Anda di halaman 1dari 6

REFLEKSI KASUS

IDENTITAS PASIEN

Nama : Ny. Mm
Umur : 20 tahun
Alamat : Pasang Kayu
Agama : Kristen
Pendidikan : SMP
Pekerjaan : Ibu rumah tangga
Status perkawinan : Sudah menikah
Tanggal pemeriksaan : 17 Oktober 2016

I. Deskripsi Kasus
Pasien perempuan berumur 20 tahun diantar oleh
keluarganya (tante dan pamannya) ke UGD RSUD Madani dengan
keluhan sering mengamuk, marah- marah, bicara sendiri, kencing di
celana, jika tidak diawasi pasien akan merusak barang dan memukuli
orang lain yang dialami sejak 2 hari SMRS. Dari hasil heteroanamnesis
dari keluaraga pasien, pasien mulai marah- marah jika ada yang
mengajaknya untuk mengobrol bahkan marah-marah tanpa sebab yang
jelas. Perubahan yang terjadi pada pasien ini 1 tahun yang lalu setelah
suaminya meninggalkannya dengan perempuan lain yang merupakan
teman dekat dari pasien. Dalam waktu yang bersamaan pula, ayah
kandung pasien juga meninggalkan pasien karena mengetahui keadaan
pasien. Menurut keluarga pasien, sebelum sakit pasien sangat terbuka
dengan keluarganya serta tidak ada masalah dalam berinteraksi dengan
keluarga maupun tetangganya. Selain itu pasien juga termasuk pasien yang
cerdas di sekolahnya. Namun, ketika ibu pasien meninggal, pasien
akhirnya berhenti sekolah dan hanya bersekolah sampai kelas 2 SMP.
Selain itu, ayah kandung pasien juga menikah kembali 1 bulan setelah
pasien menikah. Ini merupakan pertama kalinya pasien dirawat di RS
Madani. Dari hasil autoanamnesis pasien mengatakan bahwa dirinya
sering melihat seorang wanita yang bernama Umi.

1
II. Emosi yang Terlibat
Kasus ini menarik untuk dibahas karena pasien dengan terbuka dapat
menjelaskan masalahnya sehingga informasi yang dibutuhkan terkait
dengan masalah pasien dapat diketahui.

III. Evaluasi
a. Pengalaman Baik
Pasien mengatakan bahwa pada saat pemeriksaan tersebut, merupakan
kali pertama ia menceritakan masalah ini dengan jujur kepada orang
lain, bahkan sebelumnya ia tidak pernah bercerita kepada keluarganya,
dengan istri dan anaknya sekalipun.
b. Pengalaman Buruk
Pada saat anamnesis di awal kedatangan dilakukan, pasien seperti
tidak nyaman dengan pemeriksa, karena pada saat ditanya perihal
keluhan utama kenapa datang ke RS pasien menjawab dengan intonasi
suara yang cukup tinggi, hal ini mungkin disebabkan pemeriksa tidak
menggunakan kata-kata yang tepat saat memulai anamnesis, yaitu
menanyakan apa yang pasien rasakan.

IV. Analisis
Pasien perempuan berumur 20 tahun diantar oleh keluarganya (tante
dan pamannya) ke UGD RSUD Madani dengan keluhan sering
mengamuk, marah- marah, bicara sendiri, kencing di celana jika tidak
diawasi pasien akan merusak barang dan memukuli orang lain yang
dialami sejak 2 hari SMRS. Dari hasil heteroanamnesis dari keluaraga
pasien, pasien mulai marah- marah jika ada yang mengajaknya untuk
mengobrol bahkan marah-marah tanpa sebab yang jelas. Perubahan yang
terjadi pada pasien ini 1 tahun yang lalu setelah suaminya
meninggalkannya dengan perempuan lain yang merupakan teman dekat
dari pasien. Dalam waktu yang bersamaan pula, ayah kandung pasien
juga meninggalkan pasien karena mengetahui keadaan pasien. Menurut
keluarga pasien, kepribadian pasien sebelum sakit adalah terbuka dengan
anaknya serta tidak ada masalah dalam berinteraksi dengan keluarga

2
maupun tetangganya. Selain itu pasien juga termasuk pasien yang cerdas
di sekolahnya. Namun, ketika ibu pasien meninggal, pasien akhirnya
berhenti sekolah dan hanya bersekolah sampai kelas 2 SMP. Selain itu,
ayah kandung pasien juga menikah kembali 1 bulan setelah pasien
menikah. Ini merupakan pertama kalinya pasien dirawat di RS Madani.
Dari hasil autoanamnesis pasien mengatakan bahwa dirinya sering
melihat seorang wanita yang bernama Umi.
Pada pemeriksaan status mental, Tampak seorang perempuan,
perawakan sedang, kulit hitam, memakai baju kaos lengan pendek
berwarna merah, bercelana panjang hitam, nampak lebih muda dari usia
dan nampak sehat. Kesadaran berubah, perilaku dan aktivitas psikomotor
hipoaktif, pembicaraan tidak spontan, suara yang pelan, kurang lancar
dan intonasi lambat, kadang tidak sesuai dengan pertanyaan, sikap
terhadap pemeriksa inkooperatif. Mood tidak dapat dinilai, afek labil,
empati tidak dapat diraba rasakan, taraf pendidikan, pengetahuan umum
dan kecerdasan sesuai taraf pendidikannya, daya konsentrasi kurang,
orientasi waktu kurang, tempat kurang, orang kurang, daya ingat jangka
pendek baik, jangka sedang baik, jangka panjang baik, pikiran abstrak
sulit dinilai, bakat kreatif tidak ada, kemampuan menolong diri sendiri
baik
Terdapat halusinasi (+) visual, depersonalisasi dan derealisasi tidak
ada. Produktivitas miskin ide, kontinuitas irelevan, hendaya berbahasa
tidak ada. Preokupasi tidak ada dan gangguan isi pikiran tidak ada. Waham
tidak ada pengendalian impuls terganggu. Normo social dan penilaian
realitas sulit dinilai. Pasien merasakan dirinya sehat dan taraf dapat
dipercaya. Berdasarkan autoanamnesis dan alloanamnesis, serta
pemeriksaan status, ditemukan gejala klinis utama yaitu
mengamuk,memukul orang tanpa alasan yang jelas dan memecahkan
barang-barang sehingga dikatakan gangguan jiwa. Dari pemeriksaan status
mental, ditemukan hendaya berat dalam menilai realitas maka pasien
digolongkan dalam gangguan jiwa psikotik.Dari hasil pemeriksaan fisik
dan neurologik, tidak didapatkan adanya disfungsi otak, maka digolongkan

3
sebagai gangguan jiwa psikotik non organik. Anamnesis didapatkan gejala
umum skizofrenia yaitu adanya halusinasi sehingga berdasarkan kriteria
diagnostik PPDGJ III, pasien termasuk kedalam gangguan Retardasi
Mental dengan Hendaya Perilaku.
Farmakoterapi Risperidone 2 mg diberikan 2x1, Psikoterapi suportif
Pendekatan psikoterapi untuk gangguan kecemasan meliputi:
Ventilasi : memberikan kesempatan kepada pasien untuk
menceritakan keluhan dan isi hati serta perasaan sehingga pasien
merasa lega.
Sugesti. : secara halus dan tidak langsung menambah pikiran
pada pasien
Reassurance : penjaminan kembali, dilakukan melalui komentar
yang halus, bahwa pasien mampu berfungsi dengan adekuat.
Bimbingan dan konseling : wawancara untuk membantu pasien
mengenali dirinya sendiri dengan lebih baik.
Terapi psikososial
Terapi kelompok merupakan salah satu jenis terapi
humanistik. Pada terapi ini, beberapa klien berkumpul dan saling
berkomunikasi dan terapist berperan sebagai fasilitator dan sebagai
pemberi arah di dalamnya. Para peserta terapi saling memberikan
feedback tentang pikiran dan perasaan yang dialami. Peserta
diposisikan pada situasi sosial yang mendorong peserta untuk
berkomunikasi, sehingga dapat memperkaya pengalaman peserta
dalam kemampuan berkomunikasi.
Keluarga berusaha untuk menghindari ungkapan-ungkapan
emosi yang bisa mengakibatkan penyakit penderita kambuh kembali.
Dalam hal ini, keluarga diberi informasi tentang cara-cara untuk
mengekspresikan perasaan-perasaan, baik yang positif maupun yang
negatif secara konstruktif dan jelas, dan untuk memecahkan setiap
persoalan secara bersama-sama. Keluarga diberi pengetahuan tentang
keadaan penderita dan cara-cara untuk menghadapinya.

4
V. KESIMPULAN
- Retardasi mental merupakan suatu keadaan penyimpangan tumbuh
kembang seorang anak sedangkan peristiwa tumbuh kembang itu
sendiri merupakan proses utama, hakiki, dan khas pada anak serta
merupakan sesuatu yang terpenting.
- Berdasarkan The ICD-10 Classification of Mental and Behavioural
Disorders, WHO, Geneva tahun 1994 retardasi mental dibagi
menjadi 4 golongan yaitu:
Mild retardation (retardasi mental ringan), IQ 50-69
Moderate retardation (retardasi mental sedang), IQ 35-49
Severe retardation (retardasi mental berat), IQ 20- 34
Profound retardation (retardasi mental sangat berat), IQ <20

DAFTAR PUSTAKA

1. Maslim R, 2001. Buku Saku Diagnosis Gangguan Jiwa Rujukan Ringkas


dari PPDGJ-III. Bagian Ilmu Kedokteran Jiwa FK Unika Atma Jaya,
Jakarta.
2. Maslim R, 2007. Panduan Praktis Penggunaan Klinis Obat Psikotropik
(Psychotropic Medication). Bagian Ilmu Kedokteran Jiwa FK Unika Atma
Jaya, Jakarta.
3. Guze B et al, 1997. Buku Saku Psikiatri Residen Bagian Psikiatri UCLA.
EGC. Jakarta

5
6

Anda mungkin juga menyukai