MENIMBANG:
1. Bahwa dalam rangka melaksanakan kewajiban yang timbul akibat hubungan
terapetik, RS wajib melakukan tindakan untuk mengatasi gangguan kesehatan
pasien.
2. Bahwa tindakan medik yang dilakukan dokter RS penuh dengan ketidakpastian
dan hasilnyapun tidak dapat diperhitungkan secara matematik (pasti).
3. Bahwa hampir semua tindakan medik mengandung risiko / akibat ikutan yang tak
menyenangkan sehingga pasien perlu diberitahu dan diminta persetujuannya.
4. Bahwa untuk mencapai tujuan sebagaimana dimaksud dalam butir (3), dipandang
perlu untuk menetapkan Peraturan Rumah Sakit Tentang Informed Consent.
MENGINGAT:
1. UU No. 23 Tahun 1992 Tentang Kesehatan.
2. UU Hukum Perdata, Republik Indonesia.
3. UU No 29 tahun 2004 tentang Praktek Kedokteran
4. UU No. 8 Th 1999 Tentang Perlindungan Konsumen.
5. PP No. 32 Th 1996 Tentang Tenaga Kesehatan.
6. Permenkes RI No. 585 / Men Kes / Per / IX / 1989 Tentang Persetujuan Tindakan
Medik.
7. Surat Keputusan Direktur Jenderal Pelayanan Medik No. HK. 00.06.3.5. 1866.
Tanggal 21 April 1999 Tentang Informed Consent.
8. Surat Edaran Dirjen Yanmed Depkes RI. No: YM. 02. 04. 3. 5. 2504. Tg. 10 Juni
1997 Tentang Hak dan Kewajiban Pasien, Dokter dan Rumah Sakit.
9. Kode Etik Kedokteran Indonesia
MEMUTUSKAN
MENETAPKAN: PERATURAN RS. MEDIROS
TENTANG
INFORMED CONSENT.
Pasal 1
Setiap tindakan medik, baik diagnostik ataupun terapetik, yang akan dilakukan harus
lebih dahulu mendapatkan persetujuan dari orang yang menurut hukum memiliki hak
untuk memberikan persetujuannya, kecuali pasien dalam keadaan emergensi.
Pasal 2
Persetujuan tindakan medik sebagaimana dimaksud dalam Pasal (1) harus diberikan
secara tegas dan jelas, dalam keadaan sadar, bebas dan tanpa unsur paksaan.
Pasal 3
Pasal 4
Informasi diberikan secara lisan (agar dapat terjadi komunikasi dua arah), meliputi:
a. Alasan perlunya dilakukan tindakan medik.
b. Manfaat yang diharapkan dari tindakan medik tersebut.
c. Risiko yang mungkin terjadi.
d. Akibat ikutan yang selalu menyertai tindakan medik.
e. Ada tidaknya tindakan medik alternatif.
f. Risiko yang dapat terjadi jika menolak tindakan medik.
Pasal 5
Pasal 6
Pemberian informasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal (5) tidak dapat didelegasikan
kepada dokter lain, perawat atau bidan guna mencegah hal-hal yang tidak diinginkan.
Pasal 7
Pasal 8
Jika tindakan medik yang direncanakan mengandung risiko tinggi (operasi atau tindakan
invasif lainnya) maka persetujuan harus diberikan secara tersurat dengan cara
menandatangani atau membubuhkan cap ibu jari tangan kiri pada formulir informed
consent yang disediakan.
Pasal 9
Sebelum ditandatangani atau dibubuhi cap ibu jari tangan kiri, formulir tersebut harus
sudah diisi lengkap oleh dokter yang akan melakukan tindakan medik atau oleh tenaga
medik lain yang diberi delegasi, untuk kemudian yang bersangkutan dipersilahkan
membacanya, atau jika dipandang perlu dibacakan di hadapannya.
Pasal 10
Jika orang yang berhak memberikan persetujuan menolak menerima informasi (“Don’t
tell me, doctor” syndome) dan menyerahkan sepenuhnya kepada dokter maka orang
tersebut dianggap telah menyetujui kebijakan medik yang akan dilakukan dokter.
Pasal 11
Apabila yang bersangkutan sesudah menerima informasi, menolak memberikan
persetujuannya maka ia perlu menandatangani surat pernyataan penolakan.
Pasal 12
Jika pasien belum dewasa atau tidak sehat akalnya maka yang berhak memberikan atau
menolak memberikan persetujuan tindakan medik adalah orang tua, keluarga, wali atau
kuratornya.
Pasal 13
Bagi pasien yang sudah menikah maka suami atau isteri dari pasien tersebut tidak
diikutsertakan menandatangani persetujuan, kecuali unt tindakan non-terapetik berimbas
kpd mereka sebagai suami-isteri dan bersifat irreversibel.
Pasal 14
Persetujuan tindakan medik yang sudah diberikan dapat ditarik kembali (dicabut)
setiap saat, kecuali tindakan medik yang direncanakan sudah sampai pada tahapan
pelaksanaan yang tidak mungkin lagi untuk dibatalkan.
Pasal 15
Dalam hal persetujuan diberikan oleh keluarga maka yang berhak menarik kembali
(mencabut) adalah anggota keluarga tersebut atau anggota keluarga lain yang kedudukan
hukumnya lebih berhak untuk bertindak sebagai wali.
Pasal 16
Penarikan kembali (pencabutan) persetujuan tindakan medis harus diberikan secara
tertulis dengan cara menandatangani formulir yang disediakan.
Pasal 17
Semua hal-hal yang sifatnya luar biasa dalam proses mendapatkan persetujuan tindakan
medik harus dicatat dalam rekam medik.
Pasal 18
Seluruh dokumen mengenai persetujuan tindakan medik harus disimpan bersama-sama
rekam medik pasien.
Ditetapkan di Jakarta
Tanggal :