Disusun Oleh :
Natural Resources Development Center
Untuk memberikan arahan dalam kegiatan pembelajaran perlu disusun suatu modul yang dapat
digunakan sebagai pedoman dan kumpulan informasi selama proses pembelajaran. Penyusunan
modul ini dimaksudkan untuk membantu peserta workshop/seminar/sosialisasi/pendidikan dan
pelatihan di dalam memahami kebijakan-kebijakan nasional khususnya dari sektor kehutanan yang
terkait dengan perubahan iklim. Setelah mengikuti kegiatan tersebut, peserta diharapkan dapat lebih
memahami dan menerapkannya dalam pelaksanaan tugas pengelolaan kawasan hutan.
Materi yang disampaikan dalam modul Konsep dan Kebijakan Pengelolaan Hutan Produksi
Lestari dan Implementasinya ini baru merupakan pengetahuan dasar yang terkait dengan
kesepakatan internasional dan kebijakan nasional menyikapi isu perubahan iklim dan pemanfaatan
karbon hutan. Masih diperlukan referensi yang lebih banyak untuk memahami lebih lengkap dan
lebih mendalam karena perkembangan isu ini sangat cepat. Konsep-konsep yang bisa diterima dan
diterapkan oleh semua negara juga masih disusun. Khusus untuk Indonesia proses ini juga masih
terus berjalan, sehingga informasi harus terus diperbaharui.
Semoga modul ini dapat berkontribusi didalam upaya membangun kesamaan pemahaman para
pemangku kewenangan kehutanan khususnya dalam pengelolaan hutan produksi terhadap isu
perubahan iklim dan peluang memainkan peran dalam pengurangan target emisi Gas Rumah Kaca
di Indonesia.
Kata Pengantar___________________________________________________________ iii
Daftar Isi__________________________________________________________________ v
Daftar Tabel_______________________________________________________________vi
Daftar Gambar____________________________________________________________ vii
I. PENDAHULUAN_______________________________________________________ 1
- Ruang Lingkup Mata Diklat 1
- Tujuan Pembelajaran 1
- Manfaat Pembelajaran 2
- Latar Belakang 2
II. KONSEPSI PENGELOLAAN HUTAN PRODUKSI LESTARI (PHPL)___________ 7
- Konsepsi PHPL dari Aspek Ekologi, Ekonomi, dan Sosial 7
- Lima Aspek Pokok dalam PHPL 10
- Komponen PHPL dan Keterkaitannya Satu Sama Lain dalam PHPL 11
III. KRITERIA DAN INDIKATOR PENGELOLAAN HUTAN PRODUKSI
LESTARI (PHPL)______________________________________________________ 17
IV. KERANGKA KERJA PENGELOLAAN HUTAN PRODUKSI
LESTARI (PHPL)______________________________________________________ 23
- Kerangka Kerja Pengelolaan Hutan Produksi Lestari (PHPL) 23
- Tahapan Pengelolaan Hutan Produksi Lestari (PHPL) 24
V. PERANAN PENGELOLAAN HUTAN PRODUKSI LESTARI (PHPL)
DALAM PERUBAHAN IKLIM__________________________________________ 35
- Mengapa Hutan Begitu Penting dalam Perubahan Iklim 35
- PHPL dan Perubahan Iklim 37
Daftar Pustaka__________________________________________________________________41
Tabel 1 Perbandingan tingkat perolehan kayu bulat dan limbah tebang antar
metode pembalakan_______________________________________________ 3
Tabel 2 Kriteria dan Indikator Pengelolaan Hutan Produksi Lestari_________________ 20
Mata diklat Konsep Pengelolaan Hutan Produksi Lestari (PHPL) menjelaskan 4 sub-materi
pokok yaitu :
Tujuan Pembelajaran
Penyampaian materi mata diklat Konsep Pengelolaan Hutan Produksi Lestari bertujuan untuk :
2. Membuka wawasan peserta diklat mengenai peranan PHPL dalam perubahan iklim.
3. Memberikan bekal pengetahuan kepada peserta diklat untuk dapat menerapkan konsep
PHPL dalam pelaksanaan tugas
Manfaat Pembelajaran
Manfaat setelah mengikuti pembelajaran materi ini adalah bahwa peserta dapat memahami
dengan jelas tentang :
4. Peranan Pengelolaan Hutan Lestari dalam Perubahan Iklim sehingga dapat menerapkan
konsep tersebut dalam tugas pokok sehari-hari.
Latar Belakang
Ibarat dua sisi pada sekeping mata uang, pengelolaan hutan memberikan dua dimensi yang
berbeda. Dimensi pertama memposisikan peran dunia usaha kehutanan melalui pengusahaan
hutan dan industrialisasi kehutanan menjadi salah satu tulang punggung pertumbuhan ekonomi
nasional selama persoalan besar terkait dengan degradasi kualitas lingkungan. Statistik
beberapa tahun terakhir sebelum terjadinya krisis ekonomi menunjukkan bahwa tak kurang
dari US$ 7-8 miliar devisa per tahun diperoleh dari sektor kehutanan dengan nilai investasi
mencapai US$ 27,7 miliar dengan menyerap 4 juta tenaga kerja baik langsung maupun tidak
langsung. Peran sosial ekonomi sektor kehutanan semakin signifikan karena kemampuannya
dalam mewujudkan pusat-pusat pertumbuhan ekonomi di berbagai wilayah pedalaman. Ia
bahkan menjelma menjadi salah satu sektor yang mampu mendukung terwujudnya integrasi
sosial kultural masyarakat. Namun pada sisi lainnya ternyata pengelolaan hutan utamanya
hutan tropis juga menyisakan suatu persoalan besar, yaitu semakin menurunnya kuantitas dan
kualitas hutan.
Untuk memastikan agar hutan alam mampu memproduksi kayu dalam jumlah memadai
dan secara lestari, tingkat pemanenan tidak boleh melampaui kemampuan hutan untuk
melakukan regenerasi. Kajian terhadap kegiatan pembalakan yang berlangsung di Indonesia
menunjukkan bahwa produksi kayu bulat selama ini telah melebihi tingkat pembalakan yang
lestari. Walaupun data resmi dari pemerintah menunjukkan bahwa produksi kayu bulat
tahunan baru melebihi tingkat pembalakan lestari pada tahun 1994, namun perkiraan dari
FAO mengindikasikan bahwa produksi kayu bulat telah jauh melampaui tingkat pembalakan
lestari sejak tahun 1989 (Resosudarno.I.A.P, 2003)
a. Maraknya kasus penebangan liar dimana datanya tidak dilaporkan sehingga estimasi
data statistik resmi mengenai jumlah kayu yang ditebang lebih rendah dari jumlah yang
sebenarnya.
b. Permintaan kayu bulat yang lebih besar dibandingkan ambang produksi lestari
c. Ukuran dan jumlah kayu bulat yang ditebang (secara legal) tidak sesuai dengan aturan
yang ditetapkan, sehingga laporan tentang jumlah kayu bulat yang ditebang jauh lebih
rendah dibandingkan dengan yang sebenarnya terjadi.
Selain melakukan panen yang berlebihan, data juga menunjukkan bahwa para pemegang
HPH telah menerapkan praktik pembalakan yang tidak efisien (Tabel 1.)
Tabel 1. Perbandingan tingkat perolehan kayu bulat dan limbah tebang antar metode
pembalakan.
Praktik pembalakan
Praktik pembalakan
pada tahun 1990an
Uraian lestari (m3 kayu bulat
(m3 kayu komersial/
komersial/ha)
ha)
Tingkat perolehan
55 72
(recovered)
Limbah tebang 30 13
Kerusakan 18 14
Sumber : Resosudarno I.A.P, 2003
Pemanfaatan sumber daya kayu yang tidak efisien tercermin dari proporsi kayu bulat yang
dapat diperoleh (log recovered), jumlah limbah tebangan (wood waste), serta kerusakan
yang ditimbulkan oleh praktik pembalakan yang dilakukan pada tahun 1990-an jika
dibandingkan dengan dengan praktik pembalakan lestari.
Pemanenan yang dilakukan dengan sistem TPTI telah menyebabkan kerusakan antara
28-48% dari tegakan sisa yang tinggal (Resosudarno, 2003). Kondisi tersebut antara
laintercermin dari banyaknya areal bekas tebangan (logged over area) yang terpencar
di dalam dan disekitar hutan alam. Meskipun beberapa diantara kawasan hutan bekas
tebangan tersebut masih tetap mampu menghasilkan konfigurasi hutan produktif, namun
tidak sedikit bahkan sebagian besar kawasan hutan bekas tebangan tersebut merupakan
kawasan hutan non-produktif, lahan kritis bahkan padang alang-alang. Tidak lain semua
itu disebabkan karena teknik pembalakan konvensional yang mengandalkan tenaga mesin
traktor dan gergaji mesin (chain saw) dilakukan tanpa diawali perencanaan yang matang
dengan mempertimbangkan kondisi riil tegakan hutan.Perbaikan pada metode pembalakan
bisa mengurangi tingkat kerusakan hingga 25-30%.
Pembangunan infrastruktur seperti jalan angkutan kayu dan jalur-jalur penyaradan kayu
juga menyebabkan penambahan luasan area bukaan kawasan hutan. Hal tersebut telah
mengakibatkan kerusakan lingkungan dalam skala masif, khususnya pada area tegakan
yang ditinggalkan. Pemadatan struktur tanah yang terkait dengan kegiatan pembalakan
juga telah menurunkan laju penyerapan air sampai 21 kali lebih rendah sehingga telah
mengakibatkan erosi dan banjir.
4. Metode pembalakan yang menyebabkan konversi hutan tak terencana bagi penggunaan
hutan
Kegiatan pemanenan ulang pada kawasan bekas tebangan sebelum kawasan tersebut siap
untuk dipanen kembali, akan dapat menyebabkan proses deforestasi tak terencana dan
menyebabkan kerusakan stok tegakan dan secara permanen menghambat pertumbuhan.
Praktik melakukan kontrak dari HPH kepada sub-kontraktor yang biasa dilakukan, makin
memperparah masalah di atas, karena para sub-kontraktor tidak bisa dimintai pertanggung
jawaban atas kegiatan yang dilakukannya untuk mencari kayu sebanyak-banyaknya dalam
Pembukaan jalan hutan juga menjadi salah satu penyebab deforestasi yang tidak
direncanakan, karena dengan pembukaan jalan di kawasan hutan dapat memberikan akses
bagi kegiatan-kegiatan lain selain pembalakan, misalnya pembukaan pemukiman baru di
dalam kawasan hutan.
Berdasarkan data yang ada, kawasan bekas tebangan hutan yang direboisasi jumlahnya
sangat minim tidak lebih dari 4% dari total kawasan hutan. Laju penanaman kembali saat
ini tidak mampu mengimbangi laju hilangnya kawasan hutan. Jika laju deforestasi sebesar
kurang lebih 1 juta ha/tahun, paling tidak dibutuhkan kegiatan penanaman kembali dengan
laju yang setara, untuk mengkompensasi deforestasi tahunan yang terjadi akibat berbagai
sebab.
a. Belum terbentuknya unit pengelolaan di tingkat tapak (KPH), sehingga terhadap kegiatan
pengelolaan hutan di lapangan tidak jelas siapa yang harus bertanggung jawab
b. Lemahnya pengawasan yang disebabkan karena jumlah SDM kehutanan terbatas di luar
Jawa. Sebagai perbandingan, area yang harus diawasi oleh setiap ahli kehutanan di luar
Jawa adalah 26.700 ha/orang, sedangkan di Pulau Jawa adalah 6.900 ha/orang.
c. Ketergantungan yang tinggi terhadap sumber daya hutan sebagai sumber pendapatan
daerah dan nasional
d. Kebijakan masa lalu yang melarang ekspor kayu bulat dan integrasi vertikal dalam industri
kehutanan menyebabkan peningkatan kapasitas industri kehutanan jauh melebihi
kapasitas penyediaan bahan baku.
e. Rendahnya tingkat pungutan dan royalti, perolehan rente pemerintah yang rendah
mendorong pembalakan kayu yang tidak efisien (pemegang izin memberikan nilai rendah
pada hasil hutan kayu)
f. Masa daur HPH yang 20 tahun yang jauh lebih pendek dibandingkan daur pemanenan
yang 35 tahun menyebabkan pengelolaan tidak memperhatikan aspek kelestarian,
karena pemegang HPH tidak mempunyai jaminan penguasaan kawasan untuk periode
berikutnya.
g. Masalah kepastian pemilikan lahan terutama di era reformasi yang tumpang tindih, tidak
terdapatnya kepastian lahan menyebabkan terjadinya konflik tenurial yang mengakibatkan
terganggunya upaya menjaga kelestarian hutan.
Dilatarbelakangi oleh keprihatinan yang dimulai dari terjadinya kerusakan hutan akibat
eksploitasi kayu hutan secara tak terkendali, dan upaya pengelolaan hutan secara lestari oleh
masyarakat dunia, maka pada awal tahun 1980-an, keberadaan hutan tropis mulai diagendakan
dalam dialog global. Suatu proses negosiasi yang panjang telah berlangsung dibawah
naungan UNCTAD (United Nations Conference on Trade and Development). Hasilnya adalah
suatu kesepakatan dalam bentuk International Tropical Timber Agreement (ITTA) atau
Perjanjian Kayu Tropis Internasional yang merupakan perjanjian multilateral tentang peredaran
komoditas kayu tropis. ITTA ditandatangani pada 18 November 1983 di Jenewa dan mulai
diberlakukan pada 1 April 1985. ITTA melandasi berdirinya organisasi internasional kayu tropis
atau lebih dikenal dengan International Tropical Timber Organization/ ITTO pada tahun 1986.
Saat ini ITTO beranggotakan 59 negara, yang terdiri dari 34 negara produsen dan 25 negara
konsumen. Indonesia termasuk tiga negara dengan vote terbesar (146) bersama Brasil (159)
dan Malaysia (103).
Adapun tujuan ITTO sebagaimana tertuang dalam ITTA 1994 antara lain adalah memberikan
kontribusi dalam proses pembangunan berkelanjutan. Dalam upaya mendukung pembangunan
berkelanjutan di bidang pengelolaan hutan produksi lestari (PHPL), ITTO telah mengadakan
sidang di Bali pada tahun 1990, yang menghasilkan kesepakatan menetapkan target
pengelolaan hutan lestari tercapai pada tahun 2000. Keputusan ITTO tersebut merupakan
komitmen seluruh negara anggota terhadap pelaksanaan PHL.
Pada prinsipnya konsepsi Pengelolaan Hutan Lestari memiliki tiga tipe yaitu:
Tipe kelestarian ini hanya menitikberatkan pada hasil kayu tahunan atau periodik yang
sama. Untuk mewujudkan tipe kelestarian ini muncul berbagai konsep sistem silvikultur,
penentuan rotasi, teknik penebangan yang tepat dan sebagainya
Kelestarian potensi hasil hutan berorientasi pada hutan sebagai pabrik kayu. Pengelola hutan
memperoleh kesempatan untuk memaksimumkan produktivitas kawasan hutan dengan
cara tidak hanya menghasilkan produk konvensional sehingga diperoleh keuntungan uang
yang sebesar-besarnya.
Kelestarian sumber daya hutan menitikberatkan kepada hutan sebagai ekosistem yang
menghasilkan kayu maupun non-kayu, pelindung tata air dan kesuburan tanah, penjaga
kelestarian lingkungan, serta berfungsi sebagai gudang untuk kelangsungan hidup berbagai
macam sumber genetik, baik flora maupun fauna.
Tipe kelestarian sumber daya hutan, adalah tipe pengelolaan hutan lestari yang menjadi target
pembangunan sektor kehutanan yang berkelanjutan.
Expert Panel ITTO menyimpulkan bahwa definisi operasional mengenai Pengelolaan Hutan
Lestari perlu mencakup unsur-unsur sebagai berikut :
1. Hasil yang berkesinambungan berupa kayu, hasil hutan lainnya dan jasa
2. Mempertahankan tingkat biodiversity yang tinggi dalam konteks perencanaan tata guna
lahan yang integratif yang mencakup jaringan kerja kawasan lindung dan kawasan konservasi
3. Menjaga stabilitas fungsi dan ekosistem hutan dengan penekanan pada pemeliharaan
produktivitas tempat tumbuh (site productivity), menjaga sumber benih (plasma nutfah) dan
unsur biodiversity yang diperlukan untuk regenerasi dan pemeliharaan hutan.
4. Meningkatkan dampak positif pada areal disekitar hutan dan sekaligus mengambil langkah-
langkah untuk meminimalkan dampak yang merugikan
Ilustrasi mengenai pengelolaan hutan lestari sebagaimana didefinisikan tersebut diatas dapat
digambarkan sebagai berikut :
Produksi Ekologi
Sosial
Sasaran SFM
Hutan mempunyai fungsi produksi mempunyai nilai ekonomi, seperti kayu, rotan, gaharu dan
sebagainya. Hutan mempunyai fungsi ekologi karena hutan sangat penting untuk kelangsungan
mahluk hidup manusia, hewan dan tumbuhan. Fungsi ekologi tersebut diantaranya adalah
menyerap karbondioksida sekaligus menghasilkan oksigen bagi kehidupan, sumber air,
pencegah erosi dan banjir, habitat hewan, sumber keanekaragaman hayati, dsb. Hutan juga
mempunyai fungsi sosial karena hutan memberikan manfaat bagi masyarakat diantaranya
sumber pemenuhan kebutuhan dasar bagi masyarakat sekitar hutan dan obat-obatan, sumber
mata pencaharian, penelitian, dan sebagainya. Kegiatan pemanfaatan hasil hutan kayu yang
dilakukan oleh pemegang IUPHHK akan menyebabkan dampak terhadap ketiga fungsi
tersebut baik itu dampak positif maupun dampak negatif. Dengan demikian, Pengelolaan Hutan
Produksi Lestari seharusnya mencakup usaha-usaha untuk meningkatkan dampak positif dan
meminimalkan dampak negatif dari pengelolan hutan sehingga fungsi hutan lestari.
Untuk itu paling tidak harus ada lima aspek pokok yang harus dipenuhi dalam rangka
mewujudkan pengelolaan hutan lestari yaitu sebagai berikut :
Kemantapan dan kepastian hukum yang diikuti dengan pengendalian pelaksanaan secara
operasional serta perencanaan pengelolaan yang disahkan, penetapan dan penataan
kawasan dengan pemancangan tata batas yang jelas dan dikukuhkan secara yuridis.
Perlunya ditetapkan sistem silvikultur (sistem panen dan pembudidayaan) yang tepat sesuai
dengan kondisi hutan yang bersangkutan.
Kelangsungan produksi kayu dari suatu HPH untuk siklus I, sangat ditentukan oleh
kemampuan perusahaan dalam membuat penataan areal yang baik yang dituangkan dalam
RKU, melalui inventarisasi dan penafsiran foto udara sangat diperlukan agar realisasi jatah
produksi tahunan (JPT) tidak terlalu berbeda dengan perkiraan produksi dalam RKU.
Untuk penebangan pada siklus kedua dan selanjutnya, kesinambungan produksi sangat
ditentukan oleh :
b. PWH
3. Aspek konservasi flora fauna dan keanekaragaman hayati serta berbagai lini fungsi hutan
bagi lingkungan
Program konservasi tersebut antara lain ditujukan untuk penyediaan plasma nutfah, zona
penyangga antara hutan produksi dengan hutan lindung atau hutan konservasi, inventarisasi
flora fauna yang dilindungi, serta usaha-usaha pencegahan perburuan binatang yang
dilindungi, pencegahan penebangan pohon yang dilindungi, pencegahan kebakaran serta
kerusakan vegetasi, kerusakan tanah serta perlindungan sungai, mata air, pantai, atau
Agar hutan produksi dapat dikelola secara lestari, ada beberapa aspek yang menyangkut
sumber daya manusia yang perlu diperhatikan antara lain
Kesejahteraan karyawan
Kesempatan kerja dan kesempatan berusaha dari anggota masyarakat yang tinggal
di dalam dan di sekitar hutan
Hak tradisional masyarakat dalam pemanfaatan hasil hutan non-kayu serta kegiatan
spiritual
5. Aspek Kelembagaan
Memperhatikan prasyarat dan ketentuan yang harus dipenuhi dalam rangka mewujudkan
sistem pengelolaan hutan lestari tersebut diatas, maka tingkat keberhasilan pengelolaan hutan
lestari tersebut akan sangat tergantung pada beberapa faktor antara lain adalah :
3. Tersedia struktur pemerintahan yang dapat menjamin bagi pelaksanaan kebijakan dan
komitmen PHL
4. Tersedianya kapasitas yang cukup dalam bentuk, jumlah sumber daya manusia yang
berkualitas dan mempunyai komitmen yang tinggi
5. Investasi yang cukup dalam perencanaan dan pengelolaan sumber daya hutan.
Faktor-faktor tersebut diatas pada prinsipnya dapat dikelompokkan ke dalam dua komponen
utama yakni :
- Modal
- Masyarakat hutan
- Perkembangan IPTEK
- Persaingan global
Keterkaitan antar komponen dalam pengelolaan hutan lestari sebagaimana dimaksud diatas
diimplementasikan ke dalam tiga sub-sistem yang berkaitan satu sama lain yaitu :
c. Komponen sumber daya manusia merupakan komponen sistem yang perlu perhatian
khusus dalam mewujudkan pengelolaan sumber daya hutan
d. Dengan SDM yang cukup dan berkualitas serta profesional maka pemanfaatan komponen
sumber daya hutan dengan menggunakan modal dan teknik akan menciptakan kondisi
internal yang mantap
f. Kondisi sumber daya hutan yang beragam (struktur, komposisi, dan potensi) sebagai
komponen sub-sistem kegiatan pengelolaan SDH akan mempengaruhi kinerja IUPHHK
bersangkutan
a. Merupakan bagian dari sistem pengelolaan sumber daya hutan yang memberikan
prakondisi bagi kelangsunganto sub-sistem kegiatan pengelolaan
c. Oleh karenanya kedua komponen harus mampu menjadi motor penggerak bagi
kelancaran sub-sistem pelaksanaan kegiatan
a. Merupakan bagian dari sistem pengelolaan sumber daya hutan alam produksi, berkaitan
dengan pelaksanaan pemerintah dan perkembangan global.
c. Komoditi hasil hutan (kayu dan non-kayu) merupakan salah satu andalan ekspor non-
migas Indonesia, sehingga masalah-masalah yang berkaitan dengan persaingan dalam
pasar internasional (persaingan bebas) menjadi faktor penting bagi pengusahaan hutan
yang berkesinambungan
Keterkaitan antar komponen dalam pengelolaan hutan produksi lestari (PHPL) dapat dijelaskan
dalam gambar 2 berikut ini.
Gambar 2. Keterkaitan antar komponen dalam pengelolaan hutan produksi lestari (PHPL)
Sebagaimana telah dijelaskan di atas, bahwa dalam pengelolaan hutan lestari minimal harus
memenuhi 5 kriteria pokok yaitu :
5. Aspek kelembagaan
Untuk mengukur kinerja PHPL diperlukan standar dan pedoman penilaian. Standar dan
pedoman penilaian ini selanjutnya digunakan untuk proses penilaian kinerja PHPL oleh lembaga
penilai (assessor) yang independen. Proses penilaian tersebut lebih dikenal sebagai proses
sertifikasi dimana unit pengelola hutan yang lulus proses penilaian akan mendapat sertifikat
sebagai bukti pengakuan telah melakukan PHPL.
Dalam perkembangannya, respon terhadap isu kayu ilegal menjadi sangat mendesak. Sehingga
dibuatlah standar dan pedoman untuk melakukan verifikasi legalitas kayu yang diterapkan
terhadap unit pengelola hutan sebagai penghasil kayu dan industri pengolahan kayu sebagai
pengguna kayu.
Menurut Nana Suparna (1995) prinsip-prinsip dasar yang dianut dalam penetapan indikator
pada pengelolaan hutan lestari didasarkan pada hal-hal sebagai berikut :
1. Indikator tidak hanya memperhatikan dari segi yuridis formal, tetapi lebih ditekankan pada
segi fakta di lapangan
2. Indikator atas aspek yang dinilai diprioritaskan pada hal-hal yang bersifat sangat menentukan
(key point), sehingga tidak terlalu disibukkan dengan hal-hal yang tidak mendasar
3. Kegiatan yang perlu dinilai diutamakan terhadap sasaran yang ingin dicapai oleh adanya
suatu kegiatan, sehingga tidak terfokus ke masalah prosedur atau prosesnya saja
4. Kriteria yang ditetapkan dapat merangsang motivasi dan kreativitas pelaksana dalam
meningkatkan mutu pengelolaan hutannya
6. Ingat, yang dibahas adalah hutan produksi, bukan hutan konservasi (Hutan Lindung, Cagar
Alam, Suaka Margasatwa, maupun Taman Nasional)
7. Indikator pada aspek dinilai harus bersifat dinamis disesuaikan dengan perkembangan
masyarakat, ilmu pengetahuan dan teknologi, sejauh hal-hal tersebut ada kaitannya.
Secara yuridis sesuai dengan kriteria ITTO guideline yang telah disepakati dalam pertemuan/
sidang ITTO ke-8 di Bali pada tahun 1990, maka peraturan perundang-undangan yang
mengatur prinsip pengelolaan hutan produksi secara lestari telah mulai diterbitkan sejak tahun
1993 dan perubahan-perubahannya hingga saat ini.
Saat ini sudah ada beberapa standar dan pedoman penilaian kinerja Pengelolaan Hutan Produksi
Lestari dan verifikasi legalitas kayu, baik yang bersifat wajib (mandatory) dari pemerintah
maupun yang bersifat sukarela (voluntary).
Untuk yang bersifat wajib (mandatory) diatur melalui Peraturan Pemerintah, Peraturan Menteri
Kehutanan dan Peraturan Dirjen Bina Usaha Kehutanan antara lain sebagai berikut :
1. .Peraturan Pemerintah Nomor 6 Tahun 2007 tentang Tata Hutan dan Penyusunan Rencana
Pengelolaan Hutan serta Pemanfaatan Hutan yang selanjutnya telah dirubah dengan PP
Nomor 3 Tahun 2008
Disamping itu, beberapa lembaga telah menyusun pedoman untuk verifikasi legalitas kayu yang
bersifat sukarela diantaranya adalah standar Verification of Legal Origin (VLO) dan Verification of
Legal Compliance (VLC), sedangkan untuk penilaian PHPL yang bersifat sukarela diantaranya
adalah standar Lembaga Ekolabel Indonesia (LEI) dan standar Forest Stewardship Council
(FSC).
Kriteria dan Indikator Penilaian Kinerja Pengelolaan Hutan Produksi Lestari menurut Peraturan
Menteri Kehutanan Republik Indonesia Nomor P.68/Menhut-II/2011 tentang Perubahan atas
Peraturan Menteri Kehutanan Nomor P.38/Menhut-II/2009 tentang Standar dan Pedoman
Penilaian Kinerja Pengelolaan Hutan Produksi Lestari dan Verifikasi Legalitas kayu pada
pemegang ijin atau pada hutan hak dapat dijelaskan melalui Tabel 2 sebagai berikut :
Kriteria Indikator
Yang menjadi pertanyaan adalah Apakah Kriteria dan Indikator yang telah ditetapkan dalam
Peraturan Menteri Kehutanan Nomor P.38/Menhut-II/2009 tentang Standar dan Pedoman
Penilaian Kinerja Pengelolaan Hutan Produksi Lestari dan Verifikasi Legalitas Kayu pada
Pemegang Izin atau pada Hutan Hak sebagaimana telah diubah melalui Peraturan Menteri
Kehutanan Nomor P.68/Menhut-II/2011 tentang Perubahan atas Peraturan Menteri Kehutanan
Nomor P.38/Menhut-II/2009 tentang Standar dan Pedoman Penilaian Kinerja Pengelolaan
Hutan Produksi Lestari dan Verifikasi Legalitas Kayu pada Pemegang Izin atau pada Hutan
Hak telah memenuhi semua kriteria yang ditetapkan dalam konsepsi SUSTAINABLE FOREST
MANAGEMENT (SFM) ?
Agar pengelola hutan pemegang IUPHHK-HA tidak kehilangan orientasi dan lebih fokus
pada proses pengelolaan hutan yang sasaran akhirnya adalah memenuhi standar penilaian
PHPL dan verifikasi legalitas kayu telah disusun Kerangka Kerja Pengelolaan Hutan Produksi
Lestari. Kerangka kerja PHPL sebagaimana dimaksud di atas dapat dijelaskan melalui bagan
alir sebagai berikut :
Tahapan dan kegiatan utama pengelolaan hutan produksi lestari sebagaimana dimaksud pada
bagan alir tersebut di atas dapat dijelaskan berikut ini :
A. Tahap Prakondisi
Tahap ini merupakan tahap yang paling penting dan menentukan pelaksanaan PHPL. Inti dari
tahap ini adalah komitmen pengelola hutan untuk melaksanakan PHPL. Komitmen harus bisa
dibuktikan secara nyata paling tidak dengan melakukan beberapa hal berikut yang sebagian
besar merupakan tugas dari manajemen puncak dari UNIT PENGELOLA HUTAN :
Kesadaran untuk melakukan Pengelolaan Hutan Produksi Lestari perlu dimiliki oleh
seluruh jajaran internal yang terlibat dalam pengelolaan hutan, mulai dari pemilik
perusahaan, manajemen puncak, dan seluruh staf lapangan termasuk kontraktor.
Pengelolaan hutan merupakan usaha jangka panjang. Untuk menjamin kelestarian hasil
sekaligus kelestarian usaha mutlak diperlukan Pengelolaan Hutan Produksi Lestari.
Komitmen untuk PHPL harus bisa ditunjukan oleh unit pengelola hutan, diantaranya :
Visi dan misi perusahaan sebagai bentuk komitmen tertulis harus mencerminkan
kesadaran untuk melakukan Pengelolaan Hutan Produksi Lestari. Visi, misi dan
komitmen untuk PHPL perlu diketahui oleh seluruh jajaran internal yang terlibat dalam
pengelolaan hutan termasuk kontraktor serta masyarakat secara luas. Penyusunan
visi, misi, penetapan target, dan sebagainya merupakan bagian dari perencanaan
bisnis dan strategi.
Pemenuhan tenaga teknis yang memadai, dana untuk pelaksanaan kegiatan dan
sarana dan prasarana untuk mendukung pelaksanaan kegiatan. Rencana aksi menuju
PHPL tidak akan berjalan dengan baik jika ketiga faktor tersebut tidak terpenuhi.
A3. Penilaian kesenjangan antara Praktik Pengelolaan yang Sedang Berjalan dengan standar
Penilaian PHPL (Gap Assessment)
Penilaian/verifikasi bisa dilakukan oleh internal unit pengelola hutan atau oleh pihak lain
yang berkompeten. Penilaian ini merupakan langkah awal dalam rangka memperbaiki
kinerja menuju Pengelolaan Hutan Produksi Lestari. Hasil penilaian/verifikasi harus
disosialisasikan kepada seluruh jajaran unit pengelola hutan termasuk kontraktor.
Penilaian PHPL dengan standar PHPL atau FSC dilakukan pada level kriteria, sedangkan
untuk verifikasi legalitas kayu (LK) penilaian dilakukan pada level indikator. Berikut adalah
uraiannya:
Tindak lanjut dari hasil gap assessment adalah membuat rencana aksi berdasarkan hasil
penilaian pada setiap kriteria/indikator. Komponen utama dari rencana aksi terdiri dari
kegiatan, target, penanggung jawab dan tata waktu pelaksanaan.
Dalam penyusunan rencana aksi, untuk pemenuhan setiap kriteria dan indikator seringkali
dibutuhkan beberapa kegiatan lintas departemen atau lintas tahapan (perencanaan,
implementasi, monitoring atau evaluasi). Atau sebaliknya, satu kegiatan bisa berhubungan
dengan beberapa kriteria/indikator.
Seluruh informasi tersebut harus diintegrasikan dan dipertimbangkan dalam proses penataan
areal kerja (forest zoning) dan dalam proses penyusunan rencana pengelolaan jangka panjang
yang meliputi rencana kelola produksi, lingkungan dan sosial. Berikut adalah penjelasan
mengenai kegiatan utama yang terkait dengan pengumpulan data dasar:
Salah satu kewajiban dari Unit Pengelola Hutan pada tahap awal pengelolaan hutan
adalah pelaksanaan tata batas areal kerja (TBT). Penataan batas areal kerja merupakan
upaya untuk mendapatkan kepastian kawasan hutan yang dikelola untuk jangka panjang.
AMDAL dilakukan sebelum kegiatan operasional dimulai dan merupakan salah satu
persyaratan memperoleh ijin usaha pemanfaatan hasil hutan kayu pada hutan alam
(IUPHHKHA).
Dokumen AMDAL terdiri dari dokumen utama, yaitu dokumen analisis dampak
lingkungan (AMDAL), dokumen rencana kelola lingkungan (RKL) dan dokumen
rencana pemantauan lingkungan (RPL).
B3 Survei sosial
Survei sosial dilakukan untuk mengetahui informasi mengenai kondisi sosial ekonomi
dan budaya masyarakat di dalam dan di sekitar hutan yang dikelola. Informasi meliputi
kelembagaan desa, sarana dan prasarana desa, jumlah penduduk, mata pencaharian,
pendidikan, kesehatan, aturan adat, kearifan tradisional, penggunaan lahan, pemanfaatan
sumber daya hutan, dan sebagainya.
Selain untuk bahan penyusunan rencana pengelolaan, informasi yang diperoleh dari
survei sosial bisa dimanfaatkan sebagai bahan untuk kegiatan identifikasi HCVF dan lebih
lanjut dapat digunakan sebagai data pembanding dengan hasil pemantauan dampak
sosial.
Pedoman untuk melakukan identifikasi HCVF adalah Panduan Identifikasi Kawasan NKT
di Indonesia (Konsorsium Revisi HCV Toolkit Indonesia, Tropenbos Indonesia, 2008).
Kegiatan ini termasuk dalam Prinsip 9 dari standar FSC. Walaupun demikian, informasi
yang diperoleh dari kegiatan ini relevan dengan kriteria PHPL terutama kriteria 3.1 dan
Informasi yang diperoleh dari kegiatan ini secara umum adalah mengenai nilai konservasi
tinggi dari hutan, yang diantaranya meliputi : keanekaragaman hayati (species, ecosistem);
jenis-jenis yang dilindungi menurut IUCN, peraturan perundangan Indonesia, maupun
yang termasuk dalam appendix CITES; habitat hewan yang perlu dilindungi; keterwakilan
ekosistem yang perlu dilindungi; kawasan perlindungan air (daerah aliran sungai); sumber
daya hutan yang penting bagi masyarakat sekitar hutan; dan situs agama, budaya dan
ekonomi masyarakat sekitar hutan yang perlu dilindungi.
Hasil identifikasi HCVF dilengkapi dengan rekomendasi pengelolaan yang harus dilakukan
agar nilai konservasi tinggi dari hutan yang dikelola dapat dipertahankan.
Salah satu bentuk penilaian keanekaragaman hayati yang wajib dilakukan adalah
kegiatan penentuan lokasi kawasan pelestarian plasma nutfah (KPPN) dan inventarisasi
keanekaragaman jenis flora dan fauna di KPPN.
IHMB dilakukan untuk mengetahui potensi tegakan hutan yang mencakup seluruh
areal kerja dengan cara sampling. Metode pelaksanaan secara lengkap dijelaskan dalam
pedoman IHMB sesuai Permenhut Nomor P.33/Menhut-II/2009. IHMB dilakukan secara
berkala setiap sepuluh tahun sebagai dasar untuk penataan areal kerja (forest zoning)
dan penyusunan rencana kerja usaha pemanfaatan hasil hutan kayu (RKUPHHK) untuk
jangka sepuluh tahun.
Riap tegakan hutan atau laju pertumbuhan tegakan hutan (m3/ha/tahun) bisa dikatakan
sebagai bunga atau interest dari potensi tegakan hutan (m3/ha). Potensi tegakan hutan
diketahui dari hasil IHMB, sedangkan riap tegakan hutan dihitung dari hasil pengukuran
periodik petak ukur permanen (PUP) yang dibuat pada lokasi bekas tebangan. Referensi
untuk pembuatan dan pengukuran PUP adalah Paket Inventarisasi Permanen (BFMP,
2002).
Untuk menjamin kelestarian hasil hutan, maka volume kayu yang dipanen setiap tahunnya
(annual allowable cut atau AAC) tidak boleh melebihi riap rata-rata tegakan hutan.
Jika laju pemanenan kayu melebihi laju pertumbuhan tegakan, atau dengan kata lain
volume kayu yang dipanen melebihi riap rata-rata tegakan hutan, maka bisa dipastikan
dalam jangka panjang akan terjadi penurunan modal potensi tegakan hutan, hutan
terdegradasi dan kelestarian hasil hutan tidak pernah terjadi.
Penataan areal kerja jangka panjang merupakan kegiatan awal yang sangat menentukan
Pengelolaan Hutan Produksi Lestari. Input untuk kegiatan ini adalah seluruh informasi
yang telah diperoleh dari tahap pengumpulan data dasar, seperti laporan tata batas,
Dokumen AMDAL, laporan survei sosial, laporan identifikasi HCVF dan rekomendasinya,
laporan penilaian keanekaragaman hayati, dan laporan IHMB. Kegiatan ini terdiri dari
dua tahapan yaitu tahap penyusunan zonasi hutan dan tahapan penataan blok rencana
kerja tahunan (Blok RKT).
Pada tahap zonasi hutan, areal kerja didelineasi sesuai dengan peruntukannya, yaitu
kawasan lindung, areal tidak efektif untuk produksi dan areal efektif untuk
produksi.
Kawasan dengan kemiringan lebih dari 40%; bufferzone hutan lindung dan kawasan
suaka alam/pelestarian alam; sempadan sungai, pantai, danau dan mata air; dan
kawasan pelestarian plasma nutfah (KPPN); dan lahan gambut lebih dari 3 meter.
Kawasan yang mempunyai nilai konservasi tinggi dan perlu dilindungi sesuai hasil
rekomendasi dari kegiatan identifikasi HCVF, diantaranya sempadan sungai, situs
budaya termasuk hutan adat, situs agama, lintasan satwa, habitat satwa migrant,
span, dan sebagainya.
Yang termasuk dalam areal tidak efektif untuk produksi adalah petak ukur permanen
(PUP), kebun bibit, sarana dan prasarana seperti perumahan, kantor, log yard, persemaian,
dan sebagainya.
Tahap selanjutnya adalah delineasi areal efektif untuk produksi ke dalam 30 blok rencana
kerja tahunan (blok RKT) sesuai dengan rotasi tebangan yaitu 30 tahun (Permenhut
Nomor P.11/Menhut-II/2009 tentang sistem silvikultur). Luas masing-masing blok RKT
bervariasi disesuaikan dengan potensi tegakan hutannya (standing stock) hasil IHMB
agar volume kayu yang dipanen rata-rata sama untuk setiap tahunnya.
Rencana Kerja Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu (RKUPHHK) disusun setiap
sepuluh tahun yang meliputi seluruh aspek pengelolaan hutan, yaitu aspek produksi,
aspek lingkungan dan aspek sosial serta aspek manajemen umum.
o Seluruh informasi yang telah diperoleh dari tahap pengumpulan data dasar, seperti
laporan tata batas, dokumen AMDAL, laporan survei sosial, laporan identifikasi HCVF
dan rekomendasinya, laporan penilaian keanekaragaman hayati, dan laporan IHMB.
o Hasil penataan areal kerja jangka panjang (zonasi hutan dan penataan blok RKT).
o Konsep perencanaan yang ideal adalah adanya kesesuaian antara yang direncanakan
dan yang akan dilaksanakan. Atau seluruh kegiatan yang akan dilakukan pada tahap
implementasi seharusnya sudah direncanakan pada tahap ini, yaitu meliputi :
- Rencana produksi
Khusus untuk kegiatan ITSP dan topomapping, selain untuk kebutuhan RIL, juga sangat
menentukan dalam pengajuan jatah produksi tahunan (target RKT) dan implementasi
penatausahaan hasil hutan serta monitoring implementasi lacak balak.
RKAP berisi seluruh rencana yang akan dilakukan oleh unit pengelola hutan baik yang
sudah tercantum dalam buku RKT maupun rencana kegiatan yang tidak tercantum dalam
buku RKT disertai dengan perkiraan biaya yang akan timbul (cost) dari seluruh rencana
tersebut dan perhitungan pemasukan (benefit) untuk unit pengelola hutan. RKAP dibuat
untuk memastikan bahwa seluruh kegiatan yang direncanakan sudah dianggarkan oleh
perusahaan dan untuk menghitung untung rugi kegiatan pengelolaan hutan.
D. Implementasi
1. Pemanenan Kayu
5. Pengelolaan Limbah
7. Pembinaan Hutan
Dua hal yang penting dalam tahap implementasi adalah, pertama pelaksanaan kegiatan
dilakukan berdasarkan rencana yang telah disusun dan yang kedua pelaksanaan kegiatan harus
sesuai dengan standar prosedur yang telah ditetapkan. Pada tahap ini penyusunan standar
prosedur menjadi sangat penting. Untuk mendukung penyusunan standar prosedur yang
sesuai diperlukan peningkatan kompetensi karyawan melalui training dan implementasi
secara terus menerus.
E. Manajemen Umum
Manajemen yang dilakukan perusahaan secara umum yang menjadi pondasi dan
pendukung pelaksanaan PHPL adalah :
1. Pengelolaan Keuangan
6. Review
Hutan dan area alami memainkan peran sangat penting dalam mempertahankan proses alami.
Hutan merupakan salah satu penampung karbon terbesar sehingga membantu menjaga daur
karbon dan proses alami lainnya berjalan dengan baik dan membantu mengurangi perubahan
iklim. Namun, hutan juga dapat menjadi salah satu sumber emisi CO2 terbesar. Karena hutan
dan tumbuhan lainnya juga menyerap CO2 keluar dari atmosfer, peran ganda ini membuat
hutan menjadi makin penting. Studi ilmiah mengatakan bahwa antara 12-17% dari semua CO2
yang dikirim ke atmosfer oleh kegiatan manusia berasal dari perusakan hutan (Stone, dkk,
2010).
Saat pohon ditebang atau dibakar, karbon dioksida dilepas ke udara. Hal ini juga berarti makin
sedikit pohon yang tersedia untuk menyimpan karbon dan menyerap CO2 dari udara untuk
tumbuh dan berkembang. Namun, jika kita menanam pohon dan melindungi hutan, maka kita
dapat mengurangi dampak perubahan iklim dengan menjaga karbon di hutan dan menanam
pohon baru yang menyerap CO2 dari atmosfer.
Diperkirakan bahwa setidaknya 1,7 miliar ton karbon dilepaskan per tahunnya akibat alihguna
lahan. Bagian terbesar adalah deforestasi dikawasan hutan tropis.
Deforestasi mewakili sekitar 20 persen emisi karbon dunia saat ini, yang persentasenya lebih
besar dari emisi yang dikeluarkan oleh sektor transportasi global dengan penggunaan bahan
bakar fosil yang intensif.
Deforestasi dan degradasi hutan di Indonesia merupakan penyumbang terbesar emisi nasional.
Sumber penting dalam periode 10-15 tahun terakhir berasal dari kebakaran dan drainase
lahan gambut dengan emisi tahunannya tidak kurangdari 0,5 miliar ton karbon
Hilangnya luasan hutan di dunia diperkirakan mencapai sekitar 7,3 juta hektar per tahun untuk
periode tahun 20002005.
Luasan ini mewakili penurunan untuk periode 19902000, dimana rata-rata laju deforestasi
sebesar 8,9 juta hektar per tahun.
Luasan terbesar deforestasi terjadi di Amerika Selatan, sebesar 4,3 juta hektar per tahun,
diikuti oleh Afrika dengan empat juta hektar per tahun.
Laju deforestasi di Indonesia bervariasi dari 1,7 juta ha/th (19851997), kemudian meningkat
tajam menjadi 2,8 juta ha/th (19972000) dan menurun lagi menjadi 1,2 juta ha/th (2000
2005).
Berikut ini adalah gambaran perbandingan buangan emisi karbon dari hutan dalam kondisi
tanpa produksi dan hutan dalam kondisi deforestasi dan gambaran mengenai siklus karbon
yang diserap dan dibuang dalam bentuk emisi karbon dari hutan.
Gambar 7 : Perbandingan emisi karbon pada hutan dalam kondisi undisturbed tropical forest dan 10
years after deforestation. (Sumber : Pinrad and Croper, 2000)
Gambar 8 : Siklus Karbon dari hutan (sumber : Ministerial Conference on the Protection of Forests
in Europe, 2013)
Pengelolaan hutan secara lebih baik melalui penerapan PHPL yang sejalan dengan upaya
mitigasi perubahan iklim (Rooper, 2001), meliputi :
1. Perbaikan kebijakan pengelolaan hutan dan pemanenan serta teknologi untuk meningkatkan
kapasitas hutan yang ada untuk penyerapan dan penyimpanan karbon;
3. Mengadopsi program-program perlindungan hutan yang dapat diterima secara sosial atau
joint management.
REDD (Reducing of Emission from Deforestation and Degradation) merupakan satu diantara
beberapa skema yang hangat diperdebatkan dalam perundingan perubahan iklim. Skema
ini awalnya dirancang oleh Papua Nugini dan Kosta Rika yang tidak mendapat keuntungan
apapun dari skema perubahan iklim di bawah rezim Protokol Kyoto. Dua skema Kyoto, emission
trading (ET) dan joint implementation (JI) hanya berlaku untuk dan di antara negara Annex I.
Satu skema lagi, clean development mechanism (CDM), melibatkan negara berkembang tapi
dibatasi tidak lebih dari 1% pengurangan atas total emisi negara maju yang bisa dikerjakan
melalui proyek CDM di negara berkembang. Jumlah yang sangat kecil ini tidak lepas dari
prinsip pengurangan emisi domestik sebagai tujuan utama Protokol Kyoto. Artinya, mekanisme
ET, JI maupun CDM hanya pelengkap (additional) atas tujuan utama Kyoto yakni mendesak
negara Annex I agar mengurangi emisi domestik-nya.
Pada COP 14 di Poznan, Reducing of Emission Deforestation and Degradation (REDD) yang
ditetapkan dalam BAP paragraph 1 b(iii) dipertegas tidak hanya deforestasi dan degradasi
tetapi juga mencakup konservasi, SFM, aforestasi dan reforestasi yang menjadi bagian dari
skema CDM. Perkembangan ini kerap disebut REDD plus. Berikut ini merupakan ilustrasi
keterkaitan antara SFM dengan perubahan Iklim (REDD+).
Fakta sebaliknya ditunjukan oleh SFM. Berbagai report juga menunjukan kegagalan SFM.
Global Witness, misalnya, mengeluarkan laporan bahwa hanya sedikit dari konsep ini yang
sukses. Kegagalannya rata-rata di atas 90%.
Praktik SFM
SFM didukung oleh berbagai donor untuk mengatasi degradasi dan deforestasi hutan tropis.
1. 1990: ITTO merancang program Objective 2000 yang mendorong agar hutan tropis
dikelolah secara berkelanjutan pada 2000. Pada 2005, hanya 7% hutan produksi tropis
yang dikelolah secara berkelanjutan. ITTO gagal 93% dari targetnya;
2. 1997: World Bank dan WWF meluncurkan program bersama dengan tujuan membuat 200
juta hektar produksi hutan kayu dikelolah di bawah sertifikat pengelolaan berkelanjutan
yang independen pada tahun 2005. Mereka mencapai target hanya 31,8 juta hektar (16%
dari target) hanya sepertiga dari jumlah itu yang merupakan hutan tropis (9,54 juta hektar).
Namun, dengan berani keduanya mengusulkan pembaruan program dengan target baru
300 juta hektar pada tahun 2010.
Basah, Hernowo. 2012. Indonesias National Action Plan for Reducing GHG Emission.
Dipresentasikan pada International Meeting Forest-Based Climate Change Policies and
Action Plans in Indonesia. Bappenas.
Daryanto, Hadi. 2012. National Strategy for REDD+ in Indonesia. Dipresentasikan pada
International Meeting Forest-Based Climate Change Policies and Action Plans in
Indonesia. Kementerian Kehutanan.
Peraturan Presiden Nomor 61 Tahun 2011 tentang Rencana Aksi Nasional Gas Rumah Kaca.
Peraturan Presiden Nomor 71 Tahun 2011 tentang Penyelanggaraan Inventarisasi Gas Rumah
Kaca Nasional
Instruksi Presiden Nomor 10 Tahun 2011 tentang Penundaan Pemberian Izin Baru dan
Penyempurnaan Tata Kelola Hutan Alam Primer dan Lahan Gambut.
Steni. B. 2010. Perubahan Iklim, REDD dan Perdebatan Hak: Dari Bali sampai Copenhagen.
Perkumpulan HuMa.
Kuswandana Y, Prabowo H, Nurcahya BC. 2011. Kerangka Kerja Pengelolaan Hutan Produksi
Lestari.
Witoelar, R dan Soekadri, D. 2012. Indonesias Perspective On The Global Climate Change
Mitigation: Forestry Sector. DNPI.
Center for International Forestry Research 2010. Apakah itu? Pedoman CIFOR tentang hutan,
perubahan iklim dan REDD. CIFOR, Bogor, Indonesia.
Boer, R. 2012. Sustainable Forest Management in Relation to REDD+. Centre for Climate
Risk and Opportunity Management in Southeast Asia and Pacific, Bogor Agriculture
University.
Yasman I, Dr; Banowati L, MSc, Lasmini, MSc; dan Septiani Y, Msc. 2009. Peluang Pemanfaatan
Potensi Karbon Hutan dalam Isu Perubahan Iklim (materi dasar untuk peningkatan
pemahaman bagi masyarakat). Forest Governance and Multistakeholder Forestry
Programme.
Stone S, Len M.C, Fredericks P. 2010. Perubahan Iklim & Peran Hutan. Manual Pelatih.
Yasman I, Nurrochmat, DR, Septiani, Y, Lasmini 2013 (in press). Policy Paper : Peran Pengelolaan
Hutan Produksi Alam dalam Perubahan Iklim (REDD+, Pengelolaan Hutan Lestari,
RIL-C). The Nature Conservancy, Indonesia Terrestrial Program. Jakarta.