Anda di halaman 1dari 15

Lesmana Rian Andhika Efek Negatif Pemilihan Kepala Desa Serentak 205

BAHAYA PATRONASE DAN KLIENTELISME DALAM PEMILIHAN KEPALA DESA SERENTAK

THE DANGERS OF PATRONAGE AND CLIENTELISM IN SIMULTANEOUS


VILLAGES CHIEF ELECTIONS

Lesmana Rian Andhika


(Universitas Padjadjaran, Jl. Bukit Dago Utara No. 25 Bandung 40135, Indonesia; email: lesmana15001@mail.unpad.ac.id)

Naskah Diterima: 3 Juli 2017, direvisi: 12 Agustus 2017,


disetujui: 30 September

Abstract
The election of village chief simultaneously shows the progress of local-level democracy. In practice, it reveals however various
strategies which brings about negative consequences. These strategies have roots in habits which have been implemented in large-
scale elections. This article is resulted from a qualitative research whose design is a case study method. Primary data is gained from
unstructured interviews and the non-participation observations, while the empirical one obtained from triangulation techniques.
The results of the research reveal that the existence of village fund draws candidates to run in the elections, but it creates negative
consequences in form of the emergences of patronage and clientelism practices, which make elections undemocratic. This has caused
disputes among family members and supporters of village chief candidates. Lack of political education, poverty and poor human
resources were other factors for the emergence of patronage and clientelism.
Keywords: simultaneous elections, villages chief, patronage, clientelism

Abstrak
Pemilihan kepala desa secara serentak menunjukkan kemajuan demokrasi tingkat lokal. Namun, dalam pelaksanaannya, masih
merefleksikan strategi yang dapat menimbulkan konsekuensi negatif. Strategi pemenangan ini memiliki akar kebiasaan yang telah
diajarkan oleh pemilihan berskala besar di masyarakat. Artikel ini menggunakan pendekatan kualitatif dengan desain penelitian case
study method. Penggalian data primer dilakukan dengan wawancara tidak terstruktur yang bersifat terbuka (unstructured interviews)
dan observasi non partisipasi. Data empiris yang didapat dianalisis dengan teknik triangulasi untuk mendapatkan data yang valid.
Hasil penelitian mengungkapkan bahwa, kebijakan pemerintah dengan dana desa memberikan daya tarik kepada siapapun untuk
mencalonkan diri. Konsekuensi negatif dari strategi pemenangan menunjukkan pola patronase dan klientelisme, yang menjadi awal
pemilihan yang tidak demokratis. Bahaya yang ditimbulkan akibat strategi ini menumbuhkan bibit permusuhan antara kerabat,
menimbulkan kebencian di antara pendukung calon kepala desa. Bahaya itu terjadi karena minimnya pendidikan politik yang benar,
demikian pula, faktor kemiskinan dan sumberdaya manusia yang rendah juga menjadi faktor penyebab munculnya patronase,
klientelisme.
Kata kunci: pemilihan serentak, kepala desa, patronase, klientelisme

PENDAHULUAN Paragraf 1 Tata Cara Pemilihan Kepala Desa Pasal 40


Undang-Undang Negara Republik Indonesia angka 1 sampai 4 menyebutkan, pemilihan kepala
Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa pada BAB V Bagian Desa dilaksanakan secara serentak diseluruh wilayah
Ketiga Pemilihan Kepala Desa pada Pasal 31 angka Kabupaten/Kota. Pemilihan kepala Desa secara
1 menyebut pemilihan kepala desa dilaksanakan serentak dapat dilaksanakan bergelombang paling
secara serentak diseluruh wilayah Kabupaten/Kota. banyak 3 (tiga) kali dalam jangka waktu 6 (enam)
Selanjutnya pada angka 2 disebutkan, Pemerintah tahun. Dalam hal terjadi kekosongan jabatan kepala
Daerah Kabupaten/Kota menetapkan kebijakan Desa dalam penyelenggaraan pemilihan kepala
pelaksanaan pemilihan kepala Desa secara serentak. Desa serentak, Bupati/Walikota menunjuk penjabat
Angka 3 memberikan kejelasan mengenai tata cara kepala Desa. Penjabat kepala Desa dimaksud berasal
pemilihan kepala Desa serentak yang akan diatur dari pegawai negeri sipil dilingkungan pemerintah
dengan atau berdasarkan Peraturan Pemerintah. daerah Kabupaten/Kota. Pada pasal 41 dijelaskan
Tata cara pemilihan tersebut diatur dalam Peraturan tahapan pemilihan kepala Desa yang terdiri dari
Pemerintah Republik Indonesia Nomor 43 Tahun persiapan, pencalonan, pemungutan suara dan
2014 tentang Peraturan Pelaksana Undang-Undang penetapan. Mekanisme dan tahapan pemilihan
Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa. Pada BAB IV kepala Desa serentak selanjutnya di atur melalui
Pemerintah Desa Bagian Kesatu Kepala Desa pada Peraturan Menteri Dalam Negeri Republik Indonesia
206 Kajian Vol. 22 No. 3 September 2017 hal. 205 - 219

Nomor 112 Tahun 2014 tentang Pemilihan Kepala Ada beberapa alasan yang dapat dikemukan
Desa. mengapa penelitian ini menarik untuk dilakukan.
Amanat kebijakan pemerintah ini telah dilakukan Pertama, pilkades serentak di Kabupaten Aceh
oleh Pemerintah Kabupaten Aceh Tenggara yang Tenggara baru yang pertama sekali dilakukan
mengelar Pemilihan Kepala Desa (pilkades) secara semenjak kebijakan pemerintah tentang Desa
serentak pada hari sabtu tanggal 15 Juli 2017. Dari disahkan pada tahun 2014. Kedua, Desa yang
54 hanya 50 desa yang menggelar pilkades serentak1 melakukan pilkades serentak berada pada wilayah
tersebar di 14 Kecamatan dari 16 Kecamatan yang administratif Kabupaten Aceh Tenggara yang
ada, hanya dua Kecamatan yang tidak menggelar heterogen. Ketiga, dengan adanya heterogenitas
yakni Kecamatan Tanoh Alas, dan Kecamatan tersebut akan mengubah perilaku, cara pandang
Semadam2. Desa yang melakukan pemilihan serentak untuk menyikapi pilkades serentak dengan berbagai
ini adalah jenis Desa Administratif dan bukan jenis cara untuk berpartisipasi apakah menjadi partisipan
Desa Adat yang telah diatur mengenai karakteristik (tim sukses) atau sebagai perserta pemilihan (calon
dan jenis Desa pada Undang-Undang Negara Republik kepala Desa). Keempat, bagi calon kepala Desa akan
Indonesia Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa pada menerapkan berbagai macam strategi yang unik
BAB I Ketentuan Umum dan pada BAB II Kedudukan untuk memenangkan pemilihan. Kelima, perilaku
dan Jenis Desa. Rincian detail dari 15 Kecamatan yang diperlihatkan oleh masyarakat sebagai respon
yang menggelar pilkades serentak diantaranya, terhadap strategi yang dipakai oleh para calon
Kecamatan Lawe Alas (3), Kecamatan Lawe Sumur mungkin saja akan menimbulkan konsekuensi positif
(1), Lawe Bulan (7), Kecamatan Babussalam (8), dan negatif.
Kecamatan Leuser (6), Kecamatan Bambel (4), Temuan empiris dari berbagai literatur yang ada
Kecamatan Deleng Pokhison (4), Kecamatan Darul berpola pada konsep patronase dan klientelisme,
Hasanah (5), Kecamatan Ketambe (3), Kecamatan istilah konsep ini masih sering diperdebatkan diber-
Bukit Tusam (3), Kecamatan Babul Rahma (3), bagai studi ilmu sosial. Namun diberbagai studi
Kecamatan Lawe Sigala (3), Kecamatan Badar (3), konsep patronase dan klientelisme lebih sering dikaji
dan Kecamatan Babul Makmur (1) desa3. pada pemilihan skala besar seperti pemilihan kepala
Pemilihan merupakan bagian dari demokrasi, daerah, pemilihan anggota legislatif, dan pemilihan
pada prakteknya demokrasi diartikan sebagai mem- presiden karena melibatkan kendaraan partai
berikan hak kepada masyarakat untuk berpartisipasi politik atau partai politik pendukung pemerintah.
dalam politik, diberi hak untuk mampu mengambil Seperti misalnya studi patronase7 yang dilakukan di
keputusan politik, biasanya dilakukan dengan Kabupaten Bener Meriah, politik sukuisme menjadi
pemilihan suara langsung4. Demokrasi juga dimaknai peluang besar untuk memperoleh suara, patronase
sebagai refleksi pemilihan umum5, dan demokrasi akan muncul pada kandidat baru dan juga kandidat
sebagai sistem pemerintahan dengan empat elemen petahana. Alasan masyarakat, suara mereka beharga
kunci, 1). a political system for choosing and replacing mahal biasanya muncul akibat ketidakpercayaan
the government through free and fair elections; 2). masyarakat dengan para kandidat8. Studi di kota
the active participation of the people, as citizens, Medan mengungkapkan, patronase dilakukan para
in politics and civic life; 3). protection of the human kandidat petahana maupun calon kandidat baru
rights of all citizens; 4). a rule of law, in which the sejak lama sebelum pemilihan. Modus operandi yang
laws and procedures apply equally to all citizens6. dilakukan dengan cara ikut dalam kegiatan sosial
etnis, dan donatur untuk yayasan etnis tertentu9.
Studi di Bangka Belitung, juga mengungkapkan pola
1
Dari 54 desa hanya 50 desa yang melakukan pilkades patronase diubah menjadi pemberian berbentuk
serentak, alasannya karena pani a pemilihan ngkat desa barang10. Studi tentang klientelisme juga pernah
kurang siap dalam menggelar pilkades. dilakukan diantaranya studi di kota Palembang
2
“Hari ini, 50 Desa Di Agara Mengelar Pilkades Serentak”, menunjukkan dana aspirasi dari petahana akan
(online), (h p://acehtenggarakab.go.id/detail_berita/
dijadikan modus untuk membangun relasi
detail_berita.php?&id_berita=79, diakses 04 Agustus
2017). klientelisme dengan berbagai proyek, dan bantuan
3
Ibid.
4
Anthony H. Birch, The Concepts and Theories of Modern
7
Democracy, Edisi ke-3, Oxon: Routledge, 2007, hlm. 109. Edward Aspinall dan Mada Sukmaja (Eds), Politik Uang
5
James R. Hollyer, et al., “Democracy and Transparency,” di Indonesia: Patronase dan Klientelisme pada Pemilu
The Journal of Politics, No.4/Vol.73.2011, hlm. 1191-1205. Legislatif 2014, Yogyakarta: PolGov, 2015, hlm. 73-402.
6 8
Larry Diamond, 2004, “What is Democracy?”, Ibid, Bagian 3, hlm. 73-99.
9
(online), (h p://web.stanford.edu/~ldiamond/iraq/ Ibid, Bagian 4, hlm. 100-125.
10
WhaIsDemocracy012004.htm, diakses 17 Juli 2017). Ibid, Bagian 5, hlm. 126-146.
Lesmana Rian Andhika Efek Negatif Pemilihan Kepala Desa Serentak 207
11
usaha . Studi di Jawa Timur mengungkapkan, bentuk aksi yang nyata, dan tidak memenuhi janji
klientelisme yang luas12 tidak akan menjadi jaminan kampanye; 3). Klientelisme erat kaitannya dengan
memperoleh suara dari pemilih, klientelisme ini harus patronase, walaupun dibeberapa keadaan tidak
diikat dengan patronase13. Studi tentang pilkades semua patronase didistribusikan dalam relasi yang
juga pernah dilakukan, dengan fokus penyelidikan benar-benar bersifat klientelisme19; 4). Klientelisme
tentang interaksi calon kepala desa dengan para tidak lagi dianggap cara yang ampuh untuk meraih
pemilih yang dipengaruhi oleh gambaran politik suara tanpa ada nya ikatan patronase; 5). Calon
calon kepala Desa, evaluasi retrospektif di tingkat kepala Desa mungkin merupakan konstituen rezim
pemilih, dan media komunikasi yang digunakan14. penguasa untuk memuluskan langkah penguasa
Studi lain lebih berfokus pada aspek sumber daya petahana untuk meraih suara dalam pemilihan
manusia para calon kepala Desa15. periode berikutnya.
Berbagai studi komparatif tentang pilkades Masih jarangnya penelitian yang mengungkapkan
dapat ditelusuri juga dari beberapa literatur ilmiah, efek negatif dari pilkades dilihat dari sudut pandang
peneliti mencoba mengungkapkan pilkades dari pola patronase dan klientelisme, maka penelitian
beberapa negara lain. Seperti studi di negara Pakistan ini bisa mengisi celah kekosongan tersebut. Artikel
mengungkapkan, untuk menarik simpati para pemilih, penelitian ini bukanlah sesuatu yang baru dalam
calon kepala Desa menciptakan citra popularitas yang penelitian pemilihan kepala desa (electoral rural
baik kepada masyarakat dengan cara memberikan or village elections), namun dengan bergulirnya
bantuan berupa barang (klientelisme) dengan latar kebijakan dana desa maka peluang patronase
keagamaan16. Studi di negara Cina menunjukkan, dan klientelisme menjadi terbuka lebar. Karena
salah satu calon kepala Desa merupakan orang patronase dan klientelisme membutuhkan sumber
yang berafiliasi atau konstituen rezim penguasa, daya anggaran yang sangat besar.
pembelian suara dilakukan pada pilkades namun Artikel penelitian ini juga ingin mengungkapkan
tidak pada pemilihan skala besar17 18. beberapa temuan empiris tentang efek negatif dari
Studi di atas lebih menekankan faktor patronase pilkades serentak, membuka pintu yang lebar politik
dan klientelisme pada pemilihan umum dan isu uang untuk membeli suara pemilih (vote buying),
patronase dan klientelisme dalam partai politik. menimbulkan bibit permusuhan antara kerabat,
Argumentasi yang dapat dibangun dari studi itu dan menimbulkan kebencian diantara pendukung
menunjukkan pada beberapa kecenderungan calon kepala Desa. Patronase dan klientelisme dalam
utama: 1). Patronase merupakan hal yang umum pilkades memiliki corak yang unik. Konsekuensi
terjadi pada masyarakat kita, penyebabnya adalah penting dari beberapa argumentasi yang ada
tuntutan ekonomi, ketidakpercayaan terhadap figur akan menimbulkan pemahaman untuk menjawab
calon kepala Desa petahana ataupun calon kepala permasalahan penelitian yang terdeskripsi dalam
Desa baru; 2). Disebabkan juga oleh jarangnya para pertanyaan penelitian, 1) Apa efek negatif dari
calon untuk menampung aspirasi masyarakat dalam pilkades serentak; 2). Bagaimana pola patronase
11
dan klientelisme dalam pilkades serentak. Yang
Ibid, Bagian 7, hlm. 174-199.
12
Klientelisme yang luas dengan mengandalkan sosok akan melahirkan analisis mendalam dari bukti-bukti
figure panutan, premordialisme, poli k aliran dak lagi empiris. Tujuan penelitian ini berusaha memberikan
menunjukkan fungsi yang signifikan untuk memperoleh kontribusi pengetahuan dengan mengeksplorasi
suara pemilih, pemilih lebih kri s dan realis s untuk beberapa temuan empiris efek negatif dan pola
menentukan pilihan. patronase, klientelisme dalam pilkades.
13 10
Op.cit, Bagian 15, hlm. 380-402.
14
Alamsyah, “Dinamika Poli k Pilkades di Era Otonomi
Daerah,” Taman Praja, No.1/Vol.1.2011, hlm. 1-15. METODE PENELITIAN
15
Jawandri, “Proses Pemilihan Kepala Desa di Desa Tanjung Penelitian ini mengunakan metode kualitatif
Naga Kecamatan Malinau Selatan Kabupaten Malinau,” dengan desain penelitian case study method.
eJournal Ilmu Pemerintahan, No.1/Vol.1.2013, hlm. 235–
247.
Bertujuan untuk mencari rincian makna yang komplek
16
M. Rashiduzzaman, “Elec on Poli cs in Pakistan Villages,” tentang fenomena masalah yang ada, menjelaskan
Journal of Commonwealth Political Studies, Vol.4/ bagaimana dan mengapa sebuah kasus terjadi. Studi
Issue.3.2008, hlm. 191-200. kasus dapat menggambarkan topik-topik tertentu
17
Pierre F. Landry, et al., “Elec on in Rural China: Compe on dan mengevaluasi sesuatu yang telah dilakukan
Without Par es,” Comparative Political Studies, Vol.43/
dalam modus deskriptif dengan menggunakan
Issue.6.2010, hlm. 763-790.
18
Hiroki Takeuchi, “Vote Buying, Village Elec ons, and prosedur tertentu20. Diharapkan dapat membuka
Authoritarian Rule in Rural China: A Game-Theori c
19
Analysis,” Journal of East Asia Studies, Vol.13/Issue.0.2013, Loc.it, Aspinal dan Sukmaja , hlm. 5.
20
hlm. 69-105. Robert K. Yin, Case Study Research: Design and Method,
208 Kajian Vol. 22 No. 3 September 2017 hal. 205 - 219

tabir dalam menjelaskan, memahami, mengungkap, komparasi antara empiris dan teoritis agar lebih
menguraikan, menggambarkan fenomena yang mampu mengungkapkan makna permasalahan
terjadi pada objek penelitian secara empiris21 efek penelitian. Dan pada akhirnya akan diketahui cara
negatif dari pilkades serentak dan pola patronase, yang dapat ditempuh untuk menyelesaikan masalah
klientelisme diselidiki dengan cara wawancara. empiris tersebut.
Wawancara dilakukan antara tanggal 1-30 Juli
2017 dengan face to face interview22 yang dirancang HASIL DAN PEMBAHASAN
untuk memunculkan pandangan dan opini dari Setelah terbitnya Permendagri Nomor 112
para informan dengan wawancara tidak terstruktur Tahun 2014 tentang Pemilihan Kepala Desa yang
yang bersifat terbuka (unstructured interviews)23. dilakukan secara serentak, maka demokrasi negara
Wawancara dilakukan dengan menggunakan teknik ini telah menunjukkan kemajuan. Alasannya untuk
purposeful sampling atau dikenal juga dengan menghemat anggaran negara, ini adalah pilihan
sebutan criterion-based selection yaitu agar manusia, logis karena selama ini pemilihan umum apapun27
latar belakang, kejadian tertentu (unik, khusus, pemerintah mengeluarkan anggaran yang tidak
tersendiri, aneh) betul-betul diupayakan terpilih atau sedikit. Sebenarnya, dengan kebijakan pemerintah
disertakan untuk memberikan informasi penting dengan adanya “dana desa” peluang untuk
yang berkaitan dengan tema penelitian. Wawancara melakukan patronase dan klientelisme menjadi
dilakukan di 24 desa dari 7 Kecamatan24, dengan terbuka lebar. Walaupun dalam Undang-Undang
jumlah informan 48 orang25 dengan membagi Negara Republik Indonesia Nomor 6 Tahun 2014
dalam beberapa kategori yaitu wawancara kepada tentang Desa pada BAB V tentang Penyelenggaraan
salah satu calon kepala Desa (24 orang informan), Pemerintah Desa pasal 26, 29, 42, 51, dan pasal 64
masyarakat26 (24 orang informan) dengan syarat telah diatur secara jelas larangan bagi Kepala Desa
knowledgeable on the subject, dan juga melakukan untuk melakukan kolusi, korupsi, nepotisme dan
observasi non partisipasi. Memeriksa dan membaca menguntungkan pihak tertentu. Tetap saja dalam
dokumen resmi, buku, jurnal ilmiah sebagi data prakteknya terjadi penyimpangan dengan berbagai
sekunder yang relevan dengan topik penelitian. modus operandi yang telah terungkap yang banyak
Alasan peneliti menggunakan instrumen ini untuk menjadi berita utama di media elektronik dan cetak
mendapatkan informasi yang valid langsung dari diberbagai daerah. Oleh sebab itu, secara singkat
informan. peneliti akan mulai menulis beberapa definisi dari
Data empiris yang didapat akan dianalisis temuan literatur yang mencoba menjelaskan arti
dengan teknik triangulasi untuk mendapatkan data dan makna dari patronase dan klientelisme agar
yang valid. Proses ini berlangsung terus-menerus pembahasan tema penelitian ini menjadi fokus dan
selama penelitian berlangsung, bahkan sebelum tidak kabur.
data benar-benar terkumpul. Prinsip pokok teknik Definisi patronase sampai saat ini masih diper-
validasi ini ialah mengolah dan menganalisis data- debatkan misalnya studi antropologi menganggap
data yang terkumpul menjadi data yang sistematik, patronage have focused on the relationship between
teratur, terstruktur dan mempunyai makna dengan patron and client28. Bagi studi ilmu politik patronase
teknik reduksi dan interpretasi. Kemudian data dimaknai sebagai it is assumed that the nature of this
tersebut akan dikombinasikan dan dibandingkan kinship, or the thing that initially draws client to patron
dengan landasan teori yang tersedia yang sesuai or patron to client, is the political party or machine29.
dengan tema penelitian, maka lebih mengedepankan Patronase dapat diartikan berupa pemberian uang
Edisi ke-4, Thousand Oaks, CA: SAGE Publica ons, 2009, tunai atau barang yang didistribusikan kepada
hlm. 3-23. pemilih yang berasal dari pribadi kandidat yang
21
Helen Simon, Case Study Research in Practice, London: didistribusikan dengan mekanisme tertentu kepada
SAGE Publica ons, 2009, hlm. 11-112. pemilih30. Definisi lain dari patronase juga dapat
22
Herbert J. Rubin dan Irene S. Rubin, Qualitative
ditemui dari beberapa penjelasan dari beberapa
Interviewing: The Art of Hearing Data, Thousand Oaks, CA:
SAGE Publica ons, 2012, hlm. 29-30. pakar. Misalnya, patrons and patronages allocate
23
Ibid. hlm. 31.
24 27
Total Kecamatan yang melakukan pilkades serentak adalah Pemilihan umum termasuk pemilihan kepala desa,
15 Kecamatan berada pada wilayah adminitra f Kabupaten pemilihan anggota legisla f ngkat daerah dan pusat,
Aceh Tenggara. pemilihan kepala daerah kabupaten/kota, provinsi.
25 28
Jumlah informan dapat di ngkatkan dengan Dominic A. Bearfield, “What is patronage? A Cri cal
memperha kan waktu dan biaya yang dikeluarkan oleh Reexamina on,” Public Administration Review, Vol.69/
peneli . Issue1.2009. hlm. 64-76.
26 29
Masyarakat (sebagai par sipan ( m sukses), dan non- Ibid, hlm. 66.
30
par sipan (masyarakat yang memiliki hak pilih)). Op.cit, Aspinall dan Sukmaja , hlm. 4.
Lesmana Rian Andhika Efek Negatif Pemilihan Kepala Desa Serentak 209
not only material resources. They operate more or Vote Buying
less successfully with sympathy, paternalistic piety, Setiap hadiah yang diberikan kepada calon
loyalty, power and/or obedience, knowledge and pemilih untuk memilih calon kepala Desa tertentu,
trust31. Ada juga menulis definisi patronase sebagai, dan mereka memberikan hak suara atau tidak dapat
all acts of patronage require the disposition of disebut sebagai pembelian suara. Vote buying
resources, of which money is the most serviceable, adalah praktek ilegal dalam pemilihan yang korup
but it is obviously not the only possibility32. dan juga menodai prinsip-prinsip pemilihan yang
Definisi klientelisme merupakan kriteria adil. Para praktisi akademik menganalisis vote buying
distributif dukungan pemilihan yang membedakan biasanya diartikan sebagai pembelian suara dengan
sifat klien dari strategi politik berorientasi material menawarkan imbalan dengan imbalan pilihan suara.
berupa proyek, pemberian barang, donatur Namun dibeberapa studi vote buying memiliki
yayasan kepada komunitas pemilih. Beberapa perdebatan makna. Para ahli telah lama memper-
definisi klientelisme juga dapat dijumpai misalnya, debatkan logika, mekanisme dan motivasi pembelian
klientelisme dianggap sebagai focusing on clientelism suara pemilih. Misalnya Stokes (2009) menyebut
as a method of electoral mobilization, I define it as vote buying sebagai pembayaran untuk pemilih
the proffering of material goods in return for electoral dengan kalimat yang sama antara pembelian suara
support, where the criterion of distribution that the dan pembelian pemilih36. Namun mekanisme dari
patron uses is simply: did you (will you) support me?33. vote buying lebih kepada pendistribusian terhadap
Definisi lain juga mengungkapkan, clientelism involves para pemilih loyalis dan pemilih mengambang,
asymmetric but mutually beneficial relationships untuk memobilisasi para pemillih untuk memberikan
of power and exchange, a nonuniversalistic quid suaranya.
pro quo between individuals or groups of unequal Masalah membeli suara bukanlah hal yang
socioeconomic or political standing34. Definisi yang illegal dalam prakteknya, itu akan terjadi tanpa
mirip dengan Stokes (2009) juga diungkapkan oleh adanya pengawasan yang ketat. Walaupun kebijakan
penulis lain sebagai, the selective distribution of good pemerintah telah mempertegas bila terkena kasus
and service by politicians to favored constituenties in vote buying, money politics calon kepala Desa
exchange for their political loyalty35. yang bersangkutan akan terkena sangsi pidana dan
Beberapa definisi tentang patronase dan hukuman administratif berupa dibatalkan sebagai
klientelisme itu akan sedikit membuka pemahaman calon. Seperti misalnya beberapa informan dari calon
kita, walaupun masih banyak definisi tentang kepala Desa dalam penelitian ini mengungkapkan,
patronase dan klientelisme dari sudut pandang ilmu “Tidak ada keraguan untuk memberikan uang
yang berbeda. Dari definisi yang telah teridentifikasi kepada masyarakat asalkan menang, uang
akan menjadi dasar untuk menguraikan hasil yang keluar akan tergantikan dengan dana
penelitian ini secara empiris tentang efek negatif desa. Karena masyarakat telah diajarkan dari
dan pola patronase, klientelisme dalam pilkades pemilihan anggota legislatif, kepala daerah
serentak. Efek negatif tersebut dapat diidentifikasi sebelumnya. Bila mau menang maka maunya
melalui: masyarakat harus diikuti…memang sudah
jamannya begitu”.
Ungkapan di atas sangat bertentangan dengan
prinsip-prinsip pemilihan yang adil dan juga
31
Plamen G. Georgiev, Corruptive Patterns of Patronage in bertentangan dengan amanat Undang-Undang
South East Europe, Weisbaden: VS Varleg, 2008, hlm. 23. Negara Republik Indonesia Nomor 6 Tahun 2014
32
Andrew D. Mculloch, Charisma and Patronage: Reasoning tentang Desa yang mengatur tentang larangan bagi
with Max Weber, Surrey: Ashgate Publishing Limited, 2014, kepala Desa. Kemudian tanggapan masyarakat dengan
hlm. 201. adanya pemberian uang tersebut diungkapkan oleh
33
Susan C. Stokes, Political Clientelism, dalam Carles Boix dan
Susan C. Stokes, (Ed), The Oxford Handbook of Comparative
beberapa informan dari masyarakat,
Politics, Oxford: Oxford University Press. 2009, hlm. 3. “Mana calon kepala Desa yang memberikan
34
Luis Roniger, Favors, “Merit Ribbons” and Services: uang maka itu yang kami pilih, pada saat ini dia
Analyzing the Fragile Resilience of Clientelism, dalam Tina (calon kepala Desa) ingat kepada kami, setelah
Hilgers, (Ed), Clintelism in Everyday Latin American Politics, duduk belum tentu dia akan memperhatikan
New York: Palgrave Macmillan, 2012, hlm. 26.
35
kami, maka ini kesempatan kami. Disisi lain
Nicolas Van de Walle, The Democratization of Clientelism
in Sub-Saharan African, dalam Diego Abante Brun dan
36
Larry Diamond, (Ed), Clientelism, Social Policy, and Quality Simeon Nichter, “Vote Buying or Turnout Buying? Machine
of Democracy, Bal more: Johns Hopkins University Press, Poli cs and the Secret Ballout,” American Political Science
2014, hlm. 232. Review, Vol.102/Issue.1.2008, hlm. 19-31.
210 Kajian Vol. 22 No. 3 September 2017 hal. 205 - 219

masyarakat mengungkapkan, uang yang mereka penting dalam mewujudkan peluang kemenangan
berikan akan sangat bermanfaat untuk kebu- calon kepala Desa dalam pemilihan. Popularitas tidak
tuhan besok (untuk membeli sembako) … cukup untuk menjamin pemungutan suara pemilih
bayangkan saya mempunyai hak pilih tempat terutama dalam politik lokal menjadi pemenang. Alur
orang (suami, isti, dua orang anak) bila dikalikan penargetan vote buying dapat dilihat pada gambar 1:
Rp. 150.000,- maka yang kami dapatkan adalah
Rp. 600.000,- jumlah uang yang besar untuk
kami.”
Ungkapan masyarakat ini akan mempertegas
kualitas sumber daya manusia calon tidak akan
memengaruhi kemenangan secara signifikan.
Beberapa informan dari masyarakat juga
menggungkapkan,
“Kami tidak memandang dia (calon kepala Desa)
tamatan apa yang kami perlu adalah uangnya.”
Apa yang menyebabkan masyarakat berkata
demikian, mungkin saja faktor ekonomi pemilih
sangat berpengaruh besar dalam menentukan
pilihan. Misalnya Takeuchi (2013) memberikan
penjelasan kenapa vote buying terjadi, 1). Merupakan
strategi para calon kepala Desa untuk memenangkan Sumber: Nichter (2008:20)
pemilihan; 2). Probabilitas kemenangan semakin Gambar 1. Penargetan Pembelian Suara dan Mobilisasi
besar; 3). Korupsi bagi petahana tidak bisa dihindari Pemilihan
dalam pemilihan apapun; 4). Mesin kampanye akan Preferensi (kecenderungan) untuk mengubah
menyasar masyarakat miskin; 5). Menawarkan pemilih akan terjadi ketika strategi mobilisasi pemilih
imbalan dengan partisipasi aktif37. Bagi masyarakat, akan dianggap faktor terkuat yang memengaruhi
vote buying merupakan berkah tersendiri, tingkat tipologi pemilih. Strategi target vote buying terjadi
ekonomi dan kualitas sumber daya manusia yang diberbagai bentuk pemilih, bagi pemilih loyalis tidak
rendah akan membuat mereka tidak berpikir panjang. diperlukan pemantuan khusus. Namun bagi pemilih
Efek nya masyarakat akan terus dalam kemiskinan yang mengambang dan belum menentukan pilihan
tanpa adanya perubahan yang dilakukan oleh seorang faktor monitoring sangat diperlukan untuk menjaga
pemimpin terpilih. Dengan mengeluarkan uang suara mereka tidak akan beralih. Kecenderungan bagi
yang banyak dapat dipastikan mereka yang terpilih pemilih “golput” (golongan putih, abstain, atau orang
akan sibuk dengan “pengembalian modal” yang yang tidak memberikan suara) diperlukan strategi
bersumber dari beberapa proyek pemerintah dan khusus untuk membeli suara pemilih40 dan keadaan
dana desa38, sisanya masyarakat akan dieksploitasi ini perlu monitoring khusus agar tidak terkena sangsi
tanpa sadar oleh pimpinan. pemilihan yang adil. Adanya monitoring diperlukan
Fenomena ini akan membuka peluang lebar untuk menjaga para pemilih loyalis, dan mungkin
tindakan jahat seperti korupsi. Karl Krauss menyebut saja pemilih loyalis akan beralih pilihan dengan
bahwa “corruption is worse than prostitution”,39 melihat figur yang diajak berkoalisi. Sisi lain faktor
korupsi lebih kejam dari prostitusi. Prostitusi akan koalisi antara calon kepala Desa untuk melawan
memberikan efek kepada kalangan tertentu, tetapi calon kepala Desa lain dibutuhkan monitoring yang
korupsi akan memberikan efek yang luar biasa terus-menerus agar pola pergerakan, strategi dapat
dari mulai janin dalam kandungan hingga kepada diketahui dengan mudah.
orang tua renta. Sebab korupsi pada akhirnya akan Mekanisme mobilisasi vote buying memiliki
meningkatkan angka kemiskinan pada sebuah negara. strategi yang unik, seperti diungkapkan oleh salah
Oleh sebab itu uang selalu memainkan peranan satu calon kepala Desa,
“Untuk melakukan mobilasi pemilih kami
37
Loc.it, Takeuchi, hlm. 72; Op.cit, Nichter, hlm. 20. menerapkan strategi berbeda, yang bergerak
38
Gaji yang diterima oleh Kepada Desa tergolong kecil,
40
akan dak masuk akal bila gaji yang diterima murni untuk Terjadi dengan cara pertukaran antara pemilih dengan
mengembalikan modal yang besar ke ka terjadi pemilihan adanya kartu pemilih ganda, kartu iden tas ganda
sebelumnya. (biasanya modus operandi nya adalah memberikan hak
39
Gregory L. Schlegel dan Robert J. Trent, Supply Chain Risk pilih kepada pemilih putra daerah asli setempat walaupun
Management: An Emerging Dicipline, Boca Raton: CRC secara administra f kependudukan mereka dak nggal di
Press, 2015, hlm. 163. daerah tersebut).
Lesmana Rian Andhika Efek Negatif Pemilihan Kepala Desa Serentak 211
41
untuk melakukan pemberian uang kepada dan budaya . Karena perbedaan jenis kelamin dan
pemilih, kami menugaskan para “srikandi” budaya akan berpengaruh membangun watak dan
(tim kampanye para wanita biasanya terdiri sikap seseorang. Yang terpenting dalam komunikasi
dari para kerabat dan keluarga) yang mereka konflik adalah memperhatikan figur dan kemampuan
sebut sebagai tim cicak. Modusnya mereka komunikasi seseorang sebagai mediator. Terkadang
bertransaksi diluar desa ini, bisa di pasar, di figur panutan dalam keluarga akan menjadi mediator
sekolah berbarengan dengan menjemput anak yang handal dan memberikan peluang penyelesaian
mereka untuk menghindari sangsi administratif, konflik semakin mudah42.
hasilnya menakjubkan, kami menang… untuk
urusan bayar-membayar seperti nya emak-emak Menimbulkan kebencian di antara pendukung
(srikandi) lebih hebat dari pada pria.” Rendahnya sumber daya manusia akan lebih
Mekanisme yang unik akan menentukan mudah menimbulkan sikap kebencian terhadap
kemenangan, sederhananya pergerekan mereka orang lain. Berbeda pemikiran dalam demokrasi
tidak akan diduga oleh lawan. Sehingga kamuflase adalah hal yang biasa. Pada kondisi yang alamiah pada
pergerakan untuk menghindari sangsi administratif masyarakat kita berbeda pandangan dianggap sebagai
menjadi efektif. lawan. Ini terjadi karena kurangnya pendidikan politik
yang baik. Sebagai contoh, pengetahuan bukan
Menimbulkan bibit konflik antara kerabat hanya menghasilkan pengetahuan baru atau produk
Hasil wawancara, salah satu calon kepala Desa tapi pengetahuan juga akan memproduksi sikap.
menggungkapkan, Sikap ini akan timbul ketika tacit knowledge43 seperti
“Dukungan dan motivasi dari keluarga sangat gagasan, persepsi, cara pikir, wawasan, keahlian
penting, namun karena uang hubungan antara dan pengalaman “rendah” sebagai konsekuensi dari
kerabat sepertinya luntur, mereka lebih memilih intimidasi politik. Seharusnya masyarakat dapat
calon kepala Desa yang mempunyai uang menampilkan sikap yang moderat. Argumentasi
banyak. Dan saya memaklumi itu…mungkin lain juga menyebut, attitude has been the focus
saja mereka mengharapkan sesuatu apakah itu of attention in explanations of human behavior44.
menjadi anggota “kabinet” bagi calon kepala Dan sebaliknya ketika tacit knowledge masyarakat
Desa terpilih atau mengharapkan pekerjaan tinggi akan sangat bermanfaat untuk meningkatkan
dengan adanya dana desa.” kualitas pemilihan yang menguntungkan baik kepada
Masyarakat pendukung salah satu calon kepala negara maupun kepada masyarakat itu sendiri45.
Desa ikut memberikan pandangannya, Hasil wawancara masyarakat mengungkapkan,
“Calon kepala Desa (A) dan Calon kepala Desa “Berbeda pilihan menjadi pemikiran serius bagi
(B) adalah keluarga dekat, sebelum pendaftaran kami, kadang-kadang calon kepala Desa secara
dibuka kami keluarga telah bermusyawarah explisit mengeluarkan Bahasa, bila mereka
untuk menentukan siapa yang harus didukung, tidak mendukung kita mereka akan menerima
namun para calon kepala Desa ini selalu berdebat akibatnya…segala urusan administratif kependu-
argumentasi dan mereka masing-masing dukan akan kita persulit dan anda menjadi mata
merasa berhak untuk dicalonkan. Oleh sebab itu saya.”
dengan keputusan keluarga yang berat dengan Selain itu beberapa calon kepala Desa juga
memperhatikan sikap dan perilaku mereka maka mengungkapkan,
kami memutuskan mendukung hanya satu calon “Bagi masyarakat yang tidak mendukung saya
kepala Desa. Memang kami sadari keputusan akan ada efek nya bila saya terpilih. Terutama
itu akan menimbulkan berbagai implikasi seperti
41
unsur sakit hati dan menimbulkan perpecahan Deborah Borisoff dan David A. Victor, Conflict Management:
diantara keluarga.” A Communication Skills Approach, London: Perason
Educa on, (Edisi ke-2), 1998, hlm. 1-50.
Cara yang efektif untuk menangani konflik telah 42
John Michael Haynes dan Gretchen L. Haynes, dkk,
tersedia melalui berbagai macam literatur ilmiah. Mediation: Positive Conflict Management, Albany: State
Seperti dengan mengelola konflik dengan baik University of New York Press, 2004, hlm. 1-22.
(management conflict). Mediasi dan komunikasi 43
Michael Polanyi, Personal Knowledge Towards a Post-
yang efektif bisa menjadi solusi untuk mengatasi Critical Philosophy, London: Routledge, 1962.
44
konflik diantara keluarga. Komunikasi dimulai dari Icek Ajzen, Attitudes, Personality and Behavior, Beckshire:
Open University Press, (Edisi ke-2), 2005, hlm. 1.
penilaian sumber konflik, memperhatikan karakter 45
Bagi Negara keadaan tersebut dapat menjaga keamanan
individu yang terlibat, tujuan mereka, lingkungan dan keter ban, dan bagi masyarakat dapat meningkatkan
komunikasi. Juga memperhatikan jenis kelamin par sipasi untuk menggunakan hak pilih tanpa adanya
in midasi dari pihak lain.
212 Kajian Vol. 22 No. 3 September 2017 hal. 205 - 219

bagi masyarakat yang nyata melakukan kecura- Kecurangan itu juga akan menjadi benih keben-
ngan, mereka akan saya catat.” cian diantara pendukung. Solusi yang ditawarkan
Namun calon kepala Desa lain juga meng- dalam artikel penelitian ini untuk menghindari
ungkapkan hal yang berbeda, terjadinya kebencian antara pendukung lebih kepada
“Saya mencalonkan diri karena permintaan upaya pencegahan yang dieksplorasi dari berbagai
masyarakat…saya mengatakan kepada mereka temuan dalam studi empirik dan analisis wawancara
apabila karena pencalonan saya…kalian pecah, yang telah dilakukan. Walupun solusi pencegahan
terkotak-kotak dan tidak bersatu maka silahkan terhadap berbagai kemungkinan terjadinya kebencian
anda mencari calon lain.” antara pendukung banyak tersedia dalam literatur
Jika pemilihan telah berlangsung, dicurangi ilmiah. Sepertinya solusi pencegahan tersebut lebih
sampai pada titik dimana kemenangan petahana banyak mengarah kepada, 1). Pemilihan dengan
atau calon kepala Desa baru selalu akan memberikan skala besar; 2). Pemilihan pada daerah pasca konflik.
kesimpulan yang keliru dan asumsi-asumsi praduga Namun peneliti mengelaborasi berbagai temuan
awal yang dibangun kenapa mereka bisa menang46. literatur ilmiah tersebut dengan diperkuat data dan
Yang perlu diperhatikan adalah bagaimana cara fakta dari studi empiris ini. Seperti terlihat pada
mereka untuk meraih suara apakah melakukan vote gambar 2:
buying, money politics atau memang dengan cara-
cara yang moderat dan “bersih”. Biasanya modus
operandi yang lazim dipakai adalah memanfaatkan
pola patronase dan klientelisme. Pemilihan akan
berdampak positif pada demokrasi seperti misalnya
menempatkan pemimpin yang “baik” untuk
berkuasa dengan cara-cara yang adil dan jujur.
Mendorong dan memaksa pemimpin yang berkuasa
untuk menepati janjinya selama kampanye. Atau
bahkan bisa sebaliknya, pemimpin yang berkuasa
akan lebih brutal dari sebelumnya dengan berbagai
kebijaksanaan yang di gulirkan.
Sebagian orang akan menganggap menjadi
kepada Desa adalah menjaga marwah keluarga yang
dilatarbelakangi oleh sejarah. Misalnya, disuatu Desa Sumber: Diolah dari berbagai sumber (Data Sekunder, 2017)

yang pernah menjadi keresidenan sebuah kerajaan Gambar 2. Proses Pencegah Kebencian Antara
Pendukung
atau suku yang mayoritas. Keturunan raja ini yang
Proses pencegah di atas mengambarkan ke-
dianggap lebih pantas untuk menjadi pemimpin
adaan yang dimana tujuan yang ingin dicapai setiap
desa oleh sebahagian kalangan. Namun faktanya
pemilihan adalah pemilihan yang jujur dan adil dalam
bakat kepemimpinan bukan berasal dari garis
keadaan yang kondusif. Namun setiap pemilihan
keturunan. Bakat tersebut merupakan anugerah
belum tentu akan berjalan dengan baik dan kondusif.
dari sang pencipta, dan akan lebih baik bila bakat
Berbagai penyebab timbul akibat beberapa faktor
kepemimpinan yang didapat dari lahir diasah
salah satunya berasal dari para pendukung. Faktor
dalam lingkungan pendidikan. Pemimpin bukanlah
moral yang jelek, silang pendapat adalah beberapa
pekerjaan untuk dicoba-coba (trial and error) bila
dari bibit kebencian48. Untuk mencegah kebencian
pemimpin yang hanya mengandalkan faktor sejarah
antara pendukung bisa di tempuh dalam beberapa
tanpa dibekali pendidikan dan pengalaman yang
cara. Pertama, pendidikan karakter dan politik meru-
cukup dapat dipastikan pola kerja yang mereka
pakan kebutuhan yang sangat diperlukan dalam ne-
tampilkan akan berjalan apa adanya. Tanpa
gara demokrasi, mendidik dan memberikan penge-
adanya sebuah pembaharuan untuk meningkatkan
tahuan agar para pemain politik dan partisipan
kesejahteraan masyarakat yang mereka pimpin dan
cenderung akan lebih mengerti tentang politik
cenderung akan melakukan kecurangan47.
dan proses, hak dan kewajiban bagi setiap warga
46
negara49. Intensitas pendidikan politik bervariasi
Andrew T. Li le, “Are non-Compe ve Elec ons Goods for
48
Ci zens?,” The Journal Theoretical Politics, 2016, hlm. 1-29. Alexander Brown, Hate Speech Law: A Philosophical
47
Jon K. Maner dan Charleen R. Case, “The Essen an Tension Examination, Oxon: Routledge, 2015, hlm. 49.
49
Between Leadership and Power: Why Power Corrupts and Reinhold Hedtke dan Tatjana Zimenkova, Critical Approach
How to Prevent it”, (online), (h p://www.apa.org/science/ to Education for Civic Political Participation, dalam Reinhold
about/psa/2013/10/leadership-power.aspx, diakses 03 Hedtke dan Tatjana Zimenkova, (Ed), Education for Civic
September 2017). Political Participation: A Critical Approach, New York, NY:
Lesmana Rian Andhika Efek Negatif Pemilihan Kepala Desa Serentak 213
tergantung pada iklim politik dan target pendidikan. diperlukan partisipan loyalis untuk menduduki posisi
Tujuannya, untuk mencegah hal yang dapat meru- kepala Desa. Mereka akan dijadikan ujung tombak
gikan demokrasi dan stabilitas keamanan, menim- untuk meraih suara nantinya. Dengan berbagai cara
bulkan kesadaran politik diantara hak dan kewajiban mulai dari dukungan politis, dukungan finansial dan
warga negara, dan sebagai sebuah proses peruba- dukungan ini akan berujung kepada balas jasa.
han kehidupan berpolitik. Komitmen untuk mendo-
rong pendidikan dan partisipasi cenderung untuk Pola Patronase
menggantikan sebuah jarak analisis antara berbagai Patronase politik sudah direduksi menjadi di-
perbedaan sebelum dan setelah pemilihan. Harapan- mensi yang dipertahankan sampai Perang Dunia I51.
nya dengan pendidikan politik ini dapat memperkecil Sebagai contoh, patronase dalam kegiatan peme-
peluang kecurangan dan pada akhirnya akan meng- rintah. Ketika kandidat partai politik memenangkan
untungkan masyarakat itu sendiri. pemilihan52, pejabat yang baru terpilih memiliki hak
Kedua, keterlibatan tokoh agama dan figur untuk menunjuk sejumlah orang menjadi pajabat
panutan sangatlah penting untuk menyelesaikan atau menjadi pegawai baru53 di pemerintahan. Inilah
kebencian antara pendukung. Sebagai contoh kasus esensi dari sistem patronase dalam menunjuk orang
kemerdekaan Aceh, kasus Poso, kasus Papua. Selain untuk bekerja dalam institusi pemerintah.
kolaborasi figur nasional dan daerah, ikut sertanya Sepertinya patronase tidak hanya menjadi mesin
pemuka agama dan tokoh masyarakat akan lebih pengerak pemilihan berskala besar dan kecil yang
mudah untuk mencapai kata sepakat antara mereka melibatkan banyak sumber daya54. Pola yang lazim
yang bertikai yang akan menghasilkan jalan tengah disebut sebagai patronase dari berbagai literatur
yang saling menguntugkan kedua belah pihak. Ketiga, dapat dilihat pada tabel 1.
biasanya debat argumentasi pada tingkat pilkades Namun fakta nya tidak semua calon kepala
sering dilakukan pada forum informal seperti di Desa setuju dengan pola patronase sebagai strategi
warung-warung. Kita mendengar argumentasi yang pemenangan. Hasil wawancara menemukan,
mereka debatkan lebih cenderung kepada pem- “Memberi uang kepada masyarakat adalah
bunuhan karakter dan debat kusir dengan menge- pembodohan dan ketika seseorang memberikan
tengahkan data dan fakta yang belum tentu kebe- uang untuk membeli suara maka sudah
narannya. Debat ini akan sangat bermanfaat bagi dipastikan apabila dia terpilih maka hal yang
mereka yang tingkat pendidikan politiknya rendah pertama dilakukan adalah mengembalikan
dan sebagai alat untuk memengaruhi. Oleh sebab itu modal (uang untuk membeli suara) efeknya
masyarakat perlu diberikan pendidikan politik para masyarakat menjadi korban. Bagi kami pola
forum formal agar cerdas menganalisis beberapa pendekatan efektif adalah dengan aksi nyata,
argumentasi dari para tim kampanye. Sehingga santun dalam berpolitik, melakukan berbagai
ketika ada provokatif argumentasi masyarakat bisa kegiatan bakti sosial lebih baik dari pada
lebih bijak menganalisis maksud dan tujuan dari memberikan uang kepada pemilih.”
argumentasi tersebut. Hasil wawancara calon kepala Desa lainnya
Keempat, konflik kepentingan merupakan mengungkapkan,
orientasi nilai50 yang didapat apabila memenangkan “Cara yang kami lakukan untuk menghilangkan
pemilihan. Interpretasi yang paling dapat diterima politik uang dimasyarakat dengan cara koalisi
dari hubungan antara orientasi nilai dan keter- antara calon kepala Desa, kebetulan desa kami
libatan. Orientasi nilai tampaknya merupakan hanya terdapat 2 calon calon kepala Desa.
pengenalan isu prioritas. Faktor penting dalam Koalisi ini sangat penting, disamping membuat
garis penalaran ini adalah bangkitnya orientasi nilai komitmen diantara kedua calon kepala Desa.
baru memperkenalkan perbedaan antara penganut Siapapun yang menjadi pemenang, maka
orientasi nilai tradisional dan orang-orang dengan yang kalah akan diusulkan menjadi sekretaris
orientasi baru. Orientasi nilai ini kurang relevan 51
H.J. Hanham, “Poli cal Patronage at the Treasury 1870-
dari pada kenyataan, bahwa perubahan orientasi
1912,” The Historical Journal, Vol.3/Issue.1.1960, hlm. 75-
nilai berkontribusi terhadap perbedaan sosial. 84.
Sebagai contoh, rezim penguasa akan lebih memiliki 52
Presiden, Gubernur, Bupa /Walikota, Kepada Desa adalah
kepentingan untuk pemilihan berikutnya. Maka, jabatan poli s, dipilih dengan pemilihan langsung oleh
rakyat.
53
Routledge, 2013, hlm. 1-2. Pegawai baru bisa berupa pegawai kontrak dan honorer.
50 54
Oscar W. Gabriel dan Jan W. Van Deth, Political Interest, Nathan W. Allen, “From Patronage Machine to Par san
dalam Jan W, Van Deth dan Elinor Scarbrough, (Eds), The Melee: Subna onal Corrup on and the Evolu on of
Impact of Values: Beliefs of Government, New York: Oxford the Indonesian Party System,” Pacific Affair, Vol.87/
University Press, 1998, hlm. 390-394. Issue.1.2014, hlm. 221-248.
214 Kajian Vol. 22 No. 3 September 2017 hal. 205 - 219

Tabel 1. Pola Patronase


Pola Patronase Referensi
1. Pemberian uang tunai; (Hanham, 1960; Ke ering, 1986;
2. Distribusi barang dengan berbagai proyek; Bearfield, 2008; Georgiev, 2008;
3. Sasaran kepada kelompok pemilih loyalis atau pemilih mengambang; Cendales, 2012; Allen, 2014;
4. Merupakan strategi kampanye; Mculloch, 2014; Aspinall & As’ad,
5. Membutuhkan sumber daya yang besar; 2015; Aspinall & Sukmaja , 2015)
6. Patronase hanya berfungsi terbatas sebagai alat mo vasi poli k;
7. Patronase erat kaitannya dengan klientelisme;
8. Dalam kegiatan pemerintah patronase merupakan imbal balas jasa atas bantuan poli k
untuk memenangkan salah satu calon kepala Desa dengan pola kedekatan;
9. Hubungan yang bersifat diadik (antara dua orang), hubungan pribadi dan emosional
(sahabat, teman loyalis, keluarga dan kerabat).
Sumber: Diolah dari data sekunder (2017)

desa. Oleh sebab itu siapapun yang dipilih oleh “Uang yang mereka berikan kami terima karena
masyarakat tidak masalah. Ini adalah salah “tahat ate” (suatu keadaan yang sulit untuk
satu cara mendidik masyarakat tanpa politik memilih diantara beberapa pilihan karena faktor
uang, juga menjadi pendidikan politik bagi para hubungan pertemanan, kerabat dekat) dengan
calon kepala Desa lainnya untuk mencari cara terpaksa kami harus memilih dia (calon kepala
menghentikan politik uang. Namun, fokus kami Desa) walaupun kami sadar dia belum pantas
setelah pemilihan adalah mensejahterakan menjadi seorang pemimpin.”
masyarakat dengan berbagai program Keadaan tertentu akan sulit untuk menghindari
pemberdayaan masyarakat dan pembangunan patronase, rendahnya kualitas sumber daya manusia
desa sebagaimana yang diamanatkan oleh akan membuat orang berfikir singkat untuk menjadi
peraturan pemerintah.” seorang pemimpin secara cepat tanpa memikirkan
Inti sari wawancara di atas mengungkapkan tanggung jawab dari seorang pemimpin kepada
patronase bukanlah strategi inti untuk meraih suara rakyatnya. Yang harus dimiliki seorang pemimpin
kemenangan dalam pemilihan. Masih banyak upaya adalah three skill approach (technical skill, human
yang dapat ditempuh untuk menghindari kecurangan. skill, conceptual skill)56. Syarat pendaftaran calon
Pola patronase dapat juga melibatkan pihak ketiga juga harus memuat skill approach dan tidak hanya
(broker) atau tim kampanye untuk mendistribusikan persyaratan formal. Tujuannya, masyarakat akan
material patronase. Modus operandi terselubung memilih calon kepala Desa yang terbaik. Pola ini
dalam berbagai kegiatan sosial, komunitas, klan, bisa dilakukan oleh Pemerintah Daerah sebagai
“umpuk” (keturunan keluarga besar), ikatan marga penyelenggara dengan berbagai tes dan kemampuan
dan suku, dengan skema pengarahan suara kepada kepemimpinan untuk menekan terjadinya
salah satu calon kepala Desa secara penuh. Sebagian penyimpangan yang marak seperti kasus korupsi
calon kepala Desa akan berusaha untuk membangun kepala Desa setelah terpilih. Sehingga pada akhirnya
jaringan yang terstruktur dalam memobilisasi akan membuat orang berpikir untuk mencalonkan
pemilih. Namun diberbagai kondisi distribusi material diri karena kualitas sumber daya manusia yang
patronase tidak semua dapat didistribusikan dalam rendah. Ini sejalan dengan salah satu nawacita
relasi yang benar-benar klientelisme55. Tanggapan Presiden Joko Widodo, membangun Indonesia dari
masyarakat dari hasil wawancara tentang patronase pinggiran dengan memperkuat daerah-daerah dan
yang dilakukan oleh calon kepala Desa beragam desa dalam rangka negara kesatuan.
misalnya,
“Kami menyadari pemberian uang oleh calon Pola Klientelisme
kepala Desa adalah pola pembodohan, mereka Klientelisme melibatkan hubungan asimetris
menganggap telah membeli suara kami. Bagi namun saling menguntungkan antara individu atau
sebagian orang uang yang diberikan sangat kelompok yang memiliki kedudukan sosioekonomi
berarti untuk memenuhi kebutuhannya. atau politik yang tidak setara57. Tingkat ketidak-
Memang kemiskinan menjadi sasaran utama setaraan posisi mitra dalam hal asimetris ini dapat
dalam melakukan politik uang.” bervariasi dari kasus ke kasus dan berkurang karena
Hasil wawancara lain dari masyarakat meng-
ungkapkan, 56
Peter G. Northouse, Leadership: Theory and Practice,
Thousand Oaks, Edisi ke-6, CA: SAGE Publica ons, 2013,
hlm. 44.
55 57
Op.cit, Aspinal dan Sukmaja , hlm. 5. Op.cit. Roniger, hlm. 26.
Lesmana Rian Andhika Efek Negatif Pemilihan Kepala Desa Serentak 215
sistem politik, demokrasi dan sumber daya lebih ba- klientelisme lebih menarik sebagai cara untuk men-
nyak didistribusikan. Setidaknya klientelisme me- dapatkan pendukung.
ngandung tiga hal, 1). Bersifat kontingensi atau Pola klientelisme yang lazim digunakan dapat
hubungan timbal balik; 2). Hierarkis, ada penekanan dilihat pada tabel 2:
pada relasi kekuasaan; 3). Aspek pengulangan, Klientisme politik saat ini sebagian besar
pertukaran klientelisme berlangsung terus mene- dikonseptualisasikan sebagai perilaku politik yang
rus58. Klientelisme tidak hanya mendominasi nega- dapat dipertanggungjawabkan dalam beberapa
ra berkembang, klientelisme juga terjadi pada pilihan aktor yang terlibat. Klientelisme juga
negara maju yang menjadi dominasi dan rujukan sebagai ciri budaya negara-negara tertentu yang
pembangunan sosio ekonomi dan sistem politik59. relevan dengan tipe demokrasi atau keluarga
Klientelisme lebih efektif dalam memenangkan suara tertentu62. Meskipun klientelisme politik sering
dalam konteks informal yang besar, karena hubungan didefinisikan sebagai hubungan timbal balik yang
klientelisme didasarkan pada face-to-face, house-to- saling menguntungkan, namun faktanya jarang yang
house dalam interaksi langsung meraih dukungan positif. Ini diakibatkan oleh beberapa faktor yang
pemilih. memengaruhi pemilih untuk memberikan suaranya.
Dukungan itu biasanya digunakan kepada orang- Indikasi negatif faktor tersebut dapat berupa
orang yang miskin. Terkadang bahkan memberi energi pengulangan distribusi jaringan personal yang
dan memberdayakan rekrutmen politik, dan hampir tidak loyalis. Sejauh mana faktor-faktor semacam
satu-satunya cara efektif untuk memberikan suara itu dapat mengalahkan jalan demokrasi ’normal’
demokratis terhadap tuntutan orang-orang yang atau politik demokrasi itu sendiri mengundang dan
sebelumnya terpinggirkan60. Struktur akar rumput melanggengkan klientelisme.
yang memungkinkan kontak langsung (pengiriman Hasil wawancara dari beberapa calon kepala
manfaat material yang konkrit) untuk pemilih tetap Desa mengungkapkan,
sangat efektif dalam suatu konteks kemiskinan dan “Saya mencalonkan diri atas dasar permintaan
pendidikan rendah dengan demikian klientelisme pimpinan (kepala daerah) dan mereka
merupakan metode yang efisien. Politik klientelisme mendukung saya, saya tidak akan mundur
akan muncul dalam kondisi alamiah, klientelisme kecuali pimpinan yang menginstruksikan untuk
relatif penting di negara-negara dengan teknologi mundur.”
yang buruk dan ketidaksetaraan yang tinggi61. Secara Hasil wawancara dari masyarakat juga meng-
intuitif, pada tingkat pendapatan rendah kesetiaan ungkapkan,
politik klien lebih murah untuk dibeli dengan “Dia (calon kepala Desa) dicalonkan oleh
tawaran kerja, uang dan hal ini membuat redistribusi penguasa, pola politik nya sudah mudah diba-
Tabel 2. Pola Klientelisme
Pola Klientelisme Referensi

1. Pola hubungan klientelisme dengan cara interaksi langsung (face-to-face, (Kitschelt & Wilkinson, 2007; Sze el,
house-to-house); 2007; Hilger, 2008; Keefer & Vlaicu,
2. Biasanya menyasar masyarakat miskin dan sumber daya manusia rendah; 2008; Stokes, 2009; Roniger, 2012;
3. Salah satu strategi efek f dalam meraih suara dukungan; Robinson & Verdier, 2013; Kusche,
4. Hubungan kon gensi atau hubungan mbal balik yang saling menguntungkan; 2014; Morse, Mazzuca, & Nichter, 2014;
5. Calon kepala Desa didukung oleh rezim penguasa dengan hubungan keluarga, Walle, 2014; Aspinall & Sukmaja , 2015;
kerabat, dan par sipan loyalis. Cinar, 2016)
Sumber: Diolah dari data sekunder (2017)

58
Op.cit, Aspinall dan Sukmaja , hlm. 4. ca, bila dia terpilih dengan sendirinya akan
59
Kursat Cinar, “A Compara ve Analysis of Clientelism in menjadi pengerak suara pemillihan di desa
Greece, Spain, and Turkey: The Rural-Urban Devide,” untuk penguasa tersebut mencalonkan diri pada
Comtemporary Politics, Vol.22/Issue.1.2016, hlm. 78-90;
periode berikutnya.”
Herbert Kitschelt dan Steven I. Wilkinson, Patron, Clients,
and Policies: Pattern of Democratic Accountability and Analisis yang dapat dibangun diantara pola
Political Competition, Cambridge: Cambridge University klientelisme dan hasil wawancara empirik di atas
Press, 2007, hlm. 1-50. menjadi cerminan ada hubungan timbal balik
60
Morris Sze el, “Clientelism, Corrup on & Catastrophe,” yang saling menguntungkan. Konsekuensi logisnya
Review of African Political Economy, Vol.27/Issue.85.2007,
62
hlm. 435. Isabel Kusche, “Poli cal Clientelism and Democracy:
61
James A. Robinson dan Thierry Verdier, “The Poli cal Clientelis c Power and the Internal Differen a on of the
Economy of Clientelism,” Scand. J. of Economic, Vol.115/ Poli cal System,” Acta Sosiologica, Vol.57/Issue.3.2014,
Issue.2.2013, hlm. 3. hlm. 208-212.
216 Kajian Vol. 22 No. 3 September 2017 hal. 205 - 219

adalah dukungan yang diberikan tidak murni, ada Walaupun dibeberapa negara konflik alasan demok-
persyaratan khusus yang harus dibayar dengan pola rasi adalah alat untuk meraih kekuasaan. Bagi kepala
perencanaan yang matang untuk strategi politik desa terpilih sering mencerminkan sebuah per-
masa depan. Dimana ada klientelisme, peluang vote juangan dan motivasi untuk mendapatkan akses
buying menjadi lebih besar63. Klientelisme juga tidak lebih besar kepada rezim penguasa.
lagi bisa dipersepsikan sebagai hubungan atas dasar Adanya kebijakan pemerintah tentang “Dana
figur panutan. Karena pola distribusi klientelisme Desa” memberikan daya tarik kepada siapapun untuk
akan menyasar masyarakat miskin dan sumber dapat mencalonkan diri dengan berbagai cara strategi
daya manusia yang rendah64. Tingkat penghasilan pemenangan. Patronase, klientelisme, vote buying,
masyarakat yang rendah akan sangat memengaruhi adalah beberapa cara strategi pemenangan untuk
persepsi pemilih dalam menentukan pilihan. Sebagai dapat memobilisasi pemilih dengan tujuan meraih
contoh pemillihan legislatif tahun 201465, figur kemenangan. Sepertinya cara strategi pemenangan
panutan tidak lagi memberikan pengaruh yang besar itu memiliki akar kebiasaan yang telah diajarkan
untuk memenangkan pemilihan. Ini dapat ditelusuri oleh pemilihan berskala besar di masyarakat. Stra-
dari partai-partai yang mengandalkan figur panutan tegi pemenangan itu juga akan memperburuk de-
seperti partai aliran islam yang sangat kental dengan mokrasi bangsa, ditingkat pendukung dibeberapa
figur panutan. Sepertinya budaya klientelisme harus kondisi akan menimbulkan konflik dalam keluarga
didukung oleh beberapa konsep lainnya seperti karena perbedaan pandangan. Konflik di antara
patronase dan vote buying. pendukung juga menjadi bibit timbulnya kebencian
Mengambarkan klientelisme tidak bisa meng- karena praktek kecurangan yang dilakukan calon
hapus segala aspek yang menimbulkannya. Sebagai kepala Desa lain yang tidak dapat diterima oleh
contoh, klientelisme tidak hanya melibatkan keluarga pendukung lain. Itu semua terjadi karena minimnya
kerabat, teman, partisipan loyalis tapi klientelisme pendidikan politik yang benar diterima masyarakat.
juga cenderung memanfaatkan partisipan sukarela Faktor kemiskinan dan sumberdaya manusia yang
tanpa adanya hubungan yang dapat menimbulkan rendah juga menjadi faktor penyebab patronase,
mobilisasi partisipan. Karena sosok figur panutan klientelisme dan vote buying bisa terlaksana dengan
juga memengaruhi orang untuk menjadi anggota tim baik dan pada akhirnya akan membuka pintu yang
kampanye secara sukarela. Disisi lain klientelisme lebar penyalahgunaan kekuasaan dan korupsi.
dalam bentuk pertukaran dukungan yang sederhana
untuk keuntungan tidak berbeda dengan patronase Saran
dan vote buying66. Dalam pembelian suara (vote Saran ini sebagai inti sari untuk memberikan
buying) masyarakat diberi uang, barang, atau layanan kontribusi pemikiran mengenai pilkades serentak
dalam waktu terdekat sebelum pemilihan sebagai dengan segala permasalahannya. Bagi peneliti lain
imbalan atas suaranya. Tidak seperti klientelisme, diharapkan dalam studi berikutnya dapat membuka
ini adalah pertukaran langsung dimana para pemilih efek negatif pilkades serentak dari berbagai sudut
tidak memiliki karakteristik tertentu selain penerima pandang ilmu yang berbeda agar menghasilkan
adalah pemilih67. berbagai masukan kepada para pembuat kebijakan
untuk mencari formula kebijakan yang tepat dalam
PENUTUP menyikapi efek negatif dari pilkades serentak. Bagi
Kesimpulan eksekutif, dengan adanya Dana Desa menjadi daya
Pemilihan kepala desa secara langsung meru- tarik tersendiri bagi orang untuk mencalonkan diri,
pakan langkah maju yang ditunjukkan oleh peme- membuka peluang praktek kecurangan pemillihan
rintah Indonesia. Pendidikan politik yang baik dari yang tidak adil dan jujur. Oleh sebab itu mekanisme
bawah (desa) akan memperkuat demokrasi bangsa. pendaftaran calon kepada Desa lebih diperketat
salah satunya dengan uji kemampuan skill approach.
63
Bagi legislatif, efek negatif yang telah terungkap bisa
Ibid.
64
Tina Hilger, “Causes and Consequences of Poli cal menjadi bahan kajian lebih lanjut untuk melahirkan
Clientelism: Mexico’s PRD in Compara ve Perspec ve,” kebijakan yang komprehensif tentang pilkades
Latin American Politic and Society, No.4/Vol.50. 2008, hlm. serentak terutama bagi legislatif tingkat daerah.
123-153. Bagi masyarakat, pendidikan politik sangat penting
65
Op.cit, Aspinall dan Sukmaja . dilakukan baik oleh pemerintah, partai politik, atau
66
Ibid. hlm. 127.
67
Frederic Charles Schaffer, Why Study Vote Buying?, dalam
komunitas pemerhati pemilihan agar lebih menge-
Frederic Charles Schaffer, (Ed), Elections for Sale: The tahui modus dengan praktek jahat pembelian suara.
Causes and Consequences of Vote Buying, Boulder: Lynne Pada akhirnya ketika masyarakat cerdas politik uang
Rienner, 2007, hlm. 1-16.
Lesmana Rian Andhika Efek Negatif Pemilihan Kepala Desa Serentak 217
bisa ditekan, juga menghasilkan kondisi keamanan Uang di Indonesia: Patronasi dan Klientelisme
yang kondusif yang menguntungkan masyarakat dan pada Pemilu Legislatif 2014 (hlm. 126-145).
negara. Yogyakarta: PolGov.
Jafar, T. M. (2015). Bener Meriah, Aceh: Politik
Uang dan Politik Entitas di Dapil Baru, dalam
E. Aspinall, & M. Sukmajati. (Ed), Politik Uang
DAFTAR PUSTAKA di Indonesia: Patronase dan Klientelisme pada
Pemilu Legislatif 2014 (hlm. 73-99). Yogyakarta:
PolGov.
Buku: Kettering, S. (1986). Patrons, Brokers, and Clients in
Ajzen, I. (2005). Attitudes, Personality, and Behavior Seventeenth-Century France. New York: Oxford
(Edisi ke-2). Berkshire: Open University Press. University Press.

Aspinall, E., & Sukmajati, M. (Eds). (2015). Politik Kitschelt, H., & Wilkinson, S. I. (2007). Patrons,
Uang di Indonesia: Patronase dan Klientelisme Clients, and Policies: Patterns of Democratic
pada Pemilu Legislatif 2014. Yogyakarta: PolGov. Accountability and Political Competition.
Cambridge: Cambridge University Press.
Birch, A. H. (2007). The Concepts and Theories
of Modern Democracy (Edisi ke-3). Oxon: Mahsun, M. (2015). Kota Palembang, Sumatera
Routledge. Selatan: Dana Aspirasi dan Politik Klientelisme,
dalam E. Aspinall, & M. Sukmajati. (Ed), Politik
Borisoff, D., & Victor, D. A. (1998). Conflict Uang di Indonesia: Patronase dan Klientelisme
Management: A Communication Skills Approach pada Pemilu Legislatif 2014 (hlm. 174-199).
(Edisi ke-2). London: Pearson Education. Yogyakarta: PolGov.
Brown, A. (2015). Hate Speech Law: A Philosophical Mculloch, A. D. (2014). Charisma and Patronage:
Examination. Oxon: Routledge. Reasoning with Max Weber. Surrey: Ashgate
Damanik, A. T. (2015). Medan, Sumatera Utara: Publishing Limited.
Antara Politik Etnik dan Politik Uang, dalam Northouse, P. G. (2013). Leadership: Theory and
E. Aspinall, & M. Sukmajati. (Ed), Politik Uang Practice (Edisi ke-6). Thousand Oaks, CA: SAGE
di Indonesia: Patronase dan klientelisme Publications.
pada Pemilu Legislatif 2015 (hlm. 100-125).
Yogyakarta: PolGov. Polanyi, M. (1962). Personal Knowledge Towards a
Post-Critical Philosophy. London: Routledge.
Gabriel, O. W., & Deth, J. W. (1995). Political Interest,
dalam J. W. Deth, & E. Scarbrough. (Ed), The Roniger, L. (2012). Favors, “Merit Ribbon” and
Impact of Values: Beliefs in Government (Vol. Services: Analyzing the Fragile Resilience of
4, hlm. 390-411). New York: Oxford University Clientelism, dalam T. Hilger. (Ed), Clientelism
Press. in Everyday Latin American Politics (hlm. 3-24).
New York, NY: Palgrave Macmillan.
Georgiev, P. K. (2008). Corruptive Patterns of
Patronage in South East Europe. Wiesbaden: VS Rubaidi. (2015). Jawa Timur: Klientelisme Baru dan
Verlag. Pudarnya Politik Aliran, dalam E. Aspinall, &
M. Sukmajati. (Ed), Politik Uang di Indonesia:
Haynes, J. M., Haynes, G. L., & Fong, L. S. (2004). Patronase dan Klientelisme pada Pemilu
Mediation: Positive Conflict Management. Legislatif 2014 (hlm. 380-402). Yogyakarta:
Albany: State University of New York Press. PolGov.
Hedtke, R., & Zimenkova, T. (2013). Critical Rubin, H. J., & Rubin, I. S. (2012). Qualitative
Approaches to Education for Civic and Interviewing: The Art Hearing Data (Edisi ke-3).
Political Participation, dalam R. Hedtke, & T. Thousand Oaks, CA: SAGE Publications.
Zimenkova. (Ed), Education for Civic and Political
Participation: A Critical Approach (hlm. 1-9). Schaffer, F. C. (2007). Why Study Vote Buying?,
New York, NY: Routledge. dalam F. C. Schaffer. (Ed), Elections for Sale: The
Causes and Consequences of Vote Buying (hlm.
Ibrahim. (2015). Bangka Belitung: Patronase dan 1-16). Boulder: Lynne Rienner.
Politik Identitas di Masyarakat Majemuk,
dalam E. Aspinall, & M. Sukmajati. (Ed), Politik
218 Kajian Vol. 22 No. 3 September 2017 hal. 205 - 219

Schlegel, G. L., & Trent, R. J. (2015). Supply Chain Hilger, T. (2008). Causes and Consequences of Political
Risk Management: An Emerging Dicipline. Boca Clientelism: Mexico’s PRD in Comparative
Raton: CRC Press. Perspective. Latin American Politics and Society,
50(4), 123-153. Retrieved from http://www.
Simons, H. (2009). Case Study Research in Practice.
jstor.org/stable/30130897 .
London: SAGE Publications.
Hollyer, J. R., Rosendorff, B. P., & Vreeland, J. R. (2011).
Stokes, S. C. (2009). Political Clientelism, dalam C.
Democracy and Transparency. The Journal
Boix, & S. C. Stokes. (Ed), The Oxford Handbook
of Politics, 73(4), 1191-1205. doi:10.1017/
of Comparative Politics (hlm. 3-28). Oxford:
S0022381611000880
Oxford University Press.
Janwandri. (2013). Proses Pemilihan Kepala Desa
Walle, N. V. (2014). The Democratization of
di Desa Tanjung Naga Kecamatan Malinau
Clientelism in Sub-Saharan Africa, dalam D. A.
Selatan Kabupaten Malinau. eJournal Ilmu
Brun, & L. Diamond. (Ed), Clientelism, Social
Pemerintahan, 1(1), 235-247.
Policy, and the Quality of Democracy (hlm. 230-
252). Baltimore: Johns Hopkins University Press. Keefer, P., & Vlaicu, R. (2008). Democracy, Credibility,
and Clientelism. Journal of Law, Economics, &
Yin, R. K. (2009). Case Study Research: Design and
Organization, 24(2), 371-406. doi:10.1093/jleo/
Method (Edisi ke-4). Thousand Oaks, CA: SAGE
ewm054
Publications.
Kusche, I. (2014). Political Clientelism and Democracy:
Jurnal: Clientelistic Power and the Internal Differentiation
of the Political System. Acta Sociologica, 57(3),
Alamsyah. (2011). Dinamika Politik Pilkades di Era 207-221. doi:10.1177/0001699313506721
Otonomi Daerah. Taman Praja, 1(1), 1-15.
Landry, P. F., Davis, D., & Wang, S. (2010). Elections
Allen, N. W. (2014). From Patronage Machine to in Rural China: Competition Without Parties.
Partisan Melee: Subnational Corruption and the Comparative Political Studies, 43(6), 763 –790.
Evolution of the Indonesian Party System. Pacific doi:10.1177/0010414009359392
Affairs, 87(2), 221-248. doi:10.5509/2014872221
Little, A. T. (2016). Are non-Competitive Elections
Aspinall, E., & As’ad, M. U. (2015). The Patronage Good for Citizens? Journal of Theoretical Politics,
Patchwork: Village Brokerage Networks and the 1-29. doi:10.1177/0951629816630436
Power of the State in an Indonesian Elections.
Bijdragen tot de Taal-, Land- en Volkenkunde, Morse, J. G., Mazzuca, S., & Nichter, S. (2014).
171(2/3), 165-195. doi:63/22134379-17102004 Varieties of Clientelism: Machine Politics During
Elections. American Journal of Political Science,
Attard, J., Orlandi, F., Scerri, S., & Auer, S. (2015). A 58(2), 415-432. doi:10.1111/ajps.12058
Systematic Review of Open Government Data
Initiatives. Government Information Quarterly, Nichter, S. (2008). Vote Buying or Turnout Buying?
32(4), 399-418. doi:10.1016/j.giq.2015.07.006 Machine Politics and the Secret Ballot. American
Political Science Review, 102(1), 19-31.
Bearfield, D. A. (2008). What Is Patronage? A doi:10.1017/S0003055408080106
Critical Reexamination. Public Administration
Review, 69(1), 64-76. doi:10.1111/j.1540- Rashiduzzaman, M. (2008). Election Politics in
6210.2008.01941.x Pakistan Villages. Journal of Commonwealth
Political Studies, 4(3), 191-200.
Cendales, A. (2012). Vote Buying, Political Patronage doi:10.1080/14662046608447046
and Selective Plunder. Latin America Journal
of Economic, 49(2), 237-276. doi:10.7764/ Robinson, J. A., & Verdier, T. (2013). The Political
LAJE.49.2.237 Economy of Clientelism. Scand. J. of Economics,
115(2), 260–291. doi:10.1111/j.1467-
Cinar, K. (2016). A comparative Analysis of Clientelism 9442.2013.12010.x
in Greece, Spain, and Turkey: the Rural–Urban
Divide. Contemporary Politics, 22(1), 77-94. doi: Szeftel, M. (2007). Clientelism, Corruption
10.1080/13569775.2015.1112952 & Catastrophe. Review of African
Political Economy, 27(85), 427-441.
Hanham, H. (1960). Political Patronage at the doi:10.1080/03056240008704476
Treasury, 1870-1912. The Historical Journal,
3(1), 75-84. doi:10.1017/S0018246X00023049
Lesmana Rian Andhika Efek Negatif Pemilihan Kepala Desa Serentak 219
Takeuchi, H. (2013). Vote Buying, Village Elections,
and Authoritarian Rule in Rural China: A Game-
Theoritic Analysis. Journal of East Asian Studies,
13, 69-105. doi:10.1017/S1598240800008535

Internet:
Diamond, L. (2004). What is Democracy?, (online),
(http://web.stanford.edu/~ldiamond/iraq/
WhaIsDemocracy012004.htm, diakses 17 Juli
2017).
Maner, J. K., & Case, C. R. (2013). The Essential
Tension Between Leadership and Power:
Why Power Corrupts and How to Prevent it,
(online), (http://www.apa.org/science/about/
psa/2013/10/leadership-power.aspx, diakses 03
September 2017).
Hari Ini, 50 Desa Di Agara Menggelar Pilkades
Serentak, (online), (http://acehtenggarakab.
go.id/detail_berita/detail_berita.php?&id_
berita=79, diakses 04 Agustus 2017).

Dokumen Resmi:
Undang-Undang Negara Republik Indonesia Nomor 6
Tahun 2014 tentang Desa.
Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor
43 Tahun 2014 tentang Peraturan Pelaksana
Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang
Desa.
Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor
8 Tahun 2016 tentang Perubahan Kedua atas
Peraturan Pemerintah Nomor 60 Tahun 2014
tentang Dana Desa yang Bersumber dari
Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara.
Peraturan Menteri Dalam Negeri Republik Indonesia
Nomor 112 Tahun 2014 tentang Pemilihan
Kepala Desa.
Peraturan Menteri Dalam Negeri Republik Indonesia
Nomor 113 Tahun 2014 tentang Pengelolaan
Keuangan Desa.
-

Anda mungkin juga menyukai