Anda di halaman 1dari 11

BAB I

PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang


Ritual Mebulle Bai merupakan salah satu tradisi yang dilakukan untuk membangun

perdamaian dalam masyarakat, khususnya masyarakat Mamasa. Tradisi ini secara turun

temurun diyakini dan terbukti sebagai sarana yang dapat mempertemukan berbagai pihak untuk

membicarakan konfik secara damai. Pihak yang berkonflik dalam masyarakat akan dimediasi

oleh para tokoh adat untuk menghentikan konflik dan membangun perdamaian. Hasil mediasi

diwujudkan dalam tindakan ritual sebagai upaya membangun damai yang berkelanjutan dalam

masyarakat. Perdamaian dilakukan dengan cara musyawarah mufakat yang dihadiri oleh tokoh

adat, tokoh agama, pemerintah, keluarga, dan kedua belah pihak.

Kehadiran berbagai pihak dalam membicarakan konflik, sangat menentukan proses

damai yang dicapai. Perdamaian dibangun berdasar pada falsafah Ada’ Tuo, yakni penyelesaian

masalah yang mengedepankan nilai-nilai kemanusiaan, tanpa mengorbankan seseorang atau

masyarakat. Beberapa tokoh adat masyarakat Mamasa mengatakan bahwa semua proses damai

yang dilakukan di Mamasa dilakasanakan berdasar pada Ada’ Tuo.1 Falsafah Ada’ Tuo

mengembangkan penyelesaian masalah secara demokratis dan berkeadilan. Setiap pihak dalam

penyelesaian masalah diberikan kesempatan yang sama untuk menyampaikan peristiwa konflik

serta mencari solusi yang dapat diterima dan mendamaikan semua pihak.

1
Hasil Wawancara dengan bp. David sebagai tokoh adat Rambusaratu’ pada tanggal 18 Agustus 2018
di Rambusaratu’. Hasil Wawancara dengan bp. Maurids Genggong sebagai tokoh adat Tawalian pada tanggal 20
Agustus 2018 di Tatale. Wawancara dengan bp. Matasak sebagai tokoh adat Sesenapadang pada tanggal 21
Agustus 2018 di Kole.

1
Perdamaian yang dibangun di dalam tindakan Ritual Mebulle Bai adalah perdamain

yang dapat memulihkan hubungan damai berbagai pihak, yakni pihak yang berkonflik,

keluarga dan masyarakat. Pihak yang dirugikan dalam konflik, dipulihkan harkat dan

martabatnya melalui tindakan ritual oleh pihak yang dianggap bersalah. Sebaliknya, pihak yang

bersalah bertanggung jawab memulihkan hubungan dengan menyadari kesalahan yang terjadi

dalam konflik. Dengan kesadaran seperti ini, sesungguhnya pihak yang bersalah dalam konflik

juga dilepaskan dari berbagai pergumulan dan beban batin akan konflik yang terjadi. Hubungan

yang tegang karena konflik, dipulihkan melalui tindakan ritual yang berpengaruh besar

terhadap terbangunnya harmonisasi sosial dalam masyarakat.

Bentuk pemulihan damai dalam tindakan ritual Mebulle Bai terkadang tidak dijumpai

dalam proses perdamain yang dilakukan melalui lembaga kepolisian dan peradilan.

Perdamaian yang dibangun melalui lembaga formal, seperti lembaga kepolisian dan peradilan

terkadang hanya bersifat sementara, menyimpan dendam dan permusuhan berkelanjutan dalam

masyarakat. Karena itu, tindakan Ritual Mebulle Bai sebagai kearifan lokal masyarakat

Mamasa, mestinya dikaji lebih dalam sebagai salah satu alternatif untuk membangun

perdamain yang memulihkan, berkelanjutan dan bukannya hukuman.

Sejauh ini, kajian tentang ritual adat Mamasa masih sangat minim. Beberapa penelitian

tentang adat dan ritual tetapi lebih pada ritual berburu kepala, ritual naik pohon baranak, ritual

kesuburan, ritual kelahiran, ritual pernikahan dan ritual kematian.2 Penelitian lain, dilakukan

oleh Aguswati Hildebrandt Rambe secara khusus menguraikan ritual kematian dan kedukaan

di Mamasa.3 Studi terbaru dilakukan oleh Rambalangi, tetapi sebatas mengkaji tentang fungsi

2
Kees Buijs, Agama Pribadi dan Magi di Mamasa, Sulawesi Barat: Mencari Kuasa Berkat dan Dunia
Dewa-dewa (Makassar: Ininnawa, 2017), 75-121.
3
Aguswati Hildebrandt Rambe, Keterjalinan dalam Keterpisahan: Mengupayakan Teologi Interkultural
dari Kekayaan Simbol Ritus Kematian dan Kedukaan di Sumba dan Mamasa (Makassar: Yayasan Oase INTIM,
2014).

2
lembaga adat dalam pembangunan Kecamatan Tawalian Kabupaten Mamasa. 4 Setelah

memeriksa berbagai tulisan tentang budaya dan ritual di Mamasa, penulis tidak menemukan

penjelasan secara terperinci tentang ritual adat yang digunakan dalam membangun perdamaian.

Sampai sekarang kajian tentang Ritual Mebulle Bai masih merupakan wilayah kosong yang

sesungguhnya dapat dieksplorasi dalam membangun perdamaian. Karena itu, tulisan ini

dimaksudkan untuk mengkaji lebih jauh tentang peran ritual adat Mebulle Bai dalam

membangun perdamaian. Lisa Schrich dalam buku, ‘Ritual and Symbol in Peacebuilding’

mengatakan bahwa dengan ritual, setiap pihak akan mampu membentuk hubungan dan

membangun landasan untuk berkomunikasi tentang isu-isu yang lebih penting.5

Ritual adat Mebulle Bai merupakan tradisi yang masih bertahan, di tengah keberagaman

dan kompleksitas kehidupan masyarakat Mamasa. Keberagaman satu sisi merupakan

kekayaan, sisi lain tak jarang mengakibatkan konflik. Novri Susan dalam buku, ‘Negara Gagal

Mengelola Konflik’ mengatakan bahwa konsekuensi dari masyarakat majemuk adalah berada

pada relasi-relasi konflik.6 Perbedaan persepsi, makna, dan kepentingan dalam relasi sosial

dapat menyebabkan konflik. Konflik bukan lagi sebagai barang asing di tengah-tengah

masyarakat, melainkan hal biasa yang terjadi dalam berbagai relasi sosial. Menurut Pruitt dan

Rubin dalam bukunya, ‘Teori Konflik Sosial’ konflik bukan hanya perkelahian, peperangan

atau perjuangan (secara fisik) tetapi konflik dapat berarti persepsi mengenai perbedaan

kepentingan atau suatu kepercayaan bahwa aspirasi pihak-pihak yang berkonflik tidak dapat

dicapai secara simultan.7

4
Rambalangi, Eksistensi Lembaga Adat dalam Pembangunan Kecamatan Tawalian Kabupaten Mamasa:
Suatu Studi di Kecamatan Tawalian Kabupaten Mamasa Propinsi Sulawesi Barat, Jurnal Eksekutif, Vol. 1 No.
1, 2018.
5
Lisa Schrich, Ritual and Symbol in Peacebuilding (America: Kumarin Press, 2005), 3-13.
6
Novri Susan, Negara Gagal Mengelola Konflik: Demokrasi dan Tata Kelola Konflik di Indonesia
(Yogyakarta: Pustaka Belajar, 2012), 4.
7
Dean G.Pruitt dan Jeffrey Z.Rubin, Teori Konflik Sosial (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2011), 9-10.

3
Konflik merupakan bagian integral dalam kehidupan manusia, pribadi dan kelompok.

Konflik dapat terjadi dalam diri seseorang karena kebutuhan dan keinginan tidak dapat

tercapai, sementara konflik kelompok terjadi karena dalam pencapaian tujuan tertentu,

kelompok lain dianggap sebagai saingan atau penghalang pencapaian tujuan. Peristiwa konflik

terjadi di mana-mana, mulai dari kota-kota besar sampai desa sekalipun. Konflik kadang terjadi

seiring dengan perkembangan dan kemajuan masyarakat, sebagaimana tergambar dalam

kehidupan masyarakat Mamasa.

Terbentuknya Mamasa sebagai kabupaten, menambah kemajemukan dan eskalasi

konflik. Konflik terjadi bukan hanya dalam bentuk perkelahian atau benturan secara fisik,

tetapi juga karena perbedaan persepsi. Secara fisik, beberapa konflik terjadi pada tahun 2017

melibatkan individu dan kelompok sosial dalam masyarakat. Pengeroyokan seorang warga

Mamasa oleh sekitar 10 oknum anggota polisi polres Mamasa, mengakibatkan korban dirujuk

ke rumah sakit Polewali karena dalam keadaan tidak menyadarkan diri.8 Kasus lain, pertikaian

dua kelompok pemuda di kota Mamasa pada malam natal 2017, mengakibatkan empat orang

terluka akibat tusukan barang tajam.9 Sementara konflik karena perbedaan persepsi terjadi,

antara lain; demonstrasi ratusan warga kecamatan Sesena Padang akibat tulisan seorang

Pendeta Gereja Toraja Mamasa (GTM) dalam buku, ‘Menilai Zaman’, yang diterbitkan pada

hari ulang tahun GTM ke-70 yang dianggap menista adat.10 Kenyataan konflik sosial

masyarakat Mamasa, tidak selamanya memberi dampak positif bagi masyarakat. Secara negatif

konfik berakibat pada rusaknya relasi kemanusiaan, yakni relasi kekeluargaan dalam

masyarakat. Hal ini, semakin parah ketika tata cara penyelesaian konflik tidak memperhatikan

perdamaian yang berkelanjutan dalam masyarakat.

8
https://regional.kompas.com/read2017/06/21/08320831/warga.mamasa.kritis.dikeroyok.oknum.polisi.
9
Bangka.tribunnews.com/2017/12/26/malam-natal-dua-kelompok-pemuda-bertikai-4-dilarikan-ke-
rumah-sakit.
10
https://www.Cakrawala.co/2017/08/12/dianggap-nistakan-adat-pendeta-demo-warga.

4
Selama ini, tata cara penyelesaian konflik dalam masyarakat Mamasa, cenderung

mengalami pergeseran dari tradisional ke modern. Pendekatan konflik tradisional adalah

pengelolaan konflik secara adat dengan menggunakan ritual sebagai tindakan simbolis yang

mengedepankan musyawarah untuk mufakat. Sementara pendekatan konflik modern adalah

penanganan konflik dengan menggunakan lembaga kepolisian dan peradilan. Menurut Sarah

Sambolayuk, masyarakat Mamasa memiliki kearifan lokal dalam proses penyelesaian masalah,

yakni tindakan ritual yang mengutamakan musyawarah mufakat, tetapi dalam kenyataannya

masyarakat atau generasi kadang terlalu cepat membawa persoalannya kepada kepolisian dan

lembaga peradilan.11 Masyarakat Mamasa cenderung memilih ranah hukum dalam

penyelesaian masalah, ketimbang pendekatan adat yang mengedepankan musyawarah untuk

mufakat. Jeffrey Alexander dalam buku, ‘The Civil Sphere’, mengatakan bahwa undang-

undang biasanya hanya diperlakukan sebagai sarana untuk mendapatkan beberapa kepentingan

ekonomi atau tujuan politik, bukan sebagai sarana untuk membangun solidaritas sipil.12

Pendekatan hukum positif terkadang lemah dalam memperhatikan perdamaian yang

berkelanjutan. Akibatnya adalah permusuhan dan rasa dendam, terkadang tetap terpatri dalam

diri dan hati mereka yang berkonflik. Hubungan kekeluargaan dalam masyarakat menjadi

lemah, bahkan rusak sebagai akibat penyelesaian masalah yang hanya mengedepankan aturan

dan hukuman. Berbeda dengan tata cara adat yang memberi ruang bagi semua pihak,

membicarakan konflik dan penyelesaian konflik secara damai. Tata cara adat yang dimaksud

adalah tindakan Ritual Mebulle Bai yang diyakini dapat membangun perdamaian dari berbagai

konflik yang sering terjadi di masyarakat.

Berbagai konflik yang sering terjadi dalam masyarakat membutuhkan penanganan yang

dapat membangun relasi baru dalam perdamaian. Relasi pasca konflik sangat ditentukan oleh

11
Wawancara dengan Sarah Sambolayuk, sebagai tokoh adat Sesena Padang, 19 Agustus 2018 di Sesena
Padang.
12
Jeffrey Alexander, The Civil Sphere (New York: Oxford University Press, 2006), 6.

5
pendekatan terhadap konflik. Pendekatan adat melalui ritual merupakan pendekatan yang

relevan karena dekat dengan masyarakat. Ritual Mebulle Bai sebagai salah satu kearifan lokal

masyarakat Mamasa sangat penting untuk didalami dan dieksplorasi untuk penyelesaian

konflik, membangun perdamaian. Karena itu, pendalaman terhadap ritual menggunakan buku

Lisa Schirch, ‘Ritual and Symbol in Peacebuilding’.13 Buku ini memberikan penjelasan tentang

bagaimana ritual dan symbol dapat digunakan dalam membangun perdamaian. Schrich

mengatakan bahwa dengan ritual, setiap pihak akan mampu membentuk hubungan dan

membangun landasan untuk berkomunikasi tentang isu-isu yang lebih penting. Ritual

menggunakan tindakan simbolis untuk mengkomunikasikan pesan pembentukan atau

transformasi dalam ruang sosial yang unik. Teori lain yang mendukung analisis Ritual Mebulle

Bai sebagai kearifan lokal masyarakat Mamasa, menggunakan teori Catherine Bell, dalam

bukunya ‘Ritual Persfektive Dimensions’. Bell, mengungkap ritual sebagai proses dinamis

yang mengikuti pergerakan konteksnya.14 Bagi Bell, ritual tidak bisa dipahami terlepas dari

konteksnya. Konteks merupakan bangunan ritual. Teori Bell, relevan digunakan dalam Ritual

Mebulle Bai karena masyarakat Mamasa memiliki konteks tersendiri sebagai masyarakat adat

yang sedang berkembang.

Selanjutnya, pendalaman terhadap Ritual Mebulle Bai sebagai ruang bersama, penulis

menggunakan teori Jeffrey C. Alexander dalam buku, ‘The Civil Sphere’ yang berbicara

tentang ruang sipil sebagai ruang bersama dalam membangun masyarakat yang demokratis dan

berkeadilan.15 Alexander yakin bahwa ada struktur kultural di dalam hati orang-orang yang

hidup di dunia demokrasi. Struktur itu lahir dari solidaritas sosial, yakni perasaan bagi orang

lain tanpa memandang latar belakang agama, suku, budaya dan ras. Masyarakat tidak

diperintah oleh kekuasaan semata dan tidak hanya didorong oleh pengejaran kepentingan

13
Schich, Ritual and Symbol in Peacebuilding (America: Kumarin Press, 2005).
14
Catherine Bell, Ritual Perspective Dimensions (New York: Oxford University Press, 1997), 233-251.
15
Alexander, The Civil Sphere ( (New York: Oxford University Press, 2006).

6
pribadi, tetapi yang penting adalah solidaritas. Dengan solidaritas, keadilan dan hubungan

sosial terbangun dengan baik dan inkusif. Karena itu, dibutuhkan konsep baru masyarakat sipil

sebagai lingkaran sipil, dimensi nilai dan institusi yang menghasilkan kapasitas untuk kritik

sosial dan integrasi demokrasi pada saat bersamaan. Nilai keadilan dan integrasi dapat

ditemukan dalam masyarakat melalui tindakan simbolis dalam ritual. Bagi Alexander, gerakan

sosial berpegang pada komunitas simbolis. Dengan demikian Ritual Mebulle Bai disebut

sebagai ruang bersama karena membuka ruang bagi semua pihak, tanpa memandang latar

belakang agama, suku, budaya, ras dan status sosial dalam masyarakat. Seain itu, Ritual

Mebulle Bai juga mengandung nilai solidaritas kemanusiaan, yakni keadilan, kesetaraan dan

kerendahan hati.

Berdasarkan uraian di atas, penulis menemukan bahwa masyarakat Mamasa sebagai

masyarakat adat memiliki kearifan lokal yang dapat dieksplorasi dalam membangun

perdamaian bagi semua pihak. Dengan demikian tulisan ini diberi judul, RITUAL MEBULLE

BAI SEBAGAI RUANG BERSAMA PENYELESAIAN KONFLIK SOSIAL

MASYARAKAT MAMASA.

1.2. Identifikasi Masalah.

Berdasarkan pada uraian latar belakang di atas, maka beberapa masalah dapat

diidentifikasi sebagai berikut:

1. Penelitian tentang adat di Mamasa masih sangat minim, berakibat pada

lemahnya pemahaman generasi akan pentingnya nilai budaya dalam

membangun relasi kemanusiaan.

2. Kenyataan kemajemukan di Mamasa tidak selamanya berdampak positif.

Rusaknya hubungan kekeluargaan merupakan dampak langsung dari konflik

sosial yang terjadi.

7
3. Penyelesaian konflik di Mamasa cenderung menggunakan pendekatan

kepolisian dan peradilan, ketimbang pendekatan musyawarah adat melalui

tindakan ritual.

4. Pendekatan lembaga kepolisian dan peradilan dalam penyelesaian masalah

terkadang bersifat sementara dan tidak memberi kepuasan bagi pihak yang

berkonflik.

1.3. Batasan Masalah

Berdasar pada identifikasi masalah di atas, penulis membatasi diri pada penyelesaian

konflik sosial masyarakat Mamasa yang cenderung menggunakan lembaga kepolisian dan

peradilan, ketimbang pendekatan adat yang mengedepankan musyawarah adat dalam tindakan

ritual membangun perdamaian.

1.4. Rumusan Masalah

Bagaimana Ritual Mebulle Bai sebagai ruang bersama dalam penyelesaian konflik

sosial masyarakat Mamasa ?

1.5. Tujuan Penelitian

Adapun tujuan penelitian yang hendak dicapai dalam tulisan ini adalah

mendeskripsikan dan menganalisis Ritual Mebulle Bai sebagai ruang bersama penyelesaian

konflik sosial masyarakat Mamasa.

1.6. Manfaat Penelitian.

Berdasarkan tujuan penelitian yang hendak dicapai, maka penelitian ini diharapkan

mempunyai manfaat bagi semua pihak yang ingin mendalami tentang ritual adat Mebulle Bai

sebagai kearifan lokal masyarakat Mamasa dalam membangun perdamaian. Menurut Usman

8
& Purnomo, manfaat penelitian terbagi menjadi manfaat penelitian secara teoritis dan secara

praktis.16 Dengan demikian, manfaat penelitian yang hendak dicapai adalah sebagai berikut:

Secara teoritis, penelitian ini diharapkan dapat memperkaya pemahaman dan

pendalaman tentang betapa pentingnya menggunakan kearifan lokal dalam proses penyelesaian

masalah atau konflik dalam masyarakat. Kearifan lokal merupakan kekayaan masyarakat

setempat yang dapat dieksplorasi untuk membangun perdamaian, sebab lebih dipahami dan

dekat serta tumbuh dalam masyarakat. Selain itu, penelitian ini juga diharapkan dapat menjadi

referensi bagi berbagai pihak untuk mengkaji lebih jauh tentang berbagai kearifan lokal

masyarakat Mamasa. Mengingat sampai pada saat ini, masih sangat minim kajian tentang adat

masyarakat Mamasa.

Secara praktis, penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat bagi pemerintah, gereja dan

masyarakat setempat. Bagi pemerintah diharapkan kajian ini dapat menjadi rujukan dalam

membangun perdamaian dalam masyarakat. Selain itu, dapat juga menjadi salah satu landasan

kurikulum dalam menata pendidikan yang berbasis pada kearifan lokal masyarakat Mamasa.

Bagi gereja secara khusus, penelitian ini diharapkan dapat menjadi rujukan dalam rancang

bangun teologi lokal yang memberdayakan masyarakat melalui kekayaan budaya yang ada.

Sedangkan bagi masyarakat, penelitian ini diharapkan dapat menjadi pendalaman bersama

untuk menyelesaikan konflik secara damai melalui pendekatan ritual adat yakni tindakan Ritual

Mebulle Bai.

1.7. Metode Penelitian

Penelitian ini dilakukan dengan menggunakan metode kualitatif. Lexy J. Moelong

mengatakan bahwa penelitian kwalitatif adalah penelitian yang menghasilkan kata-kata

16
Husini Usman & Purnomo, S.A. Metodologi Penelitian Sosial (Jakarta: Bumi Aksara, 1997), 31.

9
deskriptif berupa kata-kata tertulis atau lisan dari orang-orang dan pelaku yang diamati.17

Karena itu, penulis akan mendeskripsikan dan menganalisis Ritual Mebulle Bai sesuai dengan

konteks di mana penelitian dilakukan.

Penelitian ini, dilakukan di wilayah sekitar ibu kota Kabupaten Mamasa, yakni wilayah

pemerintahan Kecamatan Mamasa. Data diperoleh melalui metode observasi, wawancara, dan

analisis. Observasi tanpa ikut berpartisipasi (non-participant observation). Sementara

wawancara yakni face-to-face interview (wawancara berhadap-hadapan) melaui sejumlah

pertanyaan yang bersifat terbuka.18 Wawancara dilakukan bagi sejumlah informan yakni tokoh

adat, tokoh masyarakat, pemerintah desa dan pelaku ritual. Para tokoh adat adalah sejumlah

orang yang memiliki pengetahuan dan pengalaman yang cukup tentang pelaksanaan Ritual

Mebulle Bai. Mereka selalu terlibat langsung dalam berbagai penyelesaian masalah atau

konflik secara adat.

Selain wawancara, penulis juga melakukan studi pustaka terhadap buku-buku yang

terkait dengan pokok penelitian. Studi ini dilakukan, guna memperoleh landasan teori dalam

memahami pokok penelitian. Data yang diperoleh, dianalisis melalui beberapa langkah, yakni;

reduksi data, penyanyian data, dan kesimpulan.19 Reduksi data yang dimaksud adalah

menggolongkan dan memilih data yang penting untuk memberikan gambaran yang jelas

tentang pokok penelitian. Kemudian data yang direduksi, disajikan dalam bentuk uraian singkat

dan dibangun dalam hubungan dengan yang lain. Terakhir, kesimpulan sebagai hasil analisis

data yang diperoleh melalui penelitian kwalitatif. Dengan demikian, tulisan ini berkesimpulan

bahwa Ritual Mebulle Bai sebagai salah satu kearifan lokal masyarakat Mamasa, memiliki

17
Lexy J. Moelong, Metodologi Penelitian Kualitatif (Bandung: PT.Remaja Rosda, 1994), 4.
18
John W Creswell, Research Design: Pendekatan Kualitatif, Kuantitatif, dan Mixed (Yogyakarta:
Pustaka Pelajar, 2016), 254
19
Sugiyono, Memahami Penelitian Kwalitatif (Bandung: Alfabeta, 2012), 343-345.

10
makna sosial yang dapat membangun relasi kemanusiaan. Makna sosial yang dimaksud adalah

keadilan, kesetaraan dan kerendahan hati.

1.8. Sistematika Penulisan.

BAB I Bab ini membahas pendahuluan yang meliputi latar belakang, identifikasi

masalah, batasan masalah, rumusan masalah, tujuan penelitian, manfaat

penelitian, metode penelitian dan sistematika penelitian.

BAB II Bab ini membahas tentang kajian teori yang digunakan, yakni ritual, simbol,

dan ruang bersama.

BAB III Bab ini membahas hasil penelitian yang meliputi gambaran umum masyarakat

Mamasa, tradisi adat perdamaian masyarakat Mamasa, dan mekanisme Ritual.

Dalam hal mekanisme pelaksanaan Ritual Mebulle Bai dibagi atas proses

mediasi, prosesi Ritual Mebulle Bai, musyawarah untuk berdamai, berjabat

tangan dan berdoa, serta makan bersama.

BAB IV Bab ini berisi analisis tentang Ritual Mebulle Bai sebagai ruang bersama

penyelesaian konflik sosial masyarakat Mamasa.

BAB V Bab ini merupakan bab penutup yang berisi kesimpulan dan saran.Kesimpulan

bahwa Ritual Mebulle Bai sebagai kearifan lokal masyarakat Mamasa dapat

menjadi ruang bersama dalam penyelesaian konflik sosial yang sering terjadi

di Mamasa.

11

Anda mungkin juga menyukai