Anda di halaman 1dari 30

PROTEIN ENERGI MALNUTRITION

I. PENDAHULUAN

Secara umum gizi kurang disebabkan oleh kekurangan energi atau


protein. Namun keadaan di lapangan menunjukkan bahwa jarang dijumpai
kasus yang menderita defisiensi energy murni ataupun defisiensi protein
murni. Anak dengan defisiensi protein biasanya disertai pula dengan
defisiensi energi atau nutrisi lainnya. Karena itu istilah yang lazim dipakai
adalah malnutrisi energi protein (MEP) atau kekurangan kalori protein
(KKP)1.

PEM merupakan salah satu masalah gizi utama di Indonesia. KEP


disebabkan karena defisiensi makro nutrient (zat gizi makro). Meskipun
sekarang ini terjadi pergeseran masalah gizi dari defisiensi makro nutrient
kepada defisiensi mikro nutrient, namun beberapa daerah di Indonesia
prevalensi KEP masih tinggi ( > 30% ) sehingga memerlukan penanganan
intensif dalam upaya penurunan prevalensi KEP2.

Protein energi malnutrition (PEM) merupakan kekurangan energi


yang mengarah pada defisiensi kronik dari seluruh komponen
macronutrient. Menurut World Health Organization (WHO), malnutrisi
merupakan ketidakseimbangan antara suplai nutrisi dan energi dengan
kebutuhan tubuh untuk pertumbuhan, pemeliharaan dan fungsi tertentu.
Istilah PEM berlaku untuk sekelompok penyakit yang terdiri atas marasmus,
kwashiorkor dan marasmus-kwashiorkor3,4.

Anak dikatakan PEM apabila berat badannya kurang dari 80%


indeks berat badan menurut umur (BB/U) baku World Health Organization-
National Center for Health Statistics (WHO-NCHS), 1983. PEM ringan
apabila BB/U 70% sampai 79,9% dan PEM sedang apabila BB/U 60%
sampai 69,9%.5

1
Penyakit PEM merupakan bentuk malnutrisi yang terdapat terutama
pada anak anak di bawah umur 5 tahun dan kebanyakan di negara
negara sedang berkembang. Bentuk PEM berat memberi gambaran klinis
yang khas, misalnya bentuk kwashiorkor, bentuk marasmus atau bentuk
campuran kwashiorkor marasmus. Pada kenyataannya sebagian besar
penyakit PEM terdapat dalam bentuk ringan. Gejala penyakit PEM ringan
ini tidak jelas, hanya terlihat bahwa berat badan anak lebih rendah jika
dibandingkan dengan anak seumurnya.5

II. EPIDEMIOLOGI
Pada tahun 2000, WHO memperkirakan bahwa anak anak yang
menderita malnutrisi berjumlah sekitar 181.900.000 (32%) di negara
berkembang. Selain itu, sekitar 149.600.000 anak anak di bawah 5 tahun
menderita malnutrisi, diukur berdasarkan berat badan untuk umur.3
Dari data penelitian dermatologi, didapatkan bahwa PEM lebih
sering terjadi pada orang berkult hitam dibandingkan dengan orang berkulit
putih. Menurut suatu penelitian yang dilakukan di salah satu daerah miskin
di Amerika Serikat, 23 35% anak anak dengan umur antara 2 6 tahun,
memiliki berat badan di bawah persentil 15. Survei lain menunjukkan 11%
anak anak di daerah miskin memiliki tinggi badan untuk umur berada di
bawah persentil 5. Di Asia Selatan dan Afrika Timur, setengah dari anak
anak menderita retardasi mental yang disebabkan oleh PEM.3
Menurut data rekam medik RSU Dr. Soetomo Surabaya, kejadian
PEM pada balita (usia 1 5 tahun) pada tahun 2004 sebanyak 1445 anak
balita (19,45%), dengan gizi kurang sebanyak 1235 anak balita (19,35%)
dan gizi buruk sebanyak 210 anak balita (0,1%). 5
III. ETIOLOGI

Di seluruh dunia, penyebab paling umum dari gizi buruk adalah


asupan makanan yang tidak memadai. Pada anak anak usia pra sekolah di
negara negara berkembang, sangat beresiko untuk menderita malnutrisi
karena ketergantungan mereka terhadap orang lain untuk mendapat
makanan, peningkatan kebutuhan energi dan protein, sistem kekebalan

2
tubuh yang belum matang menyebabkan kerentanan lebih besar terhadap
infeksi, dan paparan kondisi yang tidak higienis.3

Faktor lain yang dapat menyebabkan terjadinya malnutrisi adalah


faktor kebersihan yang kurang, faktor ekonomi dan faktor budaya. Selain
itu, ketidaktahuan karena tradisi atau kebiasaan makan makanan tertentu,
cara pengolahan makanan dan penyajian menu makanan di masyarkat serta
pengetahuan ibu juga merupakan salah satu faktor terjadinya kurang gizi
termasuk protein pada balita, karena masih banyak yang beranggapan bila
anaknya sudah merasa kenyang berarti kebutuhan gizi mereka telah
terpenuhi.3,5

Di negara negara berkembang, intake makanan yang tidak adekuat


merupakan penyebab utama terjadinya malnutrisi, malnutrisi energi protein
lebih sering disebabkan oleh penurunan absorbsi makanan atau abnormalitas
metabolisme. Diet yang berlebihan, penanganan alergi makanan yang
kurang memadai serta penyakit kejiwaan seperti anorexia nervosa, dapat
menjadi salah satu penyebab malnutrisi protein energi yang parah.3

Penyebab KEP sangat banyak dan bervariasi. Beberapa faktor bisa


berdiri sendiri atau terjadi bersama-sama. Faktor tersebut adalah faktor
ekonomi, sosial, budaya, pendidikan, gangguan metabolisme, penyakit
jantung bawaan atau penyakit bawaan lainnya. Pada daerah pedesaan
biasanya faktor sosial, ekonomi dan pendidikan yang sering berpengaruh,
KEP timbul pada anggota keluarga rumah tangga miskin oleh karena
kelaparan akibat gagal panen atau hilangnya mata pencaharian sehingga
mempengaruhi pemberian asupan gizi pada anak. Di daerah perkotaan
tampaknya yang sering terjadi karena adanya gangguan sistem saluran cerna
dan gangguan metabolisme sejak lahir, atau malnutrisi sekunder. Gangguan
ini bisa karena penyakit usus, intoleransi makanan, alergi makanan, atau
penyakit metabolisme lainnya.6,7

3
a. Marasmus8
Secara garis besar sebab-sebab marasmus ialah sebagai berikut:
- Pemasukan kalori yang tidak cukup. Marasmus terjadi akibat
masukan kalori yang sedikit, pemberian makanan yang tidak
sesuai dengan yang dianjurkan akibat dari ketidaktahuan orang
tua si anak.
- Kebiasaan makan yang tidak tepat. Seperti mereka yang
mempunyai hubungan orang tua anak terganggu.
- Kelainan metabolik. Misalnya: renal asidosis, idiopathic
hypercalcemia, galactosemia, lactose intolerance.
- Malformasi kongenital. Misalnya: penyakit jantung bawaan,
penyakit Hirschprung, deformitas palatum, palatoschizis,
micrognathia, stenosis pilorus, hiatus hernia, hidrosefalus, cystic
fibrosis pankreas.
b. Kwashiorkor8
Penyebab terjadinya kwashiorkor adalah inadekuatnya intake protein
yang berlangsung kronis. Faktor yang dapat menyebabkan
kwashiorkor antara lain.
1. Pola makan
Protein (dan asam amino) adalah zat yang sangat dibutuhkan anak
untuk tumbuh dan berkembang. Meskipun intake makanan
mengandung kalori yang cukup, tidak semua makanan
mengandung protein/ asam amino yang memadai. Bayi yang masih
menyusui umumnya mendapatkan protein dari ASI yang diberikan
ibunya, namun bagi yang tidak memperoleh ASI protein dari
sumber-sumber lain (susu, telur, keju, tahu dan lain-lain) sangatlah
dibutuhkan. Kurangnya pengetahuan ibu mengenai keseimbangan
nutrisi anak berperan penting terhadap terjadi kwashiorkhor,
terutama pada masa peralihan ASI ke makanan pengganti ASI.
2. Faktor sosial

4
Hidup di negara dengan tingkat kepadatan penduduk yang tinggi,
keadaan sosial dan politik tidak stabil ataupun adanya pantangan
untuk menggunakan makanan tertentu dan sudah berlangsung
turun-turun dapat menjadi hal yang menyebabkan terjadinya
kwashiorkor.
3. Faktor ekonomi
Kemiskinan keluarga/ penghasilan yang rendah yang tidak dapat
memenuhi kebutuhan berakibat pada keseimbangan nutrisi anak
tidak terpenuhi, saat dimana ibunya pun tidak dapat mencukupi
kebutuhan proteinnya.
4. Faktor infeksi dan penyakit lain
Telah lama diketahui bahwa adanya interaksi sinergis antara MEP
dan infeksi. Infeksi derajat apapun dapat memperburuk keadaan
gizi. Dan sebaliknya MEP, walaupun dalam derajat ringan akan
menurunkan imunitas tubuh terhadap infeksi.
c. Marasmic kwashiorkor9
Penyebab marasmic kwashiorkor dapat dibagi menjadi
dua penyebab yaitu malnutrisi primer dan malnutrisi sekunder.
Malnutrisi primer adalah keadaan kurang gizi yang disebabkan oleh
asupan protein maupun energi yang tidak adekuat. Malnutrisi
sekunder adalah malnutrisi yang terjadi karena kebutuhan yang
meningkat, menurunnya absorbsi dan/atau peningkatan kehilangan
protein maupun energi dari tubuh.

IV. KLASIFIKASI
Penentuan prevalensi PEM diperlukan klasifikasi menurut derajat
beratnya PEM. Tingkat PEM I dan PEM II disebut tingkat PEM ringan dan
sedang dan PEM III disebut PEM berat. PEM berat ini terdiri dari
marasmus, kwashiorkor dan gabungan keduanya. Maksud utama
penggolongan ini adalah untuk keperluan perawatan dan pengobatan. Untuk
menentukan klasifikasi diperlukan batasan-batasan yang disebut dengan
ambang batas. Batasan ini di setiap negara relatif berbeda, hal ini tergantung

5
dari kesepakatan para ahli gizi di negara tersebut, berdasarkan hasil
penelitian empiris dan keadaan klinis.10
Klasifikasi PEM menurut Direktorat Bina Gizi Masyarakat Depkes RI
Tahun 1999 dapat diklasifikasikan menjadi 5 kategori, yaitu Overweight,
normal, PEM I(ringan), PEM II (sedang) dan PEM III (berat). Baku rujukan
yang digunakan adalah WHO-NCHS, dengan indeks berat badan menurut
umur.10
Klasifikasi PEM menurut Depkes RI :

Kategori Status BB/U (%Baku WHO-NCHS, 1983)


Overweight Gizi lebih > 120 % Median BB/U
Normal Gizi Baik 80 % 120 % Median BB/U
KEP I Gizi Sedang 70 % 79,9 % Median BB/U
KEP II Gizi Kurang 60 % 69,9 % Median BB/U
KEP III Gizi Buruk < 60 % Median BB/U

Sumber: Depkes RI(1999:26)

Sedangkan klasifikasi kurang Energi Protein menurut standar WHO:

Klasifikasi

Malnutrisi sedang Malnutrisi Berat


Edema Tanpa edema Dengan edema
BB/TB -3SD s/d -2 SD < -3 SD
TB/U -3SD s/d -2 SD < -3 SD

Terdapat tiga macam bentuk dari PEM, yaitu :

1. Marasmus.
Marasmus merupakan suatu kondisi yang disebabkan oleh defisiensi
kalori dan energi. Tidak seperti kwashiorkor, gejala sisa marasmus dapat
dianggap sebagai adaptasi pada anak dalam menghadapi asupan energi yang
tidak mencukupi. Marasmus selalu dihasilkan dari keseimbangan energi
negatif. Ketidakseimbangan dapat dihasilkan dari asupan energi yang
menurun, penurunan jumlah kalori yang dicerna, yang dapat disebabkan
oleh diare, muntah dan luka bakar, peningkatan pemakaian energi, atau

6
kombinasi dari semua faktor tersebut. Anak anak beradaptasi terhadap
defisiensi energi dengan cara mengurangi aktivitas fisik, letargi, dan
penurunan metabolisme energi basal, memperlambat pertumbuhan dan pada
akhirnya penurunan berat badan.7
Perubahan patofisiologi yang terkait dengan defisiensi nutrisi dan
energi dapat digambarkan sebagai:7
a. Perubahan komposisi tubuh,
b. Perubahan metabolik
c. Perubahan anatomi.

2. Kwashiorkor
Kwashiorkor merupakan suatu keadaan yang diindikasikan
berasosiasi dengan defisiensi protein. Kejadian kwashiorkor lebih jarang
dibandingkan dengan marasmus. Terminologi kwashiorkor berasal dari
bahasa Afrika, yang berarti First child second child. Karena, anak
pertama dapat menderita kwashiorkor di masa pertumbuhannya saat anak
kedua mengambil alih posisinya dalam mendapatkan air susu ibu (ASI).7
3. Marasmus Kwashiorkor
Merupakan suatu keadaan yang menggambarkan gabungan antara
keduanya.7
V. PATOFISIOLOGI
Protein Energi Malnutrisi (PEM) adalah manifestasi dari
kurangnya asupan protein dan energi, dalam makanan sehari-hari yang
tidak memenuhi angka kecukupan gizi (AKG), dan biasanya juga diserta
adanya kekurangan dari beberapa nutrisi lainnya. Disebut malnutrisi
primer bila kejadian KEP akibat kekurangan asupan nutrisi, yang pada
umumnya didasari oleh masalah sosial ekonomi, pendidikan serta
rendahnya pengetahuan dibidang gizi. Malnutrisi sekunder bila kondisi
masalah nutrisi seperti diatas disebabkan karena adanya penyakit utama,
seperti kelainan bawaan, infeksi kronis ataupun kelainan pencernaan dan
metabolik, yang mengakibatkan kebutuhan nutrisi meningkat,
penyerapan nutrisi yang turun dan/meningkatnya kehilangan nutrisi.
Makanan yang tidak adekuat, akan menyebabkan mobilisasi berbagai
cadangan makanan untuk menghasilkan kalori demi penyelamatan hidup,

7
dimulai dengan pembakaran cadangan karbohidrat kemudian cadangan
lemak serta protein dengan melalui proses katabolik. Kalau terjadi stres
katabolik (infeksi) maka kebutuhan akan protein akan meningkat,
sehingga dapat menyebabkan defisiensi protein yang relatif, kalau
kondisi ini terjadi pada saat status gizi masih diatas -3 SD (-2SD--3SD),
maka terjadilah kwashiorkor (malnutrisi akut/decompensated
malnutrition). Pada kondisi ini penting peranan radikal bebas dan anti
oksidan. Bila stres katabolik ini terjadi pada saat status gizi dibawah -3
SD, maka akan terjadilah marasmik-kwashiorkor. Kalau kondisi
kekurangan ini terus dapat teradaptasi sampai dibawah -3 SD maka akan
terjadilah marasmik (malnutrisikronik/compensated malnutrition).
Dengan demikian pada malnutrisi dapat terjadi : gangguan pertumbuhan,
atrofi otot, penurunan kadar albumin serum, penurunan hemoglobin,
penurunan sistem kekebalan tubuh, penurunan berbagai sintesa enzim.9
Pengaturan keseimbangan energi diperankan oleh hipotalamus
melalui 3 proses fisiologis, yaitu : pengendalian rasa lapar dan kenyang,
mempengaruhi laju pengeluaran energi dan regulasi sekresi hormon.
Proses dalam pengaturan penyimpanan energi ini terjadi melalui sinyal-
sinyal eferen (yang berpusat di hipotalamus) setelah mendapatkan sinyal
aferen dari perifer (jaringan adipose, usus dan jaringan otot). Sinyal-
sinyal tersebut bersifat anabolik (meningkatkan rasa lapar serta
menurunkan pengeluaran energi) dan dapat pula bersifat katabolik
(anoreksia, meningkatkan pengeluaran energi) dan dibagi menjadi 2
kategori, yaitu sinyal pendek dan sinyal panjang. Sinyal pendek
mempengaruhi porsi makan dan waktu makan, serta berhubungan dengan
faktor distensi lambung dan peptida gastrointestinal, yang diperankan
oleh kolesistokinin (CCK) sebagai stimulator dalam peningkatan rasa
lapar. Sinyal panjang diperankan oleh fat-derived hormon leptin dan
insulin yang mengatur penyimpanan dan keseimbangan energi.9
Apabila asupan energi melebihi dari yang dibutuhkan, maka
jaringan adiposa meningkat disertai dengan peningkatan kadar leptin

8
dalam peredaran darah. Leptin kemudian merangsang anorexigenic
center di hipotalamus agar menurunkan produksi Neuro Peptide Y
(NPY), sehingga terjadi penurunan nafsu makan. Demikian pula
sebaliknya bila kebutuhan energi lebih besar dari asupan energi, maka
jaringan adiposa berkurang dan terjadi rangsangan pada orexigenic
center di hipotalamus yang menyebabkan peningkatan nafsu makan.
Pada sebagian besar penderita obesitas terjadi resistensi leptin, sehingga
tingginya kadar leptin tidak menyebabkan penurunan nafsu makan13.

VI. MANIFESTASI KLINIS

Manifestasi klinis PEM berbeda beda tergantung derajat dan lama


deplesi protein, energi, dan umur penderita, juga tergantung oleh hal lain
seperti adanya kekurangan vitamin dan mineral yang menyertainya. Pada
PEM ringan dan sedang yang ditemukan hanya pertumbuhan yang kurang,
seperti berat badan yang kurang dibandingkan dengan anak yang sehat.3

PEM ringan dan sedang sering ditemukan pada anakanak dari 9


bulan sampai usia 2 tahun, tetapi dapat dijumpai pula pada anak yang lebih
besar.5

Berikut tanda tanda PEM ringan dan sedang dilihat dari


pertumbuhan yang terganggu dapat diketahui melalui :5

1.
Pertumbuhan linier berkurang atau berhenti,

2. Kenaikan berat badan berkurang, terhenti, ada kalanya berat badan


kadang menurun,

3. Ukuran lingkar lengan atas menurun,

4. Maturasi tulang terlambat,

5. Rasio berat terhadap tinggi normal atau menurun,

9
6. Tebal lipat kulit normal atau mengurang,

7. Anemia ringan, diet yang menyebabkan PEM sering tidak mengandung


cukup zat besi dan vitamin vitamin lainnya,

8. Aktivitas dan perhatian mereka berkurang jika dibandingkan dengan


anak sehat,

9. Kelainan kulit maupun rambut jarang ditemukan pada PEM ringan dan
sedang, akan tetapi adakalanya dapat ditemukan.

Pada PEM berat gejala klinisnya khas sesuai dengan defisiensi zat
tersebut. PEM berat ini terdiri dari marasmus, kwashiorkor dan gabungan
keduanya, marasmus kwasiokor.5

Secara klinis terdapat dalam 3 tipe PEM berat yaitu :5,14


1. Kwashiorkor, ditandai dengan :

a. Edema, yang dapat terjadi di seluruh tubuh,

b. Wajah sembab dan membulat,

c. Mata sayu,

d. Rambut tipis, kemerahan seperti rambut jagung, mudah dicabut dan


rontok,

e. Cengeng, rewel dan apatis,

f. Pembesaran hati,

g. Otot mengecil (hipotrofi),

h. Bercak merah ke coklatan di kulit dan mudah terkelupas (crazy


pavement dermatosis),

10
i. Penyakit infeksi terutama akut, diare dan anemia.

2. Marasmus ditandai dengan :

a. Sangat kurus, tampak tulang terbungkus kulit,

b. Wajah seperti orang tua (old man face),

c. Cengeng dan rewel, kulit keriput, jaringan lemak subkutan


minimal/tidak ada,

d. Perut cekung,

e. Iga gambang,

f. Infeksi dan diare.S

11
3. Marasmus kwashiorkor, campuran gejala klinis kwashiorkor dan
marasmus.

12
Untuk membedakan tipe PEM, digunakan sistem Wellcome Trust
Working Party, yaitu sebagai berikut :14

1. Kwashiorkor : berat badan > 60% dari normal + edema

2. Marasmus : berat badan < 60% dari normal tanpa edema

3. Marasmic Kwashiorkor : berat badan > 60% dari norma + edema

KEADAAN GIZI BB Edema BB / TB

(Harvard)

Gizi > 80% (-) N


normal

PEM Underweight 60 80 % (-)


ringan +
= Undernourished
sedang)

PEM Kwashiorkor 60 80 % (+)

13
Marasmus- < 60 % (+)
kwashiorkor
< 60 % (-)
Marasmus
< 60% (-) N
Nutritional Dwarfism

VII. DIAGNOSIS
Kekurangan Energi Protein:
Diagnosis ditegakkan dengan berdasarkan tanda dan gejala klinis
serta pengukuran antropometri. Anak didiagnosis gizi buruk apabila11:
- BB/TB < -3 SD atau , 70 % dari median (marasmus)
- Edema pada kedua punggung kaki sampai seluruh tubuh (kwashiorkor:
BB/TB > - 3 SD atau marasmic kwashiorkor: BB/TB < -3SD).
Jika BB/TB tidak dapat diukur, gunakan tanda klinis berupa anak
tampak sangat kurus (visible severe wasting) dan tidak mempunyai
jaringan lemak bawah kulit terutama pada kedua bahu, lengan, pantat,
paha, tulang iga terlihat jelas, dengan atau tanpa adanya edema12.
Anak anak dengan BB/U <60% belum tentu gizi buruk, karena
mungkin anak tersebut pendek, sehingga tidak terlihat sangat kurus. Anak
seperti itu tidak membutuhkan perawatan di rumah sakit, kecuali jiak
ditemukan penyakit lain yang berat12.

VIII. PENATALAKSANAAN
Langkah pertama pengobatan PEM adalah mengatasi abnormalitas
dari cairan dan elektrolit serta mengobati semua infeksi. Abnormalitas
elektrolit yang paling sering terjadi adalah hipokalemia, hipokalsemia,
hipofosfatemia dan hipomagnesenemia.15

PEM ringan sedang15:

- Gejala klinik (-), tampak kurus/hipotrofi

- Tidak perlu dirawat

- Identifikasi penyebab

- Penyuluhan dan suplementasi

14
PEM berat dirawat inap dengan pengobatan rutin sebagai berikut15:

A. Prinsip dasar penanganan 10 langkah utama penatalaksanaan PEM

a.1. Penanganan hipoglikemia

a.2. Penanganan hipotermi

a.3. Penanganan dehidrasi

a.4. Koreksi gangguan keseimbangan elektrolit

a.5. Pengobatan infeksi

a.6. Pemberian makanan

a.7. Fasilitas tumbuh kejar

a.8. Koreksi defisiensi nutrisi mikro

a.9. Melakukan stimulasi sensorik dan perbaikan mental

a.10. Perencanaan tindak lanjut setelah sembuh

a. Mencegah dan mengatasi hipoglikemi


Semua anak dengan gizi buruk berisiko hipoglikemia (kadar gula
darah < 3 mmol/L atau < 54 mg/dl) sehingga setiap anak gizi buruk harus

15
diberi makan atau larutan glukosa/gula pasir 10% segera setelah masuk
rumah sakit15.
Jika fasilitas setempat tidak memungkinkan untuk memeriksa
kadar gula darah, maka semua anak gizi buruk harus dianggap menderita
hipoglikemia dan segera ditangani sesuai panduan15.
Tatalaksana15
- Segera beri F-75 pertama atau modifikasinya bila penyediaannya
memungkinkan.
- Bila F-75 pertama tidak dapat disediakan dengan cepat, berikan
50 ml larutan glukosa atau gula 10% (1 sendok teh gula dalam 50 ml air)
secara oral atau melalui NGT.
- Lanjutkan pemberian F-75 setiap 23 jam, siang dan malam
selama minimal dua hari.
- Bila masih mendapat ASI teruskan pemberian ASI di luar jadwal
pemberian F-75.
- Jika anak tidak sadar (letargis), berikan larutan glukosa 10%
secara intravena (bolus) sebanyak 5 ml/kg BB, atau larutan glukosa/larutan
gula pasir 50 ml dengan NGT.
- Beri antibiotik.
Pemantauan15
Jika kadar gula darah awal rendah, ulangi pengukuran kadar gula darah
setelah 30 menit.
- Jika kadar gula darah di bawah 3 mmol/L (< 54 mg/dl), ulangi pemberian
larutan glukosa atau gula 10%.
- Jika suhu rektal < 35.5 C atau bila kesadaran memburuk, mungkin
hipoglikemia disebabkan oleh hipotermia, ulangi pengukuran kadar gula
darah dan tangani sesuai keadaan (hipotermia dan hipoglikemia).
Pencegahan15
Beri makanan awal (F-75) setiap 2 jam, mulai sesegera mungkin atau jika
perlu, lakukan rehidrasi lebih dulu. Pemberian makan harus teratur setiap
2-3 jam siang malam.

b. Mencegah dan mengatasi hipotermia

16
Diagnosis
Suhu aksilar < 35.5 C
Tatalaksana15
- Segera beri makan F-75 (jika perlu, lakukan rehidrasi lebih dulu).
- Pastikan bahwa anak berpakaian (termasuk kepalanya). Tutup dengan
selimut hangat dan letakkan pemanas (tidak mengarah langsung kepada
anak) atau lampu di dekatnya, atau letakkan anak langsung pada dada atau
perut ibunya (dari kulit ke kulit: metode kanguru). Bila menggunakan
lampu listrik, letakkan lampu pijar 60 W dengan jarak 60 cm dari tubuh
anak.
- Beri antibiotik sesuai pedoman.
Pemantauan15
- Ukur suhu aksilar anak setiap 2 jam sampai suhu meningkat menjadi 36.5
C atau lebih. Jika digunakan pemanas, ukur suhu tiap setengah jam.
Hentikan pemanasan bila suhu mencapai 36.5 C
- Pastikan bahwa anak selalu tertutup pakaian atau selimut, terutama pada
malam hari
- Periksa kadar gula darah bila ditemukan hipotermia
Pencegahan15
- Letakkan tempat tidur di area yang hangat, di bagian bangsal yang bebas
angin dan pastikan anak selalu tertutup pakaian/selimut
- Ganti pakaian dan seprai yang basah, jaga agar anak dan tempat tidur tetap
kering
- Hindarkan anak dari suasana dingin (misalnya: sewaktu dan setelah mandi,
atau selama pemeriksaan medis)
- Biarkan anak tidur dengan dipeluk orang tuanya agar tetap hangat,
terutama di malam hari
- Beri makan F-75 atau modifikasinya setiap 2 jam, mulai sesegera
mungkin, sepanjang hari, siang dan malam.

c. Mencegah dan mengatasi dehidrasi


Diagnosis
Cenderung terjadi diagnosis berlebihan dari dehidrasi dan estimasi
yang berlebihan mengenai derajat keparahannya pada anak dengan gizi
buruk. Hal ini disebabkan oleh sulitnya menentukan status dehidrasi secara

17
tepat pada anak dengan gizi buruk, hanya dengan menggunakan gejala
klinis saja. Anak gizi buruk dengan diare cair, bila gejala dehidrasi tidak
jelas, anggap dehidrasi ringan15.
Tatalaksana15
- Jangan gunakan infus untuk rehidrasi, kecuali pada kasus dehidrasi berat
dengan syok.
- Beri ReSoMal, secara oral atau melalui NGT, lakukan lebih lambat
disbanding jika melakukan rehidrasi pada anak dengan gizi baik.
- Beri 5 ml/kgBB setiap 30 menit untuk 2 jam pertama
- Setelah 2 jam, berikan ReSoMal 510 ml/kgBB/jam berselang-seling
dengan F-75 dengan jumlah yang sama, setiap jam selama 10 jam.
Jumlah yang pasti tergantung seberapa banyak anak mau, volume tinja
yang keluar dan apakah anak muntah.
- Selanjutnya berikan F-75 secara teratur setiap 2 jam
- Jika masih diare, beri ReSoMal setiap kali diare. Untuk usia < 1
th: 50-100ml setiap buang air besar, usia 1 th: 100-200 ml setiap buang
air besar.

d. Memperbaiki gangguan keseimbangan elektrolit


Pemantauan
Pantau kemajuan proses rehidrasi dan perbaikan keadaan klinis setiap
setengah jam selama 2 jam pertama, kemudian tiap jam sampai 10 jam
berikutnya. Waspada terhadap gejala kelebihan cairan, yang sangat
berbahaya dan bisa mengakibatkan gagal jantung dan kematian15.
Periksalah15:
- frekuensi napas
- frekuensi nadi
- frekuensi miksi dan jumlah produksi urin
- frekuensi buang air besar dan muntah
Selama proses rehidrasi, frekuensi napas dan nadi akan berkurang dan
mulai ada diuresis. Kembalinya air mata, mulut basah cekung mata dan
fontanel berkurang serta turgor kulit membaik merupakan tanda
membaiknya hidrasi, tetapi anak gizi buruk seringkali tidak
memperlihatkan tanda tersebut walaupun rehidrasi penuh telah terjadi,
sehingga sangat penting untuk memantau berat badan.

18
Jika ditemukan tanda kelebihan cairan (frekuensi napas meningkat
5x/menit dan frekuensi nadi 15x/menit), hentikan pemberian
cairan/ReSoMal segera dan lakukan penilaian ulang setelah 1 jam.
Pencegahan15
Cara mencegah dehidrasi akibat diare yang berkelanjutan sama dengan
pada anak dengan gizi baik, kecuali penggunaan cairan ReSoMal sebagai
pengganti larutan oralit standar.
- Jika anak masih mendapat ASI, lanjutkan pemberian ASI
- Pemberian F-75 sesegera mungkin
- Beri ReSoMal sebanyak 50-100 ml setiap buang air besar cair.
Tatalaksana15
- Untuk mengatasi gangguan elektrolit diberikan Kalium dan
Magnesium, yang sudah terkandung di dalam larutan Mineral-Mix yang
ditambahkan ke dalam F-75, F-100 atau ReSoMal
- Gunakan larutan ReSoMal untuk rehidrasi
- Siapkan makanan tanpa menambahkan garam (NaCl).

e. Mengobati infeksi
Pada gizi buruk, gejala infeksi yang biasa ditemukan seperti demam,
seringkali tidak ada, padahal infeksi ganda merupakan hal yang sering
terjadi. Oleh karena itu, anggaplah semua anak dengan gizi buruk
mengalami infeksi saat mereka datang ke rumah sakit dan segera tangani
dengan antibiotik. Hipoglikemia dan hipotermia merupakan tanda infeksi
berat15.
Tatalaksana15
Berikan pada semua anak dengan gizi buruk:
- Antibiotik spektrum luas
- Vaksin campak jika anak berumur 6 bulan dan belum pernah
mendapatkannya, atau jika anak berumur > 9 bulan dan sudah pernah
diberi vaksin sebelum berumur 9 bulan.
- Tunda imunisasi jika anak syok.
Pilihan antibiotik spektrum luas
- Jika tidak ada komplikasi atau tidak ada infeksi nyata, beri Kotrimoksazol
per oral (25 mg SMZ + 5 mg TMP/kgBB setiap 12 jam selama 5 hari
- Jika ada komplikasi (hipoglikemia, hipotermia, atau anak terlihat letargis
atau tampak sakit berat), atau jelas ada infeksi, beri:

19
Ampisilin (50 mg/kgBB IM/IV setiap 6 jam selama 2 hari), dilanjutkan
dengan Amoksisilin oral (15 mg/kgBB setiap 8 jam selama 5 hari) ATAU,
jika tidak tersedia amoksisilin, beri Ampisilin per oral (50 mg/kgBB setiap
6 jam selama 5 hari) sehingga total selama 7 hari
DITAMBAH:
Gentamisin (7.5 mg/kgBB/hari IM/IV) setiap hari selama 7 hari.
- Jika diduga meningitis, lakukan pungsi lumbal untuk memastikan dan
obati dengan Kloramfenikol (25 mg/kg setiap 6 jam) selama 10 hari
- Jika ditemukan infeksi spesifik lainnya (seperti pneumonia, tuberkulosis,
malaria, disentri, infeksi kulit atau jaringan lunak), beri antibiotik yang
sesuai.
- Beri obat antimalaria bila pada apusan darah tepi ditemukan parasit
malaria.
- Walaupun tuberkulosis merupakan penyakit yang umum terdapat, obat anti
tuberkulosis hanya diberikan bila anak terbukti atau sangat diduga
menderita tuberkulosis.
Pemantauan
Jika terdapat anoreksia setelah pemberian antibiotik di atas, lanjutkan
pengobatan sampai seluruhnya 10 hari penuh. Jika nafsu makan belum
membaik, lakukan penilaian ulang menyeluruh pada anak15.

f. Memperbaiki kekurangan zat gizi mikro


Semua anak gizi buruk mengalami defisiensi vitamin dan mineral.
Meskipun sering ditemukan anemia, jangan beri zat besi pada fase awal,
tetapi tunggu sampai anak mempunyai nafsu makan yang baik dan mulai
bertambah berat adannya (biasanya pada minggu kedua, mulai fase
rehabilitasi), karena zat besi dapat memperparah infeksi.15
Tatalaksana
Berikan setiap hari paling sedikit dalam 2 minggu15:
- Multivitamin
- Asam folat (5 mg pada hari 1, dan selanjutnya 1 mg/hari)
- Seng (2 mg Zn elemental/kgBB/hari)
- Tembaga (0.3 mg Cu/kgBB/hari)

20
- Ferosulfat 3 mg/kgBB/hari setelah berat badan naik (mulai fase
rehabilitasi)
- Vitamin A: diberikan secara oral pada hari ke 1 (kecuali bila telah
diberikan sebelum dirujuk), dengan dosis seperti di bawah ini :
Umur dosis
<6 bulan 50 000 (1/2 kapsul biru)
6 12 bulan
100 000 (1 kapsul biru)
1 5 tahun
200 000 (1 kapsul merah)

Jika ada gejala defisiensi vitamin A, atau pernah sakit campak


dalam 3 bulan terakhir, beri vitamin A dengan dosis sesuai umur pada
hari ke 1, 2, dan 15.

g. Memberikan makanan untuk stabilisasi dan transisi


Pada fase awal, pemberian makan (formula) harus diberikan secara hati-
hati sebab keadaan fisiologis anak masih rapuh.15
Tatalaksana
Sifat utama yang menonjol dari pemberian makan awal adalah15:
- Makanan dalam jumlah sedikit tetapi sering dan rendah osmolaritas
maupun rendah laktosa
- Berikan secara oral atau melalui NGT, hindari penggunaan parenteral
- Energi: 100 kkal/kgBB/hari
- Protein: 1-1.5 g/kgBB/hari
- Cairan: 130 ml/kgBB/hari (bila ada edema berat beri 100 ml/kgBB/hari)
- Jika anak masih mendapat ASI, lanjutkan, tetapi pastikan bahwa jumlah
- F-75 yang ditentukan harus dipenuhi seperti di bawah ini:
Hari ke : Frekuensi Volume/kgBB/pemberian Volume/kgBB/hari

1 2 jam 11 ml 130 ml
3 jam 16 ml 130 ml
2
4 jam 22 ml 130 ml
3
5
6
dst
Pada anak dengan nafsu makan baik dan tanpa edema, jadwal di
atas dapat dipercepat menjadi 2-3 hari. Jika jumlah petugas terbatas, beri

21
prioritas untuk pemberian makan setiap 2 jam hanya pada kasus yang
keadaan klinisnya paling berat, dan bila terpaksa upayakan paling tidak
tiap 3 jam pada fase permulaan. Libatkan dan ajari orang tua atau
penunggu pasien15.
Pemberian makan sepanjang malam hari sangat penting agar anak
tidak terlalu lama tanpa pemberian makan (puasa dapat meningkatkan
risiko kematian). Apabila pemberian makanan per oral pada fase awal
tidak mencapai kebutuhan minimal (80 kkal/kgBB/hari), berikan sisanya
melalui NGT. Jangan melebihi 100 kkal/kgBB/hari pada fase awal ini.15
Pada cuaca yang sangat panas dan anak berkeringat banyak maka anak
perlu mendapat ekstra air/cairan.
Pemantauan
Pantau dan catat setiap hari15:
Jumlah makanan yang diberikan dan dihabiskan
Muntah
Frekuensi defekasi dan konsistensi feses
Berat badan.

h. Memberikan makanan untuk tumbuh kejar


Tanda yang menunjukkan bahwa anak telah mencapai fase ini adalah15:
Kembalinya nafsu makan
Edema minimal atau hilang.
Tatalaksana
Lakukan transisi secara bertahap dari formula awal (F-75) ke formula
tumbuh-kejar (F-100) (fase transisi)15:
Ganti F 75 dengan F 100. Beri F-100 sejumlah yang sama dengan F-75
selama 2 hari berturutan.
Selanjutnya naikkan jumlah F-100 sebanyak 10 ml setiap kali pemberian
sampai anak tidak mampu menghabiskan atau tersisa sedikit. Biasanya hal
ini terjadi ketika pemberian formula mencapai 200 ml/kgBB/hari.
Dapat pula digunakan bubur atau makanan pendamping ASI yang
dimodifikasi sehingga kandungan energi dan proteinnya sebanding dengan
F-100.
Setelah transisi bertahap, beri anak:

22
- pemberian makan yang sering dengan jumlah tidak terbatas (sesuai
kemampuan anak)
- energi: 150-220 kkal/kgBB/hari
- protein: 4-6 g/kgBB/hari.
Bila anak masih mendapat ASI, lanjutkan pemberian ASI tetapi pastikan
anak sudah mendapat F-100 sesuai kebutuhan karena ASI tidak
mengandung cukup energi untuk menunjang tumbuh-kejar. Makanan-
terapeutik-siap-saji (ready to use therapeutic food = RUTF) yang
mengandung energi sebanyak 500 kkal/sachet 92g dapat digunakan pada
fase rehabilitasi.

Pemantauan
Hindari terjadinya gagal jantung.
Amati gejala dini gagal jantung (nadi cepat dan napas cepat). Jika nadi
maupun frekuensi napas meningkat (pernapasan naik 5x/menit dan nadi
naik 25x/menit), dan kenaikan ini menetap selama 2 kali pemeriksaan
dengan jarak 4 jam berturut-turut, maka hal ini merupakan tanda bahaya
(cari penyebabnya).
Lakukan segera15:
- kurangi volume makanan menjadi 100 ml/kgBB/hari selama 24 jam
- kemudian, tingkatkan perlahan-lahan sebagai berikut:
- 115 ml/kgBB/hari selama 24 jam berikutnya
- 130 ml/kgBB/hari selama 48 jam berikutnya
- selanjutnya, tingkatkan setiap kali makan dengan 10 ml sebagaimana
dijelaskan sebelumnya.
- atasi penyebab
Penilaian kemajuan
Kemajuan terapi dinilai dari kecepatan kenaikan berat badan setelah taha
ptransisi dan mendapat F-10015:
Timbang dan catat berat badan setiap pagi sebelum diberi makan
Hitung dan catat kenaikan berat badan setiap 3 hari dalam
gram/kgBB/hari
Jika kenaikan berat badan:

23
- kurang (< 5 g/kgBB/hari), anak membutuhkan penilaian ulang
lengkap
- sedang (5-10 g/kgBB/hari), periksa apakah target asupan
terpenuhi, atau mungkin ada infeksi yang tidak terdeteksi.
- baik (> 10 g/kgBB/hari).
i. Memberikan stimulasi untuk tumbuh kembang
- ungkapan kasih sayang
- lingkungan yang ceria
- terapi bermain terstruktur selama 1530 menit per hari
- aktivitas fisik segera setelah anak cukup sehat
- keterlibatan ibu sesering mungkin (misalnya menghibur, memberi makan,
memandikan, bermain)15

j. Mempersiapkan untuk tindak lanjut di rumah


Bila telah tercapai BB/TB > -2 SD (setara dengan >80%) dapat dianggap
anak telah sembuh. Anak mungkin masih mempunyai BB/U rendah karena
anak berperawakan pendek. Pola pemberian makan yang baik dan
stimulasi harus tetap dilanjutkan di rumah15.
Berikan contoh kepada orang tua15:
- Menu dan cara membuat makanan kaya energi dan padat gizi serta
frekuensi pemberian makan yang sering.
- Terapi bermain yang terstruktur
Sarankan:
- Melengkapi imunisasi dasar dan/atau ulangan
- Mengikuti program pemberian vitamin A (Februari dan Agustus)
Pemulangan sebelum sembuh total
Anak yang belum sembuh total mempunyai risiko tinggi untuk kambuh.
Waktu untuk pemulangan harus mempertimbangkan manfaat dan faktor
risiko. Faktor sosial juga harus dipertimbangkan. Anak membutuhkan
perawatan lanjutan melalui rawat jalan untuk menyelesaikan fase
rehabilitasi serta untuk mencegah kekambuhan.15
Beberapa pertimbangan agar perawatan di rumah berhasil15:
Anak seharusnya:
telah menyelesaikan pengobatan antibiotik
mempunyai nafsu makan baik
menunjukkan kenaikan berat badan yang baik

24
edema sudah hilang atau setidaknya sudah berkurang.
Ibu atau pengasuh seharusnya:
mempunyai waktu untuk mengasuh anak
memperoleh pelatihan mengenai pemberian makan yang tepat (jenis,
jumlah dan frekuensi)
mempunyai sumber daya untuk memberi makan anak. Jika tidak
mungkin, nasihati tentang dukungan yang tersedia.
Tindak lanjut bagi anak yang pulang sebelum sembuh
Jika anak dipulangkan lebih awal, buatlah rencana untuk tindak
lanjut sampai anak sembuh15:
Hubungi unit rawat jalan, pusat rehabilitasi gizi, klinik kesehatan local
untuk melakukan supervisi dan pendampingan.
Anak harus ditimbang secara teratur setiap minggu. Jika ada kegagalan
kenaikan berat badan dalam waktu 2 minggu berturut-turut atau terjadi
penurunan berat badan, anak harus dirujuk kembali ke rumah sakit.

Langkah berikutnya adalah penggantian macronutrients yang


sebelumnya ditunda pemberiannya dalam 24 48 jam. Pemberian susu
formula merupakan pilihan. Pada awal dietetik, makanan diberikan sedikit
sedikit tetapi sering. Setelah satu minggu, intake kalori dinaikkan menjadi
175 kkal/kgBB/hari serta pemberian protein sebesar 4 gr/kgBB/hari. Selain
itu, dapat disertai dengan pemberian multivitamin, antara lain :15
Magnesium sulfat 0,4 mEq/kgBB/hari, intramuskular, selama 7 hari
Vitamin B kompleks diberikan selama 3 hari, bersama sama dengan
pemberian vitamin A, phosphorus, zinc, mangan, dan lain lain.

Tujuan penatalaksanaan ialah pemberian makanan yang adekuat,


mengobati penyakit defisiensi gizi dan non gizi (infeksi/infestasi) yang
menyertai PEM, serta mengobati komplikasi.15
1. Dietetik
A. Sasaran diit TKTP :
0 3 tahun : 150 175 kcal/kgBB/hr + protein 3 5 g/kgBB/hr.

25
Lebih 3 tahun : 1,5 kali kebutuhan normal menurut umur.
B. Pemberian makanan :
Secara bertahap ditingkatkan hingga mencapai sasaran.
Disesuaikan dengan toleransi pencernaan (intoleransi laktosa,
malabsorbsi lemak).
Pola makanan dalam bentuk mudah diterima sesuai umur dan berat
badan (dengan ekstra kalori + protein hewani atau nabati).
a. Tahap-tahap pemberian makanan :
Minggu I (tahap stabilisasi) : TKTP atau 80%
kebutuhan normal.
Minggu II (tahap transisi) : 150% kebutuhan
normal.
Minggu III (tahap rehabilitasi) : 150 200%
kebutuhan normal.
b. Keadaan khusus :
Makanan per sonde.
IVFD untuk dehidrasi berat.
Nutrisi parenteral

4. Suplementasi vitamin :

A. Vitamin A :
200.000 SI vitamin A (oily solution) per oral, atau 100.000 SI
vitamin A (water miscible solution) untuk anak > 1 tahun pada
hari
Rutin : 1500 SI per oral setiap hari.
Bila ada Xerophthalmia : 100.000 SI per oral (oily solution)
waktu pulang.
Khusus anak 6 12 bulan : 100.000 SI per oral.
Khusus anak 0 6 bulan : 50.000 SI per oral.

26
B. Vitamin B kompleks :
2 x 1 tablet tiap hari. (Untuk kebutuhan metabolisme yang
meningkat maupun adanya defisiensi B kompleks penyerta).

5. Suplementasi mineral :

A. Potassium (K) :
o Untuk mengembalikan TBP (Total Body Potassium) yang hilang.
o Segera pada hari pertama per oral atau per infus.
o Dosis KCl : dengan diare 2 4 mEq/kg BB/hari, tanpa diare 1 2
mEq/KgBB/hari (N= 1,5 mEq/kgBB/hari, 1 mEq = 75 mg).
o Pemberian 2 3 minggu (kontrol pemeriksaan elektrolit darah dan
EKG).
B. Magnesium (Mg) :
o Bersama dengan Potassium selama 2 3 minggu per oral.
o Dosis MgCl2 : 2 3 mEq/kgBB/hari (N=200-300 mg/hari, 1 mEq
= 50 mg).
C. Sodium (Na) :
o Tidak dilakukan suplementasi langsung dengan NaCl (N = 2
mEq/kgBB/hari, 1 mEq = 60 mg)
o Makanan cair per oral atau infus tidak boleh mengandung Na lebih
dari 70 mEq/liter larutan.
D. Ferrum (Fe) :
o Untuk anemia defisiensi besi :
o Dosis : 3 mg Fe elemental/kgBB/hari per oral.
o Diberikan 1 2 minggu setelah diare teratasi dan masukan protein
sudah memadai.
E. Calsium (Ca) :
o Hanya bila ada gejala klinik defisiensi.

27
o Dosis : 3 g/hari per infus (kecuali bila cairan mengandung Nabic)
atau per oral (Ca gluconas 10%).

IX. PROGNOSIS
Prognosis dari penyakit ini baik, jika diatasi secepat mungkin.
Namun, terdapat beberapa faktor yang dapat mempengaruhi antara lain,
adanya infeksi berat, gagal tumbuh serta abnormalitas elektrolit yang berat
dapat memperburuk prognosis, bahkan dapat menyebabkan kematian.15

28
DAFTAR PUSTAKA

1 Malnutrisi. In: Ismael S, Alatas H, Akib A, dkk, editors. Buku Ajar Ilmu
Kesehatan Anak. Jilid I. Jakarta: Penerbit Fakultas Kedokteran
Universitas Indonesia; 1991. Hal. 163-169
2 A Evawany. Kurang Energi Protein (Protein Energy Malnutrition).
Available from:
http://repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/3741/1/fkmgizi-
evawany.pdf
3 Scheinfeld. N.S. Protein-energy malnutrition [online]. 2010, Augustus 24
[cited on 2014, Juli 28]. Available from :
http://emedicine.medscape.com/.
4 Morley J. E. Protein energy undernutrition [online]. 2007 June [cited on
2014, Juli 28]. Available from : http://www.merckmanual.com/
5 Adila. R. Kurang energi protein [online]. 2008 [cited on 2014, Juli 28].
6 Gunung MPH, I Komang. Dr (1999), Perjalanan Alamiah Penyakit Gizi
Kurang, Lab. Gizi, Jurusan IKM, FK UNUD, Denpasar
7 Departemen Kesehatan Republik Indonesia (2000), Pedoman Tata
Laksana Kurang Energi Protein Pada Anak di Rumah Sakit
Kabupaten/Kodya, Depkes RI Jakarta.
8 Rabi Yaszero. Epidemiologi Penanggulangan Marasmus dan Mengenal
Kwashiorkor
9 Hidajat B, Irawan R, Hidjati S. Kurang Energi Protein (KEP)
http://pediatrik.com/pdt/07110-rswg255.html
10 Barbara Lukee (1984), Principles Of Nutrition and Diet Therapy, Little
Brown and Company, Boston Toronto.
11 Rabinowtz, S.S. Marasmus [online]. 2009, May 20 [cited on 2014, Juli
28]. Available from : http://emedicine.medscape.com/
12 Thomas, D.R. Undernutrition [online]. 2007, Augustus [cited on 2014,
Juli 2014]. Available from : http://merckmanual.com/
13 Barness L.A. and Curran J.S. Nutrisi. Dalam : Nelson W.E, et all. Nelson,
ilmu kesehatan anak. Volume 1. Edisi 15. Jakarta : Penerbit Buku
Kedokteran EGC. 2000. P. 211-3.
14 Bagian Ilmu Kesehatan Anak. Standar pelayanan medis kesehatan anak.
Makassar : SMF Anak RS.Dr. Wahidin Sudirohusodo. 2009. P.73-8

29
15 World Health Organization. 2009. Pelayanan Kesehatan Anak di Rumah
Sakit. Pedoman Bagi Rumah Sakit Rujukan Tingkat Pertama di
Kabupaten /Kota. Jakarta; Bina Mulia. Hal 197-217.

30

Anda mungkin juga menyukai