SURAT KEPUTUSAN
PERATURAN RUMAH SAKIT MITRA MIDIKA
No: /SK DIR /RSMM/X/2015
Tentang
INFORMED CONSENT
MENIMBANG:
1. Bahwa dalam rangka melaksanakan kewajiban yang timbul akibat hubungan terapetik,
RS wajib melakukan tindakan untuk mengatasi gangguan kesehatan pasien.
2. Bahwa tindakan medik yang dilakukan dokter RS penuh dengan ketidakpastian dan
hasilnyapun tidak dapat diperhitungkan secara matematik (pasti).
3. Bahwa hampir semua tindakan medik mengandung risiko / akibat ikutan yang tak
menyenangkan sehingga pasien perlu diberitahu dan diminta persetujuannya.
4. Bahwa untuk mencapai tujuan sebagaimana dimaksud dalam butir (3), dipandang perlu
untuk menetapkan Peraturan Rumah Sakit Tentang Informed Consent.
MENGINGAT:
1. UU No. 23 Tahun 1992 Tentang Kesehatan.
2. UU Hukum Perdata, Republik Indonesia.
3. UU No 29 tahun 2004 tentang Praktek Kedokteran
4. UU No. 8 Th 1999 Tentang Perlindungan Konsumen.
5. PP No. 32 Th 1996 Tentang Tenaga Kesehatan.
6. Permenkes RI No. 585 / Men Kes / Per / IX / 1989 Tentang Persetujuan Tindakan Medik.
7. Surat Keputusan Direktur Jenderal Pelayanan Medik No. HK. 00.06.3.5. 1866. Tanggal
21 April 1999 Tentang Informed Consent.
8. Surat Edaran Dirjen Yanmed Depkes RI. No: YM. 02. 04. 3. 5. 2504. Tg. 10 Juni 1997
Tentang Hak dan Kewajiban Pasien, Dokter dan Rumah Sakit.
9. Kode Etik Kedokteran Indonesia
MEMUTUSKAN
MENETAPKAN: PERATURAN RS.MITRA MEDIKA TENTANG INFORMED CONSENT.
Pasal 1
Setiap tindakan medik, baik diagnostik ataupun terapetik, yang akan dilakukan harus lebih dahulu
mendapatkan persetujuan dari orang yang menurut hukum memiliki hak untuk memberikan
persetujuannya, kecuali pasien dalam keadaan emergensi.
Pasal 2
Persetujuan tindakan medik sebagaimana dimaksud dalam Pasal (1) harus diberikan secara
tegas dan jelas, dalam keadaan sadar, bebas dan tanpa unsur paksaan.
Pasal 3
Sebelum memberikan persetujuannya, kepada orang yang berhak harus diberikan informasi
secukupnya mengenai tindakan medik yang akan dilakukan agar dapat dijadikan dasar bagi
penentuan sikap terhadap tindakan medik yang akan dilakukan, kecuali yang bersangkutan
dengan secara jelas dan tegas menolak menerima informasi (pasien dengan Dont tell me,
doctor syndrome).
Pasal 4
Informasi diberikan secara lisan (agar dapat terjadi komunikasi dua arah), meliputi:
a. Alasan perlunya dilakukan tindakan medik.
b. Manfaat yang diharapkan dari tindakan medik tersebut.
c. Risiko yang mungkin terjadi.
d. Akibat ikutan yang selalu menyertai tindakan medik.
e. Ada tidaknya tindakan medik alternatif.
f. Risiko yang dapat terjadi jika menolak tindakan medik.
Pasal 5
Kewajiban memberikan informasi sepenuhnya menjadi tanggungjawab dokter yang hendak
melakukan tindakan medik.
Pasal 6
Pemberian informasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal (5) tidak dapat didelegasikan kepada
dokter lain, perawat atau bidan guna mencegah hal-hal yang tidak diinginkan.
Pasal 7
Sesudah diberikan informasi, yang bersangkutan dapat menyampaikan persetujuannya secara
terucap (oral consent), tersurat (written consent) atau tersirat (implied consent).
Pasal 8
Jika tindakan medik yang direncanakan mengandung risiko tinggi (operasi atau tindakan invasif
lainnya) maka persetujuan harus diberikan secara tersurat dengan cara menandatangani atau
membubuhkan cap ibu jari tangan kiri pada formulir informed consent yang disediakan.
Pasal 9
Sebelum ditandatangani atau dibubuhi cap ibu jari tangan kiri, formulir tersebut harus sudah diisi
lengkap oleh dokter yang akan melakukan tindakan medik atau oleh tenaga medik lain yang
diberi delegasi, untuk kemudian yang bersangkutan dipersilahkan membacanya, atau jika
dipandang perlu dibacakan di hadapannya.
Pasal 10
Jika orang yang berhak memberikan persetujuan menolak menerima informasi (Dont tell me,
doctor syndome) dan menyerahkan sepenuhnya kepada dokter maka orang tersebut dianggap
telah menyetujui kebijakan medik yang akan dilakukan dokter.
Pasal 11
Apabila yang bersangkutan sesudah menerima informasi, menolak memberikan persetujuannya
maka ia perlu menandatangani surat pernyataan penolakan.
Pasal 12
Jika pasien belum dewasa atau tidak sehat akalnya maka yang berhak memberikan atau
menolak memberikan persetujuan tindakan medik adalah orang tua, keluarga, wali atau
kuratornya.
Pasal 13
Bagi pasien yang sudah menikah maka suami atau isteri dari pasien tersebut tidak diikutsertakan
menandatangani persetujuan, kecuali unt tindakan non-terapetik berimbas kpd mereka sebagai
suami-isteri dan bersifat irreversibel.
Pasal 14
Persetujuan tindakan medik yang sudah diberikan dapat ditarik kembali (dicabut) setiap saat,
kecuali tindakan medik yang direncanakan sudah sampai pada tahapan pelaksanaan yang tidak
mungkin lagi untuk dibatalkan.
Pasal 15
Dalam hal persetujuan diberikan oleh keluarga maka yang berhak menarik kembali (mencabut)
adalah anggota keluarga tersebut atau anggota keluarga lain yang kedudukan hukumnya lebih
berhak untuk bertindak sebagai wali.
Pasal 16
Penarikan kembali (pencabutan) persetujuan tindakan medis harus diberikan secara tertulis
dengan cara menandatangani formulir yang disediakan.
Pasal 17
Semua hal-hal yang sifatnya luar biasa dalam proses mendapatkan persetujuan tindakan medik
harus dicatat dalam rekam medik.
Pasal 18
Seluruh dokumen mengenai persetujuan tindakan medik harus disimpan bersama-sama rekam
medik pasien.
Ditetapkan di :Bekasi
Tanggal : 9 April 2008
TENTANG
PEDOMAN PENYELENGGARAAN REKAM MEDIS
RUMAH SAKIT UMUM MITRA MEDIKA
c. Bahwa untuk maksud tersebut pada butir 1 (satu) dan butir 2 (dua)
perlu ditetapkan dengan Surat Keputusan Direktur RS.Mitra Medika
MEMUTUSKAN
Menetapkan :
Keempat : Surat Keputusan ini mulai berlaku sejak tanggal ditetapkan dengan
ketentuan apabila dikemudian hari terdapat kekeliruan dalam surat
keputusan ini, akan dilakukan perbaikan seperlunya.
Ditetapkan di :Bekasi
Tanggal : 01 Des 2015