Anda di halaman 1dari 19

PENDAHULUAN

Sepsis neonatorum adalah infeksi bakteri pada aliran darah bayi selama empat
minggu pertama kehidupan. Insiden sepsis bervariasi yaitu antara 1 dalam 500
atau 1 dalam 600 kelahiran hidup.

Sepsis adalah istilah yang digunakan untuk menggambarkan respons sistemik


terhadap infeksi pada bayi baru lahir (Behrman, 2000). Sepsis adalah sindrom
yang dikarekteristikkan oleh tanda-tanda klinis dan gejala-gejala infeksi yang
parah yang dapat berkembang kearah septikemia dan syok septik

Sepsis neonatorum adalah semua infeksi pada bayi pada 28 hari pertama sejak
dilahirkan. Infeksi dapat menyebar secara nenyeluruh atau terlokasi hanya pada
satu organ saja (seperti paru-paru dengan pneumonia). Infeksi pada sepsis bisa
didapatkan pada saat sebelum persalinan (intrauterine sepsis) atau setelah
persalinan (extrauterine sepsis) dan dapat disebabkan karena virus (herpes,
rubella), bakteri (streptococcus B), dan fungi atau jamur (candida) meskipun
jarang ditemui.

Dalam laporan WHO yang dikutip Child Health Research Project Special
Report : Reducing Perinatal and Neonatal Mortality, dikemukakan bahwa 42%
kematian neonatus terjadi karena berbagai bentuk infeksi seperti infeksi saluran
pernafasan, tetanus neonatorum, sepsis, dan infeksi gastrointestinal. Setelah
tetanus neonatorum, sepsis neonatorum merupakan penyakit dengan case fatality
rate tertinggi. Hal ini terjadi karena banyak faktor resiko infeksi pada masa
perinatal yang belum dapat dicegah dan ditanggulangi.

A. Definisi
Sepsis neonatorum adalah infeksi berat yang diderita neonatus dengan gejala
sistemik dan terdapat bakteri dalam darah. Perjalanan penyakit sepsis dapat
berlangsung cepat sehingga sering kali tidak terpantau tanpa pengobatan yang
memadai sehingga neonatus dapat meninggal dalam waktu 24 sampai 48 hari.

Sepsis neonatal adalah merupakan sindroma klinis dari penyakit sistemik


akibat infeksi selama satu bulan pertama kehidupan. Bakteri, virus, jamur, dan
protozoa dapat menyebabkan sepsis bayi baru lahir.

Menurut The International Sepsis Definition Conferences (ISDC, 2010), sepsis


adalah sindrom klinis dengan adanya Systemic Inflammatory Response Syndrome
(SIRS) dan infeksi. Sepsis merupakan suatu proses berkelanjutan mulai dari
infeksi, SIRS, sepsis, sepsis berat, renjatan/ syok septik, disfungsi multiorgan, dan
akhirnya kematian.

B. Faktor Risiko

Kriteria sepsis neonatorum baik berdasarkan anamnesis (termasuk adanya


faktor resiko ibu dan neonatus terhadap sepsis), gambaran klinis dan pemeriksaan
penunjang berbeda antara satu tempat dengan tempat lainnya. Terjadinya sepsis
neonatorum dipengaruhi oleh faktor risiko pada ibu dan bayi.

Faktor risiko ibu:


Ketuban pecah dini dan ketuban pecah lebih dari 18 jam. Bila ketuban
pecah lebih dari 24 jam, kejadian sepsis pada bayi meningkat sekitar 1%
dan bila disertai korioamnionitis, kejadian sepsis akan meningkat menjadi
4 kalinya.
Infeksi dan demam (>38C) pada masa peripartum akibat korioamnionitis,
infeksi saluran kemih, kolonisasi vagina oleh Streptokokus grup B (SGB),
kolonisasi perineal oleh E. coli, dan komplikasi obstetrik lainnya.
Cairan ketuban hijau keruh dan berbau.
Kehamilan multipel.
Persalinan dan kehamilan kurang bulan.
Faktor sosial ekonomi dan gizi ibu.

2
Faktor risiko pada bayi:
Prematuritas dan berat lahir rendah.
Dirawat di Rumah Sakit.
Trauma pada proses persalinan.
Prosedur invasif seperti intubasi endotrakeal, pemakaian ventilator,
kateter, infus, pembedahan, akses vena sentral, kateter intratorakal.
Bayi dengan galaktosemia (predisposisi untuk sepsis oleh E. coli), defek
imun, atau asplenia.
Asfiksia neonatorum.
Cacat bawaan.
Tidak diberi ASI
Pemberian nutrisi parenteral.
Perawatan di bangsal intensif bayi baru lahir yang terlalu lama.
Perawatan di bangsal bayi baru lahir yang overcrowded
Buruknya kebersihan di NICU.
Divisi Perinatologi Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo mencoba melakukan
pendekatan diagnosis dengan menggunakan faktor risiko dan mengelompokkan
faktor risiko tersebut dalam risiko mayor dan risiko minor.

Bila terdapat satu faktor risiko mayor dan dua risiko minor maka pendekatan
diagnosis dilakukan secara aktif dengan melakukan pemeriksaan penunjang
(septicwork-up) sesegera mungkin. Pendekatan khusus ini diharapkan dapat
meningkatkan identifikasi pasien secara dini dan tata laksana yang lebih efisien
sehingga mortalitas dan morbiditas pasien diharapkan dapat membaik.

C. Etiologi

3
Sepsis neonatorum dapat disebabkan oleh beberapa factor yaitu: Bakteria
seperti Escherichia coli, Listeria monocytogenes, Neisseria meningitidis,
Sterptococcus pneumoniae, Haemophilus influenzae tipe B, Salmonella, dan
Streptococcus grup B merupakan penyebab paling sering terjadinya sepsis pada
bayi berusia sampai dengan 3 bulan. Streptococcus grup B merupakan penyebab
sepsis paling sering pada neonatus.

Perbedaan pola kuman penyebab sepsis antar negara berkembang telah diteliti
oleh World Health Organization Young Infants Study Group di empat negara
berkembang yaitu Ethiopia, Philipina, Papua New Guinea dan Gambia. Dalam
penelitian tersebut mengemukakan bahwa isolate yang tersering ditemukan pada
kultur darah adalah Staphylococcus aureus (23%), Streptococcus pyogenes (20%)
dan E. coli (18%). Pada cairan serebrospinal yang terjadi pada meningitis
neonatus awitan dini banyak ditemukan bakteri Gram negatif terutama Klebsiella
sp dan E.Coli, sedangkan pada awitan lambat selain bakteri Gram negatif juga
ditemukan Streptococcus pneumoniae serotipe 2. E.coli biasa ditemukan pada
neonatus yang tidak dilahirkan di rumah sakit serta pada usap vagina wanita-
wanita di daerah pedesaan. Sementara Klebsiella sp biasanya diisolasi dari
neonatus yang dilahirkan di rumah sakit. Selain mikroorganisme di atas, patogen
yang sering ditemukan adalah Pseudomonas, Enterobacter, dan Staphylococcus
aureus.

D. Klasifikasi

Berdasarkan klasifikasinya, sepsis dapat dibagi menjadi dua jenis yaitu:

a. Sepsis dini: Terjadi 7 hari pertama kehidupan, karakteristik sumber


organisme pada saluran genital ibu dan atau cairan amnion, biasanya
fulminan dengan angka mortalitas tinggi.
b. Sepsis lanjutan/nosokomial: Terjadi setelah minggu pertama kehidupan
dan didapat dari lingkungan pasca lahir, karakteristik didapat dari kontak

4
langsung atau tak langsung dengan organisme yang ditemukan dari
lingkungan tempat perawatan bayi, sering mengalami komplikasi.

E. Patofisiologi

Infeksi bukan merupakan keadaan yang statis. Adanya patogen di dalam darah
(bakteremia, viremia) dapat menimbulkan keadaan yang berkelanjutan mulai dari
infeksi ke SIRS, sepsis, sepsis berat, syok septik, kegagalan multi organ, dan
akhirnya kematian.
Kriteria Systemic Inflammatory Response Syndrome (SIRS):

Kriteria infeksi, sepsis, sepsis berat, syok septik :

International Consensus Definitions for Pediatric Sepsis


Infeksi : infeksi yang dicurigai atau yang sudah terbukti, atau sebuah sindrom
klinis yang terkait dengan kemungkinan infeksi yang tinggi
SIRS : memenuhi 2 dari 4 kriteria berikut dengan salah satunya harus suhu
abnormal atau jumlah leukosit yang abnormal
1. Suhu core > 38.5 C atau < 36 C
2. Takikardi : mean heart rate > 2 SD diatas normal untuk umur tanpa stimuli
dari luar, obat obatan, ataupun stimuli nyeri; ATAU elevasi yang
menetap tanpa penjelasan selama 0.5 4 jam; ATAU pada anak anak < 1

5
tahun terdapat bradikardi persisten lebih dari 0.5 jam (mean heart rate <
persentil 10 tanpa rangsangan vagal, obat-obatan, ataupun penyakit
jantung kongenital)
3. Takipneu > 2 SD diatas normal atau perlunya ventilator mekanik yang
tidak terkait dengan kelainan neuromuskular atau anestesi umum
4. Leukositosis atau leukopeni; atau leukosit imatur > 10%

Selama dalam kandungan janin relatif aman terhadap kontaminasi kuman


karena terlindung oleh berbagai organ tubuh seperti plasenta, selaput amnion,
khorion, dan beberapa faktor anti infeksi pada cairan amnion. Walaupun demikian
kemungkinan kontaminasi kuman dapat timbul melalui berbagai jalan yaitu :1,2,5
Infeksi kuman, parasit atau virus yang diderita ibu dapat mencapai janin
melalui aliran darah menembus barier plasenta dan masuk sirkulasi janin.
Keadaan ini ditemukan pada infeksi TORCH, Triponema pallidum atau
Listeria dll.
Prosedur obstetri yang kurang memperhatikan faktor a/antisepsis misalnya
saat pengambilan contoh darah janin, bahan villi khorion atau
amniosentesis. Paparan kuman pada cairan amnion saat prosedur
dilakukan akan menimbulkan amnionitis dan pada akhirnya terjadi
kontaminasi kuman pada janin.
Pada saat ketuban pecah, paparan kuman yang berasal dari vagina akan
lebih berperan dalam infeksi janin. Pada keadaan ini kuman vagina masuk
ke dalam rongga uterus dan bayi dapat terkontaminasi kuman melalui
saluran pernafasan ataupun saluran cerna. Kejadian kontaminasi kuman
pada bayi yang belum lahir akan meningkat apabila ketuban telah pecah
lebih dari 18-24 jam.
Setelah lahir, kontaminasi kuman terjadi dari lingkungan bayi baik karena
infeksi silang ataupun karena alat-alat yang digunakan bayi, bayi yang
mendapat prosedur neonatal invasif seperti kateterisasi umbilikus, bayi
dalam ventilator, kurang memperhatikan tindakan a/anti sepsis, rawat inap
yang terlalu lama dan hunian terlalu padat, dll.

6
Bila paparan kuman pada kedua kelompok ini berlanjut dan memasuki aliran
darah, akan terjadi respons tubuh yang berupaya untuk mengeluarkan kuman dari
tubuh. Berbagai reaksi tubuh yang terjadi akan memperlihatkan pula bermacam
gambaran gejala klinis pada pasien. Tergantung dari perjalanan penyakit,
gambaran klinis yang terlihat akan berbeda.
Patofisiologi sepsis terdiri dari aktivasi inflamasi, aktivasi koagulasi, dan
gangguan fibrinolisis. Hal ini mengganggu homeostasis antara mekanisme
prokoagulasi dan antikoagulasi.

1) Respon inflamasi
Respon sepsis terhadap bakteri Gram negatif dimulai dengan pelepasan
lipopolisakarida (LPS), yaitu endotoksin dari dinding sel bakteri. Lipopolisakarida
merupakan komponen penting pada membran luar bakteri Gram negatif dan
memiliki peranan penting dalam menginduksi sepsis. Lipopolisakarida mengikat
protein spesifik dalam plasma yaitu lipoprotein binding protein (LPB).
Selanjutnya kompleks LPS-LPB ini berikatan dengan CD14, yaitu reseptor pada
membran makrofag. CD14 akan mempresentasikan LPS kepada Toll-like receptor
4 (TLR4) yaitu reseptor untuk transduksi sinyal sehingga terjadi aktivasi
makrofag.

Bakteri Gram positif dapat menimbulkan sepsis melalui dua mekanisme, yakni
dengan menghasilkan eksotoksin yang bekerja sebagai superantigen dan dengan
melepaskan fragmen dinding sel yang merangsang sel imun. Superantigen
mengaktifkan sejumlah besar sel T untuk menghasilkan sitokin proinflamasi
dalam jumlah yang sangat banyak. Bakteri Gram positif yang tidak mengeluarkan
eksotoksin dapat menginduksi syok dengan merangsang respon imun non spesifik
melalui mekanisme yang sama dengan bakteri Gram negatif. Kedua kelompok
organisme diatas, memicu kaskade sepsis yang dimulai dengan pelepasan
mediator inflamasi sepsis. Mediator inflamasi primer dilepaskan dari sel-sel akibat
aktivasi makrofag. Kerusakan utama akibat aktivasi makrofag terjadi pada endotel
dan selanjutnya akan menimbulkan migrasi leukosit serta pembentukan
mikrotrombi sehingga menyebabkan kerusakan organ. Aktivasi endotel akan

7
meningkatkan jumlah reseptor trombin pada permukaan sel untuk melokalisasi
koagulasi pada tempat yang mengalami cedera. Cedera pada endotel ini juga
berkaitan dengan gangguan fibrinolisis. Hal ini disebabkan oleh penurunan jumlah
reseptor pada permukaan sel untuk sintesis dan ekspresi molekul antitrombik.
Selain itu, inflamasi pada sel endotel akan menyebabkan vasodilatasi pada otot
polos pembuluh darah.

2) Aktivasi Inflamasi dan Koagulasi


Pada sepsis terlihat hubungan erat antara inflamasi dan koagulasi. Mediator
inflamasi menyebabkan ekspresi faktor jaringan atau Tissue Factor (TF). Ekspresi
TF secara langsung akan mengaktivasi jalur koagulasi ekstrinsik dan melalui
lengkung umpan balik secara tidak langsung juga akan mengaktifkan jalur
instrinsik
Pada sepsis, aktivasi kaskade koagulasi umumnya diawali pada jalur ekstrinsik
yang terjadi akibat ekspresi TF yang meningkat akibat rangsangan dari mediator
inflamasi. Selain itu, secara tidak langsung TF juga akan megaktifkan jalur
intrinsik melalui lengkung jalur umpan balik. Terdapat kaitan antara jalur
ekstrinsik dan intrinsik dan hasil akhir aktivasi kedua jalur tersebut adalah
pembentukan fibrin.
3) Gangguan Fibrinolisis
Fibrinolisis adalah respons homeostasis tubuh terhadap aktivasi sistem
koagulasi. Penghancuran fibrin penting bagi angiogenesis (pembentukan
pembuluh darah baru), rekanalisasi pembuluh darah dan penyembuhan luka.
Aktivator fibrinolisis [tissue-type plasminogen activator (t-PA) dan
urokinasetype plasminogen activator (u-PA)] akan dilepaskan dari endotel untuk
merubah plasminogen menjadi plasmin. Jika plasmin terbentuk, akan terjadi
proteolisisfibrin.
Tubuh juga memiliki inhibitor fibrinolisis alamiah yaitu plasminogen activator
inhibitor-1 (PAI-1) dan trombin-activatable fibrinolysis inhibitor (TAFI).
Aktivator dan inhibitor diperlukan untuk mempertahankan keseimbangan.

8
Sepsis mengganggu respons fibrinolisis normal dan menyebabkan tubuh tidak
mampu menghancurkan mikrotrombi. TNF- menyebabkan supresi fibrinolisis
akibat tingginya kadar PAI-1 dan menghambat penghancuran fibrin. Hasil
pemecahan fibrin dikenal sebagai fibrin degradation product (FDP) yang
mencakup D-dimer, dan sering diperiksa pada tes koagulasi klinis. Mediator
proinflamasi (TNF- dan IL-6) bekerja secara sinergis meningkatkan kadar fibrin,
sehingga menyebabkan trombosis pada pembuluh darah kecil hingga sedang dan
selanjutnya menyebabkan disfungsi multi organ. Secara klinis, disfungsi organ
dapat bermanifestasi sebagai gangguan napas, hipotensi, gagal ginjal dan pada
kasus yang berat dapat menyebabkan kematian.
Pada sepsis, saat aktivasi koagulasi maksimal, sistem fibrinolisis akan tertekan.
Respon akut sistem fibrinolisis adalah pelepasan aktivator plasminogen khususnya
t-PA dan u-PA dari tempat penyimpanannya dalam endotel. Namun, aktivasi
plasminogen ini dihambat oleh peningkatan PAI-1 sehingga pembersihan fibrin
menjadi tidak adekuat, dan mengakibatkan pembentukan trombus dalam
mikrovaskular. Disseminated intravascular coagulation (DIC) atau Pembekuan
intravaskular menyeluruh ( PIM ) merupakan komplikasi tersering pada sepsis.
Konsumsi faktor pembekuan dan trombosit akan menginduksi komplikasi
perdarahan berat. PIM secara bersamaan akan menyebabkan trombosis
mikrovaskular dan perdarahan. Pada pasien PIM, kadar PAI-1 yang tinggi
dihubungkan dengan prognosis buruk.
Efek kumulatif kaskade sepsis menyebabkan ketidakseimbangan mekanisme
inflamasi dan homeostasis. Inflamasi yang lebih dominan terhadap anti inflamasi
dan koagulasi yang lebih dominan terhadap fibrinolisis, memudahkan terjadinya
trombosis mikrovaskular, hipoperfusi, iskemia dan kerusakan jaringan. Sepsis
berat, syok septik, dapat menyebabkan kegagalan multi organ, dan berakhir
dengan kematian.

9
F. Manifestasi Klinis
Gambaran klinis pasien sepsis neonatus tidak spesifik. Gejala sepsis klasik
yang ditemukan pada anak jarang ditemukan pada neonatus, namun keterlambatan
dalam menegakkan diagnosis dapat berakibat fatal bagi kehidupan bayi. Gejala
klinis yang terlihat sangat berhubungan dengan karakteristik kuman penyebab dan
respon tubuh terhadap masuknya kuman. Janin yang terkena infeksi akan
menderita takikardia, lahir dengan asfiksia dan memerlukan resusitasi karena nilai
Apgar rendah. Setelah lahir bayi akan tampak lemah. Selanjutnya akan terlihat
berbagai kelainan dan gangguan fungsi organ tubuh. Selain itu, terdapat kelainan

10
susunan saraf pusat (letargi, refleks hisap buruk, menangis lemah kadang-kadang
terdengar high pitch cry, bayi menjadi iritabel dan dapat disertai kejang), kelainan
kardiovaskular (hipotensi, pucat, sianosis,akral dingin). Bayi dapat pula
memperlihatkan kelainan hematologik, gastrointestinal ataupun gangguan
respirasi (perdarahan, ikterus, muntah, diare, distensi abdomen, intoleransi
minum, waktu pengosongan lambung yang memanjang, takipnea, apnea, merintih
dan retraksi).
Selain itu, menurut Integrated Management of Childhood Illnesses
mengemukakan bahwa kriteria klinis sepsis neonatorum berat bila ditemukan satu
atau lebih dari gejala-gejala berikut :

Laju napas > 60 kali per menit


Cuping hidung kembang kempis
Retraksi dada yang dalam
Merintih
Ubun ubun besar membonjol
Kejang
Keluar pus dari telinga
Kemerahan di sekitar umbilikus yang melebar ke kulit
Suhu >37,7C (atau akral teraba hangat) atau < 35,5C (atau akral teraba
dingin)
Letargi atau tidak sadar
Penurunan aktivitas /gerakan
Tidak dapat minum
Tidak dapat melekat pada payudara ibu
Tidak mau menetek

Untuk menentukan kriteria sepsis neonatorum. Sepsis dibagi menjadi dua


kategori. Penegakan diagnosis ditentukan berdasarkan usia pasien dan gambaran
klinis sesuai dengan kategori :

11
Neonatus diduga mengalami sepsis (tersangka sepsis) bila ditemukan tanda-
tanda dan gejala yang akan dijelaskan sebagai berikut :

Bila ada riwayat ibu dengan infeksi intrauterin, demam yang dicurigai
sebagai infeksi berat atau KPD (ketuban pecah dini).
Bila bayi mempunyai dua tanda atau lebih pada Kategori A (tabel), atau
tiga tanda atau lebih pada Kategori B (tabel).
Bila mempunyai satu tanda pada Kategori A dan satu tanda pada Kategori
B, atau dua tanda pada Kategori B.

G. Pemeriksaan Penunjang
1) Pemeriksaan kuman dengan kultur darah
Sampai saat ini pemeriksaan biakan darah merupakan baku emas
dalam menentukan diagnosis sepsis. Pemeriksaan ini mempunyai
kelemahan karena hasil biakan baru akan diketahui dalam waktu
minimal 3-5 hari. Hasil kultur perlu dipertimbangkan secara hati-hati
apalagi bila ditemukan kuman yang berlainan dari jenis kuman yang
biasa ditemukan di masing- masing klinik. Kultur darah dapat

12
dilakukan baik pada kasus sepsis neonatorum onset dini maupun
lanjut.
2) Pungsi lumbal
Kemungkinan terjadinya meningitis pada sepsis neonatorum sangat
tinggi. Bayi dengan meningitis mungkin saja tidak menunjukkan
gejala spesifik. Punksi lumbal dilakukan untuk mendiagnosis atau
menyingkirkan sepsis neonatorum bila dicurigai terdapat meningitis.
Pemeriksaan ini dilakukan baik pada sepsis neonatorum dini maupun
lanjut. Kemudian dilakukan pemeriksaan kultur dari cairan
serebrospinal (LCS). Apabila hasil kultur positif, punksi lumbal
diulang 24-36 jam setelah pemberian antibiotikuntuk menilai apakah
pengobatan cukup efektif. Apabila pada pengulangan pemeriksaan
masih didapatkan kuman pada LCS, diperlukan modifikasi tipe
antibiotikdan dosis. Dari penelitian, terdapat 15% bayi dengan
meningitis yang menunjukkan kultur darah negatif.
3) Pewarnaan Gram
Selain biakan kuman, pewarnaan Gram merupakan teknik tertua dan
sampai saat ini masih sering dipakai di laboratorium dalam melakukan
identifikasi kuman. Pemeriksaan dengan pewarnaan Gram ini
dilakukan untuk membedakan apakah bakteri penyebab termasuk
golongan bakteri Gram positif atau Gram negatif. Walaupun
dilaporkan terdapat kesalahan baca pada 0,7% kasus, pemeriksaan
untuk identifikasi awal kuman ini dapat dilaksanakan pada rumah
sakit dengan fasilitas laboratorium yang terbatas dan bermanfaat
dalam menentukan penggunaan antibiotik pada awal pengobatan
sebelum didapatkan hasil pemeriksaan kultur bakteri.
4) Pemeriksaan Hematologi
Beberapa parameter hematologi yang banyak dipakai untuk
menunjang diagnosis sepsis neonatorum adalah sebagai berikut :
a) Hitung trombosit
Pada bayi baru lahir jumlah trombosit yang kurang dari 100.000/L
jarang ditemukan pada 10 hari pertama kehidupannya. Pada
penderita sepsis neonatorum dapat terjadi trombositopenia (jumlah
trombosit kurang dari 100.0000/L), MPV (mean platelet volume)

13
dan PDW (platelet distribution width) meningkat secara signifikan
pada 2-3 hari pertama kehidupan.
b) Hitung leukosit
Pada sepsis neonatorum jumlah leukosit dapat meningkat atau
menurun, walaupun jumlah leukosit yang normal juga dapat
ditemukan pada 50% kasus sepsis dengan kultur bakteri positif.
Pemeriksaan ini tidak spesifik. Bayi yang tidak terinfeksi pun dapat
memberikan hasil yang abnormal, bila berkaitan dengan stress saat
proses persalinan. Jumlah total neutrofil (sel-sel PMN dan bentuk
imatur) lebih sensitif dibandingkan dengan jumlah total leukosit
(basofil, eosinofil, batang, PMN, limfosit dan monosit). Jumlah
neutrofil abnormal yang terjadi pada saat mulainya onset
ditemukan pada 2/3 bayi. Walaupun begitu, jumlah neutrofil tidak
dapat memberikan konfirmasi yang adekuat untuk diagnosis sepsis.
Neutropenia juga ditemukan pada bayi yang lahir dari ibu penderita
hipertensi, asfiksia perinatal berat, serta perdarahan periventrikular
dan intraventrikular.
5. Pencitraan
Pemeriksaan radiografi toraks dapat menunjukkan beberapa gambaran,
misalnya:
Menunjukkan infiltrat segmental atau lobular, yang biasanya difus,
pola retikulogranular, hampir serupa dengan gambaran pada RDS
(Respiratory Distress Syndrome).
Efusi pleura juga dapat ditemukan dengan pemeriksaan ini.
Pneumonia : Penting dilakukan pemeriksaan radiologi toraks karena
ditemukan pada sebagian besar bayi, meninggal akibat sepsis awitan
dini yang telah terbukti dengan kultur.

H. Diagnosis

Diagnosis dini sepsis neonatal penting artinya dalam penatalaksanaan dan


prognosis pasien. Keterlambatan diagnosis berpotensi mengancam kelangsungan
hidup bayi dan memperburuk prognosis pasien. Seperti yang telah dikemukakan
sebelumnya, diagnosis sepsis neonatal sulit ditegakkan karena gambaran klinis

14
pasien tidak spesifik. Gejala spesis klasik yang ditemukan pada anak lebih besar
jarang ditemukan pada neonatus. Tanda dan gejala sepsis neonatal tidak berbeda
dengan gejala penyakit non infeksi berat lain pada neonatus. Selain itu tidak ada
satupun pemeriksaan penunjang yang dapat dipakai sebagai pegangan tunggal
dalam diagnosis pasti pasien sepsis. Dalam menentukan diagnosis diperlukan
berbagai informasi antara lain :

Faktor Resiko
Gambaran Klinik
Pemeriksaan Penunjang

Ketiga faktor ini perlu dipertimbangkan saat menghadapi pasien karena salah
satu faktor saja tidak mungkin dipakai sebagai pegangan dalam menegakkan
diagnosis pasien. Faktor resiko sepsis dapat bervariasi tergantung awitan sepsis
yang diderita pasien. Pada awitan dini berbagai faktor yang terjadi selama
kehamilan, persalinan ataupun kelahiran dapat dipakai sebagai indikator untuk
melakukan elaborasi lebih lanjut sepsis neonatal. Berlainan dengan awitan dini,
pada pasien awitan lambat, infeksi terjadi karena sumber infeksi yang terdapat
dalam lingkungan pasien.

Pada sepsis awitan dini faktor resiko dikelompokan menjadi :


1. Faktor ibu :
Persalinan dan kelahiran kurang bulan
Ketuban pecah lebih dari 18 24 jam
Chorioamnionitis
Persalinan dengan tindakan
Demam pada ibu ( > 38,4 C )
Infeksi saluran kencing pada ibu
Faktor sosial ekonomi dan gizi ibu
2. Faktor bayi
Asfiksia perinatal
Berat lahir rendah
Bayi kurang bulan
Prosedur invasif
Kelainan bawaan

15
Semua faktor diatas sering kita jumpai dalam praktek sehari-hari dan sampai
saat ini masih menjadi masalah yang belum terselesaikan. Hal ini merupakan
salah satu faktor penyebab mengapa angka kejadian sepsis neonatal tidak banyak
mengalami perubahan dalam dekade terakhir ini.

Berlainan dengan awitan dini, pada pasien awitan lambat, infeksi terjadi karena
sumber infeksi yang berasal dari lingkungan tempat perawatan pasien. Keadaan
ini sering ditemukan pada bayi yang dirawat di ruang intensif neonatus, bayi
kurang bulan yang mengalamai lama rawat, nutrisi parenteral yang berlarut-larut,
infeksi yang bersumber dari alat perawatan bayi, infeksi nosokomial atau infeksi
silang dari bayi lain atau dari tenaga medik yang merawat bayi. Faktor resiko
awitan dini maupun lambat ini walaupun tidak selalu berakhir dengan infeksi,
harus tetap mendapatkan perhatian khusus terutama bila disertai gejala klinis. Hal
ini akan meningkatkan identifikasi dini dan tata laksana yang lebih efisien pada
sepsis neonatal sehingga dapat memperbaiki mortalitas dan morbiditas pasien.

Seperti yang telah diungkapkan sebelumnya, gejala sepsis klasik yang


ditemukan pada anak lebih besar jarang ditemukan pada neonatus. Pada sepsis
awitan dini janin yang terinfeksi mungkin menderita takikardim lahir dengan
asfiksia, dan memerlukan resusitasi karena nilai apgar yang rendah. Setelah lahir
bayi terlihat lemah dan tampak gambaran klinis sepsis seperti hipo/hipertermia,
hipoglikemia, dan kadang-kadang hiperglikemia. Selanjutnya akan terlihat
berbagai kelainan dan gangguan fungsi organ tubuh.

Gangguan fungsi organ tersebut antara lain kelainan susunan saraf pusat seperti
letargi, refleks hisap buruk, menangis lemah, kadang-kadang terdengar high pitch
cry dan bayi menjadi iritabel serta mungkin disertai kejang. Kelainan
kardiovaskular seperti hipotensim pucat, sianosis, dingin, dan clammy skin. Bayi
dapat pula memperlihatkan kelainan hematologik, gastrointestinal ataupun
gangguan respirasi seperti perdarahan, ikterus, muntah, diare, distensi abdomen,
intoleransi minum, waktu pengosongan lambung yang memanjang, takipneu,
apneu, merintih, dan retraksi.

16
Gangguan organ Gambaran Klinis
Saluran Napas Frekuensi napas > 90/menit
PaCO2 > 65 mmHg
PaO2 < 40 mmHg
Memerlukan ventilasi mekanik
FiO2 < 200 tanpa kelainan jantung
sianotik
Sistem Hematologik Hb < 5 g/dL
WBC < 3000 sel/mm3
Trombosit < 20.000
D-dimer > 0.5g/mL pada PTT > 20
detik atau waktu tromboplastin > 60
detik
SSP Kesadaran menurun disertai dilatasi
pupil
Gangguan Ginjal Ureum > 100 mg/d\
Creatinin > 20 mg/dL
Gastroenterologi Perdarahan gastrointestinal disertai
dengan penurunan Hb > 2g%,
hipotensi, perlu tranfusi darah atau
operasi gastrointestinal
Hepar Bilirubin total > 3 mg%

Bervariasinya gejala klinik dan gambaran klinis yang tidak seragam


menyebabkan kesulitan dalam menentukan diagnosis pasti. Untuk hal itu
pemeriksaan penunjang baik pemeriksaan laboratorium ataupun pemeriksaan
khusus lainnya sering dipergunakan dalam membantu menegakan diagnosis.
Upaya inipun tampaknya masih belum dapat diandalkan. Sampai saat ini
pemeriksaan laboratorium tunggal yang mempunyai sensitivitas dan spesifitas
tinggi sebagai indikator sepsis, belum ditemukann. Dalam penentuan diagnosis,
interpretasi hasil laboratorium hendaknya memperhatikan faktor resiko dan gejala
klinis yang terjadi.

Seperti diungkapkan sebelumnya, diagnosis infeksi sistemik sulit ditegakkan


apabila hanya berdasarkan riwayat pasien dan gambaran klinik saja. Untuk hal

17
tersebut perlu dilakukan pemeriksaan penunjang yang dapat membantu konfirmasi
diagnosis. Pemeriksaan penunjang tersebut dapat berupa pemeriksaan
laboratorium maupun pemeriksaan khusus lainnya. Langkah tadi disbeut Septic
work up dan termasuk dalam hal ini pemeriksaan biakan darah yang merupakan
gold standard diagnosis sepsis, namun memerlukan waktu 2 5 hari untuk
diagnosis pastinya.

Interpretasi hasil kultur perlu pertimbangan dengan hati-hati khususnya bila


kuman yang ditemukan berlainan jenis dari kuman yang biasa ditemukan di klinik
tersebut. Selain itu hasil kultur diperngaruhi pula oleh kemungkinan pemberian
antibiotika sebelumnya atau adanya kemungkinan kontaminasi kuman
nosokomial.

Untuk mengenal kelompok kuman penyebab infeksi secara lebih cepat dapat
dilakukan pewarnaan gram. Tetapi cara ini tidak mampu menetapkan jenis kuman
secara lebih spesifik.

Pemeriksaan lain dalam septic work up tersebut adalah pemeriksaan


komponen-komponen darah. Pada sepsis neonatal, trombositopenia dapat
ditemukan pada 10 60 % pasien. Jumlah trombosit biasanya kurang dari 100.000
dan terjhadi pada 1 3 minggu setelah diagnosis sepsis ditegakkan.

Sel darah putih dianggap lebih sensitif dalam menunjang diagnosis ketimbang
hitung trombosit. Enam puluh pasien sepsis biasnya disertai perubahan hitung
neutrofil. Rasio antara neutrofil imatur dan neutrofil total ( rasio I/T ) sering
dipakau sebagai penunjang diagnosis sepsis neonatal. Sensitivitas rasio I/T ini 60
90 %, karenanya untuk diagnosis perlu disertai kombinasi dengan gambaran
klinik dan pemeriksaan penunjang yang lain.

I. Penatalaksanaan

Eliminasi kuman penyebab merupakan pilihan utama dalam tata laksana


sepsis neonatorum, sedangkan di pihak lain penentuan kuman penyebab
membutuhkan waktu dan mempunyai kendala tersendiri. Hal ini merupakan

18
masalah dalam melaksanakan pengobatan optimal karena keterlambatan
pengobatan akan berakibat peningkatan komplikasi yang tidak diinginkan.
Sehubungan dengan hal tersebut, penggunaan antibiotik secara empiris dapat
dilakukan dengan memperhatikan pola kuman penyebab yang tersering ditemukan
di klinik tersebut. Antibiotik tersebut segera diganti apabila sensitifitas kuman
diketahui. Selain itu, beberapa terapi suportif (adjuvant) juga sudah mulai
dilakukan, walaupun beberapa dari terapi tersebut belum terbukti menguntungkan.
1) Pemilihan antibiotik untuk sepsis awitan dini (SAD)
Kombinasi penisilin atau ampisilin ditambah aminoglikosida mempunyai
aktivitas antimikroba lebih luas dan umumnya efektif terhadap semua
organisme penyebab SAD. Kombinasi ini sangat dianjurkan karena akan
meningkatkan aktivitas antibakteri.
2) Pemilihan antibiotik untuk sepsis awitan lambat (SAL)
Pada infeksi nosokomial lebih dipilih pemakaian netilmisin atau amikasin.
Amikasin resisten terhadap proses degradasi yang dilakukan oleh sebagian
besar enzim bakteri yang diperantarai plasmid, begitu juga yang dapat
menginaktifkan aminoglikosida lain.
Infeksi bakteri Gram negatif dapat diobati dengan kombinasi turunan
penisilin (ampisilin atau penisilin spektrum luas) dan aminoglikosida.
Sefalosporin generasi ketiga yang dikombinasikan dengan aminoglikosida
atau penisilin spektrum luas dapat digunakan pada terapi sepsis yang
disebabkan oleh bakteri Gram negatif. Pilihan antibiotik baru untuk bakteri
Gram negatif yang resisten terhadap antibiotik lain adalah karbapenem,
aztreonam, dan isepamisin.

19

Anda mungkin juga menyukai