Halaman judul .. i
Daftar isi ii
I. Pendahuluan . 1
II. Fisiologi menstruasi . 2
III. Evaluasi amenorea 4
IV. Gangguan pada kompartement I
1. Anomali duktus Mulleri 8
1. Agenesis duktus Mulleri 9
2. Insensitifitas androgen (Feminisasi testikuler) .. 11
V. Gangguan pada kompartement II
1. Sindroma Turner 12
2. Disgenesis gonad XY . .. 13
3. Agenesis gonad 13
4. Sindroma ovarium resisten . 14
5. Premature ovarian failure .. 15
VI. Gangguan pada kompartement III
1. Gangguan hipofisis anterior .... 16
2. Amenorea galaktorea .. 16
VII. Gangguan pada kompartement IV
1. Kehilangan berat badan, anoreksia, bulimia ... 20
2. Latihan dan amenorea (exercise and amenorrhea) . 21
3. Amenorea dan anosmia, Sindroma Kallmann . 21
VIII. Ringkasan . 22
IX. Daftar rujukan ... 23
I. PENDAHULUAN
Secara berkala, fungsi seksual wanita berada di bawah kendali hormon. Tanda yang khas
untuk suatu siklus haid adalah timbulnya perdarahan melalui vagina setiap bulan pada
seorang wanita. Perdarahan ini terjadi akibat rangsangan hormonal secara siklik terhadap
endometrium.1,2,3,4 Amenorea dapat dibagi dalam dua bentuk, yaitu:
1. Amenorea fisiologik
Amenorea yang terdapat pada masa sebelum pubertas, masa kehamilan, masa laktasi
dan sesudah menopause.
2. Amenorea patologik
Lazimnya diadakan pembagian antara amenorea primer dan amenorea sekunder.
Amenorea primer, apabila seorang wanita berumur 16 tahun ke atas belum pernah
dapat haid; sedang pada amenorea sekunder penderita pernah mendapat haid, tetapi
kemudian tidak dapat lagi.
Amenorea primer merupakan suatu keadaan dimana tidak terjadi menstruasi pada
wanita yang berusia 16 tahun ke atas dengan karaktersitik seksual sekunder normal, atau
umur 14 tahun ke atas tanpa adanya perkembangan karakteristik seksual sekunder.1,2,6
Penyebab tidak terjadinya haid dapat berupa gangguan di hipotalamus, hipofisis, ovarium
(folikel), uterus (endometrium), dan vagina. Amenorea primer umumnya mempunyai
sebab-sebab yang lebih berat dan lebih sulit untuk diketahui, seperti kelainan-kelainan
kongenital dan kelainan-kelainan genetik.
Istilah kriptomenorea menunjuk kepada keadaan dimana tidak tampak adanya haid
karena darah tidak keluar berhubung ada yang menghalangi, misalnya pada ginatresia
himenalis, penutupan kanalis servikalis, dan lain-lain.3,4
Usia gadis remaja pada waktu pertama kalinya mendapat haid (menarche) bervariasi
lebar, yaitu antara 10-16 tahun, tetapi rata-ratanya 12,5 tahun. Statistik menunjukkan
bahwa usia menarche dipengaruhi faktor keturunan, keadaan gizi, dan kesehatan umum.
Penulisan referat ini adalah bertujuan untuk memperoleh alur pemikiran dalam
menghadapi kasus-kasus amenorea primer, sehingga bisa diambil tindakan secara tepat dan
efisien.
II. FISIOLOGI MENSTRUASI
Haid adalah perdarahan secara periodik dan siklik dari uterus, disertai pelepasan
(deskuamasi) endometrium. Sekarang diketahui bahwa dalam proses ovulasi, yang
memegang peranan penting adalah hubungan hipotalamus, hipofisis, dan ovarium
(hypothalamic-pituitary-ovarium axis). Menurut teori neurohumoral yang dianut sekarang,
hipotalamus mengawasi sekresi hormon gonadotropin oleh adenohipofisis melalui sekresi
neurohormon yang disalurkan ke sel-sel adenohipofisis lewat sirkulasi portal yang khusus.
Hipotalamus menghasilkan faktor yang telah dapat diisolasi dan disebut Gonadotropin
Releasing Hormone (GnRH) karena dapat merangsang pelepasan Lutenizing Hormone
(LH) dan Follicle Stimulating Hormone (FSH) dari hipofisis.1,2,4
Penyelidikan pada hewan menunjukkan bahwa pada hipotalamus terdapat dua pusat,
yaitu pusat tonik dibagian belakang hipotalamus di daerah nukleus arkuatus, dan pusat
siklik di bagian depan hipotalamus di daerah suprakiasmatik. Pusat siklik mengawasi
lonjakan LH (LH-surge) pada pertengahan siklus haid yang menyebabkan terjadinya
ovulasi. Mekanisme kerjanya juga belum jelas benar.4
Siklus haid normal dapat dipahami dengan baik dengan membaginya atas dua fase dan
satu saat, yaitu fase folikuler, saat ovulasi, dan fase luteal. Perubahan-perubahan kadar
hormon sepanjang siklus haid disebabkan oleh mekanisme umpan balik (feedback) antara
hormon steroid dan hormon gonadotropin. Estrogen menyebabkan umpan balik negatif
terhadap FSH, sedangkan terhadap LH, estrogen menyebabkan umpan balik negatif jika
kadarnya rendah, dan umpan balik positif jika kadarnya tinggi. Tempat utama umpan balik
terhadap hormon gonadotropin ini mungkin pada hipotalamus.1,2,4
Tidak lama setelah haid mulai, pada fase folikular dini, beberapa folikel berkembang
oleh pengaruh FSH yang meningkat. Meningkatnya FSH ini disebabkan oleh regresi
korpus luteum, sehingga hormon steroid berkurang. Dengan berkembangnya folikel,
produksi estrogen meningkat, dan ini menekan produksi FSH; folikel yang akan berovulasi
melindungi dirinya sendiri terhadap atresia, sedangkan folikel-folikel lain mengalami
atresia. Pada waktu ini LH juga meningkat, namun peranannya pada tingkat ini hanya
membantu pembuatan estrogen dalam folikel. Perkembangan folikel yang cepat pada fase
folikel akhir ketika FSH mulai menurun, menunjukkan bahwa folikel yang telah masak itu
bertambah peka terhadap FSH. Perkembangan folikel berakhir setelah kadar estrogen
dalam plasma jelas meninggi. Estrogen pada mulanya meninggi secara berangsur-angsur,
kemudian dengan cepat mencapai puncaknya. Ini memberikan umpan balik positif
terhadap pusat siklik, dan dengan lonjakan LH (LH-surge) pada pertengahan siklus,
mengakibatkan terjadinya ovulasi. LH yang meninggi itu menetap kira-kira 24 jam dan
menurun pada fase luteal. Mekanisme turunnya LH tersebut belum jelas. Dalam beberapa
jam setelah LH meningkat, estrogen menurun dan mungkin inilah yang menyebabkan LH
itu menurun. Menurunnya estrogen mungkin disebabkan oleh perubahan morfologik pada
folikel. Mungkin pula menurunnya LH itu disebabkan oleh umpan balik negatif yang
pendek dari LH terhadap hipotalamus. Lonjakan LH yang cukup saja tidak menjamin
terjadinya ovulasi; folikel hendaknya pada tingkat yang matang, agar ia dapat dirangsang
untuk berovulasi. Pecahnya folikel terjadi 16 24 jam setelah lonjakan LH. Pada manusia
biasanya hanya satu folikel yang matang. Mekanisme terjadinya ovulasi agaknya bukan
oleh karena meningkatnya tekanan dalam folikel, tetapi oleh perubahan-perubahan
degeneratif kolagen pada dinding folikel, sehingga ia menjadi tipis. Mungkin juga
prostaglandin F2 memegang peranan dalam peristiwa itu.1,2,4
Pada fase luteal, setelah ovulasi, sel-sel granulose membesar, membentuk vakuola dan
bertumpuk pigmen kuning (lutein); folikel menjadi korpus luteum. Vaskularisasi dalam
lapisan granulosa juga bertambah dan mencapai puncaknya pada 89 hari setelah ovulasi.4
Luteinized granulose cell dalam korpus luteum itu membuat progesteron banyak, dan
luteinized theca cell membuat pula estrogen yang banyak, sehingga kedua hormon itu
meningkat tinggi pada fase luteal. Mulai 1012 hari setelah ovulasi, korpus luteum
mengalami regresi berangsur-angsur disertai dengan berkurangnya kapiler-kapiler dan
diikuti oleh menurunnya sekresi progesteron dan estrogen. Masa hidup korpus luteum pada
manusia tidak bergantung pada hormon gonadotropin, dan sekali terbentuk ia berfungsi
sendiri (autonom). Namun, akhir-akhir ini diketahui untuk berfungsinya korpus luteum,
diperlukan sedikit LH terus-menerus. Steroidegenesis pada ovarium tidak mungkin tanpa
LH. Mekanisme degenerasi korpus luteum jika tidak terjadi kehamilan belum diketahui.
Empat belas hari sesudah ovulasi, terjadi haid. Pada siklus haid normal umumnya terjadi
variasi dalam panjangnya siklus disebabkan oleh variasi dalam fase folikular.4
Pada kehamilan, hidupnya korpus luteum diperpanjang oleh adanya rangsangan dari
Human Chorionic Gonadothropin (HCG), yang dibuat oleh sinsisiotrofoblas.
Rangsangan ini dimulai pada puncak perkembangan korpus luteum (8 hari pasca ovulasi),
waktu yang tepat untuk mencegah terjadinya regresi luteal. HCG memelihara
steroidogenesis pada korpus luteum hingga 910 minggu kehamilan. Kemudian, fungsi itu
diambil alih oleh plasenta.4
Dari uraian di atas jelaslah bahwa kunci siklus haid tergantung dari perubahan-
perubahan kadar estrogen, pada permulaan siklus haid meningkatnya FSH disebabkan
oleh menurunnya estrogen pada fase luteal sebelumnya. Berhasilnya perkembangan folikel
tanpa terjadinya atresia tergantung pada cukupnya produksi estrogen oleh folikel yang
berkembang. Ovulasi terjadi oleh cepatnya estrogen meningkat pada pertengahan siklus
yang menyebabkan lonjakan LH. Hidupnya korpus luteum tergantung pula pada kadar
minimum LH yang terus-menerus. Jadi, hubungan antara folikel dan hipotalamus
bergantung pada fungsi estrogen, yang menyampaikan pesan-pesan berupa umpan balik
positif atau negatif. Segala keadaan yang menghambat produksi estrogen dengan
sendirinya akan mempengaruhi siklus reproduksi yang normal.4
Anamnesis yang baik dan lengkap sangat penting. Pertama, harus diketahui apakah
amenorea itu primer atau sekunder. Selanjutnya, perlu diketahui apakah ada hubungan
antara amenorea dan faktor-faktor yang dapat menimbulkan gangguan emosinal, apakah
penderita mengidap penyakit akut atau menahun; apakah ada gejala-gejala penyakit
metabolik dan lain-lain.4
Sesudah anamnesis, perlu dilakukan pemeriksaan umum yang seksama; keadaan tubuh
penderita tidak jarang memberi petunjuk-petunjuk yang berharga. Apakah penderita
pendek atau tinggi, apakah berat badan sesuai dengan tingginya, apakah ciri-ciri kelamin
sekunder berkembang dengan baik atau tidak, apakah ada tanda hirsutisme; semua ini
penting untuk pembuatan diagnosis.
Dalam menangani kasus-kasus amenorea haruslah teliti dalam memilih informasi yang
diperlukan. Meskipun data tambahan tersedia pada waktu tersebut, dijabarkan dari latar
belakang, pengujian fisik dan evaluasi kelenjar endokrin lainnya seperti tiroid dan
adrenalin, hal-hal tersebut semestinya tidak digunakan untuk diagnosis sampai keseluruhan
rangkanya lengkap. Pengalaman telah menunjukkan diagnosis yang prematur seringkali
terjadi bias, meskipun kadang-kadang bisa tepat. Oleh karena itu perlu dilakukan
investigasi dengan langkah-langkah sebagai berikut:
A. Langkah 1
Langkah awal dalam kerangka evaluasi penderita amenorea, dimulai dari pengukuran
hormon thyroid stimulating hormones (TSH), kadar prolaktin, dan tes provokasi
progesteron. Langkah awal untuk pasien galaktorea, tanpa melupakan riwayat
menstruasi, juga harus diperiksa TSH dan pengukuran prolaktin serta perlu
ditambahkan pemeriksaan rontgen dari sisi lateral pada sella tursika.1
Hanya sedikit penderita dengan amenorea dan atau galaktorea menderita hipotiroid
yang tidak tampak secara klinis. Walaupun kelihatannya berlebihan melakukan
pemeriksaan kadar TSH untuk penderita yang hanya memberikan hasil yang kurang
berarti, karena pengobatan untuk hipotiroid sangat mudah dan diperoleh hasil yang
cepat dari siklus menstruasi. Jika terdapat galaktorea, pengukuran TSH dianjurkan.1
B. Langkah 2
Jika rangkaian pengobatan progesteron tidak memberikan hasil seperti pada langkah di
atas, apalagi sistem organ target tidak operatif atau perkembangan estrogen dari
endometrium tidak terjadi. Langkah 2 didesain untuk membuat klarifikasi terhadap
situasi ini. Pemberian estrogen oral, estrogen dapat merangsang secara aktif baik secara
kwantitatif maupun durasinya untuk perkembangan endometrium dan pendarahan yang
aktif dari uterus pada sistem pengeluaran yang ada. Dosis yang sesuai adalah 1,25 mg
estrogen konjugasi setiap hari selama 21 hari. Tambahan lanjutannya adalah
progesteron yang aktif secara oral (medroksiprogesteron asetat 10 mg setiap hari
selama 5 hari terakhir) diperlukan untuk menghasilkan menstruasi.1,3
Sebagai hasil dari test farmakologis langkah 2, apakah pada penderita dengan
amenorea tersebut terjadi perdarahan atau tidak. Jika tidak terjadi, diagnosis dari
kerusakan pada kompartemen I (endometrium, aliran pengeluaran) bisa ditegakkan.
Jika pendarahan terjadi, bisa diasumsikan bahwa kompartemen I mempunyai
kemampuan fungsional yang normal jika mendapat rangsangan esterogen.1
Dari sudut pandang praktis, pada pasien dengan alat genitalia interna dan eksterna
yang normal dapat ditetapkan dengan pengujian pada panggul, dan tanpa adanya latar
belakang infeksi atau trauma (seperti kuretase), serta tidak didapatkannya
ketidaknormalan dari aliran pengeluaran yang tidak sewajarnya. Masalah aliran
pengeluaran termasuk kerusakan endometrium, secara umum sebagai akibat dari
kuretase yang berlebihan atau akibat dari infeksi, atau akibat amenorea primer dari
diskontinuitas atau abnormalitas pada duktus Mulleri.1
C. Langkah 3
Pasien amenorea tidak sanggup menyediakan rangsangan estrogen yang memadai.
Untuk memproduksi estrogen, ovarium memiliki folikel yang normal dan hormon
hipofisis yang cukup untuk merangsang organ yang diperlukan. Langkah 3 dirancang
untuk menentukan apakah 2 komponen yang penting (gonadotropin atau aktifitas
folikel) berfungsi secara wajar atau tidak.1
Langkah ini mengikutsertakan pengujian tingkat gonadotropin pada pasien. Karena
langkah 2 mengikutsertakan pemberian estrogen eksogen, kadar gonadotropin endogen
mungkin tidak nyata. Sebab itu, penundaan selama 2 minggu setelah langkah 2 mesti
dilakukan sebelum melaksanakan langkah 3, pengujian gonadotropin.1
Langkah 3 dirancang untuk menentukan apakah kekurangan estrogen menyebabkan
kesalahan pada folikel (kompartemen II) atau pada sistem aksis syaraf pusat-hipofisis
(kompartemen III dan IV). Hasil pengujian gonadotropin pada wanita amenorea yang
tidak mengalami pendarahan setelah pemberian pemicu progestagen akan
menghasilkan kadar gonadotropin abnormal yang tinggi, abnormal yang rendah, atau
pada kadar yang normal.1
Prinsip dasar fisiologi fungsi menstruasi memungkinkan dibuatnya suatu sistem yang
memisahkan dalam beberapa kompartemen dimana menstruasi yang normal tergantung.
Hal ini berguna untuk memakai evaluasi diagnostik yang memilah penyebab amenorea
dalam 4 kompartemen, yaitu:
- Kompartemen I : kelainan terletak pada organ target uterus atau outflow tract
- Kompartemen II : kelainan pada ovarium.
- Kompartemen III : kelainan pada pituitri anterior
- Kompartemen IV : kelainan pada sistem syaraf pusat (hipotalamus).
A. Sindroma Turner
Pada tahun 1938 Turner mengemukakan 7 kasus yang dijumpai dengan sindroma
yang terdiri atas trias yang klasik, yaitu infantilisme, webbed neck, dan kubitus valgus.
Penderita-penderita ini memiliki genitalia eksterna wanita dengan klitoris agak
membesar pada beberapa kasus, sehingga mereka dibesarkan sebagai wanita.1,3,4
Fenotipe pada umumnya ialah sebagai wanita, sedang kromatin seks negatif. Pola
kromosom pada kebanyakan mereka adalah 45-XO; pada sebagian dalam bentuk
mosaik 45-XO/46-XX. Angka kejadian adalah satu di antara 10.000 kelahiran bayi
wanita. Kelenjar kelamin tidak ada, atau hanya berupa jaringan parut mesenkhim
(streak gonads), dan saluran Muller berkembang dengan adanya uterus, tuba, dan
vagina, akan tetapi lebih kecil dari biasa, berhubung tidak adanya pengaruh dari
estrogen.1,3,4
Selain tanda-tanda trias yang tersebut diatas, pada sindroma Turner dapat dijumpai
tubuh yang pendek tidak lebih dari 150 cm, dada berbentuk perisai dengan puting susu
jauh ke lateral, payudara tidak berkembang, rambut ketiak dan pubis sedikit atau tidak
ada, amenorea, koarktasi atau stenosis aortae, batas rambut belakang yang rendah, ruas
tulang tangan dan kaki pendek, osteoporosis, gangguan penglihatan, gangguan
pendengaran, anomali ginjal (hanya satu ginjal), dan sebagainya. Pada pemeriksaan
hormonal ditemukan kadar hormon gonadotropin (FSH) meninggi, estrogen hampir
tidak ada, sedang 17-kortikosteroid terdapat dalam batas-batas normal atau rendah.4
B. Disgenesis gonad XY
Penderita berfenotip wanita dengan kariotipe XY dengan sistem Mulleri yang teraba,
kadar testoteron wanita normal dan kurangnya perkembangan seksual dikenal sebagai
sindroma Swyer. Terdapat vagina, uterus, dan tuba falopii, tetapi pada usia pubertas
gagal terjadi perkembangan mammae dan amenorea primer. Gonad hampir seluruhnya
berupa berkas-berkas tak berdiferensiasi kendati pun terdapat kromosom Y yang secara
sitogenetik normal. Pada kasus ini, gonad primitif gagal berdiferensiasi dan tak dapat
melaksanakan fungsi-fungsi testis, termasuk supremasi duktus Mulleri. Sel-sel hillus
dalam gonad mungkin mampu memproduksi sejumlah androgen; maka dapat terjadi
sedikit virilisasi, seperti pembesaran klitoris pada usia pubertas. Pertumbuhan normal;
tidak terdapat cacat penyerta. Transformasi tumor pada gonadal ridge dapat terjadi
pada berbagai usia, ekstirpasi gonadal streaks harus dilakukan segera setelah diagnosis
dibuat, tanpa memandang usia.1
C. Agenesis gonadal
Tidak terjadi komplikasi klinis yang terjadi bersama kegagalan gonad pada keadaan
agenesis ini. Keadaan ini disebut juga sindroma agenesis gonad XY atau sindroma
regresi testis embrionik. Pada sindroma yang langka ini, genitalis eksterna sedikit
meragukan, namun hampir menyerupai bentuk wanita. Ditemukan hipoplasia labia,
derajat tertentu fusi labioskrotum, penis kecil mirip klitoris, dan muara uretra pada
perineum. Uterus, jaringan gonad, dan vagina tidak ditemukan. Pada usia pubertas tidak
terjadi perkembangan seksual, dan kadar gonadotropin meningkat. Umumnya penderita
diasuh sebagai wanita. Dalam kondisi ini, jaringan testis dianggap telah aktif selama
kehidupan janin sehingga mampu menghambat perkembangan duktus mulleri, tetapi
fungsi sel leydig minimal. Tanpa informasi yang tepat, hanya dapat diperkirakan saja
apa yang menjadi penyebab tidak terjadinya perkembangan gonad tersebut. Jadi harus
diduga bahwa virus dan metabolik yang berpengaruh pada awal kehamilan. Meskipun
demikian hasil akhirnya berupa hipergonadotropik hipogonadism yang tidak dapat
diperbaiki kembali. Bila fungsi gonad tidak ada, perkembangan adalah wanita.1
Pengangkatan gonadal streaks dengan pembedahan diperlukan untuk menghindari
kemungkinan terjadi neoplasia.
B. Amenorea galaktorea
Wanita dengan hiperprolaktinemia secara khas muncul dengan galaktorea dan berbagai
keadaan gangguan menstruasi mulai dari menstruasi yang normal sampai amenorea
yang diikuti dengan infertilitas. Gangguan yang terlihat mungkin berkaitan dengan
hiperprolaktinemia ketika adenoma hipofisis yang menekan nervus optikus, traktus
nervus optikus, chiasma nervi optici atau nervus kranialis yang lain. Pada pengamatan
secara radiografi terhadap kelenjar hipofisis pada wanita dengan hiperprolaktinemia
mungkin didapatkan makroadenoma, mikroadenoma, atau tidak didapatkan adenoma.
Meskipun untuk memiliki kadar prolaktin yang tingggi, ukuran dari adenoma tidak
berhubungan secara linier dengan kadar prolaktin.1,2,6,7
Prolaktin merupakan polipeptida yang terdiri atas 200 asam dengan berat molekul
antara 19.000 22.000 Dalton. Prolaktin dihasilkan oleh sel-sel laktotrof yang terletak
di dalam bagian distal lobus anterior kelenjar hipofisis. Hiperprolaktinemia adalah
suatu gejala yang merupakan hasil dari suatu spektrum yang luas dari kelebihan
produksi laktotrof dari prolaktin dengan keadaan mulai dari ukuran hipofisis yang
normal sampai perubahan adenomatosa dengan pembesaran hipofisis. Follow up jangka
panjang pada wanita hiperprolaktinemia yang tidak diobati menunjukkan bahwa wanita
dengan adenoma atau tanpa adenoma hipofisis biasanya tidak menunjukkan
perkembangan dari penyakit sebagai hasil yang nyata dari adanya pengamatan secara
radiologis.1,3
Wanita dengan amenorea anovulatoar yang disebabkan oleh perubahan fungsional
dari hipotalamus mungkin masuk pada kelompok I (insufisiensi hipotalamus-hipofisis)
atau grup II (disfungsi hipotalamus-hipofisis) dari klasifikasi amenorea yang
dikeluarkan oleh WHO. Penderita-penderita ini memiliki beberapa macam gangguan
hipotalamus-hipofisis, tetapi mereka berada dalam prolaktin plasma yang normal.
Biasanya, beberapa wanita dengan bermacam gangguan diberikan klomifen sitrat untuk
merangsang ovulasi, termasuk pada penderita dengan kadar prolaktin yang normal.
Bagaimanapun juga, beberapa dari mereka tidak ada respon pada klomifen sitrat.1
Bromokriptin diketahui dapat digunakan untuk mengembalikan siklus ovulasi dan
fertilitas pada beberapa penderita dengan anovulasi hipotalamus, termasuk bila mereka
memiliki prolaktin darah yang normal. Di lain pihak, bromokriptin dan klomifen sitrat
dapat secara sinergi sebagai induksi ovulasi, kemungkinan karena memiliki tempat
kerja yang berlainan.1,3
Akhir-akhir ini dapat dipastikan, bahwa dari hipofisis bagian depan terdapat
hormon pelepas tirotropin (TRH) yang mengeluarkan tidak hanya tirotropin, melainkan
juga hormon pertumbuhan (GH) dan prolaktin. Karena arti fisiologik hubungan
fungsional antara kedua sistem tersebut sangat kecil, maka dapat disimpulkan bahwa
tripeptida TRH sesungguhnya bukanlah PRF (prolactine releasing factor). Yang
mempunyai arti lebih besar dari TRH atau PRF dalam pengaturan prolaktin adalah
faktor penghambat prolaktin (prolactine inhibiting factor, PIF), yang susunan kimianya
juga belum dapat dibuktikan sampai sekarang. Dibawah pengaruh meningkatnya
steroid seks dalam serum, maka pengeluaran PIF dari hipotalamus akan ditekan.
Peristiwa ini akan mengakibatkan meningkatnya sekresi prolaktin.3
Peningkatan kadar prolaktin serum yang ringan mungkin disebabkan oleh beberapa
faktor, termasuk diantaranya pemberian estrogen dan fenotiazin, respon dari stress,
makanan (khususnya makanan yang banyak mengandung asam amino), hipotiroid
primer, tumor-tumor hipotalamus-hipofisis. Adenoma hipofisis yang memproduksi
prolaktin umumnya muncul yang tandai dengan peningkatan kadar prolaktin (sering >
100 ng/mL). Tumor-tumor hipotalamus dan makroadenoma dapat menekan batang
hipofisis, menghambat transport dari dopamin dan faktor-faktor hipotalamus-hipofisis,
dengan hasil hiperprolaktinemia dan berbagai tingkat hipopituitarism. Penderita dengan
hiperprolaktinemia ringan harus dilakukan eksplorasi tentang riwayat dan dilakukan
pemeriksaan untuk menentukan keadaan hipofisis, hipersekresi hipofisis, atau efek dari
penekanan massa. Suatu program istirahat yang berulang, kadar prolaktin puasa, yang
tetap pada peningkatan yang ringan. Khususnya bila dikombinasikan dengan
pembesaran hipofisis, perlu dilakukan pemeriksaan radiologis pada sella tursika.1
Diagnosis banding dari lesi yang luas pada area sella tursika termasuk diantaranya
adalah makroadenoma hipofisis, kraniofaringioma, meningioma, dan proses inflamasi
seperti sarkoid, kista arakhnoid, dan penyakit metastase. Peningkatan kadar FSH, LH,
subunit, subunit LH dalam sirkulasi menunjukkan adanya suatu adenoma
gonadotropin. Peningkatan basal FSH, LH, subunit , dan LH telah terdeteksi pada
lebih dari 40% penderita dengan nonsekresi, adenoma hipofisis yang memproduksi
gonadotropin.1
Pada wanita dan laki-laki, 50% - 60% dari adenoma gonadotropin nonsekresi akan
menghasilkan FSH, LH, subunit , atau subunit LH dalam respon pada test terhadap
thyrotropin-releasing hormon. Hal ini menunjukkan bahwa sel-sel pada adenoma
gonadotropin memiliki sejumlah reseptor TRH, meskipun pada sel gonadotropin
normal tidak dijumpai adanya reseptor tersebut.1
Upaya pengobatan yang diberikan untuk menurunkan kadar prolaktin yang tinggi
adalah bromokriptin. Bromokriptin merupakan kelompok ergolin yaitu alkaloid ergot
yang bersifat dopaminergik. Bromokriptin merangsang reseptor dopaminergik. Obat
mempengaruhi susunan syaraf pusat, kardiovaskular, poros hipotalamus-hipofisis dan
saluran cerna. Bromokriptin menekan sekresi prolaktin yang berlebihan yang terjadi
pada tumor hipofisis. Dosis obat sangat tergantung dari kadar prolaktin yang ditemukan
pada saat itu. Kadar prolaktin 2540 ng/ml, cukup tablet bromokriptin/hari. Kadar
prolaktin mencapai 50 ng/ml, bromokriptin diberikan 2x1 tablet/hari. Efek samping
yang paling sering dijumpai adalah gangguan gastrointestinal (mual) serta hipotensi
(pusing).1,3
VIII. RINGKASAN
Amenorea primer merupakan suatu keadaan dimana tidak terjadi menstruasi pada wanita
yang berusia 16 tahun ke atas dengan karaktersitik seksual sekunder normal, atau umur 14
tahun ke atas tanpa adanya perkembangan karakteristik seksual sekunder. Gangguan yang
ada bisa terjadi pada kompartemen I (gangguan pada uterus), kompartemen II (gangguan
pada ovarium), kompartemen III (gangguan pada hipofisis anterior) atau pada
kompartemen IV (gangguan pada sistem syaraf pusat).
Penanganan terhadap amenorea primer disesuaikan dengan kelainan yang terjadi.
Kelainan yang diakibatkan oleh kelainan endokrinologik, maka diberikan pengobatan yang
berupa pemberian hormonal. Bila kelainan bersifat psikis, maka pengobatan yang diberikan
adalah mengeliminasi trauma psikis, bila perlu bekerjasama dengan ahli jiwa. Sedangkan
kelainan yang diakibatkan oleh kelainan anatomik bisa diberikan dengan memperbaiki
kelainan anatomis selama hal itu dimungkinkan.
IX. DAFTAR RUJUKAN
1. Speroff L, Glass RH, Kase NG. Clinical gynecologic endocrynologi and infertility. Baltimore: Williams
& Wilkins, 1994: 401-456
2. Scherzer WJ, McClamrock H. Amenorrhea. In: Berek JS, Adashi EY, Hillard PA. Novaks gynecology.
12th edition. Baltimore: Williams & Wilkins, 1996: 820-832
3. Baziad A, Alkaff Z. Pemeriksaan dan penanganan amenorea. Dalam: Baziad A, Jacoeb TZ, Surjana EJ,
Alkaff Z. Endokrinologi ginekologi. Edisi pertama. Jakarta: Kelompok studi endokrinologi reproduksi
Indonesia bekerjasama dengan Media Aesculapius, 1993: 61-70
4. Wiknjosastro H, Saifuddin AB, Rachimhadhi T. Ilmu Kandungan. Jakarta: Yayasan Bina Pustaka
Sarwono Prawirohardjo, 1999: 203-223
5. Jacoeb TZ, Rachman IA, Soebijanto S, Surjana EJ. Panduan endokrinologi reproduksi. Jakarta: Bagian
obstetric dan ginekologi FKUI/RSCM, 1985: 10-13
6. Yen SSC. Chronic anovulation caused by peripheral endocrine disorders. In: Yen SSC, Jaffe RB.
Reproductive Endocrinology. 3rd edition. Philadelphia: WB Saunders Company, 1991: 577-673
7. Brewer JI, Decosta EJ. Textbook of Gynecology. 4th edition. Baltimore: Williams & Wilkins, 1967:
101-136
8. Coulam CB. Premature gonadal failure. Fertil Steril 1982, 38: 645-655
9. Yeko TR, Parsons AK, Marshall R, et all. Laparoscopic removal of mullerian remnants in a woman with
congenital absence of the vagina. Fertil Steril 1992, 57: 218-220
10. Hansen KA, Tho SPT, Gomez F. Nonfunctioning pituitary macroadenoma presenting with mild
hyperprolactinemia and amenorrhea. Fertil Steril 1999, 72: 663-665
11. Lee PA, Rock JA, Brown TR, et all. Leydig cell hypofunction resulting in male pseudohermaphroditism.
Fertil Steril 1982, 37: 675-679
12. Caufriez A. Male pseudohermaphroditism due to 17-ketoreductase deficiency: report of a case without
gynecomastia and without vaginal pouch. Am J Obstet Gynecol 1986, 154: 148-149
13. Laatikainen T, Virtanen T, Apter D. Plasma immunoreactive -endorphin in exercise-associated
amenorrhea. Am J Obstet Gynecol 1986, 154: 94-97
14. Reindollar RH, Novak M, Tho SPT, et all. Adult-onset amenorrhea: a study of 262 patients. Am J Obstet
Gynecol 1986, 155: 531-543
15. Talbert LM, Raj MHG, Hammond MG, et all. Endocrine and immunologic studies in a patient with
resistant ovary syndrome. Fertil Steril 1984, 42: 741-744
16. Rebar RW, Connolly HV. Clinical features of young women with hypergonadotropic amenorrhea. Fertil
Steril 1990, 53: 804-810
17. Strebel PM, Zacur HA, Gold EB. Headache, hyperprolactinemia, and prolactinomas. Obstet Gynecol
1986, 68: 195-199