Anda di halaman 1dari 61

PEDOMAN

PELAYANAN PENANGGULANGAN TUBERCULOSIS DENGAN


STRATEGI DIRECTLY OBSERVED TREATMENT
SHORTCOURSE
(TB-DOTS)

KEMENTERIAN KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA


DIREKTORAT PELAYANAN KESEHATAN
RUMAH SAKIT PARU DR. M .GOENAWAN PARTOWIDIGDO
CISARUA BOGOR

2013
DAFTAR ISI

Halaman
DAFTAR ISI ............................................................................................................... i
LEMBAR PENGESAHAN ........................................................................................... ii
BAB I : PENDAHULUAN........................................................................................ 1
A. Latar Belakang ...................................................................................... 1
B. Tujuan Dan Target Pelayanan TB DOTS RSPG.................................... 1
C. Kebijakan Dan Ruang Lingkup Pelayanan TB DOTS RSPG ................ 1
D. Pengertian ............................................................................................ 3
E. Dasar Hukum ........................................................................................ 7
BAB II : ORGANISASI TIM PELAYANAN TB DOTS RSPG ................................... 8
BAB III : STANDAR FASILITAS ............................................................................... 9
A. Standar Fasilitas Pelayanan ................................................................. 9
B. Penularan Pasien TB ............................................................................ 14
C. Informed Concent Untuk Keluarga ........................................................ 14
BAB IV : TATALAKSANA PASIEN TUERKULOSIS................................................... 15
A. Penemuan Pasien TB ........................................................................... 15
B. Diagnosisi TB ........................................................................................ 16
C. Klasifikasi Penyakit TB dan Tipe Pasien ............................................... 18
D. Pengobatan TB ..................................................................................... 20
E. Tatalaksana TB Anak ............................................................................ 23
F. Pengawasan Menelan Obat .................................................................. 26
G. Pemantauan dan Hasil Pengobatab TB ................................................ 27
H. Pengobatan TB Pada Keadaan Khusus ............................................... 28
I. Efek Samping OAT dan Penatalaksanaannya ...................................... 30
J. Manajemen Laboratorium Tuberkulosis ................................................. 31
K. Keamanan dan Keselamatan Kerja Di Laboratprium TB ...................... 32
BAB V : PROGRAM KERJA ................................................................................... 33
A. Strategi ................................................................................................. 33
B. Pemantauan dan Evaluasi Program ..................................................... 34
C. Indikator Program TB ............................................................................ 35
D. Indikator Program TB RSPG ................................................................. 37
LAMPIRAN ................................................................................................................. 41

1
LEMBAR PENGESAHAN

Buku PEDOMAN PELAYANAN TUBERCULOSIS DENGAN STRATEGI DIRECTLY


OBSERVED TREATMENT SHORTCOURSE (TB-DOTS) RSPG Cisarua ini telah
disusun dan disesuaikan dengan buku pedoman nasional penanggulangan TB dengan
Strategi DOTS, pedoman manajerial TB DOTS RS serta pedoman lain.. Bila
diperlukan akan dilakukan revisi sesuai ketentuan yang berlaku.

Dibuat dan disetujui untuk dilaksanakan sepenuhnya.

Cisarua, 15 April 2013

Direktur Utama RSPG Cisarua

Dr. Zubaedah, Sp.P, MARS

2
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Indonesia sekarang berada pada ranking kelima negara dengan beban TB
tertinggi di dunia. Estimasi prevalensi TB semua kasus adalah sebesar 660,000
(WHO, 2010) dan estimasi insidensi berjumlah 430,000 kasus baru per tahun.
Jumlah kematian aakibat TB diperkirakan 61,000 kematian per tahunnya.
Indonesia merupakan negara dengan percepatan peningkatan epidemi HIV yang
tertinggi di antara negara-negara di Asia. HIV dinyatakan sebagai epidemic
terkonsentrasi (a concentrated epidemic), dengan perkecualian di provinsi Papua
yang prevalensi HIVnya sudah mencapai 2,5% (generalized epidemic). Secara
nasional, angka estimasi prevalensi HIV pada populasi dewasa adalah 0,2%.
Sejumlah 12 provinsi telah dinyatakan sebagai daerah prioritas untuk intervensi HIV
dan estimasi jumlah orang dengan HIV/AIDS di Indonesia sekitar 190.000-400.000.
Estimasi nasional prevalensi HIV pada pasien TB baru adalah 2.8%.

B. Tujuan Dan Target Pelayanan TB DOTS RSPG


1. Tujuan
Menurunkan angka kesakitan dan angka kematian TB, memutuskan rantai
penularan, serta mencegah terjadinya multidrug resistance (MDR), sehingga TB
tidak lagi merupakan masalah kesehatan masyarakat Indonesia, khususnya bagi
pasien RSPG Cisarua
2. Target
Target program penanggulangan TB adalah tercapainya penemuan pasien baru
TB BTA positif paling sedikit 70% dari perkiraan dan menyembuhkan 85 % dari
semua pasien tersebut serta mempertahankannya. Target ini diharapkan dapat
menurunkan tingkat prevalensi dan kematian akibat TB hingga separuhnya pada
tahun 2010 dibanding tahun 1990, dan mencapai tujuan millenium development
goal (MDG) pada tahun 2015.

C. Kebijakan Dan Ruang Lingkup Pelayanan TB DOTS RSPG


1. Pelayanan TB DOTS di RSPG didasarkan pada standar pelayanan yang sesuai
dengan program penanggulangan TB Nasional dan International Standards for
Tuberculosis Care (ISTC)

1
2. RSPG merupakan Rumah Sakit Paru Rujukan Nasional (Kelas A) yang
melaksanakan program penanggulangan TB dengan strategi DOTS yang
mencakup :
a. Penemuan Kasus
b. Pengobatan
c. Pengawasan Minum Obat
d. Monitoring dan Evaluasi
e. Mekanisme sistem rujukan
3. Penanggulangan TB dengan strategi DOTS melalui pelatihan dan
pengembangan staf di RSPG.
4. Ruangan pasien dengan TB BTA positif dipisahkan dengan pasien TB BTA
negatif.
5. Sarana pelayanan TB DOTS di RSPG (Poliklinik, Rawat Inap, dan Laboratorium)
sesuai dengan standar pelayanan yang berlaku.
6. dalam hal pelayanan TB dengan kasus MDR, RSPG merupakan satelit
pelayanan TB MDR Rumah Sakit Persahabatan Jakarta.
7. Dalam pelayanan TB DOTS, RSPG menerapkan kebijakan sebagai berikut:
a. Acuan pokok bagi setiap staf medis dalam melaksanakan tugas.
b. Jejaring internal dan eksternal dalam pelayanan pasien.
c. Pelayanan pasien TB bagi orang miskin.
d. Ketersediaan Obat Anti Tuberkulosis (OAT) bila terjadi kekosongan.
e. Pelayanan pasien TB rawat jalan.
f. Pelayanan pasien TB rawat inap.
g. Pelayanan pasien TB di IGD
h. Pengelolaan pasien dengan MDR dan HIV.
i. Pasien mangkir.
j. Rujukan pasien ke UPK lain.
k. Cross check spesimen.
l. Pengelolaan instalasi farmasi untuk OAT.
m. OAT masuk formularium Rumah Sakit.
n. Staf medik membantu pimpinan Rumah Sakit dalam perencanaan,
penggunaan dan pemeliharaan persediaan fasilitas dan pearalatan pelayanan
medis.
o. Mekanisme pengawasan serta monitoring evaluasi tentang penerapan
standar pelayanan TB.
p. Mekanisme penentuan standar pelayanan minimal serta indikator
keberhasilan pelayanan TB Rumah Sakit.
q. Pemenuhan standar pencegahan dan pengendalian infeksi TB di RSPG
(standar manajerial administratif, lingkungan dan alat pelindung diri).
r. RSPG sebagai lahan pendidikan, pelatihan, dan penelitian terkait TB.

D. Pengertian
1. Penularan TB
Tuberkulosis adalah penyakit menular langsung yang disebabkan oleh kuman TB
(Mycobacterium tuberculosis). Sebagian besar kuman TB menyerang paru,
tetapi dapat juga mengenai organ tubuh lainnya.

2
2. Cara penularan
Sumber penularan adalah pasien TB BTA positif.
Pada waktu batuk atau bersin, pasien menyebarkan kuman ke udara dalam
bentuk percikan dahak (droplet nuclei). Sekali batuk dapat menghasilkan
sekitar 3000 percikan dahak.
Umumnya penularan terjadi dalam ruangan dimana percikan dahak berada
dalam waktu yang lama. Ventilasi dapat mengurangi jumlah percikan,
sementara sinar matahari langsung dapat membunuh kuman. Percikan dapat
bertahan selama beberapa jam dalam keadaan yang gelap dan lembab.
Daya penularan seorang pasien ditentukan oleh banyaknya kuman yang
dikeluarkan dari parunya. Makin tinggi derajat kepositifan hasil pemeriksaan
dahak, makin menular pasien tersebut.
Faktor yang memungkinkan seseorang terpajan kuman TB ditentukan oleh
konsentrasi percikan dalam udara dan lamanya menghirup udara tersebut.
3. Risiko penularan
Risiko tertular tergantung dari tingkat pajanan dengan percikan dahak. Pasien
TB paru
dengan BTA positif memberikan kemungkinan risiko penularan lebih besar
dari pasien
TB paru dengan BTA negatif.
Risiko penularan setiap tahunnya di tunjukkan dengan Annual Risk of
Tuberculosis Infection (ARTI) yaitu proporsi penduduk yang berisiko terinfeksi
TB selama satu tahun. ARTI sebesar 1%, berarti 10 (sepuluh) orang diantara
1000 penduduk terinfeksi setiap tahun. ARTI di Indonesia bervariasi antara 1-
3%.
Infeksi TB dibuktikan dengan perubahan reaksi tuberkulin negatif menjadi
positif.
4. Risiko menjadi sakit TB
Hanya sekitar 10% yang terinfeksi TB akan menjadi sakit TB.
Dengan ARTI 1%, diperkirakan diantara 100.000 penduduk rata-rata terjadi
1000 terinfeksi TB dan 10% diantaranya (100 orang) akan menjadi sakit TB
setiap tahun. Sekitar 50 diantaranya adalah pasien TB BTA positif.
Faktor yang mempengaruhi kemungkinan seseorang menjadi pasien TB
adalah daya

3
tahan tubuh yang rendah, diantaranya infeksi HIV/AIDS dan malnutrisi (gizi
buruk).
HIV merupakan faktor risiko yang paling kuat bagi yang terinfeksi TB menjadi
sakit
TB. Infeksi HIV mengakibatkan kerusakan luas sistem daya tahan tubuh
seluler (Cellular immunity), sehingga jika terjadi infeksi oportunistik, seperti
tuberkulosis, maka yang bersangkutan akan menjadi sakit parah bahkan bisa
mengakibatkan kematian. Bila jumlah orang terinfeksi HIV meningkat, maka
jumlah pasien TB akan meningkat, dengan demikian penularan TB di
masyarakat akan meningkat pula.

4
Faktor risiko kejadian TB, secara ringkas digambarkan pada gambar berikut:

Riwayat alamiah pasien TB yang tidak diobati


Pasien yang tidak diobati, setelah 5 tahun, akan:
- 50% meninggal
- 25% akan sembuh sendiri dengan daya tahan tubuh yang tinggi
- 25% menjadi kasus kronis yang tetap menular

5. Upaya Penanggulangan TB
Pada awal tahun 1990-an WHO dan IUATLD telah mengembangkan
strategi penanggulangan TB yang dikenal sebagai strategi DOTS (Directly
observed Treatment Short-course) dan telah terbukti sebagai strategi
penanggulangan yang secara ekonomis paling efektif (cost-efective).
Strategi ini dikembangkan dari berbagi studi, clinical trials, best practices,
dan hasil implementasi program penanggulangan TB selama lebih dari dua
dekade. Penerapan strategi DOTS secara baik, disamping secara cepat
merubah kasus menular menjadi tidak menular, juga mencegah berkembangnya
MDR-TB.
Fokus utama DOTS adalah penemuan dan penyembuhan pasien,
prioritas diberikan kepada pasien TB tipe menular. Strategi ini akan memutuskan

5
penularan TB dan dengan demikian menurunkan insidens TB di masyarakat.
Menemukan dan menyembuhkan pasien merupakan cara terbaik dalam upaya
pencegahan penularan TB. Pada tahun 1995, WHO telah merekomendasikan
strategi DOTS sebagai strategi dalam penanggulangan TB. Bank Dunia
menyatakan strategi DOTS sebagai salah satu intervensi kesehatan yang paling
efektif. Integrasi strategi DOTS ke dalam pelayanan kesehatan dasar sangat
dianjurkan demi efisiensi dan efektifitasnya. Satu studi cost benefit yang
dilakukan oleh WHO di Indonesia menggambarkan bahwa dengan
menggunakan strategi DOTS, setiap dolar yang digunakan untuk membiayai
program penanggulangan TB, akan menghemat sebesar US$ 55 selama 20
tahun.
Strategi DOTS terdiri dari 5 komponen kunci:
1. Komitmen politis
2. Pemeriksaan dahak mikroskopis yang terjamin mutunya.
3. Pengobatan jangka pendek yang standar bagi semua kasus TB dengan
tatalaksana kasus yang tepat, termasuk pengawasan langsung pengobatan.
4. Jaminan ketersediaan OAT yang bermutu.
5. Sistem pencatatan dan pelaporan yang mampu memberikan penilaian
terhadap hasil pengobatan pasien dan kinerja program secara keseluruhan.

6. Program Pengendalian Tb Melalui Metode Direct Observed Treatment


Shortcourse (DOTS)
Keberhasilan ekspansi strategi DOTS di Indonesia membutuhkan
dukungan manajerial yang kuat. Desentralisasi pelayanan kesehatan
berpengaruh negatif terhadap kapasitas sumber daya manusia dan
pengembangan program pengendalian TB. Meskipun dilaporkan bahwa 98% staf
di Puskesmas dan lebih kurang 24% staf TB di rumah sakit telah dilatih, program
TB harus tetap melakukan pengembangan sumber daya manusia mengingat
tingkat mutasi staf yang cukup tinggi.
Tantangan baru yang harus dihadapi oleh program TB meningkatkan
kebutuhan akan pelatihan strategi DOTS maupun kebutuhan akan pelatihan
dengan topik baru seperti halnya tata laksana MDR-TB, PAL, PPI TB, dan
lainnya. Pelatihan strategi DOTS tetap dibutuhkan mengingat ekspansi strategi
DOTS dengan perluasan jenis dan jumlah fasilitas pelayanan kesehatan serta
berbagai inovasi untuk memperkuat penerapan strategi DOTS (misalnya alat
diagnostik yang baru, TB elektronik, ACSM, manajemen logistik). Selain itu,
faktor keterbatasan jumlah staf, rotasi staf di fasilitas pelayanan kesehatan dan

6
dinas kesehatan serta kesinambungan antar pelatihan juga menjadi tantangan
dalam pengembangan sumber daya manusia di era desentralisasi. Konsekuensi
dari kebutuhan pelatihan yang tinggi adalah kebutuhan ketersediaan fasilitator
tambahan dengan jumlah, keterampilan dan keahlian spesifik yang memadai.
Rejimen pengobatan TB di program pengendalian TB nasional telah
menggunakan paket Fixed Dose Combination (FDC), meskipun demikian, bentuk
paket CombiPak masih tetap disediakan bagi pasien dengan efek samping obat.
Ketersediaan semua jenis obat TB lini pertama merupakan bagian dari lima
strategi utama DOTS, dan seharusnya dijamin oleh pemerintah dalam jumlah
yang memadai untuk memenuhi kebutuhan di Indonesia dengan persediaan
untuk buffer stock.

E. Dasar Hukum
1. Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4700);Undang-Undang Nomor 4
Tahun 1984 tentang Wabah Penyakit Menular (Lembaran Negara Tahun 1984
Nomor 20, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3273);
2. Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1992 tentang Kesehatan (Lembaran Negara
Tahun 1992 Nomor 100, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3495);
3. Peraturan Pemerintah Nomor 40 Tahun 1981 tentang Penanggulangan Wabah
Penyakit Menular (Lembaran Negara Tahun 1991 Nomor 49, Tambahan
Lembaran Negara Nomor 3447);
4. Keputusan Menteri Kesehatan Nomor 203/Menkes/ SK/III/1999 tentang Gerakan
Terpadu Nasional Penanggulangan Tuberkulosis;
5. Keputusan Menteri Kesehatan Nomor 364/Menkes/ SK/V/2009 tentang Pedoman
Penanggulangan Tuberkulosis (TB);
6. Keputusan Menteri Kesehatan Nomor 374/Menkes/ SK/V/2009 tentang Sistem
Kesehatan Nasional;
7. Kepmenkes RI No. 021/Menkes/SK/I/2011 tentang RenStra Kemenkes tahun
2010-2014
8. Permenkes RI No. 565/Menkes/ PER/III/2011 tentang Strategi Nasional
Pengendalian Tuberkulosis tahun 2011-2014;
9. Pedoman Manajerial Pelayanan Tuberkulosis dengan Strategi DOTS di Rumah
Sakit, Kemenkes RI, 2010

7
BAB II
ORGANISASI TIM PELAYANAN TB DOTS RSPG

Struktur Organisasi Tim Pelayanan TB DOTS RSPG

Sub T

Pe

Pe
Tenaga

8
BAB III

STANDAR FASILITAS
PELAYANAN TB DOTS RSPG

A. Standar Fasilitas Pelayanan TB DOTS RSPG Sesuai Program Pengendalian


Infeksi TB Di Rumah Sakit
Pada kondisi saat ini belum semua fasilitas pelayanan kesehatan
menerapkan pencegahan dan pengendalian infeksi. Sehingga perlu dilakukan
upaya perbaikan pada fasilitas pelayanan kesehatan untuk mencegah terjadinya
transmisi pasien TB dan risiko berkembangnya TB-MDR-XDR pada pasien,
keluarga pasien, pasien lainnya serta petugas kesehatan. Program pengendalian
Infeksi TB di RSPG sejalan dengan Program pengendalian infeksi TB di fasilitas
pelayanan kesehatan, sesuai Permenkes tahun 2012, yakni sebagai berikut:

1. Mengikuti Lima Langkah Penatalaksanaan Pasien Untuk Pencegahan Infeksi


TB MDR

Lima Langkah Penatalaksanaan pasien


Untuk Mencegah Infeksi TB
Pada Tempat Pelayanan
Langkah Kegiatan Keterangan
Pengenalan segera pasien suspek atau konfirm TB adalah langkah
pertama.
Hal ini bisa dilakukan dengan menempatkan petugas untuk
Triase menyaring pasien dengan batuk lama segera pada saat datang di
1.
fasilitas. Pasien dengan batuk 2 minggu, atau yang sedang dalam
investigasi TB tidak dibolehkan meng-antri dengan pasien lain untuk
mendaftar atau mendapatkan kartu. Mereka harus segera dilayani
mengikuti langkah-langkah dibawah ini.
Meng-instruksi-kan pasien yang tersaring diatas untuk melakukan
etika batuk. Yaitu untuk menutup hidung dan mulut ketika batuk
2. Penyuluhan
atau bersin. Kalau perlu berikan masker atau tisu untuk membantu
mereka menutup mulutnya
Pasien yang suspek atau kasus TB melalui pertanyaan penyaringan
harus dipisahkan dari pasien lain, dan diminta menunggu di ruang
3. Pemisahan
terpisah dengan ventilasi baik serta diberi masker bedah atau tisu
untuk menutup mulut dan hidung pada saat menunggu.
Pada tempat pelayanan terpadu, pasien dengan gejala di-triase ke
baris depan untuk mendapatkan pelayanan segera (misalnya VCT
Pemberian HIV, kunjungan ulang obat), agar segera dapat dilayani dan
4. pelayanan mengurangi waktu orang lain terpajan pada mereka. Ditempat
segera pelayanan terpadu, usahakan agar pasien yang hanya datang untuk
pelayanan HIV mendapatkan layanan HIV sebelum layanan untuk
ODHA dengan TB.
5. Rujuk Pemeriksaan diagnostik TB sebaiknya dilakukan ditempat
untuk pelayanan itu, tetapi bila layanan ini tidak tersedia, fasilitas perlu

9
membina kerjasama baik dengan sentra diagnostik TB untuk
investigasi/
merujuk pasien dengan gejala TB. Selain itu, fasilitas perlu
pengobatan
mempunyai kerjasama dengan sentra pengobatan TB untuk
TB
menerima rujukan pengobatan bagi pasien terdiagnosa TB.

2. Penggunaan Ventilasi Alami Dan Campuran Pada Ruangan Poliklinik Dan


Isolasi Khususnya Pada Kasus TB MDR/HIV
Gedung yang tidak menggunakan sistem pendingin udara sentral,
sebaiknya menggunakan ventilasi alamiah dengan exhaust fan atau kipas
angin agar udara luar yang segar dapat masuk ke semua ruangan di gedung
tersebut. Pintu, jendela maupun langit-langit di ruangan di mana banyak orang
berkumpul seperti ruang tunggu, hendaknya dibuka selebar mungkin. Sistem
ventilasi campuran (alamiah dengan mekanik), yaitu dengan penggunaan
exhaust fan/Kipas angin yang dipasang dengan benar dan dipelihara dengan
baik, dapat membantu untuk mendapatkan dilusi yang adekuat, bila ventilasi
alamiah saja tidak dapat mencapai rate ventilasi yang cukup. Ruangan dengan
jendela terbuka dan exhaust fan/kipas angin cukup efektif untuk mendilusi
udara ruangan dibandingkan dengan ruangan dengan jendela terbuka saja
atau ruangan tertutup.
Ruang di RS yang hanya memiliki ventilasi alamiah, perlu
memperhatikan apakah ventilasi tetap efektif dengan melakukan pemeliharaan
secara periodik. Optimalisasi ventilasi dapat dicapai dengan memasang
jendela yang dapat dibuka dengan ukuran maksimal dan menempatkan jendela
pada sisi tembok ruangan yang berhadapan. Meskipun Rumah Sakit
mempertimbangkan untuk menginstalasi suatu sistem ventilasi mekanik,
ventilasi alamiah perlu diusahakan semaksimal mungkin.
Rekomendasi untuk Ventilasi Campuran:
Usahakan agar udara luar segar dapat masuk ke semua ruangan yang
banyak orang
Dalam ventilasi campuran, Ventilasi alami perlu diusahakan semaksimal
mungkin
Penambahan dan perletakan kipas angin untuk meningkatkan laju
pertukaran udara harus memperhatikan arah aliran udara yang dihasilkan.
Mengoptimalkan aliran udara
Menyalakan kipas angin selama masih ada orang-orang di ruangan tersebut
3. Rekomendasi Utama Pengendalian Infeksi Airborne Akibat TB
Rekomendasi utama:
a. Untuk pencegahan dan pengendalian infeksi airborne, perlu diupayakan
ventilasi yang adekuat di semua area pelayanan pasien di Rumah Sakit
(fasilitas kesehatan)
b. Untuk fasilitas yang menggunakan ventilasi alamiah, perlu dipastikan bahwa
angka rata-rata ventilation rate per jam yang minimal tercapai, yaitu:
1) 160/l/detik/pasien untuk ruangan yang memerlukan kewaspaan airborne
(dengan ventilation rate terrendah adalah 80/l/detik/pasien)
2) 60/l/detik/pasien untuk ruangan perawatan umum dan poliklinik rawat
jalan
3) 2,5/l/detik untuk jalan/selasar (koridor) yang hanya dilalui sementara oleh
pasien. Bila pada suatu keadaan tertentu ada pasien=pasien yang

10
terpaksa dirawat di selasar Rumah Sakit, maka berlaku ketentuan yang
sama untuk ruang kewaspadaan airborne atau ruang perawatan umum
4) Desain ruangan harus memperhitungkan adanya fluktuasi dalam
besarnya ventilation rate.
5) Bila ventilasi alamiah saja tidak dapat menjamin angka ventilasi yang
direkomendasikan, maka dianjurkan menggunakan ventilasi campuran,
atau ventilasi mekanik saja.
c. Rancangan ventilasi alamiah di Rumah Sakit, perlu memperhatikan, bahwa
aliran udara harus mengalirkan udara dari sumber infeksi ke area di mana
terjadi dilusi udara yang cukup dan lebih diutamakan ke udara luar.
d. Di ruangan di mana dilakukan prosedur yang menghasilkan aerosol berisi
pathogen menular, maka ventilasi alamiah harus paling sedikit mengikuti
rekomendasi nomer b diatas. Bila agen infeksi adalah airborne, hendaknya
diikuti rekomendasi b dan c.
4. Pengendalian Dengan Perlindungan Diri
Alat Pelindung Diri Pernapasan melindungi petugas kesehatan di tempat,
di mana kadar percik renik tidak dapat dihilangkan dengan upaya administratif
dan lingkungan .
Petugas kesehatan perlu menggunakan respirator pada saat melakukan
prosedur yang berisiko tinggi, misalnya bronkoskopi, intubasi, induksi sputum,
aspirasi sekret saluran napas, dan pembedahan paru. Selain itu, respirator ini
juga perlu digunakan saat memberikan perawatan pasien atau tersangka
pasien MDR-TB dan XDR-TB.
Petugas kesehatan dan pengunjung perlu mengenakan respirator jika
berada bersama pasien TB di ruangan tertutup. Pasien atau tersangka TB tidak
perlu menggunakan respirator partikulat tetapi cukup menggunakan masker
bedah untuk melindungi lingkungan sekitar.

a. Pemakaian Respirator Partikulat


Respirator partikulat (N95 atau FFP2) merupakan masker khusus dengan
efisiensi tinggi untuk melindungi seseorang dari partikel berukuran < 5
mikron yang dibawa melalui udara. Pelindung ini terdiri dari beberapa
lapisan penyaring dan harus dipakai menempel erat pada wajah tanpa ada
kebocoran. Masker ini membuat pernapasan pemakai menjadi lebih berat.
Harganya lebih mahal daripada masker bedah. Sebelum memakai masker
ini, petugas kesehatan perlu melakukan fit test.
Hal yang perlu diperhatikan saat melakukan fit test :
Memeriksa sisi masker yang menempel pada wajah untuk melihat adanya
cacat atau lapisan yang tidak utuh. Jika cacat atau terdapat lapisan yang
tidak utuh, maka tidak dapat digunakan
Memeriksa tali masker apakah tersambung dengan baik. Tali harus
menempel dengan baik di semua titik sambungan
Memastikan klip hidung yang terbuat dari logam disesuaikan bentuk
hidung petugas
Fungsi alat ini akan menjadi kurang efektif bila tidak menempel erat pada
wajah. Beberapa keadaan yang dapat menimbulkan keadaan demikian,
yaitu:
Adanya janggut atau rambut ada wajah bagian bawah

11
Adanya gagang kacamata
Ketiadaan satu atau dua gigi pada kedua sisi yang dapat mempengaruhi
perlekatan bagian wajah masker.

Langkah langkah melakukan fit test respirator


1. Genggamlah respirator dengan satu tangan, posisikan sisi depan bagian
hidung pada ujung jari-jari Anda, biarkan tali pengikat respirator menjuntai
bebas di bawah tangan Anda.
2. Posisikan respirator di bawah dagu Anda dan sisi untuk hidung berada di
atas
3. Tariklah tali pengikat respirator yang bawah dan posisikan tali di bawah
telinga. Tariklah tali pengikat respirator yang atas dan posisikan tali agak
tinggi di belakang kepala Anda, di atas telinga
4. Letakkan jari-jari kedua tangan Anda di atas bagian hidung yang terbuat
dari logam. Tekan sisi logam, dengan dua jari untuk masing-masing
tangan, mengikuti bentuk hidung Anda. Jangan menekan dengan satu
tangan karena dapat mengakibatkan respirator bekerja kurang efektif
5. Tutup bagian depan respirator dengan kedua tangan, dan hati-hati agar
posisi respirator tidak berubah

Pemeriksaan Segel Positif


Hembuskan napas kuat-kuat. Tekanan positif di dalam respirator berarti tidak
ada kebocoran. Bila terjadi kebocoran atur posisi dan/ atau ketegangan tali.
Uji kembali kerapatan respirator. Ulangi langkah tersebut sampai respirator
benar-benar tertutup rapat.
Pemeriksaan Segel Negatif
Tarik napas dalam-dalam. Bila tidak ada kebocoran, tekanan negatif di
dalam respirator akan membuat respirator menempel ke wajah. Kebocoran
akan menyebabkan hilangnya tekanan negatif di dalam respirator akibat
udara masuk melalui celah-celah pada segelnya

b. Edukasi dan penerapan etika batuk


Petugas harus dapat memberi pendidikan mengenai pentingnya
menjalankan etika batuk kepada pasien untuk mengurangi penularan.
Pasien yang batuk diinstruksikan untuk memalingkan kepala dan menutup
mulut / hidung dengan tisu . Kalau tidak memiliki tisu maka mulut dan hidung
ditutup dengan tangan atau pangkal lengan. Sesudah batuk, tangan
dibersihkan, dan tisu dibuang pada tempat sampah yang khusus disediakan
untuk ini.
Petugas yang sedang sakit sebaiknya tidak merawat pasien. Apabila
tetap merawat pasien, maka petugas harus mengenakan masker bedah.
Apabila petugas bersin atau batuk, maka etika batuk dan kebersihan tangan
seperti di atas harus diterapkan.
c. Keselamatan dan Keamanan Laboratorium TB
Konsep perlindungan diri petugas Laboratorium tetap mengacu pada
Kewaspadaan Standar dan Kewaspadaan Berdasarkan Transmisi melalui

12
udara (airborne) dan Transmisi melalui Kontak apabila sedang memproses
spesimen. Petugas Lab yang menangani pemeriksaan BTA dan kultur BTA
berhak mendapatkan pemeriksaan kesehatan rutin setiap tahun.

Kehati-hatian dalam melakukan prosedur laboratorium perlu


ditekankan terutama apabila menimbulkan aerosol. Pekerjaan harus
dilakukan dalam lemari Biologic Safety Cabinet kelas I atau IIA dengan
keamanan tingkat 2 (Biosafety level 2) yang dilengkapi laminar-airflow dan
filter HEPA. Sebelum bekerja, meja kerja kabinet dialasi dengan bahan
penyerap yang sudah dibasahi larutan disinfektans. Setiap selesai bekerja,
permukaan kabinet harus dibersihkan dengan disinfektans. Lampu UV harus
selalu dinyalakan apabila kabinet dalam keadaan tidak digunakan. Untuk
pemeliharaan perlu dilakukan pengecekan berkala oleh teknisi yang
kompeten. Untuk pemeriksaan kultur dan resistensi perlu dilakukan dengan
tingkat keamanan 3 dengan akses yang sangat dibatasi.
Sistem ventilasi udara laboratorium Tb harus diatur sedemikian rupa
sehingga udara mengalir masuk sesuai area bersih ke area tercemar dan
keluar ke udara bebas yang tidak dilalui lalu lintas manusia. Ruang
pemrosesan dianjurkan selalu terpasang lampu UV bila dalam keadaan tidak
digunakan. Lampu harus selalu dalam keadaan bersih dan efek germisidal
lampu diperiksa secara rutin setiap bulan menggunakan alat pengukur.
d. Keamanan Cara Penampungan sputum
1) Penampungan sputum
Penampungan sputum oleh pasien harus dilakukan dalam ruangan
dengan konsep AII (airborne infection isolation) atau sputum box dengan
pengaturan sistem ventilasi (well-ventilated sputum induction booth) .
Udara dalam boks dialirkan ke udara bebas di tempat yang bebas lalu
lintas manusia. Petugas yang mendampingi harus menggunakan
respirator partikulat. Pasien harus tetap dalam ruangan sampai batuk
mereda dan tidak batuk lagi. Ruangan harus dibiarkan kosong sampai
diperkirakan udara sudah bersih sebelum pasien berikutnya
diperbolehkan masuk. Untuk sarana dengan sumber daya terbatas,
pasien diminta mengumpulkan sputum di luar gedung, di tempat terbuka,
bebas lalu lintas manusia, jauh dari orang yang menemani atau orang
lain, jendela atau aliran udara masuk.
Untuk penampungan sputum yang baik, pasien perlu mendapat
penjelasan oleh petugas. Pasien diminta menarik napas dalam sebanyak
3 x kemudian pada tarikan ke 3 menahan napas kemudian batuk dengan
tekanan. Wadah sputum harus bermulut lebar dan bertutup ulir. Wadah
tidak perlu steril tetapi harus bersih dan kering. Sedapat mungkin
menggunakan wadah yang disediakan khusus oleh laboratorium. Waktu
pengambilan dilakukan dengan metode SPS yaitu sewaktu saat berobat
ke RS/Poliklinik, pagi hari keesokannya di rumah dan sewaktu saat
kontrol dan membawa sputum pagi hari ke RS/Poliklinik .
2) Kebersihan tangan setelah menampung sputum.
Pasien perlu diberitahu untuk membersihkan tangan setelah
menampung sputum baik dengan air mengalir dan sabun, atau dengan

13
larutan handrubs. Fasilitas pelayanan kesehatan harus menyediakan
sarana tersebut.

e. Proteksi saat transportasi pasien


Apabila pasien akan ditransportasikan keluar dari ruang isolasi, maka pasien
harus dipakaikan masker bedah untuk melindungi lingkungan sekitar.

B. Penularan Pasien TB
1. Sumber penularan adalah pasien TB BTA positif sehingga diperlukan pemisahan
ruang khusus BTA (+) dengan BTA (-)
2. Pada waktu batuk atau bersin, pasien menyebarkan kuman ke udara dalam
bentuk percikan dahak (droplet nuclei). Sekali batuk dapat menghasilkan sekitar
3000 percikan dahak.
3. Umumnya penularan terjadi dalam ruangan dimana percikan dahak berada
dalam waktu yang lama. Ventilasi dapat mengurangi jumlah percikan, sementara
sinar matahari langsung dapat membunuh kuman.
4. Percikan dapat bertahan selama beberapa jam dalam keadaan yang gelap dan
lembab.
5. Daya penularan seorang pasien ditentukan oleh banyaknya kuman yang
dikeluarkan dari parunya. Makin tinggi derajat kepositifan hasil pemeriksaan
dahak, makin menular pasien tersebut.
6. Faktor yang memungkinkan seseorang terpajan kuman TB ditentukan oleh
konsentrasi percikan dalam udara dan lamanya menghirup udara tersebut.

C. Inform Concent Untuk Keluarga


Inform concent keluarga menyangkut:
1. Prognosis penyakit pasien
2. edukasi tentang bahaya penularan TB terutama MDR TB
3. jaga kebersihan, tidak meludah sembarangan

14
BAB IV
TATALAKSANA PASIEN TUBERKULOSIS

Penatalaksanaan TB meliputi penemuan pasien dan pengobatan yang dikelola


dengan menggunakan strategi DOTS. Tujuan utama pengobatan pasien TB adalah
menurunkan angka kematian dan kesakitan serta mencegah penularan dengan cara
menyembuhkan pasien. Penatalaksanaan penyakit TB merupakan bagian dari
surveilans penyakit; tidak sekedar memastikan pasien menelan obat sampai
dinyatakan sembuh, tetapi juga berkaitan dengan pengelolaan sarana bantu yang
dibutuhkan, petugas yang terkait, pencatatan, pelaporan, evaluasi kegiatan dan
rencana tindak lanjutnya.

A. Penemuan Pasien TB
Kegiatan penemuan pasien terdiri dari penjaringan suspek, diagnosis, penentuan
klasifikasi penyakit dan tipe pasien. Penemuan pasien merupakan langkah pertama
dalam kegiatan program penanggulangan TB. Penemuan dan penyembuhan pasien
TB menular, secara bermakna akan dapat menurunkan kesakitan dan kematian
akibat TB, penularan TB di masyarakat dan sekaligus merupakan kegiatan
pencegahan penularan TB yang paling efektif di masyarakat.
1. Strategi penemuan
Penemuan pasien TB dilakukan secara pasif dengan promosi aktif.
Penjaringan tersangka pasien dilakukan di unit pelayanan kesehatan;
didukung dengan penyuluhan secara aktif, baik oleh petugas kesehatan
maupun masyarakat, untuk meningkatkan cakupan penemuan tersangka
pasien TB.
Pemeriksaan terhadap kontak pasien TB, terutama mereka yang BTA positif,
yang menunjukkan gejala sama, harus diperiksa dahaknya.
Penemuan secara aktif dari rumah ke rumah, dianggap tidak cost efektif.
2. Gejala klinis pasien TB
Gejala utama pasien TB paru adalah batuk berdahak selama 2-3 minggu atau
lebih. Batuk dapat diikuti dengan gejala tambahan yaitu dahak bercampur darah,
batuk darah, sesak nafas, badan lemas, nafsu makan menurun, berat badan
menurun, malaise, berkeringat malam hari tanpa kegiatan fisik, demam meriang
lebih dari satu bulan. Gejala-gejala tersebut diatas dapat dijumpai pula pada
penyakit paru selain tb, seperti bronkiektasis, bronkitis kronis, asma, kanker
paru, dan lain-lain.

3. Pemeriksaan dahak mikroskopis


Pemeriksaan dahak berfungsi untuk menegakkan diagnosis, menilai
keberhasilan pengobatan dan menentukan potensi penularan. Pemeriksaan
dahak untuk penegakan diagnosis dilakukan dengan mengumpulkan 3 spesimen
dahak yang dikumpulkan dalam dua hari kunjungan yang berurutan berupa
Sewaktu Pagi - Sewaktu (SPS), S (sewaktu): dahak dikumpulkan pada saat
suspek TB datang berkunjung pertama kali. Pada saat pulang, suspek membawa
sebuah pot dahak untuk mengumpulkan dahak pagi pada hari kedua. P (Pagi):
dahak dikumpulkan di rumah pada pagi hari kedua, segera setelah bangun tidur.

15
Pot dibawa dan diserahkan sendiri kepada petugas di UPK. S (sewaktu): dahak
dikumpulkan di UPK pada hari kedua, saat menyerahkan dahak pagi.

B. Diagnosis TB
1. Diagnosis TB paru
Semua suspek TB diperiksa 3 spesimen dahak dalam waktu 2 hari, yaitu
sewaktu - pagi - sewaktu (SPS).
Diagnosis TB Paru pada orang dewasa ditegakkan dengan ditemukannya
kuman TB (BTA). Pada program TB nasional, penemuan BTA melalui
pemeriksaan dahak mikroskopis merupakan diagnosis utama. Pemeriksaan
lain seperti foto toraks, biakan dan uji kepekaan dapat digunakan sebagai
penunjang diagnosis sepanjang sesuai dengan indikasinya.
Tidak dibenarkan mendiagnosis TB hanya berdasarkan pemeriksaan foto
toraks saja. Foto toraks tidak selalu memberikan gambaran yang khas pada
TB paru, sehingga sering terjadi overdiagnosis.
Gambaran kelainan radiologik Paru tidak selalu menunjukkan aktifitas
penyakit.
Untuk lebih jelasnya lihat alur prosedur diagnostik untuk suspek TB paru.

2. Diagnosis TB ekstra paru.


Gejala dan keluhan tergantung organ yang terkena, misalnya kaku kuduk
pada Meningitis TB, nyeri dada pada TB pleura (Pleuritis), pembesaran
kelenjar limfe superfisialis pada limfadenitis TB dan deformitas tulang
belakang (gibbus) pada spondilitis TB dan lainlainnya.
Diagnosis pasti sering sulit ditegakkan sedangkan diagnosis kerja dapat
ditegakkan berdasarkan gejala klinis TB yang kuat (presumtif) dengan
menyingkirkan kemungkinan penyakit lain. Ketepatan diagnosis tergantung
pada metode pengambilan bahan pemeriksaan dan ketersediaan alat-alat
diagnostik, misalnya uji mikrobiologi, patologi anatomi, serologi, foto toraks
dan lain-lain.

Pada sebagian besar TB paru, diagnosis terutama ditegakkan dengan


pemeriksaan dahak secara mikroskopis dan tidak memerlukan foto toraks.
Namun pada kondisi tertentu pemeriksaan foto toraks perlu dilakukan sesuai
dengan indikasi sebagai berikut:
Hanya 1 dari 3 spesimen dahak SPS hasilnya BTA positif. Pada kasus ini
pemeriksaan foto toraks dada diperlukan untuk mendukung diagnosis TB
paru BTA positif.
Ketiga spesimen dahak hasilnya tetap negatif setelah 3 spesimen dahak SPS
pada pemeriksaan sebelumnya hasilnya BTA negatif dan tidak ada perbaikan
setelah pemberian antibiotika non OAT.
Pasien tersebut diduga mengalami komplikasi sesak nafas berat yang
memerlukan penanganan khusus (seperti: pneumotorak, pleuritis eksudativa,
efusi perikarditis atau efusi pleural) dan pasien yang mengalami hemoptisis
berat (untuk menyingkirkan bronkiektasis atau aspergiloma).

16
Alur Diagnosis TB Paru

17
C. Klasifikasi Penyakit Dan Tipe Pasien
Penentuan klasifikasi penyakit dan tipe pasien tuberkulosis memerlukan suatu
definisi kasus yang meliputi empat hal , yaitu:
Lokasi atau organ tubuh yang sakit: paru atau ekstra paru;
Bakteriologi (hasil pemeriksaan dahak secara mikroskopis) : BTA positif atau
BTA negatif;
Tingkat keparahan penyakit: ringan atau berat.
Riwayat pengobatan TB sebelumnya: baru atau sudah pernah diobati
Manfaat dan tujuan menentukan klasifikasi dan tipe adalah
menentukan paduan pengobatan yang sesuai
registrasi kasus secara benar
menentukan prioritas pengobatan TB BTA(+)
analisis kohort hasil pengobatan

Beberapa istilah dalam definisi kasus:


Kasus TB : Pasien TB yang telah dibuktikan secara mikroskopis atau
didiagnosis oleh dokter.
Kasus TB pasti (definitif) : pasien dengan biakan positif untuk
Mycobacterium tuberculosis atau tidak ada fasilitas biakan, sekurang-
kurangnya 2 dari 3 spesimen dahak SPS hasilnya BTA positif.

Kesesuaian paduan dan dosis pengobatan dengan kategori diagnostik sangat


diperlukan untuk:
menghindari terapi yang tidak adekuat (undertreatment) sehingga mencegah
timbulnya resistensi,
menghindari pengobatan yang tidak perlu (overtreatment) sehingga
meningkatkan pemakaian sumber-daya lebih biaya efektif (cost-effective)
mengurangi efek samping.

1. Tuberkulosis paru. Tuberkulosis paru adalah tuberkulosis yang menyerang jaringan


(parenkim) paru. tidak termasuk pleura (selaput paru) dan kelenjar pada hilus.
2. Tuberkulosis ekstra paru. Tuberkulosis yang menyerang organ tubuh lain selain
paru, misalnya pleura, selaput otak, selaput jantung (pericardium), kelenjar lymfe,
tulang, persendian, kulit, usus, ginjal, saluran kencing, alat kelamin, dan lain-lain.

Klasifikasi berdasarkan hasil pemeriksaan dahak mikroskopis, yaitu pada TB


Paru:
1. Tuberkulosis paru BTA positif.
Sekurang-kurangnya 2 dari 3 spesimen dahak SPS hasilnya BTA positif.
1 spesimen dahak SPS hasilnya BTA positif dan foto toraks dada
menunjukkan gambaran tuberkulosis.
1 spesimen dahak SPS hasilnya BTA positif dan biakan kuman TB positif. - 1
atau lebih spesimen dahak hasilnya positif setelah 3 spesimen dahak SPS
pada pemeriksaan sebelumnya hasilnya BTA negatif dan tidak ada perbaikan
setelah pemberian antibiotika non OAT.
2. Tuberkulosis paru BTA negatif
Kasus yang tidak memenuhi definisi pada TB paru BTA positif.
Kriteria diagnostik TB paru BTA negatif harus meliputi:
Paling tidak 3 spesimen dahak SPS hasilnya BTA negatif

18
Foto toraks abnormal menunjukkan gambaran tuberkulosis.
Tidak ada perbaikan setelah pemberian antibiotika non OAT.
Ditentukan (dipertimbangkan) oleh dokter untuk diberi pengobatan.

Klasifikasi berdasarkan tingkat keparahan penyakit


1. TB paru BTA negatif foto toraks positif dibagi berdasarkan tingkat keparahan
penyakitnya, yaitu bentuk berat dan ringan. Bentuk berat bila gambaran foto toraks
memperlihatkan gambaran kerusakan paru yang luas (misalnya proses far
advanced), dan atau keadaan umum pasien buruk.
2. TB ekstra-paru dibagi berdasarkan pada tingkat keparahan penyakitnya, yaitu:
TB ekstra paru ringan, misalnya: TB kelenjar limfe, pleuritis eksudativa
unilateral, tulang (kecuali tulang belakang), sendi, dan kelenjar adrenal.
TB ekstra-paru berat, misalnya: meningitis, milier, perikarditis, peritonitis,
pleuritis eksudativa bilateral, TB tulang belakang, TB usus, TB saluran kemih
dan alat kelamin.
Catatan:
Bila seorang pasien TB paru juga mempunyai TB ekstra paru, maka untuk kepentingan
pencatatan, pasien tersebut harus dicatat sebagai pasien TB paru.
Bila seorang pasien dengan TB ekstra paru pada beberapa organ, maka dicatat
sebagai TB ekstra paru pada organ yang penyakitnya paling berat.

Tipe Pasien
Tipe pasien ditentukan berdasarkan riwayat pengobatan sebelumnya. Ada
beberapa tipe pasien yaitu:
Kasus baru
Adalah pasien yang belum pernah diobati dengan OAT atau sudah pernah
menelan OAT kurang dari satu bulan (4 minggu).
Kasus kambuh (Relaps)
Adalah pasien tuberkulosis yang sebelumnya pernah mendapat pengobatan
tuberculosis dan telah dinyatakan sembuh atau pengobatan lengkap,
didiagnosis kembali dengan BTA positif (apusan atau kultur).
Kasus setelah putus berobat (Default )
Adalah pasien yang telah berobat dan putus berobat 2 bulan atau lebih dengan
BTA positif.
Kasus setelah gagal (failure)
Adalah pasien yang hasil pemeriksaan dahaknya tetap positif atau kembali
menjadi positif pada bulan kelima atau lebih selama pengobatan.
Kasus Pindahan (Transfer In)
Adalah pasien yang dipindahkan dari UPK yang memiliki register TB lain untuk
melanjutkan pengobatannya.
Kasus lain :
Adalah semua kasus yang tidak memenuhi ketentuan diatas. Dalam kelompok
ini termasuk Kasus Kronik, yaitu pasien dengan hasil pemeriksaan masih BTA
positif setelah selesai pengobatan ulangan.

19
Catatan:
TB paru BTA negatif dan TB ekstra paru, dapat juga mengalami kambuh, gagal, default
maupun menjadi kasus kronik. Meskipun sangat jarang, harus dibuktikan secara
patologik, bakteriologik (biakan), radiologik, dan pertimbangan medis spesialistik,.

D. Pengobatan TB
1. Tujuan Pengobatan
Pengobatan TB bertujuan untuk menyembuhkan pasien, mencegah kematian,
mencegah kekambuhan, memutuskan rantai penularan dan mencegah
terjadinya resistensi kuman terhadap OAT.

2. Jenis, sifat dan dosis OAT

3. Prinsip pengobatan
Pengobatan tuberkulosis dilakukan dengan prinsip - prinsip sebagai berikut:
OAT harus diberikan dalam bentuk kombinasi beberapa jenis obat, dalam
jumlah cukup dan dosis tepat sesuai dengan kategori pengobatan. Jangan
gunakan OAT tunggal (monoterapi) . Pemakaian OAT-Kombinasi Dosis
Tetap (OAT KDT) lebih menguntungkan dan sangat dianjurkan.
Untuk menjamin kepatuhan pasien menelan obat, dilakukan pengawasan
langsung (DOT = Directly Observed Treatment) oleh seorang Pengawas
Menelan Obat (PMO).
Pengobatan TB diberikan dalam 2 tahap, yaitu tahap intensif dan lanjutan.
a. Tahap awal (intensif)
Pada tahap intensif (awal) pasien mendapat obat setiap hari dan perlu
diawasi secara langsung untuk mencegah terjadinya resistensi obat.
Bila pengobatan tahap intensif tersebut diberikan secara tepat, biasanya
pasien menular menjadi tidak menular dalam kurun waktu 2 minggu.
Sebagian besar pasien TB BTA positif menjadi BTA negatif (konversi)
dalam 2 bulan.

20
b. Tahap Lanjutan
Pada tahap lanjutan pasien mendapat jenis obat lebih sedikit, namun
dalam jangka waktu yang lebih lama
Tahap lanjutan penting untuk membunuh kuman persister sehingga
mencegah terjadinya kekambuhan

4. Paduan OAT yang digunakan di Indonesia


Paduan OAT yang digunakan oleh Program Nasional Penanggulangan
Tuberkulosis di Indonesia:
- Kategori 1 : 2(HRZE)/4RH dan 2 RHZE /4 R3H3.
- Kategori 2 : 2(HRZE)S/(HRZE)/5(HR)3E3.
Disamping kedua kategori ini, disediakan paduan obat sisipan (HRZE)
- Kategori Anak: 2HRZ/4HR
Paduan OAT kategori-1 dan kategori-2 disediakan dalam bentuk paket
berupa obat kombinasi dosis tetap (OAT-KDT), sedangkan kategori anak
sementara ini disediakan dalam bentuk OAT kombipak.
Tablet OAT KDT ini terdiri dari kombinasi 2 atau 4 jenis obat dalam satu
tablet. Dosisnya disesuaikan dengan berat badan pasien. Paduan ini
dikemas dalam satu paket untuk satu pasien.
Paket Kombipak.
Terdiri dari obat lepas yang dikemas dalam satu paket, yaitu Isoniasid,
Rifampisin, Pirazinamid dan Etambutol. Paduan OAT ini disediakan
program untuk mengatasi pasien yang mengalami efek samping OAT KDT.
Paduan OAT ini disediakan dalam bentuk paket, dengan tujuan untuk
memudahkan pemberian obat dan menjamin kelangsungan (kontinuitas)
pengobatan sampai selesai.
Satu (1) paket untuk satu (1) pasien dalam satu (1) masa pengobatan.

KDT mempunyai beberapa keuntungan dalam pengobatan TB:


1. Dosis obat dapat disesuaikan dengan berat badan sehingga menjamin
efektifitas obat dan mengurangi efek samping.
2. Mencegah penggunaan obat tunggal sehinga menurunkan resiko terjadinya
resistensi obat ganda dan mengurangi kesalahan penulisan resep
3. Jumlah tablet yang ditelan jauh lebih sedikit sehingga pemberian obat
menjadi sederhana dan meningkatkan kepatuhan pasien

5. Paduan OAT dan peruntukannya.


a. Kategori-1 2 RHZE 4 RH atau (2HRZE/ 4H3R3)
Paduan OAT ini diberikan untuk pasien baru:
Pasien baru TB paru BTA positif.
Pasien TB paru BTA negatif foto toraks positif
Pasien TB ekstra paru

Dosis untuk paduan OAT KDT untuk Kategori 1

21
b. Kategori -2 (2HRZES/ HRZE/ 5H3R3E3)
Paduan OAT ini diberikan untuk pasien BTA positif yang telah diobati
sebelumnya:
Pasien kambuh
Pasien gagal
Pasien dengan pengobatan setelah default (terputus)

Dosis untuk paduan OAT KDT Kategori 2

Catatan:
Untuk pasien yang berumur 60 tahun ke atas dosis maksimal untuk streptomisin
adalah 500mg tanpa memperhatikan berat badan.
Untuk perempuan hamil lihat pengobatan TB dalam keadaan khusus.
Cara melarutkan streptomisin vial 1 gram yaitu dengan menambahkan aquabidest
sebanyak 3,7ml sehingga menjadi 4ml. (1ml = 250mg)

c. OAT Sisipan (HRZE)


Paket sisipan KDT adalah sama seperti paduan paket untuk tahap intensif
kategori 1 yang diberikan selama sebulan (28 hari).

22
Golongan kuinolon tidak dianjurkan diberikan kepada pasien baru tanpa
indikasi yang jelas karena potensi obat tersebut jauh lebih rendah daripada
OAT lapis pertama. Di samping itu dapat juga meningkatkan terjadinya risiko
resistensi pada OAT lapis kedua.

E. Tatalaksana TB Anak
Diagnosis TB pada anak sulit sehingga sering terjadi misdiagnosis baik
overdiagnosis maupun underdiagnosis. Pada anak anak batuk bukan merupakan
gejala utama. Pengambilan dahak pada anak biasanya sulit, maka diagnosis TB
anak perlu kriteria lain dengan menggunakan sistem skor .
Unit Kerja Koordinasi Respirologi PP IDAI telah membuat Pedoman
Nasional Tuberkulosis Anak dengan menggunakan sistem skor (scoring system),
yaitu pembobotan terhadap gejala atau tanda klinis yang dijumpai. Pedoman
tersebut secara resmi digunakan oleh program nasional penanggulangan
tuberkulosis untuk diagnosis TB anak.
Setelah dokter melakukan anamnesis, pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan
penunjang, maka dilakukan pembobotan dengan sistem skor. Pasien dengan
jumlah skor yang lebih atau sama dengan 6 ( >6 ), harus ditatalaksana sebagai
pasien TB dan mendapat OAT (obat anti tuberkulosis). Bila skor kurang dari 6 tetapi
secara klinis kecurigaan kearah TB kuat maka perlu dilakukan pemeriksaan
diagnostik lainnya sesuai indikasi, seperti bilasan lambung, patologi anatomi, pungsi
lumbal, pungsi pleura, foto tulang dan sendi, funduskopi, CT-Scan, dan lain lainnya.

Alur tatalaksana pasien TB anak pada unit pelayanan kesehatan dasar

Kategori Anak (2RHZ/ 4RH)

23
Prinsip dasar pengobatan TB adalah minimal 3 macam obat dan diberikan dalam
waktu 6 bulan. OAT pada anak diberikan setiap hari, baik pada tahap intensif maupun
tahap lanjutan dosis obat harus disesuaikan dengan berat badan anak.

Dosis OAT Kombipak pada anak

Dosis OAT KDT pada anak

Bayi dengan berat badan kurang dari 5 kg dirujuk ke rumah sakit


Anak dengan BB 15 19 kg dapat diberikan 3 tablet.
Anak dengan BB > 33 kg , dirujuk ke rumah sakit.
Obat harus diberikan secara utuh, tidak boleh dibelah
OAT KDT dapat diberikan dengan cara : ditelan secara utuh atau digerus
sesaat sebelum diminum.

24
Sistem skoring (scoring system) gejala dan pemeriksaan penunjang TB

Perlu perhatian khusus jika ditemukan salah satu keadaan di bawah ini:
1. Tanda bahaya:
kejang, kaku kuduk
penurunan kesadaran
kegawatan lain, misalnya sesak napas
2. Foto toraks menunjukkan gambaran milier, kavitas, efusi pleura
3. Gibbus, koksitis

25
Pemberian obat 6 bulan , lakukan evaluasi baik klinis maupun pemeriksaan
penunjang. Evaluasi klinis pada TB anak merupakan parameter terbaik untuk menilai
keberhasilan pengobatan. Bila dijumpai perbaikan klinis yang nyata walaupun
gambaran radiologik tidak menunjukkan perubahan yang berarti, OAT tetap dihentikan.

Pengobatan Pencegahan (Profilaksis) untuk Anak


Pada semua anak, terutama balita yang tinggal serumah atau kontak erat dengan
penderita TB dengan BTA positif, perlu dilakukan pemeriksaan menggunakan system
skoring. Bila hasil evaluasi dengan skoring sistem didapat skor < 5, kepada anak
tersebut diberikan Isoniazid (INH) dengan dosis 5 10 mg/kg BB/hari selama 6 bulan.
Bila anak tersebut belum pernah mendapat imunisasi BCG, imunisasi BCG dilakukan
setelah pengobatan pencegahan selesai.

F. Pengawasan Menelan Obat


Salah satu komponen DOTS adalah pengobatan paduan OAT jangka pendek
dengan pengawasan langsung. Untuk menjamin keteraturan pengobatan diperlukan
seorang PMO.
1. Persyaratan PMO
Seseorang yang dikenal, dipercaya dan disetujui, baik oleh petugas
kesehatan maupun pasien, selain itu harus disegani dan dihormati oleh
pasien.
Seseorang yang tinggal dekat dengan pasien.
Bersedia membantu pasien dengan sukarela.
Bersedia dilatih dan atau mendapat penyuluhan bersama-sama dengan
pasien

2. Siapa yang bisa menjadi PMO


Sebaiknya PMO adalah petugas kesehatan, misalnya Bidan di Desa, Perawat,
Pekarya, Sanitarian, Juru Immunisasi, dan lain lain. Bila tidak ada petugas
kesehatan yang memungkinkan, PMO dapat berasal dari kader kesehatan, guru,
anggota PPTI, PKK, atau tokoh masyarakat lainnya atau anggota keluarga.

3. Tugas seorang PMO


Mengawasi pasien TB agar menelan obat secara teratur sampai selesai
pengobatan.
Memberi dorongan kepada pasien agar mau berobat teratur.
Mengingatkan pasien untuk periksa ulang dahak pada waktu yang telah
ditentukan.
Memberi penyuluhan pada anggota keluarga pasien TB yang mempunyai
gejala-gejala mencurigakan TB untuk segera memeriksakan diri ke Unit
Pelayanan Kesehatan.
Tugas seorang PMO bukanlah untuk mengganti kewajiban pasien mengambil
obat dari unit pelayanan kesehatan.

4. Informasi penting yang perlu dipahami PMO untuk disampaikan kepada pasien
dan keluarganya:
TB dapat disembuhkan dengan berobat teratur

26
TB bukan penyakit keturunan atau kutukan
Cara penularan TB, gejala-gejala yang mencurigakan dan cara
pencegahannya
Cara pemberian pengobatan pasien (tahap intensif dan lanjutan)
Pentingnya pengawasan supaya pasien berobat secara teratur
Kemungkinan terjadinya efek samping obat dan perlunya segera meminta
pertolongan ke UPK

G. Pemantauan Dan Hasil Pengobatan TB


Pemantauan kemajuan pengobatan TB
Pemantauan kemajuan hasil pengobatan pada orang dewasa dilaksanakan
dengan pemeriksaan ulang dahak secara mikroskopis. Pemeriksaan dahak secara
mikroskopis lebih baik dibandingkan dengan pemeriksaan radiologis dalam
memantau kemajuan pengobatan.
Laju Endap Darah (LED) tidak digunakan untuk memantau kemajuan
pengobatan karena tidak spesifik untuk TB.
Untuk memantau kemajuan pengobatan dilakukan pemeriksaan spesimen sebanyak
dua kali (sewaktu dan pagi). Hasil pemeriksaan dinyatakan negatif bila ke 2 spesimen
tersebut negatif.
Bila salah satu spesimen positif atau keduanya positif, hasil pemeriksaan
ulang dahak tersebut dinyatakan positif.

Hasil Pengobatan
Sembuh
Pasien telah menyelesaikan pengobatannya secara lengkap dan pemeriksaan
ulang dahak (follow-up) hasilnya negatif pada AP dan pada satu pemeriksaan
follow-up sebelumnya

Pengobatan Lengkap
Adalah pasien yang telah menyelesaikan pengobatannya secara lengkap tetapi
tidak memenuhi persyaratan sembuh atau gagal.

Meninggal
Adalah pasien yang meninggal dalam masa pengobatan karena sebab apapun.

Pindah
Adalah pasien yang pindah berobat ke unit dengan register TB 03 yang lain dan
hasil pengobatannya tidak diketahui.

Default (Putus berobat)


Adalah pasien yang tidak berobat 2 bulan berturut-turut atau lebih sebelum masa
pengobatannya selesai.

Gagal
Pasien yang hasil pemeriksaan dahaknya tetap positif atau kembali menjadi positif
pada bulan kelima atau lebih selama pengobatan.

27
H. Pengobatan TB Pada Keadaan Khusus.
1. Kehamilan
Pada prinsipnya pengobatan TB pada kehamilan tidak berbeda dengan
pengobatan TB pada umumnya. Menurut WHO, hampir semua OAT aman untuk
kehamilan, kecuali streptomisin. Streptomisin tidak dapat dipakai pada kehamilan
karena bersifat permanent ototoxic dan dapat menembus barier placenta.
Keadaan ini dapat mengakibatkan terjadinya gangguan pendengaran dan
keseimbangan yang menetap pada bayi yang akan dilahirkan. Perlu dijelaskan
kepada ibu hamil bahwa keberhasilan pengobatannya sangat penting artinya
supaya proses kelahiran dapat berjalan lancar dan bayi yang akan dilahirkan
terhindar dari kemungkinan tertular TB.

2. Ibu menyusui dan bayinya


Pada prinsipnya pengobatan TB pada ibu menyusui tidak berbeda
dengan pengobatan pada umumnya. Semua jenis OAT aman untuk ibu
menyusui. Seorang ibu menyusui yang menderita TB harus mendapat paduan
OAT secara adekuat. Pemberian OAT yang tepat merupakan cara terbaik untuk
mencegah penularan kuman TB kepada bayinya. Ibu dan bayi tidak perlu
dipisahkan dan bayi tersebut dapat terus disusui. Pengobatan pencegahan
dengan INH diberikan kepada bayi tersebut sesuai dengan berat badannya.

3. Pasien TB pengguna kontrasepsi


Rifampisin berinteraksi dengan kontrasepsi hormonal (pil KB, suntikan
KB, susuk KB), sehingga dapat menurunkan efektifitas kontrasepsi tersebut.
Seorang pasien TB sebaiknya mengggunakan kontrasepsi non-hormonal, atau
kontrasepsi yang mengandung estrogen dosis tinggi (50 mcg).

4. Pasien TB dengan infeksi HIV/AIDS


Tatalaksanan pengobatan TB pada pasien dengan infeksi HIV/AIDS
adalah sama seperti pasien TB lainnya. Obat TB pada pasien HIV/AIDS sama
efektifnya dengan pasien TB yang tidak disertai HIV/AIDS.
Prinsip pengobatan pasien TB-HIV adalah dengan mendahulukan
pengobatan TB.
Pengobatan ARV(antiretroviral) dimulai berdasarkan stadium klinis HIV
sesuai dengan standar WHO. Penggunaan suntikan Streptomisin harus
memperhatikan Prinsip prinsip Universal Precaution ( Kewaspadaan
Keamanan Universal ) Pengobatan pasien TB-HIV sebaiknya diberikan secara
terintegrasi dalam satu UPK untuk menjaga kepatuhan pengobatan secara
teratur.
Pasien TB yang berisiko tinggi terhadap infeksi HIV perlu dirujuk ke
pelayanan VCT (Voluntary Counceling and Testing = Knsul sukarela dengan
test HIV)

5. Pasien TB dengan hepatitis akut


Pemberian OAT pada pasien TB dengan hepatitis akut dan atau klinis
ikterik, ditunda sampai hepatitis akutnya mengalami penyembuhan. Pada
keadaan dimana pengobatan Tb sangat diperlukan dapat diberikan streptomisin

28
(S) dan Etambutol (E) maksimal 3 bulan sampai hepatitisnya menyembuh dan
dilanjutkan dengan Rifampisin (R) dan Isoniasid (H) selama 6 bulan.

6. Pasien TB dengan kelainan hati kronik


Bila ada kecurigaan gangguan faal hati, dianjurkan pemeriksaan faal hati
sebelum pengobatan Tb. Kalau SGOT dan SGPT meningkat lebih dari 3 kali
OAT tidak diberikan dan bila telah dalam pengobatan, harus dihentikan. Kalau
peningkatannya kurang dari 3 kali, pengobatan dapat dilaksanakan atau
diteruskan dengan pengawasan ketat. Pasien dengan kelainan hati, Pirasinamid
(Z) tidak boleh digunakan. Paduan OAT yang dapat dianjurkan adalah
2RHES/6RH atau 2HES/10HE

7. Pasien TB dengan gagal ginjal


Isoniasid (H), Rifampisin (R) dan Pirasinamid (Z) dapat di ekskresi
melalui empedu dan dapat dicerna menjadi senyawa-senyawa yang tidak toksik.
OAT jenis ini dapat diberikan dengan dosis standar pada pasien-pasien dengan
gangguan ginjal. Streptomisin dan Etambutol diekskresi melalui ginjal, oleh
karena itu hindari penggunaannya pada pasien dengan gangguan ginjal. Apabila
fasilitas pemantauan faal ginjal tersedia, Etambutol dan Streptomisin tetap dapat
diberikan dengan dosis yang sesuai faal ginjal.

8. Pasien TB dengan Diabetes Melitus


Diabetes harus dikontrol. Penggunaan Rifampisin dapat mengurangi
efektifitas obat oral anti diabetes (sulfonil urea) sehingga dosis obat anti diabetes
perlu ditingkatkan. Insulin dapat digunakan untuk mengontrol gula darah, setelah
selesai pengobatan TB, dilanjutkan dengan anti diabetes oral. Pada pasien
Diabetes Mellitus sering terjadi komplikasi retinopathy diabetika, oleh karena itu
hati-hati dengan pemberian etambutol, karena dapat memperberat kelainan
tersebut.

9. Pasien TB yang perlu mendapat tambahan kortikosteroid


Kortikosteroid hanya digunakan pada keadaan khusus yang
membahayakan jiwa pasien seperti:
a. Meningitis TB
b. TB milier dengan atau tanpa meningitis
c. TB dengan Pleuritis eksudativa
d. TB dengan Perikarditis konstriktiva.
Selama fase akut prednison diberikan dengan dosis 30-40 mg per hari,
kemudian diturunkan secara bertahap. Lama pemberian disesuaikan dengan
jenis penyakit dan kemajuan pengobatan.

10. Indikasi operasi


Pasien-pasien yang perlu mendapat tindakan operasi (reseksi paru),
adalah:
Untuk TB paru:
Pasien batuk darah berat yang tidak dapat diatasi dengan cara konservatif.

29
Pasien dengan fistula bronkopleura dan empiema yang tidak dapat diatasi
secara konservatif.
Pasien MDR TB dengan kelainan paru yang terlokalisir.

Untuk TB ekstra paru:


Pasien TB ekstra paru dengan komplikasi, misalnya pasien TB tulang yang
disertai kelainan neurologik.

I. Efek Samping OAT Dan Penatalaksanaannya

Efek samping ringan OAT

Efek samping berat OAT

Penatalaksanaan pasien dengan efek samping gatal dan kemerahan kulit:


Jika seorang pasien dalam pengobatan OAT mulai mengeluh gatal-gatal singkirkan
dulu kemungkinan penyebab lain. Berikan dulu anti-histamin, sambil meneruskan
OAT dengan pengawasan ketat. Gatal-gatal tersebut pada sebagian pasien hilang,
namun pada sebagian pasien malahan terjadi suatu kemerahan kulit. Bila keadaan
seperti ini, hentikan semua OAT. Tunggu sampai kemerahan kulit tersebut hilang.
Jika gejala efek samping ini bertambah berat, pasien perlu dirujuk atau dikonsulkan
ke Spesialis Kulit Kelamin

30
Pada UPK Rujukan penanganan kasus-kasus efek samping obat dapat dilakukan
dengan cara sebagai berikut:
Bila jenis obat penyebab efek samping itu belum diketahui, maka pemberian
kembali OAT harus dengan cara drug challenging dengan menggunakan obat
lepas. Hal ini dimaksudkan untuk menentukan obat mana yang merupakan
penyebab dari efek samping tersebut.

Efek samping hepatotoksisitas bisa terjadi karena reaksi hipersensitivitas atau


karena kelebihan dosis. Untuk membedakannya, semua OAT dihentikan dulu
kemudian diberi kembali sesuai dengan prinsip dechallenge-rechalenge. Bila
dalam proses rechallenge yang dimulai dengandosuis rendah sudah timbul
reaksi, berarti hepatotoksisitas karena reakasi hipersensitivitas.

Bila jenis obat penyebab dari reaksi efek samping itu telah diketahui, misalnya
pirasinamid atau etambutol atau streptomisin, maka pengobatan TB dapat
diberikan lagi dengan tanpa obat tersebut. Bila mungkin, ganti obat tersebut
dengan obat lain. Lamanya pengobatan mungkin perlu diperpanjang, tapi hal ini
akan menurunkan risiko terjadinya kambuh

J. Manajemen Laboratorium Tuberkulosis


Laboratorium tuberkulosis yang merupakan bagian dari pelayanan
laboratorium kesehatan mempunyai peran penting dalam Program Pengendalian
Tuberkulosis berkaitan dengan kegiatan deteksi pasien TB Paru, pemantauan
keberhasilan pengobatan serta menetapkan hasil akhir pengobatan.
Diagnosis TB melalui pemeriksaan kultur atau biakan dahak merupakan
metode baku emas. Namun, pemeriksaan kultur memerlukan waktu lebih lama
(paling cepat sekitar 6 minggu) dan mahal. Pemeriksaan 3 spesimen (SPS) dahak
secara mikroskopis nilainya identik dengan pemeriksaan dahak secara kultur atau
biakan. Pemeriksaan dahak mikroskopis merupakan pemeriksaan yang paling
efisien, mudah, murah, bersifat spesifik, sensitif dan dapat dilaksanakan di semua
unit laboratorium.
Ruang lingkup Manajemen Laboratorium Tuberkulosis meliputi beberapa
aspek yaitu; Organisasi pelayanan laboratorium Tuberkulosis, Sumber daya
laboratorium, Kegiatan kegiatan laboratorium, Pemantapan mutu laboratorium
tuberkulosis, Keamanan dan kebersihan laboratorium, dan monitoring
(pemantauan) dan evaluasi
Sistem jejaring laboratorium dalam Program Pengendalian Tuberkulosis di
Indonesia memakai sistem pendekatan fungsi. Sistem jejaring laboratorium TB
adalah sebagai berikut:
1. Laboratorium mikroskopis TB UPK
a. UPK dengan kemampuan pelayanan laboratorium hanya pembuatan sediaan
apusan dahak dan fiksasi. Misalnya: Puskesmas Satelit (PS).
b. UPK dengan kemampuan pelayanan laboratorium mikroskopis deteksi Basil
Tahan Asam (BTA), dengan pewarnaan Ziehl Neelsen dan pembacaan skala
IUATLD.
Contoh: Puskesmas Rujukan Mikroskopis (PRM), Puskesmas Pelaksana
Mandiri (PPM), Rumah Sakit, BP4, RSP dll.

31
c. Mutu pemeriksaan laboratorium ini akan ditera oleh laboratorium rujukan uji
silang, dapat dilaksanakan oleh laboratoium kesehatan daerah, laboratorium
di salah satu Rumah Sakit, BP4 ataupun Rumah Sakit Paru (RSP), dll.
2. Laboratorium rujukan uji silang mikroskopis
a. Laboratorium ini melaksanakan pemeriksaan mikroskopis BTA seperti pada
laboratorium UPK ditambah dengan melakukan uji silang mikroskopis dari
laboratorium UPK binaan dalam sistem jejaring.
b. Laboratorium rujukan uji silang mempunyai sarana, pelaksana dan
kemampuan yang memenuhi kriteria laboratorium rujukan uji silang
mikroskopis.
3. Laboratorium rujukan Provinsi
a. Laboratorium ini melakukan pemeriksaan seperti laboratorium uji silang
mikroskopis dan memberikan pelayanan pemeriksaan isolasi, identifikasi, uji
kepekaan M. tb dari spesimen dahak.
b. Laboratorium rujukan propinsi melakukan uji silang hasil pemeriksaan
mikroskopis Lab rujukan uji silang
c. Laboratorium rujukan propinsi melakukan uji silang ke II jika terdapat
kesenjangan antara hasil pemeriksaan mikroskopis Lab UPK dan
laboratorium rujukan uji silang
4. Laboratorium rujukan Regional.
a. Laboratorium rujukan tingkat regional adalah laboratorium yang melakukan
pemeriksaan kultur, identifikasi dan DST M.tb dan MOTT dari dahak dan
bahan lain dan menjadi laboratorium rujukan untuk kultur dan DST M.tb bagi
laboratorium rujukan tingkat provinsi.
b. Laboratorium rujukan regional secara rutin mengirim tes uji profisiensi kepada
laboratorium rujukan provinsi.
5. Laboratorium rujukan Nasional.
Laboratorium rujukan nasional melakukan pemeriksaan dan penelitian
biomolekuler dan mampu melakukan pemeriksaan non konvensional lainnya,
serta melakukan uji silang ke dua untuk pemeriksaan biakan.

K. Keamanan Dan Keselamatan Kerja Di Laboratorium Tuberkulosis


Manajemen laboratorium harus menjamin adanya sistem dan perangkat keamanan
dan keselamatan kerja serta pelaksanaannya oleh setiap petugas di laboratorium
dengan pemantauan dan evaluasi secara berkala, yang diikuti dengan tindakan
koreksi yang memadai.

32
BAB V
PROGRAM KERJA RSPG SESUAI STRATEGI NASIONAL TB DAN
RENCANA STRATEGIS RSPG

A. Strategi-strategi yang akan dilaksanakan adalah sebagai berikut:


1. Meningkatkan perluasan pelayanan DOTS yang bermutu
Tujuan
Terlaksananya lima komponen dalam pelayanan DOTS secara bermutu bagi
seluruh pasien TB tanpa terkecuali, akses masyarakat miskin, rentan dan yang
belum terjangkau terhadap pelayanan DOTS terjamin serta upaya peningkatan
mutu dalam memberikan pelayanan DOTS yang berkesinambungan.

Program
1. Menjamin deteksi dini dan diagnosis melalui pemeriksaan bakteriologis yang
terjamin mutunya
2. Penyediaan farmasi dan alat kesehatan: Sistem logistik yang efektif dalam
menjamin suplai obat yang kontinyu
3. Memberikan pengobatan sesuai standar dengan pengawasan dan dukungan
yang memadai terhadap pasien

2. Menangani TB/HIV, MDR-TB, TB anak dan masyarakat miskin serta


rentan lainnya
Tujuan
Terdapat beberapa tujuan yang akan dicapai untuk menghadapi berbagai
tantangan di atas:
1. Peningkatan penemuan kasus dan penanganan pasien ko-infeksi TB/HIV
2. Menurunkan insidensi dan transmisi MDR-TB serta menangani kasus MDR-
TB melalui PMDT (programmatic management of drug resistant TB)
3. Peningkatan kemampuan diagnostik dan penatalaksanaan kasus TB anak
4. Uji coba dan implementasi model penanganan khusus untuk narapidana,
5. kelompok rentan dan daerah terpencil, perbatasan dan pulau-pulau kecil

Program
1. Memperluas Kegiatan Kolaborasi TB/HIV
2. Menghadapi Tantangan TB dengan Resistensi Obat (Drug Resistant
Tuberculosis/ DR-TB)
3. Memperkuat Program Pengendalian TB Anak
4. Menjembatani Kebutuhan Masyarakat Miskin dan Rentan

3. Melibatkan seluruh penyedia pelayanan kesehatan milik pemerintah,


masyarakat dan swasta melalui Publik Private Mix (PPM) mengikuti
International Standards of TB Care
Tujuan
Semua pasien TB mendapatkan akses layanan DOTS yang berkualitas dengan
penerapan ISTC oleh seluruh pemberi pelayanan kesehatan.

33
Program intervensi
Dua intervensi utama yang akan dilakukan untuk mencapai tujuan tersebut
adalah memperluas dan melakukan akselerasi keterlibatan rumah sakit
(Hospital DOTS Linkage) serta fasilitas pelayanan kesehatan lainnya dan
mempromosikan ISTC kepada tenaga kesehatan yang memberikan pelayanan
DOTS.
1. Memperluas dan Melakukan Akselerasi Keterlibatan RSPG dan UPK lain
(BBKPM/BKPM/Puskesmas (Hospital DOTS Linkage)
2. Mempromosikan the International Standards for Tuberculosis Care (ISTC)

4. Memberdayakan masyarakat dan pasien TB


Tujuan
Kebutuhan akan pelayanan TB di masyarakat meningkat, kapasitas penyedia
pelayanan dalam melakukan AKMS meningkat, sosialisasi piagam hak-hak dan
kewajiban pasien TB meningkat, serta pelayanan DOTS berbasis masyarakat
tersedia.

Program
1. Menciptakan Kebutuhan: Meningkatkan Jumlah Tersangka TB yang
Menjalani Proses Diagnosis dan Pasien TB yang Berobat dengan Dukungan
PMO
2. Memperkuat Kapasitas Pelayanan Kesehatan dalam Melaksanakan AKMS:
Meningkatkan Kapasitas Penyedia Pelayanan dan Petugas Lapangan dalam
Mempromosikan DOTS dan Pelayanan Menggunakan Pendekatan yang
Berfokus Pada Pasien
3. Mempromosikan Piagam Hak dan Kewajiban Pasien TB
4. Pengembangan DOTS Berbasis Masyarakat

5. Memperkuat sistem kesehatan, termasuk pengembangan SDM dan


manajemen program pengendalian TB
6. Meningkatkan komitmen pemerintah pusat dan daerah terhadap program TB
7. Meningkatkan penelitian, pengembangan dan pemanfaatan informasi
stratejik

B. Pemantauan Dan Evaluasi Program


Pemantauan dan evaluasi merupakan salah satu fungsi manajemen untuk
menilai keberhasilan pelaksanaan program. Pemantaun dilaksanakan secara
berkala dan terus menerus, untuk dapat segera mendeteksi bila ada masalah dalam
pelaksanaan kegiatan yang telah direncanakan, supaya dapat dilakukan tindakan
perbaikan segera. Evaluasi dilakukan setelah suatu jarak-waktu (interval) lebih
lama, biasanya setiap 6 bulan s/d 1 tahun. Dengan evaluasi dapat dinilai sejauh
mana tujuan dan target yang telah ditetapkan sebelumnya dicapai. Dalam
mengukur keberhasilan tersebut diperlukan indikator. Hasil evaluasi sangat berguna
untuk kepentingan perencanaan program.
Dalam hal ini RSPG melakukan kegiatan, dan seluruh kegiatan harus
dimonitor baik dari aspek masukan (input), proses, maupun keluaran (output). Cara

34
pemantauan dilakukan dengan menelaah laporan, pengamatan langsung dan
wawancara dengan petugas pelaksana maupun dengan masyarakat sasaran.dan
mengikuti sistem pencatatan dan pelaporan baku yang dilaksanakan dengan baik
dan benar sesuai program nasional TB

Formulir-formulir yang dipergunakan dalam pencatatan TB di:


Daftar tersangka pasien (suspek) yang diperiksa dahak SPS (TB.06).
Formulir permohonan laboratorium TB untuk pemeriksaan dahak (TB.05).
Kartu pengobatan pasien TB (TB.01).
Kartu identitas pasien TB (TB.02).
Register TB UPK (TB.03 UPK)
Formulir rujukan/pindah pasien (TB.09).
Formulir hasil akhir pengobatan dari pasien TB pindahan (TB.10).
Register Laboratorium TB (TB.04).

C. Indikator Program TB
Untuk menilai kemajuan atau keberhasilan penanggulangan TB digunakan
beberapa indikator. Indikator penanggulangan TB secara Nasional ada 2 yaitu:
Angka Penemuan Pasien baru TB BTA positif (Case Detection Rate = CDR)
Angka Keberhasilan Pengobatan (Success Rate = SR).

Disamping itu ada beberapa indikator proses untuk mencapai indikator Nasional
tersebut di atas, yaitu:
Angka Penjaringan Suspek
Proporsi Pasien TB Paru BTA positif diantara Suspek yang diperiksa dahaknya
Proporsi Pasien TB Paru BTA positif diantara seluruh pasien TB paru
Proporsi pasien TB anak diantara seluruh pasien
Angka Notifikasi Kasus (CNR)
Angka Konversi
Angka Kesembuhan
Angka Kesalahan Laboratorium

Untuk mempermudah analisis data diperlukan indikator sebagai alat ukur kemajuan
(marker of progress). Indikator yang baik harus memenuhi syarat-syarat tertentu
seperti:
Sahih (valid)
Sensitif dan Spesifik (sensitive and specific)
Dapat dipercaya (realiable)
Dapat diukur (measureable)
Dapat dicapai (achievable)

Indikator Yang Dapat Digunakan Di Berbagai Tingkatan

35
36
D. Indikator Program TB DOTS Di RSPG Yang Dapat Dihitung Dan Dianalisis
1. Proporsi Pasien TB BTA Positif diantara Suspek
Adalah prosentase pasien BTA positif yang ditemukan diantara seluruh suspek
yang diperiksa dahaknya. Angka ini menggambarkan mutu dari proses
penemuan sampai diagnosis pasien, serta kepekaan menetapkan kriteria
suspek.

Angka ini sekitar 5 - 15%. Bila angka ini terlalu kecil ( < 5 % ) kemungkinan
disebabkan :
Penjaringan suspek terlalu longgar. Banyak orang yang tidak memenuhi
kriteria suspek, atau
Ada masalah dalam pemeriksaan laboratorium ( negatif palsu ).

Bila angka ini terlalu besar ( > 15 % ) kemungkinan disebabkan :


Penjaringan terlalu ketat atau
Ada masalah dalam pemeriksaan laboratorium ( positif palsu).

2. Proporsi Pasien TB Paru BTA Positif diantara Semua Pasien TB Paru


Tercatat/diobati
Adalah prosentase pasien Tuberkulosis paru BTA positif diantara semua pasien
Tuberkulosis paru tercatat. Indikator ini menggambarkan prioritas penemuan
pasien Tuberkulosis yang menular diantara seluruh pasien Tuberkulosis paru
yang diobati.

Angka ini sebaiknya jangan kurang dari 65%. Bila angka ini jauh lebih rendah,
itu berarti mutu diagnosis rendah, dan kurang memberikan prioritas untuk
menemukan pasien yang menular (pasien BTA Positif).

3. Proporsi pasien TB Anak diantara seluruh pasien TB


Adalah prosentase pasien TB anak (<15 tahun) diantara seluruh pasien TB
tercatat.

37
Angka ini sebagai salah satu indikator untuk menggambarkan ketepatan dalam
mendiagnosis TB pada anak. Angka ini berkisar 15%. Bila angka ini terlalu besar
dari 15%, kemungkinan terjadi overdiagnosis.

4. Angka Penemuan Kasus (Case Detection Rate = CDR)


Adalah prosentase jumlah pasien baru BTA positif yang ditemukan dan diobati
dibanding jumlah pasien baru BTA positif yang diperkirakan ada dalam wilayah
tersebut.
Case Detection Rate menggambarkan cakupan penemuan pasien baru BTA
positif pada wilayah tersebut.

Perkiraan jumlah pasien baru TB BTA positif diperoleh berdasarkan perhitungan


angka insidens kasus TB paru BTA positif dikali dengan jumlah penduduk.
Target Case Detection Rate Program Penanggulangan Tuberkulosis Nasional
minimal 70%.
Dalam pelaporan CDR ini, RSPG bekerjasama dengan Dinas Kesehatan
Kabupaten Bogor untuk memperoleh data TB paru BTA positif di wilayah
Kabupaten Bogor.

5. Angka Notifikasi Kasus (Case Notification Rate = CNR)


Adalah angka yang menunjukkan jumlah pasien baru yang ditemukan dan
tercatat diantara 100.000 penduduk di suatu wilayah tertentu. Angka ini apabila
dikumpulkan serial, akan menggambarkan kecenderungan penemuan kasus dari
tahun ke tahun di wilayah tersebut.

Angka ini berguna untuk menunjukkan kecenderungan (trend) meningkat atau


menurunnya penemuan pasien pada wilayah tersebut.
Dalam pelaporan CDR ini, RSPG bekerjasama dengan Dinas Kesehatan
Kabupaten Bogor untuk memperoleh data TB paru BTA positif di wilayah
Kabupaten Bogor.

6. Angka Konversi (Conversion Rate)


Angka konversi adalah prosentase pasien baru TB paru BTA positif yang
mengalami perubahan menjadi BTA negatif setelah menjalani masa pengobatan
intensif. Indikator ini berguna untuk mengetahui secara cepat hasil pengobatan
dan untuk mengetahui apakah pengawasan langsung menelan obat dilakukan
dengan benar.
Contoh perhitungan angka konversi untuk pasien baru TB paru BTA positif :

38
Di RSPG, indikator ini dapat dihitung dari kartu pasien TB.01, yaitu dengan cara
mereview seluruh kartu pasien baru BTA Positif yang mulai berobat dalam 3-6
bulan sebelumnya, kemudian dihitung berapa diantaranya yang hasil
pemeriksaan dahak negatif, setelah pengobatan intensif (2 bulan).
Di tingkat kabupaten, propinsi dan pusat, angka ini dengan mudah dapat dihitung
dari laporan TB.11. Angka minimal yang harus dicapai adalah 80%.

7. Angka Kesembuhan (Cure Rate)


Angka kesembuhan adalah angka yang menunjukkan prosentase pasien baru
TB paru BTA positif yang sembuh setelah selesai masa pengobatan, diantara
pasien baru TB paru BTA positif yang tercatat. Angka kesembuhan dihitung juga
untuk pasien BTA positif pengobatan ulang dengan tujuan:
Untuk mengetahui seberapa besar kemungkinan kekebalan terhadap obat
terjadi di komunitas, hal ini harus dipastikan dengan surveilans kekebalan
obat.
Untuk mengambil keputusan program pada pengobatan menggunakan obat
baris kedua (second-line drugs).
Menunjukan prevalens HIV, karena biasanya kasus pengobatan ulang terjadi
pada pasien dengan HIV.

Cara menghitung angka kesembuhan untuk pasien baru BTA positif.

Di RSPG, indikator ini dapat dihitung dari kartu pasien TB.01, yaitu dengan cara
mereview seluruh kartu pasien baru BTA Positif yang mulai berobat dalam 9 - 12
bulan sebelumnya, kemudian dihitung berapa diantaranya yang sembuh setelah
selesai pengobatan.
Di tingkat kabupaten, propinsi dan pusat, angka ini dapat dihitung dari laporan
TB.08. Angka minimal yang harus dicapai adalah 85%. Angka kesembuhan
digunakan untuk mengetahui hasil pengobatan.
Walaupun angka kesembuhan telah mencapai 85%, hasil pengobatan lainnya
tetap perlu diperhatikan, yaitu berapa pasien dengan hasil pengobatan lengkap,
meninggal, gagal, default, dan pindah.
Angka default tidak boleh lebih dari 10%, karena akan menghasilkan proporsi
kasus retreatment yang tinggi dimasa yang akan datang yang disebabkan
karena ketidak-efektifan dari pengendalian Tuberkulosis.
Menurunnya angka default karena peningkatan kualitas penanggulangan TB
akan menurunkan proporsi kasus pengobatan ulang antara 10-20 % dalam
beberapa tahun.

39
Sedangkan angka gagal untuk pasien baru BTA positif tidak boleh lebih dari 4%
untuk daerah yang belum ada masalah resistensi obat, dan tidak boleh lebih
besar dari 10% untuk daerah yang sudah ada masalah resistensi obat.

8. Angka Keberhasilan Pengobatan


Angka kesembuhan adalah angka yang menunjukkan prosentase pasien baru
TB paru BTA positif yang menyelesaikan pengobatan (baik yang sembuh
maupun pengobatan lengkap) diantara pasien baru TB paru BTA positif yang
tercatat. Dengan demikian angka ini merupakan penjumlahan dari angka
kesembuhan dan angka pengobatan lengkap.
Cara perhitungan untuk pasien baru BTA positif dengan pengobatan kategori 1.

40
LAMPIRAN

1. STANDAR INTERNATIONAL PENANGANAN TUBERKULOSIS


(International Standard of TB Care)
Standar Internasional Penanganan Tuberkulosis menjelaskan tingkat penanganan
yang diterima secara luas, dimana semua praktisi, pemerintah dan swasta harus
mengikutinya dalam menangani seorang suspek (tersangka) atau pasien TB.
Standar ini dimaksudkan untuk memfasilitas keterlibatan semua penyedia
pelayanan dalam memberikan pelayanan yang bermutu bagi semua pasien,
termasuk pasien TB dengan BTA positif, pasien TB dengan BTA negatif, TB ekstra
paru, pasien TB dengan MDR dan pasien TB dengan ko infeksi HIV.

Terdiri 17 standar, yang meliputi 6 standar untuk diagnosis, 9 standar untuk


pengobatan dan 2 standar untuk tanggung jawab kesehatan masyarakat.

STANDAR DIAGNOSIS
Standar 1
Setiap individu dengan batuk produktif selama 2-3 minggu atau lebih yang tidak
dapat dipastikan penyebabnya harus dievaluasi untuk TB

Standar 2
Semua pasien yang diduga menderita TB paru, (dewasa, remaja dan anak-anak
yang dapat mengeluarkan dahak) harus menjalani pemeriksaan sputum secara
mikroskopis sekurang-kurangnya 2 kali dan sebaiknya 3 kali. Bila memungkinkan
minimal 1 kali pemeriksaan berasal dari sputum pagi hari

Standar 3
Semua pasien yang diduga menderita TB ekstra paru, (dewasa, remaja dan anak)
harus menjalani pemeriksaan bahan yang didapat dari kelainan yang dicurigai.
Bila tersedia fasilitas dan sumber daya, juga harus dilakukan biakan dan
pemeriksaan histopatologi

Standar 4
Semua individu dengan foto toraks yang mencurigakan ke arah TB harus
menjalani pemeriksaan sputum secara mikrobiologi

Standar 5
Diagnosis TB paru, BTA negatif harus berdasarkan kriteria berikut : negatif paling
kurang pada 3 kali pemeriksaan (termasuk minimal 1 kali terhadap sputum pagi
hari), foto toraks menunjukkan kelainan TB, tidak ada respons terhadap antibiotik
spektrum luas (hindari pemakaian fluorokuinolon karena mempunyai efek
melawan M. tuberculosa sehingga memperlihatkan perbaikan sesaat ). Bila ada
fasiliti, pada kasus tersebut harus dilakukan pemeriksaan biakan. Pada pasien
dengan atau diduga HIV, evaluasi diagnostik harus disegerakan

Standar 6
Diagnosis TB intratoraks (paru, pleura, kelenjar getah bening hilus/mediastinal)
pada anak dengan BTA negatif berdasarkan foto toraks yang sesuai dengan TB

41
dan terdapat riwayat kontak atau uji tuberkulin/ interferon gamma release assay
positif. Pada pasien demikian, bila ada fasiliti harus dilakukan pemeriksaan biakan
dari bahan yang berasal dari batuk, bilasan lambung atau induksi sputum.

STANDAR PENGOBATAN

Standar 7
Setiap petugas yang mengobati pasien TB dianggap menjalankan fungsi
kesehatan masyarakat yang tidak saja memberikan paduan obat yang sesuai
tetapi juga dapat memantau kepatuhan berobat sekaligus menemukan kasus-
kasus yang tidak patuh terhadap rejimen pengobatan. Dengan melakukan hal
tersebut akan dapat menjamin kepatuhan hingga pengobatan selesai.

Standar 8
Semua pasien (termasuk pasien HIV) yang belum pernah diobati harus
diberikan paduan obat lini pertama yang disepakati secara internasional
menggunakan obat yang biovaibilitinya sudah diketahui. Fase awal terdiri dari
INH,Rifampisin, Pirazinamid dan etambutol diberikan selama 2 bulan. Fase
lanjutan yang dianjurkan adalah INH dan rifampisin yang selama 4 bulan.
Pemberian INH dan etambutol selama 6 bulan merupakan paduan alternatif
untuk fase lanjutan pada kasus yan keteraturannya tidak dapat dinilai tetapi
terdapat angka kegagalan dan kekambuhan yang tinggi dihubungkan dengan
pemberian alternatif tersebut diatas khususnya pada pasien HIV. Dosis obat
antituberkulosis ini harus mengikuti rekomendasi internasional. Fixed dose
combination yang terdiri dari 2 obat yaitu INH dan Rifampisin, yang terdiri dari 3
obat yaitu INH, Rifampisin, Pirazinamid dan yang terdiri dari 4 obat yaitu INH,
Rifampisin, Pirazinamid dan Etambutol sangat dianjurkan khususnya bila tidak
dilakukan pengawasan langsung saat menelan obat.

Standar 9
Untuk menjaga dan menilai kepatuhan terhadap pengobatan perlu
dikembangkan suatu pendekatan yang terpusat kepada pasien berdasarkan
kebutuhan pasien dan hubungan yang saling menghargai antara pasien dan
pemberi pelayanan. Supervisi dan dukungan harus memperhatikan kesensitifan
gender dan kelompok usia tertentu dan sesuai dengan intervensi yang
dianjurkan dan pelayanan dukungan yang tersedia termasuk edukasi dan
konseling pasien.
Elemen utama pada strategi yang terpusat kepada pasien adalah penggunaan
pengukuran untuk menilai dan meningkatkan kepatuhan berobat dan dapat
menemukan bila terjadi ketidak patuhan terhadap pengobatan. Pengukuran ini
dibuat khusus untuk keadaan masing masing individu dan dapat diterima baik
oleh pasien maupun pemberi pelayanan. Pengukuran tersebut salah satunya
termasuk pengawasan langsung minum obat oleh PMO yang dapat diterima
oleh pasien dan sistem kesehatan serta bertanggungjawab kepada pasien dan
system kesehatan

Standar 10

42
Respons terapi semua pasien harus dimonitor. Pada pasien TB paru penilaian
terbaik adalah dengan pemeriksaan sputum ulang (2 kali ) paling kurang pada
saat menyelesaikan fase awal (2 bulan), bulan ke lima dan pada akhir
pengobatan. Pasien dengan BTA positif pada bulan ke lima pengobatan dianggap
sebagai gagal terapi dan diberikan obat dengan modifikasi yang tepat (sesuai
standar 14 dan 15). Penilaian respons terapi pada pasien TB paru ekstra paru dan
anak-anak, paling baik dinilai secara klinis. Pemeriksaan foto toraks untuk
evaluasi tidak diperlukan dan dapat menyesatkan (misleading)

Standar 11
Pencatatan tertulis mengenai semua pengobatan yang diberikan, respons
bakteriologik dan efek samping harus ada untuk semua pasien

Standar 12
Pada daerah dengan angka prevalens HIV yang tinggi di populasi dengan
kemungkinan co infeksi TB-HIV, maka konseling dan testing HIV diindikasikan
untuk seluruh TB pasien sebagai bagian dari penatalaksanaan rutin. Pada daerah
dengan prevalens HIV yang rendah, konseling dan testing HIV hanya diindikasi
pada pasien TB dengan keluhan dan tanda tanda yang diduga berhubungan
dengan HIV dan pada pasien TB dengan riwayat berisiko tinggi terpajan HIV.

Standar 13
Semua pasien TB-HIV harus dievaluasi untuk menentukan apakah mempunyai
indikasi untuk diberi terapi anti retroviral dalam masa pemberian
OAT.Perencanaan yang sesuai untuk memperoleh obat antiretroviral harus
dibuat bagi pasien yang memenuhi indikasi.
Mengingat terdapat kompleksiti pada pemberian secara bersamaan antara obat
antituberkulosis dan obat antiretroviral maka dianjurkan untuk berkonsultasi
kepada pakar di bidang tersebut sebelum pengobatan dimulai, tanpa perlu
mempertimbangkan penyakit apa yang muncul lebih dahulu. Meskipun
demikian pemberian OAT jangan sampai ditunda. Semua pasien TB-HIV harus
mendapat kotrimoksasol sebagai profilaksis untuk infeksi lainnya.

Standar 14
Penilaian terhadap kemungkinan resistensi obat harus dilakukan pada semua
pasien yang berisiko tinggi berdasarkan riwayat pengobatan sebelumnya, pajanan
dengan sumber yang mungkin sudah resisten dan prevalens resistensi obat pada
masyarakat. Pada pasien dengan kemungkinan MDR harus dilakukan
pemeriksaan kultur dan uji sensitifitas terhadap INH, Rifampisin dan Etambutol.

Standar 15
Pasien TB dengan MDR harus diterapi dengan paduan khusus yang terdiri atas
obat-obat lini kedua. Paling kurang diberikan 4 macam obat yang diketahui atau
dianggap sensitif dan diberikan selama paling kurang 18 bulan. Untuk memastikan
kepatuhan diperlukan pengukuran yang berorientasi kepada pasien. Konsultasi
dengan pakar di bidang MDR harus dilakukan.

43
STANDAR TANGGUNG JAWAB KESEHATAN MASYARAKAT

Standar 16
Semua petugas yang melayani pasien TB harus memastikan bahwa individu yang
punya kontak dengan pasien TB harus dievaluasi (terutama anak usia dibawah 5
tahun dan penyandang HIV), dan dilakukan penanganan sesuai dengan
rekomendasi internasional. Anak usia dibawah 5 tahun dan penyandang HIV yang
punya kontak dengan kasus infeksius (penderita TB BTA positif) harus dievaluasi
baik untuk pemeriksaan TB yang laten maupun yang aktif

Standar 17
Semua petugas harus melaporkan semuan penemuan kasus TB (kasus baru
maupun kasus pengobatan ulang) dan juga untuk hasil pengobatannya kepada
dinas kesehatan setempat sesuai dengan ketentuan hukum dan kebijakan yang
berlaku

2. FORMULIR PELAYANAN TB DOTS

44
45
46
47
48
Keterangan :
Nomor Identitas Sediaan terdiri dari 3 kelompok angka dan
1 huruf, sebagai berikut :

49
- Kelompok angka pertama terdiri dari 2 angka, misalnya
02, yang merupakan nomor urut kab/ kota.
- Kelompok angka kedua juga terdiri dari 2 angka,
misalnya 15, yang merupakan nomor urut UPK.
- Kelompok angka ketiga terdiri dari 3 angka, misalnya
237, yang merupakan nomor urut sediaan yang dimulai
dengan nomor 001 setiap awal tahun.
- A= dahak sewaktu pertama, B = dahak pagi dan C =
dahak sewaktu kedua.
- Contoh nomor identitas sediaan : 02/15/237 A,
02/15/237 B dan 02/15/237 C.

50
51
52
53
54
55
56
57
58

Anda mungkin juga menyukai