2013
DAFTAR ISI
Halaman
DAFTAR ISI ............................................................................................................... i
LEMBAR PENGESAHAN ........................................................................................... ii
BAB I : PENDAHULUAN........................................................................................ 1
A. Latar Belakang ...................................................................................... 1
B. Tujuan Dan Target Pelayanan TB DOTS RSPG.................................... 1
C. Kebijakan Dan Ruang Lingkup Pelayanan TB DOTS RSPG ................ 1
D. Pengertian ............................................................................................ 3
E. Dasar Hukum ........................................................................................ 7
BAB II : ORGANISASI TIM PELAYANAN TB DOTS RSPG ................................... 8
BAB III : STANDAR FASILITAS ............................................................................... 9
A. Standar Fasilitas Pelayanan ................................................................. 9
B. Penularan Pasien TB ............................................................................ 14
C. Informed Concent Untuk Keluarga ........................................................ 14
BAB IV : TATALAKSANA PASIEN TUERKULOSIS................................................... 15
A. Penemuan Pasien TB ........................................................................... 15
B. Diagnosisi TB ........................................................................................ 16
C. Klasifikasi Penyakit TB dan Tipe Pasien ............................................... 18
D. Pengobatan TB ..................................................................................... 20
E. Tatalaksana TB Anak ............................................................................ 23
F. Pengawasan Menelan Obat .................................................................. 26
G. Pemantauan dan Hasil Pengobatab TB ................................................ 27
H. Pengobatan TB Pada Keadaan Khusus ............................................... 28
I. Efek Samping OAT dan Penatalaksanaannya ...................................... 30
J. Manajemen Laboratorium Tuberkulosis ................................................. 31
K. Keamanan dan Keselamatan Kerja Di Laboratprium TB ...................... 32
BAB V : PROGRAM KERJA ................................................................................... 33
A. Strategi ................................................................................................. 33
B. Pemantauan dan Evaluasi Program ..................................................... 34
C. Indikator Program TB ............................................................................ 35
D. Indikator Program TB RSPG ................................................................. 37
LAMPIRAN ................................................................................................................. 41
1
LEMBAR PENGESAHAN
2
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Indonesia sekarang berada pada ranking kelima negara dengan beban TB
tertinggi di dunia. Estimasi prevalensi TB semua kasus adalah sebesar 660,000
(WHO, 2010) dan estimasi insidensi berjumlah 430,000 kasus baru per tahun.
Jumlah kematian aakibat TB diperkirakan 61,000 kematian per tahunnya.
Indonesia merupakan negara dengan percepatan peningkatan epidemi HIV yang
tertinggi di antara negara-negara di Asia. HIV dinyatakan sebagai epidemic
terkonsentrasi (a concentrated epidemic), dengan perkecualian di provinsi Papua
yang prevalensi HIVnya sudah mencapai 2,5% (generalized epidemic). Secara
nasional, angka estimasi prevalensi HIV pada populasi dewasa adalah 0,2%.
Sejumlah 12 provinsi telah dinyatakan sebagai daerah prioritas untuk intervensi HIV
dan estimasi jumlah orang dengan HIV/AIDS di Indonesia sekitar 190.000-400.000.
Estimasi nasional prevalensi HIV pada pasien TB baru adalah 2.8%.
1
2. RSPG merupakan Rumah Sakit Paru Rujukan Nasional (Kelas A) yang
melaksanakan program penanggulangan TB dengan strategi DOTS yang
mencakup :
a. Penemuan Kasus
b. Pengobatan
c. Pengawasan Minum Obat
d. Monitoring dan Evaluasi
e. Mekanisme sistem rujukan
3. Penanggulangan TB dengan strategi DOTS melalui pelatihan dan
pengembangan staf di RSPG.
4. Ruangan pasien dengan TB BTA positif dipisahkan dengan pasien TB BTA
negatif.
5. Sarana pelayanan TB DOTS di RSPG (Poliklinik, Rawat Inap, dan Laboratorium)
sesuai dengan standar pelayanan yang berlaku.
6. dalam hal pelayanan TB dengan kasus MDR, RSPG merupakan satelit
pelayanan TB MDR Rumah Sakit Persahabatan Jakarta.
7. Dalam pelayanan TB DOTS, RSPG menerapkan kebijakan sebagai berikut:
a. Acuan pokok bagi setiap staf medis dalam melaksanakan tugas.
b. Jejaring internal dan eksternal dalam pelayanan pasien.
c. Pelayanan pasien TB bagi orang miskin.
d. Ketersediaan Obat Anti Tuberkulosis (OAT) bila terjadi kekosongan.
e. Pelayanan pasien TB rawat jalan.
f. Pelayanan pasien TB rawat inap.
g. Pelayanan pasien TB di IGD
h. Pengelolaan pasien dengan MDR dan HIV.
i. Pasien mangkir.
j. Rujukan pasien ke UPK lain.
k. Cross check spesimen.
l. Pengelolaan instalasi farmasi untuk OAT.
m. OAT masuk formularium Rumah Sakit.
n. Staf medik membantu pimpinan Rumah Sakit dalam perencanaan,
penggunaan dan pemeliharaan persediaan fasilitas dan pearalatan pelayanan
medis.
o. Mekanisme pengawasan serta monitoring evaluasi tentang penerapan
standar pelayanan TB.
p. Mekanisme penentuan standar pelayanan minimal serta indikator
keberhasilan pelayanan TB Rumah Sakit.
q. Pemenuhan standar pencegahan dan pengendalian infeksi TB di RSPG
(standar manajerial administratif, lingkungan dan alat pelindung diri).
r. RSPG sebagai lahan pendidikan, pelatihan, dan penelitian terkait TB.
D. Pengertian
1. Penularan TB
Tuberkulosis adalah penyakit menular langsung yang disebabkan oleh kuman TB
(Mycobacterium tuberculosis). Sebagian besar kuman TB menyerang paru,
tetapi dapat juga mengenai organ tubuh lainnya.
2
2. Cara penularan
Sumber penularan adalah pasien TB BTA positif.
Pada waktu batuk atau bersin, pasien menyebarkan kuman ke udara dalam
bentuk percikan dahak (droplet nuclei). Sekali batuk dapat menghasilkan
sekitar 3000 percikan dahak.
Umumnya penularan terjadi dalam ruangan dimana percikan dahak berada
dalam waktu yang lama. Ventilasi dapat mengurangi jumlah percikan,
sementara sinar matahari langsung dapat membunuh kuman. Percikan dapat
bertahan selama beberapa jam dalam keadaan yang gelap dan lembab.
Daya penularan seorang pasien ditentukan oleh banyaknya kuman yang
dikeluarkan dari parunya. Makin tinggi derajat kepositifan hasil pemeriksaan
dahak, makin menular pasien tersebut.
Faktor yang memungkinkan seseorang terpajan kuman TB ditentukan oleh
konsentrasi percikan dalam udara dan lamanya menghirup udara tersebut.
3. Risiko penularan
Risiko tertular tergantung dari tingkat pajanan dengan percikan dahak. Pasien
TB paru
dengan BTA positif memberikan kemungkinan risiko penularan lebih besar
dari pasien
TB paru dengan BTA negatif.
Risiko penularan setiap tahunnya di tunjukkan dengan Annual Risk of
Tuberculosis Infection (ARTI) yaitu proporsi penduduk yang berisiko terinfeksi
TB selama satu tahun. ARTI sebesar 1%, berarti 10 (sepuluh) orang diantara
1000 penduduk terinfeksi setiap tahun. ARTI di Indonesia bervariasi antara 1-
3%.
Infeksi TB dibuktikan dengan perubahan reaksi tuberkulin negatif menjadi
positif.
4. Risiko menjadi sakit TB
Hanya sekitar 10% yang terinfeksi TB akan menjadi sakit TB.
Dengan ARTI 1%, diperkirakan diantara 100.000 penduduk rata-rata terjadi
1000 terinfeksi TB dan 10% diantaranya (100 orang) akan menjadi sakit TB
setiap tahun. Sekitar 50 diantaranya adalah pasien TB BTA positif.
Faktor yang mempengaruhi kemungkinan seseorang menjadi pasien TB
adalah daya
3
tahan tubuh yang rendah, diantaranya infeksi HIV/AIDS dan malnutrisi (gizi
buruk).
HIV merupakan faktor risiko yang paling kuat bagi yang terinfeksi TB menjadi
sakit
TB. Infeksi HIV mengakibatkan kerusakan luas sistem daya tahan tubuh
seluler (Cellular immunity), sehingga jika terjadi infeksi oportunistik, seperti
tuberkulosis, maka yang bersangkutan akan menjadi sakit parah bahkan bisa
mengakibatkan kematian. Bila jumlah orang terinfeksi HIV meningkat, maka
jumlah pasien TB akan meningkat, dengan demikian penularan TB di
masyarakat akan meningkat pula.
4
Faktor risiko kejadian TB, secara ringkas digambarkan pada gambar berikut:
5. Upaya Penanggulangan TB
Pada awal tahun 1990-an WHO dan IUATLD telah mengembangkan
strategi penanggulangan TB yang dikenal sebagai strategi DOTS (Directly
observed Treatment Short-course) dan telah terbukti sebagai strategi
penanggulangan yang secara ekonomis paling efektif (cost-efective).
Strategi ini dikembangkan dari berbagi studi, clinical trials, best practices,
dan hasil implementasi program penanggulangan TB selama lebih dari dua
dekade. Penerapan strategi DOTS secara baik, disamping secara cepat
merubah kasus menular menjadi tidak menular, juga mencegah berkembangnya
MDR-TB.
Fokus utama DOTS adalah penemuan dan penyembuhan pasien,
prioritas diberikan kepada pasien TB tipe menular. Strategi ini akan memutuskan
5
penularan TB dan dengan demikian menurunkan insidens TB di masyarakat.
Menemukan dan menyembuhkan pasien merupakan cara terbaik dalam upaya
pencegahan penularan TB. Pada tahun 1995, WHO telah merekomendasikan
strategi DOTS sebagai strategi dalam penanggulangan TB. Bank Dunia
menyatakan strategi DOTS sebagai salah satu intervensi kesehatan yang paling
efektif. Integrasi strategi DOTS ke dalam pelayanan kesehatan dasar sangat
dianjurkan demi efisiensi dan efektifitasnya. Satu studi cost benefit yang
dilakukan oleh WHO di Indonesia menggambarkan bahwa dengan
menggunakan strategi DOTS, setiap dolar yang digunakan untuk membiayai
program penanggulangan TB, akan menghemat sebesar US$ 55 selama 20
tahun.
Strategi DOTS terdiri dari 5 komponen kunci:
1. Komitmen politis
2. Pemeriksaan dahak mikroskopis yang terjamin mutunya.
3. Pengobatan jangka pendek yang standar bagi semua kasus TB dengan
tatalaksana kasus yang tepat, termasuk pengawasan langsung pengobatan.
4. Jaminan ketersediaan OAT yang bermutu.
5. Sistem pencatatan dan pelaporan yang mampu memberikan penilaian
terhadap hasil pengobatan pasien dan kinerja program secara keseluruhan.
6
dinas kesehatan serta kesinambungan antar pelatihan juga menjadi tantangan
dalam pengembangan sumber daya manusia di era desentralisasi. Konsekuensi
dari kebutuhan pelatihan yang tinggi adalah kebutuhan ketersediaan fasilitator
tambahan dengan jumlah, keterampilan dan keahlian spesifik yang memadai.
Rejimen pengobatan TB di program pengendalian TB nasional telah
menggunakan paket Fixed Dose Combination (FDC), meskipun demikian, bentuk
paket CombiPak masih tetap disediakan bagi pasien dengan efek samping obat.
Ketersediaan semua jenis obat TB lini pertama merupakan bagian dari lima
strategi utama DOTS, dan seharusnya dijamin oleh pemerintah dalam jumlah
yang memadai untuk memenuhi kebutuhan di Indonesia dengan persediaan
untuk buffer stock.
E. Dasar Hukum
1. Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4700);Undang-Undang Nomor 4
Tahun 1984 tentang Wabah Penyakit Menular (Lembaran Negara Tahun 1984
Nomor 20, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3273);
2. Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1992 tentang Kesehatan (Lembaran Negara
Tahun 1992 Nomor 100, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3495);
3. Peraturan Pemerintah Nomor 40 Tahun 1981 tentang Penanggulangan Wabah
Penyakit Menular (Lembaran Negara Tahun 1991 Nomor 49, Tambahan
Lembaran Negara Nomor 3447);
4. Keputusan Menteri Kesehatan Nomor 203/Menkes/ SK/III/1999 tentang Gerakan
Terpadu Nasional Penanggulangan Tuberkulosis;
5. Keputusan Menteri Kesehatan Nomor 364/Menkes/ SK/V/2009 tentang Pedoman
Penanggulangan Tuberkulosis (TB);
6. Keputusan Menteri Kesehatan Nomor 374/Menkes/ SK/V/2009 tentang Sistem
Kesehatan Nasional;
7. Kepmenkes RI No. 021/Menkes/SK/I/2011 tentang RenStra Kemenkes tahun
2010-2014
8. Permenkes RI No. 565/Menkes/ PER/III/2011 tentang Strategi Nasional
Pengendalian Tuberkulosis tahun 2011-2014;
9. Pedoman Manajerial Pelayanan Tuberkulosis dengan Strategi DOTS di Rumah
Sakit, Kemenkes RI, 2010
7
BAB II
ORGANISASI TIM PELAYANAN TB DOTS RSPG
Sub T
Pe
Pe
Tenaga
8
BAB III
STANDAR FASILITAS
PELAYANAN TB DOTS RSPG
9
membina kerjasama baik dengan sentra diagnostik TB untuk
investigasi/
merujuk pasien dengan gejala TB. Selain itu, fasilitas perlu
pengobatan
mempunyai kerjasama dengan sentra pengobatan TB untuk
TB
menerima rujukan pengobatan bagi pasien terdiagnosa TB.
10
terpaksa dirawat di selasar Rumah Sakit, maka berlaku ketentuan yang
sama untuk ruang kewaspadaan airborne atau ruang perawatan umum
4) Desain ruangan harus memperhitungkan adanya fluktuasi dalam
besarnya ventilation rate.
5) Bila ventilasi alamiah saja tidak dapat menjamin angka ventilasi yang
direkomendasikan, maka dianjurkan menggunakan ventilasi campuran,
atau ventilasi mekanik saja.
c. Rancangan ventilasi alamiah di Rumah Sakit, perlu memperhatikan, bahwa
aliran udara harus mengalirkan udara dari sumber infeksi ke area di mana
terjadi dilusi udara yang cukup dan lebih diutamakan ke udara luar.
d. Di ruangan di mana dilakukan prosedur yang menghasilkan aerosol berisi
pathogen menular, maka ventilasi alamiah harus paling sedikit mengikuti
rekomendasi nomer b diatas. Bila agen infeksi adalah airborne, hendaknya
diikuti rekomendasi b dan c.
4. Pengendalian Dengan Perlindungan Diri
Alat Pelindung Diri Pernapasan melindungi petugas kesehatan di tempat,
di mana kadar percik renik tidak dapat dihilangkan dengan upaya administratif
dan lingkungan .
Petugas kesehatan perlu menggunakan respirator pada saat melakukan
prosedur yang berisiko tinggi, misalnya bronkoskopi, intubasi, induksi sputum,
aspirasi sekret saluran napas, dan pembedahan paru. Selain itu, respirator ini
juga perlu digunakan saat memberikan perawatan pasien atau tersangka
pasien MDR-TB dan XDR-TB.
Petugas kesehatan dan pengunjung perlu mengenakan respirator jika
berada bersama pasien TB di ruangan tertutup. Pasien atau tersangka TB tidak
perlu menggunakan respirator partikulat tetapi cukup menggunakan masker
bedah untuk melindungi lingkungan sekitar.
11
Adanya gagang kacamata
Ketiadaan satu atau dua gigi pada kedua sisi yang dapat mempengaruhi
perlekatan bagian wajah masker.
12
udara (airborne) dan Transmisi melalui Kontak apabila sedang memproses
spesimen. Petugas Lab yang menangani pemeriksaan BTA dan kultur BTA
berhak mendapatkan pemeriksaan kesehatan rutin setiap tahun.
13
larutan handrubs. Fasilitas pelayanan kesehatan harus menyediakan
sarana tersebut.
B. Penularan Pasien TB
1. Sumber penularan adalah pasien TB BTA positif sehingga diperlukan pemisahan
ruang khusus BTA (+) dengan BTA (-)
2. Pada waktu batuk atau bersin, pasien menyebarkan kuman ke udara dalam
bentuk percikan dahak (droplet nuclei). Sekali batuk dapat menghasilkan sekitar
3000 percikan dahak.
3. Umumnya penularan terjadi dalam ruangan dimana percikan dahak berada
dalam waktu yang lama. Ventilasi dapat mengurangi jumlah percikan, sementara
sinar matahari langsung dapat membunuh kuman.
4. Percikan dapat bertahan selama beberapa jam dalam keadaan yang gelap dan
lembab.
5. Daya penularan seorang pasien ditentukan oleh banyaknya kuman yang
dikeluarkan dari parunya. Makin tinggi derajat kepositifan hasil pemeriksaan
dahak, makin menular pasien tersebut.
6. Faktor yang memungkinkan seseorang terpajan kuman TB ditentukan oleh
konsentrasi percikan dalam udara dan lamanya menghirup udara tersebut.
14
BAB IV
TATALAKSANA PASIEN TUBERKULOSIS
A. Penemuan Pasien TB
Kegiatan penemuan pasien terdiri dari penjaringan suspek, diagnosis, penentuan
klasifikasi penyakit dan tipe pasien. Penemuan pasien merupakan langkah pertama
dalam kegiatan program penanggulangan TB. Penemuan dan penyembuhan pasien
TB menular, secara bermakna akan dapat menurunkan kesakitan dan kematian
akibat TB, penularan TB di masyarakat dan sekaligus merupakan kegiatan
pencegahan penularan TB yang paling efektif di masyarakat.
1. Strategi penemuan
Penemuan pasien TB dilakukan secara pasif dengan promosi aktif.
Penjaringan tersangka pasien dilakukan di unit pelayanan kesehatan;
didukung dengan penyuluhan secara aktif, baik oleh petugas kesehatan
maupun masyarakat, untuk meningkatkan cakupan penemuan tersangka
pasien TB.
Pemeriksaan terhadap kontak pasien TB, terutama mereka yang BTA positif,
yang menunjukkan gejala sama, harus diperiksa dahaknya.
Penemuan secara aktif dari rumah ke rumah, dianggap tidak cost efektif.
2. Gejala klinis pasien TB
Gejala utama pasien TB paru adalah batuk berdahak selama 2-3 minggu atau
lebih. Batuk dapat diikuti dengan gejala tambahan yaitu dahak bercampur darah,
batuk darah, sesak nafas, badan lemas, nafsu makan menurun, berat badan
menurun, malaise, berkeringat malam hari tanpa kegiatan fisik, demam meriang
lebih dari satu bulan. Gejala-gejala tersebut diatas dapat dijumpai pula pada
penyakit paru selain tb, seperti bronkiektasis, bronkitis kronis, asma, kanker
paru, dan lain-lain.
15
Pot dibawa dan diserahkan sendiri kepada petugas di UPK. S (sewaktu): dahak
dikumpulkan di UPK pada hari kedua, saat menyerahkan dahak pagi.
B. Diagnosis TB
1. Diagnosis TB paru
Semua suspek TB diperiksa 3 spesimen dahak dalam waktu 2 hari, yaitu
sewaktu - pagi - sewaktu (SPS).
Diagnosis TB Paru pada orang dewasa ditegakkan dengan ditemukannya
kuman TB (BTA). Pada program TB nasional, penemuan BTA melalui
pemeriksaan dahak mikroskopis merupakan diagnosis utama. Pemeriksaan
lain seperti foto toraks, biakan dan uji kepekaan dapat digunakan sebagai
penunjang diagnosis sepanjang sesuai dengan indikasinya.
Tidak dibenarkan mendiagnosis TB hanya berdasarkan pemeriksaan foto
toraks saja. Foto toraks tidak selalu memberikan gambaran yang khas pada
TB paru, sehingga sering terjadi overdiagnosis.
Gambaran kelainan radiologik Paru tidak selalu menunjukkan aktifitas
penyakit.
Untuk lebih jelasnya lihat alur prosedur diagnostik untuk suspek TB paru.
16
Alur Diagnosis TB Paru
17
C. Klasifikasi Penyakit Dan Tipe Pasien
Penentuan klasifikasi penyakit dan tipe pasien tuberkulosis memerlukan suatu
definisi kasus yang meliputi empat hal , yaitu:
Lokasi atau organ tubuh yang sakit: paru atau ekstra paru;
Bakteriologi (hasil pemeriksaan dahak secara mikroskopis) : BTA positif atau
BTA negatif;
Tingkat keparahan penyakit: ringan atau berat.
Riwayat pengobatan TB sebelumnya: baru atau sudah pernah diobati
Manfaat dan tujuan menentukan klasifikasi dan tipe adalah
menentukan paduan pengobatan yang sesuai
registrasi kasus secara benar
menentukan prioritas pengobatan TB BTA(+)
analisis kohort hasil pengobatan
18
Foto toraks abnormal menunjukkan gambaran tuberkulosis.
Tidak ada perbaikan setelah pemberian antibiotika non OAT.
Ditentukan (dipertimbangkan) oleh dokter untuk diberi pengobatan.
Tipe Pasien
Tipe pasien ditentukan berdasarkan riwayat pengobatan sebelumnya. Ada
beberapa tipe pasien yaitu:
Kasus baru
Adalah pasien yang belum pernah diobati dengan OAT atau sudah pernah
menelan OAT kurang dari satu bulan (4 minggu).
Kasus kambuh (Relaps)
Adalah pasien tuberkulosis yang sebelumnya pernah mendapat pengobatan
tuberculosis dan telah dinyatakan sembuh atau pengobatan lengkap,
didiagnosis kembali dengan BTA positif (apusan atau kultur).
Kasus setelah putus berobat (Default )
Adalah pasien yang telah berobat dan putus berobat 2 bulan atau lebih dengan
BTA positif.
Kasus setelah gagal (failure)
Adalah pasien yang hasil pemeriksaan dahaknya tetap positif atau kembali
menjadi positif pada bulan kelima atau lebih selama pengobatan.
Kasus Pindahan (Transfer In)
Adalah pasien yang dipindahkan dari UPK yang memiliki register TB lain untuk
melanjutkan pengobatannya.
Kasus lain :
Adalah semua kasus yang tidak memenuhi ketentuan diatas. Dalam kelompok
ini termasuk Kasus Kronik, yaitu pasien dengan hasil pemeriksaan masih BTA
positif setelah selesai pengobatan ulangan.
19
Catatan:
TB paru BTA negatif dan TB ekstra paru, dapat juga mengalami kambuh, gagal, default
maupun menjadi kasus kronik. Meskipun sangat jarang, harus dibuktikan secara
patologik, bakteriologik (biakan), radiologik, dan pertimbangan medis spesialistik,.
D. Pengobatan TB
1. Tujuan Pengobatan
Pengobatan TB bertujuan untuk menyembuhkan pasien, mencegah kematian,
mencegah kekambuhan, memutuskan rantai penularan dan mencegah
terjadinya resistensi kuman terhadap OAT.
3. Prinsip pengobatan
Pengobatan tuberkulosis dilakukan dengan prinsip - prinsip sebagai berikut:
OAT harus diberikan dalam bentuk kombinasi beberapa jenis obat, dalam
jumlah cukup dan dosis tepat sesuai dengan kategori pengobatan. Jangan
gunakan OAT tunggal (monoterapi) . Pemakaian OAT-Kombinasi Dosis
Tetap (OAT KDT) lebih menguntungkan dan sangat dianjurkan.
Untuk menjamin kepatuhan pasien menelan obat, dilakukan pengawasan
langsung (DOT = Directly Observed Treatment) oleh seorang Pengawas
Menelan Obat (PMO).
Pengobatan TB diberikan dalam 2 tahap, yaitu tahap intensif dan lanjutan.
a. Tahap awal (intensif)
Pada tahap intensif (awal) pasien mendapat obat setiap hari dan perlu
diawasi secara langsung untuk mencegah terjadinya resistensi obat.
Bila pengobatan tahap intensif tersebut diberikan secara tepat, biasanya
pasien menular menjadi tidak menular dalam kurun waktu 2 minggu.
Sebagian besar pasien TB BTA positif menjadi BTA negatif (konversi)
dalam 2 bulan.
20
b. Tahap Lanjutan
Pada tahap lanjutan pasien mendapat jenis obat lebih sedikit, namun
dalam jangka waktu yang lebih lama
Tahap lanjutan penting untuk membunuh kuman persister sehingga
mencegah terjadinya kekambuhan
21
b. Kategori -2 (2HRZES/ HRZE/ 5H3R3E3)
Paduan OAT ini diberikan untuk pasien BTA positif yang telah diobati
sebelumnya:
Pasien kambuh
Pasien gagal
Pasien dengan pengobatan setelah default (terputus)
Catatan:
Untuk pasien yang berumur 60 tahun ke atas dosis maksimal untuk streptomisin
adalah 500mg tanpa memperhatikan berat badan.
Untuk perempuan hamil lihat pengobatan TB dalam keadaan khusus.
Cara melarutkan streptomisin vial 1 gram yaitu dengan menambahkan aquabidest
sebanyak 3,7ml sehingga menjadi 4ml. (1ml = 250mg)
22
Golongan kuinolon tidak dianjurkan diberikan kepada pasien baru tanpa
indikasi yang jelas karena potensi obat tersebut jauh lebih rendah daripada
OAT lapis pertama. Di samping itu dapat juga meningkatkan terjadinya risiko
resistensi pada OAT lapis kedua.
E. Tatalaksana TB Anak
Diagnosis TB pada anak sulit sehingga sering terjadi misdiagnosis baik
overdiagnosis maupun underdiagnosis. Pada anak anak batuk bukan merupakan
gejala utama. Pengambilan dahak pada anak biasanya sulit, maka diagnosis TB
anak perlu kriteria lain dengan menggunakan sistem skor .
Unit Kerja Koordinasi Respirologi PP IDAI telah membuat Pedoman
Nasional Tuberkulosis Anak dengan menggunakan sistem skor (scoring system),
yaitu pembobotan terhadap gejala atau tanda klinis yang dijumpai. Pedoman
tersebut secara resmi digunakan oleh program nasional penanggulangan
tuberkulosis untuk diagnosis TB anak.
Setelah dokter melakukan anamnesis, pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan
penunjang, maka dilakukan pembobotan dengan sistem skor. Pasien dengan
jumlah skor yang lebih atau sama dengan 6 ( >6 ), harus ditatalaksana sebagai
pasien TB dan mendapat OAT (obat anti tuberkulosis). Bila skor kurang dari 6 tetapi
secara klinis kecurigaan kearah TB kuat maka perlu dilakukan pemeriksaan
diagnostik lainnya sesuai indikasi, seperti bilasan lambung, patologi anatomi, pungsi
lumbal, pungsi pleura, foto tulang dan sendi, funduskopi, CT-Scan, dan lain lainnya.
23
Prinsip dasar pengobatan TB adalah minimal 3 macam obat dan diberikan dalam
waktu 6 bulan. OAT pada anak diberikan setiap hari, baik pada tahap intensif maupun
tahap lanjutan dosis obat harus disesuaikan dengan berat badan anak.
24
Sistem skoring (scoring system) gejala dan pemeriksaan penunjang TB
Perlu perhatian khusus jika ditemukan salah satu keadaan di bawah ini:
1. Tanda bahaya:
kejang, kaku kuduk
penurunan kesadaran
kegawatan lain, misalnya sesak napas
2. Foto toraks menunjukkan gambaran milier, kavitas, efusi pleura
3. Gibbus, koksitis
25
Pemberian obat 6 bulan , lakukan evaluasi baik klinis maupun pemeriksaan
penunjang. Evaluasi klinis pada TB anak merupakan parameter terbaik untuk menilai
keberhasilan pengobatan. Bila dijumpai perbaikan klinis yang nyata walaupun
gambaran radiologik tidak menunjukkan perubahan yang berarti, OAT tetap dihentikan.
4. Informasi penting yang perlu dipahami PMO untuk disampaikan kepada pasien
dan keluarganya:
TB dapat disembuhkan dengan berobat teratur
26
TB bukan penyakit keturunan atau kutukan
Cara penularan TB, gejala-gejala yang mencurigakan dan cara
pencegahannya
Cara pemberian pengobatan pasien (tahap intensif dan lanjutan)
Pentingnya pengawasan supaya pasien berobat secara teratur
Kemungkinan terjadinya efek samping obat dan perlunya segera meminta
pertolongan ke UPK
Hasil Pengobatan
Sembuh
Pasien telah menyelesaikan pengobatannya secara lengkap dan pemeriksaan
ulang dahak (follow-up) hasilnya negatif pada AP dan pada satu pemeriksaan
follow-up sebelumnya
Pengobatan Lengkap
Adalah pasien yang telah menyelesaikan pengobatannya secara lengkap tetapi
tidak memenuhi persyaratan sembuh atau gagal.
Meninggal
Adalah pasien yang meninggal dalam masa pengobatan karena sebab apapun.
Pindah
Adalah pasien yang pindah berobat ke unit dengan register TB 03 yang lain dan
hasil pengobatannya tidak diketahui.
Gagal
Pasien yang hasil pemeriksaan dahaknya tetap positif atau kembali menjadi positif
pada bulan kelima atau lebih selama pengobatan.
27
H. Pengobatan TB Pada Keadaan Khusus.
1. Kehamilan
Pada prinsipnya pengobatan TB pada kehamilan tidak berbeda dengan
pengobatan TB pada umumnya. Menurut WHO, hampir semua OAT aman untuk
kehamilan, kecuali streptomisin. Streptomisin tidak dapat dipakai pada kehamilan
karena bersifat permanent ototoxic dan dapat menembus barier placenta.
Keadaan ini dapat mengakibatkan terjadinya gangguan pendengaran dan
keseimbangan yang menetap pada bayi yang akan dilahirkan. Perlu dijelaskan
kepada ibu hamil bahwa keberhasilan pengobatannya sangat penting artinya
supaya proses kelahiran dapat berjalan lancar dan bayi yang akan dilahirkan
terhindar dari kemungkinan tertular TB.
28
(S) dan Etambutol (E) maksimal 3 bulan sampai hepatitisnya menyembuh dan
dilanjutkan dengan Rifampisin (R) dan Isoniasid (H) selama 6 bulan.
29
Pasien dengan fistula bronkopleura dan empiema yang tidak dapat diatasi
secara konservatif.
Pasien MDR TB dengan kelainan paru yang terlokalisir.
30
Pada UPK Rujukan penanganan kasus-kasus efek samping obat dapat dilakukan
dengan cara sebagai berikut:
Bila jenis obat penyebab efek samping itu belum diketahui, maka pemberian
kembali OAT harus dengan cara drug challenging dengan menggunakan obat
lepas. Hal ini dimaksudkan untuk menentukan obat mana yang merupakan
penyebab dari efek samping tersebut.
Bila jenis obat penyebab dari reaksi efek samping itu telah diketahui, misalnya
pirasinamid atau etambutol atau streptomisin, maka pengobatan TB dapat
diberikan lagi dengan tanpa obat tersebut. Bila mungkin, ganti obat tersebut
dengan obat lain. Lamanya pengobatan mungkin perlu diperpanjang, tapi hal ini
akan menurunkan risiko terjadinya kambuh
31
c. Mutu pemeriksaan laboratorium ini akan ditera oleh laboratorium rujukan uji
silang, dapat dilaksanakan oleh laboratoium kesehatan daerah, laboratorium
di salah satu Rumah Sakit, BP4 ataupun Rumah Sakit Paru (RSP), dll.
2. Laboratorium rujukan uji silang mikroskopis
a. Laboratorium ini melaksanakan pemeriksaan mikroskopis BTA seperti pada
laboratorium UPK ditambah dengan melakukan uji silang mikroskopis dari
laboratorium UPK binaan dalam sistem jejaring.
b. Laboratorium rujukan uji silang mempunyai sarana, pelaksana dan
kemampuan yang memenuhi kriteria laboratorium rujukan uji silang
mikroskopis.
3. Laboratorium rujukan Provinsi
a. Laboratorium ini melakukan pemeriksaan seperti laboratorium uji silang
mikroskopis dan memberikan pelayanan pemeriksaan isolasi, identifikasi, uji
kepekaan M. tb dari spesimen dahak.
b. Laboratorium rujukan propinsi melakukan uji silang hasil pemeriksaan
mikroskopis Lab rujukan uji silang
c. Laboratorium rujukan propinsi melakukan uji silang ke II jika terdapat
kesenjangan antara hasil pemeriksaan mikroskopis Lab UPK dan
laboratorium rujukan uji silang
4. Laboratorium rujukan Regional.
a. Laboratorium rujukan tingkat regional adalah laboratorium yang melakukan
pemeriksaan kultur, identifikasi dan DST M.tb dan MOTT dari dahak dan
bahan lain dan menjadi laboratorium rujukan untuk kultur dan DST M.tb bagi
laboratorium rujukan tingkat provinsi.
b. Laboratorium rujukan regional secara rutin mengirim tes uji profisiensi kepada
laboratorium rujukan provinsi.
5. Laboratorium rujukan Nasional.
Laboratorium rujukan nasional melakukan pemeriksaan dan penelitian
biomolekuler dan mampu melakukan pemeriksaan non konvensional lainnya,
serta melakukan uji silang ke dua untuk pemeriksaan biakan.
32
BAB V
PROGRAM KERJA RSPG SESUAI STRATEGI NASIONAL TB DAN
RENCANA STRATEGIS RSPG
Program
1. Menjamin deteksi dini dan diagnosis melalui pemeriksaan bakteriologis yang
terjamin mutunya
2. Penyediaan farmasi dan alat kesehatan: Sistem logistik yang efektif dalam
menjamin suplai obat yang kontinyu
3. Memberikan pengobatan sesuai standar dengan pengawasan dan dukungan
yang memadai terhadap pasien
Program
1. Memperluas Kegiatan Kolaborasi TB/HIV
2. Menghadapi Tantangan TB dengan Resistensi Obat (Drug Resistant
Tuberculosis/ DR-TB)
3. Memperkuat Program Pengendalian TB Anak
4. Menjembatani Kebutuhan Masyarakat Miskin dan Rentan
33
Program intervensi
Dua intervensi utama yang akan dilakukan untuk mencapai tujuan tersebut
adalah memperluas dan melakukan akselerasi keterlibatan rumah sakit
(Hospital DOTS Linkage) serta fasilitas pelayanan kesehatan lainnya dan
mempromosikan ISTC kepada tenaga kesehatan yang memberikan pelayanan
DOTS.
1. Memperluas dan Melakukan Akselerasi Keterlibatan RSPG dan UPK lain
(BBKPM/BKPM/Puskesmas (Hospital DOTS Linkage)
2. Mempromosikan the International Standards for Tuberculosis Care (ISTC)
Program
1. Menciptakan Kebutuhan: Meningkatkan Jumlah Tersangka TB yang
Menjalani Proses Diagnosis dan Pasien TB yang Berobat dengan Dukungan
PMO
2. Memperkuat Kapasitas Pelayanan Kesehatan dalam Melaksanakan AKMS:
Meningkatkan Kapasitas Penyedia Pelayanan dan Petugas Lapangan dalam
Mempromosikan DOTS dan Pelayanan Menggunakan Pendekatan yang
Berfokus Pada Pasien
3. Mempromosikan Piagam Hak dan Kewajiban Pasien TB
4. Pengembangan DOTS Berbasis Masyarakat
34
pemantauan dilakukan dengan menelaah laporan, pengamatan langsung dan
wawancara dengan petugas pelaksana maupun dengan masyarakat sasaran.dan
mengikuti sistem pencatatan dan pelaporan baku yang dilaksanakan dengan baik
dan benar sesuai program nasional TB
C. Indikator Program TB
Untuk menilai kemajuan atau keberhasilan penanggulangan TB digunakan
beberapa indikator. Indikator penanggulangan TB secara Nasional ada 2 yaitu:
Angka Penemuan Pasien baru TB BTA positif (Case Detection Rate = CDR)
Angka Keberhasilan Pengobatan (Success Rate = SR).
Disamping itu ada beberapa indikator proses untuk mencapai indikator Nasional
tersebut di atas, yaitu:
Angka Penjaringan Suspek
Proporsi Pasien TB Paru BTA positif diantara Suspek yang diperiksa dahaknya
Proporsi Pasien TB Paru BTA positif diantara seluruh pasien TB paru
Proporsi pasien TB anak diantara seluruh pasien
Angka Notifikasi Kasus (CNR)
Angka Konversi
Angka Kesembuhan
Angka Kesalahan Laboratorium
Untuk mempermudah analisis data diperlukan indikator sebagai alat ukur kemajuan
(marker of progress). Indikator yang baik harus memenuhi syarat-syarat tertentu
seperti:
Sahih (valid)
Sensitif dan Spesifik (sensitive and specific)
Dapat dipercaya (realiable)
Dapat diukur (measureable)
Dapat dicapai (achievable)
35
36
D. Indikator Program TB DOTS Di RSPG Yang Dapat Dihitung Dan Dianalisis
1. Proporsi Pasien TB BTA Positif diantara Suspek
Adalah prosentase pasien BTA positif yang ditemukan diantara seluruh suspek
yang diperiksa dahaknya. Angka ini menggambarkan mutu dari proses
penemuan sampai diagnosis pasien, serta kepekaan menetapkan kriteria
suspek.
Angka ini sekitar 5 - 15%. Bila angka ini terlalu kecil ( < 5 % ) kemungkinan
disebabkan :
Penjaringan suspek terlalu longgar. Banyak orang yang tidak memenuhi
kriteria suspek, atau
Ada masalah dalam pemeriksaan laboratorium ( negatif palsu ).
Angka ini sebaiknya jangan kurang dari 65%. Bila angka ini jauh lebih rendah,
itu berarti mutu diagnosis rendah, dan kurang memberikan prioritas untuk
menemukan pasien yang menular (pasien BTA Positif).
37
Angka ini sebagai salah satu indikator untuk menggambarkan ketepatan dalam
mendiagnosis TB pada anak. Angka ini berkisar 15%. Bila angka ini terlalu besar
dari 15%, kemungkinan terjadi overdiagnosis.
38
Di RSPG, indikator ini dapat dihitung dari kartu pasien TB.01, yaitu dengan cara
mereview seluruh kartu pasien baru BTA Positif yang mulai berobat dalam 3-6
bulan sebelumnya, kemudian dihitung berapa diantaranya yang hasil
pemeriksaan dahak negatif, setelah pengobatan intensif (2 bulan).
Di tingkat kabupaten, propinsi dan pusat, angka ini dengan mudah dapat dihitung
dari laporan TB.11. Angka minimal yang harus dicapai adalah 80%.
Di RSPG, indikator ini dapat dihitung dari kartu pasien TB.01, yaitu dengan cara
mereview seluruh kartu pasien baru BTA Positif yang mulai berobat dalam 9 - 12
bulan sebelumnya, kemudian dihitung berapa diantaranya yang sembuh setelah
selesai pengobatan.
Di tingkat kabupaten, propinsi dan pusat, angka ini dapat dihitung dari laporan
TB.08. Angka minimal yang harus dicapai adalah 85%. Angka kesembuhan
digunakan untuk mengetahui hasil pengobatan.
Walaupun angka kesembuhan telah mencapai 85%, hasil pengobatan lainnya
tetap perlu diperhatikan, yaitu berapa pasien dengan hasil pengobatan lengkap,
meninggal, gagal, default, dan pindah.
Angka default tidak boleh lebih dari 10%, karena akan menghasilkan proporsi
kasus retreatment yang tinggi dimasa yang akan datang yang disebabkan
karena ketidak-efektifan dari pengendalian Tuberkulosis.
Menurunnya angka default karena peningkatan kualitas penanggulangan TB
akan menurunkan proporsi kasus pengobatan ulang antara 10-20 % dalam
beberapa tahun.
39
Sedangkan angka gagal untuk pasien baru BTA positif tidak boleh lebih dari 4%
untuk daerah yang belum ada masalah resistensi obat, dan tidak boleh lebih
besar dari 10% untuk daerah yang sudah ada masalah resistensi obat.
40
LAMPIRAN
STANDAR DIAGNOSIS
Standar 1
Setiap individu dengan batuk produktif selama 2-3 minggu atau lebih yang tidak
dapat dipastikan penyebabnya harus dievaluasi untuk TB
Standar 2
Semua pasien yang diduga menderita TB paru, (dewasa, remaja dan anak-anak
yang dapat mengeluarkan dahak) harus menjalani pemeriksaan sputum secara
mikroskopis sekurang-kurangnya 2 kali dan sebaiknya 3 kali. Bila memungkinkan
minimal 1 kali pemeriksaan berasal dari sputum pagi hari
Standar 3
Semua pasien yang diduga menderita TB ekstra paru, (dewasa, remaja dan anak)
harus menjalani pemeriksaan bahan yang didapat dari kelainan yang dicurigai.
Bila tersedia fasilitas dan sumber daya, juga harus dilakukan biakan dan
pemeriksaan histopatologi
Standar 4
Semua individu dengan foto toraks yang mencurigakan ke arah TB harus
menjalani pemeriksaan sputum secara mikrobiologi
Standar 5
Diagnosis TB paru, BTA negatif harus berdasarkan kriteria berikut : negatif paling
kurang pada 3 kali pemeriksaan (termasuk minimal 1 kali terhadap sputum pagi
hari), foto toraks menunjukkan kelainan TB, tidak ada respons terhadap antibiotik
spektrum luas (hindari pemakaian fluorokuinolon karena mempunyai efek
melawan M. tuberculosa sehingga memperlihatkan perbaikan sesaat ). Bila ada
fasiliti, pada kasus tersebut harus dilakukan pemeriksaan biakan. Pada pasien
dengan atau diduga HIV, evaluasi diagnostik harus disegerakan
Standar 6
Diagnosis TB intratoraks (paru, pleura, kelenjar getah bening hilus/mediastinal)
pada anak dengan BTA negatif berdasarkan foto toraks yang sesuai dengan TB
41
dan terdapat riwayat kontak atau uji tuberkulin/ interferon gamma release assay
positif. Pada pasien demikian, bila ada fasiliti harus dilakukan pemeriksaan biakan
dari bahan yang berasal dari batuk, bilasan lambung atau induksi sputum.
STANDAR PENGOBATAN
Standar 7
Setiap petugas yang mengobati pasien TB dianggap menjalankan fungsi
kesehatan masyarakat yang tidak saja memberikan paduan obat yang sesuai
tetapi juga dapat memantau kepatuhan berobat sekaligus menemukan kasus-
kasus yang tidak patuh terhadap rejimen pengobatan. Dengan melakukan hal
tersebut akan dapat menjamin kepatuhan hingga pengobatan selesai.
Standar 8
Semua pasien (termasuk pasien HIV) yang belum pernah diobati harus
diberikan paduan obat lini pertama yang disepakati secara internasional
menggunakan obat yang biovaibilitinya sudah diketahui. Fase awal terdiri dari
INH,Rifampisin, Pirazinamid dan etambutol diberikan selama 2 bulan. Fase
lanjutan yang dianjurkan adalah INH dan rifampisin yang selama 4 bulan.
Pemberian INH dan etambutol selama 6 bulan merupakan paduan alternatif
untuk fase lanjutan pada kasus yan keteraturannya tidak dapat dinilai tetapi
terdapat angka kegagalan dan kekambuhan yang tinggi dihubungkan dengan
pemberian alternatif tersebut diatas khususnya pada pasien HIV. Dosis obat
antituberkulosis ini harus mengikuti rekomendasi internasional. Fixed dose
combination yang terdiri dari 2 obat yaitu INH dan Rifampisin, yang terdiri dari 3
obat yaitu INH, Rifampisin, Pirazinamid dan yang terdiri dari 4 obat yaitu INH,
Rifampisin, Pirazinamid dan Etambutol sangat dianjurkan khususnya bila tidak
dilakukan pengawasan langsung saat menelan obat.
Standar 9
Untuk menjaga dan menilai kepatuhan terhadap pengobatan perlu
dikembangkan suatu pendekatan yang terpusat kepada pasien berdasarkan
kebutuhan pasien dan hubungan yang saling menghargai antara pasien dan
pemberi pelayanan. Supervisi dan dukungan harus memperhatikan kesensitifan
gender dan kelompok usia tertentu dan sesuai dengan intervensi yang
dianjurkan dan pelayanan dukungan yang tersedia termasuk edukasi dan
konseling pasien.
Elemen utama pada strategi yang terpusat kepada pasien adalah penggunaan
pengukuran untuk menilai dan meningkatkan kepatuhan berobat dan dapat
menemukan bila terjadi ketidak patuhan terhadap pengobatan. Pengukuran ini
dibuat khusus untuk keadaan masing masing individu dan dapat diterima baik
oleh pasien maupun pemberi pelayanan. Pengukuran tersebut salah satunya
termasuk pengawasan langsung minum obat oleh PMO yang dapat diterima
oleh pasien dan sistem kesehatan serta bertanggungjawab kepada pasien dan
system kesehatan
Standar 10
42
Respons terapi semua pasien harus dimonitor. Pada pasien TB paru penilaian
terbaik adalah dengan pemeriksaan sputum ulang (2 kali ) paling kurang pada
saat menyelesaikan fase awal (2 bulan), bulan ke lima dan pada akhir
pengobatan. Pasien dengan BTA positif pada bulan ke lima pengobatan dianggap
sebagai gagal terapi dan diberikan obat dengan modifikasi yang tepat (sesuai
standar 14 dan 15). Penilaian respons terapi pada pasien TB paru ekstra paru dan
anak-anak, paling baik dinilai secara klinis. Pemeriksaan foto toraks untuk
evaluasi tidak diperlukan dan dapat menyesatkan (misleading)
Standar 11
Pencatatan tertulis mengenai semua pengobatan yang diberikan, respons
bakteriologik dan efek samping harus ada untuk semua pasien
Standar 12
Pada daerah dengan angka prevalens HIV yang tinggi di populasi dengan
kemungkinan co infeksi TB-HIV, maka konseling dan testing HIV diindikasikan
untuk seluruh TB pasien sebagai bagian dari penatalaksanaan rutin. Pada daerah
dengan prevalens HIV yang rendah, konseling dan testing HIV hanya diindikasi
pada pasien TB dengan keluhan dan tanda tanda yang diduga berhubungan
dengan HIV dan pada pasien TB dengan riwayat berisiko tinggi terpajan HIV.
Standar 13
Semua pasien TB-HIV harus dievaluasi untuk menentukan apakah mempunyai
indikasi untuk diberi terapi anti retroviral dalam masa pemberian
OAT.Perencanaan yang sesuai untuk memperoleh obat antiretroviral harus
dibuat bagi pasien yang memenuhi indikasi.
Mengingat terdapat kompleksiti pada pemberian secara bersamaan antara obat
antituberkulosis dan obat antiretroviral maka dianjurkan untuk berkonsultasi
kepada pakar di bidang tersebut sebelum pengobatan dimulai, tanpa perlu
mempertimbangkan penyakit apa yang muncul lebih dahulu. Meskipun
demikian pemberian OAT jangan sampai ditunda. Semua pasien TB-HIV harus
mendapat kotrimoksasol sebagai profilaksis untuk infeksi lainnya.
Standar 14
Penilaian terhadap kemungkinan resistensi obat harus dilakukan pada semua
pasien yang berisiko tinggi berdasarkan riwayat pengobatan sebelumnya, pajanan
dengan sumber yang mungkin sudah resisten dan prevalens resistensi obat pada
masyarakat. Pada pasien dengan kemungkinan MDR harus dilakukan
pemeriksaan kultur dan uji sensitifitas terhadap INH, Rifampisin dan Etambutol.
Standar 15
Pasien TB dengan MDR harus diterapi dengan paduan khusus yang terdiri atas
obat-obat lini kedua. Paling kurang diberikan 4 macam obat yang diketahui atau
dianggap sensitif dan diberikan selama paling kurang 18 bulan. Untuk memastikan
kepatuhan diperlukan pengukuran yang berorientasi kepada pasien. Konsultasi
dengan pakar di bidang MDR harus dilakukan.
43
STANDAR TANGGUNG JAWAB KESEHATAN MASYARAKAT
Standar 16
Semua petugas yang melayani pasien TB harus memastikan bahwa individu yang
punya kontak dengan pasien TB harus dievaluasi (terutama anak usia dibawah 5
tahun dan penyandang HIV), dan dilakukan penanganan sesuai dengan
rekomendasi internasional. Anak usia dibawah 5 tahun dan penyandang HIV yang
punya kontak dengan kasus infeksius (penderita TB BTA positif) harus dievaluasi
baik untuk pemeriksaan TB yang laten maupun yang aktif
Standar 17
Semua petugas harus melaporkan semuan penemuan kasus TB (kasus baru
maupun kasus pengobatan ulang) dan juga untuk hasil pengobatannya kepada
dinas kesehatan setempat sesuai dengan ketentuan hukum dan kebijakan yang
berlaku
44
45
46
47
48
Keterangan :
Nomor Identitas Sediaan terdiri dari 3 kelompok angka dan
1 huruf, sebagai berikut :
49
- Kelompok angka pertama terdiri dari 2 angka, misalnya
02, yang merupakan nomor urut kab/ kota.
- Kelompok angka kedua juga terdiri dari 2 angka,
misalnya 15, yang merupakan nomor urut UPK.
- Kelompok angka ketiga terdiri dari 3 angka, misalnya
237, yang merupakan nomor urut sediaan yang dimulai
dengan nomor 001 setiap awal tahun.
- A= dahak sewaktu pertama, B = dahak pagi dan C =
dahak sewaktu kedua.
- Contoh nomor identitas sediaan : 02/15/237 A,
02/15/237 B dan 02/15/237 C.
50
51
52
53
54
55
56
57
58