Anda di halaman 1dari 23

PERANAN LEMBAGA MEDIASI DESA DALAM MENYELESAIKAN SENGKETA

WARGA MASYARAKAT DI DESA PANGGUNGHARJO, KECAMATAN SEWON,


KABUPATEN BANTUL

Rahmat Muhajir Nugroho, SH, MH

Abstrak

Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui peranan Lembaga


Mediasi Desa dalam menyelesaikan sengketa warga dan kendala-kendala yang
dihadapi oleh lembaga Mediasi Desa dalam menyelesaikan sengketa warga di
Desa Panggungharjo, Sewon, Bantul.
Jenis penelitian ini adalah penelitian hukum sosiologis atau empiris. Data
yang dikumpulkan dalam penelitian ini adalah data primer dan data sekunder.
Pengumpulan data dilakukan dengan cara studi pustaka (library research) dan
studi lapangan (field research). Setelah data dikumpulkan sesuai dengan tujuan
penelitian, dilakukan pengolahan data dengan cara menyeleksi dan
mengklasifikasikan data-data yang ada secara sistematis, logis serta dengan
pendekatan yuridis-sosiologis
Berdasarkan hasil penelitian dapat disimpulkan bahwa Lembaga Mediasi
Desa, Desa Panggungharjo, Sewon, Bantul, dapat melaksanakan peranannya
dalam menyelesaikan sengketa antar warga masyarakat secara efektif.

Kata Kunci : Peranan, Mediasi, Desa, Sengketa, Panggungharjo

A. Pendahuluan
1. Latar Belakang

Dalam kehidupan bermasyarakat berbagai persoalan seringkali


terjadi, baik itu konflik yang bersifat antar personal , antar kelompok
(horizontal) atau kelompok masyarakat dengan pengambil kebijakan
(struktural). Konflik atau sengketa dapat muncul akibat dari perbedaan
pandangan terhadap suatu masalah, atau karena ada kepentingan yang
berbeda/bersebarangan, misalnya kasus sengketa tanah, warisan, lahan
pertanian, pemilihan kepala desa dan sebagainya. Pelbagai macam

1
konflik/sengketa yang terjadi di masyarakat tersebut kadangkala dapat
diselesaikan melalui mekanisme musyawarah namun tak jarang konflik
tersebut pada akhirnya diselesaikan di Pengadilan.
Secara antropologis, konflik merupakan fenomena sosial yang tak
terpisahkan (inherent) dari kehidupan manusia, apalagi masyarakat
bercorak multikultural. Ia tidak mungkin dihindari atau diabaikan dalam
kehidupan bersama. Untuk itu, yang harus dilakukan, yakni bagaimana
konflik itu dikelola, dikendalikan, diakomodasi, dan diselesaikan secara
damai dan bijakasana agar tidak menimbulkan disintegrasi sosial dalam
kehidupan masyarakat1.
Mediasi merupakan salah satu cara untuk menyelesaikan sengketa
antar pihak di masyarakat. Selain mediasi terdapat beberapa model
penyelesaian perselisihan atau sengketa antar lain negosiasi, mediasi, dan
arbitrasi2. Mediasi atau dalam Bahasa Inggris disebut mediation adalah
penyelesaian sengketa dengan menengahi, Mediator adalah orang yang
menjadi penengah3.Dengan demikian mediasi dapat diartikan sebuah
mekanisme penyelesaian sengketa antar kedua pihak melalui seorang
penengah atau disebut mediator yang berfungsi untuk mempertemukan
dua kepentingan yang berbeda kemudian dicarikan jalan tengah untuk
penyelesaian masalah tersebut. Dalam mediasi tidak ada pihak yang kalah
dan menang, tetapi win-win solution sehingga kedua belah merasa tidak
ada yang dirugikan.
Mediasi dapat menjadi alternatif bagi pencari keadilan
(justisiabelen) untuk menyelesaikan kasusnya melalui jalur di luar

1
Rachmad Syafa’at (ed.), 2015, Relasi Negara dan Masyarakat Adat, Perebutan Kuasa atas Hak
Pengelolaan Sumberdaya alam, Malang, Surya Pena Gemilang, hlm. 48
2
Suhadibroto, 1993, Musyawarah dan “menang Tanpo Ngasorake”, Jakarta, Kompas,
3
Rachmad Syafa’at, 2016, Advokasi dan Alternatif Penyelesaian Sengketa, Malang, Surya Pena
Gemilang hlm. 49

2
peradilan dan hal tersebut dapat menekan tingginya tunggakan perkara di
Lembaga Peradilan. Mahkamah Agung (MA) mencatat jumlah perkara
yang ditangani lembaga peradilan tersebut meningkat dari 14.630 perkara
di tahun 2016 menjadi 15.181 perkara di tahun 2017 atau naik sekitar 3,77
persen. Selain itu MA masih harus menangani beban perkara di tahun 2016
sebanyak 2.357 perkara. Dengan demikian, menurut Ketua Mahkamah
Agung, total perkara yang ditangani oleh Mahkamah Agung pada tahun
2017 mencapai 17.538 perkara4.
Dari data tersebut dapat dicermati bahwa jumlah perkara yang
ditangani oleh Mahkamah Agung setiap tahunnya sangat tinggi, sehingga
MA belum mampu menuntaskan perkara-perkara tersebut pada akhir
tahun dan selalu terdapat sisa perkara yang tidak dapat diselesaikan.
Menurut ketua MA dari 17.538 perkara tersebut di tahun 2017, MA baru
memutus sekitar 15.967 perkara, sehingga sisa perkara berjumlah 1.571
perkara5.
Tingginya jumlah perkara tersebut salah satu factor pemicunya
adalah belum digunakannya mekanisme penyelesaian perkara melalui
mediasi secara optimal oleh masyarakat. Sebagian besar masyarakat
masih berorientasi penyelesaian perkara melalui lembaga peradilan.
Oleh karenanya perlu upaya untuk mendorong masyarakat agar
menyelesaikan perkara atau sengketa melalui Mediasi di luar pengadilan
atau sering disebut dengan istilah Alternative Dispute Resolution (ADR),
khususnya bagi masyarakat desa. Melihat sejarah Indonesia – sejak era
kerajaan hingga kolonialisme – kedudukan desa mempunyai arti penting
dalam kontrol sosial. Konsep desa mawa cara kota mawa tata benar-benar

4
https://tirto.id/mahkamah-agung-masih-menunggak-1571-perkara-di-2017-cCqW, diunduh pada
tanggal 23 Oktober 2018 pukul 4:40 WIB
5
Ibid

3
dapat berjalan, karena desa benar-benar dapat mandiri baik dalam segi
ekonomi maupun penegakan hukum diwilayahnya. Sistem peradilan desa
maupun peradilan adat berkembang dan berjalan dengan baik sebagai
bentuk kontrol sosial, sehingga hukum benar-benar melembaga6. Tak
heran kemudian sampai Soepomo sendiri membuat konsep Republik
Indonesia dari “Republik Desa” sebagai dasar ketatanegaraan Indonesia7.
Mengapa “Republik Desa” menurut Soepomo merupakan model
negara dan pemerintahan asli Indonesia ? Karena cita dasar dari
pembentukan Negara Republik Indonesia sama dengan cita pembentukan
“Republik Desa”, yaitu yang “disesuaikan dengan sociale stuctuur
masyarakat Indonesia yang nyata pada masa sekarang serta harus
disesuaikan dengan panggilan zaman” modern8
Setelah disahkan Undang Undang Desa No. 6 tahun 2014 tentang
Desa kepala desa diberikan kembali didorong untuk menyelesaikan
persoalan-persoalan di Desa. Setidaknya dalam UU tersebut ada dua Pasal
yang mengakomodir kedudukan kepala desa sebagai penyelesai masalah
di masyarakat desa, yakni Pasal 26 ayat (2) huruf f dan g yang intinya
menyatakan bahwa kepala desa berwenang untuk membina kehidupan
masyarakat desa dan membina ketentraman dan ketertiban masyarakat
desa dan Pasal 26 ayat (4) huruf c dan k yang intinya menyatakan bahwa
kepala desa berkewajiban untuk memelihara ketentraman dan ketertiban
masyarakat desa serta menyelesaikan perselisihan masyarakat di desa.

6
Dalam istilah sosiologi hukum, istilah hukum telah melembaga berarti hukum benar-benar telah
dimengerti dengan baik dan setiap warga mengetahui konsekuensi hukumnya. Secara umum hukum
melembaga berarti hukum tidak hanya dalam arti procedural semata, tetapi sudah menjadi bagian dari
kesadaran subtansial warga negara.
7
A. Hamid S. Attamimi. Peranan Keputusan Presiden Republik Indonesia dalam Penyelenggaraan
Pemerintahan Negara. Desertasi. Jakarta: Universitas Indonesia, 1990. Hlm. 102
8
Ni’matul Huda, 2015, Hukum Pemerintahan Desa, Malang, Setara Press, hlm. 2

4
Mengacu pada UU tersebut sebenarnya Kepala Desa mempunyai
kewajiban dan kewenangan untuk menyelesaikan persoalan
masyarakatnya sehingga seharusnya disini Kepala Desa berfungsi sebagai
Mediator Otoriatif9 untuk membantu menyelesaikan persoalan
masyarakat yang ada di desa. Namun, banyak Kepala Desa tidak
memahami fungsinya secara keseluruhan, terutama pengetahuan tentang
bagaimana bertindak layaknya seorang mediator seharusnya dengan
tehnik-tehnik khusus dalam menangani konflik saat mediasi berlangsung.
Dengan demikian dibutuhkan lembaga yang berfungsi membantu Kepala
Desa untuk menyelesaikan sengketa di masyarakat.
Oleh karena itu penulis tertarik untuk melakukan penelitian
terhadap lembaga mediasi desa dalam menyelesaikan sengketa warga
masyarakat yang terdapat di Desa Pangungharjo, Kecamatan Sewon,
Kabupaten Bantul, Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta.
2. Rumusan Masalah
a. Bagaimana peran Lembaga Mediasi Desa dalam menyelesaikan
sengketa warga di Desa Panggungharjo, Sewon, Bantul ?
b. Apa kendala-kendala yang dihadapi oleh lembaga Mediasi Desa
dalam menyelesaikan sengketa warga di Desa Panggungharjo,
Sewon, Bantul ?
3. Tujuan Penelitian
a. Untuk mengetahui peranan Lembaga Mediasi Desa dalam
menyelesaikan sengketa warga di Desa Panggungharjo, Sewon,
Bantul ?

9
Mediator otoritatif adalah seseorang menjadi mediator karena memiliki suatu jabatan atau kedudukan
tertentu didalam masyarakat

5
b. Untuk mengetahi kendala-kendala yang dihadapi oleh lembaga
Mediasi Desa dalam menyelesaikan sengketa warga di Desa
Panggungharjo, Sewon, Bantul ?
B. Metode Penelitian
1. Jenis Penelitian
Jenis penelitian ini adalah penelitian hukum sosiologis atau empiris.
Menurut Bambang Sunggono, penelitian hukum sosiologis dapat disebut
sebagai penelitian hukum non-doktrinal, langkah-langkah penelitiannya
lebih menekankan pada observasi dan analisis yang bersifat empirik-
kuantitatif10. Dalam penelitian ini, penulis akan melakukan kajian secara
mendalam terhadap implementasi dari konsep “Daulat Desa” yakni
mengembalikan Desa sebagai pusat penyelesaian masalah di warga
masyarakat melalui lembaga Mediasi Desa.

2. Sumber Data dan Bahan Hukum


Data yang dikumpulkan dalam penelitian ini adalah data primer dan data
sekunder. Data primer adalah data yang diperoleh langsung dari
responden, sedangkan data sekunder dalam penelitian hukum disebut
bahan hukum11. Bahan-bahan hukum tersebut terdiri dari :
a. Bahan hukum primer, adalah bahan-bahan yang mengikat, yaitu
1) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia l945
2) Undang-Undang Nomor 6 tahun 2014 tentang Desa
3) Peraturan Pemerintah Nomor 43 Tahun 2014 tentang Peraturan
Pelaksanaan Undang-Undang Desa.

10
Bambang Sunggono, 2007, Metodologi Penelitian Hukum, PT Raja Grafindo Persada, Jakarta,
hlm. 102
11 Soerjono Soekanto, 1986, Pengantar Penelitian Hukum, Jakarta, Universitas Indonesia Press,

hlm. 52

6
4) Peraturan Mahkamah Agung No. 1 Tahun 2016 tentang Prosedur
Mediasi di Pengadilan
5) Keputusan MARI No. 108/KMA/SK/VI/2016 tertanggal 17 Juni
2016
b. Bahan hukum sekunder, adalah bahan-bahan hukum yang
menjelaskan bahan hukum primer, yaitu : Buku-buku, Jurnal, Laporan
Penelitian, Majalah, Artikel, Dokumen
c. Bahan-bahan hukum tersier, adalah bahan-bahan hukum yang
menjadi pelengkap bahan hukum primer dan sekunder, yaitu : Kamus
Hukum, Kamus Bahasa Indonesia, Kamus Bahasa Inggris dan
Ensiklopedia

3. Metode Pengumpulan Data


a. Studi Pustaka ((library research)
Pengumpulan data dilakukan dengan cara studi pustaka (library
research) yaitu menginventarisasi dan meneliti bahan-bahan hukum
dan data-data tertulis, baik berupa peraturan perundang-undangan
yang berkaitan dengan Mediasi dan Desa, buku-buku, jurnal ilmiah,
artikel, surat kabar dan dokumen-dokumen tertulis lainnya yang
berhubungan dengan objek penelitian.
b. Studi lapangan (field research)
Penulis juga melakukan studi lapangan (field research) untuk
menambah data yang telah diperoleh dari studi pustaka dengan
metode wawancara/interview. Model wawancara yang digunakan
adalah wawancara bebas terpimpin yaitu menggunakan daftar
pertanyaan yang disusun oleh penulis berupa pokok-pokoknya saja
dan dapat dikembangkan pada saat wawancara berlangsung. Adapun

7
responden yang akan, antara lain : Mediator Lembaga Mediasi Desa
Panggungharjo, Sewaon, Bantul.

c. Analisis Data
Setelah data dikumpulkan sesuai dengan tujuan penelitian, dilakukan
pengolahan data dengan cara menyeleksi dan mengklasifikasikan data-
data yang ada secara sistematis, logis serta dengan pendekatan yuridis-
sosiologis. Analisis data dilakukan dengan metode deskriptif kualitatif,
yaitu dengan cara membandingkan antara peraturan perundang-
undangan sebagai hukum yang dicita-citakan (das sollen) dengan
kondisi hukum yang senyatanya (das sein). Data empiris yang telah
diperoleh dari lapangan digunakan untuk menilai apakah suatu norma
hukum yang ada telah dilaksanakan sesuai dengan tujuannya.
Dengan demikian, dapat diperoleh deskripsi/gambaran terhadap suatu
persoalan yang sesungguhnya, sehingga diharapkan dapat menemukan
solusi sebagai jalan keluar atas permasalahan yang diteliti.
Berdasarkan hasil analisis tersebut, kemudian disusunlah suatu
kesimpulan dan rekomendasi atau saran yang dapat dijadikan sebagai
rujukan dalam membenahi permasalahan yang diteliti.
C. Pembahasan
1. Penyelesaian Sengketa Melalui Mediasi
Konflik berasal dari terminology kata Bahasa Inggris conflict, yang
berarti persengketaan, perselisihan, percekcokan atau pertentangan.
Konflik atau persengketaan tentang sesuatu terjadi antara dua pihak atau
lebih. Konflik atau perselisihan nyaris tidak terpisah dari kehidupan
manusia dan masyarakat sehingga sulit dibayangkan bila masyarakat
tanpa konflik12.

12 Rachmad Syafa’at, op.cit., hlm. 47

8
Konflik atau sengketa merupakan kosakata yang acap kali muncul
dalam fenomena kehidupan bermasyarakat, berbangsa bahkan bernegara.
Konflik atau sengketa tidak lagi bersifat idiologis tetapi sudah bergeser
kearah konflik mutlikultural yang berbasis pada perbedaan, pergeseran
bahkan perubahan pemahaman berbudaya masyarakat. Pergeseran
pemahaman konflik atau sengketa pada gilirannya berdampak pada
munculnya berbagai konsep alternatif penyelesaian konflik atau
sengketa13.
Ada banyak ragam model penyelesaian konflik, baik melalui jalur
litigasi (peradilan) maupun non litigasi (diluar peradilan). Salah satu
mekanisme penyelesaian konflik melalui jalur non litigasi adalah mediasi.
Menurut Moore, mediasi dapat diartikan sebagai intervensi terhadap
suatu sengketa atau negosiasi oleh pihak ketiga yang dapat diterima, tidak
berpihak dan netral tidak mempunyai kewenangan untuk mengambil
keputusan dalam membantu para pihak yang berselisih dalam upaya
mencapai kesepakatan secara sukarela dalam penyelesaian permasalahan
yang disengketakan14.
Tujuan mediasi adalah untuk (1) menghasilkan suatu rencana
(kesepakatan) ke depan yang dapat diterima dan dijalankan oleh para
pihak yang bersengketa, (2) mempersiapkan para pihak yang bersengketa
untuk menerima konsekuensi dari keputusan yang mereka buat, dan (3)
mengurangi kekhawatiran dan dampak negatif lain dari suatu konflik
dengan cara membantu pihak yang bersengketa untuk mencapai
penyelesaian secara konsensus15.

13 Ibid.
14 Ibid. hlm. 49-50
15 Ibid. hlm. 50

9
Tahap Mediasi. Dalam mediasi ada beberapa tahap sebagai berikut, (a)
menyusun rencana mediasi; (b) Memulai sidang-sidang mediasi; (c)
Merumuskan masalah; (d) mengembangkan pilihan-pilahan penyelesaian
sengketa; (e) Proses tawar-menawar; (f) mencapai penyelesaian formal16.
2. Desa dan Kewenangan Kepala Desa
Menurut Mashuri Mashab istilah Desa bisa ditafsirkan dalam 3
macam perspektif yaitu sosiologis, ekonomi dan politik. Secara politik
Desa dapat diartikan sebagai organisasi kekuasaan yang mempunyai
wewenang tertentu karena merupakan bagian dari pemerintahan
negara17. Desa, atau sebutan-sebutan lain yang sangat beragam di
Indonesia, pada awalnya merupakan organisasi komunitas local yang
mempunyai batas-batas wilayah, dihuni oleh sejumlah penduduk, dan
mempunyai adat istiadat untuk mengelola dirinya sendiri. Inilah yang
disebut dengan self-governing community. Sebutan Desa sebagai kesatuan
masyarakat hukum, baru dikenal pada masa kolonial Belanda18
Perkataan “Desa”, “dusun”, “desi” (ingatlah perkataan swa desi),
seperti juga halnya perkataan “negara”, “negeri”, “nigari”, “nigari”,
“negory” (dari perkataan nagarom), menurut Soetardjo
Kartohadikoesomo, asalnya dari perkataan Sanksrit, yang artinya tanah
air, tanah asal, tanah kelahiran19. Menurut Selo Soemarjan, setidaknya ada
dua pola proses sosial terjadinyas suatu desa. Pola yang pertama terjadi di
mana pembentukan suatu desa diawali dengan pembukaan hutan, oleh
cikal bakal (Bahasa Jawa), yaitu orang yang pertama beserta keluarganya

16 M. Irsyad Thamrin dan M. Farid, Panduan Bantuan Hukum Bagi Paralegal, Yogyakarta, LBH
Yogyakarta, hlm. 643-644
17
Mashuri Mashab, Politik Pemerintahan Desa di Indonesia, Cetakan I, PolGov Fisipol UGM,
Yogyakarta, 2013, hlm. 1-2
18 Sutoro Eko, “Masa Lalu, Masa Kini, dan Masa Depan Otonomi Desa” dalam Soetandyo

Wignosubroto dkk (Tim Penulis), Pasang Surut Otonomi Daerah, Skestsa Perjalanan 100 tahun,
Institute for Local Development dan Yayasan Tifa, Jakarta, 2005, hlm. 44
19
Soetardjo Kartohadikoesoemo, Desa, Balai Pustaka, Jakarta, 1984,hlm. 15

10
membuka hutan yang selanjutnya dijadikan tempat tinggal tetap untuk
selama-lamanya20.
Dari kacamata pemerintah nasional, pemerintahan desa dipandang
sebagai unit pemerintahan terendah yang menempati sebagian dari
wilayah negara. Dalam konteks ini, pemerintahan nasional adalah jalinan
antar sistem-sistem pemerintahan desa dan berbagai struktur
pemerintahan lain di atasnya21.
Menurut Ni’matul Huda, seiring semakin kuatnya posisi negara
sehingga menempatkan desa sebagai sub-sistem yang terkecil dan
terendah dalam struktur pemerintahan negara, maka pengabaian atas
hak-hak bahkan tata nilai desa semakin sering terjadi22. Masyarakat Desa
tunduk pada dominasi kekuasaan feodal, sedang sebaliknya, masyarakat
feudal tergantung hidupnya dari produksi pertanian yang dilakukan oleh
desa23
Setelah disahkan Undang Undang Desa No. 6 tahun 2014 tentang
Desa kepala desa diberikan kembali didorong untuk menyelesaikan
persoalan-persoalan di Desa. Setidaknya dalam UU tersebut ada dua Pasal
yang mengakomodir kedudukan kepala desa sebagai penyelesai masalah
di masyarakat desa, yakni Pasal 26 ayat (2) huruf f dan g yang intinya
menyatakan bahwa kepala desa berwenang untuk membina kehidupan
masyarakat desa dan membina ketentraman dan ketertiban masyarakat
desa dan Pasal 26 ayat (4) huruf c dan k yang intinya menyatakan bahwa

20 R. Yando Zakaria, 2000, Abih Tandeh, Masyarakat Desa di Bawah Rejim Orde Baru, Jakarta,
Elsam, hlm. 39
21
Ni’matul Huda, Op.cit., hlm. 36
22 Ibid.
23 Satjipto Raharjo, 2009, Hukum dan Perubahan Sosial, Suatu Tinjauan Teoritis serta

Pengalaman-Pengalaman di Indonesia, Yogyakarta, Genta Publishing, hlm. 79

11
kepala desa berkewajiban untuk memelihara ketentraman dan ketertiban
masyarakat desa serta menyelesaikan perselisihan masyarakat di desa.

3. Peranan Lembaga Mediasi Desa, Desa Panggungharjo, Sewon, Bantul


a. Profile Desa Panggungharjo, Sewon, Bantul, DIY
Desa Panggungharjo merupakan gabungan dari tiga kelurahan
yakni Kelurahan Cabeyan, Kelurahan Prancak dan Kelurahan Krapyak.
Keberadaan Desa Panggungharjo tidak bisa dipisahkan dari
keberadaan “Panggung Krapyak” atau oleh masyarakat sekitar disebut
sebagai “Kandang Menjangan”, yang berada di Pedukuhan Krapyak Kulon
Desa Panggungharjo24.
Sebagaimana diketahui bahwa Panggung Krapyak adalah
merupakan salah satu elemen dari ‘sumbu imajiner’ yang membelah Kota
Yogyakarta, yaitu garis Gunung Merapi – Tugu Pal Putih – Kraton
Ngayogyokarto Hadiningrat – Panggung Krapyak dan Parangkusumo yang
berada di pantai selatan25.
Desa Panggungharjo dibentuk berdasarkan Keputusan Dewan
Pemerintah Daerah Yogyakarta Nomor 148/D.Pem.D/OP tertanggal 23
September 1947 yang dengan keputusan dewan pemerintah tersebut pula,
Hardjo Sumarto, diangkat sebagai Lurah Desa Panggungharjo yang
pertama26.
Berdasarkan fakta dan bukti sejarah, Akar Budaya di desa
Panggungharjo tumbuh dan berkembang berhubungan erat dan
dipengaruhi oleh komunitas dan intervensi budaya yang berkembang
pada masanya, yaitu27 :

24 www.panggungharjo.desa.id , diunduh pada tanggal 25 Oktober 2018


25
Ibid
26
Ibid
27
Ibid

12
1) Pada abad ke 9-10 Desa Panggungharjo adalah merupakan kawasan
agraris, hal ini dibuktikan dengan adanya Situs Yoni Karang Gede di
Pedukuhan Ngireng-Ireng. Sehingga dari budaya agraris ini muncul
budaya seperti : Gejok Lesung, Thek-thek/Kothek-an, Upacara Merti
Dusun, Upacara Wiwitan, Tingkep Tandur, dan budaya-budaya lain
yang sifatnya adalah merupakan pengormatan kepada alam yang telah
menumbuhkan makanan sehingga bermanfaat bagi keberlangsungan
kehidupan umat manusia.
2) Pada abad ke 16 di wilayah Krapyak Kulon dan Glugo adalah
merupakan kawasan wisata berburu (Pangeran sedo Krapyak – 1910),
sedangkan pada Abad ke 17 kawasan ini merupakan sebagai tempat
olahraga memanah kijang/menjangan dan sebagai tempat pertahanan
(Sultan HB I – Panggung Krapyak 1760). Budaya yang dibawa dari
intervensi keberadaan Kraton Mataram sebagai pusat budaya sehingga
menumbuhkan budaya adiluhung seperti : Panembromo, Karawitan,
Mocopat, Wayang, Ketoprak, Kerajinan Tatah Sungging, Kerajinan
Blangkon, Kerajinan Tenun Lurik, Batik, Industri Gamelan, Tari-tarian
Klasik, dan lain-lain.
3) Pada tahun 1911 di wilayah Krapyak Kulon didirikan Pondok
Pesantren Al Munawir, sehingga berkembang budaya seperti :
Sholawatan, Dzibaan, Qosidah, Hadroh, Rodad, Marawis, dan juga
budaya-budaya yang melekat pada kegiatan peribadatan seperti :
Syuran (peringatan 1 Muharram), Mauludan (peringatan Maulid Nabi
Muhammad SAW), Rejeban (peringatan Isro’ Mi’roj),
Ruwahan/Nyadran (mengirim doa untuk leluhur menjelang Bulan
Ramadhan), Selikuran (Nuzulul Qur’an), dan lain-lain.
4) Sekitar tahun 1900-1930 berkembanglah budaya yang tumbuh dan
berkembang karena adanya kebutuhan bersosialisasi dimasyarakat,

13
sehingga berkembanglah bermacam-macam dolanan anak seperti :
Egrang, Gobak Sodor, Benthik, Neker-an, Umbul, Ulur/layangan, Wil-
wo, dan lain-lain. Bahkan di kampung Pandes berkembang sebuah
komunitas “Kampung Dolanan” yang memproduksi permainan anak
tempo doeloe, seperti : Othok-Othok, Kitiran, Angkrek, Keseran,
Wayang Kertas, dan lain-lain
5) Pada Tahun 1980 di desa Panggungharjo yang merupakan wilayah sub-
urban mulai berkembang Budaya Modern Perkotaan dan banyak
mempengaruhi Generasi Muda, sehingga berkembanglah kesenian
Band, Drumband, Karnaval Takbiran, Tari-tarian Modern, Campur Sari,
Outbond, Playstation/Game Rental, dan lain-lain.

Adapun Visi dan Misi Desa Panggungharjo adalah sebagai berikut .


Visi Desa Panggungharjo : Menyelenggarakan pemerintahan yang bersih,
transparan dan bertanggungjawab untuk mewujudkan masyarakat desa
Panggungharjo yang demokratis, mandiri, dan sejahtera serta
berkesadaran lingkungan.

Misi Desa Panggungharjo adalah sebagai berikut :


1) Meningkatkan dan memperluas jaringan kerjasama Pemerintah dan
Non Pemerintah.
2) Mewujudkan pelayanan yang profesional melalui peningkatan tata
kelola pemerintahan desa yang responsif dan transparan.
3) Mewujudkan kehidupan sosial budaya yang dinamis dan damai.
4) Meningkatkan potensi dan daya dukung lingkungan untuk
menciptakan peluang usaha.
5) Meningkatkan kesejahteraan masyarakat melalui pembangunan hijau
yang partisipatif.

14
6) Meningkatkan dan memperluas jaringan kerjasama
Pemerintah dan Non Pemerintah.
7) Mewujudkan pelayanan yang profesional melalui peningkatan tata
kelola pemerintahan desa yang responsif dan transparan28.
Secara administratif Desa Panggungharjo terdiri dari 14 Pedukuhan yang
terbagi menjadi 118 RT yang mendiami wilayah seluas 560,966,5 Ha. Desa
Panggungharjo merupakan salah satu desa di Kabupaten Bantul yang
secara langsung berbatasan dengan kota Yogyakarta yang merupakan ibu
kota D.I. Yogyakarta. Sebagai kawasan yang berbatasan langsung dengan
kawasan perkotaan Yogyakarta, Desa Panggungharjo merupakan kawasan
aglomerasi perkotaan Yogyakarta yang ini juga berarti merupakan
kawasan strategis ekonomi. Desa Panggungharjo merupakan Desa
Teladan, karena pernah meraih Juara I Tingkat Nasional dalam Lomba
Desa Tingkat Nasional Tahun 201429.

b. Peranan Lembaga Mediasi Desa Panggungharjo, Sewon, Bantul


dalam menyelesaikan sengketa

Berdasarkan hasil wawancara Penulis dengan 2 orang Mediator


Lembaga Mediasi Desa yaitu Bp. Muhammad Ali Yahya, SH dan Ilham Yuli
Isdiyanto, SH, MH., akan Penulis uraikan tentang Peranan Lembaga
Mediasi Desa Panggungharjo berikut ini.
Pembentukan Lembaga Mediasi Desa, Desa Panggungharjo, Sewon,
Bantul dilatarbelakangi oleh banyaknya kasus sengketa tanah dan warisan
di Desa tersebut, sehingga pemerintah Desa berinisiatif membentuk Tim
untuk menangani kasus-kasus itu. Pada awalnya Tim yang dibentuk oleh
Pemerintah Desa bekerjasama dengan Lembaga Bantuan Hukum “Bumi

28
Ibid
29
Ibid.

15
Adil” pada tahun 2014. Namun karena tidak dapat berjalan secara efektif,
kemudian Pemerintah Desa membentuk Lembaga Mediasi Desa (LMD)
dengan melibatkan unsur birokrasi dan masyarakat. Lembaga Mediasi
Desa ini memiliki 2 orang mediator yang bersertifikat dari Mahkamah
Agung.
Ada banyak kasus yang telah ditangani oleh Lembaga Mediasi Desa
Panggungharjo antara lain kasus sengketa tanah, sengketa warisan, dan
kasus pencemaran nama baik. Kasus sengketa tanah merupakan kasus
yang paling sering muncul. Menurut Rafael, tanah dan sumber daya
sangatlah penting bagi kelangsungan hidup, identitas, serta integritas
budaya dari masyarakat adat30 Proses penyelesaian kasus-kasus tersebut
dilakukan dengan pendekatan musyawarah (mediasi). Tahapan yang
dilakukan dalam penyelesaian setiap kasus dilakukan dengan sederhana :

1) Pihak yang merasa dirugikan (pengadu) membuat surat secara


resmi kepada kepala desa berikut dengan gambaran/kronologis
kasusnya.
2) Kemudian LMD akan memanggil pengadu untuk dimintai
keterangannya.
3) Setelah mendapat keterangan dari pengadu, LMD akan memanggil
pihak yang diadukan untuk didengar keterangannya.
4) Setelah memperoleh keterangan/informasi dari kedua belah pihak
kemudian LMD memanggil kedua belah pihak untuk dilakukan
mediasi.
5) Mediasi dipimpin oleh seorang mediator untuk mencapai
kesepakatan yang diterima kedua belah pihak

30Rafael Edy Bosko, 2006, Hak-Hak Masyarakat Adat dalam Konteks Pengelolaan SUmber Daya
Alam. Jakarta, Elsam, hlm. 169

16
6) Setelah tercapai kesepakatan, maka kesepakatan tersebut
dituangkan dalam Akta Perdamaian.
Berikut ini, akan penulis sampaikan beberapa kasus yang pernah
ditangani oleh LMD :
1) Kasus Sengketa Warisan
Kasus ini bermula dari sepasang suami istri yaitu bernama Bu
boinem dan Bapak Sumo, yang memiliki anak bernama Suparman
dan Mariyani. Setelah menjalani kehidupan rumah tangga sekian
tahun, karena ada masalah yang tidak dapat diselesaikan, mereka
kemudian bercerai dan membagi harta gono gini. Lalu Bu Boinem
menikah lagi dengan Ngatijo. Dengan membawa harta bawaan
sebesar 1 kg emas. Emas tersebut kemudian dijual, lalu dibelikan
tanah kemudian dibangun rumah dan tempat usaha. Tidak lama
kemudian Boinem meninggal, tanpa meninggalkan anak hasil
perkawinan dengan Ngatijo. Kemudian Ngatijo menikah lagi
dengan Tukinem dan punya anak bernama Maryam. Tak lama
kemudian Ngatijo meninggal, dengan meninggalkan harta warisan
berupa rumah dan tanah (hasil perkawinan dengan Boinem). Lalu
anak dari Boinem istri pertama dari Ngatijo yaitu Suparman dan
Maryani meminta bagian warisan berupa tanah dan rumah
tersebut, karena mereka mengetahui bahwa tanah dan rumah
tersebut dibeli dari harta bawaan ibunya berupa emas 1 kg. Namun
Istri kedua dari Ngatijo yaitu Tukinem tidak bersedia membagi
warisan tersebut dengan alasan bahwa sertifikat tanah itu
diatasnamakan suaminya, sehingga hanya dia dan anaknya yang
berhak memperoleh warisan tersebut.
Kemudian Suparman dan Mariyani mengadukan masalah ini
ke Lembaga Mediasi Desa agar masalah tersebut diselesaikan. Lalu

17
LMD memanggil para pihak untuk melakukan mediasi, dan para
saksi yaitu pembeli emas dan saksi pak Dukuh. Setelah dilakukan
berkali-kali mediasi akhirnya disepakati bahwa tanah dan rumah
tersebut dibagi/dibelah 2 (dua), masing-masing untuk ahli waris
Boinem dan ahli waris Tukinem. Kesepakatan tersebut dituangkan
dalam Akta Perdamaian yang ditanda tangani oleh kedua belah
pihak. Masalah tersebut dapat diselesaikan dengan baik. Lalu tanah
dan rumah tersebut langsung dieksekusi dibagi 2 ahli waris yaitu
untuk Suparman-Maryani dan Tuginem-Maryam.

2) Kasus Pencemaran Nama Baik terhadap Ketua Takmir Masjid


Ada seorang Ketua Takmir bernama pak Sunar, yang telah menjadi
Takmir sekian lama, hampir seumur hidup, usianya sudah cukup
tua sekitar 70 tahun. Ketua Takmir tersebut sangat kolot, semua
urusan Masjid harus sesuai dengan keinginannya. Pengurus dan
Jamaah tidak berhak mengatur urusan Masjid kecuali beliau. Beliau
juga tidak transparan soal keuangan Masjid. Masyarakat ingin
sekali mengganti Ketua Takmir tersebut, tetapi pak Sunar tidak
bersedia diganti. Anak-anak muda di kampung tersebut yang
memiliki gagasan untuk perubahan terhadap Masjid selalu ditolak.
Kemudian kekesalan mereka dituangkan dalam grup Whatshap
(WA) Masjid, dengan membuat meme-meme dan komentar yang
bersifat menyindir Ketua Takmir. Hingga akhrinya pak Sunar sang
Ketua Takmir tersinggung, karena beliau juga menjadi anggota
Grup WA tersebut dan mengancam akan melaporkan orang-orang
yang membuat meme dan sindiran ke Polisi. Benar saja, Pak Sunar
akhirnya melaporkan kasus tersebut ke Polisi, melalui anaknya
yang kebetulan seorang Pangacara dengan delik pencemaran nama

18
baik. Beberapa warga akhirnya dipanggil ke Polres untuk dimintai
keterangan. Atas kejadian tersebut warga mengadukan masalah
tersebut kepada Lembaga Mediasi Desa (LMD) untuk minta dibantu
penyelesaiannya.
LMD kemudian memanggil para pihak, untuk
bermusyawarah. Musyawarah dilakukan dengan sangat alot, pak
Sunar tidak bersedia mencabut laporannya ke Polisi, begitu juga
warga tidak mau meminta maaf atas pencemaran nama baik
tersebut. Bahkan warga masyarakat mengancam tidak akan
mengurus jenazah pak Sunar seandainya beliau meninggal nanti.
Suasana menjadi sangat gaduh dan riuh karena yang terlibat
mediasi cukup banyak. Akhirnya pihak LMD melakukan kaukus
(bilik kecil) dengan melibatkan perwakilan kedua belah pihak. Di
forum kecil tersebut lalu terungkap berbagai persoalan terkait
dengan pengelolaan Masjid termasuk soal keuangan. Kemudian
sampailah pada titik kompromi, pak Sunar bersedia mencabut
pengaduannya di Polisi asalkan warga mau meminta maaf. Warga
bersedian meminta maaf asalkan pak Sunar bersedia diganti
sebagai Ketua Takmir Masjid. Akhirnya dicapai kesepakatan, dan
lalu kesepakatan tersebut dituangkan dalam Akta Perdamaian.

Dari kedua contoh kasus yang ditangani diatas, dapat diketahui


bahwa LMD cukup efektif dalam menyelesaikan persoalan sengketa di
Desa Panggungharjo. Proses penyelesaian yang dilakukan LMD berbasis
pada kearifan lokal (local wisdom) dalam menyelesaikan setiap
konflik/sengketa di masyarakat. Di Indonesia, pemahaman terhadap apa
yang disebut sistem kearifan local sangat beragam, ada yang menggunakan
istilah sistem pengetahuan asli, sistem pengetahuan adat, dan sistem
pengetahuan tradisional. Menurut Rachmad Syafa’at yang menjadi ciri

19
utama sistem kearifan local, bukanlah nilai-nilai keasliannya, tetapi lebih
menekankan pada aspek lokalitas atau territorial tertentu baik yang
didukung sistem pengetahuan yang bersifat asli maupun yang telah
beradaptasi dengan nilai-nilai dari luar31
Menurut Ade Saptomo, apabila substansi penyelesaian sengketa
berdasarkan potensi lokal adalah upaya kongkret para pihak yang
berselisih untuk menemukan hukumnya sendiri diamati, maka upaya
penyelesaian perselisihan atau sengketa yang mengujung pada
perdamaian telah lama dikenal bangsa Indonesia, bahkan upaya-upaya
tersebut telah melembaga ke dalam apa yang disebut peradilan desa
(doorpstjustice)32.
Usaha untuk menghidupkan kembali peradilan desa, pada saat ini
menemukan momentumnya, dengan diterbitkannya Undang-Undang
Desa. Pasal 26 ayat (4) huruf k UU No. 6 tahun 2014 menyebutkan bahwa
“Kepala Desa berkewajiban untuk menyelesaikan perselisihan masyarakat
di Desa”. Berdasarkan Pasal tersebut, jika dieksplorasi lebih luas, maka
Kepala Desa dapat membentuk Lembaga Mediasi Desa atau bahkan
Peradilan Desa untuk menyelesaikan berbagai konflik/sengketa yang ada
di Desa.

4. Faktor-Faktor yang menjadi kendala


Adapun kendala yang dihadapi oleh Lembaga Mediasi Desa, Desa
Panggungharjo yaitu :

31 Rachmad Safa’at, 2013, Rekonstruksi Politik Hukum Pangan, Dari Ketahanan Pangan ke
Kedaulatan Pangan, Malang, UB Press, hlm. 3
32 Ade Saptomo, 2010, Hukum dan Kearifan Lokal, Revitalisasi Hukum Adat Nusantara, Jakarta,

Grasindo, hlm. 104

20
a. Jumlah personil yang memiliki kemampuan menjadi Mediator
sangat terbatas yaitu hanya 2 orang, sedangkan kasus yang
ditangani cukup banyak.
b. Belum memiliki admin yang bertugas khusus sebagai staf yang
menangani administrasi perkara, sehingga terlihat belum tertib
dalam hal dokumentasi kasus.
c. Belum ada landasan hukum yang kuat sebagai dasar berdirinya
Lembaga Mediasi Desa, berupa Perdes atau Keputusan Kepala Desa.
D. Kesimpulan dan Saran
1. Kesimpulan
Berdasarkan paparan diatas, maka dapat disimpulkan bahwa
Lembaga Mediasi Desa, Desa Panggungharjo, Sewon, Bantul, dapat
melaksanakan peranannya dalam menyelesaikan sengketa antar warga
masyarakat secara efektif. Tata cara penyelesaian sengketa dengan
Mediasi telah diterapkan dengan baik dan putusannya dapat diterima
serta dipatuhi oleh masyarakat. Lembaga Mediasi Desa telah mendapat
kepercayaan dari warga masyarakat dengan banyaknya kasus yang
ditangani.
Namun demikian, masih terdapat beberapa kendala yang dihadapi
oleh LMD antara lain : terbatasnya jumlah mediator bersertifikat, belum
adanya staf yang bertindak sebagai admin, serta secara kelembagaan LMD
belum memiliki landasan hukum berupa SK dari Kepala Desa.
2. Saran
a. Lembaga Mediasi Desa patut untuk dipertahankan bahkan ditingkatkan
kinerjanya menjadi lebih baik dengan dukungan legalitas kelembagaan,
personil dan fasilitas pendukung lainnya yang diperlukan.

21
b. Lembaga Mediasi Desa sebaiknya dikembangkan di desa-desa di
seluruh Indonesia agar dapat menjadi saluran penyelesaian sengketa
warga berbasis pada kearifan lokal

DAFTAR PUSTAKA

A. Hamid S. Attamimi. 1990, Peranan Keputusan Presiden Republik Indonesia


dalam Penyelenggaraan Pemerintahan Negara. Desertasi. Jakarta:
Universitas Indonesia

Bambang Sunggono, 2007, Metodologi Penelitian Hukum, PT Raja Grafindo


Persada, Jakarta.

Mashuri Mashab, 2013, Politik Pemerintahan Desa di Indonesia, Cetakan I, PolGov


Fisipol UGM, Yogyakarta

M. Irsyad Thamrin dan M. Farid, 2010, Panduan Bantuan Hukum Bagi Paralegal,
Yogyakarta, LBH Yogyakarta

Ni’matul Huda, 2015, Hukum Pemerintahan Desa, Malang, Setara Press

Rachmad Safa’at, 2013, Rekonstruksi Politik Hukum Pangan, Dari Ketahanan


Pangan ke Kedaulatan Pangan, Malang, UB Press

____________________, (ed.), 2015, Relasi Negara dan Masyarakat Adat, Perebutan


Kuasa atas Hak Pengelolaan Sumberdaya alam, Malang, Surya Pena
Gemilang

____________________, 2016, Advokasi dan Alternatif Penyelesaian Sengketa, Malang,


Surya Pena Gemilang

R. Yando Zakaria, 2000, Abih Tandeh, Masyarakat Desa di Bawah Rejim Orde Baru,
Jakarta, Elsam,
Rafael Edy Bosko, 2006, Hak-Hak Masyarakat Adat dalam Konteks Pengelolaan
Sumber Daya Alam, Jakarta, Elsam

22
Soetandyo Wignosubroto dkk (Tim Penulis), 2005, Pasang Surut Otonomi Daerah,
Skestsa Perjalanan 100 tahun, Institute for Local Development dan Yayasan
Tifa, Jakarta

Soetardjo Kartohadikoesoemo, 1984, Desa, Balai Pustaka, Jakarta

Soerjono Soekanto, 1986, Pengantar Penelitian Hukum, Jakarta, Universitas


Indonesia Press

Suhadibroto, 1993, Musyawarah dan “menang Tanpo Ngasorake”, Jakarta,


Kompas,

Internet

https://tirto.id/mahkamah-agung-masih-menunggak-1571-perkara-di-2017-
cCqW, diunduh pada tanggal 23 Oktober 2018 pukul 4:40 WIB

www. panggungharjo.desa. id, diunduh pada tanggal 25 Oktober 2018

23

Anda mungkin juga menyukai