Anda di halaman 1dari 3

Penyimpangan Makna Tradisi Berdarah : Lebih Baik Mati

Daripada Menanggung Malu


Apa persepsi anda mengenai tradisi yang mempertaruhkan nyawa demi harkat-martabat, harga
diri, dan menjadi jagoan kampung? Begitulah kiranya tradisi yang tak lapuk oleh hujan, tak
lekang oleh panas di daerah saya. Daerah dengan masyarakat yang dikenal dengan Tionghoa
versi lokal–karena gemar merantau–memiliki tradisi yang unik dan ekstrem. Tradisi ini sering
diadakan ketika pemilihan kepala desa. Namun, tradisi tersebut dapat dimulai apabila terdapat
kubu dalam pemilihan yang tidak terima atas kekalahannya. Tidak hanya kekalahan dalam
pilkades, terdapat banyak alasan mereka untuk memulai tradisi ini, misalnya perebutan tanah
warisan, kalah dalam lomba, kalah taruhan, istri selingkuh, anak dipukuli orang, dan masih
banyak lagi alasan yang tidak bisa saya sebutkan semuanya. Intinya bila mereka merasa harga
dirinya diinjak oleh orang lain, maka tradisi ini dapat diselenggarakan.

Uniknya lagi, apabila berkaca terhadap beberapa tradisi di Indonesia, dalam menyelenggarakan
sebuah tradisi dibutuhkan dana dan mungkin waktu untuk mempersiapkannya. Misalnya, tradisi
upacara ngaben di bali yang membutuhkan dana 30-100 juta dan 3-7 hari waktu untuk persiapan
sampai acara selesai, atau tradisi santet juga membutuhkan dana 1-2 juta untuk membayar jasa
dukun, dan masih banyak yang lain. Namun, untuk menyelenggarakan tradisi ini hanya
bermodalkan tekad dan sebilah celurit tajam–kadang-kadang perlu ilmu kebal.

Durasi penyelenggaraannya sangat lama sampai turun-temurun, dan akan berhenti ketika
terdapat generasi yang sadar dan berdamai. Contohnya terdapat dua orang yang melakukan
tradisi ini, yaitu si A dan si B, kemudian si B mati, maka keluarga si B akan balas dendam,
apabila keluarga si B berhasil balas dendam terhadap si A, maka berganti keluarga si A yang
balas dendam terhadap keluarga si B, begitulah seterusnya.

Lalu, bagaimana SOP penyelenggaraan tradisi ini? Untuk memudahkan pemahaman mengenai
SOP dalam penyelenggaraan tradisi, saya akan berbagi pengalaman saya menyaksikan
penyelenggaraan tradisi ini.

Pengalaman Pribadi
Pada tahun 2020 disaat Covid-19 melanda seluruh dunia, di desa saya sedang menyelenggarakan
pemilihan ketua desa. Pemilihan diikuti oleh tiga calon yang bertanding, tetapi hanya dua yang
memiliki suara cukup berimbang. Kebetulan salah satu calon kades merupakan paman saya.
Singkat cerita, sampailah dalam perhitungan suara yang disaksikan ratusan masyarakat yang
hampir memenuhi lapangan. Surat suara mulai dihitung, dua nama calon—salah satu calon
adalah paman saya—saling silih berganti disebutkan, perolehan suara saling kejar-mengejar
dengan perbedaan yang sangat tipis. Namun, ketika paman saya unggul jauh, kubu lawannya
mulai memantik melakukan tradisi. Celurit diangkat dengan sorakan keras “Siap-siap banjir
darah” dari seorang oknum kubu lawan. Kubu paman saya sudah bersiap dengan celurit mereka
yang dipegang erat. Untungnya terdapat polisi yang bertugas di sana sehingga kedua kubu
berpikir dua kali untuk menyerang dahulu.

Mulai memasuki menit-menit menuju surat suara terakhir, jumlah suara paman saya sudah
disalip oleh kubu lawan. Pada akhirnya, paman saya kalah dengan jarak perolehan suara yang
cukup jauh. Namun, kekalahan ini justru menjadi hikmah bersama. Apabila si kubu lawan kalah,
mereka akan mengangkat celurit untuk memulai tradisi dan mungkin mengabaikan pihak polisi.
Alasannya karena kubu lawan sudah mengorbankan banyak harta supaya terpilih. Kemenangan
merupakan harga mati bagi mereka sehingga kekalahan akan memantik amarah mereka.

Berdasarkan cerita pengalaman saya, bisa dibilang tradisi ini dapat dimulai dengan adanya
pemantik dari salah satu kubu. Jika kubu yang lain merespon pemantik tersebut, maka tradisi
akan berlangsung sampai ada yang bisa memisahkan atau terdapat yang meninggal. Terdapat 2
faktor penyebab gagalnya penyelenggaraan tradisi dalam cerita saya, yaitu pihak polisi dan
kemenangan kubu pemantik.

Tradisi ini pada dasarnya berkaitan dengan harga diri, namun seiring waktu digunakan sebagai
alat penyalur kepentingan. Bila ditelaah lagi, SOP tradisi dalam cerita saya seperti suporter yang
tidak terima timnya kalah. Kedengarannya memang kurang elegan, namun apabila melihat
sejarahnya, tradisi tersebut lebih elegan dan menyiratkan konsep nilai moral kehidupan
masyarakat di sana.

Sejarah Tradisi
Tradisi ini muncul di zaman penjajahan Belanda, yaitu pada abad-18 M. Terbentuknya tradisi
bertujuan untuk merusak citra Sakera. Sakera merupakan pemimpin perlawanan terhadap
penjajahan yang identik dengan senjata celurit. Belanda yang melihat banyaknya pengikut dari
Sakera merasa terancam. Untuk mengurangi jumlah pengikut Sakera, Belanda menghasut rakyat
untuk menggunakan celurit setiap ada pertengkaran. Upaya tersebut rupanya berhasil merasuki
sebagian masyarakat dan menjadi falsafah kehidupannya.

Meskipun tradisi ini merupakan tradisi bentukan Belanda, tradisi ini masih terbilang tradisi yang
memiliki moral. Terdapat nilai-nilai moral masyarakat yang masih terkandung di dalamnya.
Sebelum memutuskan melakukan tradisi ini, terdapat beberapa tahapan moral yang berlaku.
Falsafah yang terkenal di zaman sekarang hanya “angon pote tolang, ketembeng pote’ matah”
yang bermakna lebih baik mati dari pada menanggung malu. Namun, terdapat falsafah yang
dilupakan di masa sekarang, yaitu “mon hedeh nadde’, engkok tojuk ah, mon hedeh toju’,
engkok napangah’, mon nkok le napang keng gik eyeddek bik hedeh, ejiyah keputusen carok
eyocol” yang bermakna keputusan melakukan tradisi ini muncul ketika seseorang tidak dihargai
atau diperlakukan buruk oleh orang lain, meskipun sudah sabar dan mengalah berkali-kali.
Sebelum bertarung, keduanya melakukan perjanjian satu sama lain mengenai tempat dan waktu
sebelum bertarung.

Melihat sejarah di atas, dapat disimpulkan bahwa tradisi ini mengalami perubahan pemaknaan.
Saat ini, nilai-nilai moral dalam tradisi ini mulai memudar dalam kehidupan masyarakat.
Masyarakat memaknai tradisi ini hanya sebagai ajang menjadi jagoan, menyalurkan kepentingan,
dan cara yang utama dalam menyelesaikan masalah. Padahal, tradisi ini merupakan keputusan
terakhir dari sebuah permasalahan. Seharusnya masyarakat di sana kembali dengan nilai moral
mereka, dimana adab dan etika serta kesabaran di utamakan daripada amarah. Lebih baik lagi,
tradisi ini diganti dengan tradisi yang lebih mengutamakan penyelesaian secara kekeluargaan.
Seperti kata-kata Menander “Budaya membuat semua orang lembut” sehingga budaya/tradisi
tersebut tidak perlu dilestarikan karena menjadikan masyarakat bersikap kasar yang memicu
perpecahan antar masyarakat.

Referensi:

A. Latief Wiyata. (2002). Carok: Konflik kekerasan dan harga diri orang Madura. kis Pelangi
Aksara

Binti Nur Asiyah, & Darmawan Muttaqin. (2021b). Aspek-Aspek Psikologis dalam Budaya
Carok. Jurmal Insight Fakultas Psikologis Universitas Muhammadiyah Jember , 17(2),
392–402. https://doi.org/10.32528/ins.v17i2.2059

Bustami, A. L. (2014). Carok: Konflik kekerasan dan harga diri orang Madura. Antropologi
Indonesia.

Anda mungkin juga menyukai