Anda di halaman 1dari 37

BAB I

PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Tuberkulosis (TBC atau TB) adalah suatu penyakit infeksi yang disebabkan
oleh bakteri Mikobakterium tuberkulosa. Bakteri ini merupakan bakteri basil yang
sangat kuat sehingga memerlukan waktu lama untuk mengobatinya. Bakteri ini
lebih sering menginfeksi organ paru-paru dibandingkan bagian lain tubuh
manusia.
Insidensi TBC dilaporkan meningkat secara drastis pada dekade terakhir
ini di seluruh dunia. Demikian pula di Indonesia, Tuberkulosis / TBC merupakan
masalah kesehatan, baik dari sisi angka kematian (mortalitas), angka kejadian
penyakit (morbiditas), maupun diagnosis dan terapinya. Dengan penduduk lebih
dari 200 juta orang, Indonesia menempati urutan ketiga setelah India dan
China dalam hal jumlah penderita di antara 22 negara dengan masalah TBC
terbesar di dunia.
Hasil survei Kesehatan Rumah Tangga Depkes RI tahun 1992,
menunjukkan bahwa Tuberkulosis (TBC) merupakan penyakit kedua penyebab
kematian, sedangkan pada tahun 1986 merupakan penyebab kematian keempat.
Pada tahun 1999 WHO Global Surveillance memperkirakan di Indonesia terdapat
583.000 penderita Tuberkulosis / TBC baru pertahun dengan 262.000 BTA
positif atau insidens rate kira-kira 130 per 100.000 penduduk. Kematian akibat
Tuberkulosis / TBC diperkirakan menimpa 140.000 penduduk tiap tahun. Jumlah
penderita TBC paru dari tahun ke tahun di Indonesia terus meningkat.
Saat ini setiap menit muncul satu penderita baru TBC paru, dan setiap dua
menit muncul satu penderita baru TBC paru yang menular. Bahkan setiap
empat menit sekali satu orang meninggal akibat TBC di Indonesia. Sehingga kita
harus waspada sejak dini & mendapatkan informasi lengkap tentang penyakit
TBC.
1.1. Rumusan Masalah
Adapun rumusan masalah dalam makalah ini adalah:
1. Apa yang dimaksud dengan Tuberkulosis Paru (TB Paru) ?

1
2. Bagaimana epidemiologi Tuberkulosis Paru (TB Paru) ?
3. Apa saja etiologi Tuberkulosis Paru (TB Paru) ?
4. Bagaimana penularan dari Tuberkulosis Paru (TB Paru) ?
5. Bagaimana patofisiologi dari Tuberkulosis Paru (TB Paru) ?
6. Apa saja klasifikasi dari Tuberkulosis Paru (TB Paru) ?
7. Bagaimana manifestasi klinis dari Tuberkulosis Paru (TB Paru) ?
8. Bagaimana diagnosis dari Tuberkulosis Paru (TB Paru)?
9. Bagaimana penatalaksanaan/terapi dari Tuberkulosis Paru (TB Paru) ?
1.2. Tujuan Penulisan
Adapaun tujuan dan manfaat dalam penyusunan makalah ini adalah sebagai

berikut:
1. Agar mahasiswa/mahasiswi dapat mengetahui dan memahami definisi

dari Tuberkulosis Paru (TB Paru).


2. Agar mahasiswa/mahasiswi dapat mengetahui dan memahami

epidemiologi Tuberkulosis Paru (TB Paru).


3. Agar mahasiswa/mahasiswi dapat mengetahui dan memahami etiologi

Tuberkulosis Paru (TB Paru).


4. Agar mahasiswa/mahasiswi dapat mengetahui dan memahami

penularan dari Tuberkulosis Paru (TB Paru).


5. Agar mahasiswa/mahasiswi dapat mengetahui dan memahami

patofisiologi dari Tuberkulosis Paru (TB Paru).


6. Agar mahasiswa/mahasiswi dapat mengetahui dan memahami

klasifikasi dari Tuberkulosis Paru (TB Paru).


7. Agar mahasiswa/mahasiswi dapat mengetahui dan memahami

manifestasi klinis dari Tuberkulosis Paru (TB Paru).


8. Agar mahasiswa/mahasiswi dapat mengetahui dan memahami

diagnosis dari Tuberkulosis Paru (TB Paru).


9. Agar mahasiswa/mahasiswi dapat mengetahui dan memahami

penatalaksanaan/terapi dari Tuberkulosis Paru (TB Paru).

2
BAB II

PEMBAHASAN

2.1.Definisi Tuberkulosis Paru (TB Paru)

Tuberkulosis (TB) adalah suatu penyakit granulomatosa kronis

menular yang disebabkan oleh MT. Penyakit ini biasanyamengenai paru,

tetapi dapat menyerang semua organ atau jaringan tubuh, misalnya pada

lymphnode, pleura dan area osteoartikular. Biasanya pada bagian tengah

granuloma tuberkel mengalami nekrosis perkijuan.(Depkes RI, 2002).

Tuberkulosis adalah penyakit infeksius, yang terutama menyerang

parenkim paru. Sebagian besar kuman TBC menyerang paru, tetapi dapat

juga mengenai organ tubuh lainnya termasuk meninges, ginjal, tulang, dan

3
nodus limfe (Smeltzer & Bare, 2002).

Tuberculosis adalah penyakit infeksi menular yang disebabkan oleh

Mycobacterium tuberculosis. Kuman batang tahan aerobic dan tahan asam

inidapat merupakan organisme patogen maupun saprofit (Silvia A Price,

2005). Tuberculosis (TB) adalah penyakit infeksius, yang terutama

menyerang parenkim paru, dengan agen infeksius utama

Mycobacteriumtuberculosis (Smeltzer & Bare, 2001). Tuberculosis paru

adalah penyakit infeksi pada paru yang disebabkan oleh Mycobacterium

tuberculosis yaitu suatu bakteri yang tahan asam (Suriadi, 2001).

2.2. Epidemiologi Tuberkulosis Paru (TB Paru)

Penyakit Tuberkulosis merupakan penyakit yang mudah menular

dimana dalam tahun-tahun terakhir memperlihatkan peningkatan dalam

jumlah kasus baru maupun jumlah angka kematian yang disebabkan oleh TB.

World Health Organitation (WHO) telah memperkirakan bahwa pada tahun

1990 sampai 2000 terjadi peningkatan penderita tuberkulosis dari 7,5 juta

menjadi 10,2 juta dengan jumlah kematian seluruhnya meningkat dari 2,5 juta

menjadi 3,5 juta, kenaikan tersebut disebabkan oleh bertambahnya penduduk

di negara-negara sedang berkembang dan sebagian karena penyebaran infeksi

HIV. Pada tahun 1993, WHO mencanangkan kedaruratan global penyakit TB,

karena di sebagian besar negara di dunia, penyakit TB tidak terkendali. Hal

ini disebabkan banyaknya penderita TB yang tidak berhasil disembuhkan.

WHO melaporkan adanya 3 juta orang meninggal akibat TB tiap tahun dan

diperkirakan 5000 orang tiap harinya. Tiap tahun ada 9 juta penderita TB baru

4
dan 75% kasus kematian dan kesakitan di masyarakat diderita oleh orang-

orang pada umur produktif dari 15 sampai 54 tahun. Di negara-negara miskin

kematian TB merupakan 25% dari seluruh kematian yang sebenarnya dapat

dicegah. Daerah Asia Tenggara menanggung bagian yang terberat dari beban

TB global yakni sekitar 38% dari kasus TB dunia. Dengan munculnya

HIV/AIDS di dunia, diperkirakan penderita TB akan meningkat (Asta

Qauliyah: 2007).

Indonesia sekarang berada pada ranking kelima negara dengan beban

TB tertinggi di dunia. Estimasi prevalensi TB semua kasus adalah sebesar

660.000 dan estimasi insidensi berjumlah 430.000 kasus baru per tahun.

Jumlah kematian akibat TB diperkirakan 61.000 kematian per tahunnya

(Kemenkes RI, 2011). Berdasarkan laporan dari survei prevalen nasional

tahun 2009, tingkat prevalensi Tuberkulosis adalah 244 per 100.000

penduduk. Sedangkan untuk tahun yang sama tingkat kematian karena

Tuberkulosis sebanyak 39 per 100.000 penduduk (Kemenkes RI, 2011).

2.3. Etiologi Tuberkulosis Paru (TB Paru)

5
Tuberkulosis merupakan penyakit infeksi yang disebabkan oleh

Mycobacterium tuberculosis. Mycobacterium tuberculosis ditemukanoleh

Robet Koch pada tahun 1882. Basil tuberculosis dapat hidup dan tetap virulen

beberapa minggu dalam keadaan kering, tetapi dalam cairan mati dalam suhu

600C dalam 15-20 menit. Fraksi protein basil tuberkulosis menyebabkan

nekrosis jaringan, sedangkan lemaknya menyebabkan sifat tahan asam dan

merupakan faktor terjadinya fibrosis dan terbentuknya sel epiteloid dan

tuberkel (FKUI,2005).

Basil ini tidak berspora sehingga mudah dibasmi dengan pemanasan

sinar matahari dan sinar ultraviolet. Ada dua macam mikobakterium

tuberculosis yaitu tipe human dan tipe bovin. Basil tipe bovin berada dalam

susu sapi yang menderita mastitis tuberkulosis usus. Basil tipe human bisa

berada di bercak ludah (droplet) di udara yang berasal dari penderita TBC

terbuka dan orang yang rentan terinfeksi TBC ini bila menghirup bercak ini.

Perjalanan TBC setelah terinfeksi melalui udara. Bakteri juga dapat masuk ke

sistem pencernaan manusia melalui benda/bahan makanan yang

terkontaminasi oleh bakteri. Sehingga dapat menimbulkan asam lambung

meningkat dan dapat menjadikan infeksi lambung. (Wim de Jong, 2005).

Penyebab dari penyakit tuebrculosis paru adalah terinfeksinya paru

oleh micobacterium tuberculosis yang merupakan kuman berbentuk batang

dengan ukuran sampai 4 mycron dan bersifat anaerob. Sifat ini yang

menunjukkan kuman lebih menyenangi jaringan yang tinggi kandungan

oksigennya, sehingga paru-paru merupakan tempat prediksi penyakit

6
tuberculosis. Kuman ini juga terdiri dari asal lemak (lipid) yang membuat

kuman lebih tahan terhadap asam dan lebih tahan terhadap gangguan kimia

dan fisik. Penyebaran mycobacterium tuberculosis yaitu melalui droplet

nukles, kemudian dihirup oleh manusia dan menginfeksi (Depkes RI, 2002).

2.4. Penularan Tuberkulosis Paru (TB Paru)

Penularan tuberkulosis dari seseorang penderita ditentukan oleh

banyaknya kuman yang terdapat dalam paru-paru penderita, pesebaran kuman

tersebut diudara melalui dahak berupa droplet. Penderita TB-Paru yang

mengandung banyak sekali kuman dapat terlihat lansung dengan mikroskop

pada pemeriksaan dahaknya (penderita bta positif) adalah sangat menular.

Penderita TB Paru BTA positif mengeluarkan kuman-kuman keudara dalam

bentuk droplet yang sangat kecil pada waktu batuk atau bersin. Droplet yang

sangat kecil ini mengering dengan cepat dan menjadi droplet yang

mengandung kuman tuberkulosis. Dan dapat bertahan diudara selama

beberapa jam. Droplet yang mengandung kuman ini dapat terhirup oleh orang

lain. Jika kuman tersebut sudah menetap dalam paru dari orang yang

menghirupnya, maka kuman mulai membelah diri (berkembang biak) dan

terjadilah infeksi dari satu orang ke orang lain (Kusnindar,1990).

Faktor risiko TB dibagi menjadi faktor host dan faktor lingkungan :

1. Faktor host terdiri dari:


a. Kebiasaan dan paparan, seseorang yang merokok memiliki risiko yang

lebih tinggi untuk terkena TB.


b. Status nutrisi, seseorang dengan berat badan kurang memiliki risiko

yang lebih tinggi untuk terkena TB. Vitamin D juga memiliki peran

7
penting dalam aktivasi makrofag dan membatasi pertumbuhan

Mycobacterium. Penurunan kadar vitamin D dalam serum akan

meningkatkan risiko terinfeksi TB.


c. Penyakit sistemik, pasien pasien dengan penyakit-penyakit seperti

keganasan, gagal ginjal, diabetes, ulkus peptikum memiliki risiko

untuk terkena TB.


d. Immunocompromised, seseorang yang terkena HIV memiliki risiko

untuk terkena TB primer ataupun reaktifasi TB. Selain itu, pengguna

obat-obatan seperti kortikosteroid dan TNF-inhibitor juga memiliki

risiko untuk terkena TB.


e. Usia, di Amerika dan negara berkembang lainnya, kasus TB lebih

banyak terjadi pada orang tua daripada dewasa muda dan anak- anak

(Horsburgh, 2009).
2. Faktor lingkungan

Orang yang tinggal serumah dengan seorang penderita TB akan berisiko

untuk terkena TB. Selain itu orang yang tinggal di lingkungan yang

banyak terjadi kasus TB juga memiliki risiko lebih tinggi untuk terkena

TB. Selain itu sosioekonomi juga berpengaruh terhadap risiko untuk

terkena TB dimana sosioekonomi rendah memiliki risiko lebih tinggi

untuk terkena TB (Horsburgh, 2009).

2.5. Patofisiologi

Untuk lebih memahami berbagai aspek tuberkulosis, perlu

diketahuiproses patologik yang terjadi. Batuk yang merupakan salah satu

gejala tuberkulosis paru, terjadi karena kelainan patologik pada saluran

pernapasan akibat kuman M.tuberculosis. Kuman tersebut bersifat sangat

8
aerobik, sehingga mudah tumbuh di dalam paru, terlebih di daerah apeks

karena pO2 alveolus paling tinggi.

Kelainan jaringan terjadi sebagai respons tubuh terhadap kuman.

Reaksi jaringan yang karakteristik ialah terbentuknya granuloma,

kumpulan padat sel makrofag. Respons awal pada jaringan yang belum

pernah terinfeksi ialah berupa sebukan sel radang, baik sel leukosit

polimorfonukleus (PMN) maupun sel fagosit mononukleus. Kuman

berproliferasi dalam sel, dan akhirnya mematikan sel fagosit. Sementara

itu sel mononukleus bertambah banyak dan membentuk agregat. Kuman

berproliferasi terus, dan sementara makrofag (yang berisi kuman) mati, sel

fagosit mononukleus masuk dalam jaringan dan menelan kuman yang baru

terlepas. Jadi terdapat pertukaran sel fagosit mononukleusyang intensif dan

berkesinambungan. Sel monosit semakin membesar, intinya menjadi

eksentrik, sitoplasmanya bertambah banyak dan tampak pucat, disebut sel

epiteloid. Sel-sel tersebut berkelompok padat mirip sel epitel tanpa

jaringan diantaranya, namun tidak ada ikatan interseluler dan bentuknya

pun tidak sama dengan sel epitel. Sebagian sel epiteloid ini membentuk sel

datia berinti banyak, dan sebagian sel datia ini berbentuk sel datia

Langhans (inti terletak melingkar di tepi) dan sebagian berupa sel datia

benda asing (inti tersebar dalam sitoplasma).

Lama kelamaan granuloma ini dikelilingi oleh sel limfosit, sel

plasma, kapiler dan fibroblas. Di bagian tengah mulai terjadi nekrosis yang

disebut perkijuan, dan jaringan di sekitarnya menjadi sembab dan jumlah

9
mikroba berkurang. Granuloma dapat mengalami beberapa perkembangan,

bila jumlah mikroba terus berkurang akan terbentuk simpai jaringan ikat

mengelilingi reaksi peradangan. Lama kelamaan terjadi penimbunan

garam kalsium pada bahan perkijuan. Bila garam kalsium berbentuk

konsentrik maka disebut cincin Liesegang . Bila mikroba virulen atau

resistensi jaringan rendah, granuloma membesar sentrifugal, terbentuk

pula granuloma satelit yang dapat berpadu sehingga granuloma membesar.

Sel epiteloid dan makrofag menghasilkan protease dan hidrolase yang

dapat mencairkan bahan kaseosa. Pada saat isi granuloma mencair, kuman

tumbuh cepat ekstrasel dan terjadi perluasan penyakit.

Reaksi jaringan yang terjadi berbeda antara individu yang belum

pernahterinfeksi dan yang sudah pernah terinfeksi. Pada individu yang

telah terinfeksi sebelumnya reaksi jaringan terjadi lebih cepat dan keras

dengan disertai nekrosis jaringan. Akan tetapi pertumbuhan kuman

tretahan dan penyebaran infeksi terhalang. Ini merupakan manifestasi

reaksi hipersensitiviti dan sekaligus imuniti.

Penyakit dapat menyebar melalui getah bening atau pembuluh darah.

Organisme atau lobus dari kelenjar betah bening akan mencapai aliran darah

dalam jumlah kecil, yang kadang-kadang dapat menimbulkan lesi pada

berbagai organ lain. Jenis penyebaran ini dikenal sebagai penyebaran limfo

hematogen yang biasanya sembuh sendiri, penyebaran ini terjadi apabila

fokus nekrotik merusak pembuluh darah sehingga banyak organisme masuk

ke dalam sistem vaskuler dan tersebar ke organ-organ tubuh (Price &Wilson,

10
2005).

2.6. Klasifikasi Tuberkulosis Paru (TB Paru)

11
Tuberkulosis adalah penyakit yang disebabkan oleh infeksi

Mycobacterium tuberculosis yang mampu menginfeksi secara laten ataupun

progresif. Ada beberapa klasifikasi Tb paru yaitu menurut Depkes (2007).

Penentuan klasifikasi penyakit dan tipe pasien tuberculosis memerlukan suatu

definisi kasus yang meliputi empat hal , yaitu:

1. Lokasi atau organ tubuh yang sakit: paru atau ekstra paru;
2. Bakteriologi (hasil pemeriksaan dahak secara mikroskopis): BTA

positif atau BTA negatif;


3. Tingkat keparahan penyakit: ringan atau berat.
4. Riwayat pengobatan TB sebelumnya: baru atau sudah pernah diobati.

Manfaat dan tujuan menentukan klasifikasi dan tipe adalah:

1. Menentukan paduan pengobatan yang sesuai


2. Registrasi kasus secara benar
3. Menentukan prioritas pengobatan TB BTA positif
4. Analisis kohort hasil pengobatan.

Beberapa istilah dalam definisi kasus:

1. Kasus TB : Pasien TB yang telah dibuktikan secara mikroskopis atau

didiagnosis oleh dokter.


2. Kasus TB pasti (definitif) : pasien dengan biakan positif untuk

Mycobacterium tuberculosis atau tidak ada fasilitas biakan, sekurang-

kurangnya 2 dari 3 spesimen dahak SPS hasilnya BTA positif.

Kesesuaian paduan dan dosis pengobatan dengan kategori diagnostik

sangat diperlukan untuk:

1. Menghindari terapi yang tidak adekuat (undertreatment) sehingga

mencegah timbulnya resistensi


2. Menghindari pengobatan yang tidak perlu (overtreatment) sehingga

meningkatkan pemakaian sumber-daya lebih biaya efektif (cost-effective)


3. Mengurangi efek samping

12
A. Klasifikasi berdasarkan ORGAN tubuh yang terkena:

1) Tuberkulosis paru

Adalah tuberkulosis yang menyerang jaringan (parenkim) paru. tidak

termasuk pleura (selaput paru) dan kelenjar pada hilus.

2) Tuberkulosis ekstra paru

Adalah tuberkulosis yang menyerang organ tubuh lain selain paru,

misalnya pleura, selaput otak, selaput jantung (pericardium), kelenjar

limfe, tulang, persendian, kulit, usus, ginjal, saluran kencing, alat kelamin,

dan lain-lain.

B. Klasifikasi berdasarkan hasil pemeriksaan DAHAK mikroskopis, yaitu

pada TB Paru:

1) Tuberkulosis paru BTA positif


a. Sekurang-kurangnya 2 dari 3 spesimen dahak SPS hasilnya BTA

positif.
b. Satu spesimen dahak SPS hasilnya BTA positif dan foto toraks

dada menunjukkan gambaran tuberkulosis.


c. Satu spesimen dahak SPS hasilnya BTA positif dan biakan kuman

TB positif.
d. Satu atau lebih spesimen dahak hasilnya positif setelah 3 spesimen

dahak SPS pada pemeriksaan sebelumnya hasilnya BTA negatif

dan tidak ada perbaikan setelah pemberian antibiotika non OAT.


2) Tuberkulosis paru BTA negatif

Kasus yang tidak memenuhi definisi pada TB paru BTA positif.

Kriteria diagnostik TB paru BTA negatif harus meliputi:

a. Minimal 3 spesimen dahak SPS hasilnya BTA negatif


b. Foto toraks abnormal menunjukkan gambaran tuberkulosis
c. Tidak ada perbaikan setelah pemberian antibiotika non OAT.

13
d. Ditentukan (dipertimbangkan) oleh dokter untuk diberi

pengobatan.

C. Klasifikasi berdasarkan tingkat kePARAHan penyakit.

1) TB paru BTA negatif foto toraks positif

Dibagi berdasarkan tingkat keparahan penyakitnya, yaitu bentuk

berat dan ringan. Bentuk berat bila gambaran foto toraks

memperlihatkan gambaran kerusakan paru yang luas (misalnya proses

far advanced), dan atau keadaan umum pasien buruk.

2) TB ekstra-paru dibagi berdasarkan pada tingkat keparahan

penyakitnya, yaitu:
a. TB ekstra paru ringan, misalnya: TB kelenjar limfe, pleuritis

eksudativa unilateral, tulang (kecuali tulang belakang), sendi, dan

kelenjar adrenal.
b. TB ekstra-paru berat, misalnya: meningitis, milier, perikarditis

peritonitis, pleuritis eksudativa bilateral, TB tulang belakang, TB

usus, TB saluran kemih dan alat kelamin.

Catatan:

Bila seorang pasien TB ekstra paru juga mempunyai TB paru, maka

untuk kepentingan pencatatan, pasien tersebut harus dicatat sebagai

pasien TB paru.
Bila seorang pasien dengan TB ekstra paru pada beberapa organ, maka

dicatat sebagai TB ekstra paru pada organ yang penyakitnya paling

berat.

D. Klasifikasi berdasarkan riwayat pengobatan sebelumnya

14
Klasifikasi berdasarkan riwayat pengobatan sebelumnya dibagi

menjadi beberapa tipe pasien, yaitu:

1. Kasus Baru

Adalah pasien yang BELUM PERNAH diobati dengan OAT atau

sudah pernah menelan OAT kurang dari satu bulan (4 minggu).

2. Kasus Kambuh (Relaps)

Adalah pasien TB yang sebelumnya pernah mendapat pengobatan

tuberkulosis dan telah dinyatakan sembuh atau pengobatan lengkap,

didiagnosis kembali dengan BTA positif (apusan atau kultur).

3. Kasus Putus Berobat (Default/Drop Out/DO)

Adalah pasien TB yang telah berobat dan putus berobat 2 bulan

atau lebih dengan BTA positif.

4. Kasus Gagal (Failure)

Adalah pasien yang hasil pemeriksaan dahaknya tetap positif atau

kembali menjadi positif pada bulan kelima atau lebih selama

pengobatan.

5. Kasus Pindahan (Transfer In)

Adalah pasien yang dipindahkan dari UPK yang memiliki register

TB lain untuk melanjutkan pengobatannya.

6. Kasus lain

Adalah semua kasus yang tidak memenuhi ketentuan diatas. Dalam

kelompok ini termasuk Kasus Kronik, yaitu pasien dengan hasil

pemeriksaan masih BTA positif setelah selesai pengobatan ulangan.

15
Catatan:

TB paru BTA negatif dan TB ekstra paru, dapat juga mengalami

kambuh, gagal, default maupun menjadi kasus kronik. Meskipun sangat

jarang, harus dibuktikan secara patologik, bakteriologik (biakan),

radiologik, dan pertimbangan medis spesialistik.

2.7. Manivestasi Klinis Tuberkulosis Paru (TB Paru)

Tanda dan gejala tuberculosis menurut Perhimpunan Dokter Penyakit

Dalam (2006) dapat bermacam-macam antara lain :

1. Demam
Umumnya subfebris, kadang-kadang 40-410C, keadaan ini sangat

dipengaruhi oleh daya tahan tubuh pasien dan berat ringannya infeksi

kuman tuberculosis yang masuk.


2. Batuk
Terjadi karena adanya iritasi pada bronkus. Batuk ini diperlukan

untuk membuang produk radang. Sifat batuk dimulai dari batuk kering

(non produktif). Keadaan setelah timbul peradangan menjadi produktif

(menghasilkan sputum atau dahak). Keadaan yang lanjut berupa batuk

darah haematoemesis karena terdapat pembuluh darah yang cepat.

Kebanyakan batuk darah pada TBC terjadi pada dinding bronkus.


3. Sesak nafas

Pada gejala awal atau penyakit ringan belum dirasakan sesak nafas.

Sesak nafas akan ditemukan pada penyakit yang sudah lanjut dimana

infiltrasinya sudah setengah bagian paru-paru.

4. Nyeri dada

Gejala ini dapat ditemukan bila infiltrasi radang sudah sampai pada

16
pleura, sehingga menimbulkan pleuritis, akan tetapi, gejala ini akan jarang

ditemukan.

5. Malaise

Penyakit TBC paru bersifat radang yang menahun. Gejala malaise

sering ditemukan anoreksia, berat badan makin menurun, sakit kepala,

meriang, nyeri otot dan keringat malam. Gejala semakin lama semakin

berat dan hilang timbul secara tidak teratur.

Gejala klinis TB dapat dibagi menjadi 2 golongan, yaitu gejala lokal

dan gejala sistemik. Bila organ yang terkena adalah paru maka gejala lokal

ialah gejala respiratori.


1. Gejala respiratori
Gejala respiratori sangat bervariasi dari mulai tidak bergejala sampai

gejala yang cukup berat bergantung dari luas lesi. Gejala respiratorik

terdiri dari :
a. Batuk produktif 2 minggu.
b. Batuk darah.
c. Sesak nafas.
d. Nyeri dada.
2. Gejala sistemik Gejala sistemik yang timbul dapat berupa :
a. Demam.
b. Keringat malam.
c. Anoreksia.
d. Berat badan menurun (PDPI, 2011).

2.8. Diagnosis Tuberkulosis Paru (TB Paru)

Apabila dicurigai seseorang tertular penyakit TBC, maka beberapa hal

yang perlu dilakukan untuk menegakkan diagnosis adalah:

Anamnesa baik terhadap pasien maupun keluarganya.


Pemeriksaan fisik.
Pemeriksaan laboratorium (darah, dahak, cairan otak).
Pemeriksaan patologi anatomi (PA).

17
Rontgen dada (thorax photo).
Uji tuberkulin.

Diagnosis TB Paru

Gejala utama pasien TB paru adalah batuk berdahak selama 2-3

minggu atau lebih. Batuk dapat diikuti dengan gejala tambahan yaitu dahak

bercampur darah, batuk darah, sesak nafas, badan lemas, nafsu makan

menurun, berat badan menurun, malaise, berkeringat malam hari tanpa

kegiatan fisik,demam meriang lebih dari satu bulan. Gejala-gejala tersebut

diatas dapat dijumpai pula pada penyakit paru selain TB, seperti bronkiektasis,

bronkitis kronis, asma, kanker paru, dan lain-lain.

Mengingat prevalensi TB paru di Indonesia saat ini masih tinggi, maka

setiap orang yang datang ke UPK dengan gejala tersebut diatas, dianggap

sebagai seorang tersangka (suspek) pasien TB, dan perlu dilakukan

pemeriksaan dahak secara mikroskopis langsung pada pasien remaja dan

dewasa, serta skoring pada pasien anak.

Pemeriksaan dahak berfungsi untuk menegakkan diagnosis, menilai

keberhasilan pengobatan dan menentukan potensi penularan. Pemeriksaan

dahak untuk penegakan diagnosis pada semua suspek TB dilakukan dengan

mengumpulkan 3 spesimen dahak yang dikumpulkan dalam dua hari

kunjungan yang berurutan berupa dahak Sewaktu-Pagi-Sewaktu (SPS):

S(sewaktu):

18
Dahak dikumpulkan pada saat suspek TB datang berkunjung pertama kali.

Pada saat pulang, suspek membawa sebuah pot dahak untuk

mengumpulkan dahak pagi pada hari kedua.

P(Pagi):

Dahak dikumpulkan di rumah pada pagi hari kedua, segera setelah bangun

tidur. Pot dibawa dan diserahkan sendiri kepada petugas di UPK.

S(sewaktu):

Dahak dikumpulkan di UPK pada hari kedua, saat menyerahkan dahak

pagi.

1. Indikasi Pemeriksaan Foto Toraks

Pada sebagian besar TB paru, diagnosis terutama ditegakkan

dengan pemeriksaan dahak secara mikroskopis dan tidak memerlukan foto

toraks. Namun pada kondisi tertentu pemeriksaan foto toraks perlu

dilakukan sesuai dengan indikasi sebagai berikut:

Hanya 1 dari 3 spesimen dahak SPS hasilnya BTA positif. Pada kasus ini

pemeriksaan foto toraks dada diperlukan untuk mendukung diagnosis TB

paru BTA positif.


Ketiga spesimen dahak hasilnya tetap negatif setelah 3 spesimen dahak

SPS pada pemeriksaan sebelumnya hasilnya BTA negatif dan tidak ada

perbaikan setelah pemberian antibiotika non OAT(non fluoroquinolon).


Pasien tersebut diduga mengalami komplikasi sesak nafas berat yang

memerlukan penanganan khusus (seperti: pneumotorak, pleuritis

eksudativa, efusi perikarditis atau efusi pleural) dan pasien yang

19
mengalami hemoptisis berat (untuk menyingkirkan bronkiektasis atau

aspergiloma).
2. Diagnosis TB Ekstra Paru
Diagnosi TB ekstra paru yaitu :
Gejala dan keluhan tergantung organ yang terkena, misalnya kaku kuduk

pada Meningitis TB, nyeri dada pada TB pleura (Pleuritis), pembesaran

kelenjar limfe superfisialis pada limfadenitis TB dan deformitas tulang

belakang (gibbus) pada spondilitis TB dan lain-lainnya.


Diagnosis pasti sering sulit ditegakkan sedangkan diagnosis kerja dapat

ditegakkan berdasarkan gejala klinis TB yang kuat (presumtif) dengan

menyingkirkan kemungkinan penyakit lain. Ketepatan diagnosis

bergantung pada metode pengambilan bahan pemeriksaan dan

ketersediaan alat-alat diagnostik, misalnya uji mikrobiologi, patologi

anatomi, serologi, foto toraks, dan lain-lain.


3. Uji Tuberkulin

Pada anak, uji tuberkulin merupakan pemeriksaan yang paling

bermanfaat untuk menunjukkan sedang/pernah terinfeksi Mycobacterium

tuberculosis dan sering digunakan dalam Screening TBC. Efektifitas

dalam menemukan infeksi TBC dengan uji tuberkulin adalah lebih dari

90%. Penderita anak umur kurang dari 1 tahun yang menderita TBC aktif

uji tuberkulin positif 100%, umur 12 tahun 92%, 24 tahun 78%, 46

tahun 75%, dan umur 612 tahun 51%. Dari persentase tersebut dapat

dilihat bahwa semakin besar usia anak maka hasil uji tuberkulin semakin

kurang spesifik.

Ada beberapa cara melakukan uji tuberkulin, namun sampai

sekarang cara mantoux lebih sering digunakan. Lokasi penyuntikan uji

20
mantoux umumnya pada bagian atas lengan bawah kiri bagian depan,

disuntikkan intrakutan (ke dalam kulit). Penilaian uji tuberkulin dilakukan

4872 jam setelah penyuntikan dan diukur diameter dari pembengkakan

(indurasi) yang terjadi:

1. Pembengkakan (Indurasi) : 04mm, uji mantoux negatif. Arti klinis :

tidak ada infeksi Mycobacterium tuberculosis.


2. Pembengkakan (Indurasi) : 59mm, uji mantoux meragukan. Hal ini

bisa karena kesalahan teknik, reaksi silang dengan Mycobacterium

atypikal atau pasca vaksinasi BCG.


3. Pembengkakan (Indurasi) : >= 10mm, uji mantoux positif. Arti klinis :

sedang atau pernah terinfeksi Mycobacterium tuberculosis.

2.9. Penatalaksaan/Terapi Tuberkulosis Paru (TB Paru)

1. TERAPI FARMAKOLOGI
Menurut pedoman diagnosis dan penatalaksanaan tuberculosis
diindonesia:
Pengobatan tuberkulosis terbagi menjadi 2 fase yaitu fase intensif
(2-3 bulan) dan fase lanjutan 4 atau 7 bulan. Paduan obat yang digunakan
terdiri dari paduan obat utama dan tambahan.(Pedoman Diagnosis &
Penatalaksanaan Tuberkulosis di Indonesia, 2004)

21
Algoritma Terapi Tuberkulosis Paru

A. OBAT ANTI TUBERKULOSIS (OAT)


Obat yang dipakai:
Jenis obat utama (lini 1)
Rifampisin
INH
Pirazinamid
Streptomisin
Etambutol
Kombinasi dosis tetap (Fixed dose combination)
Kombinasi dosis tetap ini terdiri dari : Empat obat antituberkulosis
dalam satu tablet, yaitu rifampisin 150 mg, isoniazid 75 mg, pirazinamid

22
400 mg dan etambutol 275 mg dan Tiga obat antituberkulosis dalam satu
tablet, yaitu rifampisin 150 mg, isoniazid 75 mg dan pirazinamid. 400 mg
Jenis obat tambahan lainnya (lini 2)
Kanamisin
Kuinolon
Obat lain masih dalam penelitian ; makrolid, amoksilin + asam
klavulanat
Derivat rifampisin dan INH Dosis OAT(Pedoman Diagnosis & Penatalaksanaan
Tuberkulosis di Indonesia, 2004)
a. Rifampisin
10 mg/ kg BB, maksimal 600mg 2-3x/ minggu atau
BB > 60 kg : 600 mg
BB 40-60 kg : 450 mg
BB < 40 kg : 300 mg,
Dosis intermiten 600 mg / kali
b. INH
5 mg/kg BB, maksimal 300mg, 10 mg /kg BB 3 X seminggu,
15 mg/kg BB 2 X semingggu atau
300 mg/hari untuk dewasa.
lntermiten : 600 mg / kali
c. Pirazinamid
fase intensif 25 mg/kg BB, 35 mg/kg BB 3 X semingggu,
50 mg /kg BB 2 X semingggu atau :
BB > 60 kg : 1500 mg
BB 40-60 kg : 1000 mg
BB < 40 kg : 750 mg
d. Etambutol :
fase intensif 20mg /kg BB,
fase lanjutan 15 mg /kg BB, 30mg/kg BB 3X seminggu,

23
45 mg/kg BB 2 X seminggu atau :
BB >60kg : 1500 mg
BB 40 -60 kg : 1000 mg
BB < 40 kg : 750 mg
Dosis intermiten 40 mg/ kgBB/ kali
e. Streptomisin
15mg/kgBB atau
BB >60kg : 1000mg
BB 40 - 60 kg : 750 mg
BB < 40 kg : sesuai BB
f. Kombinasi dosis tetap
Rekomendasi WHO 1999 untuk kombinasi dosis tetap, penderita
hanya minum obat 3-4 tablet sehari selama fase intensif, sedangkan fase
lanjutan dapat menggunakan kombinasi dosis 2 obat antituberkulosis seperti
yang selama ini telah digunakan sesuai dengan pedoman pengobatan. Pada
kasus yang mendapat obat kombinasi dosis tetap tersebut, bila mengalami
efek samping serius harus dirujuk ke rumah sakit / fasiliti yang mampu
menanganinya.(Pedoman Diagnosis & Penatalaksanaan Tuberkulosis di
Indonesia, 2004)
Sedangkan berdasarkan ISO FARMAKOTERAPI pengobatan pada
tuberculosis adalah
1. Pasien yang termasuk kategori 1:
a. Pasien baru TB paru BTA positif
b. Pasien TB paru BTA negative foto toraks positif
Pasien TB ekstra paru
Kategori 1 diobati dengan INH, Rifampisin, Pirazinamid dan Etambutol
selama 2 bulan (fase intensif) setiap hari dan selanjutnya 4 bulan ( fase
lanjutan) dengan INH dan Rifampisin 3 kali dalam seminggu
(2HRZE/4H3R3)
2. Pasien yang termasuk kategori 2 :
a. Pasien gagal
b. Pasien kambuh
c. Pasien dengan pengobatan terputus

24
Kategori 2 diobati dengan INH, Rifampisin, Pirazinamid, Etambutol dan
streptomisin selama 2 bulan setiap hari dan selanjutnya dengan INH,
Rifampisin dan Etambutol selama 5 bulan seminggu 3 kali
(2HRZES/5H3R3E3)
Jika setelah 2 bulan BTA masih positif, fase intensif ditambah 1 bulan
sebagai sisipan (Dengan HRZE)

Tabel 1. Dosis untuk OAT KDT kategori 1 :

Tahap Intensif tiap hari Tahap Lanjutan 3 Kali


Berat Badan selama 56 hari RHZE seminggu selama 16
(150/75/400/275) minggu RH (150/150)
30-37 kg 2 tablet 4KDT 2 tablet 2KDT
38-54 kg 3 tablet 4KDT 3 tablet 2KDT
55-70 kg 4 tablet 4KDT 4 tablet 2KDT
71 kg 5 tablet 4KDT 5 tablet 2KDT
KDT (Kombinasi Dosis Tetap)
Tabel 2. Dosis untuk OAT KDT kategori 2 :

Tahap Lanjutan 3 Kali


Tahap Intensif tiap hari RHZE
seminggu selama 16
Berat Badan (150/75/400/275)+ S
minggu RH (150/150)
Selama 56 hari Selama 28 hari Selama 20 minggu
2 tablet 4KDT + 2 tab 2KDT + 2 tab
30-37 kg 500 mg 2 tablet 2KDT Etambutol
Streptomisin inj
3 tablet 4KDT + 3 tab 2KDT + 3 tab
38-54 kg 750 mg 3 tablet 2KDT Etambutol
Streptomisin inj
4 tablet 4KDT+ 4 tab 2KDT + 4 tab
55-70 kg 1000 mg 4 tablet 2KDT Etambutol
Streptomisin inj
71 kg 5 tablet 4KDT+ 5 tablet 2KDT 5 tab 2KDT + 5 tab

25
1000 mg Etambutol
Streptomisin inj
Catatan :
Untuk pasien yang berumur 60 tahun ke atas, dosis maksimal untuk
streptomisin adalah 500mg tanpa memperhatikan berat badan.
B. EFEK SAMPING OAT :
Sebagian besar penderita TB dapat menyelesaikan pengobatan tanpa efek
samping. Namun sebagian kecil dapat mengalami efek samping, oleh karena itu
pemantauan kemungkinan terjadinya efek samping sangat penting dilakukan
selama pengobatan. Efek samping yang terjadi dapat ringan atau berat, bila efek
samping ringan dan dapat diatasi dengan obat simtomatik maka pemberian OAT
dapat dilanjutkan.
1. Isoniazid (INH)
Efek samping ringan dapat berupa tanda-tanda keracunan pada syaraf tepi,
kesemutan, rasa terbakar di kaki dan nyeri otot. Efek ini dapat dikurangi
dengan pemberian piridoksin dengan dosis 100 mg perhari atau dengan vitamin
B kompleks. Pada keadaan tersebut pengobatan dapatditeruskan. Kelainan lain
ialah menyerupai defisiensi piridoksin (syndrom pellagra) Efek samping berat
dapat berupa hepatitis yang dapat timbul pada kurang lebih 0,5% penderita.
Bila terjadi hepatitis imbas obat atau ikterik, hentikan OAT dan pengobatan
sesuai dengan pedoman TB pada keadaan khusus
2. Rifampisin
Efek samping ringan yang dapat terjadi dan hanya memerlukan pengobatan
simtomatik ialah :
g. Sindrom flu berupa demam, menggigil dan nyeri tulang
h. Sindrom perut berupa sakit perut, mual, tidak nafsu makan, muntah
kadang-kadang diare
i. Sindrom kulit seperti gatal-gatal kemerahan

Efek samping yang berat tapi jarang terjadi ialah :

26
Hepatitis imbas obat atau ikterik, bila terjadi hal tersebut OAT harus
distop dulu dan penatalaksanaan sesuai pedoman TB pada keadaan
khusus
Purpura, anemia hemolitik yang akut, syok dan gagal ginjal. Bila salah
satu dari gejala ini terjadi, rifampisin harus segera dihentikan dan jangan
diberikan lagi walaupun gejalanya telah menghilang
Sindrom respirasi yang ditandai dengan sesak Napas Rifampisin dapat
menyebabkan warna merah pada air seni, keringat, air mata, air liur.
Warna merah tersebut terjadi karena proses metabolisme obat dan tidak
berbahaya. Hal ini harus diberitahukan kepada penderita agar dimengerti
dan tidak perlu khawatir.
3. Pirazinamid
Efek samping utama ialah hepatitis imbas obat (penatalaksanaan sesuai
pedoman TB pada keadaan khusus). Nyeri sendi juga dapat terjadi (beri
aspirin) dan kadangkadang dapat menyebabkan serangan arthritis Gout, hal
ini kemungkinan disebabkan berkurangnya ekskresi dan penimbunan asam
urat. Kadang-kadang terjadi reaksi demam, mual, kemerahan dan reaksi kulit
yang lain.
4. Etambutol
Etambutol dapat menyebabkan gangguan penglihatan berupa
berkurangnya ketajaman, buta warna untuk warna merah dan hijau. Meskipun
demikian keracunan okuler tersebut tergantung pada dosis yang dipakai,
jarang sekali terjadi bila dosisnya 15-25 mg/kg BB perhari atau 30 mg/kg BB
yang diberikan 3 kali seminggu. Gangguan penglihatan akan kembali normal
dalam beberapa minggu setelah obat dihentikan. Sebaiknya etambutol tidak
diberikan pada anak karena risiko kerusakan okuler sulit untuk dideteksi
5. Streptomisin
Efek samping utama adalah kerusakan syaraf kedelapan yang berkaitan
dengan keseimbangan dan pendengaran. Risiko efek samping tersebut akan
meningkat seiring dengan peningkatan dosis yang digunakan dan umur
penderita. Risiko tersebut akan meningkat pada penderita dengan gangguan

27
fungsi ekskresi ginjal. Gejala efek samping yang terlihat ialah telinga
mendenging (tinitus), pusing dan kehilangan keseimbangan. Keadaan ini
dapat dipulihkan bila obat segera dihentikan atau dosisnya dikurangi 0,25gr.
Jika pengobatan diteruskan maka kerusakan alat keseimbangan makin parah
dan menetap (kehilangan keseimbangan dan tuli). Reaksi hipersensitiviti
kadang terjadi berupa demam yang timbul tiba-tiba disertai sakit kepala,
muntah dan eritema pada kulit. Efek samping sementara dan ringan (jarang
terjadi) seperti kesemutan sekitar mulut dan telinga yang mendenging dapat
terjadi segera setelah suntikan. Bila reaksi ini mengganggu maka dosis dapat
dikurangi 0,25gr Streptomisin dapat menembus barrier plasenta sehingga
tidak boleh diberikan pada wanita hamil sebab dapat merusak syaraf
pendengaran janin.
C. PENANGANAN EFEK SAMPING OBAT
a. Efek samping yang ringan seperti gangguan lambung yang dapat diatasi
secara simptomatik
b. Gangguan sendi karena pirazinamid dapat diatasi dengan pemberian
salisilat / allopurinol
c. Efek samping yang serius adalah hepatits imbas obat.
d. Penderita dengan reaksi hipersensitif seperti timbulnya rash pada kulit
yang umumnya disebabkan oleh INH dan rifampisin, dapat dilakukan
pemberian dosis rendah dan desensitsasi dengan pemberian dosis yang
ditingkatkan perlahan-lahan dengan pengawasan yang ketat. Desensitisasi
ini tidak bisa dilakukan terhadap obat lainnya
e. Kelainan yang harus dihentikan pengobatannya adalah trombositopenia,
syok atau gagal ginjal karena rifampisin, gangguan penglihatan karena
etambutol, gangguan nervus VIll karena streptomisin dan dermatitis
exfoliative dan agranulositosis karena thiacetazon
f. Bila sesuatu obat harus diganti maka paduan obat harus diubah hingga
jangka waktu pengobatan perlu dipertimbangkan kembali dengan baik.

2.TERAPI NON FARMAKOLOGI

28
Cara terbaik untuk mencegah TB adalah dengan pengobatan terhadap
pasien yang mengalami infeksi TB sehingga rantai penularan terputus. Tiga
topik yang penting untuk pencegahan TB :
1. Proteksi terhadap paparan TB
Diagnosis dan tatalaksana dini merupakan cara terbaik untuk
menurunkan paparan terhadap TB. Risiko paparan terbesar terdapat di
bangsal TB dan ruang rawat, dimana staf medis dan pasien lain mendapat
paparan berulang dari pasien yang terkena TB. Ada beberapa faktor yang
dapat mempengaruhi kemungkinan transmisi antara lain :
a. Cara batuk
Cara ini merupakan cara yang sederhana, murah, dan efektif dalam
mencegah penularan TB dalam ruangan. Pasien harus menggunakan
sapu tangan untuk menutupi mulut dan hidung, sehingga saat batuk
atau bersin tidak terjadi penularan melalui udara.
b. Menurunkan konsentrasi bakteri
Sinar Matahari dan Ventilasi
Sinar matahari dapat membunuh kuman TB dan ventilasi
yang baik dapat mencegah transmisi kuman TB dalam ruangan.
Filtrasi
Penyaringan udara tergantung dari fasilitas dan sumber
daya yang tersedia. - Radiasi UV bakterisidal M.tuberculosis
sangat sensitif terhadap radiasi UV bakterisidal. Metode radiasi
ini sebaiknya digunakan di ruangan yang dihuni pasien TB yang
infeksius dan ruangan dimana dilakukan tindakan induksi sputum
ataupun bronkoskopi.
c. Masker
Penggunaan masker secara rutin akan menurunkan penyebaran
kuman lewat udara. Jika memungkinkan, pasien TB dengan batuk
tidak terkontrol disarankan menggunakan masker setiap saat. Staf
medis juga disarankan menggunakan masker ketika paparan terhadap
sekret saluran nafas tidak dapat dihindari.

29
d. Rekomendasi NTP (National TB Prevention) terhadap paparan TB:
Segera rawat inap pasien dengan TB paru BTA (+) untuk
pengobatan fase intensif, jika diperlukan.
Pasien sebaiknya diisolasi untuk mengurangi risiko paparan TB ke
pasien lain.
Pasien yang diisolasi sebaiknya tidak keluar ruangan tanpa memakai
masker.
Pasien yang dicurigai atau dikonfirmasi terinfeksi TB sebaiknya
tidak ditempatkan di ruangan yang dihuni oleh pasien yang
immunocompromised, seperti pasien HIV, transplantasi, atau
onkologi.

2.PENGOBATAN SUPORTIF / SIMPTOMATIK

Pengobatan yang diberikan kepada penderita TB perlu diperhatikan


keadaan klinisnya. Bila keadaan klinis baik dan tidak ada indikasi rawat,
dapat rawat jalan. Selain OAT kadang perlu pengobatan tambahan atau
suportif/simtomatik untuk meningkatkan daya tahan tubuh atau mengatasi
gejala/keluhan.

1. Penderita rawat jalan

a. Makan makanan yang bergizi, bila dianggap perlu dapat diberikan


vitamin tambahan (pada prinsipnya tidak ada larangan makanan
untuk penderita tuberkulosis, kecuali untuk penyakit
komorbidnya).
b. Bila demam dapat diberikan obat penurun panas/demam
c. Bila perlu dapat diberikan obat untuk mengatasi gejala batuk,
sesak napas atau keluhan lain.

2. Penderita rawat inap

a. Indikasi rawat inap : TB paru disertai keadaan/komplikasi sbb :


- Batuk darah (profus)

30
- Keadaan umum buruk
- Pneumotoraks
- Empiema
- Efusi pleura masif / bilateral
- Sesak napas berat (bukan karena efusi pleura) TB di luar paru
yang mengancam jiwa :TB paru milier - Meningitis TB
b. Pengobatan suportif / simtomatik yang diberikan sesuai dengan
keadaan klinis dan indikasi rawat.

EVALUASI PENGOBATAN

Evaluasi penderita meliputi evaluasi klinik, bakteriologik,


radiologik, dan efek samping obat, serta evaluasi keteraturan berobat.

1.Evaluasi klinik

Penderita dievaluasi setiap 2 minggu pada 1 bulan pertama


pengobatan selanjutnya setiap 1 bulan
Evaluasi : respons pengobatan dan ada tidaknya efek samping obat
serta ada tidaknya komplikasi penyakit
Evaluasi klinik meliputi keluhan , berat badan, pemeriksaan fisik.

2.Evaluasi bakteriologik

Tujuan untuk mendeteksi ada tidaknya konversi dahak


Pemeriksaan & evaluasi pemeriksaan mikroskopik
- Sebelum pengobatan dimulai
- Setelah 2 bulan pengobatan (setelah fase intensif)
- Pada akhir pengobatan

3.Evaluasi radiologik

Pemeriksaan dan evaluasi foto toraks dilakukan pada:

Sebelum pengobatan
Setelah 2 bulan pengobatan
Pada akhir pengobatan

4.Evaluasi efek samping secara klinik

31
Bila mungkin sebaiknya dari awal diperiksa fungsi hati, fungsi
ginjal dan darah lengkap.
Fungsi hati; SGOT,SGPT, bilirubin, fungsi ginjal : ureum,
kreatinin, dan gula darah , asam urat untuk data dasar penyakit
penyerta atau efek samping pengobatan.
Asam urat diperiksa bila menggunakan pirazinamid.
Pemeriksaan visus dan uji buta warna bila menggunakan
etambutol.
Penderita yang mendapat streptomisin harus diperiksa uji
keseimbangan dan audiometri.
Pada anak dan dewasa muda umumnya tidak diperlukan
pemeriksaan awal tersebut. Yang paling penting adalah evaluasi
klinik kemungkinan terjadi efek samping obat. Bila pada evaluasi
klinik dicurigai terdapat efek samping, maka dilakukan
pemeriksaan laboratorium untuk memastikannya dan penanganan
efek samping obat sesuai pedoman.

5.Evaluasi keteraturan berobat.

Yang tidak kalah pentingnya selain dari paduan obat yang


digunakan adalah keteraturan berobat. Diminum / tidaknya obat
tersebut.Dalam hal ini maka sangat penting penyuluhan atau
pendidikan mengenai penyakit dan keteraturan berobat yang
diberikan kepada penderita, keluarga dan lingkungan.
Ketidakteraturan berobat akan menyebabkan timbulnya masalah
resistensi.

Drug Related Problem

Dalam mengimplementasikan konsep Pharmaceutical Care, Apoteker


mempunyai tanggung jawab sebagai berikut :

1. Memastikan bahwa terapi obat penderita sesuai indikasi, paling efektif, paling
aman, dan dapat dilaksanakan sesuai tujuan

32
2. Mengidentifikasi, memecahkan, dan mencegah masalah terapi obat yang akan
mengganggu .
3. Memastikan bahwa tujuan terapi penderita tercapai dan hasil yang optimal
terealisasi.

Masalah terapi obat meliputi hal-hal berikut ini :

1. Indikasi yang tidak tepat

a. Membutuhkan tambahan terapi obat

b. Tidak memerlukan terapi obat

2. Terapi obat yang tidak efektif

a. Minum obat yang salah

b. Minum obat dengan dosis terlalu kecil

3. Terapi obat tidak aman

4. Minum obat dengan dosis terlalu besar

5. Mengalami adverse drug reaction: alergi, idiosinkrasi, toksisitas,


interaksi obat.

6. Tidak taat minum obat.

33
BAB III

PENUTUP

3.1. Kesimpulan

1. Tuberkulosis merupakan salah satu penyakit yang diketahui banyak

menginfeksi manusia yang disebabkan oleh Mycobacterium tuberculosis

kompleks.
2. Tuberkulosis adalah penyakit menular langsung yang disebabkan oleh

infeksi kuman (basil) Mycobacterium tuberculosis. Faktor risiko TB dibagi

menjadi faktor host dan faktor lingkungan. Faktor host terdiri dari

kebiasaan dan paparan, status nutrisi, penyakit sistemik,

immunocompromised dan usia.

34
3. Tanda dan gejala tuberculosis menurut Perhimpunan Dokter Penyakit

Dalam (2006) dapat bermacam-macam antara lain : demam,batuk,sesak

nafas,nyeri dada dan malaise


4. Jenis obat utama (lini 1) untuk penyakit tuberculosis paru :
Rifampisin
INH
Pirazinamid
Streptomisin
Etambutol
5. Jenis obat tambahan lainnya (lini 2) :
Kanamisin
Kuinolon
Obat lain masih dalam penelitian ; makrolid, amoksilin + asam
klavulanat.
3.2. Saran

Demikianlah isi pembahasan dari makalah penulis. Namun sebagai

manusia yang tidak sempurna kami menyadari bahwa ada banyak kesalahan

serta kekurangan yang terdapat di dalamnya baik dalam dari segi isi,

pengetikan, dan kesalahan-kesalahan lain yang terjadi. Untuk itu penulis

mohon maaf.

Namun segala masukan, tanggapan, saran, serta kritikan yang bersifat

menbangun sangat kami harapkan untuk makalan ini guna bisa bermanfaat

bagi banyak orang. Terima kasih.

35
DAFTAR PUSTAKA

Depkes RI. 2002. Penemuan dan Diagnosa Tuberkulosis. Jakarta : Gerdunas TB.

Depkes RI. 2007.Pedoman Nasional Penanggulangan Tuberkulosis.Edisi 2,

cetakan pertama.

Depkes-IDAI.2008.Diagnosis dan Tatalaksana Tuberkulosis Pada Anak.Kelompok

Kerja TB Anak.

Kusnindar, 1990. Masalah Penyakit tuberkulosis dan pemberantasannya di

Indonesia. Cermin Dunia Kedokteran, No. 63 hal. 8 12.

Perhimpunan Dokter Paru Indonesia.2011.Tuberkulosis:pedoman diagnosis dan


penatalaksanaan di Indonesia. Jakarta : PDPI.

Price, Sylvia A dan Wilson, Lorraine M. Patofisiologi edisi 2. Penerbit buku


kedokteran. Jakarta : EGC.

36
Sjamsuhidajat, Wim de Jong. 2005. Buku Ajar Ilmu Bedah. Edisi II. Jakarta :

EGC.

Smeltzer, Suzanne C. dan Bare, Brenda G. 2002. Buku Ajar Keperawatan

Medikal Bedah Brunner dan Suddart (Ed.8, Vol. 1,2). Alih bahasa oleh

Agung Waluyo. Jakarta : EGC.

Sukandar, Elin Yulinan, DKK. Iso Farmakoterapi Buku 1.jakarta : PT ISFI


Penerbitan.

Suriadi, Rita Yuliani. 2001. Asuhan Keperawatan Pada Penyakit Dalam. Edisi 1.

Jakarta : Agung Setia.

Tuberculosis for Technical Assistance (TBCTA).2006. International Standard for

Tuberculosis Care : Diagnosis, Treatment, Public Health.

World Health Organization. (2009). Treatment of Tuberculosis : Guidelines

forNational Programmes, Geneva: Departemen Kesehatan

RepublikIndonesia.

37

Anda mungkin juga menyukai