Anda di halaman 1dari 9

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Secara Sosiologis, konflik (Soekanto, 1996:518) merupakan proses
pencapaian tujuan dengan cara melemahkan pihak lain tanpa memperhatikan norma
dan nilai yang berlaku. Masyarakat tidak lagi memandang nilai-nilai budaya
setempat, kerukunan dan kekeluargaan seakan telah menjadi sejarah masa lalu,
hanya kemenangan dan kekuasaan yang menjadi cita-cita dan roh dalam kehidupan
sehari-hari.
Bagi Nurina (dalam Fisher et.al, 2000), konflik lebih dipandang sebagai
hubungan antara dua pihak atau lebih yang memiliki atau merasa sasaran-sasaran
yang tidak sejalan. Konflik timbul karena adanya ketidak seimbangan antara
kelompok yang satu dengan yang lainnya. Untuk menggambarkan kondisi masing-
masing pihak yang sedang berkonflik, ada beberapa model konflik umum (Pruitt
dan Gahagan dalam Dean dan Jeffery, 2004:200).
Pertama, model agresor-defender. Model ini menarik garis pembeda
diantara kedua pihak yang berkonflik. Istilah ini tidak dimaksudkan sebagai
tindakan evaluatif. Agresor adalah pihak yang melihat adanya kesempatan untuk
mengubah hal-hal yang searah dengan kepentingannya, sedangkan defender adalah
pihak yang berusaha menolak adanya perubahan tersebut.
Kedua, model spiral konflik. Model ini menjelaskan bahwa konflik yang
terjadi merupakan hasil dari sebuah lingkaran setan antara aksi dan reaksi. Di dalam
model ini terjadi balas-membalas (retaliatory), masing-masing pihak menjatuhkan
hukuman kepada pihak lain atas tindakan-tindakannya yang dianggap tidak
menyenangkan. Intinya, tindakan balasan maupun defensif di dalam spiral konflik
akan menimbulkan isu baru mengenai target sebuah tindakan, sehingga
menimbulkan sensasi tentang krisis yang semakin meningkat di dalam benak pihak-
pihak yang berkonflik.
Ketiga, model perubahan struktural. Model ini menjelaskan bahwa konflik
beserta strategi yang digunakannya akan menghasilkan residu. Residu ini berupa
perubahan-perubahan yang terjadi baik pihak yang berkonflik maupun masyarakat

Politik & Pemerintahan Desa| 1


lain di mana mereka tinggal. Perubahan ini dapat meliputi perubahan psikologis,
perubahan dalam kelompok dan kolektif lainnya, dan perubahan dalam masyarakat
di sekeliling pihak yang berkonflik.
Konflik yang terjadi di Desa Ngares berawal dari diadakannya Pilkades di
Desa Ngares, yang pada pelaksanaan pilkades berjalan dengan lancar tetapi pada
perhitungan suara kericuhan mulai terjadi, yang disebabkan oleh banyaknya kartu
suara yang tidak sah. Yang diperparah oleh kurang tegasnya BPD dalam
pengambilan keputusan dalam permasalahan pilkades. Itu terlihat dari keputusan
yang menyatakan menang Ahmad Thohar, padahal kalau surat suara yang sah saja
yang dihitung yang menang adalah Kasiran. Hal ini membuat kedua pendukung
saling menyalahkan satu sama lainnya. Konflik pilkades Ngares tersebut
memberikan dampak yang signifikan bagi perubahan sosio kultural pada
masyarakat setempat dan tingginya solidaritas internal kelompok. Sehingga
cenderung menyalahkan kelompok lain dan membenarkan kelompok sendiri
semakin besar. Karena sebelum terjadinya konflik pilkades, kehidupan masyarakat
Desa Ngares rukun dan berlandaskan gotong royong bagaimana masyarakat
tradisional lainnya.
Konflik pilkades dalam pemilihan kepala desa ngares merupakan akumulasi
dari berbagai kekecewaan yang sudah ada sebelumnya. Dengan diadakan pemilihan
kepala desa, maka menjadi sarana untuk melampiaskan kekecewaan warga
masyarakat yang sudah lama terpendam. Pelaksanaan pemilihan kepala desa
menimbulkan peningkatnya kekecewaan warga masyarakat, karena dalam
pemilihan kepala desa Ngares banyak terjadi kecurangan.

B. Rumusan Masalah
Permasalahan yang akan dibahas pada makalah ini adalah :
a. Apakah yang menjadi Sumber Konflik Pemilihan Kepala Desa Ngares?
b. Bagaimana solusi untuk mengatas konflik tersebut?
C. Tujuan

Politik & Pemerintahan Desa| 2


Tujuan penulisa makalah ini adalah :
a. Untuk mengetahui sumber ari konflik pemilihan Kepala Desa Ngares.
b. Untuk mecahkan solusi yang tepat untuk penyelesaian konflik tersebut.

Politik & Pemerintahan Desa| 3


BAB II

PEMBAHASAN

A. Sumber Konflik Pemilihan Kepala Desa Ngares


Pemilihan Kepala Desa (Pilkades) adalah wajah demokrasi yang sebenarnya.
Jauh lebih baik dari Pemilihan Umum (Pemilu) Legislatif, karena rakyat benar-
benar dapat memberikan pilihannya terhadap calon yang telah dikenal. Oleh karena
itu dalam pilkades yang dilakukan dalam enam tahun sekali ini masyarakat lebih
antusias. Calon yang dipilih biasanya orang yang sudah di kenal oleh masyarakat
desa, atau mungkin masih mempunyai hubungan saudara. Sebagian besar
masyarakat sudah mengetahui karakter calon mereka. Mereka bisa menilai apa
tingkah laku calon kades mereka disengaja atau di buat-buat untuk memenangkan
suara, atau itu memang adalah karakter yang mendasar dari calon mereka.
Pada masyarakat desa kepala desa adalah seorang pemimpin yang akan
menjadikan desa maju ataupun sebaliknya. Mengingat posisinya yang strategis
dalam pengembangan sebuah kawasan posisi kepala desa ini banyak yang
meminati, khususnya calon yang mempunyai cukup dana untuk mendanai masa-
masa kampanye. Hal ini disebabkan terbatasnya anggaran penyelenggaraan
pilkades yang disediakan pemerintah daerah.
Karisma calon kades memamg mampu membuat massa pendukung untuk
mendukung calon kades agar bisa menang dalam pemilihan kepala desa. Ini bukan
tanpa sebab, calon kepala desa berusaha untuk mengambil masa pendukung,
walaupun berbagai macam cara yang dilakukan calon kades. Ada yang merubah
tingkah lakunya biasanya orang itu tidak begitu bermasyarakat tapi karena ada
kepentingan yang diinginkan calon kepala desa pura-pura sering mengikuti kegiatan
yang diadakan di desa atau ada juga calon kades yang memilih jalan pintas dengan
cara membeli suara atau suap.
Bentuk konflik sosial antara massa pendukung calon kades di Desa Ngares
ini adalah fanatisme masyarakat terhadap calon kades yang
menjadi pilihan masyarakat Desa Ngares. Pilkades Ngares hanya di ikuti 2 orang
calon, yakni Kasiran (incumbent) dan Ahmad Thohar. Tingginya intensitas konflik

Politik & Pemerintahan Desa| 4


tidak timbul begitu saja, ada aspek sosial dan budaya yang melatar belakanginya.
Kedua kandidat, Kasiran maupun Ahmad Thohar merupakan tokoh kharismatik
yang cukup berpengaruh dan dijadikan panutan oleh warga setempat. Kedua calon
kades ini memiliki latar belakang yang berbeda yang sama adalah sama-
sama berpengaruh dalam desa dan dijadikan panutan warga desa Ngares salah
satunya adalah Kasiran dimana dia masih menjabat sebagai kepala desa pada
periode 2002 sampai 2008 yang masa jabatannya akan segera berakhir.
Sedangkan Ahmad Thohar mempunyai latar belakang seorang pengusaha makanan
khas trenggalek yaitu alen-alen, dan didukung oleh salah satu kyai yang menjadi
pemilik salah satu pesantren dan sebagai pemuka agama di Desa Ngares Kecamatan
Trenggalek Kabupaten Trenggalek. Sebagian besar masyarakat Trenggalek
khususnya Dusun Ngempleng memondokkan anaknya ke pondok pesantren
tersebut.
Dengan diadakannya Pilkades Ngares ini masyarakat Desa Ngares pecah
menjadi dua kubu pendukung yaitu pendukung Kasiran dan pendukung Ahmad
Thohar. Adanya dua kandidat calon kades tersebut memberikan dampak serius
tentang konflik pilkades pada masing-masing massa pendukung. Salah satu contoh
dari fenomena tersebut adalah pada saat sebelum pilkades para pendukung masing-
masing calon kades adalah bertetangga. Tapikeributan meledak ketika kubu calon
kades yang kalah melampiaskan kekecewaannya. Seperti yang terjadi pada Pilkades
di Desa Ngares, kedua massa pendukung bersikukuh bahwa calon kades
pilihannyalah yang paling cocok untuk menjadi kepala desa, sehingga fanatisme
masyarakat semakin tinggi terhadap masing-masing calon kades. Bahkan para
pendukungnya saling bertengkar dan beradu mulut. Salah satu contoh dari
fenomena tersebut adalah pada saat sebelum pilkades para pendukung masing-
masing calon kades adalah bertetangga..Manifestasi konflik antar massa pendukung
calon kades itu tidak terhenti pada pertengkaran itu saja, tetapi
berkesinambungan Semakin hari, intensitas konflik itu semakin meninggi, itu
terlihat dari terpolarisasinya kedua kubu, para pendukung Kasiran menaruh dendam
pada para pendukung Ahmad Thohar. Meski di permukaan seakan tenang, tidak ada

Politik & Pemerintahan Desa| 5


konflik terbuka (laten), tapi di dalam, dendam itu seakan menunggu untuk
disalurkan. Fenomena konflik antar massa pendukung calon kades menjadi sebuah
bentuk konflik, ketika kedua belah pihak saling melemahkan, ancaman dan
intimidasi seakan menjadi hantu yang menakutkan bagi pendukung kedua belah
pihak. Tidak ada lagi keluarga, keluarga hanya bagi kelompok sendiri, yang tidak
sepemahaman, mendukung kandidat lain, bukan keluarga sebagai refleksi
perlawanan dan rasa permusuhan diantara mereka. Yang sekaligus terlihat pecahnya
masyarakat Desa Ngares menjadi dua kubu pendukung calon kades, baik dalam
melaksanakan rutinitas sehari-hari bersama-sama, dengan adanya pilkades hal itu
sudah tidak dilakukan lagi malah saling mencaci maki karna perbedaan pilihan
tersebut.
Puncak terjadinya konflik di Desa Ngares adalah pada saat perhitungan surat
suara. Ada banyak surat suara yang tidak sah (tidak bertanda tangan dan
bersetempel panitia). Massa pendukung calon kades mulai ricuh menuntut
dihentikannya perhitungan surat suara. Sehingga ketua panitia pilkades memutuskan
untuk menghentikan perhitungan surat suara karna dianggap keadaan pada saat itu
sudah mulai kurang terkendali walaupun tidak ada bentrokan fisik antar kedua
pendukung.
Keberadaan konflik yang diakibatkan oleh Pilkades Ngares ini bersumber
pada masing-masing calon kades dalam memperoleh massa pendukung masing
masing. Masing-masing mengklaim dirinyalah dan pilihannyalah yang paling benar
tampa dilandasi toleransi sehingga terjadilah konflik pilkades. Konflik dipicu oleh
banyaknya kertas suara yang tidak sah sehingga pendukung saling mengejek satu
sama lain yang berpotensi terhadap munculnya perpecahan antar kedua pendukung
calon kades. Puncak konflik tersebut terjadi ketika Kasiran dinyatakan menang oleh
panitia pilkades Ngares tetapi pendukung calon kades Ahmad Thohar tidak terima
kalau calonnya kalah dikarenakan banyaknya kertas suara yang tidak sah. Sehingga
pihak Ahmad Thohar melakukan protes dan mengintimidasi panitia, kemudian
dilakukan penghitungan ulang tanpa sepengetahuan kandidat incumbent.
B. Solusi untuk menyelesaikan konflik di desa Ngares

Politik & Pemerintahan Desa| 6


Suatu konflik tidak perlu dihindari,sebab konflik tidak boleh diakatakan
selalu tidak baik atau memecah belah. Dengan demikian maka konflik tidak harus
dipahami sebagai suat hal yang merusak dan mengarah pada perpecahanseperti yang
ditegaskan ritzer dalam soeprapto(2007:38)memahami konflik memahami konflik
sebagai alat untuk memelihara solidaritas;membantu menciptaka aliansi dengan
kelompok lain.karena dalam setiap bentuk masyarakat selalu dimungkinkan terjadi
konflik maka sisitim sosial masyarakat itu harus dilengkapi dengan lembaga katub
penyelamat (safety value)menjadi salah satu alat yang dapat digunakan untk
mempertahankan kelompok dari kemungkinan konflik sosial. Katub penyelamat
dipandang merupakan bagian mekanisme kontrol soial yang secara spesifik
bertindak memberikan saluran konflik dan mencegah konflik yang lebih besar.
Menurut Soekanto (1999:231) struktur katub penyelamat adalah sebuah pranata
yang memberikan saluran rasa permusuhan dan mencegah konflik. Katub
penyelamat seabagai salah satu jalan ntuk meredakan permusuhan yang tanpa itu
hubungan-hubungan diantara pihak-pihak yang bertentangan akan semakin jauh.
Disamping itu bisa juga menjalankan fungsi positif untuk mengatur konflik.
Konflik ini terjadi karena adanya kesalahan administrasi panitia yang tidak
memberikan staple kertas suara sehingga menimbulkan konflik , jadi untuk
memecahkan masalah konflik tersenut senaiknya pihak panitia itu sendiri
menggulang proses pemungutan suara agar adil.

BAB III

PENUTUP

Politik & Pemerintahan Desa| 7


A. Kesimpulan
Konflik pilkades dalam pemilihan kepala desa ngares merupakan akumulasi
dari berbagai kekecewaan yang sudah ada sebelumnya. Dengan diadakan pemilihan
kepala desa, maka menjadi sarana untuk melampiaskan kekecewaan warga
masyarakat yang sudah lama terpendam. Pelaksanaan pemilihan kepala desa
menimbulkan peningkatnya kekecewaan warga masyarakat, karena dalam
pemilihan kepala desa Ngares banyak terjadi kecurangan.
Konflik pilkades yang terjadi di Desa Ngares merupakan akibat dari
kombinasi faktor Struktural dan faktor Psikologis. Secara struktural adalah struktur
yang memberikan peluang kepada salah satu calon dengan memberi fasilitas dan
menyalahgunakan wewenang, sehingga dapat menguntungkan salah satu calon
kades. Hal ini dapat dibuktikan dengan tindakan panitia pilkades yang tidak
melaksanakan aturan sesuai dengan peraturan yang berlaku. Secara psikologis
adanya perasaan kecewa yang mendalam karena adanya perlakuan yang tidak adil
kepada sesama kelompok dalam masyarakat Desa Ngares. Hal ini Nampak pada
perhitungan suara, sehingga merugikan salah satu kelompok calon kadesa dan
pendukungnya.

B. Saran
Harapannya, ke depan Pilkades bisa berjalan baik, demokratis, jujur dan
adil. Masih banyak persoalan di desa yang butuh pemikiran bersama, daripada beda
pendapat yang berlebihan dalam menentukan Kades. Pemberdayaan petani,
mengembangkan hasil produksi pertanian, peningkatan kesejahteraan perangkat,
optimalisasi lahan, kesejahteraan masyarakat yang kurang mampu, merupakan
sebagian dari permasalahan di desa yang masih perlu mendapat perhatian. Kita telah
berpengalaman dalam Pilkades tahun 2008, sehingga pemilihan pilkades yang
mendatang tidak terjadi konflik lagi.

DAFTAR PUSTAKA

Nurcholis, Hanif.2011. Pertumbuhan & Penyelenggaraan Pemerintah Desa. Jakarta :


Erlangga

Politik & Pemerintahan Desa| 8


Widarta. I. 2005. Pokok Pokok Pemerintah Daerah. Yogyakarta: Pondok Edukasi

Undang Undang No. 6 Tentang Desa

Undang undang No. 32 Tahun 2004 Tentang Pemerintah Daerah

Refrensi Internet :

http://wijayantoaribowo.blogspot.co.id/2011/10/konflik-pilkades.html

http://tugasmpkih.blogspot.co.id/2013/04/pilkades-pemilihan-kepala-desa.html

Politik & Pemerintahan Desa| 9

Anda mungkin juga menyukai