PENDAHULUAN
Cor adalah suatu organ muskuler yang berbentuk conus sebesar kepalan
tangan (tinju), bertumpu pada diaphragma thoracis dan berada di antara kedua
pulmo bagian caudalis. Dibungkus oleh suatu selaput yang disebut pericardium
dan menempati mediastinum medium. Letak cor sedemikian rupa sehingga
puncaknya (apex cordis) menghadap ke arah caudo-ventral kiri; 2/3 bagian cor
berada di sebelah kiri linea mediana.
Pada orang dewasa ukuran cor adalah panjang 12 cm, lebar 8-9 cm, dan
tebal 6 cm. Pada pria berat cor adalah 280-340 gram dan pada wanita 230-280
gram. Dalam keadaan patologis, ukuran cor bisa melampaui ukuran normal.
Dinding cor terdiri atas 3 lapisan sebagai berikut :
1. Lapisan superficial disebut epicardium
2. Lapisan intermedai adalah myocardium
3. Lapisan profunda dibentuk oleh endocardium
Lokalisasi COR
Proyeksi cor pada dinding ventral thorax adalah sebagai berikut:
a. Tepi kiri cor di sebelah cranial berada pada tepi caudal pars cartilaginis
costa II sinister, yaitu 1 cm di sebelah lateral tepi sternum.
b. Tepi kiri di sebelah caudal berada pada ruang intercostalis V, yaitu kira-kira
9 cm di sebelah kiri linea mediana atau 2 cm di sebelah medial linea
medioclavicularis sinistra.
c. Tepi kanan di sebelah cranial berada pada tepi cranialis pars cartilaginis
costa III dextra, kira-kira 1 cm dari tepi lateral sternum.
d. Tepi kanan di sebelah caudal berada pada pars cartilaginis costa VI dextra,
kira-kira 1 cm di lateral tepi sternum.
Jantung memiliki empat bilik (ruang), bilik bagian atas yaitu atrium,
menerima darah yang kembali ke jantung dan memindahkannya ke bilik bagian
bawah yaitu ventrikel, yang memompa darah dari jantung. Pembuluh yang
mengembalikan darah dari jaringan ke atrium adalah vena, dan pembuluh-
pembuluh yang mengangkut darah menjauhi ventrikel menuju jaringan adalah
arteri.Kedua belahan jantung dipisahkan oleh septum, suatu partisi otot kontinyu
yang mencegah pencampuran darah dari kedua sisi jantung. Pemisahan ini sangat
penting, karena separuh kanan jantung menerima dan memompa darah beroksigen
rendah sementara sisi kiri jantung menerima dan memompa darah beroksigen
tinggi.
Darah yang kembali dari sirkulasi sistemik masuk ke atrium kanan melalui
vena-vena besar yang dikenal sebagai vena kava superior dan inferior. Tetes darah
yang masuk ke atrium kanan kembali dari jaringan tubuh, telah diambil O2-nya
dan ditambahi CO2. Darah yang mengalami deoksigenasi parsial tersebut
mengalir dari atrium kanan ke dalam ventrikel kanan, yang memompanya ke luar
melalui arteri pulmonalis ke paru. Dengan demikian, sisi kanan jantung memompa
darah ke dalam sirkulasi paru. Di dalam paru, tetes darah tersebut kehilangan CO 2
ekstranya dan menyerap O2 segar sebelum dikembalikan ke atrium kiri melalui
vena pulmonalis. Darah kaya oksigen yang kembali ke atrium kiri ini kemudian
mengalir ke dalam ventrikel kiri, bilik pompa yang mendorong darah ke semua
sistem tubuh kecuali paru; jadi, sisi kiri jantung memompa darah ke dalam
sirkulasi sistemik. Arteri besar yang membawa darah menjauhi ventrikel kiri
adalah aorta. Aorta bercabang menjadi arteri besar untuk memperdarahi berbagai
jaringan tubuh.
Berbeda dengan sirkulasi pulmonalis yang seluruh darahnya mengalir
melalui paru, sirkulasi sistemik dapat dilihat sebagai rangkaian jalur-jalur
paralel.Sebagian darah yang dipompakan keluar oleh ventrikel kiri menuju ke
otot-otot, sebagian ke ginjal, ke otak, dan seterusnya. Jadi keluaran ventrikel kiri
tersebar, sehingga tiap-tiap bagian tubuh menerima pasokan darah segar, darah
arteri yang sama tidak mengalir dari jaringan ke jaringan. Dengan demikian, tetes
darah yang kita ikuti hanya menuju ke satu jaringan sistemik.Jaringan mengambil
O2 dari darah dan menggunakannya untuk mengoksidasi zat-zat gizi untuk
menghasilkan energi; dalam prosesnya, sel-sel jaringan membentuk CO2 sebagai
produk buangan yang ditambahkan ke darah.Tetes darah, sekarang secara parsial
kekurangan O2 dan mengandung CO2 yang meningkat, kembali ke sisi kanan
jantung.
Kedua sisi jantung secara simultan memompa darah dalam jumlah yang
sama. Volume darah beroksigen rendah yang dipompa ke paru oleh sisi kanan
jantung segera memiliki volume yang sama dengan darah beroksigen tinggi yang
dipompa ke jaringan oleh sisi kiri jantung. Sirkulasi paru adalah sistem yang
memiliki tekanan dan resistensi yang rendah, sedangkan sirkulasi sistemik adalah
sistem dengan tekanan dan resistensi yang tinggi. Oleh karena itu, walaupun sisi
kiri dan kanan jantung memompa darah dalam jumlah yang sama, sisi kiri
melakukan kerja yang lebih besar karena ia memompa volume darah yang sama
ke dalam sistemik dengan resistensi tinggi. Dengan demikian, otot jantung di sisi
kiri jauh lebih tebal daripada otot di sisi kanan, sehingga sisi kiri adalah pompa
yang lebih kuat.
Adanya empat katup jantung satu-arah memastikan darah mengalir satu-
arah.Dua katup jantung, katup atrioventrikel (AV) kanan dan kiri, masing-masing
terletak di antara atrium dan ventrikel kanan dan kiri.Katup AV kanan disebut
katup tricuspid karena terdiri dari tiga daun katup.Demikian juga, katup kiri, yang
terdiri dari dua daun katup, sering disebut sebagai katup bicuspid atau katup
mitralis. Tepi-tepi daun katup AV diikat oleh tali fibrosa yang tipis namun kuat,
yaitu korda tendinae, yang mencegah katup berbalik, yaitu, didorong oleh tekanan
ventrikel yang tinggi untuk membuka ke arah yang berlawanan ke dalam atrium.
Tali-tali ini berjalan dari tepi daun katup dan melekat ke otot papillaris berbentuk
mirip puting susu, yang menonjol dari permukaan dalam ventrikel. Ketika
ventrikel berkontraksi, otot papilaris juga berkontraksi, menarik ke bawah korda
tendinae, tarikan ini menimbulkan ketegangan di daun katup AV yang tertutup,
sehingga daun katup dapat tertahan dalam posisinya dan tetap menutup rapat
walaupun terdapat gradien tekanan yang besar ke arah belakang.
Dua katup jantung lainnya, katup aorta dan katup pulmonalis terletak di
sambungan tempat arteri-arteri besar keluar dari ventrikel.Keduanya dikenal
sebagai katup semilunaris karena terdiri dari tiga daun katup, yang masing-masing
mirip dengan kantung mirip bulan-separuh.Katup-katup ini terbuka ketika tiap-
tiap tekanan ventrikel kanan dan kiri melebihi tekanan di arota dan arteri
pulmonalis, selama ventrikel berkontraksi dan mengosongkan isinya.Katup
terutup apabila ventrikel melemas dan tekanan ventrikel turun di bawah tekanan
aorta dan arteri pulmonalis
2. Anatomi Paru-Paru
3. Fisiologi Paru-Paru
Udara bergerak masuk dan keluar paru-paru karena ada selisih tekanan yang
terdapat antara atmosfir dan alveolus akibat kerja mekanik otot-otot. Seperti yang
telah diketahui, dinding toraks berfungsi sebagai penembus. Selama inspirasi,
volume toraks bertambah besar karena diafragma turun dan iga terangkat akibat
kontraksi beberapa otot yaitu sternokleidomastoideus mengangkat sternum ke atas
dan otot seratus, skalenus dan interkostalis eksternus mengangkat iga-iga.
Selama pernapasan tenang, ekspirasi merupakan gerakan pasif akibat
elastisitas dinding dada dan paru-paru. Pada waktu otot interkostalis eksternus
relaksasi, dinding dada turun dan lengkung diafragma naik ke atas ke dalam
rongga toraks, menyebabkan volume toraks berkurang. Pengurangan volume
toraks ini meningkatkan tekanan intrapleura maupun tekanan intrapulmonal.
Selisih tekanan antara saluran udara dan atmosfir menjadi terbalik, sehingga udara
mengalir keluar dari paru-paru sampai udara dan tekanan atmosfir menjadi sama
kembali pada akhir ekspirasi.
Tahap kedua dari proses pernapasan mencakup proses difusi gas-gas
melintasi membrane alveolus kapiler yang tipis (tebalnya kurang dari 0,5 m).
Kekuatan pendorong untuk pemindahan ini adalah selisih tekanan parsial antara
darah dan fase gas. Tekanan parsial oksigen dalam atmosfir pada permukaan laut
besarnya sekitar 149 mmHg. Pada waktu oksigen diinspirasi dan sampai di
alveolus maka tekanan parsial ini akan mengalami penurunan sampai sekiktar 103
mmHg. Penurunan tekanan parsial ini terjadi berdasarkan fakta bahwa udara
inspirasi tercampur dengan udara dalam ruangan sepi anatomic saluran udara dan
dengan uap air. Perbedaan tekanan karbondioksida antara darah dan alveolus yang
jauh lebih rendah menyebabkan karbondioksida berdifusi kedalam alveolus.
Karbondioksida ini kemudian dikeluarkan ke atmosfir.
Dalam keadaan beristirahat normal, difusi dan keseimbangan oksigen di
kapiler darah paru-paru dan alveolus berlangsung kira-kira 0,25 detik dari total
waktu kontak selama 0,75 detik. Hal ini menimbulkan kesan bahwa paru-paru
normal memiliki cukup cadangan waktu difusi. Pada beberapa penyakit misal;
fibosis paru, udara dapat menebal dan difusi melambat sehingga ekuilibrium
mungkin tidak lengkap, terutama sewaktu berolahraga dimana waktu kontak total
berkurang. Jadi, blok difusi dapat mendukung terjadinya hipoksemia, tetapi tidak
diakui sebagai faktor utama.
BAB IV
ETIOPATOGENESIS
Etiologi
Penyebab utama terjadinya Cor pulmonale adalah emboli paru, penyakit
paru obstrukif dan restriktif kronik, dan penyakit vaskular paru. Cor pulmonale
akut paling sering disebabkan oleh embolisme paru. Apabila embolus secara akut
menyumbat lebih dari 50% jaringan vaskuler paru, peningkatan beban mendadak
di sisi kanan jantung menyebabkan gagal ventrikel kanan. Ventrikel kanan
biasanya mengalami dilatasi, namun tidak hipertrofi. Penyebab lain dari cor
pulmonale akut adalah acute respiratory distress syndrome (ARDS), hal ini terjadi
akibat aspek patologik ARDS sendiri atau akibat ventilasi mekanik, khususnya
dengan kebutuhan volume tidal yang lebih tinggi, menyebabkan peningkatan
tekanan transpulmonal.
Cor pulmonale kronis paling sering disebabkan oleh penyakit paru
obstruktif kronik (PPOK). Pada cor pulmonale kronis, berbeda dengan cor
pulmonale akut, hipertensi pulmonal yang menetap memungkinkan terjadinya
hipertrofi ventrikel kanan kompensatorik. Ventrikel kanan kurang mampu
mengakomodasi peningkatan beban tekanan dibanding ventrikel kiri. Seiring
berjalannya waktu, ventrikel kanan secara progresif mengalami dilatasi dan
akhirnya tidak mampu mempertahankan curah jantung pada tingkat normal. Jika
hal ini terjadi, timbul gejala dan tanda khas untuk gagal jantung kongestif sisi
kanan. Dekompensasi akut dapat terjadi setiap saat pada pasien dengan kor
pulmonal kronis.
Dalam keadaaan normal, jantung kanan memompa darah menuju paru tanpa
adanya tahanan. Paru biasanya memiliki tekanan minimal, dan jantung sisi kanan
dengan mudah memompa darah melaluinya. Namun apabila terdapat beberapa
penyakit paru tertentu, seperti emfisema dan bronkitis kronik, yang ditemukan
pada patologi penyakit paru obstruktif kronik (PPOK) / chronic obstructive
pulmonary disease (COPD), dan juga hipertensi pulmonal, jumlah pembuluh
darah berkurang secara signifikan (dikarenakan kerusakan jaringan / tissue) dan /
atau mengalami konstriksi kronik (karena ventilasi buruk pada alveolar pada
kasus COPD). Ventrikel kanan tidak lagi dapat mendorong darah masuk kedalam
paru secara efektif, dan beban yang terlalu berat (overload) secara kronik pada
akhirnya akan menyebabkan kegagalan.
Hipertensi pulmonal dapat diartikan sebagai penyakit arteri kecil pada paru
yang ditandai dengan proliferasi vaskuler dan remodeling. Hal ini pada akhirnya
dapat menyebabkan meningkatnya resistensi pembuluh darah paru yang
mengakibatkan terjadinya gagal ventrikel kanan dan kematian. Hipertensi
pulmonal dibagi menjadi primer dan sekunder. Hipertensi pulmonal primer adalah
hipertensi pulmonal yang tidak disebabkan oleh adanya penyakit jantung,
parenkim paru, maupun penyakit sistemik yang melatarbelakanginya. Hipertensi
pulmonal lain selain kriteria tersebut disebut hipertensi pulmonal sekunder.
Hipertensi pulmonal akibat komplikasi kronis paru (sekunder) didefinisikan
sebagai peningkatan rata-rata tekanan arteri pulmonal (TAP) / pulmonary arterial
pressure istirahat, yakni >20 mmHg. Pada hipertensi pulmonal primer angka ini
lebih tinggi yakni >25 mmHg.
Terdapat tiga faktor yang telah diketahui dalam mekanisme terjadinya
hipertensi pulmonal yang menyebabkan meningkatnya resistensi vaskular.
Ketiganya adalah mekanisme vasokonstriksi, remodeling dinding pembuluh darah
pulmonal, dan trombosis in situ. Ketiga mekanisme ini terjadi akibat adanya dua
faktor yakni gangguan produksi zat-zat vasoaktif seperti, nitric
oxide dan prostacyclin, serta akibat ekspresi berlebihan secara kronis dari
mediator vasokonstriktor seperti, endothelin-1.
Hipertensi pulmonal menyebabkan meningkatnya kinerja ventrikel kanan
dan dapat mengakibatkan dilatasi atau hipertrofi bilik kanan jantung. Timbulnya
keadaan ini diperberat dengan adanya polisitemia akibat hipoksia jaringan,
hipervolemia akibat adanya retensi air dan natrium, serta meningkatnya cardiac
output. Ketika jantung kanan tidak lagi dapat melakukan adaptasi dan kompensasi
maka akhirnya timbul kegagalan jantung kanan yang ditandai dengan adanya
edema perifer.
DIAGNOSIS
A. Manifestasi Klinis
B. Diagnosis
Diagnosis cor pulmonale dapat ditegakkan jika terbukti terdapat adanya
hipertensi pulmonal akibat dari kelainan fungsi dan atau struktural paru. Untuk
menegakkan diagnosis cor pulmonale secara pasti maka dilakukan prosedur
anamnesis, pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjang secara tepat. Pada
anamnesis dan pemeriksaan fisik pemeriksa dapat menemukan data-data yang
mendukung ke arah adanya kelainan paru baik secara struktural maupun
fungsional. Adanya hipertensi pulmonal tidak dapat ditegakkan secara pasti
dengan hanya pemeriksaan fisik dan anamnesis tetapi membutuhkan pemeriksaan
penunjang.
Pada cor pulmonale selama jantung masih bisa melakukan kompensasi
terhadap hipertensi pulmonal, anamnesis pada penderita cor pulmonale hanya
didapatkan keluhan yang terkait dengan gangguan yang melatarbelakanginya.
Keluhan yang biasanya didapatkan adalah batuk produktif, sesak nafas saat
aktivitas (dispneu on effort), adanya mengi, cepat letih, dan lemas. Ketika
progresivitas penyakit bertambah keluhan yang sering muncul adalah sesak nafas
walaupun tidak beraktivitas, tachypnea, orthopnea, edema, dan perasaan tidak
nyaman pada kuadran kanan atas.
Pada pemeriksaan fisik didapatkan bentuk dada dengan diameter terbesar
anteroposterior atau disebut barrel chest. Pada pemeriksaan auskultasi paru
didapatkan memanjangnya suara nafas ekspirasi dan pada pasien eksaserbasi
biasanya didapatkan mengi dan ronki. Pasien yang telah menjadi gagal jantung
kanan didapatkan tanda-tanda seperti edema, peningkatan tekanan vena jugularis,
refluks hepatojugular, pulsasi epigastrium dan parasternal, asites, hepatomegali
dan takikardia. Menurunnya cardiac output dapat menyebabkan hipotensi dan
pulsasi yang lemah. Pada pemeriksaan jantung pasien dengan gagal jantung kanan
didapatkan kardiomegali ventrikel kanan yang menyebabkan batas jantung kanan
bawah bergeser ke bawah kanan. Pada auskultasi didapatkan suara gallop S3
disertai meningkatnya intensitas bunyi P2. Insufisiensi katup trikuspid ditandai
dengan adanya pansistolik murmur yang terdengar di parasternal kiri bawah dan
mengeras dengan inspirasi. Selain itu, dapat pula terdengar ejeksi sistolik
pulmonal.
Tanda
Pemeriksaan fisik dapat membrikan gambaran penyakit paru yang
mendasari atau menunjukkan tanda-tanda gagal jantung kanan.
- Inspeksi : peningkatan diameter dinding dada antero-posterior (barrel
chest), retraksi dinding dada, distensi vena leher, sianosis.
- Perkusi : hipersonor, asites (shifting dullness)
- Auskultasi : wheezing dan crackles dapat terdengar karena penyakit paru
yang mendasari (misal pada PPOK), turbulensi yang terjadi akibat
thromboemboli paru dapat terdengar sebagai bunyi systolic bruits pada
paru, murmur ejeksi sistolik di regio arteri pulmonum, murmur sistolik
pada kusus regurgitasi trikuspid.
Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan penunjang untuk mengetahui secara pasti tejadinya cor
pulmonale adalah dengan kateterisasi jantung kanan (Swan-Ganz catheterization)
untuk mengukur secara pasti hipertensi pulmonal. Kateterisasi jantung kanan ini
dimasukkan melalui vena sentral (V. axillaris, v, jugularis, atau v.
brachiocephalica) dan diteruskan ke dalam ventrikel kanan melalui katup trikuspid
dan diteruskan ke dalam arteri pulmonalis.
Dalam pemasangannya pasien diharuskan puasa 8 jam sebelumnya.
Operator harus memperhatikan gambaran radiologis sebelumnya agar dalam
memasang kateter tidak mencederai organ yang dilewati. Adapun penggunaan
kateter ini memiliki resiko antara lain, infeksi, emboli, jendalan darah dan dapat
menyebabkan aritmia. Penggunaan kateter ini masih sangat terbatas karena
sifatnya yang invasif, menimbulkan rasa tidak nyaman, dan biaya yang diperlukan
cukup tinggi.
Mengingat banyaknya kekurangan dengan menggunakan kateter Swan-
Ganz maka untuk menunjang diagnosis cor pulmonale diperlukan pemeriksaan-
pemeriksaan lain yang lebih mudah, tidak invasif, dan lebih terjangkau.
Pemeriksaan penunjang yang dapat dilakukan antara lain:
1. Pemeriksaan laboratorium
Pemeriksaan laboratorium ditujukan untuk mengetahui penyakit yang
mendasari dan untuk menilai komplikasi serta perjalanan penyakit. Pemeriksaan
yang dilakukan antara lain, hematokrit untuk mengetahui polisitemia, antinuclear
antibody untuk mengetahui penyakit vaskuler kolagen seperti skleroderma,
proteins S dan C, antitrombin III, factor V Leyden, antikardiolipin antibodi,
danhomocysteine untuk mengetahui hiperkoagulasi, analisis gas darah untuk
mengetahui saturasi oksigen, pemeriksaan kadar BNP (Brain Natruretic
Peptide) untuk mengatahui hipertensi pulmonal dan gagal jantung kanan, serta
pemeriksaan spirometri untuk mengetahui status fungsional paru.
2. Pemeriksaan radiologi
a) Foto Toraks
Pada pasien dengan cor pulmonale hasil foto toraks didapatkan pelebaran
arteri pulmonal sentral. Hipertensi pulmonal dicurigai jika ditemukan diameter
arteri pulmonal desenden kanan lebih lebar dari 16 mm dan arteri pulmonal kiri
lebih lebar dari 18 mm. Pelebaran jantung kanan menyebabkan diameter
transversal meningkat dengan cardiothorax ratio (CTR) 50% dan bayangan
jantung melebar ke kanan pada foto toraks posisi anteroposterior. Pada foto
toraks, tampak kelainan paru disertai pembesaran ventrikel kanan, dilatasi arteri
pulmonal, dan atrium kanan yang menonjol. Kardiomegali sering tertutup oleh
hiperinflasi paru yang menekan diafragrna sehingga jantung tampaknya normal.
Pembesaran ventrikel kanan lebih jelas pada posisi oblik atau lateral. Harus diteliti
adanya kelainan parenkim paru, pleura atau dinding, dan rongga toraks.
Pada pasien dengan PPOK didapatkan gambaran sela iga melebar,
diafragma mendatar dan gambaran pinggang jantung pendulum. Pada foto lateral
didapatkan pengisian ruang retrosternal dan meningkatnya diameter toraks
anterroposterior.
b) Ekokardiografi
Salah satu pencitraan yang bisa digunakan untuk melakukan penegakan
diagnosis cor pulmonale adalah dengan ekokardiografi. Pada ekokardiogafi,
dimensi ruang ventrikel kanan membesar, tapi struktur dan dimensi ventrikel kiri
normal. Pada gambaran ekokardiografi katup pulmonal gelombang a hilang,
menunjukkan hipertensi pulmonal. Kadang-kadang dengan pemeriksaan
ekokardiografi sulit terlihat katup pulmonal karena accoustic window sempit
akibat penyakit paru.
Pada pasien PPOK (COPD) penggunaan Doppler ekokardiografi ini kurang
efektif karena hiperinflasi dan pengisian ruang retrosternal yang menyebabkan
transmisi gelombang suara kurang optimal. Computed tomography (CT)
scan, Magnetic Resonance Imaging (MRI), maupun ekokardiografi dua dimensi
dapat digunakan untuk menilai ketebalan dinding ventrikel kanan sehingga dapat
mengetahui hipertropi atau dilatasi ventrikel kanan.
Gambar 6. Gambaran Ekokardiogram (Dilatasi atrium dan ventrikel kanan).
3. Pemeriksaan EKG
Pada EKG terdapat tanda-tanda hipertrofi ventrikel kanan dan pembesaran
atrium kanan, P pulmonal, aksis QRS ke kanan, atau right bundle branch
block (RBBB), voltase rendah karena hiperinflasi, RS-T sagging II, III, aVF,
tetapi kadang-kadang EKG masih normal. Gelombang S yang dalam pada V6.
EKG sering menyerupai infark miokard yaitu adanya gelombang Q pada II, III,
aVF namun jarang dalam dan lebar seperti pada infark miokard inferior.
Gambaran abnormal cor pulmonale pada pemeriksaan EKG dapat berupa:
a. Deviasi sumbu ke kanan. Sumbu gelombang p + 900 atau lebih.
b. Terdapat pola S1S2S3
c. Rasio amplitude R/S di V1 lebih besar dari sadapan 1
d. Rasio amplitude R/S di V6 lebih kecil dari sadapan 1
e. Terdapat pola p pulmonal di sadapan 2,3, dan aVF
f. Terdapat pola S1 Q3 T3 dan right bundle branch block komplet atau
inkomplet.
g. Terdapat gelombang T terbalik, mendatar, atau bifasik pada sadapan
prekordial.
h. Gelombang QRS dengan voltase lebih rendah terutama pada PPOK karena
adanya hiperinflasi.
i. Hipertrofi ventrikel kanan yang sudah lanjut dapat memberikan gambaran
gelombang Q di sadapan prekordial yang dapat membingungkan dengan infark
miokard.
j. Kadang dijumpai kelainan irama jantung mulai dari depolarisasi prematur
atrium terisolasi hingga supraventrikuler takikardi, termasuk takikardi atrial
paroksismal, takikardi atrial multifokal, fibrilasi atrium, dan atrial flutter.
Disritmia ini dapat dicetuskan karena keadaan penyakit yang mendasari
(kecemasan, hipoksemia, gangguan keseimbangan asam-basa, gangguan
elektrolit, serta penggunaan bronkodilator berlebihan).
Diagnosis Banding
PENATALAKSANAAN
Oksigenasi
Pemberian oksigen sangat penting pada pasien cor pulmonale, terutama bila
diberikan secara terus menerus. Pasien yang menderita cor pulmonale, tekanan
parsial oksigen (PO2) kemungkinan berada di bawah 55 mm Hg dan menurun
lebih lanjut dengan latihan dan saat tidur. Terapi oksigen dapat mengurangi
vasokonstriksi paru yang kemudian meningkatkan curah jantung, mengurangi
simpatik vasokonstriksi, mengatasi hipoksemia jaringan, dan meningkatkan
perfusi ginjal.
Mekanisme bagaimana terapi oksigen dapat meningkatkan kelangsungan
hidup belum diketahui. Ditemukan 2 hipotesis:
1. Terapi oksigen mengurangi vasokonstriksi dan menurunkan resistensi vascular
paru yang kemudian meningkatkan isi sekuncup ventrikel kanan
2. Terapi oksigen meningkatkan kadar oksigen arteri dan meningkatkan hantaran
oksigen ke jantung, otak, dan organ vital lain.
Pemakaian oksigen secara berkelanjutan selama 12 jam (National Institute
of Health/NIH, Amerika); 15 jam (British Medical Research Council/MRC dan 24
jam (NIH) meningkatkan kelangsungan hidup dibandingkan dengan pasien tanpa
terapi oksigen.
Indikasi terapi oksigen (di rumah) adalah:
1. PaO2 55 mmHg atau SaO2 80%
2. PaO2 55-59 mmHg disertai salah satu dari
Diuretik
Diuretik digunakan sebagai terapi cor pulmonale, terutama jika volume
pengisian ventrikel kanan meningkat secara bermakna dan terjadi edema perifer.
Golongan diretik dapat meningkatkan fungsi kedua ventrikel. Meski demikian,
diuretik dapat dapat merugikan status hemodinamik jika tidak digunakan secara
hati-hati. Penurunan volume cairan dalam jumlah banyak dapat
menurunkan cardiac output.
Komplikasi potensial lain dari diuretik adalah terjadinya hipokalemi
disertai alkalosis metabolik. Gangguan elektrolit dan asam basa yang terjadi juga
dapat menyebabkan aritmia jantung, yang pada akhirnya juga memperburuk
cardiac output. Jadi, diuretik dapat digunakan sebagai manajemen kor pulmonale
namun harus digunakan secara hati-hati.
Diuretik diberikan bila ditemukan tanda gagal jantung kanan. Pemberian
diuretik yang berlebihan dapat menimbulkan alkolosis metabolik yang bisa
memicu peningkatan hiperkapnia. Di samping itu dengan terapi diuretik dapat
terjadi kekurangan cairan yang mengakibatkan preload ventrikel kanan dan curah
jantung menurun.
Contoh agen diuretik yang digunakan dalam terapi cor pulmonale kronis
adalah furosemide. Furosemide adalah loop diuretik kuat yang bekerja pada loop
of Henle, menyebabkan blok reversibel dalam reabsorpsi natrium dan kalium
klorida
Dosis dewasa:
20-80 mg / per hari/ PO / IV / IM (dosis maksimum 600 mg / hari)
Vasodilator
Vasodilator telah digunakan sebagai terapi jangka panjang pada cor
pulmonale kronikum dengan hasil yang cukup memuaskan. Golongan calcium
channel blocker, seperti sustained release nifedipine dan diltiazem, dapat
menurunkan tekanan pulmonum, meski obat golongan ini lebih efektif digunakan
pada pasien hipertensi pulmonale primer dibanding sekunder. Calsium channel
blockers dapat digunakan sebagai vasodilator arteri pulmonalis yang telah terbukti
keampuhannya dalam pengobatan jangka panjang cor pulmonale kronis yang
diakibatkan oleh hipertensi arteri pulmonalis.
Golongan vasodilator lain, seperti beta agonis, nitrat, dan ACE inhibitor telah
dicoba, namun tidak menunjukkan efek yang menguntungkan pada pasien PPOK,
sehingga tidak digunakan secara rutin
Vasodilator (nitrat, hidralazin, antagonis kalsium, agonis alfa adrenergik,
ACE inhibitor, dan prostaglandin sampai saat ini belum direkomendasikan
pemakaiannya secara rutin. Rubin menemukan pedoman untuk menggunakan
vasodilator bila didapatkan 4 respons hemodinamik sebagai berikut:
1. Resistensi vaskular paru diturunkan minimal 20%
2. Curah jantung meningkatkan atau tidak berubah
3. Tekanan arteri pulmonal menurunkan atau tidak berubah
4. Tekanan darah sistemik tidak berubah secara signifikan.
Kemudian harus dievaluasi setelah 4 atau 5 bulan untuk menilai apakah
keuntungan hemodinamik di atas masih menetap atau tidak. Pemakaian sildenafil
untuk melebarkan pembuluh darah paru padaPrimary Pulmonary Hypertension,
sedang ditunggu hasil penelitian untuk cor pulmonale lengkap.
Beta-agonis selektif
Beta-agonis selektif memiliki keuntungan tambahan selain sebagai
bronkodilator juga memiliki efek kliren mukosiliar. Agonis beta selektif memiliki
keuntungan tambahan sebagai bronkodilator dan efek mukosiliar. Epoprostenol,
treprostinil, dan iloprost adalah analog prostasiklin dan memiliki efek vasodilator
yang kuat. Epoprostenol dan treprostinil diberikan secara intravena dan iloprost
sebagai inhaler. Bosentan yang merupakan antagonis reseptor endotelin-A dan
endotelin-B diindikasikan untuk hipertensi arteri pulmonalis termasuk hipertensi
pulmonal primer. Dalam uji klinis, bosentan meningkatkan kapasitas, penurunan
laju kerusakan klinis, dan peningkatan hemodinamika.
Antikoagulan
Pemberian antikoagulan pada kor pulmonal berdasarkan indikasi atas
kemungkinan terjadinya tromboemboli akibat pembesaran dan disfungsi ventrikel
kanan dan adanya faktor imobilisasi pada pasienataupun adanya hipertensi arteri
pulmonal primer.
Di samping terapi diatas pasien cor pulmonale pada PPOK harus mendapat
terapi standar untuk PPOK, komplikasi dan penyakit penyerta (Sudoyo,W.2006).
Flebotomi
Tindakan flebotomi pada pasien Cor pulmonale dengan hematokrit yang
tinggi diindikasikan jika hematokrit > 55%. Sasarannya adalah penurunan Hct di
bawah 50%.
Digitalis
Glikosida jantung seperti digitalis dapat digunakan pada gagal ventrikel
kanan karena dapat meningkatkan fungsi ventrikel kanan namun harus
digunankan secara hati-hati dan dihindari selama episode akut cor
pulmonale. Digitalis hanya digunakan pada pasien kor pulmonal bila disertai
gagal jantung kiri. Digitalis tidak terbukti meningkatkan fungsi ventrikel kanan
pada pasien kor pulmonal dengan fungsi ventrikel kiri normal, hanya pada pasien
kor pulmonal dengan fungsi ventrikel kiri yang menurunkan digoksin bisa
meningkatkan fungsi ventrikel kanan. Di samping itu pengobatan dengan digitalis
menunjukkan peningkatan terjadinya komplikasi aritmia.
Digoxin (Lanoxin)
Memiliki efek inotropik positif pada gagal miokardium. Efek ini dicapai
melalui penghambatan Na + / K +-ATPase pompa, mengarah ke
peningkatan konsentrasi natrium intraseluler bersama dengan seiring
bertambahnya konsentrasi kalsium intraseluler dengan mekanisme pertukaran
kalsium-natrium. Hasilnya adalah augmentasi kontraktilitas miokard.
Dosis Dewasa : 0,125-0,375 mg PO / IV / IM
Teofilin
Selain efek bronchodilatory, teofilin (methilxanthin) telah dilaporkan untuk
mengurangi resistensi pembuluh darah paru dan tekanan di arteri paru pada pasien
kor pulmonal kronis sekunder karena PPOK. Teofilin memiliki efek inotropik
lemah dan dengan demikian dapat meningkatkan ejeksi ventrikel kanan dan kiri.
Dosis rendah teofilin juga telah disarankan karena memiliki efek anti-
inflamasi yang membantu untuk mengontrol penyakit paru-paru yang mendasari
seperti PPOK. Sebagai hasilnya, penggunaan teofilin dipertimbangkan sebagai
terapi tambahan dalam pengobatan kor pulmonal kronis atau dekompensasi
dengan PPOK.
Komplikasi
Komplikasi yang dapat timbul dari cor pulmonale adalah :
Gagal jantung kanan
Chronic heart failure (CHF)
Gagal nafas
Acute Kidney Injury
Hemoptosis
Trombosis vena dalam
BAB VII
PROGNOSIS