Anda di halaman 1dari 3

Contoh dari Zero Tolerance Policy

Lewat Bonus Cekik Dulu

Derita Miyanti, 34 tahun, sungguh berkepanjangan.


Betapa tidak, hanya minta uang belanja pada suami kok
bonus-nya harus dicekik dan dicakar dulu. Padahal
jumlahnya berapa, hanya Rp 200.000,- sebulan. Tak
tahan dengan KDRT beruntun atas dirinya, wanita
beranak tiga ini melaporkan Wawan, 39 tahun,
suaminya ke Polsek Kemayoran (Jakpus).

Ekonomi yang mapan, tak menjamin langgengnya


sebuah rumahtangga. Tapi ekonomi yang amburadul,
juga tak menjamin rumahtangga bisa awet lestari.
Contohnya pasangan Miyanti Wawan dari Cempaka
Baru, Jakpus ini. Ketika pacaran dulu, tekad mereka
bulat, tinggal di gubug derita tidak mengapa, makan
nasi sepiring berdua juga malah tambah mesra. Padahal
kalau kata iklan sampo dulu: ah teorrrri!

Wawan yang ingin membahagiakan istrinya, dengan


limpahan harta dan kasih sayang, semua tinggal
wacana. Selama 10 tahun berumahtangga, yang
meningkat hanyalah produksi anak saja, sampai tiga
biji. Sedangkan secara materi, pasangan itu tinggal
tetap di rumah kontrakan, kerjanyapu hanya serabutan.
Kalau istri minta perbaikan nasib, tinggal saja Wawan
bilang: dulu kamu kan janji, siap tinggal di gubug derita.

Idih, janji cinta monyet kok dibawa-bawa. Kalau


cinta kaum bangkotan begini kan yang dibutuhkan
realita. Biar cinta selangit kalau makan tak kenyang
tetap saja perut sakit. Biar cinta setinggi gunung, kalau
makannya hanya pohung (singkong), anak bisa nangis
meraung-raung. Maka cari kerja yang bener dong,
masak istri jadi tukang cuci segala kamu rela, protes
Miyanti sekali waktu.

Miyanti sebetulnya mau jadi tukang cuci karena


kepepet saja, karena penghasilan suami tak mencukupi.
Tapi rupanya Wawan tak mau menghargai pengorbanan
bini. Justru belakangan dia jarang pulang lantaran
selalu risih mendengar tuntutan istri untuk perbaikan
nasib. Jadi asal sudah menggabti pakaian atau sekedar
memenuhi kebutuhan sehari-harinya Wawan pasti pergi
lagi entah ke mana.

Istri Wawan tentu saja tak terima atas sikap


suaminya. Kenapa rumah hanya dijadikan tempat
singgah saja. Kenapa tidak betah di rumah? Apa tidak
kangen sama anak-anak yang masih membutuhkan
bimbingan dan kasih sayang. Dasar kutu kupret, luh.
Kenapa aku nggak betah di rumah, karena aku merasa
sudah tidak cocok lagi sama kamu tahu..., kata
Wawan berterus terang, beberapa bulan lalu.

Pokoknya putusan Wawan tak bisa diganggu gugat.


Tapi jangan cemas, Wawan berjanji takkan
menceraikan. Kita hanya pisah rumah saja, dan untuk
jaminan sehari-hari, aku akan kirim Rp 200.000,-
sebulan, katanya waktu itu.

Konyolnya, janji Wawan hanya retorika belaka. Bila


tak disusul, dia juga tak mengirim duit. Itupun harus
pakai tarik urat dulu, marah-marah. Setelah itu Wawan
membalas dengan cekikan dan cakaran, baru uang itu
keluar. Dan hal demikian selalu terjadi, sehingga
menjadi semacam prosesi atau rukunnya. Cakar dan
cekik, baru uang Rp 200.000,- keluar.

Maka beberapa hari lalu dia mendatangi Polsek


Kemayoran, melaporkan suaminya. Pasal yang
dituduhkan cukup bergengsi: KDRT alias Kekerasan
Dalam Rumah Tangga.

Ini lah yang dimaksud dengan Zero Tolerance


Policy yaitu toleransinya nol atau tak ada sama sekali
toleransi untuk tindakan kekerasan pada wanita.

Anda mungkin juga menyukai