari rumah bapak I.G.N. Jayanegara
Sumber : hasil survei

Bale Daja
Pada Bale Daja aspek teknologi yang mengalami peruabahan yaitu pada material,

hal ini didasarkan atas tingkat perekonomian masyarakat Bali yang semakin meningkat
serta semakin sulitnya memperoleh beberapa bahan alami tersebut. Faktor estetika juga
menjadi salah satu pertimbangan berubahnya penggunaan bahan tersebut.
-

Untuk bagian bawah atau pondasi tetap menggunakan batu kali sebagai

strukturnya. Perubahan yang terjadi

adalah pada bagian bantaran yang saat ini

kebanyakan telah di tempeli keramik. Hal ini merupakan ekspresi dari tingkat
perekonomian si pemilik yang semakin meningkat.
Untuk bagian tengah, terutama bagian bale-bale dan sesaka masih menggunakan
bahan kayu. Perubahan yang terjadi pada bangunan dinding dimana penggunaan bahan
dinding, dimana penggunaan tanah polpolan sudah di tinggalkan. Kini dinding
menggunakan bahan batu bata dilapisi plesteran kemudian di finishing dengan cat.
Pada bagian atas tetap menggunakan bahan kayu pada struktur atapnya, hal ini
berarti struktur atap tradisional bali masih tetap digunakan yang berubah adalah

APRESIASI BUDAYA 33

penutup atap yang saat ini adalah bahan genteng dan asbes karena bahan alang-alang
semakin sulit diperoleh dan harganya cukup mahal.

Gbr. 16 Bale Daja pada rumah bapak I.G.N. Jayanegara


Sumber : hasil survei

Ornamen merupakan salah satu estetika yang mendukung keberadaan Bale Daja.

Pada Bale Daja mulanya ornamen bersifat pelengkap dan bentuknya sangat sederhana,
namun pada perkembangannya sekarang ini Bale Daja dibuat semegah mungkin dengan
menambah ornament-ornamen yang dapat menambah nilai estetika Bale Daja, baik
pada bagian atapnya, dindingnya maupun pada bagian lantainya yang disesuaikan pada
tingkat ekonomi pemiliknya. Pada ukir-ukirannya dapat dilihat pada saka-sakanya
dengan ukiran berbagai bentuk yang di finishing dengan prada (pada bale daja meten).

Bale Dauh
Pada Bale Dauh transformasi teknologi yang terjadi juga pada material. Material

yang digunakan juga telah mengalami perubahan yang cukup signifikan. Penggunaan
material yang dahulunya menggunakan material alami seperti bahan batu padas dan
batu kali, bahan kayu, anyaman bambu besar, bahan kayu dan seseh (batang kelapa).
Material yang digunakan pada masa kini adalah penggunaan material beton bertulang
APRESIASI BUDAYA 34

pada unsur strukturalnya, sedangkan atap menggunakan atap genteng. Unsur modern
terdapat pada unsur pelapis lanati berupa keramik.

Gbr. 17 Bale Dauh yang terletak pada arah kauh (barat) yang menghadapa ke arah kangin (timur)
Sumber : hasil survei

Bahan
Dinding :
Anyaman bambu besar (tidak seperti gedeg) sehingga terdapat pori-pori yang
memungkinkan terjadinya sirkulasi udara (meskipun relatif kecil). Pada bangunan
yang telah mengalami modernisasi, dinding bangunan terbuat dari pasangan batu
bata.
Dinding batur

Bahan batu kali.


Tiang bangunan :
Bahan kayu (bersifat struktural). Elemen-elemen struktur tiang: sineb lambang,
canggahwang, dan bale-bale memakai bahan kayu dan seseh (batang kelapa), kecuali untuk
alas bale-bale (galar) memakai bahan bambu.
Sendi-sendi :
Bahan batu padas dan batu kali (merupakan media penerusan beban bangunan,
yang hubungannya dengan tiang/saka).
Lantai bangunan :
Lantai tanah. Pada Bale Dauh yang telah mengalami modernisasi, pemakaian
APRESIASI BUDAYA 35

bahan beralih ke semen dan tegel/keramik

Bale Gede
Perubahan aspek teknologi yang terjadi juga pada pengguaan material banguanan.

Penggunaan material yang dahulunya menggunakan material alami seperti bahan batu padas
dan batu kali, bahan kayu, anyaman bambu besar, bahan kayu dan seseh (batang kelapa).
Material yang digunakan pada masa kini adalah penggunaan material beton bertulang pada
unsur strukturalnya, sedangkan atap menggunakan atap genteng. Unsur modern terdapat pada
unsur pelapis lanati berupa keramik.
Bahan
Atap :
-

Penutup atap dari alang-alang, bambu, sirap bambu atau anyaman daun kelapa.
Pendukung penutup atap terdiri atas rangkaian iga-iga/usuk, terbuat dari bahan bambu.
Langit-langit yang mengikat iga-iga pada puncak atap memakai bahan kayu jenis

ketewel/kayu nangka.
Lambang sineb sebagai pengikat dan pemersatu saka, menggunakan batang kelapa/seseh.
Pemeteng dan saka pada Bale Gede menggunakan bahan kayu, untuk jenis kayu yang
digunakan disesuaikan dengan fungsi bangunannya.
Dinding :
Jaman dulu menggunakan bahan tanah polpolan. Jaman sekarang menggunakan
bata merah dan batu paras bahkan terkadang diplester dengan semen.
Tiang/Sesaka :
Bahan kayu jati karena kekuatan dan keawetannya.
Pondasi :
Menggunakan susunan batu alam sedangkan bebaturannya menggunakan batu,
paras dan bata.

APRESIASI BUDAYA 36

Gbr. 18 Bale Gede pada rumah bapak I.G.N.Jayanegara


Sumber : hasil survei

JINENG
Perubahan teknologi yang terjadi pada jineng adalah pada bagian material bangunannya.

Hal ini dikarenakan jineng ini sudah berubah fungsinya, bukan lagi sebagai tempat
penyimpan padi, tetapi sekarang berfungsi hanya sebagia penunjuk status social yaitu sebagai
hiasan. Hal ini dapat dilihat dari perubahan material atap yang dulunya menggunakan atap
alang alang , tetapi sekarang sudah menggunakan material genteng dan finishing
bangunannya lebih halus karena mementingkan estetika bangunan jineng tersebut.

Gbr. 19 Jineng yang sudah berubah pemakaian material atapnya pada rumah bapak I.G.N. Jayangera
Sumber : hasil survei

PAON
APRESIASI BUDAYA 37

Perubahan teknologi pada paon mengalami perubahan yang signifikan yaitu pada
bagian material. Hal ini dikarenakan untuk kebersihan paon tersebut. Konstruksi atap pada
masa lalu adalah kampiah. Material bangunan yang dipergunakan pada paon pada rumah ini
adalah tembok dari tembok popolan/ tanah dengan atap dari genteng serta lantai dari tanah.

Gbr.20 Paon pada rumah bapak I.G.N Jayanegara


Sumber : hasil survei

BAB IV
PENUTUP
4.1 Kesimpulan
Adanya era modernisasi membuat rumah tradisional Bali juga ikut berkembang, mulai dari
bahan, warna sampai dengan bentuk. Tidak sedikit faktor ini menyebabkan pergesaran nilainilai tradisional yang terlah di anut masyrakat Bali. Karena itu dalam perkembangan arsitktur
tradisional Bali di perlukan sikap bagaimana menghargai hasil kebudayaan Bali pada masa
lampau demi dan menyesuaikan pada kehidupan yang sekarang sehingga tata ruang
perumahan Bali dapat sebagai dasar yang harus dipegang kuat dalam membangun
perumahan.
4.2 Saran
Penyusun sadar bahwa makalah ini jauh dari sempurna akibat dari keterbatasan penyusun.
Maka dari itu penyusun mengharapkan kritik dan saran yang mebangun dari semua pihak
demi kesempurnaan makalah ini. Semoga makalah ini dapat memberikan manfaat bagi
pembaca
APRESIASI BUDAYA 38

DAFTAR PUSTAKA
Sumintardja. Djauhari, Kompedium Sejarah Arsitektur, Yayasan Lembaga Penyelidikan
I Nyoman Gelebet. 1985. Pengantar Arsitektur Tradisional Bali. Denpasar : Departemen
Pendidikan dan Kebudayaan Propinsi Bali.
Dwijendra. N.K. Acwin. 2008. Arsitektur Rumah Tradisional Bali. Denpasar : Udayana
University Press
http://id.wikipedia.org/wiki/budaya

APRESIASI BUDAYA 39

APRESIASI BUDAYA 40

Anda mungkin juga menyukai