Anda di halaman 1dari 37

BAB I

PENDAHULUAN

Cor Pulmonale / Pulmonary Heart Disease adalah suatu kondisi gagal


jantung sisi kanan (bilik kanan) dimana terjadi perubahan struktur atau fungsi
dengan penyebab primer diakibatkan kelainan paru yang kronik yang dapat
berupa hipertensi pulmonal yang disebabkan oleh penyakit pembuluh darah paru
atau parenkim paru.
Hipertensi pulmonal merupakan kaitan umum antara disfungsi paru dan
jantung pada cor pulmonale. Walaupun cor pulmonale lebih dikenal dengan
perjalanan penyakit yang kronik dan progresif lambat, onset akut atau perburukan
cor pulmonale dengan komplikasi yang mengancam nyawa dapat terjadi.
Cor Pulmonale kronik biasanya berakibat pada hipertrofi (pembesaran)
ventrikel kanan / right ventricular hypertrophy (RVH), dimana cor pulmonale akut
biasanya berakibat pada dilatasi. Hipertrofi merupakan respons adaptif terhadap
peningkatan tekanan dalam jangka waktu yang lama. Masing-masing sel otot
bertambah besar (dalam ketebalan) dan berubah untuk mendorong daya kontraktil
yang meningkat yang dibutuhkan untuk menggerakkan darah terhadap tahanan
yang membesar. Dilatasi adalah peregangan (dalam panjang) dari ventrikel
sebagai respons terhadap peningkatan tekanan dalam jangka waktu pendek (akut),
contohnya disebabkan emboli pulmonal atau embolism atau ARDS (acute
respiratory distress syndrome).
Agar dapat diklasifikasikan sebagai cor pulmonale, penyebab harus berasal
dari sistem sirkulasi pulmonal. Dua penyebab utama adalah perubahan vaskuler
sebagai akibat dari kerusakan jaringan (misalnya penyakit, cedera hipoksik, agen
kimia, dan lain-lain), penyebab kedua adalah vasokonstriksi hipoksik pulmonal.
Jika dibiarkan, dapat terjadi kematian. RVH (hipertrofi ventrikel kanan) karena
defek sistemik tidak diklasifikasikan sebagai cor pulmonale.
BAB II

INSIDEN DAN EPIDEMIOLOGI

Walaupun prevalensi COPD (penyakit paru obstruktif kronik) di Negara


Amerika Serikat adalah sekitar 15 juta, angka tepat prevalensi kor pulmonal sulit
ditentukan, karena cor pulmonale tidak terjadi pada setiap kasus COPD, dan
pemeriksaan fisik dan tes rutin relatif tidak sensitif untuk mendeteksi hipertensi
pulmonal.
Cor pulmonale diperkirakan mencakup 6-7 % dari seluruh penyakit jantung
dewasa di Amerika Serikat, dengan COPD dikarenakan emfisema dan bronkitis
kronik sebagai faktor penyebab di lebih dari 50% kasus. Sebagai tambahan, cor
pulmonale mencakup 10-30% perawatan yang berhubungan dengan gagal jantung
dekompensasi di Amerika Serikat.
Secara global, insidensi cor pulmonale bervariasi antara satu negara dengan
negara lain, tergantung dari prevalensi kebiasaan merokok, polusi udara, dan
faktor resiko lain untuk berbagai penyakit paru.
Mayoritas individu yang terdampak cor pulmonale adalah wanita dibawah
umur 65 tahun. Bayi yang lahir dengan kelainan jantung kongenital (terutama
lubang di jantung seperti ventricular septal defect) akan lebih rentan terkena
penyakit arteri pulmonal kelak. Walaupun cor pulmonale merupakan penyakit
serius, namun lebih jarang terjadi bila dibandingkan penyakit arteri koroner.
BAB III

ANATOMI JANTUNG DAN PARU

1. Anatomi Dan Fisiologi Jantung

Cor adalah suatu organ muskuler yang berbentuk conus sebesar kepalan
tangan (tinju), bertumpu pada diaphragma thoracis dan berada di antara kedua
pulmo bagian caudalis. Dibungkus oleh suatu selaput yang disebut pericardium
dan menempati mediastinum medium. Letak cor sedemikian rupa sehingga
puncaknya (apex cordis) menghadap ke arah caudo-ventral kiri; 2/3 bagian cor
berada di sebelah kiri linea mediana.
Pada orang dewasa ukuran cor adalah panjang 12 cm, lebar 8-9 cm, dan
tebal 6 cm. Pada pria berat cor adalah 280-340 gram dan pada wanita 230-280
gram. Dalam keadaan patologis, ukuran cor bisa melampaui ukuran normal.
Dinding cor terdiri atas 3 lapisan sebagai berikut :
1. Lapisan superficial disebut epicardium
2. Lapisan intermedai adalah myocardium
3. Lapisan profunda dibentuk oleh endocardium
Lokalisasi COR
Proyeksi cor pada dinding ventral thorax adalah sebagai berikut:
a. Tepi kiri cor di sebelah cranial berada pada tepi caudal pars cartilaginis
costa II sinister, yaitu 1 cm di sebelah lateral tepi sternum.
b. Tepi kiri di sebelah caudal berada pada ruang intercostalis V, yaitu kira-kira
9 cm di sebelah kiri linea mediana atau 2 cm di sebelah medial linea
medioclavicularis sinistra.
c. Tepi kanan di sebelah cranial berada pada tepi cranialis pars cartilaginis
costa III dextra, kira-kira 1 cm dari tepi lateral sternum.
d. Tepi kanan di sebelah caudal berada pada pars cartilaginis costa VI dextra,
kira-kira 1 cm di lateral tepi sternum.
Jantung memiliki empat bilik (ruang), bilik bagian atas yaitu atrium,
menerima darah yang kembali ke jantung dan memindahkannya ke bilik bagian
bawah yaitu ventrikel, yang memompa darah dari jantung. Pembuluh yang
mengembalikan darah dari jaringan ke atrium adalah vena, dan pembuluh-
pembuluh yang mengangkut darah menjauhi ventrikel menuju jaringan adalah
arteri.Kedua belahan jantung dipisahkan oleh septum, suatu partisi otot kontinyu
yang mencegah pencampuran darah dari kedua sisi jantung. Pemisahan ini sangat
penting, karena separuh kanan jantung menerima dan memompa darah beroksigen
rendah sementara sisi kiri jantung menerima dan memompa darah beroksigen
tinggi.

Gambar 1. Anatomi Jantung

Darah yang kembali dari sirkulasi sistemik masuk ke atrium kanan melalui
vena-vena besar yang dikenal sebagai vena kava superior dan inferior. Tetes darah
yang masuk ke atrium kanan kembali dari jaringan tubuh, telah diambil O2-nya
dan ditambahi CO2. Darah yang mengalami deoksigenasi parsial tersebut
mengalir dari atrium kanan ke dalam ventrikel kanan, yang memompanya ke luar
melalui arteri pulmonalis ke paru. Dengan demikian, sisi kanan jantung memompa
darah ke dalam sirkulasi paru. Di dalam paru, tetes darah tersebut kehilangan CO 2
ekstranya dan menyerap O2 segar sebelum dikembalikan ke atrium kiri melalui
vena pulmonalis. Darah kaya oksigen yang kembali ke atrium kiri ini kemudian
mengalir ke dalam ventrikel kiri, bilik pompa yang mendorong darah ke semua
sistem tubuh kecuali paru; jadi, sisi kiri jantung memompa darah ke dalam
sirkulasi sistemik. Arteri besar yang membawa darah menjauhi ventrikel kiri
adalah aorta. Aorta bercabang menjadi arteri besar untuk memperdarahi berbagai
jaringan tubuh.
Berbeda dengan sirkulasi pulmonalis yang seluruh darahnya mengalir
melalui paru, sirkulasi sistemik dapat dilihat sebagai rangkaian jalur-jalur
paralel.Sebagian darah yang dipompakan keluar oleh ventrikel kiri menuju ke
otot-otot, sebagian ke ginjal, ke otak, dan seterusnya. Jadi keluaran ventrikel kiri
tersebar, sehingga tiap-tiap bagian tubuh menerima pasokan darah segar, darah
arteri yang sama tidak mengalir dari jaringan ke jaringan. Dengan demikian, tetes
darah yang kita ikuti hanya menuju ke satu jaringan sistemik.Jaringan mengambil
O2 dari darah dan menggunakannya untuk mengoksidasi zat-zat gizi untuk
menghasilkan energi; dalam prosesnya, sel-sel jaringan membentuk CO2 sebagai
produk buangan yang ditambahkan ke darah.Tetes darah, sekarang secara parsial
kekurangan O2 dan mengandung CO2 yang meningkat, kembali ke sisi kanan
jantung.
Kedua sisi jantung secara simultan memompa darah dalam jumlah yang
sama. Volume darah beroksigen rendah yang dipompa ke paru oleh sisi kanan
jantung segera memiliki volume yang sama dengan darah beroksigen tinggi yang
dipompa ke jaringan oleh sisi kiri jantung. Sirkulasi paru adalah sistem yang
memiliki tekanan dan resistensi yang rendah, sedangkan sirkulasi sistemik adalah
sistem dengan tekanan dan resistensi yang tinggi. Oleh karena itu, walaupun sisi
kiri dan kanan jantung memompa darah dalam jumlah yang sama, sisi kiri
melakukan kerja yang lebih besar karena ia memompa volume darah yang sama
ke dalam sistemik dengan resistensi tinggi. Dengan demikian, otot jantung di sisi
kiri jauh lebih tebal daripada otot di sisi kanan, sehingga sisi kiri adalah pompa
yang lebih kuat.
Adanya empat katup jantung satu-arah memastikan darah mengalir satu-
arah.Dua katup jantung, katup atrioventrikel (AV) kanan dan kiri, masing-masing
terletak di antara atrium dan ventrikel kanan dan kiri.Katup AV kanan disebut
katup tricuspid karena terdiri dari tiga daun katup.Demikian juga, katup kiri, yang
terdiri dari dua daun katup, sering disebut sebagai katup bicuspid atau katup
mitralis. Tepi-tepi daun katup AV diikat oleh tali fibrosa yang tipis namun kuat,
yaitu korda tendinae, yang mencegah katup berbalik, yaitu, didorong oleh tekanan
ventrikel yang tinggi untuk membuka ke arah yang berlawanan ke dalam atrium.
Tali-tali ini berjalan dari tepi daun katup dan melekat ke otot papillaris berbentuk
mirip puting susu, yang menonjol dari permukaan dalam ventrikel. Ketika
ventrikel berkontraksi, otot papilaris juga berkontraksi, menarik ke bawah korda
tendinae, tarikan ini menimbulkan ketegangan di daun katup AV yang tertutup,
sehingga daun katup dapat tertahan dalam posisinya dan tetap menutup rapat
walaupun terdapat gradien tekanan yang besar ke arah belakang.
Dua katup jantung lainnya, katup aorta dan katup pulmonalis terletak di
sambungan tempat arteri-arteri besar keluar dari ventrikel.Keduanya dikenal
sebagai katup semilunaris karena terdiri dari tiga daun katup, yang masing-masing
mirip dengan kantung mirip bulan-separuh.Katup-katup ini terbuka ketika tiap-
tiap tekanan ventrikel kanan dan kiri melebihi tekanan di arota dan arteri
pulmonalis, selama ventrikel berkontraksi dan mengosongkan isinya.Katup
terutup apabila ventrikel melemas dan tekanan ventrikel turun di bawah tekanan
aorta dan arteri pulmonalis

2. Anatomi Paru-Paru

Bagian-bagian utama paru-paru adalah alveoli, trakea, diafragma, bronki, dan


bronkioli. Trakea atau batang tenggorokan berupa pipa tempat lalunya udara.
Udara yang dihirup dari hidung dan mulut akan ditarik ke trachea menuju paru-
paru. Bronki merupakan batang yang menghubungkan paru-paru kanan dan kiri
dengan trachea. Udara dari trakea akan dibawa keparu-paru lewat batang
ini. Bronkioli merupakan cabang-cabang dari bronchi berupa tabung-tabung kecil
yang jumlahnya sekitar 30.000 buah untuk satu paru-paru. Bronkioli ini akan
membawa oksigen lebih jauh ke dalam paru-paru. Alveoli merupakan ujung dari
bronchioles yang jumlahnya sekitar 600 juta pada paru-paru manusia dewasa.
Pada alveoli ini oksigen akan didifusi menjadi karbondioksida yang diambil dari
dalam darah.
Gambar 4. Anatomi pulmo
Apeks Pulmo
Berbentuk bundar menonjol ke arah dasar yang melebar melewati apartura
torasis superior 2,5-4 cm di atas ujung iga pertama.
Basis Pulmo
Pada paru-paru kanan, bagian yang berada di atas permukaan cembung
diafragma akan lebih menonjol ke atas daripada paru-paru bagian kiri, maka basis
paru kanan lebih kontak dari pada paru-paru kiri.
Insisura Pulmo
Dengan adanya fisura atau takik yang ada pada umumnya, paru-paru dapat
dibagi menjadi beberapa lobus. Letak insisura dan lobus dapat digunakan untuk
menentukan suatu diagnosis. Pada paru-paru kiri terdapat insisura yaitu insisura
obligus. Insisura ini membagi paru-paru kiri atas menjadi dua lobus yaitu:
1. Lobus superior adalah bagian paru-paru yang terletak di atas dan sebagian di
depan insisura.
2. Lobus inferior adalah bagian paru-paru yang terletak di belakang dan di bawah
insisura. Paru-paru kanan memiliki dua insisura yaitu insisura obligue dan insisura
interlobularies sekunder.
3. Insisura obligue (interlobularies primer): mulai daerah atas dan ke belakang
sampai ke hilus setinggi vertebrata torakalis ke-4 terus ke bawah dan ke depan
searah dengan iga ke-6 sampai linea aksilaris media ke ruang interkostal ke-6
memotong margo inferior setinggi artikulasi iga ke-6 dan kembali ke hilus.
4. Insisura interlobularies sekunder: mulai insisura obligue pada aksilaris media
berjalan horizontal memotong margo anterior pada artikulasio kosta kondralis
keenam terus ke hilus. Insisura obligue memisahkan lobus inferior dari lobus
medius dan lobus posterior. Insisura horizontal memisahkan lobus medius dari
lobus superior.
Radiks Pulmonalis
Susunan dalam jaringan penyambung media spenalis dikelilingi oleh garis
peralihan pleura, susunan alat utama bronkus, arteri pulmonalis, dan vena
pulmonalis segmen pulmonari. Dari bronkus lobaris radiks pulmonari bercabang
menjadi bronkus segmentorum. Segmen bronkus pulmonari adalah daerah yang
diurus oleh cabang-cabang bronkus segmentorum, dan mendapat darah dari arteri
yang berjalan bersama bronkus segmentorum yang berdekatan, sedangkan darah
vena diatur oleh vena-vena yang terletak intersegmental.
Pleura
Pleura adalah suatu membran serosa yang halus membentuk suatu kantong
tempat paru-paru berada yang berjumlah dua buah yaitu kiri dan kanan, serta
saling berhubungan.
Pleura mempunyai dua lapisan yaitu permukaan parietalis dan permukaan
viseralis.
1. Lapisan permukaan disebut pleura parietalis yang langsung berhubungan dengan
paru-paru serta memasuki fisura paru-paru dan memisahkan lobu-lobus dari paru-
paru.
2. Lapisan dalam disebut pleura viseralis. Lapisa ini berhubungan dengan fasia
endotoraskia dan merupakan permukaan dalam dari dinding toraks. Sesuai dengan
letaknya pleura parietalis yang langsung memeliki empat bagian sebagai berikut.
3. Pleura kostalis: menghadap ke permukaan lengkun kosta dan otot-otot yang
terdapt diantaranya. Bagian depan dari pleura kostalis mencapai sternum,
sedangkan bagian belakangnya melewati iga-iga di samping vertebrata. Bagian ini
merupakan bagian yang paling tebal dan yang paling kuat dalam dinding toraks.
4. Pleura servikalis: bagian pleura yang melewati apartura torasis superior, memiliki
dasar lebar, berbentuk seperti kubah, dan diperkuat oleh membran suprapleura.
5. Pleura diafragmatika: bagian pleura yang berada di atas diafragma.
6. Diafragma mediastinalis: bagian pleura yang menutup permukaan lateral
mediastinum serta susunan yang terletak di dalamnya.
Sinus Pleura
Tidak seluruh kantong yang dibentuk oleh lapisan pleura diisi secara
sempurna oleh paru-paru baik kearah bawah maupun ke arah depan. Kavum
pleura hanya dibentuk oleh lapisan pleura parietalis, rongga ini disebut sinus
pleura (recessus pleura). Pada waktiu inspirasi, bagian paru-paru akan memasuki
sinus dan pada waktu ekspirasi akan ditarik kembali dari rongga tersebut. Sinus
pleura terdiri atas dua bagian yaitu yaitu sinus kostomediastinalis dan sinus
frenikokostalis.
1. Sinus kostomediastinalis: terbentuk pada pertemuan pleura mediastinalis dengan
pleura kostalis. Pada waktu inspirasi sinus ini hampir semua terisi oleh paru-paru.
2. Sinus frenikokostalis: terbentuk pada pertemuan pleura diafragmatika denga
pleura kostalis. Pada inspirasi yang sangat dalam bagian ini belum dapat diisi oleh
pengembangan paru-paru.
Ligamentum Pulmonale
Radiks pulmonalis bagian depan, atas dan belakang ditutupi oleh pertemuan
pleura parietalis dan pleura viseralis. Bagian bawah radiks yang berasal dari depan
dan belakang bergabung membentuk lipatan yang disebut ligamentum pulmontale.
Ligamentum ini terdapat di antara bagian bawah fasies mediastinalis dan
perikardium, kemudian berakhir pada tepi yang bulat.
Pembuluh Limfe
Di dalam paru-paru terdapat dua pasang pembuluh limfe yang saling
berhubungan. Bagian superfisial pembuluh limfe yang terletak dalam pleura ini
berkurang relatif besar dan membatasi lobus di permukaan paru. Pembuluh limfe
tampak hitam karena penghisapan zat karbon khususnya pada individu yang
tinggal di perkotaan.
Pembuluh limfe yang lebih kecil membentuk jala-jala halus pada tepi
lobulus. Pembuluh superfisial ini mengalir sepanjang tepi paru-paru menuju ke
hilus. Bagian profunda atau pulmonal berjalan bersama ke bronkus sedangkan
arteri pulmonalis dan bronki meluas hanya sampai ke duktus alviolaris bagian
tepi. Semua mengalir ke bagian pusat hilus dan bertemu dengan pembuluh limfe
eferen superfisial. Nodus limfatikus banyak dijumpai di bagian hilus. Tekanan
ventrikel kanan melebihi 8 mmHg, katup semilunar akan terdorong dan membuka.
Darah segera terpompa keluar dan terjadilah fase ejeksi ventrikel. Pada akhir
sistolik, terjadi relaksasi ventrikel dan penurunan tekanan intraventrikular secara
cepat. Peningkatan tekanan di arteri besar menyebabkan pendorongan darah
kembali ke ventrikel sehingga terjadi penutupan katup semilunar. Tidak ada lagi
darah yang keluar dari ventrikel selama siklus ini, namun katup AV belum terbuka
karena tekanan ventrikel masih lebih tinggi dari tekanan atrium. Dengan
demikian, semua katup sekali lagi tertutup dalam waktu singkat yang dikenal
sebagai relaksasi ventrikel isovolumetrik.

3. Fisiologi Paru-Paru

Udara bergerak masuk dan keluar paru-paru karena ada selisih tekanan yang
terdapat antara atmosfir dan alveolus akibat kerja mekanik otot-otot. Seperti yang
telah diketahui, dinding toraks berfungsi sebagai penembus. Selama inspirasi,
volume toraks bertambah besar karena diafragma turun dan iga terangkat akibat
kontraksi beberapa otot yaitu sternokleidomastoideus mengangkat sternum ke atas
dan otot seratus, skalenus dan interkostalis eksternus mengangkat iga-iga.
Selama pernapasan tenang, ekspirasi merupakan gerakan pasif akibat
elastisitas dinding dada dan paru-paru. Pada waktu otot interkostalis eksternus
relaksasi, dinding dada turun dan lengkung diafragma naik ke atas ke dalam
rongga toraks, menyebabkan volume toraks berkurang. Pengurangan volume
toraks ini meningkatkan tekanan intrapleura maupun tekanan intrapulmonal.
Selisih tekanan antara saluran udara dan atmosfir menjadi terbalik, sehingga udara
mengalir keluar dari paru-paru sampai udara dan tekanan atmosfir menjadi sama
kembali pada akhir ekspirasi.
Tahap kedua dari proses pernapasan mencakup proses difusi gas-gas
melintasi membrane alveolus kapiler yang tipis (tebalnya kurang dari 0,5 m).
Kekuatan pendorong untuk pemindahan ini adalah selisih tekanan parsial antara
darah dan fase gas. Tekanan parsial oksigen dalam atmosfir pada permukaan laut
besarnya sekitar 149 mmHg. Pada waktu oksigen diinspirasi dan sampai di
alveolus maka tekanan parsial ini akan mengalami penurunan sampai sekiktar 103
mmHg. Penurunan tekanan parsial ini terjadi berdasarkan fakta bahwa udara
inspirasi tercampur dengan udara dalam ruangan sepi anatomic saluran udara dan
dengan uap air. Perbedaan tekanan karbondioksida antara darah dan alveolus yang
jauh lebih rendah menyebabkan karbondioksida berdifusi kedalam alveolus.
Karbondioksida ini kemudian dikeluarkan ke atmosfir.
Dalam keadaan beristirahat normal, difusi dan keseimbangan oksigen di
kapiler darah paru-paru dan alveolus berlangsung kira-kira 0,25 detik dari total
waktu kontak selama 0,75 detik. Hal ini menimbulkan kesan bahwa paru-paru
normal memiliki cukup cadangan waktu difusi. Pada beberapa penyakit misal;
fibosis paru, udara dapat menebal dan difusi melambat sehingga ekuilibrium
mungkin tidak lengkap, terutama sewaktu berolahraga dimana waktu kontak total
berkurang. Jadi, blok difusi dapat mendukung terjadinya hipoksemia, tetapi tidak
diakui sebagai faktor utama.

BAB IV

ETIOPATOGENESIS

Etiologi
Penyebab utama terjadinya Cor pulmonale adalah emboli paru, penyakit
paru obstrukif dan restriktif kronik, dan penyakit vaskular paru. Cor pulmonale
akut paling sering disebabkan oleh embolisme paru. Apabila embolus secara akut
menyumbat lebih dari 50% jaringan vaskuler paru, peningkatan beban mendadak
di sisi kanan jantung menyebabkan gagal ventrikel kanan. Ventrikel kanan
biasanya mengalami dilatasi, namun tidak hipertrofi. Penyebab lain dari cor
pulmonale akut adalah acute respiratory distress syndrome (ARDS), hal ini terjadi
akibat aspek patologik ARDS sendiri atau akibat ventilasi mekanik, khususnya
dengan kebutuhan volume tidal yang lebih tinggi, menyebabkan peningkatan
tekanan transpulmonal.
Cor pulmonale kronis paling sering disebabkan oleh penyakit paru
obstruktif kronik (PPOK). Pada cor pulmonale kronis, berbeda dengan cor
pulmonale akut, hipertensi pulmonal yang menetap memungkinkan terjadinya
hipertrofi ventrikel kanan kompensatorik. Ventrikel kanan kurang mampu
mengakomodasi peningkatan beban tekanan dibanding ventrikel kiri. Seiring
berjalannya waktu, ventrikel kanan secara progresif mengalami dilatasi dan
akhirnya tidak mampu mempertahankan curah jantung pada tingkat normal. Jika
hal ini terjadi, timbul gejala dan tanda khas untuk gagal jantung kongestif sisi
kanan. Dekompensasi akut dapat terjadi setiap saat pada pasien dengan kor
pulmonal kronis.

Tabel 1. Penyebab cor pulmonale berdasarkan proses akut dan kronis


Terdapat dua mekanisme esensial yang mendasari timbulnya hipertensi
pulmonal yang menyebabkan cor pulmonale. Yang pertama adalah reduksi atau
kerusakan pada sejumlah besar pembuluh darah paru, menyebabkan terjadinya
aliran darah secara paksa ke pembuluh darah yang lebih sedikit, menyebabkan
kongesti dan hipertensi. Yang kedua adalah reflek vasokonstriksi dari arteriol
pulmonal sebagai respon terhadap hipoksia, hiperkapnea, atau asidosis yang
sering terjadi bersamaan dengan penyakit paru.
Patofisiologi
Apapun penyebab penyakit awalnya, sebelum timbul cor pulmonale
biasanya terjadi peningkatan resistensi vaskular paru-paru dan hipertensi
pulmonal. Hipertensi pulmonal pada akhirnya meningkatkan beban kerja dari
ventrikel kanan, sehingga mengakibatkan hipertrofi dan kemudian gagal jantung.
Titik kritis dari rangkaian kejadian ini nampaknya terletak pada peningkatan
resistensi vaskular paru-paru para arteria dan arteriola kecil.
Gambar 3. Hipertrofi ventrikel kanan pada Pulmonary Heart Disease

Dalam keadaaan normal, jantung kanan memompa darah menuju paru tanpa
adanya tahanan. Paru biasanya memiliki tekanan minimal, dan jantung sisi kanan
dengan mudah memompa darah melaluinya. Namun apabila terdapat beberapa
penyakit paru tertentu, seperti emfisema dan bronkitis kronik, yang ditemukan
pada patologi penyakit paru obstruktif kronik (PPOK) / chronic obstructive
pulmonary disease (COPD), dan juga hipertensi pulmonal, jumlah pembuluh
darah berkurang secara signifikan (dikarenakan kerusakan jaringan / tissue) dan /
atau mengalami konstriksi kronik (karena ventilasi buruk pada alveolar pada
kasus COPD). Ventrikel kanan tidak lagi dapat mendorong darah masuk kedalam
paru secara efektif, dan beban yang terlalu berat (overload) secara kronik pada
akhirnya akan menyebabkan kegagalan.
Hipertensi pulmonal dapat diartikan sebagai penyakit arteri kecil pada paru
yang ditandai dengan proliferasi vaskuler dan remodeling. Hal ini pada akhirnya
dapat menyebabkan meningkatnya resistensi pembuluh darah paru yang
mengakibatkan terjadinya gagal ventrikel kanan dan kematian. Hipertensi
pulmonal dibagi menjadi primer dan sekunder. Hipertensi pulmonal primer adalah
hipertensi pulmonal yang tidak disebabkan oleh adanya penyakit jantung,
parenkim paru, maupun penyakit sistemik yang melatarbelakanginya. Hipertensi
pulmonal lain selain kriteria tersebut disebut hipertensi pulmonal sekunder.
Hipertensi pulmonal akibat komplikasi kronis paru (sekunder) didefinisikan
sebagai peningkatan rata-rata tekanan arteri pulmonal (TAP) / pulmonary arterial
pressure istirahat, yakni >20 mmHg. Pada hipertensi pulmonal primer angka ini
lebih tinggi yakni >25 mmHg.
Terdapat tiga faktor yang telah diketahui dalam mekanisme terjadinya
hipertensi pulmonal yang menyebabkan meningkatnya resistensi vaskular.
Ketiganya adalah mekanisme vasokonstriksi, remodeling dinding pembuluh darah
pulmonal, dan trombosis in situ. Ketiga mekanisme ini terjadi akibat adanya dua
faktor yakni gangguan produksi zat-zat vasoaktif seperti, nitric
oxide dan prostacyclin, serta akibat ekspresi berlebihan secara kronis dari
mediator vasokonstriktor seperti, endothelin-1.
Hipertensi pulmonal menyebabkan meningkatnya kinerja ventrikel kanan
dan dapat mengakibatkan dilatasi atau hipertrofi bilik kanan jantung. Timbulnya
keadaan ini diperberat dengan adanya polisitemia akibat hipoksia jaringan,
hipervolemia akibat adanya retensi air dan natrium, serta meningkatnya cardiac
output. Ketika jantung kanan tidak lagi dapat melakukan adaptasi dan kompensasi
maka akhirnya timbul kegagalan jantung kanan yang ditandai dengan adanya
edema perifer.

Skema Patofisiologi Cor pulmonale


Penyakit-penyakit yang dapat menyebabkan cor pulmonale adalah penyakit
yang secara primer menyerang pembuluh darah paru-paru, seperti emboli paru-
paru berulang, dan penyakit yang mengganggu aliaran darah paru-paru akibat
penyakit pernapasan obstruktif atau restriktif. PPOM terutama jenis bronkitis,
merupakan penyebab tersering dari kor pulmonal. Penyakit-penyakit pernapasan
restriktif yang menyebabkan cor pulmonale dapat berupa penyakit-penyakit
intrinsik seperti fibrosis paru-paru difus, dan kelainan ektrinsik seperti
obesitas yang ekstrim, kifoskoliosis, atau gangguan neuromuskuler berat yang
melibatkan otot-otot pernapasan. Akhirnya, penyakit vaskuler paru-paru yang
mengakibatkan obstruksi terhadap aliran darah dan cor pulmonale cukup jarang
terjadi dan biasanya merupakan akibat dari emboli paru-paru berulang.

Skema Patofisiologi Cor Pulmonale


Dua mekanisme dasar yang mengakibatkan peningkatan resistensi vaskuler
paru-pru adalah :
1. Vasokontriksi hipoksik dari pembuluh darah paru-paru.
2. Obstruksi dan / atau obliterasi anyaman vaskuler paru-paru.
Mekanisme yang pertama tampaknya paling penting dalam patogenesis cor
pulmonale. Hipoksemia, hiperkapnea, dan asidosis yang merupakan ciri khas dari
PPOM bronkitis lanjut adalah contoh yang paling baik untuk menjelaskan
bagaimana kedua mekanisme itu terjadi. Hipoksia alveolar (jaringan) memberikan
rangsangan yang lebih kuat untuk menimbulkan vasokontriksi pulmonar daripada
hipoksemia. Selain itu, hipoksia alveolar kronik memudahkan terjadinya hipertrofi
otot polos arteriola paru-paru, sehingga timbul respon yang lebih kuat terhadap
hipoksia akut. Asidosis, hiperkapnea dan hipoksemia bekerja secara sinergistik
dalam menimbulkan vasokontriksi. Viskositas (kekentalan) darah yang meningkat
akibat polisitemia dan peningkatan curah jantung yang dirangsang oleh hipoksia
kronik dan hiperkapnea, juga ikut meningkatkan tekanan arteria paru-paru.
Mekanisme kedua yang turut meningkatkann resistensi vaskuler dan
tekanan arteria paru-paru adalah bentuk anatomisnya. Emfisema dicirikan oleh
kerusakan bertahap dari struktur alveolar dengan pembentukan bula dan obliterasi
total dari kapiler-kapiler disekitarnya. Hilangnya pembuluh darah secara
permanen menyebabkan berkurangnya anyaman vaskuler. Selain itu, pada
penyakit obstruktif, pembuluh darah paru-paru juga tertekan dari luar karena efek
mekanik dari volume paru-paru yang besar. Tetapi, peranan obstruksi dan
obliterasi anatomik terhadap anyaman vaskuler diperkirakan tidak sepenting
vasokontriksi hipoksik dalam patogenesis kor pulmonale. Kira-kira duapertiga
sampai tigaperempat dari anyaman vaskuler harus mengalami obstruksi atau rusak
sebelum terjadi peningkatan tekanan arteria paru-paru yang bermakna. Asidosis
respiratorik kronik terjadi pada beberapa penyakit pernapasan dan penyakit
obstruktif sebagai akibat hipoventilasi alveolar umum atau akibat kelainan
perfusi-ventilasi.
Cor pulmonale biasanya timbul kronis, namun terdapat 2 keadaan yang
dapat menyebabkan kor pulmonal akut, antara lain : emboli paru (lebih sering)
dan sindrom gangguan pernapasan akut (ARDS). Patofisiologi yang mendasari
emboli paru dalam menimbulkan kor pulmonal adalah adanya peningkatan
mendadak resistensi pulmonal. Dalam ARDS terdapat dua faktor yang
menyebabkan overload ventrikel kanan, yaitu proses patologi dari sindrom itu
sendiri dan adanya mekanisme ventilasi. Pada mekanisme ventilasi, volume udara
tidal yang semakin meninggi membutuhkan tekanan transpulmonal yang lebih
tinggi.
Dalam kasus Cor pulmonale kronik pada umumnya terjadi hipertrofi
ventrikel kanan. Dalam cor pulmonale akut dapat terjadi dilatasi ventrikel kanan.
Dalam kasus ARDS, cor pulmonale dapat berpotensi meningkatkan kemungkinan
pergeseran shunt kanan ke kiri melalui paten foramen ovale dan mempunyai
prognosis yang lebih buruk.
Pelebaran atau hipertrofi ventrikel kanan pada cor pulmonale kronis adalah
efek langsung dari kompensasi ventrikel akibat vasokonstriksi pulmonal kronis
dan hipertensi arteri pulmonalis yang menyebabkan peningkatan beban kerja
ventrikel kanan. Ketika ventrikel kanan tidak mampu lagi mengimbangi beban
kerja melalui dilatasi atau hipertrofi, kegagalan ventrikel kanan dapat terjadi.
Beberapa mekanisme patofisiologis dapat menyebabkan hipertensi
pulmonal yang akan menyebabkan cor pulmonale, mekanisme tersebut antara
lain:
1. Vasokonstriksi pulmonal akibat hipoksia alveolar atau asidemia darah, hal ini
dapat menyebabkan hipertensi pulmonal dan jika hipertensi pulmonal tersebut
cukup parah akan dapat menyebabkan cor pulmonale
2. Peningkatan viskositas darah yang menyebabkan kelainan pada darah seperti :
polisitemia vera, sickle cell disease, makroglobulinemia
3. Peningkatan aliran darah dalam vascular paru
4. Hipertensi pulmonal idiopatik primer
Mekanisme diatas dapat meningkatkan tekanan arteri pulmonalis.
Ventrikel kanan memiliki dinding yang lebih tipis dibandingkan ventrikel
kiri yang lebih memiliki fungsi sebagai pompa volume dibandingkan pompa
tekanan. Ventrikel kanan memiliki fungsi yang lebih baik dalam preload
dibandingkan dengan afterload. Dengan adanya peningkatan afterload, ventrikel
kanan akan meningkatkan tekanan sistolik untuk menjaga gradient. Pada titik
tertentu, peningkatan tekanan arteri pulmonal lebih lanjut menyebabkan dilatasi
ventrikel kanan yang signifikan.
Adanya penurunan output ventrikel kanan dengan penurunan diastolic
ventrikel kiri menyebabkan penurunan output ventrikel kiri. Penurunan output
ventrikel kiri menyebabkan penurunan tekan darah di aorta dan menyebakan
menurunnya aliran darah pada arteri koronaria termasuk arteri koronaria kanan
yang menyuplai darah ke dinding ventrikel kanan. Hal ini menjadi suatu lingkaran
setan antara penurunan output ventrikel kiri dan ventrikel kanan.
BAB V

DIAGNOSIS

A. Manifestasi Klinis

Manifestasi klinis Cor pulmonale umumnya tidak spesifik. Pasien bisa


asimptomatik, khususnya pada awal perjalanan penyakit, dan sering kali tanda dan
gejala penyakit ditutupi oleh penyakit paru yang mendasari. Diagnosis Cor
pulmonale terutama berdasarkan pada dua kriteria yaitu:
1. Adanya penyakit pernapasan yang disertai hipertensi pulmonl.
2. Bukti adanya hipertrofi ventrikel kanan.
Adanya hipoksemia menetap, hiperkapnea, dan asidosis atau pembesaran
ventrikel kanan pada radiogram menunjukan kemungkinan penyakit paru-paru
yang mendasarinya. Adanya emfisema cenderung mengaburkan gambaran
diagnosis cor pulmonale. Dispnea timbul sebagai gejala emfisema dengan atau
tanpa kor pulmonale. Dispnea yang memburuk dengan mendadak atau kelelahan,
siknop pada waktu bekerja, atau rasa tidak enak angina pada substernal
mengisyaratkan keterlibatan jantung. Tanda-tanda fisik dari hipertensi pulmonal
berupa kuat angkat sistolik pada area parasternal, mengerasnya bunyi pulmonik
kedua,dan bising akibat insufisiensi katup trikuspidalis dan pulmonalis, irama
gallop (S3 dan S4) distensi vena jugularis dengan gelombang A yang menonjol,
hepatomegali, dan edema perifer dapat terlihat pada pasien dengan gagal ventrikel
kanan.
Pada pemeriksaan fisik ditemukan sianosis, jari tabuh, peningkatan tekanan
vena jugularis, heaving ventrikel kanan atau irama derap, pulsasi menonjol di
sternum bagian bawah atau epigastrium (parasternal lift), pembesaran hepar dan
nyeri tekan, asites, dan edema.
Gejala
Pasien dapat mengeluhkan cepat letih, teakipnea, sesak saat beraktivitas
(dyspnea deffort) dan batuk. Nyeri dada angina juga dapat terjadi dan sering
disebabkan akibat iskemia ventrikel kanan (biasanya nyeri dada tidak respon
dengan nitrat) atau peregangan arteri pulmonal.
Hemoptosis dapat terjadi akibat ruptur arteri pulmonal yang mengalami
dilatasi atau athrosklerotik. Kondisi lain yang dapat meyebabkan hemoptoe seperti
infark paru, tumor, dan bronkiektasis harus dieksklusikan terlebih dahulu. Pada
sejumlah kecil kasus pasien mengeluhkan suara serak (hoarseness) akibat
kompresi nervus laringeal rekuren kiri akibat dilatasi arteri pulmonal.
Pada kasus yang lanjut, kongesti hepatik sekunder akibat gagal ventrikel
kanan dapat menyebabkan timbulnya anoreksia, rasa tidak enak pada daerah
hipokondrium kanan, dan ikterik. Selain itu, pingsan saat beraktivitas, yang juga
terjadi pada kasus yang berat, menandakan kegagalan dalam meningkatkan COP
selama exercise, menyebabkan hipotensi yang bermakna.
Peningkatan tekanan arteri paru dapat menyebabkan peningkatan tekanan
atrium kanan, vena perifer dan kapiler. Akibat peningkatan gradien hidrostatik,
terjadi transudasi cairan dan terakumulasi menjadi edema perifer. Selain itu
hipoksemia yang sering terjadi pada pasien PPOK juga dapat menyebabkan
penurunan GFR dan retensi garam dan air, sehingga menyebabkan edema perifer.

B. Diagnosis
Diagnosis cor pulmonale dapat ditegakkan jika terbukti terdapat adanya
hipertensi pulmonal akibat dari kelainan fungsi dan atau struktural paru. Untuk
menegakkan diagnosis cor pulmonale secara pasti maka dilakukan prosedur
anamnesis, pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjang secara tepat. Pada
anamnesis dan pemeriksaan fisik pemeriksa dapat menemukan data-data yang
mendukung ke arah adanya kelainan paru baik secara struktural maupun
fungsional. Adanya hipertensi pulmonal tidak dapat ditegakkan secara pasti
dengan hanya pemeriksaan fisik dan anamnesis tetapi membutuhkan pemeriksaan
penunjang.
Pada cor pulmonale selama jantung masih bisa melakukan kompensasi
terhadap hipertensi pulmonal, anamnesis pada penderita cor pulmonale hanya
didapatkan keluhan yang terkait dengan gangguan yang melatarbelakanginya.
Keluhan yang biasanya didapatkan adalah batuk produktif, sesak nafas saat
aktivitas (dispneu on effort), adanya mengi, cepat letih, dan lemas. Ketika
progresivitas penyakit bertambah keluhan yang sering muncul adalah sesak nafas
walaupun tidak beraktivitas, tachypnea, orthopnea, edema, dan perasaan tidak
nyaman pada kuadran kanan atas.
Pada pemeriksaan fisik didapatkan bentuk dada dengan diameter terbesar
anteroposterior atau disebut barrel chest. Pada pemeriksaan auskultasi paru
didapatkan memanjangnya suara nafas ekspirasi dan pada pasien eksaserbasi
biasanya didapatkan mengi dan ronki. Pasien yang telah menjadi gagal jantung
kanan didapatkan tanda-tanda seperti edema, peningkatan tekanan vena jugularis,
refluks hepatojugular, pulsasi epigastrium dan parasternal, asites, hepatomegali
dan takikardia. Menurunnya cardiac output dapat menyebabkan hipotensi dan
pulsasi yang lemah. Pada pemeriksaan jantung pasien dengan gagal jantung kanan
didapatkan kardiomegali ventrikel kanan yang menyebabkan batas jantung kanan
bawah bergeser ke bawah kanan. Pada auskultasi didapatkan suara gallop S3
disertai meningkatnya intensitas bunyi P2. Insufisiensi katup trikuspid ditandai
dengan adanya pansistolik murmur yang terdengar di parasternal kiri bawah dan
mengeras dengan inspirasi. Selain itu, dapat pula terdengar ejeksi sistolik
pulmonal.

Tanda
Pemeriksaan fisik dapat membrikan gambaran penyakit paru yang
mendasari atau menunjukkan tanda-tanda gagal jantung kanan.
- Inspeksi : peningkatan diameter dinding dada antero-posterior (barrel
chest), retraksi dinding dada, distensi vena leher, sianosis.
- Perkusi : hipersonor, asites (shifting dullness)
- Auskultasi : wheezing dan crackles dapat terdengar karena penyakit paru
yang mendasari (misal pada PPOK), turbulensi yang terjadi akibat
thromboemboli paru dapat terdengar sebagai bunyi systolic bruits pada
paru, murmur ejeksi sistolik di regio arteri pulmonum, murmur sistolik
pada kusus regurgitasi trikuspid.

Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan penunjang untuk mengetahui secara pasti tejadinya cor
pulmonale adalah dengan kateterisasi jantung kanan (Swan-Ganz catheterization)
untuk mengukur secara pasti hipertensi pulmonal. Kateterisasi jantung kanan ini
dimasukkan melalui vena sentral (V. axillaris, v, jugularis, atau v.
brachiocephalica) dan diteruskan ke dalam ventrikel kanan melalui katup trikuspid
dan diteruskan ke dalam arteri pulmonalis.
Dalam pemasangannya pasien diharuskan puasa 8 jam sebelumnya.
Operator harus memperhatikan gambaran radiologis sebelumnya agar dalam
memasang kateter tidak mencederai organ yang dilewati. Adapun penggunaan
kateter ini memiliki resiko antara lain, infeksi, emboli, jendalan darah dan dapat
menyebabkan aritmia. Penggunaan kateter ini masih sangat terbatas karena
sifatnya yang invasif, menimbulkan rasa tidak nyaman, dan biaya yang diperlukan
cukup tinggi.
Mengingat banyaknya kekurangan dengan menggunakan kateter Swan-
Ganz maka untuk menunjang diagnosis cor pulmonale diperlukan pemeriksaan-
pemeriksaan lain yang lebih mudah, tidak invasif, dan lebih terjangkau.
Pemeriksaan penunjang yang dapat dilakukan antara lain:

1. Pemeriksaan laboratorium
Pemeriksaan laboratorium ditujukan untuk mengetahui penyakit yang
mendasari dan untuk menilai komplikasi serta perjalanan penyakit. Pemeriksaan
yang dilakukan antara lain, hematokrit untuk mengetahui polisitemia, antinuclear
antibody untuk mengetahui penyakit vaskuler kolagen seperti skleroderma,
proteins S dan C, antitrombin III, factor V Leyden, antikardiolipin antibodi,
danhomocysteine untuk mengetahui hiperkoagulasi, analisis gas darah untuk
mengetahui saturasi oksigen, pemeriksaan kadar BNP (Brain Natruretic
Peptide) untuk mengatahui hipertensi pulmonal dan gagal jantung kanan, serta
pemeriksaan spirometri untuk mengetahui status fungsional paru.

2. Pemeriksaan radiologi
a) Foto Toraks
Pada pasien dengan cor pulmonale hasil foto toraks didapatkan pelebaran
arteri pulmonal sentral. Hipertensi pulmonal dicurigai jika ditemukan diameter
arteri pulmonal desenden kanan lebih lebar dari 16 mm dan arteri pulmonal kiri
lebih lebar dari 18 mm. Pelebaran jantung kanan menyebabkan diameter
transversal meningkat dengan cardiothorax ratio (CTR) 50% dan bayangan
jantung melebar ke kanan pada foto toraks posisi anteroposterior. Pada foto
toraks, tampak kelainan paru disertai pembesaran ventrikel kanan, dilatasi arteri
pulmonal, dan atrium kanan yang menonjol. Kardiomegali sering tertutup oleh
hiperinflasi paru yang menekan diafragrna sehingga jantung tampaknya normal.
Pembesaran ventrikel kanan lebih jelas pada posisi oblik atau lateral. Harus diteliti
adanya kelainan parenkim paru, pleura atau dinding, dan rongga toraks.
Pada pasien dengan PPOK didapatkan gambaran sela iga melebar,
diafragma mendatar dan gambaran pinggang jantung pendulum. Pada foto lateral
didapatkan pengisian ruang retrosternal dan meningkatnya diameter toraks
anterroposterior.

Gambar 4. Foto toraks posisi posteriorantero


Gambar 5. Foto toraks posisi posteroanterorior dan lateral.

b) Ekokardiografi
Salah satu pencitraan yang bisa digunakan untuk melakukan penegakan
diagnosis cor pulmonale adalah dengan ekokardiografi. Pada ekokardiogafi,
dimensi ruang ventrikel kanan membesar, tapi struktur dan dimensi ventrikel kiri
normal. Pada gambaran ekokardiografi katup pulmonal gelombang a hilang,
menunjukkan hipertensi pulmonal. Kadang-kadang dengan pemeriksaan
ekokardiografi sulit terlihat katup pulmonal karena accoustic window sempit
akibat penyakit paru.
Pada pasien PPOK (COPD) penggunaan Doppler ekokardiografi ini kurang
efektif karena hiperinflasi dan pengisian ruang retrosternal yang menyebabkan
transmisi gelombang suara kurang optimal. Computed tomography (CT)
scan, Magnetic Resonance Imaging (MRI), maupun ekokardiografi dua dimensi
dapat digunakan untuk menilai ketebalan dinding ventrikel kanan sehingga dapat
mengetahui hipertropi atau dilatasi ventrikel kanan.
Gambar 6. Gambaran Ekokardiogram (Dilatasi atrium dan ventrikel kanan).

3. Pemeriksaan EKG
Pada EKG terdapat tanda-tanda hipertrofi ventrikel kanan dan pembesaran
atrium kanan, P pulmonal, aksis QRS ke kanan, atau right bundle branch
block (RBBB), voltase rendah karena hiperinflasi, RS-T sagging II, III, aVF,
tetapi kadang-kadang EKG masih normal. Gelombang S yang dalam pada V6.
EKG sering menyerupai infark miokard yaitu adanya gelombang Q pada II, III,
aVF namun jarang dalam dan lebar seperti pada infark miokard inferior.
Gambaran abnormal cor pulmonale pada pemeriksaan EKG dapat berupa:
a. Deviasi sumbu ke kanan. Sumbu gelombang p + 900 atau lebih.
b. Terdapat pola S1S2S3
c. Rasio amplitude R/S di V1 lebih besar dari sadapan 1
d. Rasio amplitude R/S di V6 lebih kecil dari sadapan 1
e. Terdapat pola p pulmonal di sadapan 2,3, dan aVF
f. Terdapat pola S1 Q3 T3 dan right bundle branch block komplet atau
inkomplet.
g. Terdapat gelombang T terbalik, mendatar, atau bifasik pada sadapan
prekordial.
h. Gelombang QRS dengan voltase lebih rendah terutama pada PPOK karena
adanya hiperinflasi.
i. Hipertrofi ventrikel kanan yang sudah lanjut dapat memberikan gambaran
gelombang Q di sadapan prekordial yang dapat membingungkan dengan infark
miokard.
j. Kadang dijumpai kelainan irama jantung mulai dari depolarisasi prematur
atrium terisolasi hingga supraventrikuler takikardi, termasuk takikardi atrial
paroksismal, takikardi atrial multifokal, fibrilasi atrium, dan atrial flutter.
Disritmia ini dapat dicetuskan karena keadaan penyakit yang mendasari
(kecemasan, hipoksemia, gangguan keseimbangan asam-basa, gangguan
elektrolit, serta penggunaan bronkodilator berlebihan).

Diagnosis cor pulmonale biasanya menunjukkan kombinasi adanya


gangguan respirasi yang dihubungkan dengan hipertensi pulmonal dan adanya
gangguan pada ventrikel kanan yang didapat secara klinis, radiologis,
elektrocardiogram. Sering ditemukan kelainan tes faal paru (spirometri) dan
analisis gas darah. Ada respons polisitemik terhadap hipoksia kronik. Tes faal paru
dapat menentukan penyebab dasar kelainan paru. Pada analisis gas darah bisa
ditemukan saturasi O2 menurun PCO2 biasanya normal. Bila cor pulmonale
disebabkan penyakit vaskular paru, PCO2 biasanya normal. Bila cor pulmonale
akibat hipoventilasi alveolar (misalnya karena penyakit paru obstruktif menahun
dengan emfisema), PCO2 meningkat. Pada kateterisasi jantung ditemukan
peningkatan tekanan jantung kanan dan tahanan, pembuluh paru. Tekanan atrium
kiri dan tekanan baji kapiler paru normal, menandakan bahwa hipertensi pulmonal
berasal dari prakapiler dan bukan berasal dari jantung kiri.

Diagnosis Banding

Dalam mendiagnosis cor pulmonal, penting untuk mempertimbangkan


kemungkinan penyakit tromboemboli dan hipertensi pulmonal sebagai etiologi.
Diagnosis banding lain untuk cor pulmonale antara lain :
Gagal jantung kongestif
Perikarditis konstriktif
Kardiomiopati infiltrative
Stenosis pulmonal
Gagal jantung kanan akibat infark ventrikel kanan
Gagal jantung kanan akibat penyakit jantung bawaan
Defek septum ventrikel
Hipertensi vena pulmonal yang biasanya diderita penderita stenosis katup mitral.
Gambaran foto toraks berupa pembesaran atrium kiri, pelebaran arteri pulmonal
karena peninggian tekanan aorta yang relatif kecil (pada fase lanjut), pembesaran
ventrikel kanan, pada paru-paru terlihat tanda-tanda bendungan vena
Perikarditis konstriktifa dapat dibedakan dengan test fungsi paru dan
analisa gas darah.
BAB VI

PENATALAKSANAAN

Penatalaksanaan cor pulmonale kronis umumnya difokuskan pada


pengobatan penyakit paru yang mendasari dan meningkatkan oksigenasi dan
fungsi ventrikel kanan dengan meningkatkan kontraktilitas ventrikel kanan dan
penurunan vasokonstriksi paru. Pada dasarnya adalah mengobati penyakit
dasarnya. Penanganan cor pulmonale ditujukan untuk memperbaiki hipoksia
alveolar (dan vasokontriksi paru-paru yang diakibatkanya) dengan pemberian
oksigen konsentrasi rendah dengan hati-hati. Tujuan pengobatan cor pulmonale
pada PPOK ditinjau dari aspek jantung sama dengan pengobatan cor pulmonale
pada umumnya yaitu untuk :
1. Mengoptimalkan efisiensi pertukaran gas
2. Menurunkan hipertensi pulmonal
3. Meningkatkan kelangsungan hidup
4. Pengobatan penyakit dasar dan komplikasinya
Pemakaian O2 yang terus menerus dapat menurunkan hipertensi pulmonal,
polisitemia, dan takipnea; memperbaiki keadaan umum, dan mengurangi
mortalitas (kersten,1989). Bronkodilator dan antibiotik membantu meredakan
obstruksi aliran udara pada pasien-pasien PPOK (COPD). Pembatasan cairan yang
masuk dan diuretik mengurangi tanda-tanda yang timbul akibat gaagal ventrikel
kanan. Diuretik digunakan untuk menurunkan volume pengisian ventrikel kanan
pada pasien dengan cor pulmonum kronik. Calsium channel blocker merupakan
vasodilator arteri pulmonal yang telah terbukti efikasinya pada penatalaksanaan
jangka panjang pasien kor pulmonal sekunder akibat hipertensi arteri pulmonum
primer.
Indikasi utama pemberian antikoagulan oral pada manajemen cor pulmonale
adalah pada kondisi cor pulmonale yang disebabkan oleh tromboemboli atau
hipertensi pulmonal primer. Metilxantin, seperti halnya teofilin, dapat digunakan
sebagai terapi tambahan pada kor pulmonal sekunder akibat PPOK. Selain
memiliki efek bronkodilator, golongan ini dapat meningkatkan kontraktilitas
miokardium, menyebabkan efek vasodilatasi paru ringan dan meningkatkan
kontraktilitas diafragma.Terapi antikoagulansia jangka panjang diperlukan jika
terdapat emboli paru-paru berulang. Pengobatan terdiri dari:
1. Tirah baring, diet rendah garam, dan medikamentosa berupa diuretik, digitalis,
terapi oksigen, dan pemberian antikoagulan. Digitalis diberikan terutama bila
terdapat gagal jantung kanan, tetapi yang paling penting adalah mengobati
penyakit paru yang mendasarinya. Terapi oksigen sangat penting, bahkan kadang-
kadang perlu ventilator mekanik bila terjadi retensi CO 2 yang berbahaya (gagal
napas). Pada kasus eksaserbasi akut insufisiensi paru, sering pasien perlu dirawat
intensif untuk aspirasi sekret bronkus, pengobatan infeksi paru, bronkodilator,
kortikosteroid, keseimbangan cairan, dan pengawasan penggunaan sedatif.
Kadang-kadang diperlukan trakeostomi untuk membantu aspirasi sekret dan
mengurangi ruang mati. Antikoagulan dapat mencegah trombosis yang
memperberat penyakit paru obstruktif kronik
2. Preventif, yaitu berhenti merokok olahraga dan teratur, serta senam pernapasan
sangat bermanfaat walaupun harus dalam jangka panjang.

Oksigenasi
Pemberian oksigen sangat penting pada pasien cor pulmonale, terutama bila
diberikan secara terus menerus. Pasien yang menderita cor pulmonale, tekanan
parsial oksigen (PO2) kemungkinan berada di bawah 55 mm Hg dan menurun
lebih lanjut dengan latihan dan saat tidur. Terapi oksigen dapat mengurangi
vasokonstriksi paru yang kemudian meningkatkan curah jantung, mengurangi
simpatik vasokonstriksi, mengatasi hipoksemia jaringan, dan meningkatkan
perfusi ginjal.
Mekanisme bagaimana terapi oksigen dapat meningkatkan kelangsungan
hidup belum diketahui. Ditemukan 2 hipotesis:
1. Terapi oksigen mengurangi vasokonstriksi dan menurunkan resistensi vascular
paru yang kemudian meningkatkan isi sekuncup ventrikel kanan
2. Terapi oksigen meningkatkan kadar oksigen arteri dan meningkatkan hantaran
oksigen ke jantung, otak, dan organ vital lain.
Pemakaian oksigen secara berkelanjutan selama 12 jam (National Institute
of Health/NIH, Amerika); 15 jam (British Medical Research Council/MRC dan 24
jam (NIH) meningkatkan kelangsungan hidup dibandingkan dengan pasien tanpa
terapi oksigen.
Indikasi terapi oksigen (di rumah) adalah:
1. PaO2 55 mmHg atau SaO2 80%
2. PaO2 55-59 mmHg disertai salah satu dari
Diuretik
Diuretik digunakan sebagai terapi cor pulmonale, terutama jika volume
pengisian ventrikel kanan meningkat secara bermakna dan terjadi edema perifer.
Golongan diretik dapat meningkatkan fungsi kedua ventrikel. Meski demikian,
diuretik dapat dapat merugikan status hemodinamik jika tidak digunakan secara
hati-hati. Penurunan volume cairan dalam jumlah banyak dapat
menurunkan cardiac output.
Komplikasi potensial lain dari diuretik adalah terjadinya hipokalemi
disertai alkalosis metabolik. Gangguan elektrolit dan asam basa yang terjadi juga
dapat menyebabkan aritmia jantung, yang pada akhirnya juga memperburuk
cardiac output. Jadi, diuretik dapat digunakan sebagai manajemen kor pulmonale
namun harus digunakan secara hati-hati.
Diuretik diberikan bila ditemukan tanda gagal jantung kanan. Pemberian
diuretik yang berlebihan dapat menimbulkan alkolosis metabolik yang bisa
memicu peningkatan hiperkapnia. Di samping itu dengan terapi diuretik dapat
terjadi kekurangan cairan yang mengakibatkan preload ventrikel kanan dan curah
jantung menurun.
Contoh agen diuretik yang digunakan dalam terapi cor pulmonale kronis
adalah furosemide. Furosemide adalah loop diuretik kuat yang bekerja pada loop
of Henle, menyebabkan blok reversibel dalam reabsorpsi natrium dan kalium
klorida
Dosis dewasa:
20-80 mg / per hari/ PO / IV / IM (dosis maksimum 600 mg / hari)
Vasodilator
Vasodilator telah digunakan sebagai terapi jangka panjang pada cor
pulmonale kronikum dengan hasil yang cukup memuaskan. Golongan calcium
channel blocker, seperti sustained release nifedipine dan diltiazem, dapat
menurunkan tekanan pulmonum, meski obat golongan ini lebih efektif digunakan
pada pasien hipertensi pulmonale primer dibanding sekunder. Calsium channel
blockers dapat digunakan sebagai vasodilator arteri pulmonalis yang telah terbukti
keampuhannya dalam pengobatan jangka panjang cor pulmonale kronis yang
diakibatkan oleh hipertensi arteri pulmonalis.
Golongan vasodilator lain, seperti beta agonis, nitrat, dan ACE inhibitor telah
dicoba, namun tidak menunjukkan efek yang menguntungkan pada pasien PPOK,
sehingga tidak digunakan secara rutin
Vasodilator (nitrat, hidralazin, antagonis kalsium, agonis alfa adrenergik,
ACE inhibitor, dan prostaglandin sampai saat ini belum direkomendasikan
pemakaiannya secara rutin. Rubin menemukan pedoman untuk menggunakan
vasodilator bila didapatkan 4 respons hemodinamik sebagai berikut:
1. Resistensi vaskular paru diturunkan minimal 20%
2. Curah jantung meningkatkan atau tidak berubah
3. Tekanan arteri pulmonal menurunkan atau tidak berubah
4. Tekanan darah sistemik tidak berubah secara signifikan.
Kemudian harus dievaluasi setelah 4 atau 5 bulan untuk menilai apakah
keuntungan hemodinamik di atas masih menetap atau tidak. Pemakaian sildenafil
untuk melebarkan pembuluh darah paru padaPrimary Pulmonary Hypertension,
sedang ditunggu hasil penelitian untuk cor pulmonale lengkap.
Beta-agonis selektif
Beta-agonis selektif memiliki keuntungan tambahan selain sebagai
bronkodilator juga memiliki efek kliren mukosiliar. Agonis beta selektif memiliki
keuntungan tambahan sebagai bronkodilator dan efek mukosiliar. Epoprostenol,
treprostinil, dan iloprost adalah analog prostasiklin dan memiliki efek vasodilator
yang kuat. Epoprostenol dan treprostinil diberikan secara intravena dan iloprost
sebagai inhaler. Bosentan yang merupakan antagonis reseptor endotelin-A dan
endotelin-B diindikasikan untuk hipertensi arteri pulmonalis termasuk hipertensi
pulmonal primer. Dalam uji klinis, bosentan meningkatkan kapasitas, penurunan
laju kerusakan klinis, dan peningkatan hemodinamika.

Antikoagulan
Pemberian antikoagulan pada kor pulmonal berdasarkan indikasi atas
kemungkinan terjadinya tromboemboli akibat pembesaran dan disfungsi ventrikel
kanan dan adanya faktor imobilisasi pada pasienataupun adanya hipertensi arteri
pulmonal primer.
Di samping terapi diatas pasien cor pulmonale pada PPOK harus mendapat
terapi standar untuk PPOK, komplikasi dan penyakit penyerta (Sudoyo,W.2006).

Flebotomi
Tindakan flebotomi pada pasien Cor pulmonale dengan hematokrit yang
tinggi diindikasikan jika hematokrit > 55%. Sasarannya adalah penurunan Hct di
bawah 50%.

Digitalis
Glikosida jantung seperti digitalis dapat digunakan pada gagal ventrikel
kanan karena dapat meningkatkan fungsi ventrikel kanan namun harus
digunankan secara hati-hati dan dihindari selama episode akut cor
pulmonale. Digitalis hanya digunakan pada pasien kor pulmonal bila disertai
gagal jantung kiri. Digitalis tidak terbukti meningkatkan fungsi ventrikel kanan
pada pasien kor pulmonal dengan fungsi ventrikel kiri normal, hanya pada pasien
kor pulmonal dengan fungsi ventrikel kiri yang menurunkan digoksin bisa
meningkatkan fungsi ventrikel kanan. Di samping itu pengobatan dengan digitalis
menunjukkan peningkatan terjadinya komplikasi aritmia.

Digoxin (Lanoxin)
Memiliki efek inotropik positif pada gagal miokardium. Efek ini dicapai
melalui penghambatan Na + / K +-ATPase pompa, mengarah ke
peningkatan konsentrasi natrium intraseluler bersama dengan seiring
bertambahnya konsentrasi kalsium intraseluler dengan mekanisme pertukaran
kalsium-natrium. Hasilnya adalah augmentasi kontraktilitas miokard.
Dosis Dewasa : 0,125-0,375 mg PO / IV / IM

Teofilin
Selain efek bronchodilatory, teofilin (methilxanthin) telah dilaporkan untuk
mengurangi resistensi pembuluh darah paru dan tekanan di arteri paru pada pasien
kor pulmonal kronis sekunder karena PPOK. Teofilin memiliki efek inotropik
lemah dan dengan demikian dapat meningkatkan ejeksi ventrikel kanan dan kiri.
Dosis rendah teofilin juga telah disarankan karena memiliki efek anti-
inflamasi yang membantu untuk mengontrol penyakit paru-paru yang mendasari
seperti PPOK. Sebagai hasilnya, penggunaan teofilin dipertimbangkan sebagai
terapi tambahan dalam pengobatan kor pulmonal kronis atau dekompensasi
dengan PPOK.

Teofilin (aminofilin, Theo-24, Theolair, Theo-Dur)


Dosis Dewasa
Loading doses: 5,6 mg / kg IV selama 20 menit (berdasarkan aminofilin)
Maintanance doses: IV infus pada 0,5-0,7 mg / kgBB / jam

Komplikasi
Komplikasi yang dapat timbul dari cor pulmonale adalah :
Gagal jantung kanan
Chronic heart failure (CHF)
Gagal nafas
Acute Kidney Injury
Hemoptosis
Trombosis vena dalam
BAB VII

PROGNOSIS

Prognosis pulmonary heart disease / cor pulmonale sangat bervariasi,


tergantung penjalanan alami penyakit paru yang mendasari dan ketaatan pasien
berobat. Penyakit bronkopulmonal simtomatik angka kematian rata-rata 5 tahun
sekitar 40-50%. Juga obstruksi vaskular paru kronik dengan hipertrofi ventrikel
kanan mampunyai prognosis yang buruk. Biasanya pasien hipertensi pulmonal
dengan obstruksi vaskular kronik hanya bertahan hidup 2-3 tahun sejak timbulnya
gejala. Perkembangan cor pulmonale yang disebabkan penyakit primer pada paru
dapat menimbulkan prognosis yang lebih buruk. Contohnya, pasien dengan PPOK
yang memiliki komplikasi cor pulmonale memiliki angka harapan hidup 5 tahun
sebesar 30%. Prognosis pada keadaan akut akibat emboli paru masif atau ARDS
belum diketahui bersifat dependen atau independen terhadap kor pulmonal.
Namun, sebuah penelitian prospektif oleh Volschan et al mengindikasikan bahwa
pada kasus emboli paru, cor pulmonale dapat meningkatkan
mortalitas. Pengamatan yang dilakukan tahun 1950 menunjukkan bahwa bila
terjadi gagal jantung kanan yang menyebabkan kongestinvena sistemik, harapan
hidupnya menjadi kurang dari 4 tahun.
Walaupun demikian, kemampuan dalam penanganan pasien selama episode
akut yang berkaitan dengan infeksi dan gagal napas mangalami banyak kemajuan
dalam 5 tahun terakhir. Pasien yang mengalami pulmonary heart disease akibat
obeliterasi pembuluh darh arteri kecil yang terjadi secara perlahan-lahan akibat
penyakit intrinsiknya (misalnya emboli), atau akibat fibrosis interstisial harapan
untuk perbaikannya kecil karena kemungkinan perubahan anatomi yang terjadi
subah menetap. Harapan hidup pasien PPOK jauh lebih baik bila analisis gas
darahnya dapat dipertahankan mendekati normal.
Edukasi pasien mengenai pentingnya kepatuhan terhadap terapi medis yang
tepat sangat penting karena pengobatan, baik untuk hipoksia dan penyakit yang
mendasari dapat menentukan mortalitas dan morbiditas.
DAFTAR PUSTAKA

1. Assayag, P. (1997). Compensated cardiac hypertrophy: arrhythmogenicity


and the new myocardial phenotype. I. Fibrosis. Cardiovascular Mysteri
Series, 34, 439-444.
2. Francis, G., & Tang, W. (2003). Patophysiology of Congestive Heart
Failure. MedReviews, 4.
3. Kumar, V., Cotran, R. S., & Robbins, S. L. (2007). Buku Ajar Patologi (7 ed.
Vol. 2).
4. Perhimpunan Dokter Paru Indonesia. (2003). Penyakit Paru Obstruktif
Kronis - Pedoman Diagnosis dan Penatalaksanaan di Indonesia.
5. GOLD. (2006). Global Strategy for Diagnosis, Management, and Prevention
of COPD.
6. Khozhnevis, R., & Massumi, A. (1999). Ventricular Arrythmia in
Congestive Heart Failure.26.
7. Weitzenbaum, E. (2003). Chronic Cor Pulmonale. BMJ, 89, 225-230.
8. Kurt J. Isselbacher, Eugene Braunwald, Jean D. Wilson, Joseph & Martin,
Anthony S Fauci, Dennis L Kasper, edis bahasa Indonesia; Ahmad H. Asdie
Prof. dr. Sp.PD, ke : Prinsip-prinsip Ilmu Penyakit Dalam Harrison, edisi 15,
volume 3, 2002, hal. 1222-1226.
9. Sovari AA. Cor Pulmonale: Overview of Cor Pulmonale Management.
Medscape. 2011.
10. Anderson JR, Nawarskas JJ. Pharmacotheurapetic management of
pulmonary arterial hypertension. Medscape. 2010;18(3): 148-162.
11. Hoeper MM. Drug treatment of pulmonary arterial hypertension : current
and future agents. Medscape. 2005;65(10): 1337-1354.
12. Sitbon O et all. Long term response to calcium channel blockers in
idhiopathic pulmonary arterial hipetension. Medscape. 2005;111(23): 3105-
3111.
13. Volschan A et all. Predictors of hospital mortality in hemodynamically
stable patients with pulmonary embolism. Medscape. 2009;93(2): 135-140.
14. Davey P. At a Glance Medicine. Edisi I. Erlangga: Jakarta. 2006. h. 4- 10,
138- 168.
15. Fauci AS, Dennis LK, dkk. Heart failure and cor pulmonale. Dalam:
Harrisons Principles of Internal Medicine. Edisi 13. United States of
America: The McGraw-Hill Companies Inc; 2008.p. 217-244

Anda mungkin juga menyukai