Betapa tidak, hanya minta uang belanja pada suami kok bonus-nya harus dicekik dan dicakar dulu. Padahal jumlahnya berapa, hanya Rp 200.000,- sebulan. Tak tahan dengan KDRT beruntun atas dirinya, wanita beranak tiga ini melaporkan Wawan, 39 tahun, suaminya ke Polsek Kemayoran (Jakpus).
Ekonomi yang mapan, tak menjamin langgengnya
sebuah rumahtangga. Tapi ekonomi yang amburadul, juga tak menjamin rumahtangga bisa awet lestari. Contohnya pasangan Miyanti Wawan dari Cempaka Baru, Jakpus ini. Ketika pacaran dulu, tekad mereka bulat, tinggal di gubug derita tidak mengapa, makan nasi sepiring berdua juga malah tambah mesra. Padahal kalau kata iklan sampo dulu: ah teorrrri!
Wawan yang ingin membahagiakan istrinya, dengan
limpahan harta dan kasih sayang, semua tinggal wacana. Selama 10 tahun berumahtangga, yang meningkat hanyalah produksi anak saja, sampai tiga biji. Sedangkan secara materi, pasangan itu tinggal tetap di rumah kontrakan, kerjanyapu hanya serabutan. Kalau istri minta perbaikan nasib, tinggal saja Wawan bilang: dulu kamu kan janji, siap tinggal di gubug derita.
Idih, janji cinta monyet kok dibawa-bawa. Kalau
cinta kaum bangkotan begini kan yang dibutuhkan realita. Biar cinta selangit kalau makan tak kenyang tetap saja perut sakit. Biar cinta setinggi gunung, kalau makannya hanya pohung (singkong), anak bisa nangis meraung-raung. Maka cari kerja yang bener dong, masak istri jadi tukang cuci segala kamu rela, protes Miyanti sekali waktu.
Miyanti sebetulnya mau jadi tukang cuci karena
kepepet saja, karena penghasilan suami tak mencukupi. Tapi rupanya Wawan tak mau menghargai pengorbanan bini. Justru belakangan dia jarang pulang lantaran selalu risih mendengar tuntutan istri untuk perbaikan nasib. Jadi asal sudah menggabti pakaian atau sekedar memenuhi kebutuhan sehari-harinya Wawan pasti pergi lagi entah ke mana.
Istri Wawan tentu saja tak terima atas sikap
suaminya. Kenapa rumah hanya dijadikan tempat singgah saja. Kenapa tidak betah di rumah? Apa tidak kangen sama anak-anak yang masih membutuhkan bimbingan dan kasih sayang. Dasar kutu kupret, luh. Kenapa aku nggak betah di rumah, karena aku merasa sudah tidak cocok lagi sama kamu tahu..., kata Wawan berterus terang, beberapa bulan lalu.
Pokoknya putusan Wawan tak bisa diganggu gugat.
Tapi jangan cemas, Wawan berjanji takkan menceraikan. Kita hanya pisah rumah saja, dan untuk jaminan sehari-hari, aku akan kirim Rp 200.000,- sebulan, katanya waktu itu.
Konyolnya, janji Wawan hanya retorika belaka. Bila
tak disusul, dia juga tak mengirim duit. Itupun harus pakai tarik urat dulu, marah-marah. Setelah itu Wawan membalas dengan cekikan dan cakaran, baru uang itu keluar. Dan hal demikian selalu terjadi, sehingga menjadi semacam prosesi atau rukunnya. Cakar dan cekik, baru uang Rp 200.000,- keluar.
Maka beberapa hari lalu dia mendatangi Polsek
Kemayoran, melaporkan suaminya. Pasal yang dituduhkan cukup bergengsi: KDRT alias Kekerasan Dalam Rumah Tangga.
Ini lah yang dimaksud dengan Zero Tolerance
Policy yaitu toleransinya nol atau tak ada sama sekali toleransi untuk tindakan kekerasan pada wanita.