Anda di halaman 1dari 15

BAB I

PENDAHULUAN

Kata epilepsi berasal dari Yunani Epilambanmein yang berarti serangan.


Masyarakat percaya bahwa epilepsi disebabkan oleh roh jahat dan juga dipercaya
bahwa epilepsi merupakan penyakit yang bersifat suci. Hal ini merupakan latar
belakang adanya mitos dan rasa takut terhadap epilepsi. Mitos tersebut mewarnai
sikap masyarakat dan menyulitkan upaya penanganan penderita epilepsi dalam
kehidupan normal. Epilepsi sebelumnya sudah dikenal sekitar tahun 2000 sebelum
Masehi. Hippokrates adalah orang pertama yang mengenal epilepsi sebagai gejala
penyakit dan menganggap bahwa epilepsi merupakan penyakit yang didasari oleh
adanya gangguan di otak. Eplepsi merupakan kelainan neurologi yang dapat
terjadi pada setiap orang diseluruh dunia.

Walaupun penyakit ini telah dikenal lama dalam masyarakat, terbukti


dengan adanya istilah-istilah Bahasa dikenal untuk penyakit ini seperti sawan, tapi
pengertian akan penyakit ini masih kurang bahkan salah sehingga penderita
digolongkan dalam penyakit gila, kutukan dan turunan sehingga penderita tidak
diobati atau bahkan disembunyikan. Akibatnya banyak penderita epilepsi yang
tidak terdiagnosis dan mendapat pengobatan yang tepat sehingga menimbulkan
dampak klinik dan psikososial yang merugikan baik bagi penderita maupun
keluarganya.

Epilepsi merupakan salah satu kelainan otak yang serius dan umum
terjadi, sekitar lima puluh juta orang di seluruh dunia mengalami kelainan ini.
Angka epilepsi lebih tinggi di negara berkembang. Insiden epilepsy di negara
maju ditemukan sekitar 50/100.000 sementara di negara berkembang mencapai
100/100.000. Di Indonesia belum ada data epidemiologi yang pasti tetapi
diperkirakan ada 900.000 1.800.000 penderita, sedangkan penanggulangan
penyakit ini belum merupakan prioritas dalam Sistem Kesehatan Nasional. Karena
cukup banyaknya penderita epilepsi dan luasnya aspek medik dan psikososial,
maka epilepsi tetap merupakan masalah kesehatan masyarakat sehingga
keterampilan para dokter dan paramedic lainnya dalam penatalaksanaan penyakit
ini perlu ditingkatkan.

Salah satu masalah dalam penanggulangan epilepsi ialah menentukan


dengan pasti diagnosis epilepsi oleh karena sebelum pengobatan dimulai
diagnosis epilepsi harus ditegakkan dulu. Diagnosis dan pengobatan epilepsi tidak
dapat dipisahkan oleh pengobatan yang sesuai dan tepat hanya dapat dilakukan
dengan diagnosis epilepsi yang tepat pula. Diagnosis epilepsi berdasarkan atas
gejala dan tanda klinis yang karakteristik. Jika membuat diagnosis tidak hanya
berdasarkan dengan beberapa hasil pemeriksaan penunjang diagnostic saja, justru
informasi yang diperoleh sesudah melakukan wawancara yang lengkap dengan
pasien maupun saksi mata yang mengetahui serangan kejang tersebut terjadi dan
kemudian baru dilakukan pemeriksaan fisik neurologi. Begitu diperkirakan
diagnosis epilepsi telah dibuat barulah dilanjutkan pemeriksaan tambahan untuk
memastikan diagnosis dan mencari penyebabnya, lesi otak yang mendasari, jenis
serangan kejang dan sindrom epilepsi.
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Defenisi1

Epilepsi didefinisikan sebagai suatu keadaan yang ditandai oleh adanya


bangkitan (seizure) yang terjadi secara berulang sebagai akibat dari adanya
gangguan fungsi otak secara intermiten, yang disebabkan oleh lepas muatan listrik
abnormal dan berlebihan pada neuron-neuron secara paroksismal yang disebabkan
oleh beberapa etiologi.

Bangkitan epilepsi (epileptic seizure) adalah manifestasi klinik dari


bangkitan serupa (streotipik), berlangsung secara mendadak dan sementara
dengan atau tanpa perubahan kesadarn kesadaran, disebabkan oleh hiperaktivitas
listrik sekelompok sel saraf di otak, buakn disebabkan oleh suatu penyakit otak
akut (unprovoked).

Sindrom epilepsi adalah sekumpulan gejala dan tanda klinik epilepsi yang
terjadi secara bersama-sama, yang berhubungan dengan etiologi, umur, awitan
(onset), jenis bangkitan, faktor pencetus, dan kronisitas.

2.2. Epidemiologi2
Epilepsi dapat menyerang anak-anak, orang dewasa, pada orang tua
bahkan bayi yang baru lahir. Di Amerika Serikat, satu dari 100 populasi (1%)
penduduk terserang epilepsi, dan kurang lebih 2,5 juta di antaranya telah
menjalani pengobatan pada lima tahun terakhir. Dalam kepustakaan prevalensi
epilepsi di Indonesia, yaitu sebanyak 5-10%. Dapat diperkirakan bahwa di
Indonesia yang berpenduduk hampir 200 juta, sedikitnya terdapat 1.000.000-
2.000.000 orang penyandang epilepsi (Harsono, 1999). Insidensi epilepsi pada
anak-anak dan remaja diperkirakan berkisar antara 50 sampai 100 per 100.000
anak (Hauser, 1994). Penelitian Heaney dkk (2002) di Inggris dilakukan secara
prospektif terhadap 369.283 orang-tahun pengamatan. Sepanjang pengamatan
dijumpai 190 kasus baru (angka insidensi : 51,5/1000000, 95% CI : 44,4-59,3).
Diantaranya 190 kasus baru epilepsi, 65 diantaranya (34, 2%) dimulai saat pada
usia < 14 tahun.

2.3. Etiologi3

Gangguan fungsi otak yang bisa menyebabkan lepasnya muatan listrik


berlebihan di sel neuron saraf pusat, bisa disebabkan oleh adanya factor fisiologis,
biokimiawi, anatomis atau gabungan factor tersebut. Tiap-tiap penyakit atau
kelainan yang dapat mengganggu fungsi otakdapat menyebabkan timbulnya
bangkitan kejang. (Lumbantobung, 1999)

Bila ditinjau dari faktoe etiologis, epilepsi dibagi menjadi 3 kelompok:

1. Idiopatik

Sebagian besar pasien, penyebab epilepsi tidak diketahui dan biasanya pasien
tidak menunjukkan manifestasi cacat otak dan tidak bodoh. Sebagian dari jenis
idiopatik disebabkan oleh interaksi beberaa faktor genetik. Kata idiopatik
diperuntukkan bagi pasien epilepsi yang menunjukkan bangkitan kejang umum
sejak dari permulaan serangan.

Dengan bertambahnya majunya pengetahuan serta kemampuan diagnostik,


maka golongan idiopatik makin berkurang. Umumnya faktor genetik lebih
berperan pada epilepsi idiopatik.

2. Kriptogenik

Dianggap simptomatik tapi penyebabnya belum diketahui termasuk disini


adalah syndrome West, sindrom Lennox-Gastaut dan epilepsi mioklonik.
Gambaran klinik sesuai dengan ensefalopati difus.

3. Simtomatik
Hal ini data terjadi bila fungsi otak terganggu oleh berbagai kelainan
intracranial dan ekstrakranial. Penyebab intracranial, misalnya anomali
kongenital, trauma otak,neoplasma otak, lesi ischemia, ensefalopati, abses otak,
jaringan parut. Penyebab yang bermula ekstrakranial dan kemudian menganggu
fungsi otak, misalnya gagal jantung, gangguan pernafasan, gangguan metabolism
(hipoglikemia, hiperglikemia, uremia), gangguan keseimbangan elektrolit,
intoksikasi obat, gangguan hidrasi (dehidrasi, hidrasi lebih). Kelainan structural
tidak cukup untuk menimbulkan bangkitan epilepsi, harus dilacak faktor-faktor
yang ikut berperan dalam mencetuskan bangkitan epilepsi, contohnya yang
mungkin berbeda pada tiap pasien adalah stress, demam, lapar, hipoglikemia,
kurang tidur, alkalosis oleh hiperventilasi, gangguan emosional.

2.4. Patofisiologi4

Mekanisme terjadinya epilepsi ditandai dengan gangguan paroksimal


akibat penghambatan neuron yang tidak normal atau ketidakseimbangan antara
neurotransmiter eksitatori dan inhibitori. Defisiensi neurotransmiter inhibitori
seperti Gamma Amino Butyric Acid (GABA) atau peningkatan neurotransmiter
eksitatori seperti glutamat menyebabkan aktivitas neuron tidak normal.
Neurotransmiter eksitatori (aktivitas pemicu kejang) yaitu, glutamat, aspartat,
asetil kolin, norepinefrin, histamin, faktor pelepas kortikotripin, purin, peptida,
sitokin dan hormon steroid. Neurotransmiter inhibitori (aktivitas menghambat
neuron) yaitu, dopamin dan Gamma Amino Butyric Acid (GABA). Serangan
kejang juga diakibatkan oleh abnormalitas konduksi kalium, kerusakan kanal ion,
dan defisiensi ATPase yang berkaitan dengan transport ion, dapat menyebabkan
ketidak stabilan membran neuron. Aktivitas glutamat pada reseptornya (AMPA)
dan (NMDA) dapat memicu pembukaan kanal Na+. Pembukaan kanal Na ini
diikuti oleh pembukaan kanal Ca2+, sehingga ion-ion Na+ dan Ca2+ banyak
masuk ke intrasel. Akibatnya, terjadi pengurangan perbedaan polaritas pada
membran sel atau yang disebut juga dengan depolarisasi. Depolarisasi ini penting
dalam penerusan potensial aksi sepanjang sel syaraf. Depolarisasi berkepanjangan
akibat peningkatan glutamat pada pasien epilepsi menyebabkan terjadinya
potensial aksi yang terus menerus dan memicu aktivitas sel-sel syaraf. Beberapa
obat-obat antiepilepsi bekerja dengan cara memblokade atau menghambat
reseptor AMPA (alpha amino 3 Hidroksi 5 Methylosoxazole- 4-propionic acid)
dan menghambat reseptor NMDA (N-methil D-aspartat). Interaksi antara
glutamat dan reseptornya dapat memicu masuknya ion-ion Na+ dan Ca2+ yang
pada akhirnya dapat menyebabkan terjadinya potensial aksi. Namun felbamat
(antagonis NMDA) dan topiramat (antagonis AMPA) bekerja dengan berikatan
dengan reseptor glutamat, sehingga glutamat tidak bisa berikatan dengan
reseptornya. Efek dari kerja kedua obat ini adalah menghambat penerusan
potensial aksi dan menghambat aktivitas sel-sel syaraf yang teraktivasi.
Patofisiologi epilepsi meliputi ketidakseimbangan kedua faktor ini yang
menyebabkan instabilitas pada sel-sel syaraf tersebut.

2.5. Klasifikasi2,6

Menurut Gidal dkk (2005) klasifikasi epilepsi berdasarkan tanda-tanda


klinik dan data EEG, dibagi menjadi:

1) Kejang umum (generalized seizure)


Jika aktivasi terjadi pada kedua hemisfer otak secara bersama-sama.
Kejang umum terbagi atas:
a) Absense (Petit mal)
Jenis yang jarang dijumpai ini umumnya hanya terjadi pada masa anak-
anak atau awal remaja. Kesadaran hilang beberapa detik, ditandai dengan
terhentinya percakapan untuk sesaat. Penderita tiba-tiba melotot atau matanya
berkedip-kedip dengan kepala terkulai.
b) Tonik-klonik (grand mal)
Merupakan bentuk kejang yang paling banyak terjadi, biasanya didahului
oleh suatu aura. Pasien tiba-tiba jatuh, kejang, nafas terengah-engah, dan keluar
air liur. Bisa terjadi juga sianosis, ngompol, atau menggigit lidah. Serangan ini
terjadi beberapa menit, kemudian diikuti lemah, kebingungan, sakit kepala atau
tidur.
c) Mioklonik
Serangan ini biasanya terjadi pada pagi hari, setelah bangun tidur pasien
mengalami sentakan yang tiba-tiba.
d) Atonik
Serangan tipe Atonik ini jarang terjadi. Pasien tiba-tiba kehilangan
kekuatan otot yang mengakibatkan pasien terjatuh, namun dapat segera pulih
kembali.

2) Kejang parsial
Serangan parsial merupakan perubahan-perubahan klinis dan
elektroensefalografik yang menunjukan aktivitas sistem neuron yang berbatas di
salah satu bagian otak (Harsono, 1999). Kejang parsial ini terbagi menjadi:
a) Simple partial seizure
Pasien tidak mengalami kehilangan kesadaran. Terjadi sentakan-sentakan
pada bagian tertentu dari tubuh.
b) Complex partial seizure
Pasien mengalami penurunan kesadaran. Pada penderita dengan penurunan
kesadaran maka dapat terjadi perubahan tingkah laku misalnya automatisme.

3) Kejang tak terklasifikasikan


Serangan kejang ini merupakan jenis serangan yang tidak didukung oleh
data yang cukup atau lengkap. Jenis ini termasuk serangan epilepsi pada neonatus
misalnya gerakan mata ritmis, dan gerakan mengunyah serta berenang.

Klasifikasi yang ditetapkan oleh Internasional League Against Epilepsy


(ILAE) terdiri atas dua jenis klasifikasi, yaitu klasifikasi untuk jenis bangkitan
epilepsi dan klasifikasi untuk sindrom epilepsi.
Klasifikasi ILAE 1981 untuk tipe bangkitan epilepsi
A. Bangkitan parsial/fokal
i. Bangkitan parsial sederhana
a. Dengan gejala motorik
b. Dengan gejala somato sensorik
c. Dengan gejala otonom
d. Dengan gejala psikis
ii. Bangkitan parsial kompleks
a. Bangkitan parsial sederhan yang diikuti dengan gangguan
kesadaran
b. Bangkitan parsial yang disertai gangguan kesadaran sejak awal
bangkitan
iii. Bangkitan parsial yang menjadi umum sekunder
a. Parsial sederhana yang menjadi umum
b. Parsial kompleks menjadi umum
c. Parsial sederhana menjadi parsial kompleks, lalu menjadi umum
B. Bangkitan umum
i. Lena (absence)
a. Tipikal lena
b. Atipikal lena
ii. Mioklonik
iii. Klonik
iv. Tonik
v. Tonik-klonik
vi. Atonik/astatik
C. Bangkitan tak tergolongkan

Klasifikasi ILAE 1989 untuk epilepsi dan sindrom epilepsi dan sindroma
epilepsi

A. Fokal/partial (localized related)


i. Idiopatik (berhubungan dengan usia awitan)
a. Epilepsi benigna dengan gelombang paku di daerah
sentrotemporal (childhood epilepsy with cetrotemporal
spikes)
b. Epilepsi benigna dengan gelombang paroksismal pada
daerah oksipital
c. Epilepsi primer saat membaca (primary reading epilepsy)
ii. Simptomatis
a. Epilepsi parsial kontinua yang kronis progresif pada anak-anak
(Kojenikows Syndrome)
b. Sindrom dengan bangkitan yang dipresipitasi oleh suatu
rangsangan
c. Epilepsi lobus temporal
d. Epilepsi lobus frontal
e. Epilepsi lobus parietal
f. Epilepsi lobus oksipital
iii. kriptogenik
B. Epilepsi umum
i. Idiopatik (sindrom epilepsi berurutan sesuai dengan usia awitan)
a. Kejang neonatus familial benigna
b. Kejang neonatus benigna
c. Kejang epilepsi mioklonik pada bayi
d. Epilepsi lena pada anak
e. Epilepsi lena pada remaja
f. Epilepsi mioklonik pada remaja
g. Epilepsi dengan bangkitan umum tonik-klonik pada saat terjaga
h. Epilepsi umum idiopatik lain yang tidak termasuk salah satu di
atas
i. Epilepsi tonik klonik yang dipresipitasi dengan aktivasi yang
spesifik
ii. Kriptogenik atau simtomatis (berurutan sesuai dengan peningkatan
usia)
a. Sindrom West (spasme infantil dan spasme salam)
b. Sindrom Lennox-Gastaut
c. Epilepsi mioklonik astatik
d. Epilepsi mioklonik lena
iii. Simtomatis
a. Etiologi nonspesifik
1. Ensefalopati mioklonik dini
2. Ensefalopati pada infantil dini dengan burst supression
3. Epilepsi simptomatis umum lainnya yang tidak termasuk di
atas
b. Sindrom spesifik
c. Bangkitan epilepsi sebagaikomplikasi penyakit lain
C. Epilepsi dan sindrom yang tak dapat ditentukan fokal atau umum
i. Bangkitan umum dan fokal
a. Bangkitan neonatal
b. Epilepsi mioklonik berat pada bayi
c. Epilepsi denga gelombang paku kontinu selama tidur dalam
d. Epilepsi apasia yan didapat (Sindrom Landau-Kleffner)
e. Epilepsi yang tidak termasuk dalam klasifikasi di atas
ii. Tanpa gambaran tegas fokal atau umum
D. Sindrom khusus
Bangkitan yang berkaitan dengan situasi tertentu
a. Kejang demam
b. Bangkitan kejang/status epileptikus yang timbul hanya sekali
isolated
c. Bangkitan yang hanya terjadi bila terdapat kejadian metabolik
akut, atau toksis, alkohol, obat-obatan, eklampsia, hiperglikemi
nonketotik
d. Bangkitan berkaitan dengan pencetus spesifik (epilepsi
reflektorik)

2.6. Diagnosis

Diagnosa yang tepat sangat penting pada epilepsi. Orang yang terdiagnosa
epilepsi mempunyai beberapa konsekuensi, penderita epilepsi akan meminum
obat dalam jangka waktu yang lama yang berakibat pada kemungkinan adanya
efek yang merugikan akibat OAE (Wibowo & Gofir, 2006). Konsekuensi
psikologis dan sosial ini, dapat menciptakan disabilitas yang lebih besar pada
penderita epilepsi dari disabilitas akibat gangguan otak itu sendiri. Oleh karena itu
lebih baik tidak menegakkan diagnosa epilepsi sebelum dapat memastikan bahwa
itu benar-benar epilepsi (Kusumaastuti, 2008).
Diagnosis epilepsi ditegakkan terutama dari anamnesis, yang didukung
dengan pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjang. Menurut Kusumastuti
(2008), langkah-langkah dalam penegakkan diagnosis dalam praktik klinis adalah
sebagai berikut:

1). Anamnesis
Faktor pencetus, usia, durasi, dan frekuensi bangkitan, interval terpanjang
antara bangkitan, kesadaran antara bangkitan, terapi epilepsi sebelumnya dan
respon terhadap OAE sebelumnya, penyakit yang diderita sekarang, riwayat
penyakit neurologis psikiatrik maupun sistemik yang mungkin menjadi penyebab
maupun komorbiditas, riwayat epilepsi dan penyakit lain dalam keluarga, riwayat
saat berada dalam kandungan-kelahiran-tumbuh kembang, riwayat bangkitan
neonatal/ kejang demam, dan riwayat trauma kepala-stroke- infeksi susunan saraf
pusat.
2). Pemeriksaan fisik umum dan neurologis
Pemeriksaan fisik dilakukan untuk mencari tanda-tanda gangguan yang
berkaitan dengan epilepsi, seperti trauma kepala. Pemeriksaan neurologis
berfungsi untuk mencari tanda-tanda defisit neurologis fokal atau difus yang dapat
berhubungan dengan epilepsi.

3). Pemeriksaan penunjang, seperti berikut:

a). Pemeriksaan elektro-ensefalografi (EEG)

Rekaman EEG merupakan pemeriksaan yang paling berguna pada dugaan


suatu bangkitan untuk membantu menunjang diagnosis, penentuan jenis bangkitan
maupun sindrom epilepsi, prognosis, dan perlu/ tidaknya pemberian OAE.

b). Pemeriksaan pencitraan otak


Berguna untuk mendeteksi lesi epileptogenik di otak secara non-invasif,
seperti: Fuctional brain imaging seperti Positron Emission Tomography (PET),
Singel Photon Emission Computed Tomography (SPECT), Magnetic Resonance
Spectroscopy (MRS), Magnetic Resonance Imaging (MRI) dan Computed
Tomography (CT) Scanning.

c). Pemeriksaan laboratorium

(1). Pemeriksaan hematologis

Pemeriksaan hematologis di awal pengobatan sebagai salah satu acuan


dalam menyingkirkan diagnosis banding dan pemilihan OAE, 2 bulan setelah
pemberian OAE untuk mendeteksi efek samping OAE, rutin diulang setiap tahun
sekali untuk memonitor efek samping OAE, atau bila timbul gejala klinis akibat
efek samping OAE.
(2). Pemeriksaan kadar OAE dilakukan untuk melihat kadar OAE dalam plasma
saat bangkitan belum terkontrol, meskipun sudah mencapai dosis terapi maksimal
atau untuk memonitor kepatuhan pasien.
d). Pemeriksaan penunjang lainnya
Dilakukan sesuai dengan indikasi misalnya:
a. Punksi Lumbal
b. EKG

2.7. Tatalaksana 7
Tujuan pengobatan untuk mengatasi kejang dengan dosis optimal rendah.
Yang terpenting adalah kadar obat antiepilepsi bebas yang dapat menembus sawar
darah otak dan mencapai reseptor susunan saraf pusat. (Markam, 200)

Serangan epilepsy dapat dihentikan oleh obat dan dapat pula dicegah agar
tidak kambuh. Obat tersebut disebut sebagai obat antikonvulsi atau obat
antiepilepsi.

Prinsip pengobatan epilepsi:

1. Mendiagnosis secara pasti, menentukan etiologi, serangan dan sindrom


epilepsi

2. Memulai pengobatan dengan satu jenis obat antiepilepsi

3. Penggantian obat antiepilepsi secara terhadap apabila obat antiepilepsi


yang pertama gagal.

4. Pemberian obat antiepilepsi sampai 1-2 tahun bebas kejang

Obat antiepilepsi (OAE) pilihan pertama dan kedua:

1. Serangan partial (sederhana, kompleks, dan umum sekunder)

OAE I : Karbamazepin, fenobarbital, primidon, fenitoin,

OAE II : Benzodiazepin, asam valproat


2. Serangan tonik-klonik

OAE I : Karbamazepin, fenobarbital, primidon, fenitoin, asam


valproat

OAE II : Benzodiazepin, asam valproat

3. Serangan absens

OAE I : Etosuksimid, asam valproate

OAE II : Benzodiazepin

4. Serangan mioklonik

OAE I : Benzodiazepin, asam valproate

OAE II : Etosuksimid,

5. Serangan tonik, klonik, atonik

Semua OAE kecuali etosuksimid (Lazuardi, 1999)

Obat-obatan yang bersifat antikonvulsi utama yaitu:

Fenobarbital Dosis 2-4 mg/kgBB/hari


Sediaan generik: tab 30 mg, 100 mg, inj
50 mg/ml
Phenitoin Dosis: 5-8 mg/kgBB/hari
Dewasa awal: 100 mg 3x/hari,
pemeliharaan 300-400 mg/hari, dapat
dinaikan 600 mg/hari bila perlu.
Anak: 5 mg/kgBB/hari dibagi 2-3
dosis, pemeliharaan 4-8 mg/kgBB/hari
Sediaan generik: kaps 50 mg, 100 mg,
inj 50mg/ml, 100mg/ml
carbamazepine Dosis: 20 mg/kgBB/hari
Sediaan generik: tab 200 mg, sir 100
mg/2ml
Asam valproate Dosis: 30-80 mg/kgBB/hari
Dosis awal: 15 mg/kgbb/hari selang
seminggu ditingkatkan 5-10
mg/kgBB/hari hingga kejang
terkendali. Harus diberi dalam dosis
terbagi
Sediaan generik: tab 250 mg, 500 mg
Diazepam Dosis dewasa 2-5 mg 3x/hari
Anak 6-14 tahun 2-4 mg
< 6 tahun 1-2 mg

Syarat penghentian obat antiepilepsi:

1. Penghentian OAE dapat didiskusikan dengan pasien atau keluarganya


setelah minimal 2 tahun bebas bangkitan

2. Harus dilakukan secara bertahap, pada umumnya 25% dari dosis semula,
setiap bulan dalam jangka waktu 3-6 bulan

3. Bila digunakan lebih dari satu OAE, maka penghentian dimulai dari satu
OAE yang bukan utama.

2.8. Prognosis6
Prognosis anak yang menderita epilepsi tergantung bermacam-macam
faktor medis, sosial, dan psikologis. Secara umum prognosis epilepsi berhubungan
dengan beberapa faktor seperti kekerapan kejang, ada atau tidaknya defisit
neurologis atau mental, jenis dan lamanya kejang (Taslim & Sofyan, 1999).
Prognosis epilepsi cukup baik, pada 50-70% penderita epilepsi serangan dapat
dicegah dengan minum obat-obat, sedangkan sekitar 50% pada suatu waktu akan
dapat berhenti minum obat (Harsono, 2005).
Prognosis epilepsi pada anak sangat tergantung pada jenis epilepsi yang
dideritanya.Faktor yang berhubungan dengan baiknya prognosis diantaranya tidak
terdapatnya kelainan neurologis dan mental, tidak kambuhnya kejang, terutama
jenis tonik klonik umum, hanya terdapat satu jenis kejang, dan cepatnya kejang
dikendalikan. Umur onset yang relatif lambat sesudah usia 2 atau 3 tahun
merupakan faktor yang menguntungkan. Risiko kekambuhan setelah penghentian
pengobatan tergantung pada faktor yang sama dengan remisi kejang. Faktor yang
berhubungan dengan prognosis yang buruk diantaranya terdapat penyebab kejang
organik, terdapatnya kelainan neurologis dan atau mental, terdapatnya beberapa
jenis kejang tonik klonik umum yang sering dan atau kejang tonik dan atonik
(Taslim & Sofyan, 1999).

Daftar Pustaka

1. Harsono.2008.Pedoman Tatalaksana Epilepsi.PERDOSSI:Jakarta


2. http://etd.repository.ugm.ac.id/index.php?
mod=download&sub=DownloadFile&act=view&typ=html&id=84940&ft
yp=potongan&potongan=S1-2015-313156-introduction.pdf

3. Lumbantobing SM. Etiologi dan Faal Sakitan Epilepsi. Dalam:


Soetomenggolo Taslim, Ismail Sofyan, Penyunting. Neurologi Anak.
Jakarta: Badan Penerbit IDAI: 1999: h.197-203.
4. http://repository.unhas.ac.id:4001/digilib/files/disk1/226/--ernipancaw-
11267-1-14-erni-i.pdf
5. PERDOSSI.2014.Pedoman Tatalaksana Epilepsi.Airlangga University
Press:Surabaya
6. http://etd.repository.ugm.ac.id/index.php?
mod=download&sub=DownloadFile&act=view&typ=html&id=87196&ft
yp=potongan&potongan=S1-2015-316104-introduction.pdf
7. Soetomenggolo Taslim. Kelainan menyerupai Epilepsi. Dalam
Soetomenggolo Taslim, Ismail Sofyan, Penyunting. Neurologi Anak.
Jakarta: Badan Penerbit IDAI: 1999: h.209-214

Anda mungkin juga menyukai

  • Referat Dislokasi Patella
    Referat Dislokasi Patella
    Dokumen23 halaman
    Referat Dislokasi Patella
    Kunthi Rahmawati
    100% (1)
  • Penyuluhan Campak
    Penyuluhan Campak
    Dokumen16 halaman
    Penyuluhan Campak
    riski novika
    Belum ada peringkat
  • Cuci Tangan
    Cuci Tangan
    Dokumen6 halaman
    Cuci Tangan
    riski novika
    Belum ada peringkat
  • Referat Dislokasi Patella
    Referat Dislokasi Patella
    Dokumen23 halaman
    Referat Dislokasi Patella
    Siti Hardiyanti Baharuddin
    100% (1)
  • BAB I Luka Bakar 1
    BAB I Luka Bakar 1
    Dokumen23 halaman
    BAB I Luka Bakar 1
    riski novika
    Belum ada peringkat
  • IVA Pendahuluan
    IVA Pendahuluan
    Dokumen5 halaman
    IVA Pendahuluan
    riski novika
    Belum ada peringkat
  • PPT
    PPT
    Dokumen33 halaman
    PPT
    riski novika
    Belum ada peringkat
  • Dka
    Dka
    Dokumen12 halaman
    Dka
    riski novika
    Belum ada peringkat
  • Parotitis
    Parotitis
    Dokumen25 halaman
    Parotitis
    riski novika
    Belum ada peringkat
  • Mor Bili
    Mor Bili
    Dokumen17 halaman
    Mor Bili
    Rezky Koto
    Belum ada peringkat
  • Referat Flour Albus
    Referat Flour Albus
    Dokumen25 halaman
    Referat Flour Albus
    m4mba
    Belum ada peringkat
  • Parotitis
    Parotitis
    Dokumen18 halaman
    Parotitis
    FathulRachman
    0% (1)
  • Word Urtikaria (Fix)
    Word Urtikaria (Fix)
    Dokumen20 halaman
    Word Urtikaria (Fix)
    riski novika
    Belum ada peringkat
  • Gagal Jantung
    Gagal Jantung
    Dokumen48 halaman
    Gagal Jantung
    riski novika
    Belum ada peringkat
  • Referat Gagal Jantung
    Referat Gagal Jantung
    Dokumen23 halaman
    Referat Gagal Jantung
    riski novika
    Belum ada peringkat
  • Hipertensi Krisis (Difteri)
    Hipertensi Krisis (Difteri)
    Dokumen5 halaman
    Hipertensi Krisis (Difteri)
    riski novika
    Belum ada peringkat
  • Isi
    Isi
    Dokumen18 halaman
    Isi
    riski novika
    Belum ada peringkat
  • Kehamilan Gemelli
    Kehamilan Gemelli
    Dokumen38 halaman
    Kehamilan Gemelli
    riski novika
    Belum ada peringkat
  • Isi
    Isi
    Dokumen18 halaman
    Isi
    riski novika
    Belum ada peringkat
  • Tht-Anatomi Hidung
    Tht-Anatomi Hidung
    Dokumen21 halaman
    Tht-Anatomi Hidung
    riski novika
    Belum ada peringkat
  • BAB II Refrat Paru
    BAB II Refrat Paru
    Dokumen43 halaman
    BAB II Refrat Paru
    riski novika
    Belum ada peringkat
  • Kti Sex N Health Rev
    Kti Sex N Health Rev
    Dokumen36 halaman
    Kti Sex N Health Rev
    riski novika
    Belum ada peringkat
  • Parotitis Referat 2
    Parotitis Referat 2
    Dokumen17 halaman
    Parotitis Referat 2
    riski novika
    Belum ada peringkat
  • KP TB
    KP TB
    Dokumen5 halaman
    KP TB
    riski novika
    Belum ada peringkat
  • Refarat Parotitis
    Refarat Parotitis
    Dokumen17 halaman
    Refarat Parotitis
    riski novika
    Belum ada peringkat
  • Parotitis
    Parotitis
    Dokumen17 halaman
    Parotitis
    riski novika
    Belum ada peringkat
  • Case Epilepsi
    Case Epilepsi
    Dokumen15 halaman
    Case Epilepsi
    riski novika
    Belum ada peringkat
  • Tutorial
    Tutorial
    Dokumen13 halaman
    Tutorial
    riski novika
    Belum ada peringkat
  • Isi
    Isi
    Dokumen18 halaman
    Isi
    riski novika
    Belum ada peringkat
  • Kelenjar Saliva
    Kelenjar Saliva
    Dokumen2 halaman
    Kelenjar Saliva
    riski novika
    Belum ada peringkat