PENDAHULUAN
Epilepsi merupakan salah satu kelainan otak yang serius dan umum
terjadi, sekitar lima puluh juta orang di seluruh dunia mengalami kelainan ini.
Angka epilepsi lebih tinggi di negara berkembang. Insiden epilepsy di negara
maju ditemukan sekitar 50/100.000 sementara di negara berkembang mencapai
100/100.000. Di Indonesia belum ada data epidemiologi yang pasti tetapi
diperkirakan ada 900.000 1.800.000 penderita, sedangkan penanggulangan
penyakit ini belum merupakan prioritas dalam Sistem Kesehatan Nasional. Karena
cukup banyaknya penderita epilepsi dan luasnya aspek medik dan psikososial,
maka epilepsi tetap merupakan masalah kesehatan masyarakat sehingga
keterampilan para dokter dan paramedic lainnya dalam penatalaksanaan penyakit
ini perlu ditingkatkan.
TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Defenisi1
Sindrom epilepsi adalah sekumpulan gejala dan tanda klinik epilepsi yang
terjadi secara bersama-sama, yang berhubungan dengan etiologi, umur, awitan
(onset), jenis bangkitan, faktor pencetus, dan kronisitas.
2.2. Epidemiologi2
Epilepsi dapat menyerang anak-anak, orang dewasa, pada orang tua
bahkan bayi yang baru lahir. Di Amerika Serikat, satu dari 100 populasi (1%)
penduduk terserang epilepsi, dan kurang lebih 2,5 juta di antaranya telah
menjalani pengobatan pada lima tahun terakhir. Dalam kepustakaan prevalensi
epilepsi di Indonesia, yaitu sebanyak 5-10%. Dapat diperkirakan bahwa di
Indonesia yang berpenduduk hampir 200 juta, sedikitnya terdapat 1.000.000-
2.000.000 orang penyandang epilepsi (Harsono, 1999). Insidensi epilepsi pada
anak-anak dan remaja diperkirakan berkisar antara 50 sampai 100 per 100.000
anak (Hauser, 1994). Penelitian Heaney dkk (2002) di Inggris dilakukan secara
prospektif terhadap 369.283 orang-tahun pengamatan. Sepanjang pengamatan
dijumpai 190 kasus baru (angka insidensi : 51,5/1000000, 95% CI : 44,4-59,3).
Diantaranya 190 kasus baru epilepsi, 65 diantaranya (34, 2%) dimulai saat pada
usia < 14 tahun.
2.3. Etiologi3
1. Idiopatik
Sebagian besar pasien, penyebab epilepsi tidak diketahui dan biasanya pasien
tidak menunjukkan manifestasi cacat otak dan tidak bodoh. Sebagian dari jenis
idiopatik disebabkan oleh interaksi beberaa faktor genetik. Kata idiopatik
diperuntukkan bagi pasien epilepsi yang menunjukkan bangkitan kejang umum
sejak dari permulaan serangan.
2. Kriptogenik
3. Simtomatik
Hal ini data terjadi bila fungsi otak terganggu oleh berbagai kelainan
intracranial dan ekstrakranial. Penyebab intracranial, misalnya anomali
kongenital, trauma otak,neoplasma otak, lesi ischemia, ensefalopati, abses otak,
jaringan parut. Penyebab yang bermula ekstrakranial dan kemudian menganggu
fungsi otak, misalnya gagal jantung, gangguan pernafasan, gangguan metabolism
(hipoglikemia, hiperglikemia, uremia), gangguan keseimbangan elektrolit,
intoksikasi obat, gangguan hidrasi (dehidrasi, hidrasi lebih). Kelainan structural
tidak cukup untuk menimbulkan bangkitan epilepsi, harus dilacak faktor-faktor
yang ikut berperan dalam mencetuskan bangkitan epilepsi, contohnya yang
mungkin berbeda pada tiap pasien adalah stress, demam, lapar, hipoglikemia,
kurang tidur, alkalosis oleh hiperventilasi, gangguan emosional.
2.4. Patofisiologi4
2.5. Klasifikasi2,6
2) Kejang parsial
Serangan parsial merupakan perubahan-perubahan klinis dan
elektroensefalografik yang menunjukan aktivitas sistem neuron yang berbatas di
salah satu bagian otak (Harsono, 1999). Kejang parsial ini terbagi menjadi:
a) Simple partial seizure
Pasien tidak mengalami kehilangan kesadaran. Terjadi sentakan-sentakan
pada bagian tertentu dari tubuh.
b) Complex partial seizure
Pasien mengalami penurunan kesadaran. Pada penderita dengan penurunan
kesadaran maka dapat terjadi perubahan tingkah laku misalnya automatisme.
Klasifikasi ILAE 1989 untuk epilepsi dan sindrom epilepsi dan sindroma
epilepsi
2.6. Diagnosis
Diagnosa yang tepat sangat penting pada epilepsi. Orang yang terdiagnosa
epilepsi mempunyai beberapa konsekuensi, penderita epilepsi akan meminum
obat dalam jangka waktu yang lama yang berakibat pada kemungkinan adanya
efek yang merugikan akibat OAE (Wibowo & Gofir, 2006). Konsekuensi
psikologis dan sosial ini, dapat menciptakan disabilitas yang lebih besar pada
penderita epilepsi dari disabilitas akibat gangguan otak itu sendiri. Oleh karena itu
lebih baik tidak menegakkan diagnosa epilepsi sebelum dapat memastikan bahwa
itu benar-benar epilepsi (Kusumaastuti, 2008).
Diagnosis epilepsi ditegakkan terutama dari anamnesis, yang didukung
dengan pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjang. Menurut Kusumastuti
(2008), langkah-langkah dalam penegakkan diagnosis dalam praktik klinis adalah
sebagai berikut:
1). Anamnesis
Faktor pencetus, usia, durasi, dan frekuensi bangkitan, interval terpanjang
antara bangkitan, kesadaran antara bangkitan, terapi epilepsi sebelumnya dan
respon terhadap OAE sebelumnya, penyakit yang diderita sekarang, riwayat
penyakit neurologis psikiatrik maupun sistemik yang mungkin menjadi penyebab
maupun komorbiditas, riwayat epilepsi dan penyakit lain dalam keluarga, riwayat
saat berada dalam kandungan-kelahiran-tumbuh kembang, riwayat bangkitan
neonatal/ kejang demam, dan riwayat trauma kepala-stroke- infeksi susunan saraf
pusat.
2). Pemeriksaan fisik umum dan neurologis
Pemeriksaan fisik dilakukan untuk mencari tanda-tanda gangguan yang
berkaitan dengan epilepsi, seperti trauma kepala. Pemeriksaan neurologis
berfungsi untuk mencari tanda-tanda defisit neurologis fokal atau difus yang dapat
berhubungan dengan epilepsi.
2.7. Tatalaksana 7
Tujuan pengobatan untuk mengatasi kejang dengan dosis optimal rendah.
Yang terpenting adalah kadar obat antiepilepsi bebas yang dapat menembus sawar
darah otak dan mencapai reseptor susunan saraf pusat. (Markam, 200)
Serangan epilepsy dapat dihentikan oleh obat dan dapat pula dicegah agar
tidak kambuh. Obat tersebut disebut sebagai obat antikonvulsi atau obat
antiepilepsi.
3. Serangan absens
OAE II : Benzodiazepin
4. Serangan mioklonik
OAE II : Etosuksimid,
2. Harus dilakukan secara bertahap, pada umumnya 25% dari dosis semula,
setiap bulan dalam jangka waktu 3-6 bulan
3. Bila digunakan lebih dari satu OAE, maka penghentian dimulai dari satu
OAE yang bukan utama.
2.8. Prognosis6
Prognosis anak yang menderita epilepsi tergantung bermacam-macam
faktor medis, sosial, dan psikologis. Secara umum prognosis epilepsi berhubungan
dengan beberapa faktor seperti kekerapan kejang, ada atau tidaknya defisit
neurologis atau mental, jenis dan lamanya kejang (Taslim & Sofyan, 1999).
Prognosis epilepsi cukup baik, pada 50-70% penderita epilepsi serangan dapat
dicegah dengan minum obat-obat, sedangkan sekitar 50% pada suatu waktu akan
dapat berhenti minum obat (Harsono, 2005).
Prognosis epilepsi pada anak sangat tergantung pada jenis epilepsi yang
dideritanya.Faktor yang berhubungan dengan baiknya prognosis diantaranya tidak
terdapatnya kelainan neurologis dan mental, tidak kambuhnya kejang, terutama
jenis tonik klonik umum, hanya terdapat satu jenis kejang, dan cepatnya kejang
dikendalikan. Umur onset yang relatif lambat sesudah usia 2 atau 3 tahun
merupakan faktor yang menguntungkan. Risiko kekambuhan setelah penghentian
pengobatan tergantung pada faktor yang sama dengan remisi kejang. Faktor yang
berhubungan dengan prognosis yang buruk diantaranya terdapat penyebab kejang
organik, terdapatnya kelainan neurologis dan atau mental, terdapatnya beberapa
jenis kejang tonik klonik umum yang sering dan atau kejang tonik dan atonik
(Taslim & Sofyan, 1999).
Daftar Pustaka