PENDAHULUAN
1.1
APRESIASI BUDAYA 1
1.2
Rumusan Masalah
Adapun permasalahan yang dapat dirumuskan berdasarkan latar belakang di atas, antara
lain :
.1
Bagaimana bentuk dan fungsi dari rumah tradisional Bali yang mulai terjadi
perubahan budaya?
.2
Apa makna yang terkandung di dalam perubahan budaya perilaku civitas rumah?
.3
Pada bagian mana sajakah terjadi perubahan budaya pada rumah tradisional Bali
yang terdapat di Penatih ini ?
1.3
Tujuan Penulisan
Adapun tujuan dari penulisan laporan ini adalah sebagai berikut :
1.
Untuk mengetahui bentuk dan fungsi dari rumah tradisional Bali yang sudah
terjadi perubahan budaya.
2.
3.
Untuk mengetahui letak perubahan budaya pada rumah tradisional Bali yang
terdapat di Penatih.
1.4
Metode Penulisan
Adapun metode penulisan yang kami gunakan dalam pembuatan laporan ini antara lain,
yaitu :
.1
Metode Observasi
Yaitu melakukan pengamatan langsung terhadap objek yang akan dikaji.
.2
Metode Literatur
Yaitu menggunakan beberapa literatur yang berkaitan dengan penulisan ini.
.3
Metode Wawancara
Yaitu melakukan wawancara dengan narasumber yang terkait dengan subjek penulisan
ini.
APRESIASI BUDAYA 2
BAB IV SIMPULAN
APRESIASI BUDAYA 3
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Budaya
2.1.1 Pengertian Budaya
Budaya atau kebudayaan, berasal dari bahasa Sansekerta yaitu buddhayah yang
merupakan bentuk jamak dari buddhi (budi atau akal) diartikan sebagai hal-hal yang
berkaitan dengan budi dan akal. Dalam bahasa Inggris, kebudayaan disebut culture,
yang berasal dari kata Latin Colere, yaitu mengolah atau mengerjakan. Bisa diartikan
juga sebagai mengolah tanah atau bertani. Kata culture juga kadang diterjemahkan
sebagai "kultur" dalam bahasa Indonesia.
Ada beberapa versi definisi dari kebudayaan, antara lain :
Menurut Van Peursen (1977), kebudayaan adalah endapan dari kegiatan dan karya
manusia.
Menurut R. Soekmono, kebudayaan adalah seluruh hasil usaha manusia, baik berupa
benda ataupun hanya berupa buah pikiran dan alam penghidupan.
kebudayaan yaitu sistem pengetahuan yang meliputi sistem ide atau gagasan yang
terdapat dalam pikiran manusia, sehingga dalam kehidupan sehari-hari, kebudayaan itu
bersifat abstrak. sedangkan perwujudan kebudayaan adalah benda-benda yang
diciptakan oleh manusia sebagai makhluk yang berbudaya, berupa perilaku dan bendabenda yang bersifat nyata, misalnya pola-pola perilaku, bahasa, peralatan hidup,
organisasi sosial, religi, seni, dan lain-lain, yang kesemuanya ditujukan untuk
membantu manusia dalam melangsungkan kehidupan bermasyarakat.
2.1.2 Wujud Kebudayaan
Menurut J.J. Hoenigman, wujud kebudayaan dibedakan menjadi tiga: gagasan,
aktivitas, dan artefak.
Aktivitas (Tindakan)
Aktivitas adalah wujud kebudayaan sebagai suatu tindakan berpola dari manusia
dalam masyarakat itu. Wujud ini sering pula disebut dengan sistem sosial. Sistem
sosial ini terdiri dari aktivitas-aktivitas manusia yang saling berinteraksi,
mengadakan kontak, serta bergaul dengan manusia lainnya menurut pola-pola
tertentu yang berdasarkan adat tata kelakuan. Sifatnya konkret, terjadi dalam
kehidupan sehari-hari, dan dapat diamati dan didokumentasikan.
Artefak (Karya)
Artefak adalah wujud kebudayaan fisik yang berupa hasil dari aktivitas, perbuatan,
dan karya semua manusia dalam masyarakat berupa benda-benda atau hal-hal yang
dapat diraba, dilihat, dan didokumentasikan. Sifatnya paling konkret di antara
ketiga wujud kebudayaan.
Menurut Koentjoroningrat (1974), kebudayaan dapat digolongkan ke dalam tiga
kelompok, yaitu:
-
APRESIASI BUDAYA 6
Sistem norma yang memungkinkan kerja sama antaranggota masyarakat sebagai upaya
menguasai alam sekitarnya.
Organisasi ekonomi.
Alat-alat dan lembaga atau petugas pendidikan, termasuk keluarga sebagai lembaga
pendidikan yang utama.
Organisasi kekuatan.
Adapun C. Kluckhohn dalam karyanya Universals Categories of Culture
memaparkan ada tujuh unsur kebudayaan yang dianggap cultural universals, yaitu sebagai
berikut.
1. Sistem kepercayaan (sistem religi).
Agama atau religi menurut Haviland dapat diapandang sebagai kepercayaan atau pola
perilaku yang diusahakan oleh manusia untuk menangani masalah masalah penting yang
tidak dapat dipecahkan dengan menggunakan teknologi dan teknik organisasi yang
diketahuinya untuk mengetahui keterbatasan itu orang berpaling pada kekuatan
supernatural. Sistem keyakinan dalam keagamaan menurut Koentjaraningrat dapat
berwujud pikiran dan gagasan manusia, yang menyangkut keyakinan dan konsepsi manusia
APRESIASI BUDAYA 7
tentang sifat sifat Tuhan, tentang wujud adri alam gaib/ kosmologi, tentang terwujudnya
alam dan dunia/ kosmogoni, tentang jaman akhirat/ syatologi. Sistem keyakinan juga
menyangkut tentang sistem nilai dan sistem keagamaan, ajaran kesusilaan, ajaran doktrin
lainnya yang mengatur tingkah laku manusia. Kemudian sarana yang dikatakan sebagai alat
pemujaan menurut Koentjaraningrat dapat berupa gedung gedung pemujaan seperti Pura,
Masjid, Gereja dan lain lain.
2. Sistem kemasyarakatan
Sistem kekerabatan merupakan bagian yang sangat penting dalam struktur sosial. Meyer
Fortes mengemukakan bahwa sistem kekerabatan suatu masyarakat dapat dipergunakan
untuk menggambarkan struktur sosial dari masyarakat yang bersangkutan. Kekerabatan
adalah unit-unit sosial yang terdiri dari beberapa keluarga yang memiliki hubungan darah
atau hubungan perkawinan. Anggota kekerabatan terdiri atas ayah, ibu, anak, menantu, cucu,
kakak, adik, paman, bibi, kakek, nenek dan seterusnya. Dalam kajian sosiologi-antropologi,
ada beberapa macam kelompok kekerabatan dari yang jumlahnya relatif kecil hingga besar
seperti keluarga ambilineal, klan, fatri, dan paroh masyarakat. Di masyarakat umum kita juga
mengenal kelompok kekerabatan lain seperti keluarga inti, keluarga luas, keluarga bilateral,
dan keluarga unilateral. Sementara itu, organisasi sosial adalah perkumpulan sosial yang
dibentuk oleh masyarakat, baik yang berbadan hukum maupun yang tidak berbadan hukum,
yang berfungsi sebagai sarana partisipasi masyarakat dalam pembangunan bangsa dan
negara. Sebagai makhluk yang selalu hidup bersama-sama, manusia membentuk organisasi
sosial untuk mencapai tujuan-tujuan tertentu yang tidak dapat mereka capai sendiri.
Menurut Koentjaraningrat suatu kelompok adalah suatu kesatuan individu yang terikat
oleh paling sedikit enam unsur sebagai berikut:
1. suatu sistem norma norma yang mengatur kelakuan warga kelompok
2. suatu rasa kepribadian kelompok yang disadari semua anggotanya
3. kegiatan kegiatan berkumpul dari anggota kelompok secara berulang ulang
4. suatu sistem hak dan kewajiban yang mengatur interaksi antara anggota kelompok
5. suatu pimpinan atau pengurus yang mengorganisasi kegiatan kelompok
APRESIASI BUDAYA 8
6. suatu sistem hak dan kewajiban bagi para individunya terhadap sejumlah harta
produktif, harta konsumtif dan harta pusaka tertentu.
3. Sistem Ilmu pengetahuan.
Ilmu adalah pengetahuan yang bersifat umum dan sistematis, pengetahuan dari
mana dapat disimpulkan dalil-dalil tertentu menurut kaidah-kaidah umum. (Nazir, 1988)
Konsepsi ilmu pada dasarnya mencakup tiga hal, yaitu adanya rasionalitas, dapat
digeneralisasi dan dapat disistematisasi (Shapere, 1974), Pengertian ilmu mencakup
logika, adanya interpretasi subjektif dan konsistensi dengan realitas sosial (Schulz, 1962)
Ilmu tidak hanya merupakan satu pengetahuan yang terhimpun secara sistematis, tetapi
juga merupakan suatu metodologi.
4. Mata pencaharian dan sistem-sistem ekonomi.
Dalam masyarakat selalu ada mata pencaharian atau sistem ekonomi, seperti pertanian,
peternakan, sistem produksi, sistem distribusi, dan sebagainya.
5. Bahasa, baik lisan maupun tulisan.
Masyarakat mana yang tidak memiliki bahasa? Tentunya tidak ada masyarakat yang tidak
memiliki bahasa, baik bahasa lisan maupun tulisan.
6.Kesenian, baik seni rupa, seni suara, maupun seni lainnya.
Setiap masyarakat mempunyai berbagai macam seni yang tentunya berbeda dengan
masyarakat lainnya.
7. Peralatan dan perlengkapan hidup manusia.
Setiap masyarakat juga memiliki pakaian, perumahan, alat-alat rumah tangga, alat-alat
produksi, senjata, dan sebagainya.
APRESIASI BUDAYA 9
social dan pernannya di masyarakat merupakan fakor factor tingkat perwujudan rumah
tempat tinggal utama, madya, dan sederhana. Pengelompokan rumah rumah tempat
tinggal ke dalam tingkatan utama ditinjau dari luas pekarangan, susunan ruang , tipe
bangunan, fungsi, bentuk, bahan penyelesainnya.
Ditinjau dari nama, rumah tempat tinggal sesuai dengan tingkat kasta yang
menempatinya. Puri rumah tinggal utama, gria, jero dan umah adalah madya dapat pula
utama dan sedikit kemungknan sederhana. Kubu atau pakubon tergolong sederhana.
Untuk rumah tempat tinggal nama namanya ditentukan oleh fungsi kasta
penghuninya. Nama nama bangunan ditentukan pula oleh fungsi juga tipe bangunannya
Griya
Rumah tempat tinggal untuk kasta brahmana disebut griya yang umumnya
menempati bagian utama dari suatu pola lingkungan. Sesuai dengan peranan brahmana
selaku pengemban bidang spiritual, maka bentuk dan pola ruang griya sebagai rumh
tempat tinggal brahmana disesuaikan dengan keperluan keperluan aktivitasnya.
Puri
Rumah tempat tinggal untuk kasta ksatria yang memegang pemerintahan disebut
puri yang umumnya menempati bagian kaja kangin di sudut perempatan agung di pusat
desa. Umumnya puri dibangun dengan tata zoning yang berpola sangamandala
semacam papan catur berpetak sembilan. Bangunan bangunan puri sebagian besar
mengambil tipe utama. Antara zona satu dengan lainnya dari petak ke petak
dihubungkan dengan pintu kori. Fungsi masing masing bagian antara lain untuk:
ancak saji, halaman pertama untuk mempersiapkan diri untuk masuk ke puri.
Rangki, untuk area tamu tamu paseban sidang, pemeriksaan dan pengamanan.
Jero
Rumah tempat tinggal untuk kasta ksatria yang tidak memegang pemerintahan
secara langsung. Pola ruang dan tata zoning, juga bangunan bangunannya umumnya
lebih sederhana dari puri. Sesuai fungsinya pola ruang jero dirancang dengan tri
angga. Pamerjanan sebagai parhyangan, jeroan sebagai area rumah tempat tinggal dan
jabaan sebagai tempat pelayanan umum atau halaman depan. Sebagaimana puri, jero
juga menempati zoning utama kaja kangin atau kaja kangin yang umumnya di pusat
desa. Dilihat dari status sosial penghuni sebagai akibat dari kasta dan peranannya di
masyarakat, griya, puri dan jero umumnya merupakan rumah tempat tinggal uatama.
Identitas kasta dan peranannya cenderung ditampakkan lewat bangunan tempat
tinggalnya.
Umah
Rumah tempat tinggal dari kasta weisya disebut umah lokasiu umah dalam
perumahan di suatu desa dapat menempati di sisi sisi utara selatan timur atau barat
dari jalan desa, pusat pusat orientasi adalah pempatan agung pusat desa atau bale
banjar di pusat pusat sub lingkungan. Unit umah dalam perumahan berorientasi ke
natah sebagai halaman pusat aktivitas rumah tangga. Umah di dalama perumahan
tradisional merupakan susunan massa massa bangunan di dalam suatu pekarangan
yang dikelilingi tembok penyengker batas pekarangan dengan kori pintu masuk ke
pekarangan. Masing masing ruang dapur, tempat kerja, lumbung dan tempat tidur di
bawah satu atap merupakan satu massa bangunan. Komposisi massa massa bangunan
umah tempat tiunggal menempati bagian utara , selatan, timur, barat membentuk
halaman natah ditengah. Sesuai dengan status sosial dari penghuninya yang sebagian
besar adalah petani, maka rumah tempat tinggal nya umumnya berpada di tingkatan
madya. Di desa desa yang kondisi pertaniannya kurang menguntungkan umah nya
pun dalam keadaan sederhana.
Kubu
Rumah tempat tinggal diluar pusat pemukiman di ladang, di perkebunan atau
tempat tempat kehidupan lainnya disebut kubu ataupakubon. Penghuni rumah tempat
tinggal pakubon adalah petani atau nelayan yang berpendapatan sedang atau rendah
dengan kehidupan yang sederhana. Pola ruang kubu sebagai rumah tinggal serupa
APRESIASI BUDAYA 12
pula dengan pola umah masing masing ruang, dapur tempat kerja lumbung dan
tempat tidur dibawah satu atap untuk masing masing massa bangunan. Komposisi
massa massa membentuk halaman natah di tengah sebagai pusat orientasi dan
aktivitasnya. Dalam fungsinya untuk kegiatan spiritual pengurusan tatu bentuk bentuk
kehidupan tertentu pakubon disebut padukuhan.
2.3 Filosofi Tata Ruang Perumahan Bali
2.3.1 Tri Hita Karana
Untuk menyelaraskan antara bhuana agung/alam semesta dengan bhuana alit/manusia,
maka setiap lingkungan kehidupan dibuat senilai dengan unsur-unsur yang utuh, yakni Tri
Hita Karana. Tri Hita Karana memiliki makna, Tri berarti tiga, Hita berarti kemakmuran,
baik, gembira, senang, dan lestari, sedangkan Karana berarti sebab, sumber (penyebab). Jadi
Tri Hita Karana memiliki arti tiga unsur penyebab kebaikan yang meliputi :
Atma (roh/jiwa)
Prana (tenaga)
Angga (jasad/fisik)
Konsepsi Tri Hita Karana melandasi terwujudnya susunan kosmos dari yang paling
makro (bhuana agung/alam semesta) sampai hal yang paling mikro (bhuana alit/manusia).
Dalam alam semesta jiwa adalah paramatma (Tuhan Tang Maha Esa), tenaga adalah berbagai
energi alam dan jasad adalah Panca Maha Bhuta. Dalam kaitannya dengan banjar, Atma
(jiwa) dari banjar adalah parahyangan (pura banjar), Prana (tenaga) adalah pawongan (warga
banjar) dan Angga (jasad) adalah palemahan (wilayah banjar). Sedangkan dalam diri
manusia, jiwa adalah atman, tenaga adalah sabda bayu idep dan jasad adalah sthula
sarira/tubuh manusia.
Penyelarasan antara bhuana agung dengan bhuana alit yang dikenal dengan Tri Hita
Karana pada banjar Wangaya Kaja dapat dilihat dari penyelarasan hubungan manusia dengan
Tuhan (parahyangan) dengan terdapatnya sebuah Mrajan di banjar yang terletak pada arah
orientasi Kaja-Kangin, hubungan manusia dan manusia (pawongan) teraplikasikan dengan
warga banjar itu tersendiri, sedangkan untuk palemahannya yaitu bangunan banjar itu sendiri.
Rumah
Parhyangan
Pawongan
(Sanggah/Pamerajan) (Penghuni
rumah)
Palemahan
(Pekarangan
rumah)
APRESIASI BUDAYA 13
Selanjutnya hubungan harmonis antara bhuana alit dan bhuana agung diimplikasikan
pada sisitem pendimensian bangunan, baik parahyangan, pawongan maupun palemahan,
bahwa yang menjadi patokan dalam sisitem pendimensian adalah ergonomic dari pemilik
rumah untuk tempat tinggal dan ergonomic pemangku untuk parhyangan, pelinggihpelinggih (tempat bersthananya dewa-dewa).
APRESIASI BUDAYA 14
2.3.3Tri Angga
Tri Hita Karana (tiga unsur kehidupan) yang mengatur kesimbangan atau keharmonisan
manusia dengan lingkungan, tersusun dalam susunan jasad/angga, memberikan turunan
konsep ruang yang disebut Tri Angga. Secara harfiah Tri berarti tiga dan Angga berarti
badan, yang lebih menekankan tiga nilai fisik yaitu: Utama Angga, Madya Angga dan Nista
Angga. Dalam alam semesta/Bhuana agung, pembagian ini disebut Tri Loka, yaitu: Bhur
Loka (bumi), Bhuah Loka (angkasa), dan Swah Loka (sorga). Ketiga nilai tersebut didasarkan
secara vertikal, dimana nilai utama pada posisi teratas/sakral, madya pada posisi tengah dan
nista pada posisi terendah/kotor.
Konsepsi Tri Angga berlaku dari yang bersifat makro (alam semesta/bhuana agung)
sampai yang paling mikro (manusia/bhuana alit). Dalam skala wilayah; gunung memiliki
nilai utama; dataran bernilai madya dan lautan pada nilai nista. Dalam perumahan,
Kahyangan Tiga (utama), Perumahan penduduk (madya), Kuburan (nista), juga berlaku
dalam skala rumah dan manusia.
Pada banjar Wangaya Kaja konsep Tri Angga ini dapat dilihat dari bentuk bangunannya.
Tri Angga pada bangunan terdiri dari atap pada Utama Angga, kolom/dinding pada Madya
Angga dan lantai/bataran pada Nista
Angga.
APRESIASI BUDAYA 15
Konsep Sanga Mandala ini menjadi pertimbangan dalam penzoningan kegiatan dan tata
letak bangunan dalam penzoningan kegiatan dan tata letak bangunan pada Arsitektur
Tradisional Bali. Kegiatan utama atau yang memerlukan ketenangan diletakkan di daerah
Utamaning Utama, dan kegiatan yang dianggap kotor diletakkan di daerah Nistaning Nista,
sedangkan kegiatan diantaranya diletakkan di tengah atau yang kita kenal dengan pola Natah.
APRESIASI BUDAYA 16
APRESIASI BUDAYA 17
difungsikan sebagai tempat yang sakral dimana upacara keagamaan dilaksanakan di dalam
natah.
BAB III
TINJAUAN OBJEK
3.1 Gambaran Umum
Rumah dari bapak I.G.N. Jayanegara merupakan rumah tradisional Bali yang terletak di
Banjar Saba Kelurahan Penatih, Kecamatan Denpasar Timur, Kotamadya Denpasar. Rumah ini
APRESIASI BUDAYA 18
merupakan rumah peninggalan orang tua dari bapak I.G.N. Jayanegara yang dari dahulu hingga
sekarang telah banyak terjadi perubahan dari berbagai aspek.
Keterangan:
A.
B.
C.
D.
E.
F.
G.
H.
I.
J.
K.
L.
Keterangan:
A. Merajan
B & C: Bale Penyimpan benda
Seni
D. Paon
APRESIASI BUDAYA 20
E. Bale daja
F. Bale bengong
G. Merajan natah
H. Bale Gede
I. Bale Delod
J. Bale Meten
K. Natah
L. Garasi
M. Bale Dauh
N. Angkul angkul
Gbr.5 Pola tata ruang rumah sekarang
Sumber : hasil survei
3.3 Unsur Kebudayaan Universal yang Mempengaruhi Bentuk Arsitektur Rumah Bapak
I.G.N. Jayanegara
3.3.1 Sistem Religi
Perwujudan dari unsur kebudayaan berupa sistem religi ini, dapat ditunjukkan
oleh adanya Merajan atau Sanggah pemujaan keluarga pada rumah milik I G N
Jayanegara. Keberadaan merajan tersebut tidak terlepas dari sistem religi yang dianut
dan dipercayai oleh keluarga I G N Jayanegara yakni agama Hindu. Pada merajan dari
I G N Jayanegara ini terdapat beberapa bangunan yakni pelinggih sebagai tempat
pemujaan. Pada rumah milik bapak I.G.N Jayanegara ini bentuk Pamerajannya bersifat
pamerajan alit yang terdiri dari :
APRESIASI BUDAYA 21
Letak dari bangunan suci ini berorientasi pada arah timur untuk bangunan
Gedong, Kemulan dan Ratu Ngurah dengan arah hadap ke barat dan untuk pelinggih
Taksu berorientasi pada arah utara dengan arah hadap ke selatan. Selain pada merajan
wujud fisik kebudayaan berupa sistem religi tampak dari adanya benda fisik berupa
pelangkiran yang terdapat dalam setiap bangunan di rumah tersebut. Posisi dari
pelangkiran terletak pada posisi kaja kangin yang merupakan posisi yang dianalogikan
sebagai pertemuan gunung dan arah terbitnya matahari.
3.3.2 Sistem Organisasi Sosial
Perwujudan sistem sosial pada rumah dari I G N Jayanegara ini tampak pada
adanya struktur sosial keluarga tersebut. Yang terdiri dari ayah ibu, anak, menantu,
kakek, nenek, dan lain lain. Dalam satu rumah pada rumah ini terdapat 2 keluarga
kecil yang pada intinya terdapat satu keluarga yang merupakan keluarga pokok yang
mendiami rumah ini. Secara fisik perwujudan sistem sosial ini tampak pada pola
natah, dimana setiap bangunan pada rumah tersebut memiliki orientasi ke tengah. Pola
tersebut mengindikasikan bahwa natah tidak hanya sebagai ruang terbuka, makna
lainnya yang terkandung adalah sebagai sarana komunikasi secara visual. Dengan
adanya komuikasi tersebut terjadi hubungan atau interaksi antar anggota keluarga yang
dengan sendirinya menimbulkan sistem organisasi dari keluarga tersebut.
APRESIASI BUDAYA 22
Gbr.7 Natah sebagai wujud sistem kemasyarakatan pada rumah bapak I.G.N. Jayanegara
Sumber : hasil survei
Terjadi perubahan dimensi pada angkul angkul. Pada masa lalu angkul angkul pada
rumah ini berukuran dengan berpatokan pada dimensi manusia. Namun dengan
perkembangan
ilmu
pengetahuan
perubahan
dimensi
pada
angkul
angkul
menyesuaikan ukuran lebar angkul angkul yang dapat dilalui kendaraan bermotor.
Bale Daja
Bale daja yang diperuntukan bagi orang yang dianggap tua pada keluarga ini dan
letaknya sebelah barat dari merajan. Bale Daja sekarang ini sekarang ini dibangun
tanpa menggunakan lagi ukuran tradisional yang pasti. Bentuk bale pada umumnya
mengambil konsep Tri Angga seperti bangunan tradisional Bali lainnya yang terbagi
atas kepala, badan, dan kaki. Konsep bentuk ini masih dipegang teguh oleh masyarakat
Penatih sampai saat sekarang ini terutama pada rumah ini.
-
Bale Dauh
Bale ini berfungsi sebagai ruang tidur bagi keluarga. Berada di Zona Madyaning Nista.
Terletak di sebelah barat (kauh), menghadap ke timur (kangin) sesuai dengan filosofi
Ulu Teben. perubahan dapat dilihat dari bentuk bentuk dengan memakai ukuran
yang modern bukan lagi menggunakan ukuran tradisional Bali.
-
Fungsi bale ini sebagai tempat tidur bagi orang tua atau Ida Pedanda Resi Penatih yang
tinggal di satu pekarangan milik bapak I.G.N. Jayanegara berada pada zona
Uttamaning Madya di sebelah utara dan menghadap ke selatan yang sesuai dengan
filosofi Ulu Teben.
Paon
Perubahan yang terjadi berupa perubahan tata letak. Pada masa lalu Paon terletak pada
posisi kelod (selatan). Posisi tersebut bergeser ke arah timur yakni ke arah kandang.
Sehingga kini posisi paon tersebut terletak pada posisi kangin kelod (timur selatan)
dari rumah tersebut.
3.3.4 Sistem Bahasa
Bahasa merupakan sistem perlambangan manusia yang lisan maupun tertulis
untuk berkomunikasi satu dengan yang lain. Dalam hal unsur kebudayaan ini yang
berkaitan dengan arsitektur yakni bahasa proksemik yaitu pesan yang disampaikan
melalui pengaturan jarak dan ruang.
APRESIASI BUDAYA 24
Keterangan:
A. Merajan
B & C: Bale Penyimpan benda Seni
D. Paon
E. Bale daja
F. Bale bengong
G. Merajan natah
H. Bale Gede
I. Bale Delod
J. Bale Meten
K. Natah
L. Garasi
M. Bale Dauh
N. Angkul angkul
Terlihat adanya pengelompokan massa Bale Meten, Bale Daja dan Bale Dauh sesuai
dengan fungsinya yaitu sebagai tempat istrahat dengan subjek yang berbeda. Namun
dari adanya kedekatan ini, dengan maksud agar hubungan antar individu dekat.
Dengan memberikan tingkat privasi dari jaraknya dari angkul-angkul yang tidak
-
terlalu dekat.
Angkul-ngkul
Adanya penambahan pagar pada angkul-angkul agar menjaga keamanan dari pemilik
rumah. Memberi kesan privat, sehingga memberi jarak antara penghuni rumah dan
orang di luar rumah.
Bale ini berfungsi sebagai tempat tidur bagi orang tua atau Ida Pedanda Resi Penatih
yang tinggal di satu pekarangan milik bapak I.G.N. Jayanegara berada nampak dari
karakteristik bangunannya dengan dinding bangunan tertutup pada 4 sisi bangunan
sehingga bangunan bersifat privat dan hanya digunakan untuk orang yang dianggap
-
Bale Gede
Karena fungsinya sebagai tempat untuk mempersiapkan kegiatan upacara keagamaan
(terutama upacara manusia yadnya dan pitra yadnya) maka karakteristik bangunan
dengan dinding bangunan tertutup pada 2 sisi (sisi timur dan selatan) sehingga dapat
memberikan kebebasan gerak dalam kegiatan upacara (terjadi interaksi satu dengan
yang lainnya.
Rumah dari bapak I.G.N. Jayanegara ini juga dipengaruhi mata pencaharian dari
bapak I.G.N. Jayanegara sendiri. Di mana kita dapat melihat perubahan wujud arsitektur
bangunan pada saat masih mata pencahariannya petani dan sekarang telah menjadi wakil
walikota. Hal ini dapat kita lihat dari angkul-angkul, jineng dan garasi pada rumah ini.
Transformasi yang terjadi pada angkul angkul adalah adanya perubahan dimensi dari
angkul angkul. Pada masa lalu angkul angkul pada rumah ini berukuran dengan berpatokan
pada dimensi manusia. Namun dengan perkembangan jaman perubahan dimensi pada angkul
angkul tampak pada ukuran lebar angkul angkul yang dapat dilalui kendaraan bermotor.
Pada bangunan Jineng sendiri merupakan apresiasi pemilik rumah terhadap sistem
mata pencaharian mayoritas masyarakat Bali sebagai petani, jadi peletakkan Jineng pada
rumah
ini
tidak
tempat
penyimpanan
hasil
Selain
itu
pekarangan
pada
berfungsi
sebagai
pertanian.
ini
sosial
pemilik
rumah.
APRESIASI BUDAYA 28
Penambahan garasi pada rumah ini dipengaruhi juga dari sistem mata pencaharian
yang meningkatkan pendapatan ekonomi pemilik rumah. Pada umumnya Arsitektur
Tradisional Bali tidak mengenal bangunan garasi, akan tetapi karena tuntutan dari
meningkatknya ekonomi suatu keluarga yang memungkinkan memilik sebuah atau lebih
mobil maka garasi pun merupakan suatu kebutuhan.
masyarakat kecil
Alat-alat produksi
2.
3.
Senjata
4.
Wadah
5.
Makanan
6.
Pakaian
7.
8.
Alat transportasi
Dari segi arsitektur sistem teknologi yang termasuk yaitu tempat berlindung atau
permukiman. Pada rumah bapak I.G.N Jayanegara ini sistem teknologi pada
perumahannya dilihat dari segi material dan sistem konstruksi masing-masing
bangunan.
Pamerajan
Pura untuk tempat pemujaan keluarga dari satu unit keluarga besar di sebuah
Pamerajan atau Sanggah. Untuk tempat pemujaan di tingkat keluarga di setiap rumah
tangga ada Pamerajan atau Sanggah yang terletak di daerah Kaja-Kangin. Pamerajan
alit diperuntukan untuk keluarga kecil atau rumah tanggab dan Pamerajan Agung atau
Sanggah Gede untuk keluarga besar. Pada pemerajan perubahan teknologi yang terjadi
tidak signifikan, karena pemerajan merupakan tempat suci sehingga pemilik rumah
tidak melakukan perubahan baik dari tata letak maupun material.
APRESIASI BUDAYA 30
Gbr. 13 Pelinggih (bangunan suci) pada rumah bapak I.G.N. Jayanegara
Sumber : hasil survei
Angkul-angkul
Angkul-angkul adalah sejenis pintu masuk rumah atau pekarangan untuk
bangunan bali yang diberi atap yang meng- ungkuli/unkul-ungkul (berada diatas
kepala) terhadap orang yang lewat. Menurut Arinton Puja, istilah pamesuan muncul
sesuai dengan fungsinya untuk pintu masuk dan keluar. Namun, istilah ini hanya untuk
pintu masuk dan keluar yang lebih sederhana dari kori. Untuk tempat-tempat yang
disucikan istilah pamesuan disebut dengan kori agung, dan pamedal adalah istilah yang
sama untuk perumahan dari penghuni berkasta brahmana atau ksatria. Massa angkulangkul bisa dianggap sebagai lubang masuk berangkap. Untuk pekarangan yang luas
atau perumahan utama atau madya juga dibangun pintu sehari-hari, karena alam
perkembangannya angkul-angkul dianggap sebagai pintu masuk formal, yang disebut
betelan atau peletasan.
Seiring dengan perkembangan teknologi, yaitu mobil sebagai sarana transportasi
maka dimensi angkul angkul berubah. Transformasi yang terjadi pada angkul angkul
adalah adanya perubahan dimensi dari angkul angkul. Pada masa lalu angkul angkul
pada rumah ini berukuran dengan berpatokan pada dimensi manusia. Namun dengan
perkembangan jaman perubahan dimensi pada angkul angkul tampak pada ukuran lebar
angkul angkul yang dapat dilalui kendaraan
bermotor. Selain itu transformasi yang terjadi
adalah
adanya
perubahan
unsur
material
penggunaan
APRESIASI BUDAYA 31
penggunaan material yang hamper seluruhnya berubah. Hal ini disebabkan karena
adanya material material baru yang lebih kuat dari segi struktur dan lebih mudah
didapat dibandingkan dengan material material lama.
Bahan
Atap :
-
kayu.
Dinding :
Jaman dulu menggunakan bahan tanah polpolan. Jaman sekarang menggunakan
bata merah dan batu paras bahkan terkadang diplester dengan semen.
Tiang/Sesaka :
Bahan kayu jati karena kekuatan dan keawetannya dan terdiri dari 8 buah saka di
bagian luar bangunan.
APRESIASI BUDAYA 32
Pondasi :
Menggunakan susunan batu alam sedangkan bebaturannya menggunakan batu,
paras dan bata.
Gbr. 15 Perubahan material bangunan pada Bale Meten Sakutus dari rumah bapak I.G.N. Jayanegara
Sumber : hasil survei
Bale Daja
Pada Bale Daja aspek teknologi yang mengalami peruabahan yaitu pada material,
hal ini didasarkan atas tingkat perekonomian masyarakat Bali yang semakin meningkat
serta semakin sulitnya memperoleh beberapa bahan alami tersebut. Faktor estetika juga
menjadi salah satu pertimbangan berubahnya penggunaan bahan tersebut.
-
Untuk bagian bawah atau pondasi tetap menggunakan batu kali sebagai
kebanyakan telah di tempeli keramik. Hal ini merupakan ekspresi dari tingkat
perekonomian si pemilik yang semakin meningkat.
Untuk bagian tengah, terutama bagian bale-bale dan sesaka masih menggunakan
bahan kayu. Perubahan yang terjadi pada bangunan dinding dimana penggunaan bahan
dinding, dimana penggunaan tanah polpolan sudah di tinggalkan. Kini dinding
menggunakan bahan batu bata dilapisi plesteran kemudian di finishing dengan cat.
Pada bagian atas tetap menggunakan bahan kayu pada struktur atapnya, hal ini
berarti struktur atap tradisional bali masih tetap digunakan yang berubah adalah
APRESIASI BUDAYA 33
penutup atap yang saat ini adalah bahan genteng dan asbes karena bahan alang-alang
semakin sulit diperoleh dan harganya cukup mahal.
Ornamen merupakan salah satu estetika yang mendukung keberadaan Bale Daja.
Pada Bale Daja mulanya ornamen bersifat pelengkap dan bentuknya sangat sederhana,
namun pada perkembangannya sekarang ini Bale Daja dibuat semegah mungkin dengan
menambah ornament-ornamen yang dapat menambah nilai estetika Bale Daja, baik
pada bagian atapnya, dindingnya maupun pada bagian lantainya yang disesuaikan pada
tingkat ekonomi pemiliknya. Pada ukir-ukirannya dapat dilihat pada saka-sakanya
dengan ukiran berbagai bentuk yang di finishing dengan prada (pada bale daja meten).
Bale Dauh
Pada Bale Dauh transformasi teknologi yang terjadi juga pada material. Material
yang digunakan juga telah mengalami perubahan yang cukup signifikan. Penggunaan
material yang dahulunya menggunakan material alami seperti bahan batu padas dan
batu kali, bahan kayu, anyaman bambu besar, bahan kayu dan seseh (batang kelapa).
Material yang digunakan pada masa kini adalah penggunaan material beton bertulang
APRESIASI BUDAYA 34
pada unsur strukturalnya, sedangkan atap menggunakan atap genteng. Unsur modern
terdapat pada unsur pelapis lanati berupa keramik.
Gbr. 17 Bale Dauh yang terletak pada arah kauh (barat) yang menghadapa ke arah kangin (timur)
Sumber : hasil survei
Bahan
Dinding :
Anyaman bambu besar (tidak seperti gedeg) sehingga terdapat pori-pori yang
memungkinkan terjadinya sirkulasi udara (meskipun relatif kecil). Pada bangunan
yang telah mengalami modernisasi, dinding bangunan terbuat dari pasangan batu
bata.
Dinding batur
Bale Gede
Perubahan aspek teknologi yang terjadi juga pada pengguaan material banguanan.
Penggunaan material yang dahulunya menggunakan material alami seperti bahan batu padas
dan batu kali, bahan kayu, anyaman bambu besar, bahan kayu dan seseh (batang kelapa).
Material yang digunakan pada masa kini adalah penggunaan material beton bertulang pada
unsur strukturalnya, sedangkan atap menggunakan atap genteng. Unsur modern terdapat pada
unsur pelapis lanati berupa keramik.
Bahan
Atap :
-
Penutup atap dari alang-alang, bambu, sirap bambu atau anyaman daun kelapa.
Pendukung penutup atap terdiri atas rangkaian iga-iga/usuk, terbuat dari bahan bambu.
Langit-langit yang mengikat iga-iga pada puncak atap memakai bahan kayu jenis
ketewel/kayu nangka.
Lambang sineb sebagai pengikat dan pemersatu saka, menggunakan batang kelapa/seseh.
Pemeteng dan saka pada Bale Gede menggunakan bahan kayu, untuk jenis kayu yang
digunakan disesuaikan dengan fungsi bangunannya.
Dinding :
Jaman dulu menggunakan bahan tanah polpolan. Jaman sekarang menggunakan
bata merah dan batu paras bahkan terkadang diplester dengan semen.
Tiang/Sesaka :
Bahan kayu jati karena kekuatan dan keawetannya.
Pondasi :
Menggunakan susunan batu alam sedangkan bebaturannya menggunakan batu,
paras dan bata.
APRESIASI BUDAYA 36
JINENG
Perubahan teknologi yang terjadi pada jineng adalah pada bagian material bangunannya.
Hal ini dikarenakan jineng ini sudah berubah fungsinya, bukan lagi sebagai tempat
penyimpan padi, tetapi sekarang berfungsi hanya sebagia penunjuk status social yaitu sebagai
hiasan. Hal ini dapat dilihat dari perubahan material atap yang dulunya menggunakan atap
alang alang , tetapi sekarang sudah menggunakan material genteng dan finishing
bangunannya lebih halus karena mementingkan estetika bangunan jineng tersebut.
Gbr. 19 Jineng yang sudah berubah pemakaian material atapnya pada rumah bapak I.G.N. Jayangera
Sumber : hasil survei
PAON
APRESIASI BUDAYA 37
Perubahan teknologi pada paon mengalami perubahan yang signifikan yaitu pada
bagian material. Hal ini dikarenakan untuk kebersihan paon tersebut. Konstruksi atap pada
masa lalu adalah kampiah. Material bangunan yang dipergunakan pada paon pada rumah ini
adalah tembok dari tembok popolan/ tanah dengan atap dari genteng serta lantai dari tanah.
BAB IV
PENUTUP
4.1 Kesimpulan
Adanya era modernisasi membuat rumah tradisional Bali juga ikut berkembang, mulai dari
bahan, warna sampai dengan bentuk. Tidak sedikit faktor ini menyebabkan pergesaran nilainilai tradisional yang terlah di anut masyrakat Bali. Karena itu dalam perkembangan arsitktur
tradisional Bali di perlukan sikap bagaimana menghargai hasil kebudayaan Bali pada masa
lampau demi dan menyesuaikan pada kehidupan yang sekarang sehingga tata ruang
perumahan Bali dapat sebagai dasar yang harus dipegang kuat dalam membangun
perumahan.
4.2 Saran
Penyusun sadar bahwa makalah ini jauh dari sempurna akibat dari keterbatasan penyusun.
Maka dari itu penyusun mengharapkan kritik dan saran yang mebangun dari semua pihak
demi kesempurnaan makalah ini. Semoga makalah ini dapat memberikan manfaat bagi
pembaca
APRESIASI BUDAYA 38
DAFTAR PUSTAKA
Sumintardja. Djauhari, Kompedium Sejarah Arsitektur, Yayasan Lembaga Penyelidikan
I Nyoman Gelebet. 1985. Pengantar Arsitektur Tradisional Bali. Denpasar : Departemen
Pendidikan dan Kebudayaan Propinsi Bali.
Dwijendra. N.K. Acwin. 2008. Arsitektur Rumah Tradisional Bali. Denpasar : Udayana
University Press
http://id.wikipedia.org/wiki/budaya
APRESIASI BUDAYA 39
APRESIASI BUDAYA 40