PENDAHULUAN
perdamaian dalam masyarakat, khususnya masyarakat Mamasa. Tradisi ini secara turun
temurun diyakini dan terbukti sebagai sarana yang dapat mempertemukan berbagai pihak untuk
membicarakan konfik secara damai. Pihak yang berkonflik dalam masyarakat akan dimediasi
oleh para tokoh adat untuk menghentikan konflik dan membangun perdamaian. Hasil mediasi
diwujudkan dalam tindakan ritual sebagai upaya membangun damai yang berkelanjutan dalam
masyarakat. Perdamaian dilakukan dengan cara musyawarah mufakat yang dihadiri oleh tokoh
damai yang dicapai. Perdamaian dibangun berdasar pada falsafah Ada’ Tuo, yakni penyelesaian
masyarakat. Beberapa tokoh adat masyarakat Mamasa mengatakan bahwa semua proses damai
yang dilakukan di Mamasa dilakasanakan berdasar pada Ada’ Tuo.1 Falsafah Ada’ Tuo
mengembangkan penyelesaian masalah secara demokratis dan berkeadilan. Setiap pihak dalam
penyelesaian masalah diberikan kesempatan yang sama untuk menyampaikan peristiwa konflik
serta mencari solusi yang dapat diterima dan mendamaikan semua pihak.
1
Hasil Wawancara dengan bp. David sebagai tokoh adat Rambusaratu’ pada tanggal 18 Agustus 2018
di Rambusaratu’. Hasil Wawancara dengan bp. Maurids Genggong sebagai tokoh adat Tawalian pada tanggal 20
Agustus 2018 di Tatale. Wawancara dengan bp. Matasak sebagai tokoh adat Sesenapadang pada tanggal 21
Agustus 2018 di Kole.
1
Perdamaian yang dibangun di dalam tindakan Ritual Mebulle Bai adalah perdamain
yang dapat memulihkan hubungan damai berbagai pihak, yakni pihak yang berkonflik,
keluarga dan masyarakat. Pihak yang dirugikan dalam konflik, dipulihkan harkat dan
martabatnya melalui tindakan ritual oleh pihak yang dianggap bersalah. Sebaliknya, pihak yang
bersalah bertanggung jawab memulihkan hubungan dengan menyadari kesalahan yang terjadi
dalam konflik. Dengan kesadaran seperti ini, sesungguhnya pihak yang bersalah dalam konflik
juga dilepaskan dari berbagai pergumulan dan beban batin akan konflik yang terjadi. Hubungan
yang tegang karena konflik, dipulihkan melalui tindakan ritual yang berpengaruh besar
Bentuk pemulihan damai dalam tindakan ritual Mebulle Bai terkadang tidak dijumpai
dalam proses perdamain yang dilakukan melalui lembaga kepolisian dan peradilan.
Perdamaian yang dibangun melalui lembaga formal, seperti lembaga kepolisian dan peradilan
terkadang hanya bersifat sementara, menyimpan dendam dan permusuhan berkelanjutan dalam
masyarakat. Karena itu, tindakan Ritual Mebulle Bai sebagai kearifan lokal masyarakat
Mamasa, mestinya dikaji lebih dalam sebagai salah satu alternatif untuk membangun
Sejauh ini, kajian tentang ritual adat Mamasa masih sangat minim. Beberapa penelitian
tentang adat dan ritual tetapi lebih pada ritual berburu kepala, ritual naik pohon baranak, ritual
kesuburan, ritual kelahiran, ritual pernikahan dan ritual kematian.2 Penelitian lain, dilakukan
oleh Aguswati Hildebrandt Rambe secara khusus menguraikan ritual kematian dan kedukaan
di Mamasa.3 Studi terbaru dilakukan oleh Rambalangi, tetapi sebatas mengkaji tentang fungsi
2
Kees Buijs, Agama Pribadi dan Magi di Mamasa, Sulawesi Barat: Mencari Kuasa Berkat dan Dunia
Dewa-dewa (Makassar: Ininnawa, 2017), 75-121.
3
Aguswati Hildebrandt Rambe, Keterjalinan dalam Keterpisahan: Mengupayakan Teologi Interkultural
dari Kekayaan Simbol Ritus Kematian dan Kedukaan di Sumba dan Mamasa (Makassar: Yayasan Oase INTIM,
2014).
2
lembaga adat dalam pembangunan Kecamatan Tawalian Kabupaten Mamasa. 4 Setelah
memeriksa berbagai tulisan tentang budaya dan ritual di Mamasa, penulis tidak menemukan
penjelasan secara terperinci tentang ritual adat yang digunakan dalam membangun perdamaian.
Sampai sekarang kajian tentang Ritual Mebulle Bai masih merupakan wilayah kosong yang
sesungguhnya dapat dieksplorasi dalam membangun perdamaian. Karena itu, tulisan ini
dimaksudkan untuk mengkaji lebih jauh tentang peran ritual adat Mebulle Bai dalam
membangun perdamaian. Lisa Schrich dalam buku, ‘Ritual and Symbol in Peacebuilding’
mengatakan bahwa dengan ritual, setiap pihak akan mampu membentuk hubungan dan
Ritual adat Mebulle Bai merupakan tradisi yang masih bertahan, di tengah keberagaman
kekayaan, sisi lain tak jarang mengakibatkan konflik. Novri Susan dalam buku, ‘Negara Gagal
Mengelola Konflik’ mengatakan bahwa konsekuensi dari masyarakat majemuk adalah berada
pada relasi-relasi konflik.6 Perbedaan persepsi, makna, dan kepentingan dalam relasi sosial
dapat menyebabkan konflik. Konflik bukan lagi sebagai barang asing di tengah-tengah
masyarakat, melainkan hal biasa yang terjadi dalam berbagai relasi sosial. Menurut Pruitt dan
Rubin dalam bukunya, ‘Teori Konflik Sosial’ konflik bukan hanya perkelahian, peperangan
atau perjuangan (secara fisik) tetapi konflik dapat berarti persepsi mengenai perbedaan
kepentingan atau suatu kepercayaan bahwa aspirasi pihak-pihak yang berkonflik tidak dapat
4
Rambalangi, Eksistensi Lembaga Adat dalam Pembangunan Kecamatan Tawalian Kabupaten Mamasa:
Suatu Studi di Kecamatan Tawalian Kabupaten Mamasa Propinsi Sulawesi Barat, Jurnal Eksekutif, Vol. 1 No.
1, 2018.
5
Lisa Schrich, Ritual and Symbol in Peacebuilding (America: Kumarin Press, 2005), 3-13.
6
Novri Susan, Negara Gagal Mengelola Konflik: Demokrasi dan Tata Kelola Konflik di Indonesia
(Yogyakarta: Pustaka Belajar, 2012), 4.
7
Dean G.Pruitt dan Jeffrey Z.Rubin, Teori Konflik Sosial (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2011), 9-10.
3
Konflik merupakan bagian integral dalam kehidupan manusia, pribadi dan kelompok.
Konflik dapat terjadi dalam diri seseorang karena kebutuhan dan keinginan tidak dapat
tercapai, sementara konflik kelompok terjadi karena dalam pencapaian tujuan tertentu,
kelompok lain dianggap sebagai saingan atau penghalang pencapaian tujuan. Peristiwa konflik
terjadi di mana-mana, mulai dari kota-kota besar sampai desa sekalipun. Konflik kadang terjadi
konflik. Konflik terjadi bukan hanya dalam bentuk perkelahian atau benturan secara fisik,
tetapi juga karena perbedaan persepsi. Secara fisik, beberapa konflik terjadi pada tahun 2017
melibatkan individu dan kelompok sosial dalam masyarakat. Pengeroyokan seorang warga
Mamasa oleh sekitar 10 oknum anggota polisi polres Mamasa, mengakibatkan korban dirujuk
ke rumah sakit Polewali karena dalam keadaan tidak menyadarkan diri.8 Kasus lain, pertikaian
dua kelompok pemuda di kota Mamasa pada malam natal 2017, mengakibatkan empat orang
terluka akibat tusukan barang tajam.9 Sementara konflik karena perbedaan persepsi terjadi,
antara lain; demonstrasi ratusan warga kecamatan Sesena Padang akibat tulisan seorang
Pendeta Gereja Toraja Mamasa (GTM) dalam buku, ‘Menilai Zaman’, yang diterbitkan pada
hari ulang tahun GTM ke-70 yang dianggap menista adat.10 Kenyataan konflik sosial
masyarakat Mamasa, tidak selamanya memberi dampak positif bagi masyarakat. Secara negatif
konfik berakibat pada rusaknya relasi kemanusiaan, yakni relasi kekeluargaan dalam
masyarakat. Hal ini, semakin parah ketika tata cara penyelesaian konflik tidak memperhatikan
8
https://regional.kompas.com/read2017/06/21/08320831/warga.mamasa.kritis.dikeroyok.oknum.polisi.
9
Bangka.tribunnews.com/2017/12/26/malam-natal-dua-kelompok-pemuda-bertikai-4-dilarikan-ke-
rumah-sakit.
10
https://www.Cakrawala.co/2017/08/12/dianggap-nistakan-adat-pendeta-demo-warga.
4
Selama ini, tata cara penyelesaian konflik dalam masyarakat Mamasa, cenderung
pengelolaan konflik secara adat dengan menggunakan ritual sebagai tindakan simbolis yang
penanganan konflik dengan menggunakan lembaga kepolisian dan peradilan. Menurut Sarah
Sambolayuk, masyarakat Mamasa memiliki kearifan lokal dalam proses penyelesaian masalah,
yakni tindakan ritual yang mengutamakan musyawarah mufakat, tetapi dalam kenyataannya
masyarakat atau generasi kadang terlalu cepat membawa persoalannya kepada kepolisian dan
mufakat. Jeffrey Alexander dalam buku, ‘The Civil Sphere’, mengatakan bahwa undang-
undang biasanya hanya diperlakukan sebagai sarana untuk mendapatkan beberapa kepentingan
ekonomi atau tujuan politik, bukan sebagai sarana untuk membangun solidaritas sipil.12
berkelanjutan. Akibatnya adalah permusuhan dan rasa dendam, terkadang tetap terpatri dalam
diri dan hati mereka yang berkonflik. Hubungan kekeluargaan dalam masyarakat menjadi
lemah, bahkan rusak sebagai akibat penyelesaian masalah yang hanya mengedepankan aturan
dan hukuman. Berbeda dengan tata cara adat yang memberi ruang bagi semua pihak,
membicarakan konflik dan penyelesaian konflik secara damai. Tata cara adat yang dimaksud
adalah tindakan Ritual Mebulle Bai yang diyakini dapat membangun perdamaian dari berbagai
Berbagai konflik yang sering terjadi dalam masyarakat membutuhkan penanganan yang
dapat membangun relasi baru dalam perdamaian. Relasi pasca konflik sangat ditentukan oleh
11
Wawancara dengan Sarah Sambolayuk, sebagai tokoh adat Sesena Padang, 19 Agustus 2018 di Sesena
Padang.
12
Jeffrey Alexander, The Civil Sphere (New York: Oxford University Press, 2006), 6.
5
pendekatan terhadap konflik. Pendekatan adat melalui ritual merupakan pendekatan yang
relevan karena dekat dengan masyarakat. Ritual Mebulle Bai sebagai salah satu kearifan lokal
masyarakat Mamasa sangat penting untuk didalami dan dieksplorasi untuk penyelesaian
konflik, membangun perdamaian. Karena itu, pendalaman terhadap ritual menggunakan buku
Lisa Schirch, ‘Ritual and Symbol in Peacebuilding’.13 Buku ini memberikan penjelasan tentang
bagaimana ritual dan symbol dapat digunakan dalam membangun perdamaian. Schrich
mengatakan bahwa dengan ritual, setiap pihak akan mampu membentuk hubungan dan
membangun landasan untuk berkomunikasi tentang isu-isu yang lebih penting. Ritual
transformasi dalam ruang sosial yang unik. Teori lain yang mendukung analisis Ritual Mebulle
Bai sebagai kearifan lokal masyarakat Mamasa, menggunakan teori Catherine Bell, dalam
bukunya ‘Ritual Persfektive Dimensions’. Bell, mengungkap ritual sebagai proses dinamis
yang mengikuti pergerakan konteksnya.14 Bagi Bell, ritual tidak bisa dipahami terlepas dari
konteksnya. Konteks merupakan bangunan ritual. Teori Bell, relevan digunakan dalam Ritual
Mebulle Bai karena masyarakat Mamasa memiliki konteks tersendiri sebagai masyarakat adat
Selanjutnya, pendalaman terhadap Ritual Mebulle Bai sebagai ruang bersama, penulis
menggunakan teori Jeffrey C. Alexander dalam buku, ‘The Civil Sphere’ yang berbicara
tentang ruang sipil sebagai ruang bersama dalam membangun masyarakat yang demokratis dan
berkeadilan.15 Alexander yakin bahwa ada struktur kultural di dalam hati orang-orang yang
hidup di dunia demokrasi. Struktur itu lahir dari solidaritas sosial, yakni perasaan bagi orang
lain tanpa memandang latar belakang agama, suku, budaya dan ras. Masyarakat tidak
diperintah oleh kekuasaan semata dan tidak hanya didorong oleh pengejaran kepentingan
13
Schich, Ritual and Symbol in Peacebuilding (America: Kumarin Press, 2005).
14
Catherine Bell, Ritual Perspective Dimensions (New York: Oxford University Press, 1997), 233-251.
15
Alexander, The Civil Sphere ( (New York: Oxford University Press, 2006).
6
pribadi, tetapi yang penting adalah solidaritas. Dengan solidaritas, keadilan dan hubungan
sosial terbangun dengan baik dan inkusif. Karena itu, dibutuhkan konsep baru masyarakat sipil
sebagai lingkaran sipil, dimensi nilai dan institusi yang menghasilkan kapasitas untuk kritik
sosial dan integrasi demokrasi pada saat bersamaan. Nilai keadilan dan integrasi dapat
ditemukan dalam masyarakat melalui tindakan simbolis dalam ritual. Bagi Alexander, gerakan
sosial berpegang pada komunitas simbolis. Dengan demikian Ritual Mebulle Bai disebut
sebagai ruang bersama karena membuka ruang bagi semua pihak, tanpa memandang latar
belakang agama, suku, budaya, ras dan status sosial dalam masyarakat. Seain itu, Ritual
Mebulle Bai juga mengandung nilai solidaritas kemanusiaan, yakni keadilan, kesetaraan dan
kerendahan hati.
masyarakat adat memiliki kearifan lokal yang dapat dieksplorasi dalam membangun
perdamaian bagi semua pihak. Dengan demikian tulisan ini diberi judul, RITUAL MEBULLE
MASYARAKAT MAMASA.
Berdasarkan pada uraian latar belakang di atas, maka beberapa masalah dapat
7
3. Penyelesaian konflik di Mamasa cenderung menggunakan pendekatan
tindakan ritual.
terkadang bersifat sementara dan tidak memberi kepuasan bagi pihak yang
berkonflik.
Berdasar pada identifikasi masalah di atas, penulis membatasi diri pada penyelesaian
konflik sosial masyarakat Mamasa yang cenderung menggunakan lembaga kepolisian dan
peradilan, ketimbang pendekatan adat yang mengedepankan musyawarah adat dalam tindakan
Bagaimana Ritual Mebulle Bai sebagai ruang bersama dalam penyelesaian konflik
Adapun tujuan penelitian yang hendak dicapai dalam tulisan ini adalah
mendeskripsikan dan menganalisis Ritual Mebulle Bai sebagai ruang bersama penyelesaian
Berdasarkan tujuan penelitian yang hendak dicapai, maka penelitian ini diharapkan
mempunyai manfaat bagi semua pihak yang ingin mendalami tentang ritual adat Mebulle Bai
sebagai kearifan lokal masyarakat Mamasa dalam membangun perdamaian. Menurut Usman
8
& Purnomo, manfaat penelitian terbagi menjadi manfaat penelitian secara teoritis dan secara
praktis.16 Dengan demikian, manfaat penelitian yang hendak dicapai adalah sebagai berikut:
pendalaman tentang betapa pentingnya menggunakan kearifan lokal dalam proses penyelesaian
masalah atau konflik dalam masyarakat. Kearifan lokal merupakan kekayaan masyarakat
setempat yang dapat dieksplorasi untuk membangun perdamaian, sebab lebih dipahami dan
dekat serta tumbuh dalam masyarakat. Selain itu, penelitian ini juga diharapkan dapat menjadi
referensi bagi berbagai pihak untuk mengkaji lebih jauh tentang berbagai kearifan lokal
masyarakat Mamasa. Mengingat sampai pada saat ini, masih sangat minim kajian tentang adat
masyarakat Mamasa.
Secara praktis, penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat bagi pemerintah, gereja dan
masyarakat setempat. Bagi pemerintah diharapkan kajian ini dapat menjadi rujukan dalam
membangun perdamaian dalam masyarakat. Selain itu, dapat juga menjadi salah satu landasan
kurikulum dalam menata pendidikan yang berbasis pada kearifan lokal masyarakat Mamasa.
Bagi gereja secara khusus, penelitian ini diharapkan dapat menjadi rujukan dalam rancang
bangun teologi lokal yang memberdayakan masyarakat melalui kekayaan budaya yang ada.
Sedangkan bagi masyarakat, penelitian ini diharapkan dapat menjadi pendalaman bersama
untuk menyelesaikan konflik secara damai melalui pendekatan ritual adat yakni tindakan Ritual
Mebulle Bai.
16
Husini Usman & Purnomo, S.A. Metodologi Penelitian Sosial (Jakarta: Bumi Aksara, 1997), 31.
9
deskriptif berupa kata-kata tertulis atau lisan dari orang-orang dan pelaku yang diamati.17
Karena itu, penulis akan mendeskripsikan dan menganalisis Ritual Mebulle Bai sesuai dengan
Penelitian ini, dilakukan di wilayah sekitar ibu kota Kabupaten Mamasa, yakni wilayah
pemerintahan Kecamatan Mamasa. Data diperoleh melalui metode observasi, wawancara, dan
pertanyaan yang bersifat terbuka.18 Wawancara dilakukan bagi sejumlah informan yakni tokoh
adat, tokoh masyarakat, pemerintah desa dan pelaku ritual. Para tokoh adat adalah sejumlah
orang yang memiliki pengetahuan dan pengalaman yang cukup tentang pelaksanaan Ritual
Mebulle Bai. Mereka selalu terlibat langsung dalam berbagai penyelesaian masalah atau
Selain wawancara, penulis juga melakukan studi pustaka terhadap buku-buku yang
terkait dengan pokok penelitian. Studi ini dilakukan, guna memperoleh landasan teori dalam
memahami pokok penelitian. Data yang diperoleh, dianalisis melalui beberapa langkah, yakni;
reduksi data, penyanyian data, dan kesimpulan.19 Reduksi data yang dimaksud adalah
menggolongkan dan memilih data yang penting untuk memberikan gambaran yang jelas
tentang pokok penelitian. Kemudian data yang direduksi, disajikan dalam bentuk uraian singkat
dan dibangun dalam hubungan dengan yang lain. Terakhir, kesimpulan sebagai hasil analisis
data yang diperoleh melalui penelitian kwalitatif. Dengan demikian, tulisan ini berkesimpulan
bahwa Ritual Mebulle Bai sebagai salah satu kearifan lokal masyarakat Mamasa, memiliki
17
Lexy J. Moelong, Metodologi Penelitian Kualitatif (Bandung: PT.Remaja Rosda, 1994), 4.
18
John W Creswell, Research Design: Pendekatan Kualitatif, Kuantitatif, dan Mixed (Yogyakarta:
Pustaka Pelajar, 2016), 254
19
Sugiyono, Memahami Penelitian Kwalitatif (Bandung: Alfabeta, 2012), 343-345.
10
makna sosial yang dapat membangun relasi kemanusiaan. Makna sosial yang dimaksud adalah
BAB I Bab ini membahas pendahuluan yang meliputi latar belakang, identifikasi
BAB II Bab ini membahas tentang kajian teori yang digunakan, yakni ritual, simbol,
BAB III Bab ini membahas hasil penelitian yang meliputi gambaran umum masyarakat
Dalam hal mekanisme pelaksanaan Ritual Mebulle Bai dibagi atas proses
BAB IV Bab ini berisi analisis tentang Ritual Mebulle Bai sebagai ruang bersama
BAB V Bab ini merupakan bab penutup yang berisi kesimpulan dan saran.Kesimpulan
bahwa Ritual Mebulle Bai sebagai kearifan lokal masyarakat Mamasa dapat
menjadi ruang bersama dalam penyelesaian konflik sosial yang sering terjadi
di Mamasa.
11